Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan karunia Tuhan yang harus disyukuri
dimana seorang yang sudah berkeluarga sangat berharap
mempunyai anak, jika anak dalam keadaan sehat, orang tua pun
senang, bangga dan bahagia. Suatu perjalanan hidup yang harus
dilalui oleh seorang anak adalah tumbuh dan berkembang
(Retnosari, 2012).
Anak memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan
(koordinasi motorik halus dan kasar), saya pikir, daya cipta,
bahsa dan komunikasi, yang tercakup dalam kecerdasan
intelektual (IQ), kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual atau
kecerdasan agama atau religius, sesuai dengan tingkat
pertumbuhan dan perkembangan anak (Ariyanti, 2016).
Anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan sejak
lahir sampai mencapai usia dewasa (Putri, 2016). Peroide penting
dalam tumbuh kembang adalah masa balita, dimana pada masa
pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan
perkembangan anak selanjutnya (Setyowati, 2013).
Pola asuh orang tua merupakan perlakuan orang tua dalam
interaksi dan cara orang tua memperhatikan keinginan anak,
kekuasaan atau cara yang digunakan orang tua cenderung
mengarah pada pola asuh yang diterapkan (Singgih, 2010).
Ibu yang memiliki anak harus menyediakan banyak waktu
dan tenaga untuk meluangkan waktu bersama anak-anaknya.
Banyak permasalahan yang timbul disebabkan karena orang tua
terutama ibu memberikan perhatian yang lebih pada salah satu
anaknya hingga menyebabkan anak yang lainnya atau kakaknya
merasa cemburu, serta dapat menimbulkan kejadian sibling
rivalry. Sibling rivalry adalah rasa persaingan saudara kandung
terhadap kelahiran adiknya. Anak mendemonstrasikan sibling
rivalry nya dengan berperilaku tempramental, misalnya menangis
keras tanpa sebab, berperilaku ekstrim untuk menarik perhatian
orang tuanya, atau dengan melakukan kekerasan terhadap
adiknya (Sulistyawati, 2014).
Rahmawati (2015); Hanum dan Hidayat (2015) menyebutkan
bahwa sibling rivalry dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya: Perbedaan jenis kelamin, lebih besar dijumpai pada
anak yang memiliki jenis kelamin sama (69,1%) dibandingkan
dengan anak yang tidak memiliki persamaan jenis kelamin
(30,9%). Anak yang mengalami sibling rivalry lebih besar dijumpai
pada anak dengan jarak usia < 3 tahun (80,0 %) dibandingkan
pada anak dengan jarak usia > 3 tahun (20,0 %). Jarak usia antar
saudara kandung dan perbedaan jenis kelamin mempengaruhi
cara bersikap antar saudara kandung, perbedaan usia yang jauh
dan jenis kelamin berbeda akan membuat hubungan terjalin lebih
ramah dan saling menghiasi, dibandingkan jarak usia tidak terlalu
jauh. Faktor yang selanjutnya yaitu urutan kelahiran, 100%
kejadian sibling rivalry terjadi pada anak pertama. Urutan
kelahiran bagi anak memainkan peranan yang penting didalam
keluarganya, sehingga menentukan pola interaksi dengan
saudara kandung, orang tua dan orang disekitarnya. Faktor
terakhir yang mempengaruhi sibling rivalry yaitu pola asuh orang
tua. Pola asuh demokratis mempengaruhi 22,2% kejadian sibling
rivalry dan pola asuh otoriter mempengaruhi 77,8% kejadian
sibling rivalry (Rahmawati, 2015; Hanum & Hidayat, 2015).
Menurut Boyle (dalam Putri, Deliana, & Hendriyani, 2013)
menjelaskan bahwa apabila sibling rivalry tidak ditangani di masa
awal kanak-kanak dapat menimbulkan delayed effect. Masalah
tersebut terjadi ketika pengalaman sibling rivalry pada anak
tersimpan di bagian alam bawah sadar pada usia 12 tahun
hingga 18 tahun. Sehingga dapat terjadi kembali bertahun-tahun
kemudian dalam bentuk perilaku psikologis yang
merusak.Berdasarkan hasil penelitian Putri, Deliana dan
Hendriyani (2013) menyebutkan bahwa dampak dari sibling
rivalry ada tiga yaitu dampak pada anak, orang tua dan
masyarakat. Dampak sibling rivalry pada anak salah satunya
adalah munculnya sikap temper tantrum yaitu anak
memperlihatkan emosi dengan menangis kencang, berteriak-
teriak, sampai melempar barang.Tantrum dapat dikenali dengan
terlihatnya sifat sensitif, cepat marah dan mudah tersinggung.
Kemudian dampak sibling rivalry yang terjadi pada orang tua
yaitu orang tua menjadi stress dengan perilaku yang ditunjukkan
anak-anak. Dampak sibling rivalry pada masyarakat, dapat terjadi
ketika hubungan antar saudara yang tidak baik dapat menjadi
awal pola hubungan yang tidak baik pula di luar rumah karena
anak membawa terus sikap tidak baik tersebut pada masyarakat.
Dengan adanya dampak sibling rivalry maka perlu dilakukan
penelitian ini sehingga anak mampu mengenali reaksi sibling
rivalry dan dapat mengantisipasi dampak sibling rivalry dengan
diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi sibling rivalry.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka saya merumuskan
masalah penelitian ini adalah “apakah ada hubungan pola asuh
orang tua dengan sibling rivalry pada anak usia prasekolah di
TPQ An-Nur desa sidawangi kecamatan sumber kabupaten
cirebon tahun 2020?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Sibling
Rivalry Pada Anak Prasekolah di TPQ An-Nur Desa
Sidawangi Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon Tahun
2020.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi Hubungan Pola Asuh Orang Tua
dengan Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah di TPQ An-
Nur Desa Sidawangi Kecamatan Sumber Kabupaten
Cirebon Tahun 2020.
b. Untuk TPQ An-Nur Desa Sidawangi Kecamatan Sumber
Kabupaten Cirebon Tahun 2020.
c. Untuk menganalisa Hubungan Pola Asuh Orang Tua
dengan Sibling Rivalry Pada Anak Prasekolah di TPQ An-
Nur Desa Sidawangi Kecamatan Sumber Kabupaten
Cirebon Tahun 2020.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
referensi dan menambah wawasan serta pengetahuan
tentang hubungan pola asuh orang tua dengan sibling rivalry
pada anak prasekolah.
b. Bagi Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu keperawatan secara menyeluruh.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk
penelitian selanjutnya terkait dengan hubungan pola asuh
orang tua dengan sibling rivalry pada anak prasekolah.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pihak Sekolah
Penelittian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
bahan masukan untuk mengurangi kejadian sibling rivalry
dan memberikan informasi sehingga dapat memberikan
pembelajaran tentang sibling rivalry pada anak prasekolah
b. Bagi Orang Tua
Mampu melakukan pengasuhan yang dapat dan
menghindari terjadinya sibling rivalry pada anak prasekolah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka
1. Usia Prasekolah
a. Definisi Usia Prasekolah
Rentang usia antara 4 sampai dengan 6 tahun merupakan
tahapan yang disebut sebagai usia prasekolah (Izzaty, 2017).
Anak usia prasekolah menurut Wong (2008), adalah anak usia 3
sampai 5 tahun dimana sebagian besar sistem tubuh telah motur
dan stabil serta dapat menyesuaikan diri dengan stres dan
perubahan yang moderat. Pengertian yang sama juga
dikemukakan oleh Rusilanti (2015), anak usia prasekolah adalah
anak usia berusia 3 sampai 5 tahun yang merupakan sosok
individu, makhluk sosial kultural yang sedang mengalami suatu
proses perkembangan yang sangat fundamental bagi kehidupan
selanjutnya dengan memiliki sejumlah potensi dan karakteristik
tertentu.
Di usia anak mengalami banyak perubahan baik fisik dan
mental, dengan karakteristik sebagai berikut, berkembangnya
konsep diri, munculnya egoisentris, rasa ingin tahu, imajinasi,
belajar menimbang rasa, munculnya kontrol internal (tubuh),
belajar dari lingkungannya, berkembangnya cara berpikir,
berkembangnya kemampuan berbahasa, dan munculnya
perilaku (Wong, 2008).

b. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Prasekolah


Menurut (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein &
Schwartz 2009), pertumbuhan adalah meningkatnya jumlah dan
ukuran sel pada saat membelah diri dan mensintesis protein
baru yang menghasilkan peningkatan ukuran berat seluruh atau
sebagian bagian sel. Adapun perkembangan menurut Susanto
(2011), perkembangan adalah bertambahnya struktur, fungsi dan
kemampuan manusia yang lebih kompleks. Periode penting
dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada
masaini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan
menentukan perkembangan anak selanjutnya.
Berikut ini akan dibahas secara umum pencapaian
tumbuh dan kembang anak pada masa prasekolah. Menurut
teori Erikson dalam Ambarwati (2015) pada usia tersebut anak
berada pada fase inisiatif vs rasa bersalah (initiative vs guity).
Pada masa ini, anak berkembang rasa ingin tau (courius) dan
daya imaginasinya, sehingga anak banyak bertanya mengenai
segala sesuatu di sekelilingnya yang tidak diketahuinya. Apabila
orang tua mematikan inisiatif anak, maka hal tersebut akan
membuat anak merasa bersalah. Anak belum mampu
membedakan hal yang abstrak dan yang konkret, sehingga
orang tua sering menganggap bahwa anak berdusta, padahal
anak tidak bermaksdu demikian.
Pertumbuhan (growth) secara umum erat kaitannya
dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, biasa
diukur, dalam ukuran berat, panjang, umur tulang dan
keseimbangan metabolik. Sedangkan perkembangan adalah
bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks
dan kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa
serta sosialisasi dan kemandirian (Yuniarti, 2015).
Proses berkembangan pada anak usia prasekolah
menurut Wong (2008) meliputi :
a. Perkembangan Biologis
Kecepatan pertumbuhan fisik melambat dan semakin
stabil selama prasekolah. Perubahan proporsional pada
amsa prasekolah yaitu berat badan rata-rata pada usia 4
tahun adalah 16,7 kg, pada usia 5 tahun adalah 18,7 kg, dan
pada usia 6 tahun 21 kg. Begitu juga dengan tinggi badan
rata-rata usia 4 tahun adalah 103 cm, dan pada anak usia 5
tahun adalah 110 cm, dan pada usia 6 tahun adalah 116 cm.
Keterlambatan perkembangan pada anak dikarenaka
kurangnya orang tua mengenal tanda bahaya (redflag)
perkembangan anak, kurangnya pemeriksaan deteksi dini
atau skrining perkembangan pada anak dan kurangnya
keterlibatan langsung orang tua dengan anak atau stimulasi
dai selain orang tua (IDAL, 2013).
b. Perkembangan Psikososial
Pada masa prasekolah anak mengalami fase inisiatif
vs rasa bersalah (initiative vs guity). Anak-anak pada usia ini
mulai berinteraksi dengna lingkungan sekitarnya sehingga
menimbulkan rasa ingin tahu terhadap segala hal yang
dilihatnya dan mereka mencoba mengambil banyak inisiatif
dari rasa ingin tahu yang mereka alami. Akan tetapi bila
anak-anak pada masa ini mendapatkan pola asuh yang
salah, mereka cenderung merasa bersalah dan akhirnya
hanya berdiam diri. Sikap berdiam diri yang mereka lakukan
bertujuan untuk menghindari suatu kesalahan-kesalahan
dalam sikap maupun perbuatan (Yuniarti, 2015).
c. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif atau intelektual merupakan
perkembangn pikiran, yaitu bagian otak yang dipakai untuk
mengetahui, mengenali, memahami, serta menalar suatu
otak (Yuniart, 2015). Salah satu tugas yang berhubungan
dengan periode prasekolah adalah kesiapan untuk sekolah
(Wong, 2008).
Pada usia prasekolah ada fase praoperasional yang
meliputi anak dalam rentang usia 2 samapi 7 tahun dan
dibagi lagi kedalam dua tahap yaitu : fase prakonseptual
usia 2 sampai 4 tahun, dan fase pikiran intutif usia 4 samapi
7 tahun. Dalam tahapan ini, anak mulai mempresentasikan
benda-benda dengan kata-kata dan gambar serta pemikiran
masih bersifat egosentris (Yuniarti, 2015).
Pada anak prasekolah anak juga mengembangkan
keterampilan berbahasanya. Anak prasekolah semakin
banyak menggunakan bahasa tanpa memahami makna dari
kata-kata tersebut, terutama konsep kanan dan kiri, sebab-
akibat, dan waktu. Anak bisa menggunakan konsep secara
benar tetapi hanya dalam keadaan yang telah mereka
pelajari. Misalnya, mereka bisa mengetahui bagaimana
memakai sepatu dengan mengingat bahwa kaitan sepatu
selalu berasa dibagian luar kaki. Namun, jika memakai
sepatu lain yang tidak memakai kaitan, mereka tidak tahu
lagi sepatu mana yang cocok untuk kakinya yang sebelah
mana. Dengan kata lain, mereka tidak memahami konsep
kanan dan kiri (Yuniarti, 2015).
d. Perkembangan Moral dan Spiritual
Perkembangan moral dan spiritual mencakup
pengembangan kesadaran untuk membina hubungan
dengan orang lain secara etis, bermoral dan manusiawi.
Dalam hal termasuk pemahaman akan nilai-nilai (kejujuran,
patuh, hormat) serta pemahaman konsep benar-salah,
konsekuensi dan tanggung jawab (Yuniarti, 2015).
e. Pekembangan Citra Tubuh
Masa prasekolah memainkan peranan penting dalam
perkembangan citra tubuh. Mereka mengenali perbedaan
warna kulit dan identitas rasial serta rentan mempelajari
prasangka dan bias. Meskipun perkembangan citra tubuh
telah maju, anak prasekolah tidak dapat mendefinisikan
ruang lingkup tubuhnya dengan baik dan mereka hanya
memiliki sedikit pengetahuan mengenai anatom intertnalnya.
f. Perkembanagn Seksualitas
Perkembangan seksualitas pada masa ini merupakan
fase yang sangat penting untuk identitas dan kepercayaan
seksual individu secara menyeluruh. Saat identitas seksual
berkembang melebihi penegnalan gender, maka kerendahan
hati menjadi perhatian. Eksploitasi seksual mungkin kini
lebih menonjol dari sebelumnya, terutama dalam hal
ekploitasi dan manipulasi genital.
g. Perkembangan Sosial
Pada masa prasekolah proses individualisasi
perpisahan sudah komplet. Anak usia prasekolah telah
mengatasi banyak ansietas yang berhubungan dengan
orang asing dan ketakutan akan perpisahan pada tahun-
tahun sebelumnya. Mereka dapat berhubungan dengan
orang yang tidak dikenal dengan mudah dan menoleransi
perpisahan singkat dari orang tua dengan sedikit atau tanpa
protes. Namun, mereka masih membutuhkan keamanan dari
orang tua, penerangan bimbingan, dan persetujaun terutama
ketika masa prasekolah atau sekolah dasar.

