Anda di halaman 1dari 38

PROPOSAL PENELITIAN

GAMBARAN KADAR SERUM GLUTAMIC PYRUVIC TRANSMINASE


PADA PASIEN GANGGUAN JIWA YANG MENDAPAT
TERAPI ANTIPSIKOTIK DI RUMAH SAKIT
KHUSUS DAERAH DADI
MAKASSAR

BAHRUL ULUM
16 3145 453 152

PROGRAM STUDI DIII TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


FAKULTAS TEKNOLOGI KESEHATAN
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT karena hanya dengan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan proposal yang berjudul “Gambaran Kadar Serum Glutamic

Pyruvic Transminase pada Pasien Gangguan Jiwa yang Mendapat Terapi

Antipsikotik di Rumah Sakit Khusus Daerah DADI Makassar” sebagai salah

satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan DIII Teknologi Laboratorium

Medis Universitas Megarezky Makassar.

Proses penyusunan proposal telah melewati perjalanan panjang dalam

penyusunan tentunya tidak lepas dari bantuan moril dan material dari pihak

lain. Rasa terimaksih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua

orang tua tercinta ayahanda Syarifuddin dan ibunda Muhaiyah yang selalu

memberikan dukungan, motivasi, doa dan restu serta selalu memberikan yang

terbaik untuk anaknya.

Proposal ini dapat terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak, untuk itu

penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada : .

1. Bapak Dr. H. Alimuddin, SH., MH., M.Kn., selaku Pembina Yayasan

Pendidikan Islam Megarezky.

iv
2. Ibu Hj. Suryani, SH., MH., selaku Ketua Yayasan Pendidikan Islam

Megarezky.

3. Bapak Prof. Dr. dr. Ali Aspar Mappahya, Sp. PD, Sp. JP(K)., selaku

Rektor Universitas Megarezky Makassar.

4. Ibu Prof. Dr. Dra. Hj. Asnah Marzuki, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas

Teknologi Kesehatan.

5. Ibu Resi Agestia Waji S.Si., M.Si., selaku Ketua Program Studi DIII

Teknologi Laboratorium Medis.

6. Ibu Rosdiana Mus, S.Si., M.Biomed, selaku Pembimbing Utama penulis

yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing, mengajar

dan mengarahkan penulis dalam penyusunan proposal penelitian ini.

7. Ibu Sulfiani, S.Si., M.Pd, selaku Pembimbing Kedua penulis atas waktu

dan kesediannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam

proses penyusunan proposal penelitian ini.

8. Ibu Thaslifa, S.Si., M.Sc. Selaku penguji utama yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk menguji, mamberikan saran dan masukan.

Tiada manusia yang sempurna, begitu pula dengan penyusunan proposal

ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekeliruan yang dilakukan akibat

kesalahan penulis sebagai manusia biasa. Oleh karena itu penulis

v
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan

penyusunan proposal di masa yang akan datang.

Akhir kata semoga proposal ini dapat memberikan informasi bagi

masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan

ilmu pengetahuan bagi kita semua terutama kepada penulis dan pembaca.

Semoga Allah SWT melimpahkan kebaikan dan menjadikan segala yang

kita lakukan dan kerjakan sebagai amal ibadah.

Amiin

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Makassar, …….…….2021

Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN.................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................... iii

KATA PENGANTAR................................................................. iv

DAFTAR ISI................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN............................................................ 1

A. Latar Belakang................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.............................................................. 5

C. Tujuan Penelitian............................................................... 5

D. Manfaat Penelitian............................................................. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................. 7

A. Teori gangguan jiwa.......................................................... 7

1. Pengetian gangguan jiwa............................................... 7

2. Etiologic gangguan jiwa ...............................………….8

3. Proses terjadinya gangguan jiwa................................... 9

4. Tanda dan gejala gangguan jiwa................................... 10

5. Jenis gangguan jiwa...................................................... 11

6. Penanganan gangguan jiwa........................................... 12

B. Teori hati............................................................................ 14

1. Pengetian hati............................................................... 14

2. Anatomi hati................................................................ 15

3. Fungsi hati......................................................………. 16

4. Enzim hati......................................................………. 16

vii
C. Teori serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT)........ 17

1. Pengertian SGPT........................................................... 17

2. Patofisiologi SGPT........................................................ 17

3. Hubungan kadar SGPT pada pasien gangguan jiwa..... 18

D. Keangka Teori................................................................... 19

E. Kerangka konsep penelitian .............................................. 20

BAB III METODE PENELITIAN............................................. 21

A. Jenis Penelitian.................................................................. 21

B. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................. 21


C. Fokus penelitian................................................................. 21
D. Populasi dan Sampel.......................................................... 21
E. Variabel / Fokus Penelitian................................................ 22
F. Defenisi Operasional......................................................... 22
G. Instrument / alur kerja penelitian....................................... 24
H. Alur kerja penelitian.......................................................... 24
I. Pengumpulan Data............................................................. 27
J. Analisa Data....................................................................... 27
K. Etika Penelitian.................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 28

vii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan jiwa merupakan berubahnya karakteristik seseorang dari

perubahan perilaku atau psikologis yang umumnya diukur dari beberapa

konsep norma yang dihubungkan dengan penyakit, menimbulkan respon

yang terbatas dengan lingkungannya. Seseorang yang mengalami gangguan

jiwa biasanya akan mengalami tanda-tanda yang jelas seperti kesulitan dan

gelisah pada saat tidur, tidak bisa konsentrasi, sering khawatir, mudah

khawatir (Kemenkes RI, 2014).