c. Tahap Perkembangan dan Pertumbuhan


Tumbuh kembang pada masa anak sudah dimulai sejak
dalam kandungan sampai usia 18 tahun. Hal ini sesuai dengan
pengertian anak menurut WHO, yaitu sejak terjadinya konsepsi
samapai usia 18 tahun (Ambarwati, 2015).
Tahap Tumbuh Kembang menurut Kozier (2010) dapat
diuraikan sebagai berikut :

Tahap
Usia Karakteristik Penting Implikasi Keperawatan

Neonatus Lahir – Perilaku bersifat seluruhnya bersifat Bantu orang tua untuk
28 hari refleks berkembang menjadi mengidentifikasi dan
perilaku yang lebih terarah memenuhi kebutuhan
yang belum terpenuhi

Bayi 1 bulan – Pertumbuhan fisik berlangsung Kontrol lingkungan


1 tahun cepat disekitar bayi agar
kebutuhan fisik dan
psikologinya terpenuhi

Toodler 1 – 3 Perkembangan motorik Strategi yang aman dan


tahun memungkinkan peningkatan yang beresiko harus
otonomi fisik keterampilan seimbang untuk
psikososial meningkat mendukung pertumbuhan

Prasekola 3 – 6 Dunia prasekolah semakin luas. Beri kesempatan anak


h tahun Pengalaman baru dan peran sosial untuk bermain dari
anak usia prasekolah dipraktikan melakukan kegiatan
selama bermain. Pertumbuhan fisik sosial.
berlangsung lebih lambat.

Usia 6 – 12 Tahap ini meliputi periode praremaja Beri kesempatan anak


Sekolah tahun (10-12 tahun). Kelompok teman untuk meluangkan waktu
sebaya (peer grup) sangat dan tenaga untuk
memenuhi perilaku anak. melakukan hobi dan
Perkembanagn fisik, kognitif, dan kegiatan sekolah. Kenali
sosial meningkat dari keterampilan dan dukung prestasi
komunikasi semakin baik. anak.

Remaja 12 – 20 Konsep diri berubah sejalan dengan Didampingi remaja untuk


tahun perkembangan biologis,. Nilai-nilai mengembangkan perilaku
dipraktikan. Pertumbuhan fisik koping. Bantu remaja
berlangsung semakin cepat. Stres mengembangkan strategi
meningkat terutama menghadapi guna mengatasi konflik.
konflik.

Dewasa 20 – 40 Gaya hidup pribadi berkembang. Terima gaya hdup yang


Muda tahun Individu membentuk hubungan dipilih oleh individu
dengan individu yang berarti dewasa dan bantu dalam
baginya dan membangun komitmen penyesuaian yang
terhadap sesuatu. penting terkait kesehatan.
Kenali komitmen individu.
Dukung perubahan yang
penting bagi kesehatan.

Dewasa 40 – 65 Gaya hidup berubah akibat Bantu klien membuat


Menengah tahun perubahan dalam hal lain, sebagian perencanaan dalam
contoh anak meninggalkan rumah, perubahan hidup yang
tujuan akupasional berubah. telah diperkirakan,
mengenali faktor risiko
yang berhubungan
kesehatan dan berfokus
pada kekuatan, bukan
kelemahan.

Lansia 65 – 74 Adaptasi terhadap masa pensiun Bantu klien untuk tetap


Muda tahun dan perubahan kemampuan fisik aktif secara fisik maupun
seringkali penting untuk dilakukan. sosial, dan untuk
Penyakit kronik dapat muncul mmelihara interaksi
dengan teman sebaya.

Lansia 75 – 84 Adaptasi terhadap penurunan Bantu klien untuk


Menengah tahun kecepatan pergerakan waktu untuk menghadapi kehilangan
berekasi dan peningkatan (misalnya : pendengara,
ketergantungan terhadap individu kemampuan sensorik,
lain mungkin penting untuk dan penglihatan,
dilakukan. kematian orang yang
dicintai. Beri tindakan
pengamanan yang
penting

Lansia 85 tahun Masalah-masalah fisik mungkin Bantu perawatan diri klien


Akhir atau meningkat sesuai kebutuhan dengan
lebih mempertahankan
kemandirian sebisa
mungkin.

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan dan


Pertumbuhan
Pada umumnya anak memiliki pola pertumbuhan dan
perkembangan normal (Yuniarti, 2015). Namun ada banyak
faktor yang dapat berpengaruh terhadap proses pertumbuhan
dan perkembangan anak teersebut diaman ada sebagian anak
tahapan tumbuh kembangnya sesuai dengan apa yang di
inginkan orang tua (Riyadi, 2009).
Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi tahap
pertumbuhan dan perkembangan menurut Riyadi (2009), yaitu :
a. Faktor Herediter
Herediter atau keturunan merupakan faktor yang
tidak dapat untuk dirubah ataupun di modifikasi, ini
merupakan modal dasar untuk mendapatkan hasil akhir
proses tumbuh kembang anak.
b. Faktor Lingkungan
1) Lingkungan Internal
Hal yang berpengaruh diantaranya adalah hormone
dan emosi. Ada tiga hormone yang mempengaruhi
pertumbuhan anak, somatotropin merupakan hormone
yang mempengaruhi jumlah sel tulang, merangsal sel
otak pada masa pertumbuhan, berkurangnya hormone
ini dapat menyebabkan Gigatisme. Hormone Tiroid akan
mempengaruhi pertumbuhan tulang, kekurangan
hormone ini akan menyebabkan kretinesme dan
hormone gonadotropin yang berfungsi untuk
merangsang perkembangan seks laki-laki dan
memproduksi spermatozoa, sedangkan estrogen
merangsang perkembangan seks sekunder wanita dan
produksi sel telur, jika kekurangan hormone
gonadotropin ini akan menyebabkan terhambatnya
perkembangan seks.
2) Lingkungan Eksternal
Kebudayaan eksternal ini banyak sekali yang
mempengaruhi, diantaranya adalah :
a) Kebudayaan
Kebudayaan suatu daerah akan mempengaruhi
kepercayaan, adat kebiasaan dan tingkah laku
dalam bagaimana orang tua medidik anaknya.
b) Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi keluarga juga berpengaruh
dalam tumbuh kembang anak, orang tua yang
ekonomi menengah ke atas dapat dengan mudah
menyekolahkan anaknya disekolah-sekolah yang
berkualitas, sehingga mereka dapat menerima atau
mengadopsi cara-cara baru bagaimana cara
merawat anak dengan baik
c) Status Nutrisi
Status nutrisi pengaruhnya sangat besar,
orang tua dengan ekonomi lemah bahkan tidak
mampu memberikan makanan tambahan untuk bayi
nya, sehingga bayi akan kekurangan asupan nutrisis
yang akibat selanjutnya daya tahan tubuh akan
menurun dan akhirnya anak jatuh sakit.
c. Faktor Pelayanan Kesehatan
Adanya pelayanan kesehatan yang memadai yang
ada disekitar lingkungan dimana anak tumbuh berkembang,
diharapkan tumbuh kembang anak dapat dipantau.
Sehingga apabila terdapat sesuatu hal yang sekiranya
meragukan atau terdapat keterlambatan dalam
perkembangannya, anak dapat segera mendapatkan
pelayanan kesehatan dan diberikan solusi pencegahannya.

2. SIBLING RIVALRY
a. Definisi Sibling Rivalry
Sibling rivalry adalah bentuk prilaku anak yang memiliki adik
baru. Anak cenderung bersikap lebih nakal karena merasa
cemburu dan tersaingi atas kehadiran adiknya, terlebuh lagi
ketika ia melihat ibunya sedang bersama adiknya. Perilaku ini
biasanya ditunjukan untuk menarik perhatian ibu dan biasanya
muncul pada anak-anak usia 12-18 bulan (Buku Asuhan
Kebidanan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Prasekolah).
Sibling rivalry adalah kompetisi antara saudara kandung
untuk mendapatkan cinta kasih, afeksi dan perhatian dari satu
kedua orang tuanya, atau untuk mendapatkan pengakuan atau
suatu yang lebih (Lusa, 2010).
Sibling rivalry terjadi karena merasa kehilangan orang tua
dan menganggap saudaranya sebagai saingan dalam
mendapatkan kasih sayang dari orang tua serta sikap orang tua
yang suka membandingkan anak (Nurmaningtyas,F 2013).
Sibling rivalry juga terjadi ketika jarak terlalu dekat yaitu 2-4 tahun
karena pada jarak tersebut anak sama-sama mendapatkan
perhatian yang sama (Woolfson,R 2012).

b. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Sibling Rivalry


Menurut Boyle, pencetus timbulnya sibling rivalry ada dua,
yaitu :
a. Usia
Jarak usia kakak beradik yang dekat cenderung
menimbulkan adanya sibling rivalry. Perbedaan usia antara 2
samapi 4 tahun merupakan usia yang paling mengancam
terutama bila kakak masih sangat muda dan belum
memahami situasi. Sibling rivalry muncul umumnya pada anak
usia prasekolah, yaitu pada usia 1 tahun sampai 6 tahun.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin yang berbeda antara kakak adik cenderung
jarang menimbulkan persaingan dibanding anak yang memiliki
jenis kelamin yang sama. Jenis kelamin yang berbeda antara
kakak adik lebih menunjukan hubungan yang positif dibanding
kakak adik yang memiliki jenis kelamin sama.
c. Peran orang tua
d. Besarnya keluarga
Besarnya keluarga mempengaruhi sering dan kuatnya rasa
cemburu dan iri hati. Cemburu lebih umum pada keluarga
kecil dengan 2-3 anak dari pada keluarga besar dimana tudak
ada anak yang mnerima perhatian besra dari ornag tua.
e. Jenis kelamin
Jenis kelamin yang sama dari anak dapat meningkatkan
timbulnya sibling rivalry dibanding yang bejenis berbeda.
f. Posisi anak
Sibling rivalry cenderung terjadi antara anak pertama
dengan anak kedua dibanding dengan anak terakhir
g. Sosial budaya
Contohnya kebudayaan masyarakat Bali yang percaya
terhadap patrinealisme, dimana masyarakat percaya bahwa
laki-laki menjadi panutan disuatu daerah, sehingga terjadi
perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Misalnya sebuah
keluarga meiliki anak laki-laki dan perempaun, maka orang tua
akan lebih memperhatikan anak laki-laki nya dari pada anak
perempuan, sehingga timbul sibling rivalry antara saudara
perempuan dan laki-laki.

h. Tanda-tanda Sibling Rivalry


Anda dapat mengenal berbagi tanda –tanda dari perilaku
anak-anak yang mengalami sibling rivalry, yaitu :
a. Melakukan kekerasan, baik secara fisik maupun psikis,
seperti memukul adik atau kakaknya, mendorong anak lain
dari pangkuan ibunya, memehami secara verbal atau
melakukan penghinaan.
b. Regresi pada anak yang lebih tua seperti menunjukan
perilaku perkembangan sebelumnya, misal kembali
mengompol atau meminta botol susu.
c. Displacement, anak mengalami perubahan penampilan
disekolah, misalnya menunjukan perilaku yang buruk
disekolah.
d. Anak mengalami gangguan dalam tidur dan terjadi
perubahan dalam pola tidurnya.
e. Anak mengalami depresi atau menderita kegelisahan akan
perpisahan. (Buku Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, Balita
dan Anak Prasekolah).