Menurut World Health Organization (WHO, 2015), sekitar 450 juta

jiwa di dunia menderita gangguan jiwa. World Health Organization (WHO)

menyatakan 1 dari 4 orang di dunia menderita masalah mental dan

menyebutkan bahwa gangguan jiwa merupakan masalah yang serius.

Sedangkan menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia (RISKESDAS,

2013), terdapat 4,6% penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat

dan 11,6% mengalami gangguan jiwa emosional. Berdasarkan data yang

diberikan oleh pihak Rumah Sakit Khusus Daerah DADI Makassar, jumlah

pesien gangguan jiwa yang dirawat di Rumah Sakit Khusus Daerah DADI

Makassar pada tahun 2020 tercatat ada 150 pasien.

Gangguan jiwa biasanya terjadi pada masa akhir remaja atau awal

dewasa, jarang terjadi sebelum remaja atau setelah umur 40 tahun . Pada

pria gangguan jiwa terjadi antara usia 15-25 tahun, jarang pada usia diatas

30 tahun. Sedangkan pada wanita antara 25-35 tahun . Pada sekitar tiga dari

1
empat kasus, tanda-tanda pertama dari gangguan jiwa tampak pada usia 25

tahun (Ikawati, Z., 2011).

Terapi kejiwaan bertujuan untuk mengembalikan fungsi normal

pasien dan mencegah kekambuhan penyakit. Penyembuhan gangguan jiwa

ini tidak cukup hanya dengan membuat penderitannya gembira, tapi juga

dibutuhkan terapi obat dalam jangka waktu yang relatif lama, berbulan-

bulan bahkan sampai bertahun-tahun. Pengobatan yang diberikan ada dua

macam yaitu terapi menggunakan antipsikotik tipikal dan atipikal

tergantung tingkat keparahan yang dialami oleh penderita (Shinta, 2013).

Antipsikotik tipikal adalah obat untuk mengatasi gangguan psikosis,

yang kerap terjadi pada penderita gangguan jiwa. Obat ini disebut juga

sebagai antipsikotik generasi pertama. Antipsikotik mulai dikembangkan

pada tahun 1950-an. Sedangkan, antipsikotik atipikal adalah obat yang juga

digunakan untuk memulihkan gangguan psikotik. Antipsikotik atipikal

merupakan golongan antipsikotik yang lebih baru dan dikembangkan

sekitar tahun 1990-an Antipsikotik atipikal juga dapat memengaruhi

serotonin, yaitu neurotransmiter lain di otak (Putra, 2019).

Antipsikotik tipikal bekerja dengan cara menghambat reseptor

dopamin (D2, D3) di sistem limbik, termasuk daerah ventral stratum.

Akibat blokade dopaminergik di stratum tersebut menyebabkan efek

samping gejala ekstrapiramidal. Contoh obat antipsikotik tipikal antara lain

haloperidol, thioridazin, thiothixen, flupenazin, trifluoperazin,

klorpromazin, dan perfenazin. Sedangkan antipsikotik atipikal bekerja

1
2

dengan menghambat reseptor dopamin, namun relatif lebih spesifik pada

D1, D4, dan D5, selain itu lebih selektif sehingga efek ekstrapiramidal

dapat diminimalisir, tetapi menimbulkan kenaikan berat badan dan

gangguan seksual. Beberapa contoh antipsikotik atipikal antara lain

risperidone, quetiapine, dan olanzapine (Putra, 2019).

Dikutip dari (farmakope Indonesia, edisi IV, 1995), Haloperidol

mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0%

(Chlorophenyl, hydroxypiperidino, fluorobutyrophenone,). Dimana jika obat

ini dikomsumsi dalam jangka waktu yang relatif panjang maka akan

menimbulkan reaksi hepatotoksik atau kerusakan pada fungsi hati.

Sebagian besar antipsikotik harus melewati proses metabolisme

lengkap di hati agar dapat diekskresi melalui ginjal. Salah satu fungsi hati

yaitu menetralkan racun dari makanan dan minuman termasuk obat yang

masuk kedalam tubuh. Dalam hal ini, hati tidak tidah menghilangkan racun

dalam tubuh secara menyeluruh, namun dapat meminimalisir racun yang

masuk ke dalam tubuh. Oleh karena itu, kemungkinan besar pemberian

terapi obat antipsikotik jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada

sel hati. Dua macam enzim yang sering dihubungkan dengan kerusakan sel

hati termasuk dalam golongan aminotransferase, yakni enzim yang

mengkatalisis pemindahan gugus amino secara reversible antara asam

amino dan asam alfa-keto. Serum glutamate oksaloasetat transaminase

adalah reaksi antara aspartate dan alfaketoglutamat. Serum glutamate

piruvat transaminase merupakan reaksi antara alanin dan asam


2

alfaketoglutamat. Pada penyakit hati kadar enzim Serum glutamate

oksaloasetat transaminase dan Serum glutamate piruvat transaminase

cenderung berubah sejajar. Jika sel hati mengalami kerusakan, enzim-enzim

itu yang dalam keadaan normal berada di dalam sel akan masuk ke dalam

peredaran darah (Cahyaningtias, 2013).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Cahyaningtyas, dkk.,