i. Dampak Sibling Rivalry


Pengaruh dari sibling rivalry dapat berdampak pada anak,
orang tua, dan masyarakat secara tidak langsung. Efek dan
perilaku ini merupakan dampak jangka panjang pada anak
maupun masyarakat saat anak menjadi bagian dalam
masyarakat, anatara lain :
a. Anak
Dampak pada anak ada dua hal yang utama. Pertama,
anak dapat tumbuh sangat agresif, karena perilaku
persaingan agresif yang berlangsung lama pada awal masa
kanak-kanak dimana pada tahap ini konsep diri mulai
terbentuk. Dampak kedua adanya sibling rivalry, yaitu anak
menjadi rendah diri, karena anak yang merasa gagal dalam
merebut cinta aksih dari orang tua dan bila hal ini terjadi
secara berulang-ulang akan menimbulkan perasaan kecewa
dan hilang kepercayaan dirinya. Anak tumbuh menjadi
individu yang sulit beradaptasi terhadap krisis yang itemui
pada tahap perkembangan selanjutnya, terutama pada masa
penuh kritis seperti pada masa adolence.
b. Orang tua
Orang tua dapat menjadi stres dengan tingkah laku yang
ditunjukan anak-anak dengan sibling rivalry.
c. Masyarakat
Anak yang tumbuh menjadi dewasa dengan kepribadian
yang terbentuk dari dampak negatif sibling rivalry yaitu,
perilaku psikologis merusak dapat berupa perilaku agresif
atau perilaku kriminal tertentu yang mengganggu
masyarakat. (Buku Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi,
Balita dan Anak Prasekolah).

j. Cara Mengatasi Sibling Rivalry


Beberapa hal yang eprlu diperhatikan orang tua untuk
mengatasi sibling rivalry :
a. Tidak membandingkan antara anak satu sama lain.
b. Membiarkan anak menjadi diri pribadi mereka sendiri.
c. Menyukai bakat dan keberhasilan anak-anak anda.
d. Membuat anak-anak mampu bekerja sama dari pada
bersaing antara satu sama lain.
e. Memberikan perhatian setiap waktu atau pola lain ketika
konflik biasa terjadi.
f. Mengajarkan anak-anak anda cara-cara positif untuk
mendapatkan perhatian dari satu sama lain.
g. Bersikap adil sangat penting, tetapi disesuaikan dengan
kebutuhan anak, sehingga adil bagi anak satu dengna yang
laiinya.
h. Merencanakan kegiatan keluarga yang menyenangkan bagi
semua orang.
i. Meyakinkan setiap anak mendapatkan waktu yang cukup
dan kebebasan mereka sendiri.
j. Orang tua perlu langsung campur tangan kecuali saat tanda-
tanda akan kekerasan fisik.
k. Orang tua harus dapat berperan memberikan otoritas
kepada anak-anak, bukan untuk anak-anak.
l. Orang tau dalam memisahkan anak-anak dari konflik tidak
menyalahkan satu sama lain.
m. Jangan memberi tuduhan tertentu tentang negatif sifat anak.
n. Kesabaran dan keuletan serta contoh-contoh yang baik dari
perilaku orang tua sehar-hari adalah cara pendidikan anak-
anak yang paling bagus untuk menghindari sibling rivalry.
(Buku Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak
Prasekolah

k. Pengukuran Sibling Rivalry


Instrumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
kuesioner. Menurut Arikunto (2013), kuesioner adalah sejumlah
pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi
dari responden dalam arti laporan tentang hal-hal yang ia
ketahui. Kuesioner yang digunakan untuk mengukur Sibling
Rivalry diadopsi dari Etika Rahmawati (2013) yang telah
dilakukan uji validitas dan uji reabilitas oleh peneliti.
Kuesioner tentang Sibling Rivalry terdiri dari 19 pertanyaan.
Kuesioner Sibling Rivalry menggunakan skala penilaian
Guttuman, yaitu jika responden menjawab Ya maka diberi skor 1,
dan jika responden menjawab Tidak maka diberi skor 0 untuk
pernyataan yang positif (favorable). Jika responden menjawab
Ya maka diberi nilai 0, dan jika responden menjawab Tidak maka
diberi skor 1 untuk pernyataan yang arahnya negatif
(unfavorable), dengan Sibling Rivalry sebagai variabel terkait.

3. POLA ASUH
a. Pengertian Pola Asuh
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu “pola” dan “asuh”. Pola
asuh berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur)
yang tetap. Sedangkan asuh dapat berarti menjaga (merawat dan
mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih dan
sebagainya), dan memimpin (mengepalai dan
menyelenggarakan) satu badan atau lembaga. Lebih jelasnya,
kata asuh adalah mencakup segala aspek yang berkaitan dengan
pemeliharaan, perawatan, dukungan dan bantua sehingga orang
tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat (Fitrianingsih,
2013).
Menurut Tridhonanto (2014), pola asuh orang tua adalah
suatu keseluruhan interaksi orang tua dan anak, dimana orang
tua yang memberikan dorongan bagui anak dengan mengubah
tingkah laku, pengetahuan, dan nilai-nilai yang dianggap paling
tepat bagi orang tua agar anak bisa mandiri, tumbuh serta
berkembang secara sehat dan optimal, memliki rasa percaya diri,
memiliki sifat asa ingin tahu, bersahabat, dan berorientasi untuk
sukses.
Kehidupan keluarga merupaka n lingkungan pertama dan
utama bagi anak. Oleh karena itu, pola pengasuhan orang tua
menjadi sangat penting bagi anak dan akan mempengaruhi
kehidupan anak hingga ia dewasa (Rachmawati, 2010).

b. Syarat Pola Asuh


Menurut Fitrianingsih (2013), agar pola asuh menjadi efektif
anatara lain :
a. Pola asuh harus dinamis
b. Pola asuh harus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
anak
c. Ayah ibu mesti kompak
d. Pola asuh disertai perilaku positif orang tua
e. Komunikasi efektif
f. Disiplin
g. Orang tua konsisten

c. Tahapan Perkembangan Pola Asuh


Tahap ini anak dapat meningkatkan kemampuan
berbahasa dan kemampuan untuk mrlakukan kegiatan yang
bertujuan, anak mulai memperhatikan dan berinteraksi dengan
dunia sekitarnya. Anak bersifat ingun tahu, banyak bertanya dan
meniru kegiatan sekitarnya, melibatkan diri dalam kegiatan
bersama dan menunjukan inisiatif untuk mngerjakan sesuatu
tetapi tidak mementingkan hasilnya, mulai melihat adanya
perbadaan jenis kelamin kadang-kadang terpaku pada alat
kelaminnya sendiri (Tridhonanto, 2014).
Pada tahap ini juga ayah memiliki peran penting bagi
anak. Anak laki-laki merasa lebih sayang pada ibunya dan anak
perempuan lebih sayang pada ayahnya. Melalui peristiwa ini anak
dapat mengalami perasaan sayang, benci, iri hati, bersaing,
memiliki, dan lain-lain. Anak dapat pula mengalami perasaan
takut dan cemas. Pada amsa ini, kerja sama ayah dan ibu amat
penting artinya (Trifhonanto, 2014)