2017) diperoleh hasil bahwa terdapat efek samping yang dialami pasien

gangguan jiwa yang diberikan terapi antipsikotik, salah satunya yaitu p

eningkatan kadar enzim hati. Hal ini dipengaruhi oleh zat kimia yang

tekandung dalam antipsikotik, sehingga menimbulkan kebocoran membran

plasma dan meningkatkan kada enzim Serum Glutamic Oxaloacetic

Transaminase dan Serum Glutamic Pyruvic Transminase dalam darah

(Robin, 2012). Peningkatan enzim ini dapat menyebabkan risiko terjadinya

penyakit hati, sehingga perlu dilakukan skrining kadar Serum Glutamic

Oxaloacetic Transaminase dan Serum Glutamic Pyruvic Transminase pada

pasien gangguan jiwa yang mendapat terapi antipsikotik serta mengetahui

lama penggunaan terapi antipsikotik guna mencegah terjadinya kerusakan

fungsi sel-sel hati. (Cahyaningtias, dkk., 2017).

Pemeriksaan Serum Glutamic Pyruvic Transminase lebih spesifik untuk

mengetahui kelainan hati karena jumlah Serum Glutamic Pyruvic

Transminase lebih banyak ditemukan di hati, sedangkan Serum Glutamic

Oxaloacetic Transaminase dapat ditemukan dalam hati, otot jantung, otot

rangka, ginjal, otak, dan sel-sel darah merah (Suwarny, 2018). Guna
2

mencegah terjadinya kerusakan fungsi sel-sel hati, Rumah Sakit Khusus

Daerah DADI Makassar melakukan skrining kadar Serum Glutamic

Oxaloacetic Transaminase dan Serum Glutamic Pyruvic Transminase pada

pasien gangguan jiwa yang mendapat terapi antipsikotik.

Dari uraian tesebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “Gambaran Kadar Serum Glutamic Pyruvic Transminase pada

Pasien Gangguan Jiwa yang Mendapat Terapi Antipsikotik di Rumah Sakit

Khusus Daerah DADI Makassar”

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah gambaran kadar Serum Glutamic Pyruvic Transminase

pada pasien gangguan jiwa yang mendapat terapi antipsikotik di Rumah Sakit

Khusus Daerah DADI Makassar?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran kadar Serum Glutamic Pyruvic

Transminase pada pasien gangguan jiwa yang mendapat terapi antipsikotik di

Rumah Sakit Khusus Daerah DADI Makassar.

D. Manfaat penelitian

1. Manfaat Teoritis

Menambah kepustakaan bagi institusi dan diharapkan menjadi

referensi untuk penelitian selanjutnya. Serta meningkatkan keterampilan,

memberikan wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai kadar Serum

Glutamic Pyruvic Transminase pada pasien gangguan jiwa yang mendapat

terapi antipsikotik.
2

2. Manfaat Praktis

Melalui data penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

kepada masyarakat mengenai gambaran kadar Serum Glutamic Pyruvic

Transminase pada pasien gangguan jiwa yang mendapat terapi antipsikotik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2

A. Teori gangguan jiwa

1. Pengertian gangguan jiwa

Gangguan jiwa merupakan suatu keadaan ketidak sesuaian antara

pikiran dan perasaan penderitanya. Gangguan jiwa sering digunakan

untuk menggambarkan psikiatrik mayor, yaitu terdapat perubahan

kognitif, peasaan dan perilaku. Orang yang mengalami gangguan jiwa

memiliki kemampuan yang terpelihara dan kesadaran yang jernih

walaupun mengalami penurunan kognitif akan tetapi kemampuan kognitif

akan berkembang seiring pengobatan. (Suwarny, 2018).

Gangguan jiwa merupakan gangguan yang terjadi pada fungsi otak.

Menurut (Yosep, 2014), bahwa gangguan jiwa meruapan sesuatu hal yang

melibatkan banyak faktor. Faktor-faktor tesebut meliputi perubahan

struktur fungsi otak, perubahan kimia otak dan faktor genetik.

Istilah gangguan jiwa masih sering digunakan hingga saat ini,

bahkan maknanya mengalami perluasan. Gangguan jiwa adalah salah satu

penyakit dimana individu mengalami penurunan atau ketidakmampuan

berkomunikasi, efetifitas yang tidak wajar atau tumpul, halusinasi,

mengalami kerusakan akfitas sehari-hai serta gangguan kognitif. (Keliat,

2011). Reaksi psikotik yang dialami pasien gangguan jiwa adalah

pengunduran diri dari kehidupan sosial, berkurangnya efektifitas disertai

dengan tingkah laku yang negatif atau gangguan emosional. (Stuart &

Sandra, 2013).

2. Etiologi gangguan jiwa


2

Menurut (Townsend, 2013), menyatakan bahwa penyebab

terjadinya gangguan jiwa adalah sebagai berikut :

a. Faktor genetik

Dalam hal ini ada banyak gen yang beranggung jawab terhadap

penyakit ini. Semakin dekat hubungan antara orang yang terdiagnosa

menderita gangguan jiwa dengan keluarga mereka maka semakin besar

kecenderungan pada gangguan jiwa. Penderita gangguan jiwa memiliki

kerusakan pada jalur saraf di otak. Neutrotransmitter yang dapat

berpengaruh pada penderita gangguan jiwa yaitu norepinefrin dan

serotonin.

b. Ketidak normalan otak

Penderita gangguan jiwa umumnya mengalami pengecilan jaringan

otak sekitar 5% lebih kecil dari volume total pada orang normal. Organ

yang mengalami pengurangan volume yaitu pada korteks cerebral.

Korteks ini merupakan bagian dari otak yang berguna untuk

mengendalikan fungsi kognitif dan emosional, sehinga pada penderita

gangguan jiwa akan mengalami gangguan fungsi tersebut. (Townsend,

2013).

3. Proses terjadinya gangguan jiwa

Menurut (Yosep, 2014), menjelaskan bahwa otak manusia terdapat

milyaran jaringan sel. Jaringan sel akan membawa pesan dari ujung
2

jaringan sel ke ujung jaringan sel lainnya yang dilepaskan oleh

neurostransmiter. Penderita gangguan jiwa mengalami kerusakan pada

komunikasinya. Sinyal-sinyal pesepsi datang kemudian dikirim lagi

dengan sempurna tanpa adanya gangguan sehingga menghasilkan suatu

perasaan, pemikiran dan akhirrnya melakukan tindakan sesuai kebutuhan

saat itu. Pada penderita gangguan jiwa, sinyal-sinyal yang dikirim

mengalami gangguan sehingga tidak berhasil merespon sambungan yang

dituju.

Gangguan jiwa terjadi secara bertahap dimana keluaga atau

penderita tidak menyadari ada sesuat yang patologis dalam waktu yang

lama. Kerusakan yang perlahan ini akhirnya dapat menyebabkan penyakit

gangguan jiwa yang parah. Gejala yang muncul secara bertahap ini disebut

gangguan jiwa akut yaitu gangguan yang terjadi secara singkat dan kuat

seperti, halusinasi, delusi dan kegagalan berpikir.

Gangguan jiwa juga dapat terjadi secara tiba-tiba. Perubahan

perilaku bisa terjadi dalam bebeapa hari atau minggu. Serangan secara

mendadak dapat memicu terjadinya periode akut secara cepat. (Yosep,

2014).

4. Tanda dan gejala gangguan jiwa

Perjalanan penyakit penderita gangguan jiwa tebagi dalam tiga fase :


2

a. Fase premodal

Fase ini biasanya muncul gejala yang non spesifik, yang

jangka waktunya bisa mingguan, bulanan bahkan lebih dari satu

tahun. Gejalanya seperti, penurunan fungsi sosial, fungsi perawatan

diri, fungsi pekejaan dan waktu luang. Perubahan ini akan

mengganggu individu dan dapat meresahkan keluarga dan teman,

semakin lama fase premodal akan semakin buruk prognosisnya.

b. Fase aktif

Gejala yang muncul pada fase ini adalah inkoherensi,

halusinasi disertai gangguan ektifitas. Kebanyakan dari penderita

gangguan jiwa datang berobat pada fase ini karna mendengar suara

yang orang lain tidak mendengarnya. Namun gejala tesebut hilang

spontan suatu saat atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh

fase residual.

c. Fase residual

Fase ini sama dengan fase premodal tetapi gejalanya sudah

berkurang. Penderita gangguan jiwa akan mengalami gangguan

kognitif, gangguan berbicara spontan, konsentrasi dan hubungan

sosial. Oleh karena itu, penderita gangguan jiwa tidak hanya


11

mengalami gejala yang tejadi pada ketiga fase diatas, tetapi

mengalami gangguan kognitif juga. (Nasir, 2011)

5. Jenis gangguan jiwa

Menurut (Nasir, 2011), jenis-jenis gangguan jiwa sebagai berikut :

a. Gangguan jiwa simpleks merupakan salah satu dari jenis gangguan

jiwa yang sering muncul pada masa pubertas. Gejala utama yang

tejadi adalah kedangkalan emosi dan kemunduran minat untuk

bersosial. Gangguan jiwa simpleks ini muncul secara pelahan , pada

tahap petama penderita kurang memerhatikan keluarganya atau

menarik diri dari pergaulan.

b. Gangguan jiwa hebfrenik biasanya muncul pada masa remaja antara

15-25 tahun. Gejala yang muncul adalah gangguan kemauan,

depersonalisasi dan gangguan proses berpikir. Gangguan

psikomotor dan halusinasi sering muncul pada penyakit hebefrenik.

c. Gangguuan jiwa katatonik meupakan suatu penyakit akut yang

sering muncul pada usia 15-30 tahun yang di sebabkan oleh stres

emosional. Pada pendeita gangguan jiwa katatonik akan ditemukan

gaduh, gelisah atau stupor katatorik.

d. Gangguan jiwa paranoid menimbulkan gejala seperti waham dan

halusinasi. Penderita gangguan jiwa paranoid juga akan mengalami

gangguan proses berpikir, gangguan efek emosi dan kemauan.

e. Gangguan jiwa akut dapat muncul dan pasien seperti dalam mimpi.

Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan dunia luar maupun

dirinya sendiri berubah, semuanya seeakan mempunyai suatu arti

f. Gangguan jiwa siual merupakan kondisi penderita akan mengalami

gejala primernya namun tidak ditemukan adanya gejala sekunder.


11

Gejala ini akan muncul setelah bebeapa kali terkena gangguan

jiwa.

g. Gangguan jiwa skizoaktif akan muncul gejala depresi. Jenis ini

cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga

timbul serangan khusus baginya.