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pola Asuh


Menurut Tridhonanto (2014), faktor-faktor yang
mempengaruhi pola asuh anak adalah :
a. Usia orang tua
Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
orang tua dapat menjalankan peran pengasuhan, karena usia
terlalu muda atau terlalu tua, akan menyebabkan peran
pengasuhan yang diberikan orang tua menjadi kurang optimal,
karena untuk dapat menjalankan peran pengasuhan secara
optimal diperlukan kekuatan fisik dan psikososial untuk
melakukannya (Edward, 2006)
b. Keterlibatan orang tua
Kedekatan hubungan antara ubu dan anaknya sama
pentingnya dengan aayh dana anak walaupun secara kodrat
akan ada perbedaan tetapi tidak mengurangi makna penting
hubungan tersebut.
c. Pendidikan orang tua
Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta
pengalamat sangat berpengaruh dalam mengasuh anak
(Edward, 2006). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran
pengasuhan antara lain :terlibat aktif dalam setiap pendidikan
anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada
masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk
anak-anak dan menilai perkembnagn fungsi keluarga dan
kepercayaan anak. Orang tua yang sudah mempunyai
pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak dalam akan
lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orang ua akan
lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan
perkembangan yang normal (Fitrianingsih, 2013)
d. Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak
Hasil penelitian membuktikan bahwa orang tua telah
memiliki pengalaman sebelumnya dalam merawat amak akan
lebih siap menjalankan peran pengasuhan dan lebih tenang.
Dalam hal ini, mereka akan lebih mampu mengamati tanda-
tanda pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal.
e. Stress orang tua
Sterss yang dialami oleh ayah atau ibu keduanya akan
mempengaruhi kemampuan orang tua dalam menjalankan
peran sebagai pengasuh, terutama dalam kaitannya dengan
strategi menghadapi masalah yang dimiliki dalam menghadapi
masalah yang dimiliki dalam menghadapi permasalahan anak.
Walaupun demikian, kondisi anak juga dapat menyebabkan
stress pada orang tua misalnya anak dengan tempramen yang
sulit atau anak dengan masalah keterbelakangan mental.
f. Hubungan suami istri
Hubungan yang kurang harmonis antara suami dan istri akan
berpengaruh atas kemampuan mereka dalam menjalankan
perannya sebagai orang tua dan merawat serta mengasuh
anak dengan penuh rasa bahagia karena satu sama lain dapat
saling memberi dukungan dan menghadapi segala masalah
dengan strategi yang positif.

e. Macam-macam Pola Asuh


Salah satu aspek penting dalam hubungan orang tua dan
anak adalah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua
(Setyowati, 2013). Menurut Tridhonanto (2014) secara umum
pola asuh orang tua dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Pola asuh otoriter (Authoritarian Parenting)
Pola asuh otoriter adalah pola asuh orang tua yang
lebih mengutamakan kepribadian anak dengan cara
menetapkan standar mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi
dengan ancaman-ancaman. Pola asuh otoriter memiliki ciri-
ciri, sebagai berikut :
1) Anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua
2) Pengontrolan orang tua terhadap perilaku anak sangat
ketat
3) Anak hampir tidak pernah memberi pujian
4) Orang tua yang tidak mengenal komptomi dan dalam
komunikasi biasanya bersifat satu arah
b. Pola asuh permisif (Permissive Parenting)
Pola aasuh permisif adalah pola asuh ornag tua pada
anak dalam rangka membentuk kepribadian anak dengan cara
memberikan pengawasan kesempatan pada anaknya untuk
melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya.
Sifap-sikap yang dimiliki orang tua adalah hangat sehingga
sering kali disukai oleh anak.
Pola asuh permisif mrmiliki ciri sebagai berikut :
1) Orang tua bersikap acceptance tinggi namun kontrolnya
rendah, anak di izinkan membuat keputusan sendiri dan
dapat berbuat sekehendaknya sendiri.
2) Orang tua memberi kebebasan kepada anak untuk
menyatakan dorongan atau keinginannya.
3) Orang tua kurang menerapkan hukuman pada anak,
bahkan hampir tidak menggunakan hukuman.

c. Pola asuh demokrasi (Authoritative Parenting)


Pola asuh demokrasi adalah pola asuh orang tua yang
menerapkan perlakuan kepada anak dalam rangka
membentuk kepribadian anak dengan cara memprioritaskan
kepentingan anak yang bersikap rasional. Pola asuh
demikratis mempunyai ciri-ciri :
1) Anak diberi kesempatan untuk mandiri dan
mengembangkan kontrol internal
2) Anak diakui sebagai pribadi oleh orang tua dan turut
dilibatkan dalam pengambilan keputusan
3) Memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak
ragu-ragu mengandalkan mereka.
4) Bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak
berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan
anak.
5) Memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan
melakukan suatu tindakan
6) Pendekatannya kepada anak bersifat hangat

f. Dampak Pola Asuh


Dampak pola asuh pada anak menurut Fitrianingsih
(2013), dapat dikarakteristikan sebagai berikut :
a. Pola asuh demokratis akan mengahsilkan karakteristik anak
yang amndiri, dapat ,engontrol diir, mempunyai hubungan
baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunayi
minat terhadap hal-hal baru, dan koperatif terhadap orang
lain.
b. Pola asuh otoriter akan menghasilakn karakteristik anak
yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar
menetang, suka melanggar norma, kepribadian lemah,
cemas dan mnarik diri.
c. Pola asuh permisif aakn mengahsilkan karakteristik anak-
anak yang impulsive,agresif, tdak patuh, manja, kurang
mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan
kurang matang secara sosial.

g. Pengukuran Pola Asuh


Instrumen yang dilakukan penelitian ini adalah kuesioner.
Menurut Arikunto (2013), kuesioner adalah sejumlah pertanyaan
tertulis yang digunakan untuk meperoleh informasi dari
responden dalam arti laporan tentang hal-hal yang ia ketahui.
Kuesioner yang digunakan untuk mengukur pola asuh orang tua
diadopsi dari Elza Yusman (2009), yang telah dilakukan uji
validitas dan uji reabilitas oleh peneliti.
Kuesioner pola asuh menggunakan skala penilaian Likert,
yaitu jika responden “sangat setuju” diberi skor 5 dan jika “sangat
tidak setuju” diberi skor 1 untuk pertanyaan yang positif
(favorable), dan jika responden “sangat tidak setuju” diberi skor 5
dan jika “sangat setuju” diberi skor 1 untuk pernyataan yang
arahnya negatif (unfavorable), dengan pola asuh sebagai variabel
bebas.