6. Penanganan gangguan jiwa

Menurut (Shinta, 2013), penanganan pada pasien gangguan jiwa

dapat berupa terapi biologis dan terapi psikososial sebagai berikut :

a. Terapi biologis

Penangan terapi biologis terdiri dari dua bagian terapi yaitu

dengan menggunakan terapi elektrokonvulsif dan obat antipsikotik.

Pada akhir 1930-an, terapi elektrokonvulsif diperkenalkan sebagai

penanganan untuk penderita gangguan jiwa. Namun, masih menjadi

perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan.

Terapi ini telah digunakan diberbagai rumah sakit jiwa untuk

penanganan pada penderita gangguan jiwa. Kekurangan dari

elektrokonvulsif adalah pasien seringkali mengalami kondisi tidak

bangun lagi setelah listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan


13

ketidak sadaran sementara, bahkan bisa menyebabkan penderita

mengalami hilangnya ingatan setelah itu. Dengan tingginya

intensitas kekejangan otot yang dapat menimbulkan serangan pada

otak yang dapat mengakibatkan berbagai cacat fisik.

Terapi dengan menggunakan obat antipsikotik bisa untuk

mengurangi gejala yang dialami penderita gangguan jiwa. Obat

yang sering dipakai adalah chlopromazine (thorazine) dan

fluphenazine decanoate (prolixin). Obat ini tergolong kedalam jenis

obat phenothiazines, reserpine, dan haloperidol. Obat ini

merupakan obat penenang. Obat antipsikotik ini bisa memberikan

efek berupa kelelahan dan rasa kantuk.

b. Terapi psikososial

Pada terapi psikososial terdapat dua bagian yaitu terapi

kelompok dan terapi keluarga. Terapi kelompok merupakan salah

satu jenis terapi yang sering digunakan untuk pasien gangguan jiwa.

Terapi ini merupakan terapi yang mengumpulkan beberapa pasien

yang saling berkomunikasi satu sama lain yang diatur oleh

fasilitator dan moderator. Pasien yang mejalani terapi akan saling

memberikan feedback pikiran dan perasaan yang dialami. Pasien

akan diposisikan pada situasi sosial yang mendorong pasien tersebut

untuk berkomunikasi, sehingga dapat menambah pengalaman

peserta dalam kemampuan berkomunikasi.

Terapi keluarga merupakan suatu bentuk terapi khusus dari

terapi kelompok. Terapi ini digunakan untuk pasien yang telah

keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya.

Keluarga harus menghindari ungkapan emosi yang dapat


13

mengakibatkan kekambuhan pada penderita. Keluarga akan

diajarkan cara untuk mengekspresikan perasaan positif maupun

perasaan negatif secara jelas dan konstruproposalf agar dapat

digunakan untuk memecahkan masalah secara bersama-sama.

(Puspitasari, 2012).

B. Teori hati

1. Pengertian hati

Hati merupakan organ tubuh yang berfungsi untuk menetralkan

racun yang masuk kedalam tubuh bak dari makanan, minuman maupun

dari obat yang dikonsomsi. Racun yang masuk kedalam tubuh akan

mengalami peroses detoksifikasi (dinetralisasi) di dalam hati. Senyawa

racun ini akan diubah menjadi senyawa lain yang sifatnya tidak lagi

beracun terhadap tubuh. Jika jumlah racun yang masuk kedalam tubuh

relatif kecil, maka dalam tubuh tidak akan terjadi gejala keracunan.

Namun, apabila racun masuk ke hati dalam jumlah yang besar dapat

menyebabkan kerusakan struktur mikroanatomi hati. (Jayati, 2015)

2. Anatomi hati

Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh, menyumbang sekitar 2

persen berat tubuh total, atau sekitar 1,5 kg (3,3 pon) pada rata-rata
14

manusia dewasa. Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, struktur

berbentuk silindris dengan panjang beberapa milimeter dan berdiameter

0,8 sampai 2 ml. Hati manusia mengandung 50.000 sampai 100.000

lobulus.

Lobulus hati, mengelilingi sebuah vena hepatika dan kemudian ke

vena cava. Lobulus tersusun terutama dari banyak lempeng sel hati yang

menyebar dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-masing lempeng

hati biasanya setebal dua sel, dan di antara sel yang berdekatan terdapat

kanalikuli bilaris kecil yang bermuara ke duktus biliaris di dalam septum

fibrosa yang memisahkan lobulus hati yang berdekatan.

Didalam septum terdapat venula porta kecil yang menerima darah

terutama dari vena saluran pencernaan melalui vena porta. Dari venula-

venula ini darah mengalir ke sinusoid hati gepeng dan bercabang, yang

terletak diantara lempenglempeng hati dan kemudian mengalir ke vena

sentralis. Dengan demikian, sel-sel hepar terus-menerus terpajan pada

darah vena porta (John E.Hall, 2012).

3. Fungsi hati

1. Hati berperan dalam metabolisme karbohidrat yaitu menyimpan

glikogen dalam jumlah yang besar, konversi galaktosa dan fruktosa


14

menjadi glukosa, berperan dalm glukoneogenesis, pembentukkan

banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme karbohidrat.

2. Hati berperan dalam metabolisme lemak yaitu mengenai lipid.

3. Hati berperan dalam metabolisme protein yaitu Deaminasi amino,

pembentukkan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh,

interkonversi beragam asam amino dan sintetis senyawa lain dari asam

amino.

4. Hati merupakan tempat penyimpanan Vitamin.

5. Hati menyingkirkan atau mengeksresi obat-obatan, hormon, dan zat-

zat lain.

6. Hati menyimpan besi dalam bentuk Ferritin.

4. Enzim hati

Serum Glutamic Oxaloaacetic Transminase merupakan enzim

yang dijumpai dalam otot jantung dan hati, sementara dalam konsentrasi

sedang dijumpai pada otot rangka, ginjal dan pankreas. Konsentrasi rendah

dijumpai dalam darah.

Serum Glutamic Pyruvic Transminase merupakan enzim yang

banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis

dekstruksi hepatoseluler. Enzim ini dalam jumlah yang kecil dalam

jantung, ginjal, dan otot rangka. Pada umumnya nilai tes Serum Glutamic
17
Pyruvic Transminase lebih tinggi daripada Serum Glutamic Oxaloaacetic

Transminase pada kerusakan parenkim hati akut, sedangkan pada proses

kronis didapat sebaliknya (Sinaga, 2015)

C. Teori serum glutamic pyruvic transaminase

1. Pengertian serum glutamic pyruvic transaminase

Serum glutamic pyruvic transaminase merupakan kepanjangan dari

(SGPT). Pemeriksaan serum glutamic pyruvic transaminase dianggap jauh

lebih spesifik untuk menilai kerusakan hati dibandingkan Serum Glutamic

Oxaloacetic Transaminase. Kadar serum glutamic pyruvic transaminase

meninggi pada kerusakan liver kronis dan hepatitis. Sama halnya dengan

Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase, nilai serum glutamic pyruvic

transaminase dianggap abnormal jika nilai hasil pemeriksaan anda 2-3 kali

lebih besar dari nilai normal. Pada umumnya nilai tes serum glutamic

pyruvic transaminase lebih tinggi daripada Serum Glutamic Oxaloacetic

Transaminase pada kerusakan parenkim hati akut, sedangkan pada proses

kronis didapat sebaliknya. (Adawiyah, 2016).

2. Patofisiologi serum glutamic pyruvic transaminase

Kadar serum glutamic pyruvic transaminase yang berada sedikit

diatas nomal tidak selalu menunjukan sesorang sedang sakit. Bisa saja

peningkatan itu terjadi bukan akibat gangguan pada liver. Kadar Serum

Glutamic Pyruvic Transaminase juga gampang naik turun. Mungkin saja

saat diperiksa, kadarnya sedang tinggi. Namun setelah itu, dia kembali

normal. Pada orang lain, mungkin saat diperiksa, kadarnya sedang normal,

padahal biasanya justru tinggi. Karena itu, satu kali pemeriksaan saja

sebenarnya belum bisa dijadikan dalil untuk membuat kesimpulan.

(Stuard, 2012).
17

Mayoritas dari enzim ini ditemukan pada hati, apabila terjadi

gangguan kerusakan, cedera pada hati maka enzim ini akan dikeluarkan ke

dalam darah sehingga kadar serum glutamic pyruvic transaminase dalam

darah akan meningkat, oleh karena itu kadar serum glutamic pyruvic

transaminase yang tinggi dalam darah dapat menandakan adanya

kerusakan hati (Josef, P., Henrisken, 2012).

3. Hubungan kadar serum glutamic pyruvic transaminase pada pasien

gangguan jiwa

Gangguan jiwa merupakan salah satu penyakit yang butuh waktu

pengobatan dalam jangka waktu yang relatif lama. Penggunaan obat dalam

waktu yang lama biasanya bepengaruh pada hati. Tingkat kerusakan hati

biasanya dilihat dengan parameter biokimia hati. Kerusakan hati seperti

gangguan fungsi hati, ditandai dengan meningkatnya kadar serum

glutamic pyruvic transaminase dalam darah. (Adawiyah, 2016).

D. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini, akan dilakukan penelitian mengenai kadar serum

glutamic pyruvic transaminase pada pasien gangguan jiwa dengan


18

menggunakan alat Cobas c 111. Sehubungan dengan tujuan penelitian,

kerangka teori ini dapat digambarkan secara sistematis seperti bagan di bawah

ini :

Gangguan jiwa

Jenis gangguan jiwa Factor Penyebab Terapi

1. Simplex 1. Factor genetic


2. Hebfenik 2. Ketidak
3. Katatonik normalan otak
4. Paranoid 3.
5. Akut
6. Siual Biologis Psikososial
7. skizoaktif

Elektrokonfulsif Antipsikotik

Variabel diteliti :
Atipikal Tipikal
Variabel tidak diteliti :

Gangguan fungsi hati

Bagan 1. kerangka teori SGOT SGPT


20

E. Kerangka Konsep Penelitian

serum glutamic
Antipsikotik pyruvic
transaminase

- Lama
pemberian
terapi
- Usia pasien

Bagan 2. Kerangka konsep


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan desain

cross sectional study.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Lokasi pengambilan sampel dilaksanakan di Rumah Sakit Khusus

Daerah DADI Makassar dan pemeriksaan kadar serum glutamic pyruvic

transaminase dilakukan di Laboratorium Rumah Sakit Khusus Daerah

DADI Makassar.