4. Kerangka Teori
2.1 Bagan Kerangka Teori Penelitian
Faktor yang mempengaruhi
pola asuh : Faktor yang mempengaruhi
1. Usia orang tua sibling rivalry :
2. Keterlibatan orang tua 1.
3. Pendidikan sebelumnya
dalam mengasuh anak
4. Stress orang tua
5. Hubungan suami istri
5. Kerangka Konsep
Berdasarkan tinjauan pustaka pada penelitian ini variabel pola
asuh yang akan diteliti adalah otoriter, demokrasi dan permisif.
Kerangka konsep penelitian adaalh suatu uraian dan visualisasi
hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang
lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain
dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2014).
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:

2.2 Bagan Kerangka Konsep Penelitian

6. Hipotesis
Menurut Notoatmodjo (2014), hipotesis adalah suatu jawaban
sementara dari pertanyaan peneliti.
Hipotesis yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah
hipotesis alternative (Ha). Yaitu adanya hubungan pola asuh orang
tua dengan sibling rivalry pada anak usia prasekolah.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Dalam penelitian
ini penulis menggunakan metode deskriptif analitik kolerasi.
Penelitian deskriptif menggambarkan keadaan sekarang dan
keadaan yang telah terjadi, serta mempunyai hubungan diantara
variabel-variabel, data-data yang dikumpulkan mu;a-mula disusun,
dijelasskan dan kemudian dianalisa. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, metode deskriptif analitik dipandnag cocok digunakan
dalam penelitian ini, karena menyelidiki masalah yang timbul pada
masa sekarang dan bertujuan untuk menggambarkan suatu fakta-
fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar komponen yang diteliti.
Digunakannya metode kolerasi pada penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan mengukur variabel serta mencari hubungan
antar variabel yang diteliti.
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional
yaitu dimana penelitian ini hanya membutuhkan waktu yang relatif
singkat, dan penelitian ini digunakn untuk mencari hubngan antar
varibael independen dengan variabel dependen.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksankan selama empat bulan yaitu dari
bulan April sampai dengan Juli 2020 dengan diawali kegiatan
penyusunan proposal penelitian hingga masa sidang proposal
kemudian dilanjutkan pelaksanaan penelitian.
2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun
ajaran 2019/2020, di TPQ An-Nur yang bertempatan di Desa
Sidawangi Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Pada kelas
0 kecil dan 0 besar.

C. Subjek Penelitian
1. Populasi
Populasi merupakan seluruh objek atau subjek yang
memiliki kualitas, dan karakteristik tertentu yang sudah
ditentukan oleh peneliti sebelumnya (Donsu, 2017). Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua anak usia
prasekolah di TPQ An-Nur Desa Sidawangi Kecamatan Sumber
Kabupaten Cirebon.
2. Sampel
Sampel merupakan objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2014). Teknik sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling.
3. Cara Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel yang dilakukan pada penelitian
ini adalah samping jenuh (total sampling). Total sampling hanya
berlaku apabila jumlah populasi dalam jumlah kecil. Pedoman
total sampling merujuk pada pendapat Donsu (2017), yaitu
mengambil semua anggota populasi untuk dijadikan sampel.
Maka dari itu, peneliti menggunakan total sampling karena
populasi di TPQ An-Nur Desa Sidawangi Kecamatan Sumber
Kabupaten Cirebon kurang dari 40 anggota.
Sampel dalam penelitian ini ditentukan oleh sampel
kriteria inklusi dari kriteria ekslusi.
Kriteria yang harus diperhatikan dalam pengambilan
subjek penelitian yaitu :
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu
dipenuhi oleh setiap anggota populasi anggota yang dapat
diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2014). Adapun
kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi:
1) Orang tua dari anak usia prasekolah di TPQ An-Nur
Desa sidawangi Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon
2) Orang tua yang bisa membaca dan bersedia menjadi
responden.
b. Kriteria Ekslusi
Kriteria ekslusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang
tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2014).
Adapun kriteria ekslusi dalam penelitian ini yaitu:
1) Orang tua yang memiliki anak usia toddler.
2) Orang yang tidak bersedia menjadi responden
3) Anak-anak PAUD As-salam Desa Sidawangi Kecamatan
Sumber Kabupaten Crebon
4) Orang tua yang sedang mengalami pengobatan
gangguan kejiwaan

D. Identifikasi Variabel Penelitian


Menurut Sujarweni (2014) variabel penelitian adalah sesuatu
hal yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk di
pelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut dan
kemudian ditarik kesimpulannya.
Pada penelitian ini variabel dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Variabel Independen (Bebas)
Variabel independen (bebas) tau variabel X yaitu variabel yang
diselidiki pengaruhnya (Arikunto, 2010). Variabel independen
pada penelitian ini yaitu pola asuh orang tua.
2. Variabel Dependen (Terkait)
Variabel dependen (terkait) atau variabel Y yaitu variabel yang
diramalkan akan timbul dalam hubungan fungsional dengan atau
sebagai pengaruh dari variabel bebas (Arikunto, 2010). Variabel
dependen (terikat) dalam penelitian ini yaitu sibling rivalry.

E. Definisi Operasional Variabel


F. Instrumen Penelitian
Instrumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
kuesioner. Berikut penjelasan mengenai kuesioner dalam penelitian
ini :
1. Kuesioner tentang pola asuh orang tua dalam penelitian ini
diadopsi dari Elza Yusman (2009) dengan judul “Hubungan Pola
Asuh Orangtua dengan Prestasi Belajar Anak SDN O5 Siang
Meruya Selatan Jakarta Barat” yang terdiri dari 21 pernyataan
yang telah di uji validitas dan uji reliabilitas olh peneliti di TPQ
An-Nur Desa Sidawangi Kecamatan Sumber Kabupaten
Cirebon. Pilihan jawaban pada kuesioner pola asuh orang tua
terdiri dari lima kategori yang sangat setuju, setuju, ragu-ragu,
tidak setuju, dan sangat tidak setuju (Hidayat, 2010)
Jika pernyataan positif (+) maka : Sangat setuju: 5, Setuju: 4,
Ragu-ragu: 3, Tidak setuju: 2, Sangat tidak setuju: 1.
Jika pernyataan negatif (-) maka : Sangat setuju: 1, Setuju:
2, Ragu-ragu: 3, Tidak setuju: 4, Sangat tidak setuju: 5.
Kuesioner ini terbagi empat kategori pola asuh orang tua
meliputi :
a. Kuesioner tentang pola asuh orang tua otoriter berisi 7
pernyataan diwakili oleh nomor 1-7
b. Kuesioner tentang pola asuh orang tua demokrasi berisi 7
pernyataan diwakili oleh nomor 8-14
c. Kuesioner tentang pola asuh permisif berisi 7 pernyataan
diwakili oleh nomor 15-21
d. Kuesioner tentang pola asuh berisi 7 pernyataan diwakili
oleh nomor 22-28
2. Kuesioner tentang Sibling Rivalry pada penelitian ini diadopsi
dari Etika Rahmawati (2013) dengan judul “Hubungan antara
Sibling Rivalry dengan Kemampuan Penyesuaian Sosial Anak
Usia Sekolah Di SDN Cireundeu III” yang terdiri dari 19
pernyataan yang telah diuji validitas dan di uji reliabilitas oleh
peneliti di TPQ An-Nur Desa Sidawangi Kecamatan Sumber
Kabupaten Cirebon. Pilihan jawaban dan kuesioner Sibling
Rivalry terdiri dari Ya dan Tidak.
Jika pernyataan positif (+) maka : Ya: 1, Tidak: 0.
Jika pernyataan negatif (-) maka : Ya: 0, Tidak: 1.

G. Uji Coba Kuesioner


Sebelum menggunakan instrumen kuesioner, peneliti
melakukan uji validitas dan reliabilitas. Penafsiran valid atau
tidaknya setiap butir soal dan reliabel tidaknya suatu instrumen
digunakan aturan sebagai berikut : untuk menginterpretasikan hasil
uji validitas dan reliabilitas digunakan derajat kebebasan (db), yaitu
jumlah sampel dikurangi dua (n-2), kemudian dicocokan dengan
tabel r product momen pada taraf signifikan 0,05.
Uji coba instrumen dilakukan pada responden di TPQ An-Nur
Desa Sidawangi Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon sebanyak
7 responden, dengan kriteria : responden yang dilibatkan dalam uji
coba instrumen tidak dijadikan responden pada tahap pengambilan
data penelitian.
1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat
kevalidan atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 2013).
Instrumen pada penelitian ini diuji validitas oleh peneliti di TPQ
An-Nur Desa Sidawangi Kecamatan Sumber Kabupaten
Cirebon pada beberapa responden. Data yang diperoleh
kemuadian dilakukan uji validitas dengan melihat kolerasi antara
item pernyataan. Uji validitas digunakan untuk mengetahui
kelayakan butir-butir dalam suatu daftar pernyataan dalam
mendefinisikan suatu variabel. Uji validitas dalam penelitian ini
dilakukan dengan kolerasi pengujian validitas isi, yaitu
menggunakan analisis butir (item) yakni mengkolerasikan
antara skors (nilai) tiap-tiap item (pernyataan) dengan skors
total kuesioner tersebut (Notoatmodjo, 2014).
(hasil uji)

2. Uji Reabilitas
Reliabilitas menunjukan pada suatu instrumen cukup dapat
dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpulan data
karena instrumen tersebut sudah baik (Arikunto, 2013).
Instrumen pada penelitian ini dilakukan uji reliabilitas oleh
peneliti di sekolah TPQ An-Nur Kecamatan Sumber Kabupaten
Cirebon pada 7 responden.
Uji reliabilitas pada penelitian ini dilakukan dengan metode
internal consistency, yaitu dengan cara mencobakan instrumen
sekali saja, kemudian data yang diperoleh dianalisis dan diukur
dengan menggunakan koefisien cronbach alpha, jika koefisisen
cronbach alpha lebih besar dari pada nilai r table (0,444) maka
dinyatakan bahwa instrumen yang digunakan dalam penelitian
adalah reliabel.
(hasil uji)
H. Prosedur Pengumpulan Data
1. Data Primer
2. Data Sekunder
I. Pengolahan Data
1. Editing (Penyuntingan Data)
Editing adalah kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan
isian formulir atau kuesioner tersebut (Notoatmodjo, 2014).
2. Coding
Setelah semua kuesioner diedit atau dosunting, selanjutnya
dilakukan pengkodean yakni mengubah data berbentuk kalimat
atau huruf menjadi data angka atau bilangan (Notoatmodjo,
2014)
3. Processing atau Data Entry (Memasukan Data)
Setelah dilakukan pengkodean, dalam proses ini dituntut
ketelitian dari orang yang melakukan “data entry” ini. Apabila
tidak maka akan terjadi bias, meskipun hanya memasukan data
saja (Notoatmodjo, 2014)
4. Cleaning (Pembersihan Data)
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden
selesai dimasukkan perlu dicek kembali untuk melihat
kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode,
ketidaklengkapan dan sebagainya kemudian dilakukan
pembetulan atau koreksi. Proses ini disebut pembersihan data
(data cleaning) (Notoatmodjo, 2014)

5. Analisa Data
6. Etika Penelitian
Sebelum melakukan penelitian ini terlebih dahulu peneliti
mengajukan permohonan kepada Prodi Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Cirebon dan permintaan izin dari
Kepala Sekolah TPQ An-Nur Desa Sidawangi Kecamatan Sumber
Kabupaten Cirebon. Setelah mendapatkan persetujuan tersebut,
kemudian peneliti melakukan penelitian dengan menekankan
masalah etik. Dalam melakukan penelitian ini menurut Nursalam
(2013), aspek etik yang digunakan adalah :
1. Lembar Persetujuan (Inforti m Concent)
Lembar persetujuan diedarkan kepada responden dengan
menjelaskan maksud dari tujuan penelitian yang dilakukan serta
dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah
pengumpulan data. Jika orang tua di TPQ An-Nur bersedia
untuk diteliti, maka responden haarus menandatangani lembar
persetujuan trrsebut, dan apabila menolak maka peneliti tidak
akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya.
2. Tanpa Nama
Untuk menjaga kerahasiaan responden tersebut, maka
peneliti tidak akan dicantumkan namanya pada lembar
pengumpulan data, melainkan cukup dengan memberi nomor
kode responden pada masing-masing lembar pengumpualn
data tersebut.
3. Kerahasiaan
Kerahasiaan informasi yang t elah diisi dan dikumpulkan dan
responden dijamin oleh peneliti kerahasiaannya.

7. Jalannya Penelitian

Anda mungkin juga menyukai