2. Waktu penelitian

Penelitian ini direncanakan pada bulan September 2021

C. Fokus penelitian

Fokus dari penelitian ini yaitu pemeriksaan kadar serum glutamic

pyruvic transaminase pada pasien gangguan jiwa yang mendapat terapi

antipsikotik di Rumah Sakit Khusus Daerah DADI Makassar.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien gangguan jiwa

yang mendapat terapi antipsikotik di Rumah Sakit Khusus Daerah DADI

Makassar dengan jumlah populasi sebanyak 150 orang.

21
22

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien gangguan jiwa yang

mendapat terapi antipsikotik di Rumah Sakit Khusus Daerah DADI

Makassar yang memenuhi kriteria inklusi.

a. Kriteria Inklusi

Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini antara lain:

1) Usia 20-40 tahun yang sudah mendapat terapi antipsikotik tipikal


maupun atipikal minimal 6 bulan
2) Pasien yang tidak disertai riwayat penyakit hati sebelumnya

b. Kriteria Eksklusi

1) Pasien gangguan jiwa yang telah terdiagnosa menderita penyakit

hati dengan didukung data rekamedik

3. Besar sampel

Menurut (Arikunto, 2012), jika populasi dalam penelitian lebih

dari 100 subjek, maka dapat diambil antara 20-30% dari jumlah subjek

tersebut.

Rumus besar sampel : n = 20% x N

Jadi besar sampel pada penelitian ini sebanyak 30 sampel

E. Variabel Penelitian

A. Variabel bebas : Antipsikotik

B. Variabel terikat : Kadar serum glutamic pyruvic transaminase

F. Defenisi Operasional

a. Gangguan jiwa merupakan kondisi dimana berubahnya karakteristik,

perilaku serta tidak stabilnya psikologis seseorang yang diketahui dari data
22

rekamedik yang di berikan oleh pihak Rumah Sakit Khusus Daerah DADI

Makassar.

b. Antipsikotik merupakan obat penenang yang di berikan satu kali sehari

berdasakan resep dokter baik antipsikotik tipikal maupun atipikal.

c. Pemeriksaan Serum Glutamic Pyruvic Transaminase melalui sampel

serum, diperiksa menggunakan alat yaitu cobas c 111 dengan nilai rujukan

: Pria : 0-40 U/l Wanita : 0-35 U/l

Kriteria objektif :

1. Kadar SGPT normal : apabila pada penderita gangguan jiwa yang

dirawat di Rumah Sakit Khusus Daerah DADI Makassar telah diberi

penangan seperti pemberian terapi obat antipsikotik oleh petugas

rumah sakit.

Nilai rujukan : Pria : 0-40 U/l Wanita : 0-35 U/l

2. Kadar SGPT tinggi : apabila pada penderita gangguan jiwa yang

sudah menjalani terapi antipsikotik mengalami efek samping dari

antipsikotik, maka akan terjadi kerusakan pada hati yang dapat

meningkatkan kadar SGPT.

Nilai rujukan : Pria >40 U/l Wanita >35 U/l


22

G. Instrument kerja penelitian

1. Instrument penelitian

a. Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah masker, handscoon,

jas lab, spuit, tourniquet, centrifuge, tabung Vacutainer, rak tabung,

cobas c 111.

b. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu serum dari darah

vena yang diambil dari pasien gangguan jiwa.

H. Alur kerja penelitian.

1. Pra Analitik

a. Persiapan peneliti : mengunkan masker, handscoon, jas lab

b. Persiapan Pasien : Tidak memerlukan persiapan khusus

c. Pengambilan sampel : memasang tourniquet di atas area phlebotomi, di

identifikasi vena yang akan menjadi lokasi pengambilan darah

kemudian, dibersihkan area pengambilan darah dengan kapas alkohol,

ditusukkan jarum dengan kemiringan 30 derajat, ditarik plunger hingga

darah yang diambil cukup kemudian, dilepaskan torrniquet, ditekan

dengan lembut tangan pasien dengan kapas sambal menaik jaum

keluar kemudian dimasukkan darah pada tabung.

d. Persiapan Sampel : setelah sampel dimasukkan kedalam tabung,

tabung didiamkan terlebih dahulu selam 15 menit kemudian, di


22

centrifuge selama 5 menit pada kecepatan 3000 rpm untuk

mendapatkan serum tanpa campuran bahan lain.

2. Analitik

a. Metode : full otomatic

Prinsip : Alanine aminotransferase mengkatalisis transminase dari

Lalanine dan a- kataglutarate membentuk I – glutamate pyruvate,

pyruvate yang terbentuk direduksi menjadi laktat oleh enzim laktat

dehidrogenase (LDH) dan (NADH) teroksidasi menjadi NAD

b. Cara kerja alat Cobas C111

1. Order sampel

a. Ditekan menu tempat kerja , lalu dipilih order, lalu ditekan

tanda (+) pada layar, ditekan tanda ( A-Z) untuk memilih huruf

b. Ketikan nama pasien, lalu ditekan tanda (√)

c. Dipilih test yang diminta, lalu ditekan tanda (√)

d. Diletakkan sampel di posisi yang kosong pada sampel area

e. Diekan tanda (!) untuk memulai pekerjaan

2. Memonitor kerja alat

a. Pada menu UMUM, diperhatikan tombol sampel tube, ditekan

tombol unit melihat informasi pada sampel

b. Diperhatikan tombol reagen dan kuvet, jika berwarnah kuning

berarti ada reagen/kuvet yang hampir habis, gantilah setelah

segera setelah alat standby, lalu dilakukan kalibrasi, terhadap

reagen yang baru diganti.


22

3. Prosedur pergantian reagen

a. Ditekan tombol reagen pada menu UTAMA, lalu ditekan reagen

yang berwarnah merah

b. Ditekan tanda ( ↑ ) untuk mengeluarkan reagen yang habis (ikuti

petunjuk pada monitor)

c. Ditekan tanda (↓ ), discan berkode pada botol , lalu dimasukkan

kecakram reagen .

d. Diekan (√) untuk konfirmasi, selanjutnya mengalibrasi reagen

yang baru diganti

4. Mengakhiri pekerjaan

a. Mengeluarkan cakram reagen , pada menu UMUM pilih tombl

reagen, lalu tanda (↑↓) .

b. Dibuka penutup utama , lalu dikeluarkan cakram reagen

c. Diletakkan cakram reagen pada tempatnya, lalu ditutup penutup

utama

d. Disimpan cakram reagen pada lemari es

e. Pada menu UMUM , ditekan lab (untuk log of system)

kemudian dimasukkan pasword (1 2 3 4) , lalu pilih shut down

f. Ditekan o pada tombol power .


22

C. Pasca analitik

Nilai Rujukan :

Pria 0-40 U/l Wanita 0-35 U/l

Hasil Interprestasi :

Normal : SGPT Pria <42 U/I Wanita < 32 U/I

I. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung pada pihak

rekamedik ataupun laboratorium yang mewakili subjek penelitian dan

dilakukan pemeriksaan kadar serum glutamic pyruvic transaminase dengan

menggunakan metode full otomatis.

J. Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan analisa deskriptif yaitu dalam bentuk

tabel dan narasi.

K. Etika Penelitian

1. Anonymity

Pihak rekamedis atau laboratorium tidak perlu mencantumkan

namanya pada lembar pengumpulan data. Cukup menulis nomor responden

atau inisial saja untuk menjamin kerahasiaan identitas.

2. Confidentiality

Kerahasiaan informasi yang diperoleh pihak rekamedik atau

laboratorium akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.


22

DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, S. (2016). Gambaran Kadar SGOT dan SGPT Pada Pasien Napsa Di
RS Ernaldi Bahar. STIKES Abdi Nusa Palembang.

Arikunto, S. (2012). Prosedur Penelitian.Jakarta: Rineka Cipta.

Cahyaningtias. (2013). Hubungan Lama Protein Antipsikotik dengan Kadar


SGOT dan SGPT Pada Pasien Gangguan jiwa di RSJ Prof. H.B Sa’anim
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.

Cahyaningtyas, dkk. (2017). Hubungan Lama Terapi Antipsikotik dengan Kadar


SGOT dan SGPT pada Pasien Gangguan jiwa di RSJ Prof. HB Sa’anin,
Padang Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas.

Departemen Kesehatan Republik indonesia. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi


IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Guyton AC, John E. (2012). Hall PD. Textbook of Medical Physiology. 12th ed.
Philadelphia: Elsevier, Inc.

Ikawati, Z. (2011). Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta:


Bursa Ilmu.

Ima Santika Jayati. (2015). Tata Laksana‘Behavioral Activation’ untuk


Menurunkan Tingkat Depresi pada Pasien Stroke. Gadjah Mada Journal of
Professional Psychology. Volume 1, no. 2.

Josef, P., Henrisken, M. D. (2012). Disordered Self In The Schizophrenia


Spectrum. A Clinical And Research Prespective.

Keliat, B. A. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN Basic


Course. Jakarta: EGC.

Kemenkes RI. (2014). Buku Pedoman Umum : TPKJM ( Tim Pembina, Pengarah,
dan Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat. Jakarta: Kemenkes RI.
22

Nasir, A. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Puspitasari. (2012). Peran Dukungan Keluarga Pada Penderita Gangguan jiwa.


Jakarta: EGC.

Putra, A. (2019). Antipsikotik Tipikal dan Antipsikotik Atipikal untuk Gangguan


Mental. Www.sehatq.com. https://www.sehatq.com/artikel/antipsikotik-
tipikal-dan-atipikal-untuk-pengobatan-psikosis

RISKESDAS. (2013). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia.


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Robin, S. et al. (2012). Different models of hepatotoxicity and related liver


diseases.

Sinaga,F.A. (2015). The Effect of red fruit oil on rat’s malondialdehide at


maximal physical avtivity. Proceeding international conference of ASEAN
Council of Physical Education and Sports (ACPES).

Shinta, D. . (2013). No Title. dr Dyah Ayu Shinta Lesmanawati 2009–2011.

Stuard, L. (2012). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. St. Louis:


Mosby YearB.

Stuart & Sandra, J. (2013). Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Suwarny. (2018). Pengaruh Pemberian Obat TerhadapTingginya Kadar Enzim


Serum SGOT dan SGPT Pada Pasien Gangguan Jiwa di RSJ Provinsi
Sulawesi Tenggara. Jurnal MediLab Mandala Waluya Kendari.

Townsend, M. (2013). Psychiatric Mental Health Nursing Concept Of Care.


Philadelpia: Robert G. Morton.

WHO. (2015). World Health Statistics.

Yosep, I. (2014). Keperawatan Jiwa. Bandung: Relika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai