Anda di halaman 1dari 258

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/315893651

Daun Ro'hili dan Air Gula Sabu Penyambut Bayi Baru Lahir

Book · January 2016

CITATIONS READS

0 3,863

3 authors, including:

Agung Dwi Laksono


National Institute of Health Research and Development, the Indonesian Ministry of Health
255 PUBLICATIONS   812 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Degenerative disease View project

Evaluation of the Antenatal Care Utilization in Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Agung Dwi Laksono on 11 April 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Daun Ro’Hili & Air Gula Sabu:
Penyambut Bayi Baru Lahir
Etnik Sabu – Kabupaten Sabu Raijua

Roland A.N
Indrayaningsih
Agung Dwi Laksono

Penerbit
Unesa University Press

i
Roland A.N, dkk

Daun Ro’Hili & Air Gula Sabu:


Penyambut Bayi Baru Lahir
Etnik Sabu – Kabupaten Sabu Raijua

Diterbitkan Oleh
UNESA UNIVERSITY PRESS
Anggota IKAPI No. 060/JTI/97
Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015
Kampus Unesa Ketintang
Gedung C-15Surabaya
Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109
Fax. 031 – 8288598
Email: unipress@unesa.ac.id
unipressunesa@yahoo.com

Bekerja sama dengan:


PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176
Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749

xix, 236 hal., Illus, 15.5 x 23

ISBN: 978-979-028-962-8
copyright © 2016, Unesa University Press

All right reserved


Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik
cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit

ii
SUSUNAN TIM

Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015,
dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH)
Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc
Ketua Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si
Anggota Tim Teknis : Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes
Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes
drg. Made Asri Budisuari, M.Kes
dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH
drs. Kasno Dihardjo
dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK
Sekretariat : Mardiyah, SE. MM
Dri Subianto, SE

iii
Koordinator Wilayah:
1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab.
Klaten, Kab. Barito Koala
2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung
Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan
3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah
Selatan
4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru
5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong
Selatan
6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba
Barat
7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab.
Sumenep, Kab. Aceh Timur
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab.
Bantaeng
9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab.
Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke
10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar
11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu
Raijua, Kab. Tolikara
12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli,
Kab. Muna

iv
KATA PENGANTAR

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat


di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan
rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks.
Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani
masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat
kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk
itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait
kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum
humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk
mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan
masyarakat.simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense
of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam
menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan
masyarakat di Indonesia.
Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri
hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai
provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap
kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji
dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan
dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan
kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset
Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku
seri dari hasil riset ini.

v
Surabaya, Nopember 2015
Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI

Drg. Agus Suprapto, MKes

vi
DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM .......................................................................... iii


KATA PENGANTAR ................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................ vii
DAFTAR TABEL.......................................................................... xi
DAFTAR BAGAN........................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................. 1
1.1. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ............................................................... 4
1.3. Metode Penelitian ............................................................. 4
BAB 2 SEJARAH, ALAM DAN BUDAYA ..................................... 7
2.1.Sejarah ............................................................................... 7
2.1.1. Asal Usul Orang Sabu............................................... 7
2.1.2. Sejarah dan Asal Usul Desa ..................................... 8
2.2.Perkembangan Wilayah dan Desa ...................................... 11
2.2.1. Pembangunan Pendidikan....................................... 13
2.2.2. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya .... 17
2.3.Geografi dan Kependudukan .............................................. 18
2.3.1. Geografi ................................................................... 18
2.3.1.1 Pulau Raijua ...................................................... 22
2.3.1.2 Iklim dan Cuaca ................................................. 24
2.3.1.3 Musim Hujan yang Singkat ............................... 27
2.4.Kependudukan.................................................................... 30
2.4.1.Pola Pemukiman di Desa Kolorae............................. 30
2.4.2.Pola Penyebaran Pemukiman .................................. 32
2.4.3.Tentang “Rumah Daun” ........................................... 33
2.4.4.Tata Cara Pembangunan “Rumah Daun” ................. 34
2.5Sistem Religi......................................................................... 36
2.5.1.Kosmologi ................................................................. 38
Mitologi yang Hidup di Pulau Raijua ........................ 38
2.5.2.Praktek Keagamaan dan Kepercayaan ..................... 41
2.5.2.1 Upacara Kematian............................................. 42
2.5.2.2 Upacara Peringatan Kematian .......................... 47
2.5.2.3 Upacara “Bui ihi Made” .................................... 47

vii
2.5.2.4 Upacara “Bagarae Ae” ...................................... 51
2.5.2.5 Upacara “Bagarae Ro” ...................................... 51
2.5.2.6 Upacara “Tao Leo” dan Tari “Ledo”................... 51
2.5.3.Rumah Adat Suku Sabu ............................................. 54
2.5.3.1 Rumah Adat Keluarga ........................................ 54
2.5.3.2 Rumah Adat untuk Upacara “Buiihi................... 56
2.5.3.3 Rumah Adat “Dabba” ........................................ 57
2.5.3.4 Rumah Adat “Pehere Jarra” dan
Rumah Adat “Kewego” ...................................... 58
2.6.Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan ............................... 60
2.6.1. Forum Rapat Desa .................................................... 60
2.6.2.Nilai “Kebersamaan dan Keharmonisan ................... 62
2.6.3. Sistem Kekerabatan ................................................. 63
2.6.4. Sistem Perkawinan ................................................... 65
2.6.4.1 Tata Cara Pernikahan Adat ................................ 67
2.6.4.2 Perjanjian Perkawinan dan Denda Adat ............ 69
2.6.4.3 Perkawinan Bangsawan..................................... 71
2.7.Bahasa Sabu ........................................................................ 72
2.7.1.Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Kedua ................. 73
2.7.2.Bahasa Isyarat Sebagai Bahasa Pengantar Kesehatan...... 74
2.8.Mata Pencaharian ............................................................... 75
2.8.1. Rumput Laut ............................................................. 76
2.8.2. Pembuatan Tikar Pandan ......................................... 77
2.8.3. Pengiris Lontar ......................................................... 77
2.8.4. Pekerjaan Tambahan ............................................... 79
2.8.5. Alokasi Penghasilan .................................................. 80
2.9.Teknologi dan Peralatan ..................................................... 80
2.10Kesenian ............................................................................. 81
BAB 3. POTRET KESEHATAN ..................................................... 83
3.1 Kesehatan Lingkungan ........................................................ 83
3.1.1. Piala Kesehatan Lingkungan yang Berdebu ............. 83
3.1.2. Sampah Bukan Fatamorgana Belaka ....................... 85
3.1.3. Ketersediaan air bersih “antara ada dan tiada” ...... 87
3.1.4. Minuman Bermerek Sebagai Pola Gaya Hidup ........ 92
3.1.5. Cuci Tangan Pakai Sabun ......................................... 96
3.1.6. Jamban Sehat “Semboyan Kloset Malu” ................. 97

viii
3.2. Penyakit Menular .............................................................. 100
3.2.1. Diare Belum Berlalu ................................................. 100
3.2.2. Malaria dalam Kalender Tahunan ........................... 103
3.2.2.1 Studi kasus: Malaria yang Meliburkan“K” dari Sekolah 107
3.2.2.2 Aksesoris yang Nyaman Buat Nyamuk .............. 110
3.2.2.3 Pencegahan Penyakit Malaria ........................... 112
3.2.2.4 Cerita Kenangan Pos Malaria ............................. 115
3.2.3.ISPA “Tanpa Informasi” ............................................ 117
3.3. Penyakit Tidak Menular ..................................................... 118
3.3.1. Sakit Tatikam Versi Lain dari Penyakit Myalgia ....... 118
3.3.2. Definisi Aktivitas Ringan, Sedang dan Berat
Menurut Warga ....................................................... 120
3.3.3.Konsumsi Buah dan Sayur ........................................ 123
3.3.4.Tidak Merokok dalam Rumah .................................. 126
3.3.5. Gangguan Jiwa “10 Orang Gila” ............................. 128
3.3.5.1 Penjara Bagi Orang Gila .................................... 130
3.3.6. Sehat di Usia Tua “Senja di Antara Pohon Lontar” . 133
3.3.6.1 Perempuan dengan Segala Kelebihan dan
Kekurangannya “The Last Generation” ................. 135
3.3.6.2 Bapak NH “Pernah jadi Koki Dulu” ................... 139
3.3.6.3 Lanjut Usia dan Hasil Rontgennya .................... 139
3.3.6.4 Cerita di Hari Tua dari Pasangan Lanjut Usia.... 141
3.4. Perilaku Pencarian Pengobatan......................................... 144
3.4.1. Konsep Sakit ............................................................ 145
3.4.1.1 Konsep Sakit Berat ............................................ 145
3.4.1.2 Konsep Sakit Ringan ......................................... 147
3.4.1.3 Sakit Karena Pelanggaran Adat ........................ 147
3.4.1.4 Sakit Akibat Racun ............................................ 149
3.4.1.5 Persepsi Racun dari Penderita
dan Tenaga Kesehatan ..................................... 151
3.4.2. Pengobatan Tradisional dan Teknik Penyembuhannya .. 153
3.4.2.1 Sekapur Sirih Bersama Tabib Lokal ................... 154
3.4.2.2 Bertanya Kepada Tombak “Haku Wango” ....... 156
3.4.3. Pelayanan Kesehatan dari Tenaga Kesehatan......... 160
3.4.3.1 Pandangan Masyarakat tentang Pelayanan Kesehatan. 161
3.4.3.2 Hewan Mahar “Diikat atau Dilepaskan ............. 162

ix
BAB 4. RO’HILI SI PENYAMBUT BAYI........................................ 164
4.1. Pandangan Masyarakat Desa Kolorae Terhadap Remaja .. 164
4.1.1.Remaja dan Pengetahuan Reproduksi ...................... 165
4.1.2.Romantika Masa SMA ............................................... 168
4.2. Sikap Terhadap Kehamilan ................................................. 170
4.2.1.Persalinan oleh Tenaga Kesehatan ........................... 172
4.2.2. Situasi Ibu Melahirkan ............................................. 185
4.2.3. Proses Melahirkan Ala “Banni Deo” ........................ 186
4.2.4. Perawatan Tali Pusar................................................ 190
4.2.5. Prosesi Menggantung “Ari-ari” ................................ 190
4.2.6. Penamaan Bayi “Berdasarkan Panas Dinginnya Bubur” 193
4.3. Penimbangan Bayi dan Balita............................................. 194
4.3.1. Studi Kasus Gizi Buruk .............................................. 199
4.3.2. ASI Ekslusif ............................................................... 206
4.3.3. Pola Asuh Anak......................................................... 208
4.3.4. Nilai Anak di Mata Masyarakat Kolorae................... 210
BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................... 212
5.1. Kesimpulan ........................................................................ 212
5.2. Rekomendasi ...................................................................... 214
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 216
INDEKS ...................................................................................... 218
GLOSARIUM .............................................................................. 224

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Data Penduduk Desa Kolorae Menurut Agama ..... 30


Tabel 3.1. Karekteristik Keempat Plasmodium.................. 105
Tabel 3.2. Rekapitulasi Jumlah Penderita Malaria
Rawat Jalan dan Rawat Inap di Puskesmas
Ledeunu Januari 2014 – Februari 2015. ........... 107
Tabel 4.1. Jumlah Kelahiran dan Kematian
di Kecamatan Raijua Menurut Desa/Kelurahan
dan Jenis Kelamin, 2013.................................... 174
Tabel 4.2 Perbedaan Persalinan oleh “Banni Deo”
dan Bidan di Desa Kolorae ................................ 182
Tabel 4.3. Cakupan Penimbangan Balita
berdasarkan Data KMS Tahun 2015 ................. 197
Tabel 4.4 Cakupan Jumlah Balita yang di imunisasi
di Desa Kolorae Tahun 2015 ............................. 199

xi
xii
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Garis keturunan laki-laki dan garis


keturunan perempuan ..................................... 64

xiii
xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Jalan desa yang berasal dari pengerasan tanah 12


Gambar 2.2 Aktivitas bermain dan belajar di PAUD Ma’ri ... 14
Gambar 2.3 Suasana SD menjelang masuk kelas
dan SMP yang sedang dibangun ....................... 15
Gambar 2.4 Siswa berjalan kaki cukup jauh menuju
ke sekolah .......................................................... 16
Gambar 2.5 Panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya
terpadu dan individual ...................................... 18
Gambar 2.6 Peta wilayah Kabupaten Sabu Raijua ................ 19
Gambar 2.7 Kapal Feri untuk mencapai Kabupaten
Sabu Raijua dari Kupang .................................... 20
Gambar 2.8 Tanjung Lede Raga sebagai pintu gerbang Raijua ... 21
Gambar 2.9 Perahu Motor Nelayan untuk menyeberang
ke Pulau Raijua .................................................. 22
Gambar 2.10 Jenis dan kontur tanah yang berbukit-bukit ..... 22
Gambar 2.11 Pelebaran jalan tepi pantai
agar bisa dilewati kendaraan roda empat ........ 23
Gambar 2.12 Pelabuhan Namo dan Ai Bego ........................... 24
Gambar 2.13 Pohon Lontar dan sorgum sebagai
sumber penghasilan utama ............................... 26
Gambar 2.14 Hewan-hewan yang bebas berkeliaran ............. 27
Gambar 2.15 Embung dan kolam untuk
tempat penampungan air hujan ....................... 28
Gambar 2.16 Kapal dari Ende berlabuh
di DermagaNamo, Pulau Raijua ........................ 29
Gambar 2.17 Suasana jual beli di hari Kapal,Dermaga Namo ..... 29
Gambar 2.18 Peta Desa Kolorae ............................................. 31
Gambar 2.19 Wilayah pemukiman atas “dida”
dan wilayah pemukiman bawah “wawa” ......... 32
Gambar 2.20 Pagar batu sebagai batas halaman
dan mencegah hewan masuk............................ 33
Gambar 2.21 Tipe rumah daun dengan fondasi batu
dan fondasi kayu ............................................... 34
Gambar 2.22 Gereja yang terdapat di Desa Kolorae .............. 37

xv
Gambar 2.23 Rumah tempat telapak Kaki Maja .................... 40
Gambar 2.24 Wajah jenazah digambar
dengan ludah sirih pinang ................................ 43
Gambar 2.25 Para laki-laki menyiapkan tali
dari pinggiran daun lontar yang dianyam......... 44
Gambar 2.26 Jenazah ditekuk kemudian dililit
dengan kain Sabu .............................................. 45
Gambar 2.27 Kuburan telah ditimbun dan perlengkapan
upacara kematian yang telah dibuang ............. 46
Gambar 2.28 Nga’a Buiihi Made”(makan bersama
dalam peringatan kematian) ............................ 47
Gambar 2.29 Makanan yang disebut “Gatti” untuk
keluarga inti yang berduka ............................... 48
Gambar 2.30 Bentuk kuburan aliran Jingitiu (kiri),
bentuk kuburan orang yang.............................. 50
Gambar 2.31 Rumah adat keluarga “Kerogo” Rona Balu
disebut “Ma’ri”, terdapat di Dusun 4
(Dusun Loko Juli) ............................................... 55
Gambar 2.32 Bagian Rumah Adat, “Labuhu”,“Bengu”
dan “Rukoko ...................................................... 56
Gambar 2.33 Rumah adat Bui’ihi dan “Tiang Nok”
di dalam rumah adat “Bui’ihi” .......................... 56
Gambar 2.34 Rumah adat Da’bba uduMalako Ae.................. 57
Gambar 2.35 Rumah Adat “Pehera Jarra” dan Rumah
Adat Kewego dari udu Malaka Ae .................... 58
Gambar 2.36 Batu Pamali dimana terdapat larangan
untuk melintasi di atas serta larangan
untuk menginjak ..................................................... 60
Gambar 2.37 Forum Rapat Desa Kolorae .................................. 63
Gambar 2.38 Prosesi pernikahan adat Suku Sabu ...................... 68
Gambar 2.39 Kedua mempelai sedang mendengarkan
petuah dari tokoh masyarakat .............................. 69
Gambar 2.40 Pasien yang menggunakan bahasa Sabu
saat diagnose .................................................... 74
Gambar 2.41 Aktivitas petani rumput laut ............................. 76
Gambar 2.42 Penduduk menganyam tikar pandan................ 77

xvi
Gambar 2.43 Pohon lontar dan haik untuk menampung
air irisan bunga lontar ....................................... 78
Gambar 2.44 Aktivitas menenun Kain dan hasil tenun
berupa sarung dan selimut ............................... 79
Gambar 2.45 Kiri: “Kerigi Nginu” dan “Kerigi Ngaa”.
Kanan: Ibu-ibu membawa makanan yang disimpan
di “Kerigi Wore” ................................................. 81
Gambar 2.46 Tarian Padoa...................................................... 82
Gambar 3.1 Piala Lomba Kebersihan Tahun 2014
untuk Desa Kolorae ........................................... 84
Gambar 3.2 Sampah di Jalan Umum, Ladang
dan Sekitar Rumah ............................................ 86
Gambar 3.3 Hubungan antar manusia dan lingkungan ........ 87
Gambar 3.4 Aktivitas Warga Untuk Mendapatkan Air Bersih..... 89
Gambar 3.5 Embung, Sumur Khusus Untuk
Mandi/Mencuci dan Minum ............................ 90
Gambar 3.6 Tumpukan Botol bir di Rumah Warga ............... 94
Gambar 3.7 Konsumsi Makanan Tanpa Cuci Tangan
Pakai Sabun dan Kebersihan Diri....................... 97
Gambar 3.8 MCK Bantuan yang Dibangun dan
Kamar Mandi Darurat........................................ 97
Gambar 3.9 Data Sekunder Bidang Promosi Kesehatan ....... 98
Gambar 3.10 MCK Sekolah Dasar yang Dikunci dan
Anak BAB di Halaman ........................................ 99
Gambar 3.11 Pengumuman di Puskesmas Ledeunu............... 101
Gambar 3.12 Lalat yang Menghinggapi Minuman dan Tubuh 102
Gambar 3.13 Pasien Malaria dan Tarif Rawat Inap ................ 105
Gambar 3.14 Poster Biaya di Puskesmas Ladeunu ................. 106
Gambar 3.15 Daun “Kiu Maringi Rai” ..................................... 109
Gambar 3.16 Semua Isi Dalam Rumah Daun .......................... 111
Gambar 3.17 Kelambu yang Belum Digunakan Warga dan
Stiker Rumah yang Telah Mendapat Kelambu .. 112
Gambar 3.18 Tindakan Preventif Warga terhadap
Gigitan Nyamuk ................................................. 113
Gambar 3.19 Aktivitas Warga Pada Saat Malam
dan Hasil Gigitan Nyamuk ................................. 115

xvii
Gambar 3.20 Aktivitas Ringan, Sedang dan Berat Menurut Warga. 121
Gambar 3.21 Menu makanan setiap hari ............................... 123
Gambar 3.22 Tungku masak warga dan ................................. 126
Gambar 3.23 Rokok daun yang sedang dinikmati .................. 127
Gambar 2.34 Mulut yang sering mengkonsumsi sirih pinang 128
Gambar 3.25 Kamar yang di palang dan
jendela kamar bekas pelarian ........................... 131
Gambar 3.26 Mama Hude, Kulit Kayu pohon Lu’ba,
Tembakau kupu kupu ....................................... 137
Gambar 3.27 Lansia dan hasil Rontgennya ............................ 140
Gambar 3.28 Pasangan Lansia ................................................ 143
Gambar 3.29 Pohon yang dijadikan tempat gantung diri dan
korban racun menurut anggapan keluarga ...... 151
Gambar 3.30 Jubah dan tapak kaki maja................................ 155
Gambar 3.31 Ritual Kerai Kepoke untuk Pasien yang sakit .... 156
Gambar 3.32 Ritual Kerai Wango untuk pasien yang sakit .... 158
Gambar 3.33 Kulit kayu obat dan tumbuhan
obat yang digunakan tabib ............................... 159
Gambar 4.1 Ibu Hamil 8 Bulan Sedang Memikul Air ............ 171
Gambar 4.2 Ruangan Pemeriksaan dan Tindakan
di Pustu Kolorae ................................................ 175
Gambar 4.3 Poster di Puskesmas Ledeunu .......................... 177
Gambar 4.4 Persalinan di Rumah Ibu Hamil oleh Bidan....... 180
Gambar 4.5 Alat, Bahan dan Tempat Bersalin yang
Sudah Disiapkan di Rumah ............................... 186
Gambar 4.6 Perut Ibu yang Telah Selesai Bersalin
ditekan Agar Mengeluarkan Darah Nifas.......... 188
Gambar 4.7 Tempat Untuk Menumbuk Daun “Ro’Hili”
dan Siap Diminum Bayi ..................................... 189
Gambar 4.8 Perawatan Tali Pusar dengan Tahi Kerbau ....... 190
Gambar 4.9 Tali Pusar yang di Bersihkan oleh Banni Deo
dan Keluarga ..................................................... 191
Gambar 4.10 Prosesi Gantung “Ari-ari” dan Ari-Ari
yang digantung di Pohon .................................. 192
Gambar 4.11 Adat Rokemoro dan Rokemata ........................ 193
Gambar 4.12 Makanan Adat Setelah Menggantung

xviii
Ari-ari dalam “Oko Pana” .................................. 194
Gambar 4.13 Penimbangan dan Alat Ukur Tinggi Badan
di Posyandu ....................................................... 196
Gambar 4.14 Balita Gizi Buruk yang Tidak Mempunyai KMS ........ 200
Gambar 4.15 Bayi Gizi Buruk yang Sedang Mengkonsumsi
Susu Kambing .................................................... 202
Gambar 4.16 Balita Gizi Buruk yang diduga
Keluarga Akibat Pana Kai................................... 203
Gambar 4.17 Ibu Menyusui ASI dan Air Gula Sabu yang
Diberikan Kepada Bayi ...................................... 206
Gambar 4.18 Konsumsi Air Gula Sabu oleh Balita .................. 207
Gambar 4.19 Air Gula Sabu sebagai Minuman
Pendamping ASI ................................................ 208

xix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Data yang dikeluarkan oleh United Nations Development
Program (UNDP) mengenai Human Development Indeks (HDI)
menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan 124 dari 187 dalam
Indeks pembangunan manusia yang mencakup indeks kesehatan,
pendidikan dan pendapatan perkapita suatu negara.
Data ini menunjukan bahwa perkembangan sumber daya
manusia bangsa Indonesia masih jauh tertinggal dari negara tetangga
Singapura (urutan 26), Brunei (urutan 33), Malaysia (urutan 61),
Thailand (urutan 103) dan Filipina (urutan 112).Posisi Indonesia
sebanding dengan negara-negara yang baru saja mengalami konflik
seperti Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar.
Dari ketiga indeks pembangunan tersebut Indonesia mengalami
kenaikan di Indeks kesehatan dan pendapatan perkapita, tapi stagnan
selama beberapa tahun di indeks pendidikan.UNDP sendiri
menempatkan indeks kesehatan dan pendidikan pada posisi lebih
penting daripada pendapatan perkapita (the Jakarta Post, 2012).
Dari segi Kesehatan Ibu dan Anak, Indonesia belum dapat
memenuhi target kesepakatan global (Millenium Development
Goal/MDGs, 2000), yang mengharapkan pada tahun 2015 terjadi
penurunan AKI menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi
23/1000 kelahiran hidup. Survei Demografi Indonesia (SDKI) 2012
menunjukkan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) 359/100.000 kelahiran
hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 32/1.000 kelahiran hidup.Data
Riskesdas 2010 memberikan informasi bahwa 82,2% persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan, namun terdapat kesenjangan antara
pemanfaatan fasilitas kesehatan dan penolong persalinan di daerah
pedesaan (72,5%) dan perkotaan (91,4%). Dari total persalinan
dipedesaan, 54,4% persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan dan
sisanya 43,2% dilakukan di rumah. Persalinan di rumah sebanyak
51,9% ditolong bidan dan 40,2% ditolong oleh dukun bersalin
(Protokol Penelitian, 2015).

1
Tahun 2004 Provinsi Nusa Tenggara Timur sempat menjadi salah
satu Provinsi yang memiliki angka kematian bayi (infant) mortality) di atas
rata-rata nasional yaitu 57, sementara itu angka kematian balita adalah
80.Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT Stefanus Bria Seran
(2011)mengatakan bahwa salah satu penyebab angka kematian bayi
adalah penanganan kelahiran oleh keluarga yang masih tinggi yaitu 43,4%
sementara itu kelahiran yang ditangani oleh bidan 38,2%, baru kemudian
dokter 3,7%. Tempat melahirkan pun lebih sering di rumah 77,7%.
Akibat pola penanganan kelahiran ini sebagian besar kematian
bayi disebabkan oleh pendarahan, asfiksia dan berat badan lahir
rendah (BBLR). Oleh karena itu sejak tahun 2009 berdasarkan
Peraturan Gubernur nomor 42 tahun 2009, Pemerintah NTT
menetapkan Revolusi KIA yang mewajibkan semua proses persalinan
dilakukan di fasilitas kesehatan yang memadai dan ditangani oleh
tenaga kesehatan yang berkualitas (Raflizar, 2012).
Faktor-faktor sosial-budaya dan psikologis sering memainkan
peran dalam menentukan kondisi kesehatan masyarakat. Keseluruhan
aspek dan pola kebudayaan, cara-cara dan perilaku individu dalam
kelompok menentukan derajat kesehatan dan timbulnya penyakit
yang berbeda pada populasi yang berbeda. Faktor-faktor sosial
budaya juga mempengaruhi keputusan-keputusan perawatan
kesehatan sehingga kondisi kesehatan dan penyakit hanya dapat
berubah jika terjadi perubahan dalam aspek sosial-budaya di
masyarakat tersebut.Antropologi kesehatan dapat memberikan
gambaran tentang sebab-sebab dari kurang berhasilnya program-
program yang dilakukansekaligus mengajukan saran perbaikan yang
terkait budaya setempat (Foster & Anderson, 2011).
Pengobatan yang melibatkan perbedaan antar budaya atau
sosial akan berjalan efektif jika tenaga kesehatan memiliki
pemahaman terhadap kepercayaan, pengobatan dan harapan pasien
atas perawatan kesehatan yang ia lakukan. Pemahaman atas
pengobatan lokal akan membantu tenaga kesehatan dalam
menjelaskan unsur-unsur pengobatan sehingga mudah dimengerti
oleh para pasien yang terbiasa dengan pengobatan tradisional.
Berdasarkan data IPKM tahun 2013, Kabupaten Sabu Raijua
memiliki kategori kesehatan lingkungan yang rendah, yaitu 0,038%.Pulau

2
Raijua sendiritermasuk daerah endemis Malaria dan juga mempunyai
angka penderita diare yang tinggi. Desa Kolorae menjadi salah satu
penyumbang pasien tertinggi dari penyakit Malaria dan Diare. Persoalan
Kesehatan lain yang juga menonjol di Desa Kolorae adalah menyangkut
Kesehatan Ibu dan Anak. Patisipasi kaum ibu untuk melahirkan dengan
memanfaatkan fasilitas dan tenaga kesehatan masih rendah. Penduduk
hanya meminta bantuan tenaga kesehatan jika ibu mengalami kesulitan
ketika melahirkan di rumah. Sebagian besar masyarakat masih enggan
menggunakan fasilitas dan tenaga kesehatan untuk melahirkan.
Penduduk lebih memilih melahirkan di rumah dengan bantuan dukun
bayi (Banni Deo) untuk melahirkan.
Menurut Foster & Andersen (2011) praktek pengobatan modern di
rumah sakit sering kali dianggap bertentangan dengan praktek
pengobatan secara tradisional, misalnya bertentangan dengan ritual
tertentu yang harus dilakukan ataupun pengobatan modern dipandang
menakutkan oleh penduduk asli. Pengobatan tradisional telah berperan
positif dalam mempertahankan kesejahteraan psikologis dan fisik dari
masyarakat yang mempercayai. Pada umumnya masyarakat terikat pada
cara-cara dan kepercayaan tradisional sehingga mereka menganggap
bahwa cara-cara yang mereka lakukan sama atau mungkin lebih baik
daripada masyarakat lain.
Penduduk Desa Kolorae masih memegang teguh adat istiadat
dan kepercayaan nenek moyang yang bernama Jingi Tiu. Faktor
budaya dan kepercayaan masih kental dalam kehidupan masyarakat
Desa Kolorae, penduduk masih menjalankan adat istiadat yang
berlaku walau sebagian besar penduduk sudah memeluk agama
Kristen. Desa Kolorae juga dipilih karena merupakan desa paling ujung
selatandi Kecamatan Raijua.Dengan letak paling selatan dari
kecamatan dan akses jalan yang sulit, tentu saja wilayah ini
merupakan daerah yang paling sulit untuk mengakses fasilitas
kesehatan ke Puskesmas Kecamatan.
Hal ini sejalan dengan rekomendasi dari Sekretaris Dinas
Kesehatan Kabupaten Sabu Raijuayang mengatakan bahwa desa
Kolorae termasuk pulau terluar Indonesia di bagian selatan yang
merupakan salah satu daerah yang berbatasan dengan
Australia.Daerah-daerah perbatasan menjadi salah satu fokus dalam

3
program Indonesia Sehat tahun mendatang.Karena letaknya yang sulit
dicapai, Desa Kolorae masih memiliki budaya dan kearifan lokal
yangterjaga dari pengaruh luar.Masyarakat setempat masih
memegang teguh kepercayaan leluhur(Jingi Tiu).
Dalam penelitian ini akan digali unsur-unsur budaya yang
berpengaruh pada Kesehatan secara umum. Bab ketiga berisi tentang
potet kesehatan masyarakat yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA),
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), Penyakit Menular (PM), dan
Penyakit Tidak Menular (PTM). Kesehatan ibu dan anak akan dibahas
lebih dalam lagi di bab keempat. Pada bab ini akan digali faktor
pendukung dan tantanganyang mempengaruhi pilihan ibu untuk bersalin
di fasilitas dan dibantu petugas kesehatan. Bab kedua berisi tentang
unsur budaya yang terdiri dari sejarah, geografi, kependudukan, religi,
organisasi sosial dan kemasyarakatan, bahasa, mata pencaharian,
teknologi dan peralatan serta kesenian. Bab kelima akan membahas
simpulan dan saran berdasarkan pembahasan bab-bab sebelumnya.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
mengenai unsur-unsur budaya masyarakat Sabu di Desa Kolorae,
Kecamatan Raijua, Kabupaten Sabu Raijua.Terutama unsur
budayayang terkait dengan status kesehatan masyarakat setempat.
Khususnya budaya pendukung dan tantangan yang berpengaruh pada
pilihan ibu untuk bersalin di fasilitas dan dibantu petugas kesehatan.
Hasil penemuan informasi dilapangan diharapkan dapat
dimanfaatkan oleh para petugas kesehatan untuk memahami kondisi
di lingkup wilayah kerjanya.Dengan demikian program kesehatan
berbasis masyarakat dapat dirancang dengan pendekatan budaya
yang dapatlebih diterima masyarakat setempat.Selain itu hasil
penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pustaka penelitian
kesehatan berbasis budaya di Indonesia yang sampai saat ini masih
terbatas.
1.3. Metode
Kepercayaan pasien pada sistem pengobatan baru dapat
ditumbuhkan apabila pasien melihat bahwa para tenaga kesehatan
memahami apa yang mereka percayai (Foster & Anderson, 2011). Untuk
berkomunikasi secara efektif dengan seorang pasien mengenai penyakit

4
atau pengobatan. Tenaga kesehatan perlu mengetahui bagaimana pasien
memandang sakit tersebut, etiologinya dan pengobatannya secara
umum (Harwood dalam Foster & Anderson, 2011).
Untuk sampai pada pemahaman diatas maka perlu dilakukan
studi dimana peneliti mendapatkan pandangan masyarakat yang
berasal dari masyarakat itu sendiri bukan berasal dari peneliti. Dalam
studi etnografi hal ini dapat dicapai, berbagai informasi yang
bersumber dari masyarakat itu sendiri (emic) digali. Etnografi
merupakan penelitian ekploratif, pekerjaan mendeskripsikan suatu
kebudayaan yang bertujuan untuk memahami suatu pandangan hidup
dari sudut pandang penduduk asli (Spradley, 1997).
Penelitian etnografimenggunakan metode kualitatif dengan
teknik wawancara, observasi partisipatif, diskusi kelompok terfokus,
analisis terhadap dokumen primer dan sekunder, serta catatan pribadi
peneliti di lapangan. Penelitian kualitatif mendasarkan diri pada
kekuatan narasi, studi dalam situasi alamiah, menggunakan analisis
induktif, peneliti terlibat kontak personal langsung dilapangan,
perspektif holistik, dinamis dan berkembang, orientasi pada kasus
unik, bersandar pada netralitas-empatis, fleksibel dalam desain,
bersifat sirkuler dan peneliti menjadi instrumen kunci. Penelitian
kualitatif menekankan pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan
situasi penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang
realitas dan kondisi nyata kehidupan sehari-hari(Poerwandari, 2011).
Riset etnografi kesehatan ini dilakukan sejak akhir bulan April
hingga awal bulan Juni tahun 2015.Untuk memperoleh data yang
mewakili realitas kehidupan mayarakat, peneliti tinggal bersama
masyarakat di Desa Kolorae selama 40 hari. Peneliti melakukan
observasi partisipatoris dengan melakukan aktivitas bersama
masyarakat untuk mengeksplorasi, mengamati dan mengumpulkan
informasi yang terkait budaya kesehatan masyarakat setempat.
Peneliti menjadi instrumen utama penelitian dengan
mendengarkan, mencatat, melakukanwawancara secara mendalam
(indepth interview) baik terstruktur (sesuai pedoman) maupun non
struktur (obrolan sambil lalu sesuai tema). Wawancara dilakukandengan
sejumlah tokoh kunci sebagai informan penelitian (key informants) yaitu
pelaku budaya dalam masyarakat Kolorae atau informan yang

5
mengetahui tentang budaya tersebut dan minimal telah tinggal selama
setahun bersama masyarakat Kolorae (Spradley, 1997).
Peneliti terdiri atas dua orangdandibantu oleh dua orang asisten
peneliti yang berasal dari daerah setempat.Seluruh data direkam dan
dicatat peneliti dalam log book, recorder, Field Note, photo dan video.
Triagulasi data (mencocokan, membandingkan hasil wawancara
mendalam antara informan yang satu dengan informan lainnya)
diakukan untuk memperkuat kesahihandata. Analisis penulisan buku
dijabarkan secara deskriptif dan interpretatif yang ditunjang oleh
sejumlah literatur yang diolah dan dipaparkan dalam buku ini.

6
BAB II
SEJARAH, ALAM DAN BUDAYA

2.1 Sejarah dan Perkembangan Wilayah Desa


2.1.1. Asal Usul Orang Sabu
Terdapat berbagai versi cerita mengenai asal usul nenek moyang
orang Sabu di Pulau Raijua. Berdasarkan cerita rakyat yang diceritakan
secara turun temurun oleh orang tua-tua terdahulu, orang Sabu percaya
bahwa nenek moyang mereka berasal dari India yang melakukan
perjalanan mengarungi samudra. Mereka kemudian mencapai kepulauan
Nusa Tenggara Timur, menyebar dan menetap di pulau-pulau tersebut
dan beranak pinak. Ada yang menetap di Pulau Timor, Ende, Sumba,
Sabu dan juga Pulau Raijua.
Menurut Robert Riwu Kaho (2005) terdapat indikasi kuat bahwa
orang Sabu berasal dari migrasi rumpun bangsa Melayu yang berasal dari
India Selatan. Ada tiga gelombang imigrasi yang datang ke Indonesia.
Migrasi gelombang pertama terjadi pada tahun 2000 SM, orang-orang dari
dari Asia Selatan menyebar ke pulau-pulau bagian Timur, seperti Papua
dan Australia. Mereka adalah nenek moyang pertama orang Indonesia,
namun tidak diketahui keberadaan mereka apakah sampai di Pulau Sabu.
Gelombang migrasi kedua terjadi pada tahun 500 SM, berasal dari
Asia Tenggara, yaitu daerah Yunan dan wilayah Timur Laut Indo Cina,
mereka menyebar ke pulau-pulau bagian Barat dan juga Timur hingga
Papua. Mereka merupakan cikal bakal nenek moyang Indonesia yang
dengan ras Mongoloid yang melahirkan suku bangsa Melayu. Menurut
W.M. Donselaar (dalam Kaho, 2005) terdapat indikasi bahwa mereka
sampai ke Pulau Sabu karena terdapat kata-kata dalam bahasa Sabu yang
mirip dengan bahasa Melayu. Gelombang ketiga sampai di Indonesia
pada tahun 2 SM, migrasi ini berasal dari India Selatan. Perpindahan
mereka ke Indonesia terjadi karena perang di daerahnya. Kerajaan-
kerajaan besar di IndIa Utara seringkali menjajah kerajaan kecil di India
Selatan. Mereka mencari negeri baru yang lebih aman dan tenteram,
sebelum perang itu terjadi. Indonesia terkenal sebagai daerah yang aman
dan subur sehingga menjadi negeri tujuan (Kaho, 2005).
Dari cerita dan syair-syair bahasa Sabu terdapat cerita bahwa
nenek moyang orang Sabu berasal dari daerah “Surat” dari kerajaan

7
Gujarat, India Selatan. Orang Sabu tidak dapat melafalkan “Surat”
sehingga menyebutnya “Hura”. Dalam peta India sendiri memang
terdapat wilayah yang bernama Surat di wilayah kerajaan Gujarat, India
Selatan sebelah Utara kota Bombay di teluk Cambay. Menurut Mitos
yang beredar, orang Sabu sepakat bahwa rombongan dari India Selatan
berada di bawah kepemimpinan “Kika Ga”. Setelah sampai di kepulauan
Sabu, “Kika Ga” memilih untuk tinggal di bukit Ketita di Pulau Raijua. Ia
kawin mawin dengan penduduk dari gelombang pertama dan kedua
yang sebelumnya telah menempati pulau tersebut.
Setelah beranak cucu, keturunan dari “Kika Ga” yang bernama
“Ngara Rai” dan keluarganya pindah ke Pulau Sabu. Mereka kawin mawin
dengan penduduk setempat yang juga merupakan penduduk dari
gelombang kedua dengan Ras Melayu. Percampuran itu menjadi asal
muasal dari orang Sabu yang sekarang (Kaho, 2005).
2.1.2. Sejarah dan Asal Usul Desa
Setelah mengenal asal usul orang Sabu maka pada bagian ini akan
diungkapkan asal usul dari Desa Kolorae yang menjadi fokus dari penelitian
ini. Terdapat lima dusun di Desa Kolorae, dusun ini masing-masing
mempunyai cerita penamaan tempat yang berbeda-beda. Tidak semua
kepala dusun mengetahui cerita asal mula dusun mereka. Cerita asal mula
dusun didapatkan dari penuturan tetua dan tokoh adat setempat.
Pada masa penjajahan Belanda Desa Kolorae masih menyandang
nama wilayah Temukun Lobowalu. Temukun merupakan pemerintahan
setara desa yang dipimpin oleh seorang vettor. Vettor merupakan
pemerintahan setara camat yang diangkat oleh Belanda. Menurut Kepala
Desa setempat, pada tahun 1968 Temukun Lobowalu berganti nama
menjadi Desa Kolorae yang dipimpin oleh Kepala Desa berdasarkan
pemilihan warga. Sesepuh Desa Kolorae menyebutkan ada kemungkinan
dahulu di Desa Kolorae merupakan pusat tempat kegiatan religi dari
Raijua Atas.
Di Desa Kolorae terdapat perkampungan adat yang masih aktif
melakukan ritual hingga sekarang. Sayangnya peneliti tidak diijinkan
memotret perkampungan rumah adat utama di Raijua Atas karena
dianggap suci.
Desa Kolorae merupakan desa paling Selatan dari Kecamatan
Raijua. Nama Desa Kolorae sendiri kemungkinan diberi arti berdasarkan

8
letaknya yang di ujung pulau. “Kolo” berarti ujung dan “Rae” berarti
pulau. Dusun satu diberi nama sama dengan nama Desa Kolorae.
1. Dusun satu dinamakan Kolorae.
Nama Dusun ini menurut cerita kepala Desa Kolorae berarti
benteng pertahanan untuk Pulau Raijua bagian atas. Tempat
tersebut awalnya merupakan satu-satunya rumah adat orang Sabu
di Pulau Raijua sehingga dipagari dua lapisan pagar batu. Dusun
Kolorae berada paling ujung Selatan desa dan berbatasan dengan
Desa Ballu.
2. Dusun Dua dinamakan Boko
Dusun Boko berada dalam sebuah dataran rendah
menyerupai sebuah baskom, dalam bahasa Indonesia lainnya
disebut bokor. Karena bentuk desa yang menyerupai bokor maka
dalam dalam bahasa Sabu desa tersebut dinamai boko. Menurut
kepala urusan umum Desa Kolorae yang merupakan tua adat dan
dihormati di Dusun Boko.
Awal mula Dusun itu berasal dari dua orang kakak beradik,
yang paling tua bernama “Nera Bia” dan yang muda bernama
“Ngeda Bia”. Si sulung mempunyai kebiasaan jelek semasa muda
yaitu suka mencuri dan sang bungsulah yang menentang
perbuatannya karena memalukan nama baik keluarga.
Mereka sepakat untuk mengangkat sumpah untuk tidak
akan melakukan perbuatan mencuri lagi. Sumpah tersebut
dilakukan untuk mencegah pertumpahan darah yang bisa terjadi
akibat perbuatan mencuri. Sumpah itu menandakan tidak ada
pertumpahan darah atau disebut “book”. Oleh karena itu sampai
sekarang nama boko tetap dipakai sebagai nama Dusun Boko.
3. Dusun Tiga dinamakan Deme
Menurut kepala Dusun Deme, nama Dusun “Deme”
berawal dari sebuah sumur yang di sebut “Deme”. Sebagian besar
masyarakat dan orang tua-tua di Desa Kolorae tidak mengerti asal
mula nama dusun tersebut. Mereka hanya berkesimpulan secara
lurus bahwa dalam bahasa Sabu “Deme” berarti hewan laut yang
berduri dan dagingnya bisa di makan, dalam bahasa Indonesia
hewan tersebut disebut landak.

9
Menurut tetua adat desa NR (48 tahun), asal mula Dusun
“Deme” berawal dari cerita tentang sepasang suami dan istri.
Mereka pergi mencari gurita di laut dan kaki sang istri menginjak
duri landak, mereka kemudian pulang dan sampai di tempat mata
air. Dibasuhlah kaki istri untuk mengurangi sakit sambil
mengucapkan janji “biarlah sakit akibat tikaman duri-duri landak
ini bisa sembuh”. Waktu terus berjalan, masyarakat sekitar
menggali sumber mata air itu menjadi sumur yang disebut
“Deme”.
4. Dusun empat dinamakan Loko Juli
Nama Dusun ini jika diterjemahkan secara langsung dari
bahasa Sabu berarti kerang. Bapak HHH (70 tahun) yang tinggal di
Dusun tersebut mengisahkan cerita di balik pemberian nama dan
sejarah desa tersebut sehingga dinamakan Loko Juli.
Di atas sebuah gunung bernama “Lederato” yang terletak
di Desa Ballu, desa tetangga dari Desa Kolorae. Hiduplah tiga
orang bersaudara. Ketiga saudara tersebut merupakan kakak
beradik. Dua orang berjenis kelamin perempuan bernama “Piga
Tuli dan Mojo Tuli”, dan saudara laki-laki bernama “Banngu”. Saat
“Banggu” pergi merantau ke luar Pulau Raijua, datanglah seekor
ular besar yang membawa lari dua orang perempuan muda itu.
Dalam bahasa Sabu ular besar di sebut “Ula”. Sesaat
setelah saudara laki-lakinya pulang kembali, ia tidak mendapati
kedua saudarinya di rumah. Setelah ditelusuri dari informasi yang
disampaikan oleh masyarakat sekitar, maka ia berkesimpulan
bahwa ada seekor ular yang telah membawa kedua saudarinya ke
hutan besar yang bernama “Jami Ae”.
Ia berkemas dengan membawa sebilah parang panjang
yang telah di asah sebelumnya. Sesampainya di hutan “Jami Ae”
terlihat dua saudarinya sedang tidur berpelukan dengan ular besar
itu. “Banggu” terkejut bercampur emosi ketika melihat peristiwa
itu, akhirnya dibunuhlah “Ula” tersebut dengan cara di potong
kepalanya.
Sepanjang perjalanan “Banggu” terus memukul “Piga Tuli”
karena sedang hamil besar akibat perbuatannya. Sampai di tempat
yang bernama “Dahi Mane” saudarinya yang sedang hamil itu

10
melahirkan seekor anak ular laut yang warna tubuhnya putih, biru,
hitam. Mereka menamai ular itu “Ne”. Ketiga bersaudara
meninggalkan binatang laut di tempat itu sambil melanjutkan
perjalanan, “Piga Tuli” dipukul lagi sampai di tempat yang bernama
“Wadu Udu” ibu hamil itu bersalin untuk kedua kalinya dan
mengeluarkan seekor ular darat yang mereka namai “Ngidu”.
Kemudian mereka bertiga meninggalkan ular tersebut sambil
berlalu pergi sampai di sebuah sungai “kali”. Untuk ketiga kalinya
“Piga Tuli” melahirkan sebuah kerang laut yang dalam bahasa Sabu di
sebut “Wo Juli” (sekarang tempat itu berdiri sebuah gereja).
Kemudian ditinggalkannya kerang itu dan meneruskan perjalanan
sambil terus memukul “Piga Tuli” sehingga melahirkan seorang bayi
perempuan di tempat yang bernama “Rai Lara”.
Ketiga bersaudara itu tidak mau mengambil bayi tersebut dan
melanjutkan perjalanan sampai rumah mereka di “Lederato”.
Akhirnya bayi mungil yang memiliki tubuh berwarna keemasan
tersebut diambil oleh seseorang yang datang dari atas langit
bernama “Plodo Liru”. Masyarakat sekitar yang tinggal berdekatan
dengan sungai “kali” datang untuk membuka kerang “Wo Juli” dan
mendapati sebuah mutiara. Dari cerita yang diadopsi tersebut,
sampai sekarang tempat itu ditambah ejaannya menjadi “Loko Juli”.
5. Dusun lima dinamakan Lobowalu
Cerita asal mula Dusun Lobowalu cukup singkat, menurut
Kepala Dusun Lobowalu. Dulu di Dusun Lobowalu terdapat sebuah
waduk besar dan merupakan mata air di tempat itu. Oleh karena itu
kepala desa yang pertama kali memimpin desa ini memberi nama
Dusun ini dengan nama “Lobowalu” yang berasal dari waduk atau
kolam tersebut. Hal ini juga sesuai dengan terjemahan lurus
“Lobowalu” dari bahasa Sabu yang berarti waduk atau kolam.
2.2. Perkembangan Wilayah dan Desa
Setelah mengetahui asal usul desa maka pada bagian ini akan
dijelaskan perkembangan wilayah dan desa yang terjadi dalam kurun waktu
5 sampai 10 tahun yang lalu. Pada tahun 2008 Kepulauan Sabu Raijua
menjadi Kabupaten yang berdiri sendiri. Semenjak terpisah dari Kabupaten
Kupang, terjadi perkembangan yang cukup signifikan dalam hal
pembangunan.

11
Peneliti memperoleh keterangan perkembangan wilayah desa dari
Kepala Desa setempat. Dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya,
Desa Kolorae telah mengalami banyak perubahan. Salah satunya adalah
dibukanya akses jalan ke desa. Jalan pengerasan tanah mulai dilakukan
tahun 2007 dan terus dilanjutkan hingga tahun 2013 hingga mencapai
panjang 1.500 km. Pada tahun 2012 akses jalan menuju pelosok desa
mulai dibangun yang dikenal dengan jalan “Rabat”. Jalan “Rabat” adalah
jalan yang dibangun dengan bahan kerikil, tanah putih, pasir dan semen
dibentuk dengan cetakan persegi berdiameter 1x1 m2.

Gambar 2.1
Jalan desa yang berasal dari pengerasan tanah
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Sejak dibangun jalan, mulai banyak penduduk Desa Kolorae yang
mempunyai kendaraan bermotor. Sebelumnya hanya beberapa orang
penduduk yang mempunyai motor. Pada tahun 2010, truk mulai masuk ke
Pulau Raijua. Sampai tahun 2014 ini terdapat kurang lebih dua puluh truk
di Pulau Raijua. Namun hal ini tidak didukung dengan ketersediaan Bahan
Bakar Minyak (BBM) yang harus dikirim dari pulau lain. Tidak terdapat pom
bensin di Kabupaten Sabu Raijua sehingga harga per liter melambung
tinggi berkisar Rp. 20.000 di Kecamatan dan semakin mahal jika membeli
di Desa Kolorae Rp. 35.000. Di Desa Kolorae terdapat kendaraan bermotor
sebanyak 6 unit dam truk, 2 unit pick up merek Suzuki Carry dan 19 sepeda
motor milik warga di Desa Kolorae. Delapan mobil tersebut digunakan
untuk memuat bahan material dan kebutuhan pasar.
Selain jalan darat, bertambahn juga ketersediaan sarana
transportasi laut. Sebelumnya sulit bagi penduduk untuk keluar masuk
pulau karena hanya ada kapal yang menyeberang seminggu sekali.

12
Sebelum tahun 1997 sarana penyeberangan masih menggunakan
perahu dengan kapal layar. Dari Pulau Raijua, untuk menyeberang ke
ibukota Kabupaten diperlukan waktu dua hari dua malam tergantung
arah angin dan arus laut.
Namun setelah tahun 1997 perahu motor mulai masuk ke Pulau
Raijua dan frekuensi penyeberangan bertambah menjadi seminggu tiga
kali. Sekarang ini penyeberangan dengan perhu motor tersedia setiap
hari. Untuk kelancaran transportasi laut, pemerintah juga telah
membangun mercusuar sebagai penunjuk arah bagi para nelayan.
2.2.1. Pembangunan Pendidikan
Pembangunan di Pulau Raijua terus menggeliat, termasuk di
bidang pendidikan. Pada tahun 2004 hanya terdapat satu Sekolah
Menengah Pertama (SMP) yang terletak di Kelurahan Ledeunu, akan
tetapi pada tahun 2012 satu SMP lagi didirikan di Desa Ballu. Pada
tahun yang sama juga telah berdiri Sekolah Menengah Atas Negeri
(SMAN) pertama di Pulau Raijua yang terletak di Kelurahan Ledeke.
Sebelumnya anak usia sekolah yang ingin melanjutkan SMA harus
menyeberang dan tinggal di Pulau Sabu ataupun Kupang.
Hanya ada satu SMA dan dua SMP di Pulau Raijua sehingga tidak
mudah untuk siswa untuk mencapai sekolah karena jarak tempuh yang
jauh dan keterbatasan transportasi umum. Untuk siswa yang bersekolah
di semua tingkatan, terkecuali SD dan PAUD, harus bangun jam 4 pagi
agar bisa berangkat sekolah jam 5 pagi. Mereka harus berjalan kaki
selama satu setengah jam agar tiba di sekolah jam 06.30.
Jadwal pelajaran dimulai pada jam 07.00 pagi dan selesai pada
pukul 13.30. Menurut informan T (17 tahun), “Kita anak-anak dari
Kolorae tidak pernah terlambat masuk sekolah”. Karena berangkat
terlalu pagi, kebanyakan siswa yang menempuh perjalanan jauh hanya
meminum air gula sebagai sarapan pagi. Mereka tidak membawa bekal
air minum ataupun makanan ke sekolah. Siswa baru makan untuk
pertama kali di hari itu ketika sampai di rumah sekitar pukul 15.00.
Banyak dari orang tua menyekolahkan anak mereka yang lulus
dari SMP ke SMA di ibukota Kabupaten atau di Kota Kupang.
Pertimbangan orang tua menyekolahkan anak di tempat tersebut
adalah agar anak tidak harus menempuh jarak yang jauh untuk
sekolah. Alasan lainnya orang tua ingin agar anaknya memperoleh

13
kualitas pendidikan yang lebih baik. SMAN 1 Raijua baru saja berdiri
dan hanya memiliki satu guru yang merupakan Pegawai Negeri Sipil
(PNS) dan tujuh guru honorer yang diperbantukan dari SMP maupun
SD setempat. Kurangnya guru terkadang membuat kelas kosong
ataupun digabungkan karena tidak ada guru yang mengajar.
Untuk Sekolah Dasar (SD) dari tiga desa dan dua kelurahan
yang ada, empat diantaranya telah memiliki SD sendiri dengan gedung
permanen. Secara umum gedung-gedung sekolah yang ada cukup
memadai untuk menunjang kegiatan belajar dan mengajar. Bangunan
permanen dengan cat yang masih baru terlihat bersih walaupun masih
ditemukan ruang-ruang kelas dengan langit-langit rusak dan kaca
ruang kelas yang pecah.
Khusus Desa Kolorae terdapat dua SD yaitu di Dusun Loko Juli
dan Dusun Boko. SD Loko Juli telah berdiri sejak tahun 1959. Pada
tahun 2009, SD Loko Juli direnovasi dari sebelumnya hanya tiga kelas
ditambahkan hingga enam kelas. Namun SD Loko Juli tidak lagi dapat
menampung siswa yang ada sehingga didirikan SD Boko sejak tiga
tahun lalu (2012).
Di Desa Kolorae belum berdiri Taman Kanak-Kanak, akan tetapi
sejak tahun 2013 mendapat bantuan dari Dinas Pemuda dan Olahraga
(DPO) dengan Anggaran Dasar Rumah Tangga (ADRT) sebesar Rp. 5
Juta. Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tersebut dijalankan
oleh pengurus Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) setempat
dengan menunjuk dua orang warga desa sebagai pengajar dengan
latar belakang pendidikan SMP.

Gambar 2.2
Aktivitas bermain dan belajar di PAUD Me’ri
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

14
PAUD ini diikuti oleh anak yang berumur tiga sampai dengan
lima tahun. Anak mendapat aktivitas bermain dan pengenalan huruf
dan angka seperti tingkat Taman Kanak-Kanak dengan jadwal
seminggu tiga kali. Menurut informan YT (42 tahun), “Sekarang ini
anak-anak son (tidak) mau pi (pergi) ke PAUD lagi karena su (sudah)
bosan dengan permainan yang itu-itu sa (saja)”. Saat kegiatan PAUD
berlangsung menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Sabu dan juga
bahasa Indonesia.

Gambar 2.3
Suasana SD menjelang masuk kelas dan SMP yang sedang dibangun
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Di Pulau Raijua biaya pendidikan untuk tingkat Sekolah Dasar
(SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak dipungut biaya.
Khusus untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) masih dikenakan biaya
sebesar Rp. 51.000 per bulan untuk membayar guru honorer. Pada
tingkat SD, selain biaya sekolah yang gratis, sekolah juga memberikan
satu pasang seragam gratis bagi siswa yang mendaftar.
Secara fisik fasilitas pendidikan cukup mendapatkan perhatian
dari pemerintah setempat. Pada saat peneliti berada di lokasi, gedung
SMPN 2 Raijua sedang dibangun dengan dana bantuan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Untuk
tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri, bangunan tampak baru.
SMAN 1 Raijua memang baru saja berdiri pada tahun 2012 dan baru
meluluskan dua angkatan.

15
Gambar 2.4
Siswa berjalan kaki cukup jauh menuju ke sekolah
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Tokoh masyarakat setempat, Bapak LBB (45 tahun) yang
menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
yang berasal dari desa setempat berpendapat,
“Kecamatan Raijua masih memerlukan dua tambahan SMP dan
satu SMA lagi. Sekolah yang ada sekarang masih terlalu jauh
untuk para siswa di pulau. Harapan saya nanti akan ada
sekolah lanjutan tambahan sehingga anak-anak Raijua tidak
perlu meninggalkan desa untuk melanjutkan pendidikan dasar.
Anak-anak hanya meninggalkan Pulau Raijua untuk kuliah saja.
Pemerintah Kabupaten juga telah memprioritaskan pendidikan
setara dengan pembangunan ekonomi dan kesehatan. Setiap
tahun pemerintah daerah menggelontorkan dana 4 sampai 5
milyar dari APBD untuk pengembangan pendidikan. Dana ini
sebagian besar dipakai untuk menyekolahkan guru hingga
tingkat S1, juga pelatihan guru-guru untuk penguasaan mata
pelajaran IPA, matematika dan untuk persiapan ujian nasional.
Pendidikan di Pulau Raijua masih dihadapkan dengan
permasalahan klasik pendidikan di Indonesia, yaitu jumlah guru yang
kurang memadai. Tidak banyak guru yang bersedia ditempatkan di
Pulau Raijua karena lokasi yang sulit dijangkau, tidak adanya
perumahan untuk guru pendatang dan rotasi guru yang dirasa tidak
tepat. Rotasi guru menyebabkan masyarakat kehilangan guru yang
menyatu dengan masyarakat setempat.

16
2.2.2. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Tahun 2013 penduduk Pulau Raijua dapat menikmati listrik
baik siang dan malam karena terdapat Pembangkit Listrik Tenaga
Surya (PLTS) terpadu yang dibangun pemerintah. Menurut Kepala
Desa Kolorae akibat pembangunan PLTS terpadu ini cakupan listrik ke
seluruh Pulau Raijua bisa dikatakan cukup luas jika dibandingan di
Pulau Sabu. Hal ini disebabkan Pulau Raijua lebih kecil jika
dibandingkan pulau Sabu. Penduduk Pulau Raijua dapat menikmati
listrik 24 jam. Namun sayangnya pasokan listrik yang sudah baik ini
mengalami kendala, di awal tahun 2014 terjadi kerusakan pada PLTS
sehingga penduduk harus mengalami pemadaman bergilir. Listrik
hanya menyala selama 12 jam dari pukul 18.00 sampai dengan 06.00
pagi selama dua hari. Di hari ketiga listrik hanya menyala selama tujuh
jam pada pukul 23.00 malam sampai dengan jam 06.00 pagi.
Sebelum ada PLTS hanya penduduk yang mampu secara
ekonomi yang dapat menikmati listrik. Mereka menggunakan
generator dengan bahan bakar solar. Satu liter solar berharga Rp.
20.000 sampai Rp. 35.000 rupiah. Diperlukan satu liter solar untuk
menyalakan generator selama empat jam. Bagi kebanyakan penduduk
yang hidup sederhana, untuk penerangan menggunakan lampu
petromak, sentir dan pelita. Terdapat juga juga penduduk yang
menggunakan panel PLTS dengan kapasitas kecil yang diberikan
pemerintah sebagai bantuan untuk masing-masing rumah. Namun
panel ini kebanyakan kurang perawatan sehingga rusak dan tidak
dapat digunakan lagi.
Sebelum ada PLTS terdapat kebiasaan menonton TV bersama
di rumah kepala desa. TV ditaruh di luar rumah dan penduduk
beramai-ramai menonton, namun kebiasaan ini mulai berkurang
karena sudah banyak rumah tangga yang memiliki TV. Sekarang ini
lebih dari sepuluh rumah tangga sudah memiliki TV. Akibat
pemadaman listrik yang bergilir, pada malam hari anak-anak harus
belajar dalam kegelapan. Untuk keluarga yang mempunyai generator,
mereka bisa menyalakan generator sambil menunggu listrik menyala
hingga jam 11 malam.

17
Gambar 2.5
Panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya terpadu dan individual
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Di Pulau Raijua belum ada penyedia jasa telekomunikasi yang
membangun menara pemancar sinyal sehingga sinyal telepon sulit
didapat. Walau begitu, pada tahun 2013 terdapat mesin penguat
sinyal sehingga penduduk dapat dengan mudah berkomunikasi
dengan sanak saudara. Kemudahan ini hanya berlangsung sebentar
karena di tahun 2014 penguat sinyal tersebut rusak. Untuk
berkomunikasi penduduk harus naik ke “bukit sinyal” dan ke dermaga
“Namo” agar mendapat sinyal. Sulitnya mencari sinyal juga
berdampak pada sulitnya komunikasi antara masyarakat dengan
tenaga kesehatan di Puskesmas yang berada di Kecamatan.
Masyarakat kesulitan untuk menghubungi bidan jika ada ibu hamil
yang mau melahirkan.
2.3. Geografi dan Kependudukan
2.3.1. Geografi
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (Sabu Raijua dalam
angka, 2012). Kepulauan Sabu terletak pada 1210 16’10,78 sampai 122
0’30,26”0 Bujur Timur dan 100 25’7,12” sampai 10 49’45,83”0 Lintang
Selatan. Wilayah Kabupaten Sabu Raijua mencakup ketiga pulau, yaitu
Pulau Sabu, Pulau Raijua, dan Pulau Dana yang merupakan pulau tidak
berpenghuni. Kepulauan ini termasuk Provinsi Nusa Tenggara Timur
dan terletak diantara Pulau Sumba, Pulau Rote dan Pulau Timor.
Kabupaten Sabu Raijua dikelilingi oleh Laut Sabu di sisi Utara
dan Barat, Timur, dan berbatasan dengan samudera Indonesia di
sebelah Selatan. Pulau Dana sendiri termasuk pulau terluar di Selatan

18
Indonesia yang berbatasan langsung dengan Pulau Pasir milik
Australia.
Pada tahun 2008 Karena dirasakan perlunya percepatan
pembangunan untuk daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) maka melalui
Undang-Undang Republik Indonesia nomer 52 tahun 2008 tanggal 26
November 2008 dibentuklah Kabupaten Sabu Raijua.
(http://www.dpr.go.id/document/uu/UU_2008_52.pdf).

Gambar 2.6
Peta wilayah Kabupaten Sabu Raijua
Sumber:http://savuraijuatourism.com
Kabupaten yang baru terbentuk ini mempunyai enam
kecamatan menurut wilayah administrasi dalam pemerintahan. Secara
tradisional pembagian daerah ini juga mengikuti wilayah adat yang
sebelumnya telah terbentuk. Enam wilayah adat tersebut adalah
wilayah adat Kecamatan Sabu Barat (Menia) yang berada di bagian
Barat, Wilayah adat Kecamatan Sabu Timur (Bolou), Wilayah adat
Kecamatan Liae (Ei Logo) di bagian Selatan, Wilayah adat Kecamatan
Mesara (Hawu Mehara/tanah Jawa) di bagian Barat laut, Wilayah adat
Sabu Tengah (Ie Mada) dan wilayah adat Kecamatan Raijua terletak di
pulau tersendiri yang berada di bagian Barat laut.

19
Gambar 2.7
Kapal Feri untuk mencapai Kabupaten Sabu Raijua dari Kupang
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Untuk mencapai Kabupaten Sabu Raijua dapat dicapai melalui
jalur udara maupun laut Ibu dari Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur,
yaitu Kupang. Setiap hari terdapat jadwal penerbangan pesawat kecil
Cessna Grand Caravan Commuter berisi 12 penumpang dari Bandara
El Tari Kupang menuju Bandara Tardamu di Kabupaten Sabu Raijua.
Penerbangan dari Kupang ke Pulau Sabu dapat ditempuh
dalam waktu satu jam tiga puluh menit. Selain jalur udara, perjalanan
juga bisa ditempuh dengan jalur laut. Untuk jalur laut perjalanan
dilakukan dengan kapal Feri cepat selama empat jam dari Pelabuhan
Tenau Kupang ke Pelabuhan Seba di Kabupaten Sabu Raijua. Terdapat
pilihan lain untuk ke Pulau Sabu yaitu dengan Feri lambat yang
ditempuh selama 16 jam.
Untuk penyeberang dengan kapal feri dari Kupang menuju
Pulau Sabu bukan merupakan perjalanan yang mudah karena
gelombang di Laut Sabu terkadang tidak bersahabat. Dalam
perjalanan terdengar bunyi benturan gelombang yang menghantam
lambung kapal Feri cepat yang terbuat dari fiber glass. Tak jarang
situasi ini membuat kapal terguncang sehingga penumpang mabuk
laut di dalam perjalanan yang cukup panjang ini.

20
Gambar 2.8
Tanjung Lede Raga sebagai pintu gerbang Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Untuk menuju Kecamatan Raijua yang merupakan pulau
tersendiri diperlukan satu kali penyeberangan lagi. Setelah tiba di
Pulau Sabu pengunjung harus menyeberangi Selat Raijua. Biasanya
pengunjung yang baru tiba siang atau sore hari di pulau Sabu harus
menginap sehari terlebih dahulu di Pelabuhan Seba. Penyeberangan
dengan perahu kayu bermotor ke Pulau Raijua kebanyakan dilakukan
di pagi hari karena pada siang hari gelombang mulai besar.
Selat Raijua memang terkenal dengan gelombangnya yang
ganas sehingga pada waktu tertentu tidak dapat diseberangi. Selat ini
menjadi pertemuan tiga arus laut yang berasal dari Samudra Hindia,
Laut Sawu, dan Selat Sumba. Jika cuaca normal dari Pelabuhan Seba
hanya diperlukan waktu 2-2,5 jam untuk menyeberang ke Selat Raijua.
Sekarang ini untuk mencapai Pulau Raijua tidak sesulit dahulu.
Terdapat beberapa pilihan transportasi untuk menyeberang ke Pulau
Raijua, yaitu kapal motor nelayan bermesin tiga yang beroperasi
setiap hari dan juga kapal perintis yang bersandar di Pulau Raijua dua
minggu sekali. Kapal perintis lebih besar sehingga lebih tahan akan
gelombang dibandingkan perahu motor nelayan.
Keadaan cuaca yang tidak menentu juga turut menentukan
tarif penyeberangan perahu motor nelayan. Jika cuaca bagus, sekali
menyeberang dipatok harga Rp. 50.000 namun jika cuaca buruk maka
sekali menyeberang bisa membayar Rp. 100.000.

21
Faktor cuaca masih menjadi kendala utama yang menghambat
mobilitas penduduk untuk keluar-masuk pulau. Hal ini berpengaruh pada
bidang kesehatan dan ekonomi penduduk setempat. Harga barang-barang
di Pulau Raijua tergolong mahal karena jalur distribusi yang panjang dan
kesulitan untuk mencapai pulau. Dari bidang kesehatan, penduduk
setempat enggan mengikuti saran rujukan dari Puskesmas setempat untuk
melanjutkan pengobatan ke Rumah Sakit di Kabupaten. Hal ini
dikarenakan jarak, sulitnya perjalanan, waktu dan biaya yang cukup mahal.
.

Gambar 2.9
Perahu Motor Nelayan untuk menyeberang ke Pulau Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
2.3.1.1 Pulau Raijua
Pulau Raijua mempunyai luas 38,160 Km2 dan dikelilingi oleh laut
sehingga setiap desa di pulau ini selalu mempunyai bagian yang
bersentuhan dengan pantai. Tanah di pulau ini berbatu dan berbukit-bukit,
sebagian besar terdiri dari bukit kapur dan tanah Alluvial. Rata-rata
ketinggian tanah di Pulau Raijua antara 0– 50 meter di atas permukaan
laut (mdpl). Bukit tertinggi yang biasa masyarakat sebut sebagai gunung,
diperkirakan mencapai 200 mdpl (Raijua dalam angka, 2012).

Gambar 2.10
Jenis dan kontur tanah yang berbukit-bukit
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

22
Kecamatan Raijua sendiri terdiri dari tiga desa dan dua
kelurahan, yaitu Kelurahan Lede Unu, Kelurahan Ledeke, Desa Bolua,
Desa Ballu dan Desa Kolorae. Desa Kolorae merupakan desa paling
Selatan dari pulau tersebut, dan terjauh dari pusat pemerintahan di
kecamatan. Untuk mencapai Desa Kolorae dari kecamatan, jarak yang
ditempuh kurang lebih 9,5 km dan memakan waktu sekitar 45-60
menit menggunakan sepeda motor melalui jalan di pesisir pantai.
Sebelum bulan Mei 2015, kendaraan roda empat seperti mobil
dan truk tidak bisa melewati jalan pantai karena lebar jalan yang
kurang memadai. Pada akhir Mei 2015, pelebaran jalan tepian pantai
dilakukan sehingga jalan tersebut bisa dilalui oleh kendaraan roda
empat. Sebelum jalan pantai dilebarkan, kendaraan roda empat hanya
bisa melewati jalan desa yang berbatu yang memerlukan waktu lebih
lama. Jalan ini jika musim hujan datang terputus dan tidak dapat
dilalui oleh kendaraan bermotor. Penduduk harus menunggu jalanan
mengering karena panas matahari agar dapat dilewati kembali.
Kondisi jalan yang berbatu dan rusak sehingga sulit dilewati membuat
kecamatan dipersepsikan jauh oleh penduduk Desa Kolorae.
Salah satu bidan Puskesmas Kecamatan pernah menjemput ibu
yang akan melahirkan, beliau menjemput pukul dua pagi dan tiba di
Puskesmas pada jam lima pagi. Kondisi jalan yang jelek juga membuat
orang yang sudah tua tidak mau pergi berobat ke Puskesmas karena
merasa badan bertambah sakit jika terguncang-guncang melewati jalan.

Gambar 2.11
Pelebaran jalan tepi pantai agar bisa dilewati kendaraan roda empat
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

23
Di Pulau Raijua terdapat tiga pelabuhan yaitu Pelabuhan Namo
di Desa Lede Unu, “pelabuhan rakyat” Menanga di Desa Ballu dan
Pelabuhan Ai Bego di Desa Kolorae. Di pelabuhan Namo kapal Feri dari
Kupang dan Ende dapat berlabuh, begitu juga kapal motor nelayan
dari pelabuhan Seba. “Pelabuhan Rakyat” Menanga merupakan lokasi
budi daya rumput laut bagi sebagain besar penduduk Desa Kolorae.
Sebagian besar perahu nelayan dari Sumba bersandar di “Pelabuhan
Rakyat” Ai Bego.
Pulau Raijua mempunyai potensi wisata yang menarik para
surfer karena pantainya yang bersih dan juga gelombang laut yang
besar. Namun, belum banyak wisatawan yang mengetahui
keberadaan pulau ini. Pemerintah daerah mulai berbenah diri, sarana
pendukung pariwisata seperti penginapan sudah mulai dibangun.
Belum terdapatnya transportasi umum di dalam Pulau Raijua.
Sebagian besar masyarakat terbiasa berjalan kaki atau menumpang
mobil pick up dan dam truk yang lewat.

Gambar 2.12
Pelabuhan Namo dan Ai Bego
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
2.3.1.2 Iklim dan Cuaca
Keadaaan iklim di pulau-pulau yang termasuk Nusa Tenggara
Timur berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Kepulauan Sabu yang
lebih Selatan terpengaruh dengan geografisnya yang dekat dengan
Australia sehingga lebih gersang dan mempunyai musim kemarau
yang panjang dengan curah hujan yang sedikit (Fox, 1996).
Pulau Raijua merupakan pulau yang terletak paling Selatan
sehingga lebih kering jika dibandingkan dengan pulau-pulau lain di
Nusa Tenggara Timur. Musim hujan di Pulau Raijua berlangsung
sangat singkat, yaitu pada bulan Desember, Januari, Februari. Pada

24
bulan ini terjadi musim Angin Barat sehingga angin sangat kencang.
Pada musim ini sering terjadi hujan angin sehingga mematahkan atau
menumbangkan pohon-pohon. Hujan angin terkadang menyebabkan
atap rumah lepas dan harus diperbaiki kembali setelah hujan reda.
Pada situasi ini tidak ada penduduk yang berani keluar rumah atau
pergi mencari ikan di laut. Pada musim tersebut terjadi gelombang
besar di Laut Sabu dan Selat Raijua, tinggi gelombang bisa mencapai
tiga sampai dengan empat meter sehingga menghentikan pelayaran.
Kondisi ini menyebabkan penyeberangan dari Kupang ke Pulau Sabu
dan Pulau Raijua sulit untuk dilakukan.
Pada musim Angin Timur, yaitu bulan Juni, Juli dan Agustus
terjadi musim kemarau dimana Angin Timur yang bertiup kencang
menerbangkan debu-debu dan pasir dari tanah jalan yang tidak
beraspal. Situasi ini membuat penduduk rentan akan penyakit yang
berhubungan dengan infeksi saluran pernafasan bagian atas (ISPA).
Ketika peneliti datang pada bulan Mei, Angin Timur yang membawa
udara kering sudah mulai bertiup sehingga menyebabkan beberapa
orang yang peneliti kenal terkena flu. Menurut mereka, angin ini akan
bertambah kencang pada bulan Juli dan Agustus.
Baik pada musim Angin Barat maupun Angin Timur Badan
meteorologi dan geosfisika setempat tidak jarang mengeluarkan
pengumuman untuk menghentikan keberangkatan kapal. Perjalanan
kapal dapat ditunda selama beberapa hari menunggu kondisi cuaca
membaik. Situasi ini dapat berlangsung hingga seminggu sehingga
banyak aktivitas yang berhubungan dengan laut dihentikan. Nelayan
tidak ada yang berani turun ke laut untuk memancing ikan. Hal ini
menyebabkan pasokan ikan terhenti dan penduduk hanya
mengkonsumsi makanan yang dimiliki. Pada musim gelombang, kapal
yang membawa sayur mayur juga tidak berlayar. Penduduk bertahan
dengan bahan makanan yang mereka punya seperti beras, sorgum
dan kacang hijau.
Sejak dahulu pohon lontar merupakan penyelamat orang Sabu
dari kelangkaan pangan. Panen sorgum (Andropogon Sorghum) dan
kacang hijau yang dihasilkan dari hanya cukup untuk enam bulan.
Enam bulan berikutnya penduduk memanfaatkan air irisan bunga
lontar sebagai makanan utama (Fox, 1996). Sampai saat ini penduduk

25
juga masih memanfaatkan air irisan lontar untuk diminum sendiri
maupun untuk memberi makan ternak babi. Namun sekarang air
irisan daun lontar maupun air gula Sabu tidak lagi menjadi makanan
utama karena taraf ekonomi yang membaik. Akibat berhasilnya
pertanian rumput laut penduduk mampu membeli beras satu karung
sekaligus untuk persediaan satu bulan.

Gambar 2.13
Pohon Lontar dan sorgum sebagai sumber penghasilan utama
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Musim iris lontar biasanya mulai setelah musim panen sorgum
berakhir yaitu bulan Juli-Oktober. Panen air tuak yang berlimpah pada
bulan tersebut kemudian dimasak hingga mengental untuk menjadi
gula Sabu. Gula Sabu yang kental ini awet disimpan selama bertahun-
tahun untuk persediaan keluarga sampai musim panen selanjutnya
tiba. Jika ada produksi gula Sabu yang berlebih maka kelebihan itu
dijual kepada tetangga yang membutuhkan.
Penduduk memelihara ternak seperti kerbau, kambing,
domba, kuda, babi dan juga ayam dengan cara dilepas di sekitar
lingkungan. Penduduk tidak memelihara ayam petelur, ayam yang
banyak dipelihara merupakan ayam jantan untuk petarungan di arena
pasar. Penduduk tidak mengurung atau mengikat hewan dalam
kandang karena kesulitan untuk mencari air dan rumput sebagai
pakan ternak. Hewan dibiarkan mencari makan sendiri di padang
rumput atau pun perkarangan rumah.
Terdapat masa dimana hewan-hewan tersebut diikat, yaitu ketika
masa tanam dimulai. Hewan-hewan tersebut diikat agar tidak memakan
tanaman yang sedang tumbuh. Namun hewan-hewan tersebut kembali
dilepas ketika masa panen telah berakhir. Hewan dilepas bebas karena

26
terdapat ritual adat dimana hewan ditangkap oleh pemimpin adat dan
pengikut untuk keperluan ritual. Pemilik hewan yang peliharaannya
ditangkap tidak boleh menolak dan harus mengikhlaskan hewannya
untuk keperluan ritual. “…eee mereka boleh tangkap siapa saja punya,
harus mau… tidak boleh protes” begitu menurut Kepala Desa Kolorae.

Gambar 2.14
Hewan-hewan yang bebas berkeliaran
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Penduduk tidak merasa khawatir bahwa hewan peliharaan mereka
akan hilang atau diambil orang. Pulau Raijua merupakan pulau yang aman
dari pencurian karena mudah untuk mengetahui dan menangkap
pencurinya. Penduduk juga saling mengetahui siapa pemilik hewan
masing-masing. Pemilik menandai hewan peliharaan mereka dengan
memberi tanda lubang di kuping dengan bentuk lubang yang berbeda.
Hewan yang berkeliaran membuat pengemudi kendaraan
bermotor harus lebih berhati-hati. Terkadang mobil yang melintasi jalan
harus mengerem mendadak karena ada binatang yang menyeberang
jalan. Seiring dengan penambahan jumlah kendaraan bermotor di Pulau
Raijua, keamanan berkendaraan perlu semakin diperhatikan.
2.3.1.3 Musim Hujan yang Singkat
Akibat musim hujan yang singkat, Kecamatan Raijua sering
mengalami kekeringan dan kesulitan air. Setelah musim hujan berakhir
pada bulan Februari, sumur-sumur yang ada mulai mengering. Ladang-
ladang juga mulai mengering karena hanya menggunakan sistem
pengairan tadah hujan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah
daerah telah membuat solusi dengan membuat penampungan air seperti
danau kecil yang dikenal dengan nama “embung”.

27
Gambar 2.15
Embung dan kolam untuk tempat penampungan air hujan
Sumber: Dokumen Peneliti, 2015.
Embung digunakan untuk menampung cadangan air untuk
ternak dan pengairan ladang. Akan tetapi pompa yang mengalirkan air
dari embung ke ladang tidak berfungsi sehingga masyarakat hanya
mengunakan air tersebut untuk memandikan hewan. Terkadang
masyarakat menggunakan cadangan air ini untuk mandi jika air di
dalam embung dianggap masih bersih. Curah hujan yang pendek dan
kondisi alam yang kering membuat tidak banyak tumbuhan bisa
bertahan hidup di pulau ini. Hanya sedikit tanaman yang dapat
tumbuh secara alami di Pulau Raijua yaitu tanaman sorgum, kacang
hijau, kacang merah, pohon lontar. Sayur mayur sulit hidup sehingga
penduduk setempat harus mengandalkan pasokan sayur mayur dan
buah dari luar Pulau Ende, Seba dan Kupang.
Kapal dari Ende selalu dinantikan oleh masyarakat yang
membutuhkan kebutuhan sehari-hari terutama sayur dan buah-
buahan. Kapal ini bersandar hanya dua sampai tiga minggu sekali di
Pulau Raijua. Kapal ini berangkat jam lima sore dari Ende dan tiba
pukul tujuh pagi di dermaga Namo. Antusiasme masyarakat dalam
menyambut kapal itu tercermin dari kepadatan dermaga Namo yang
biasanya sepi dari pengunjung.

28
Gambar 2.16
Kapal dari Ende berlabuh di Dermaga Namo, Pulau Raijua
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Menjelang kedatangan kapal, penduduk sudah berangkat dari
subuh agar tiba di dermaga sebelum kapal tersebut merapat. Penduduk
harus tiba sebelum kapal datang karena begitu kapal merapat. Pedagang
turun dari kapal dan proses transaksi jual beli langsung terjadi. Pembeli
berebut agar tidak kehabisan buah dan sayuran yang mereka butuhkan.
Para pedagang dari Ende turun membawa sayur dan buah,
barang dagangan yang paling banyak terihat adalah pisang. Dari
pembicaraan penduduk juga terdengar, mereka memang khusus pergi ke
hari kapal untuk membeli pisang. Selain pisang terdapat pedagang yang
membawa sayur sawi, kol, kangkung, tomat dan jeruk.

Gambar 2.17
Suasana jual beli di hari Kapal, Dermaga Namo
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Harga sayuran tergolong tinggi untuk satu buah sawi dihargai Rp.
15.000, tomat Rp. 10.000 untuk tujuh buah, pisang kecil berisi lima belas
buah berharga Rp. 15.000. Ada juga penduduk yang hanya meramaikan
dan tidak membeli apa-apa di hari kapal karena belum mempunyai uang.

29
2.4. Kependudukan
Berdasarkan data dari Badan Puat Statistik, (Raijua dalam
angka, 2014). Pulau Raijua mempunyai luas 36, 97 km2, total
penduduk yang bermukim di pulau tersebut sebanyak 8.494 jiwa.
Dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 4.339 jiwa dan penduduk
perempuan sebanyak 4.155. Diperoleh data bahwa 6.503 penduduk
Pulau Raijua beragama Protestan, 881 orang menganut kepercayaan
Jingitiu, 833 orang beragama Katolik dan 21 orang beragama Islam.
Prosentase dari Kementrian agama Kabupaten Kupang (2012),
mencatat bahwa 73,75% penduduk di Kecamatan Raijua beragama
Protestan, 22,93% menganut kepercayaan Jingitiu, 2,89% beragama
Katolik, 0,41% beragama Islam dan 0,02% beragama Hindu.

Tabel 2.1. Data Penduduk Desa Kolorae Menurut Agama


Agama Jumlah Pemeluk
Kristen Protestan 1.007
Kristen Katholik 112
Islam 0
Hindu 0
Budha 0
Lainnya/Jingitiu 368
Sumber: Kantor Desa Kolorae, April 2015
Untuk Desa Kolorae sendiri, di papan informasi Kantor Desa
Kolorae tahun 2014, tercatat, jumlah penduduk Desa Kolorae
sebanyak 1.475 jiwa. Dengan total Kepala Keluarga (KK) sebanyak 437
yang tersebar di lima Dusun. Dengan Jumlah penduduk laki-laki
berjumlah 715 orang dan penduduk perempuan sebanyak 760
penduduk. Mayoritas penduduk Desa Kolorae beragama Protestan
dengan jumlah 1007 orang, 368 orang menganut kepercayaan agama
suku Jingitiu dan 112 beragama Katolik. Penduduk menempati wilayah
Desa Kolorae yang mempunyai luas 9,94 km2 dengan kepadatan
penduduk sekitar 148 penduduk per km2 (Raijua dalam angka, 2014).
2.4.1. Pola Pemukiman di Desa Kolorae
Desa Kolorae terletak paling Selatan di Pulau Raijua. Berada
paling ujung diatas bukit setelah Desa Bolua dan Desa Ballu. Jalan
pengerasan dari tanah putih menjadi landasan bagi roda kendaraan yang

30
menuju ke desa ini. Jalanan lebih sering terlihat sepi, hanya satu dan dua
motor saja yang melintas saat pagi hingga malam hari. Padang rumput,
rumah berbahan daun lontar banyak terlihat di sepanjang perjalanan.
Baik di sisi kiri dan kanan jalan maupun di atas bukit-bukit yang berjarak
kira-kira 500 - 1000 Meter dari jalan. Beberapa rumah permanen juga
tampak berdiri kokoh di tepian jalan utama desa. Namun, sebagian besar
penduduk mendiami rumah daun, yaitu pondok sederhana berbahan
lontar dengan ukuran kira-kira 5x7 meter.

Gambar 2.18
Peta Desa Kolorae
Sumber : Kantor Desa Kolorae, 2015.
Rumah-rumah yang berdiri di Desa Kolorae terdiri dari tiga jenis
rumah yaitu Rumah Daun, Rumah Permanen (rumah tembok atau
rumah seng) dan Rumah Adat. Ketiga jenis rumah ini memiliki peranan
yang berbeda antara satu rumah dengan lainnya. Perbedaan tingkat
ekonomi dan pendapatan pemilik rumah juga dapat terlihat dari
rumahnya, rumah permanen dimiliki oleh keluarga yang tergolong
mampu secara ekonomi. Rumah-rumah ini berdiri di tanah keluarga
secara berkelompok.
Semua keluarga yang memiliki marga sama hidup berkelompok
dalam satu tanah keluarga. Kecuali saudara perempuan yang telah
menikah akan mengikuti tempat tinggal suaminya (patrilokal).
Menurut informan NR (56 tahun), pola pemukiman yang terpusat ini
bertujuan agar lebih mudah berkoordinasi dan menghadiri setiap
acara atau upacara ritual adat. Dengan pola pemukiman yang terpusat,

31
informasi dapat tersampaikan dengan cepat dan mudah. Menurut
penuturan NR, “Kalo tinggal terpisah ada acara susah untuk koordinasi”.
2.4.2. Pola Penyebaran Pemukiman
Walaupun pola pemukiman bersifat berkelompok, pola
penyebaran kelompok pemukiman di lima dusun Desa Kolorae
terbilang tidak merata. Setiap dusun terbagi atas wilayah atas “dida”
dan wilayah bawah “wawa” yang terdiri dari rukun tetangga dan
rukun warga. Wilayah yang terbagi dua tersebut tergantung posisi
kemiringan tanah.

Gambar 2.19
wilayah pemukiman atas “dida” dan wilayah pemukiman bawah “wawa”
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Jika wilayah dari suatu dusun terdapat wilayah dengan tanah


yang lebih tinggi maka wilayahnya dapat di sebut dusun atas “dida”.
Sebaliknya jika wilayah dari suatu dusun lebih rendah dari wilayah
lainnnya maka di sebut dusun bawah “wawa”. Letak pemukiman
warga paling banyak di bawah dan berdampingan dengan pohon-
pohon besar. Posisis tersebut bertujuan agar mendapat suasana teduh
di dalam rumah daun.

32
Gambar 2.20
Pagar batu sebagai batas halaman dan mencegah hewan masuk
Sumber : Dokumen Penelitian, 2015.
Para penduduk yang tinggal di rumah daun mempunyai batas
halaman yang ditandai dengan susunan batu karang yang berfungsi
sebagai pagar pembatas. Hal tersebut dimungkinkan sebagai pertanda
bahwa keluarga tersebut mempunyai hak atas tanah tersebut. Batas
pagar batu juga dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak hewan
ternak, baik hewan peliharaan sendiri maupun hewan liar yang
hendak masuk ke dalam.
2.4.3. Tentang “Rumah Daun”
Orang Sabu mempercayai bahwa nenek moyang mereka dahulu
adalah seorang pelaut yang berasal dari India Selatan dan menemukan
Pulau Raijua. Dahulu sebelum membangun rumah, mereka
menggunakan perahu yang dibalik sebagai rumah ketika tiba di Pulau
Raijua. Hal ini masih tercermin dengan bentuk atap rumah daun yang
menyerupai perahu terbalik.
Semua bahan bangunan rumah daun berasal dari pohon lontar
(pohon tuak). Menurut ibu YP (27 tahun) “karena kalau bercampur
dengan bahan lain maka rumah tangga yang tinggal di dalam rumah
tersebut akan bertengkar terus”. Seiring dengan perkembangan jaman,
sebagian rumah daun sudah mulai bercampur dengan bahan kayu lain.
Penghuni rumah tersebut tidak lagi mempercayai mitos atau cerita dari
orang tua karena sudah percaya akan suatu agama.
Rumah daun yang ditinggali penduduk Sabu kebanyakan
merupakan warisan yang dulunya merupakan tempat tinggal orang tua.
Rumah daun yang memiliki fondasi batu merupakan rumah orang Sabu
yang asli sejak dahulu kala. Untuk rumah daun yang mempunyai rongga

33
bawah di sebut “kelaga” ialah rumah daun yang dibangun mengikuti
perkembangan model terbaru. “Kelaga” dimanfaatkan sebagai kandang
hewan bagi keluarga yang mempunyai hewan peliharaan. Ruang “kelaga”
juga di pakai sebagai ruang kerja para perempuan yang mempunyai
keahlian menenun sarung dan selimut adat Raijua.

Gambar 2.21
Tipe rumah daun dengan fondasi batu (kiri) dan fondasi kayu (kanan)
Sumber : dokumentasi penelitian, 2015.
2.4.4. Tata Cara Pembangunan Rumah Daun
Di Desa Kolorae, pembangunan rumah dilaksanakan secara gotong
royong. Saat mendirikan rumah, pihak keluarga (saudara/i) akan datang
membantu. Untuk mendirikan rumah daun biasanya dilakukan pada
bulan April, Mei dan bulan November. Pada bulan tersebut, penduduk
cenderung memiliki waktu luang karena menunggu panen Sorgum.
Pembangunan rumah tidak dilakukan pada bulan lain karena pada bulan
Juni s/d Oktober penduduk sibuk dalam proses pekerjaan mengiris
pohon lontar “iris tuak” untuk mendapatkan gula Sabu. Sedangkan pada
bulan Januari s/d bulan Maret adalah musim hujan sehingga tiba musim
untuk menanam sorgum dan kacang hijau”.
Saat pembangunan rumah daun, pemilik rumah diwajibkan
memakai tukang yang merupakan “tua adat” untuk peletakan batu
pertama, pengukuran luas dan posisi bangunan. Peletakan batu pertama
untuk membangun sebuah rumah di awali dengan doa.
Pembangunan rumah daun dimulai dengan mengambil daun
lontar yang sudah tua. Para saudara yang berjenis kelamin laki-laki,
bertugas untuk memanjat dan memotong dahan daun lontar yang
sudah tua tersebut. Daun dipisahkan dari tangkainya dan dijemur

34
selama satu hari sampai kering. Para saudari perempuan bertugas
untuk mengangkut daun yang sudah kering dengan pikulan di bahu
menuju tempat rumah yang akan di bangun.
Tukang (tua adat), tuan rumah dan pihak keluarga bersama-sama
mengumpulkan batu dan menyusunnya sebagai fondasi rumah. Untuk
pembangunan fondasi rumah berbahan dasar batu biasanya mereka
menaruh uang koin logam pecahan Rp. 500, atau anting emas bekas
yang tidak terpakai lagi atau bisa berupa kalung “Muti” yang biasa
dipakai kaum perempuan Sabu. Benda-benda tersebut diletakkan di
setiap sudut rumah dengan tujuan agar rumah tinggal selalu diberikan
rejeki. Tua adat dan pemilik rumah diharuskan berdiri di bagian Timur
dan Barat rumah sebelum pembangunan. Setelah berada di posisinya
masing-masing, mereka akan diberikan makan berupa sorgum/kacang
hijau yang melambangkan pemenuhan kebutuhan pangan agar
keluarga yang tinggal didalamnya tidak kekurangan makanan.
Rumah daun dengan fondasi utama kayu lontar (gambar kanan)
juga mempunyai fungsi yang sama dengan rumah daun berfondasi batu
(gambar kiri). Perbedaannya hanyalah luas bangunan dan terdapat ruang
kosong di bawah fondasi kayu yang bertujuan sebagai tempat
penampungan hewan ternak berupa babi, kambing dan ayam. Ruang
kosong di kolong rumah juga digunakan untuk ruang kerja membuat
tenun ikat bagi perempuan yang memiliki keahlian menenun.
Persyaratan lain dari rumah daun adalah tiang induk rumah yang
menopang atap rumah tidak boleh sejajar dengan arah pintu
masuk/pintu depan rumah. Jika hal itu terjadi maka orang di dalam
rumah bisa menjadi kurang sehat. Di dalam rumah daun hanya
terdapat satu pintu masuk terletak di depan menghadap ke arah
Timur atau arah Barat. Informan YP (27 tahun) menjelaskan
“Sebagai lambang matahari terbit dan terbenam-jika menghadap
ke arah Selatan atau Utara sering terjadi kenangan buruk karena orang
dengan kepercayaan Jingitiu dahulu saat dikuburkan, kepala mayat selalu
menghadap ke arah Utara dan kaki menghadap ke Selatan”.
Hanya ada satu jendela dalam rumah sederhana yang
menghadap ke arah Selatan atau Utara. Jendela juga sering digunakan
sebagai tempat keluar masuknya penghuni rumah. Setelah
pembangunan rumah selesai, sebelum ditinggali, penghuni wajib

35
membuat acara syukuran. Syukuran dilakukan pada hari terakhir
pembangunan dengan menyediakan makan untuk pihak keluarga yang
membantu selama pekerjaan berlangsung. Pemilik rumah baru
menyediakan menu makanan berupa daging babi, daging kambing,
sorgum dan kacang hijau. Informan PM (46 tahun) mengungkapkan
“Rumah daun yang berukuran 7x8 meter biasanya berkorban 5
ekor babi, 1 ekor babi kecil harga Rp. 500 ribu. Babi yang besar 5 sampai
dengan 10 juta, untuk ukuran rumah berdiameter 7 ke atas, babi yang
harus dipotong sampai 7 s/d 9 ekor”.
Pembuatan rumah daun memakan waktu pekerjaan selama satu
hingga dua minggu untuk bisa ditinggali. Terdapat faktor yang
terkadang menjadi penghambat pembangunan rumah daun, yaitu
pemilik rumah belum memiliki hewan untuk memberi makan para
pekerja atau keluarga yang datang membantu di akhir pembangunan.
2.5. Sistem Religi
Menurut James Fox (1996) yang mempelajari catatan
pemerintah Belanda yang datang ke Pulau Sabu, sampai akhir abad 19
orang Sabu sama sekali tidak tertarik pada agama Kristen atau Islam.
Pada masa itu seluruh masyarakat Sabu menganut kepercayaan lokal
yang bernama Jingitiu. Penamaan kepercayaan Jingitiu sendiri
sebenarnya merupakan sebutan dari para penginjil Kristen Portugis
untuk kepercayaan asli orang Sabu yang tidak diketahui secara pasti
namanya. Jingitiu dalam bahasa setempat berarti menolak (Jingi) dari
(ti) Tuhan (Au). Hal ini bertentangan dengan kepercayaan Orang Sabu
sendiri yang menyakini adanya Tuhan yang mereka sebut “Deo Ama”.
Warga yang masih menganut kepercayaan lokal “Jingitiu”
sebagian besar adalah para orang tua dan beberapa anak mereka.
Walau begitu orang tua yang masih memegang teguh ajaran Jingitiu
membebaskan anaknya untuk keluar dari kepercayaan JIngitiu.
Penduduk yang sudah memeluk agama resmi menyebut orang yang
masih menganut kepercayaan Jingitiu “kafir”, namun hal tersebut
untuk penyebutan saja bagi orang yang belum beragama resmi.
Perbedaan agama tidak dipersoalkan karena masyarakat
mempunyai toleransi yang tinggi dalam beragama. Agama dianggap
merupakan urusan pribadi dari masing-masing orang sehingga dalam
satu keluarga terdapat berbagai macam agama. Di dalam satu

36
keluarga terdapat pasangan suami istri yang beragama Protestan dan
Katolik atau maupun orang tua yang masih beragama Jingitiu dengan
anak-anak yang beragama Protestan, Katolik ataupun Betel. Biasanya
anak akan mengikuti agama dari ayah, mereka beribadat dengan ayah
sedangkan ibu beribadat dengan caranya sendiri. Terdapat dua buah
gereja bagi penduduk Desa Kolorae yang terletak di Dusun 1 dan
Dusun 2 untuk melayani sebagian besar penduduk di Desa Kolorae
beragama Kristen Protestan.

Gambar 2.22
Gereja yang terdapat di Desa Kolorae
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Jika satu keluarga sudah memeluk agama Kristen maka akan
diadakan ritual perpisahan dengan rumah adat. Dengan begitu rumah
adat tidak dipakai lagi dan dibiarkan hancur secara alamiah. Namun
ada juga orang tua yang menginginkan agar rumah adat tetap dijaga
sehingga ada satu orang yang diminta untuk tetap menganut
kepercayaan Jingitiu.
Anak yang diminta untuk menjaga rumah adat tersebut tidak
diizinkan untuk memeluk agama Kristen baik Protestan, Katolik
maupun Betel. “Dia tidak diizinkan masuk Kristen karena gantikan
Bapak jaga rumah adat” begitu pernyataan RHL (38 tahun) yang
menjelaskan keadaan adiknya yang menjaga rumah adat.
Kebudayaan orang Sabu tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan
Jingitiu yang merupakan kepercayaan tradisional orang Sabu. Budaya
yang sangat kuat ini masih dipelihara, pada saat penyelenggaraan
ritual adat keluarga yang sudah menganut agama Kristen tetap hadir.

37
Kehadiran mereka merupakan bentuk dukungan dan lambang
persatuan untuk keluarga “bukan penyembahan tetapi saling
menopang dan turut serta”. Para kerabat yang hadir juga turut
membawa hewan kurban sebagai sumbangan untuk mendukung
pelaksanaan ritual terebut.
Saat peneliti berinteraksi dengan masyarakat umum, sulit
membedakan yang mana aliran kepercayaan “Jingitiu” dan mana yang
sudah beragama resmi pemerintah. Orang Jingitu bukan hanya berbaur
tetapi mereka merupakan anggota keluarga dari masing-masing marga.
Menurut informan TK (38 tahun), kita bisa mengetahui orang “Jingitiu”
dari nama mereka. Nama yang dimaksud masih menggunakan nama
Sabu dan belum mempunyai nama baptis/nama baru di kartu tanda
penduduk seperti orang yang telah menganut agama Kristen.
Berdasarkan informasi dari petugas Dinas Kependudukan Kabupaten
Sabu Raijua yang bertugas ke Desa Kolorae untuk mendata profil warga desa
untuk pembuatan E-KTP. Ia mengatakan bahwa kolom agama untuk
kepercayaan Jingitiu dikosongkan. “Untuk mereka juga digambar, diambil
keterangan, tapi di kolom agama dikasi kosong atau strip”.
2.5.1. Kosmologi
Mitologi yang Hidup di Pulau Raijua
Pada masyarakat Pulau Raijua juga terdapat mitologi mengenai
leluhur mereka yang bernama “Maja” dan “Banni Keddo”. Banni Kedo
dan Maja hidup dalam keseharian penduduk Raijua, terutama di
Raijua Atas dimana terdapat tempat kedua leluhur tersebut tinggal.
Maja berjenis kelamin laki-laki sedangkan Banni Keddo berjenis
kelamin perempuan.
Maja bertempattinggal di bukit tertinggi yang dianggap suci
oleh penduduk, yaitu bukit Ketita di Desa Ballu. Ia juga mempunyai
hutan suci yang terletak di sebelah Selatan Desa Kolorae, yaitu hutan
“Jammi Ae”, sedangkan Banni Keddo bertempat tinggal di daerah
pantai Selatan Pulau Raijua.
Terdapat perbedaan kisah Banni Keddo dan Maja diantara
penduduk. Ada yang mempercayai Banni Kedo dan Maja sebagai
pasangan suami istri atau kakak beradik. Namun dalam cerita yang
dikisahkan orang tua-orang tua terdahulu, Banni Keddo dipercayai

38
sebagai saudari tua Maja. Kedua nama ini pernah hidup di Pulau
Raijua dan dianggap leluhur dari masyarakat Raijua.
Sampai saat ini masih terdapat garis keturunan yang
melakukan ritual untuk menghormati kedua leluhur ini. Cukup sulit
untuk memperoleh cerita mengenai kedua “mahluk” ini karena masih
merupakan pantangan bagi penduduk Pulau Raijua untuk menyebut
kedua nama ini. Orang tua selalu memarahi anak jika mereka secara
sembarangan menyebut nama tersebut.
Penduduk sangat takut dengan Banni Kedo karena ia bisa
marah sewaktu-waktu jika namanya disebut sembarangan. Penduduk
takut menyinggung Banni Kedo karena kemarahannya bisa membuat
seseorang sakit maupun meninggal. Orang dewasa yang bersedia
bercerita biasanya meminta izin terlebih dahulu ketika ingin menyebut
namanya. “…. Saya meminta meminta izin untuk menyebut namamu,
kami semua anak cucumu yang ada disekitar sini…”.
Banni Keddo dipercayai hadir dalam waktu-waktu tertentu di
Pulau Raijua, yaitu pada bulan Juni dan Juli. Kehadiran Banni Keddo
bisa tiba-tiba muncul di bagian mana saja dari Pulau Raijua. Biasanya
Banni Keddo sering muncul di daerah pantai bagian Selatan dengan
berjalan membawa lentera besar.
Ada ritual tertentu untuk menghormati Banni Kedo. Ritual ini
dilakukan tiga tahun sekali dan disebut ‘Panadahi’. Pada masa
“Panadahi” bagian pantai Selatan dari pulau tidak boleh digarap. Hal
ini dimaksudkan agar hasil laut selalu berlimpah. Jika ditemukan
pelanggaran maka ia terkena denda dan harus menyerahkan satu ekor
kerbau sebagai hewan kurban kepada “Banni Keddo”. Namun
sekarang penduduk tidak lagi terlalu mengikuti pantangan tersebut,
sebagian penduduk tetap menggarap bagian laut tersebut pada bulan-
bulan pantangan.
Menurut pengakuan penduduk setempat VK (30 tahun) ketika ia
kecil, sekitar tahun 1990-an sangat terasa suasana mistis di saat bulan-
bulan keberadaan Banni Kedo di Pulau Raijua “saat ritual itu dilakukan,
suasana mencekam benar-benar mencekam, penduduk ketakutan”.
Banni Keddo tidak selalu tinggal di Pulau Raijua, ia juga
menetap di bagian Selatan pulau jawa dan di kenal dengan nama
“Nyai Roro Kidul”. Kedatangan Banni Keddo di Pulau Raijua biasanya

39
untuk mengerjakan sawah yang ia punya. Di Pulau Raijua biasanya
padi tidak bisa tumbuh karena kurangnya air namun ada bagian pulau
yang ditumbuhi padi. Ladang yang ditumbuhi padi ini dipercayai
sebagai milik Banni Keddo.
Penduduk Pulau Raijua mempunyai ritual tersendiri untuk
menghormati Maja. Pada saat ritual ini dilakukan terdapat larangan untuk
memasuki dan mengambil hasil hutan di mana Maja tinggal. Ritual ini
disebut “Panajami” dan juga dilaksanakan tiga sampai enam tahun sekali.
Sebagian orang beranggapan bahwa Maja merupakan patih
Gajah Mada yang datang ke Raijua dalam rangka memenuhi misinya
untuk menyatukan nusantara. Walau belum ada penelitian arkeologi
untuk membuktikan kehadiran Gajah Mada di pulau ini, namun
penduduk di Pulau Raijua mempercayai bahwa Patih Gajah Mada
pernah tinggal di Raijua.

Gambar 2.23
Rumah tempat telapak Kaki Maja
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Bukti-bukti yang ditinggalkan patih Gajah Mada adalah sebuah
batu yang dianggap sebagai jejak telapak kakinya dan juga jubah yang
dipakai Gajah Mada yang tersimpan di rumah adat. Batu jejak telapak
kaki dan jubah Maja dianggap keramat oleh masyarakat setempat
sehingga untuk melihat tempat ini diperlukan ritual adat dengan
mengorbankan hewan. Peneliti sempat melihat jejak telapak kaki
Gajah Mada, yaitu berupa lekukan dari sebuah batu berbentuk telapak
kaki yang berukuran dua kali lipat besarnya dari telapak kaki manusia
sekarang.

40
2.5.2. Praktek Keagamaan dan Kepercayaan
Pada dasarnya budaya orang Sabu baik yang dipulau Sabu
maupun Raijua merupakan budaya yang sama (Fox, 1996). Orang Sabu
tidak pernah terlepas dari ritual adat yang dilakukan sehari-hari sesuai
kalender adat yang telah ditetapkan oleh dewan adat setempat atau
“Mone Ama”. Setiap wilayah adat memiliki waktu pelaksanaan ritual
yang nyaris bersamaan. Tata cara pelaksanaan ritual relatif sama, walau
terdapat perbedaan nama antara di Pulau Sabu dan Pulau Raijua.
Walaupun sebagian besar penduduk sudah beragama Kristen
namun ritual kepercayaan masih dilakukan dengan lengkap. Hampir
setiap bulan selalu ada ritual adat rutin yang dilakukan sesuai dengan
perhitungan kalender adat. Berikut adalah bulan-bulan dan ritual adat
yang dijalankan orang Sabu di Pulau Raijua (Kagiya, 2010).
1. “Matina” (November-Desember), Pada bulan ini tidak terdapat
ritual apapun.
2. “Ko’oma” (Desember-Januari), Pada bulan ini terdapat ritual yang
bertujuan untuk upacara membersihkan kebun atau disebut
“tumpak ladang”.
3. “Wari Ma” (Januari-Februari), Pada bulan ini terdapat ritual
“Melolo Ma” dimana pimpinan adat tertinggi melakukan ritual
untuk memulai menanam kacang hijau yang kemudian diikuti
masyarakat.
4. “Leko Wila” (Februari-Maret), Terdapat ritual “Leko Wila” yang
bertujuan agar tanaman kacang hijau mau berbunga dan tumbuh
dengan baik.
5. “Dabba” (Maret – April), Pada bulan “Dabba” terdapat ritual
berupa pertarungan ayam jantan sebagai lambang perdamaian
untuk menggantikan pertarungan manusia.
6. “Banga Liwu Ae” (April-Mei), Pada bulan ini diadakan ritual “Bui
Ihi” yaitu ritual yang bertujuan untuk menghormati arwah leluhur.
7. “Banga Liwu Ro” (Mei-Juni), Pada bulan ini terdapat ritual “Pelale
Kowa Mone Weo ritual”, yaitu ritual mengirim hasil pada musim
panen pertama kepada mantan penguasa Pulau Raijua (Mone
Weo) yang telah pindah ke pulau lain.

41
8. “Bagarae Ae” (Juni-Juli), Pada bulan ini terdapat ritual “Pehele”dimana
penduduk berdoa untuk memperoleh panen yang baik di tahun
depan. Penduduk saling melempar bibit lontar satu sama lain.
9. “Bagarae Ro” (Juli-Agustus), Pada bulan ini tidak terdapat ritual.
10. “Rokoko” (Agustus-September), Pada bulan ini panen lontar dimulai.
Pemuka adat tertinggi yaitu “Deo Rai” dan “Pulodho” mengorbankan
kambing sebagai tanda dimulainya musim iris lontar.
11. “Wadu A’a” (September-Oktober): Pada bulan ini panen lontar
semakin berlimpah sehingga dilakukan ritual mengorbankan babi,
domba dan ayam sebagai tanda terima kasih atas panen lontar
yang melimpah.
12. “Wadu A’ri” (Oktober-November): Tidak terdapat ritual pada bulan ini.
2.5.2.1 Upacara Kematian
Jika terjadi kematian pada seorang maka yang bertanggung
jawab terhadap penguburan adalah saudara perempuan dari garis
keturunan ibu. Mereka berkumpul dan membagi tugas untuk
persiapan pemakaman, seperti menyiapkan air untuk memandikan
jenazah, mendandani jenazah dan kelengkapan upacara pemakaman,
yaitu jumlah sarung adat yang akan dipakai sorgum, kacang hijau,
kelapa kering dan lain-lain.
Ketika peneliti berada di lokasi ada seorang perempuan yang
masih beragama “Jingitiu” meninggal. Peneliti memperoleh gambaran
upacara pemakaman bagi perempuan yang menganut kepercayaan
“Jingitiu” sebagai berikut.
1. Jenazah dimandikan secara bersama oleh saudara perempuan
dengan air yang dicampur dengan daun jarak (“Lolo Bella”) untuk
membersihkan. Pertama jenazah dimandikan dalam keadaan tidur
dan disiram dari mulai bagian kepala dan diberi Sabun. Setelah
dibilas maka jenazah akan di pangku oleh saudara tertua dan
termuda (“Bani Aa” dan “Bani Ari”) untuk dimandikan sebagai
simbol penghormatan terakhir.
2. Tahap selanjutnya, jenazah diletakkan diatas sarung Sabu yang
jumlahnya telah ditentukan sebelumnya kesepakatan antar
saudara perempuan. Sarung adat harus berjumlah ganjil seperti 3,
5, 7 dan 9, tidak ada alasan khusus mengapa jumlah yang
digunakan harus ganjil. Sarung adat yang digunakan dalam

42
pemakaman yang peneliti datangi berjumlah sembilan sarung
Sabu. Sarung Sabu dibentangkan diatas lantai untuk dijadikan alas
berbaring jenazah. Jenazah kemudian dipakaikan sarung Sabu
sebagai pakaian, didandani dengan bedak dan dioleskan minyak
yang berasal dari santan kelapa.

Gambar 2.24
Wajah jenazah digambar dengan ludah sirih pinang
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
3. Wajah jenazah kemudian digambar dengan motif milik garis
keturunan perempuan “Wini” dimana ia berasal. Motif yang telah
dilukis merupakan identitas diri dari almarhum sehingga dari motif
tersebut nenek moyang dapat mengenalinya. Motif digambar
dengan ludah sirih pinang dari salah satu saudara perempuan yang
dituakan (“Banni Aa”). Ludah sirih pinang di tampung dalam
tempat yang berasal dari daun lontar atau yang di sebut “Haik”.
Bibir dari jenazah itu juga diberi ludah sirih pinang agar berwarna
merah. Sirih pinang yang dimakan saudara-saudara perempuan
juga dimasukan ke dalam mulut jenazah bersama dengan satu
buah cincin perak yang akan ikut dikuburkan. Cincin diberikan
untuk melambangkan kebulatan hubungan antara saudara
perempuan.
4. Sementara itu secara bergantian “Bani Aa” dan “Bani Ari”
menanggis dengan meratap untuk mengungkapkan kesedihan dan
juga menyebutkan silsilah keturunan-keturunan dari orang yang
meninggal. Keturunan yang disebutkan termasuk keluarga yang
telah meninggal maupun yang masih hidup. Tujuannya adalah

43
untuk membangkitkan rasa persaudaraan sekaligus
memberitahukan hubungan kekeluargaan dari orang yang sudah
meninggal kepada orang yang datang melayat. Orang yang
merapalkan silsilah tidak harus berasal dari satu garis keturunan
ibu (“Wini”), keluarga dapat memanggil orang lain diluar “Wini”
yang ahli silisilah. Hal ini dilakukan karena tidak semua orang
dapat mengingat silisilah dari keturunannya.
5. Di luar rumah saudara laki-laki menyiapkan tali yang berasal dari
anyaman pinggiran daun lontar. Tali yang disiapkan sepanjang
kurang lebih tiga atau empat meter untuk jenazah yang bertubuh
pendek. Terdapat dua buah tali untuk mengikat jenazah, tali yang
lebih pendek untuk diikat di pinggang sebelum badan dililitkan
dengan banyak sarung. Tali yang lebih besar untuk mengikat
bagian badan secara keseluruhan setelah diliitkan sarung.

Gambar 2.25
Para laki-laki
menyiapkan tali dari
pinggiran daun lontar
yang dianyam
Sumber: Dokumentasi
Peneliti, 2015

6. Sebelum jenazah dibungkus secara keseluruhan dengan sarung


Sabu, keluarga yang hadir melakukan perpisahan terakhir. Satu
persatu keluarga memberi ciuman yang terakhir dan meratap,
ratapan kali ini hanya untuk mengungkapkan kesedihan bukan
untuk menyebutkan silsilah keluarga.
7. Setelah selesai memberi salam terakhir, maka jenazah dibungkus
dengan dimasukan ke dalam sarung Sabu. Bagian pinggang
jenazah diikat dengan tali lontar agar sarung melekat dengan
badan. Kaki jenazah kemudian ditekuk hingga menyentuh dagu,
meringkuk seperti bayi didalam rahim. Kepercayaan JIngitiu
mensyaratkan bahwa manusia dilahirkan dengan keadaan
meringkuk maka dikembalikan seperti keadaannya terdahulu.

44
Gambar 2.26
Jenazah ditekuk kemudian dililit dengan kain Sabu
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
8. Setelah Jenazah dalam posisi meringkuk maka jenazah dibalut
dengan sarung Sabu yang sebelumnya telah dijadikan alas. Sarung
dibalut satu persatu dari bagian kepala sampai dengan kaki.
Barang-barang kepunyaan almarhum seperti pakaian dan kain-kain
diselipkan untuk dikuburkan bersama. Pakaian dan kain ikut
dikubur sebagai bekal perjalanan untuk bertemu dengan nenek
moyang yang telah mendahului di daerah “Nguju” Sumba Barat.
9. Semua pakaian dan kain yang dibawa dicatat oleh “Bani Aa” dan
“Bani Ari”, tetapi pakaian yang dipakai tidak dicatat. Hal ini
dimaksudkan ketika almarhum tiba di “Nguju” dan sanak saudara
sudah menunggu tidak mengambil pakaian yang dipakainya.
10. Tali yang panjang diikatkan ke seluruh badan setelah semua
sarung Sabu dililitkan, Jenazah yang sudah terbungkus rapi dengan
sarung Sabu kemudian dimasukkan kedalam sarung biasa agar
dapat diangkat menuju kuburan. Sebelum keluar dari rumah,
jenazah yang siap diberangkatkan kemudian dipangku kembali.
Bagian kepala dari jenazah diberi kelapa yang dikeringkan atau
disebut kopra oleh saudara laki-laki dari ibu atau “Kolo Appu
Namone”. Hal ini melambangkan bahwa “Kolo Appu Namone”
telah menyertai dan membekali perjalanan dari almarhumah.
11. Jenazah dimasukkan ke dalam liang kubur dengan ditutupi tikar.
Kepala jenazah menghadap ke Barat dan badan miring ke sebelah
kiri. Ikatan dibadan jenazah diilepas dan diletakkan di samping
jenazah. Ikatan merupakan simbol penebusan dosa dari orang
yang meninggal. Segera sebelum kuburan ditimbun tanah, ikatan
dilepaskan sebagai tanda bahwa ia telah terbebas dari dosa.

45
12. Sebelum ditutup, liang lahat diisi dengan kacang hijau, jagung,
kelapa yang sudah dibelah, sorgum dan padi yang belum ditumbuk
sebagai benih untuk ditanam di kehidupan berikutnya. Segera
setelah persyaratan lengkap, kuburan secepatnya ditimbun
dengan tanah. Hal ini dimaksudkan agar segera berpisah dan
kesedihan segera berakhir.

Gambar 2.27
Kuburan telah ditimbun dan perlengkapan upacara kematian yang
telah dibuang
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
13. Setelah kuburan rata, dilakukan “Hura Malaha” perlengkapan
yang digunakan dalam upacara penguburan dibuang ditempat
yang telah ditentukan secara turun temurun. Alat-alat tersebut
adalah tikar (“Dappi”), periuk tanah, anyaman bulat (“Kabi”),
tempat makan dari daun lontar (“Kerigi Ngaa”), sendok
tempurung.
14. Setelah pulang dari “Hura Malaha” dilakukan penyerahan barang-
barang milik orang yang meninggal kepada “Kolo Appu Namone”.
Barang-barang tersebut adalah sarung, ayam, babi, domba, kelapa
belah dan tempat minum. Binatang-binatang tersebut langsung
dipotong setibanya di rumah untuk dimakan bersama. Beberapa
hari setelah meninggal penduduk mempercayai bahwa arwah
masih di sekitar rumah. Datang berpamitan kepada saudara laki-
laki dan juga ikut makan bersama keluarga.
15. Upacara pemakaman diakhiri dengan memasak kacang hijau diatas
makam dengan menggunakan pecahan periuk dan sabut kelapa
yang dibakar. Kacang hijau yang dimasak hanya simbolis saja
sebagai tanda bahwa orang yang meninggal telah dimasakkan
untuk bekal perjalanan. Kacang hijau matang tersebut kemudian

46
dimasukan ke dalam tanah kuburan, namun tidak boleh sampai
tumbuh. Terakhir, lemak babi dibakar sebagai tanda syukur
terakhir bahwa semua persembahan telah lengkap.
2.5.2.2 Upacara Peringatan Kematian
Upacara Kematian di Raijua bagian atas (Desa Kolorae, Desa
Bolua, Desa Ballu) pada umumnya sama. Ketiga desa tersebut
memiliki adat istiadat dari satu nenek moyang. Di Desa Kolorae ada
tiga tahap upacara untuk memperingati hari kematian, yaitu upacara
“Bui ihiMade”, “Bui ihi Muri”, “Bagarae” dan “Bagarae Ro”.
2.5.2.3 Upacara “Bui’ihi Made”
“Bui ihi Made” adalah upacara untuk memperingati hari
kematian seseorang yang masih menganut kepercayaan Jingitiu.
Peringatan hari kematian ini biasanya tergantung dari kesepakatan
keluarga. Biasanya dilakukan setelah satu tahun kematian di bulan
“Banga Liwu” yang jatuh pada bulan April.

Gambar 2.28
“Nga’a Bui ihi Made” (makan bersama dalam peringatan kematian)
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Acara makan siang secara adat untuk upacara peringatan
kematian disebut “Nga’a Bui ihi Made”. Makanan yang tersedia terdiri
dari potongan daging babi, daging kambing serta sorgum dihidangkan
dalam tempat yang disebut “Kerigi Wore”. Hewan yang disembelih
ditanggung oleh pihak keluarga inti dengan sistem tanggungan
bersama “Tepo Bui ihi”.
Dalam upacara adat makanan yang dihidangkan adalah
sorgum. Nasi (beras) yang merupakan makanan pokok tidak
dihidangkan karena “Nenek moyang zaman dahulu belum mengenal

47
beras atau nasi”. Sebelum makanan ini disajikan, malam sebelumnya,
keluarga dari sanak saudara datang berkumpul di rumah duka selain
untuk bela sungkawa, mereka juga datang dengan membawa kue
cucur, ketupat dan dodol yang disebut “Tekkar Roke Nana”. Kue
tersebut dimakan bersama saat malam hari dan tidak boleh tersisa,
jika tersisa maka dianggap melanggar aturan adat dengan denda adat
berupa hewan dan diperuntukan untuk tuan rumah.
Setelah menghidangkan makanan “Tekar Roke Nana”,
keesokan harinya, tepat pukul 12.00 WITA. Pihak keluarga yang
berduka menghidangkan, “Nga’a Bui ihi” kepada semua keluarga yang
hadir. Saudara dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan yang
hadir duduk secara terpisah, karena saudara dari pihak perempuan
akan meminta kembali “istri” (dari suami yang meninggal), diakhir
acara dengan cara duduk bernegosiasi bersama saudara dari
almarhum. Sebagian besar hasil rapat biasanya disetujui. Kepala Desa
wajib hadir sebagai penengah dalam pengambilan keputusan.
Keluarga inti yang sedang meratapi kepergian almarhum
selama sehari penuh berada dalam rumah adat. Mereka diberi
makanan yang dinamakan “Gatti” sebagai penghiburan bagi keluarga
yang berduka.

Gambar 2.29
Makanan yang disebut “Gatti” untuk keluarga inti yang berduka
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.

48
Saat observasi terlihat keluarga inti memberikan barang
berupa rokok kepada salah seorang tamu. Rokok tersebut dibungkus
menggunakan kain putih ketika diserahkan. Informan BNL (60 tahun)
menjelaskan penggunaan kain putih tersebut dilakukan sebagai
“lambang ketulusan dan keiklasan dari keluarga yang sedang berduka
kepada tamu atau keluarga yang meminta sesuatu”.
Informan juga menjelaskan sebab kematian dari almarhum.
“Almarhum bernama RT, berusia sekitar 57-58 tahun, bekerja
sebagai petani -kerja iris tuak (mengumpulkan air sadapan
pohon lontar), tofa (bersih) kebun- meninggal tahun lalu
sekitar bulan April- meninggal karena sakit demam, malaria,
sudah di bawa ke rumah sakit (maksudnya Puskesmas
Ledeunu), rawat selama tiga hari disana, tidak ada perubahan,
belum sembuh-bawa pulang kembali, tandatangan surat
pernyataan, bawa pulang ke Kolorae, pake obat tradisional,
“kerei kepoke” (upacara menanyai tombak) di dukun
pengobat”. Untuk nama dukun di Dusun Satu bernama bapak
BT, Dusun Empat bernama bapak DN”.
Peneliti tidak sempat mendokumentasikan saat upacara
penguburan berlangsung. Saat pemakaman jenazah laki-laki Jingitiu,
kepalanya akan dipakaikan kain “destar”, wajah dilukis dengan ludah
sirih pinang yang disebut “Pedate”. Wajah almarhum diberi gambar
motif dari “Huri Hebe” atau “Huri Higi” (motif khas sarung adat Pulau
Raijua)” dengan sirih pinang menggunakan lidi pohon lontar. Hal ini
juga dilakukan agar nenek moyang di kehidupan selanjutnya mengenal
wajah almarhum.
Badan dan kaki akan diikat dengan tali dan kemudian di
bungkus dengan sarung khas Raijua “istilahnya disebut wutu”. Posisi
kepala almarhum harus tertunduk bertemu dengan lutut kedua kaki
dan badan yang di ikat dalam satu ikatan, menurut “Rohaleo”atau
perwakilan pemangku adat setempat “orang “Jingitiu” di kenal
sebagai orang yang sering membuat masalah di dunia sehingga harus
di belenggu sampai akhirat-kepala tertunduk agar jalan menghadap ke
Tuhan menunduk”.
Jasad orang “Jingitiu” ketika meninggal mengadopsi falsafah
kehidupan seorang manusia sewaktu dalam kandungan. Informasi

49
tambahan lain dari informan TK (38 Tahun) bahwa ketika di belenggu
dengan tali lontar semua tubuh, sesampainya di dalam liang kuburan
akan dilepas talinya dengan maksud agar semua dosa sewaktu dia
hidup di dunia akan terlepas dengan tali tersebut”. Saat di makamkan
kepala orang yang meninggal diharuskan mengarah ke Pulau Dana,
karena dipercaya setelah meninggal arwahnya akan terlihat di pulau
yang belum berpenghuni tersebut ditandai dengan adanya bunyi
teriakan hewan babi, kambing dan kokok ayam setelah meninggal,
kemudian arwahnya akan meneruskan perjalanan setelah di jemput
oleh nenek moyang menuju “tanjung uju”, “Nguju” (sumba Timur) dan
berakhir di “Jami Leba” (Sumba Barat).
Sebelum mayat di masukan ke dalam kubur, mayat tersebut
dibaringkan dengan kepala menghadap ke tiang rumah adat (tiang
utama) sebagai simbol pengenalan kepada nenek moyang sebelum di
jemput arwahnya. Jenazah kemudian diletakan di liang lahat dan di
timbun tumpukan tanah. Sebagai penutup keluarga akan memberi
sorgum dan kacang hijau untuk bekal perjalanan arwah almarhum.
Kedua sajian di tutup oleh tempurung kelapa dengan tujuan agar
sorgum dan kacang hijau tidak tumbuh keluar.
Kuburan berbentuk bulat dan ditutup dengan semen seperti . Di
Desa Kolorae, perbedaan bentuk kuburan bulat dan bentuk kuburan
pada umumnya menjadi penanda orang yang meninggal sebagai
“Jingitiu” atau orang yang beragama resmi pemerintah.

Gambar 2.30
Bentuk kuburan aliran Jingitiu (kiri), bentuk kuburan orang yang
beragama resmi pemerintah (kanan).
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.

50
2.5.2.4 Upacara “Bagarae Ae”
Sama seperti tata cara upacara “Bui ihi”, untuk memperingati
upacara Bagarae dihitung 40 hari setelah upacara “Bui ihi”. Tujuan
upacara tersebut adalah untuk memperingati peristiwa pelepasan
manusia dari semua malapetaka dan marabahaya. Hewan yang
diberikan sebagai korban persembahan dalam ritual ini adalah babi,
kambing dan ayam.
2.5.2.5 Upacara “Bagarae Ro”
Acara “Bagarae Ro” bagi suku Sabu adalah puncak dari kedua
upacara yang sudah dilalui sebelumnya, dilaksanakan 50 hari setelah
upacara “Bagarae”. Maharnya lebih banyak dari hewan yang
dikorbankan dalam upacara “Bagarae”. Tujuan kegiatan tersebut adalah
untuk menuntun keluarga dalam perjalanan hidup dan membentengi
keluarga dari arwah yang menganggu.
Orang Sabu di Desa Kolorae memiliki tradisi budaya yang
masih sangat kental, ketiga upacara diatas wajib dilakukan. Hewan
sembelihan yang diberikan dalam pengorbanan ritual ditanggung oleh
keluarga secara bersama. Upacara dengan menghabiskan puluhan
hewan kurban berlaku untuk orang yang mampu secara finansial. Bagi
orang Sabu yang belum sanggup hanya melaksanakan upacara sampai
tahap pertama yaitu upacara “Bui ihi”.
Hewan persembahan dalam setiap upacara adat di Desa
Kolorae adalah babi, kambing, domba dan ayam. Hewan babi dan
kambing selalu diutamakan. Menurut Kepala Urusan Umum di Kantor
Desa Kolorae, “babi dan kambing jika dipotong dapat daging banyak
sehingga dapat menghidangkan bagi para keluarga, tamu dan
undangan yang datang selama upacara berlangsung”. Selain itu babi
dan kambing bisa menjadi menu makanan bagi tamu dan keluarga
yang mempunyai pantangan, “ada yang pantangan/pamali makan
babi, mereka akan makan daging kambing, sebaliknya begitu juga”.
2.5.2.6 Upacara “Tao Leo” dan Tari “Ledo”
“Tao Leo” merupakan perayaan peringatan kematian yang
diadakan untuk menghormati orang yang telah meninggal. Acara ini
dilakukan karena orang yang telah meninggal dianggap penting dan
berjasa bagi keluarga. Peringatan ini memerlukan kerjasama antara kedua
belah garis keturunan laki-laki maupun perempuan “Udu” dan “Wini”.

51
Peringatan ini hanya bisa dilakukan jika kedua belah pihak
keluarga setuju untuk melakukannya. Ketika seseorang yang dianggap
berjasa meninggal maka pada waktu penguburan keluarga besar
berkumpul dan berdiskusi apakah kematian orang yang meninggal
tersebut akan diperingati dengan ritual “Tao Leo”.
Jika kedua belah pihak keluarga setuju maka “Tao Leo” akan
dilaksanakan pada bulan “Bagarae Ae”, bertepatan dengan selesainya
panen kacang hijau dan sorgum. Pada kalender masehi biasanya bulan
tersebut jatuh pada bulan Juni.
“Tao Leo” merupakan peringatan adat terbesar yang masih
dilaksanakan di Pulau Raijua, terutama Raijua bagian atas yang masih
memegang erat adat istiadat. Peringatan ini memerlukan banyak hewan
kurban yang didukung oleh seluruh keluarga yang masih satu garis
keturunan. Oleh karena itu perayaan ini melambangkan kebesaran dari
“Udu” dan “Wini” dari orang yang meninggal tersebut (Kagiya, 2010).
“Tao” dalam bahasa Indonesia berarti membuat sedangkan
“Leo” berarti tenda. Persiapan “Tao Leo” memerlukan waktu yang
lama, persiapan yang perlu dilakukan adalah menyediakan beras
dalam jumlah besar, kain tenun tradisional, membuat tenda besar dan
kandang-kandang untuk menyimpan hewan kurban.
Ketika peneliti hadir di Desa Kolorae terdapat dua perayaan “Tao
Leo” yang dinantikan oleh seluruh penduduk pulau. Peringatan ini akan
dilakukan pada awal bulan Juni, akan tetapi pelaksanaan ini kemudian
diundur sehingga peneliti tidak dapat menyaksikan festival besar ini.
“Tao Leo” dapat dilaksanakan selama tiga, lima, tujuh atau
yang paling besar selama sembilan hari. Hal ini disesuaikan dengan
diskusi dan kemampuan keluarga orang yang meninggal. Lamanya
“Tao Leo” yang diadakan dapat dilihat dari jumlah tiang dari pohon
lontar yang didirikan. Biasanya “Tao Leo” yang paling sering
dilaksanakan adalah selama tujuh hari. Acara yang paling digemari di
saat “Tao Leo” adalah pelaksanaan Tari “Ledo” yang dilakukan selama
berhari-hari sesuai dengan jumlah hari perayaan “Tao Leo”.
Tari “Ledo” merupakan tarian yang dilakukan secara berpasangan
antara laki-laki dan perempuan, dulunya tari ini dilakukan untuk
memperingati kemenangan perang. Pelaksanaan “Tao Leo” selama tujuh
hari diisi dengan acara sebagai berikut (Kagya, 2010):

52
1. Sehari sebelum pelaksanaan “Tao Leo”: Anak anjing dikorbankan
sebagai persyaratan agar “Tao Leo” dapat berjalan lancar. Boneka
kayu yang mirip dengan orang yang telah meninggal dibuat,
boneka ini dipakaikan kain sesuai dengan motif dari “Wini” orang
yang meninggal”. Jiwa orang yang telah meninggal dipanggil
kembali, prosesi ini disebut “Urihaga”.
2. Hari pertama: Tenda didirikan dan tikar pandan untuk arena tari
“Ledo” digelar. Kain tenun tradisional yang dipersiapkan oleh
saudara dari garis turunan perempuan diletakkan disamping
boneka kayu yang telah dibuat. Orang yang meninggal dianggap
hidup ketika perayaan “Tao Leo” dimulai. Senapan ditembakkan
sebagai tanda sebagai awal pembukaan “Tao Leo”. Peserta yang
hadir mulai menarikan tari “Ledo”.
3. Hari Kedua: Kegiatan “Tao Leo” hanya diisi dengan menari “Ledo”.
4. Hari Ketiga: Kegiatan “Tao Leo” hanya diisi dengan menari “Ledo”.
5. Hari Keempat: “Ngaa Rai Dida” adalah hari dimana penduduk
Raijua bagian atas diberi makan daging.
6. Hari Kelima: “Ngaa Rai Wawa” adalah hari dimana penduduk
Raijua bagian bawah diberi makan daging.
7. Hari Keenam: “Perihe” adalah waktu dimana boneka kayu yang
menggambarkan mendiang yang meninggal akan dikuburkan.
Prosesi ini dilakukan oleh paman dari pihak ibu, beliau membawa
daging babi yang telah dimasak dengan keranjang di atas kepala.
Hal ini dilakukan untuk memberi makan arwah orang yang telah
meninggal. Sepanjang perjalanan, paman didampingi oleh orang
yang mengayunkan pedang diatas keranjang untuk mencegah
setan menempel di keranjang. Sebelum perjalanan menuju rumah
duka dimulai, senjata ditembakan untuk mengawali kepergian
rombongan tersebut. Nyanyian tradisional “Ngararai” dinyanyikan
oleh penyanyi tradisional untuk mengiringi rombongan. Sesampai
rombongan di rumah duka, senjata kembali ditembakkan untuk
menandakan kedatangan mereka. Dari dalam rumah keluarga
kemudian keluar dan menembakkan senjata untuk memberi tanda
bahwa mereka siap menerima kedatangan rombongan. Kelompok
kemudian dipecah menjadi dua kelompok yaitu yang menyanyikan
“Ngararai” dan yang menari “Ledo”. Setelah tari “Ledo” selesai,

53
paman kemudian memberikan sepotong daging babi kepada
boneka kayu mendiang, setelah itu boneka tersebut dikuburkan.
Di saat bersamaan sejumlah hewan dikurbankan dan diberikan
kepada paman.
8. Hari Ketujuh: “Peri Kebao” merupakan puncak dari “Tao Leo”.
Pada hari ini lima ekor anak kerbau dikurbankan untuk diberikan
ke sepuluh “udu”. Satu anak kerbau diberikan ke dua “udu” yang
dipasangkan. Pada malam harinya dilakukan “Kewaro” yaitu orang
yang dituakan dalam “Wini” mengiringi kepergian arwah dari
pelabuhan “Ai Bego” menuju ke Pulau Dana untuk kembali ke
tempat leluhur di Sumba Barat. Gong dibunyikan setelah semua
orang yang mengantar selesai mengucapkan selamat tinggal
kepada arwah orang tersebut.
9. Hari Kedelapan: “Wue Dare” merupakan hari dimana seluruh
hewan-hewan dikurbankan, hewan yang dikurbankan bisa
mencapai 60 babi, 25 kuda dan kerbau, dan 20 kambing dan
domba. Hewan ini dipotong dalam bagian-bagian kecil kemudian
dibagikan kepada orang-orang yang membantu pelaksanaan “Tao
Leo” dan penduduk yang terlibat dalam tari “Ledo”.
10. Hari Kesembilan: “Tao Leo” berakhir, tenda diturunkan dan tikar
untuk menari “Ledo” digulung.
2.5.3. Rumah Adat Suku Sabu
Semua ritual yang dijelaskan diatas mempunyai rumah adat
sendiri-sendiri. Di Desa Kolorae terdapat beberapa rumah adat sesuai
dengan peruntukan ritual masing-masing. Rumah-rumah adat khusus
tersebut terdiri dari rumah adat untuk keluarga, rumah adat Dabba,
rumah adat Pehere Jarra, rumah adat Bui’ihi, rumah adat Kewego.
Rumah adat yang paling utama di Desa Kolorae terdapat di
Dusun satu. Peneliti hanya diijinkan masuk ke lingkungan perumahan
adat utama untuk sekedar mengamati dan tidak diijinkan untuk
memotret perkampungan rumah adat utama. Pertanyaan dibatasi
karena sangat disakralkan oleh wakil petinggi adat setempat atau yang
disebut “RoheLeo”.
2.5.3.1 Rumah Adat Keluarga
Rumah adat keluarga di sebut “Ammu Ae”. Rumah adat
“Ammu Ae” adalah rumah adat khusus yang diperuntukkan bagi satu

54
“Kerogo”. Di dalam rumah adat tersebut terdapat barang pusaka
peninggalan nenek moyang yang dipercaya berguna untuk menjaga
keseimbangan dan keselarasan kehidupan berkeluarga secara turun
temurun.
Bangunan rumah adat ini letaknya tergantung kesepakatan
pihak keluarga dan petinggi adat setempat. Rumah adat dibangun
dengan ritual adat yang bisa bermingu-minggu lamanya dengan
mengorbankan puluhan binatang babi, kambing, domba, kerbau dan
ayam. Rumah tersebut biasanya berada dalam lingkaran pagar batu
dan terletak di tengah-tengah pemukiman keluarga.

Gambar 2.31
Rumah adat keluarga “Kerogo”
Rona Balu disebut “Ma’ri”,
terdapat di Dusun 4 (Dusun
Loko Juli)
Sumber : Dokumentasi
Penelitian, 2015.

Rumah adat
keluarga maupun rumah adat lainnya dijaga oleh orang-orang yang
masih memegang erat kepercayaan “Jingitiu”. Kesepakatan dalam
forum rapat keluarga memutuskan satu orang untuk menjaga dan
tinggal menetap dalam perkampungan rumah adat. Orang tersebut
harus tetap menganut kepercayaan Jingitiu dan tidak diperbolehkan
pindah atau menganut agama resmi.
Ritual di rumah adat harus selalu dijalankan setiap tahun.
Keluarga yang sudah beragama turut terlibat dalam upacara ritual,
“hanya ikut upacara - kasi sumbangan hewan atau ternak yang
diwajibkan babi, kambing, domba, ayam, supaya menghormati para
leluhur, tanpa mereka kita tidak ada-mengikuti upacara sampai selesai
sampai akhir tahun”.
Rumah Adat Ma’ri di rumpun keluarga Kaka Balo mempunyai dua
pusaka peninggalan nenek moyang yaitu “Pudu Manihi dan Bela Awi”.
Rumahnya disebut “Jula Kae Kiki Muri Oma Dope Ridu” yang dipercayai
turunnya dari langit berupa perahu. Tiang utama dinamakan “Labuhu”, atap
rumah di sebut “Bengu”. Kepala atap luar yang menonjol adalah “Rukoko”
dan keseluruhan atap rumah di kenal dengan istilah “Ammu Rukoko”.

55
Gambar 2.32
Bagian Rumah Adat, Kiri: “Labuhu”, Tengah: “Bengu”, Kanan: “Rukoko”
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
2.5.3.2 Rumah Adat untuk Upacara “Bui ihi”
Sama seperti bentuk rumah adat yang telah dipaparkan
sebelumnya. Perbedaan rumah adat hanya terletak pada peruntukan
jenis upacara. Di dalam rumah adat “bui ihi” yang sakral dipenuhi oleh
hasil bumi untuk menjalani kehidupan sehari - hari.
Rumah adat untuk upacara “Bui ihi” yang peneliti kunjungi
terdapat di Dusun dua, Desa Kolorae, yaitu Dusun Boko. Masyarakat di
Dusun ini sering menyimpan hasil bumi pertama panen di rumah adat
“Bui ihi”. Di dalam rumah adat terdapat larangan untuk membersihkan isi
dan benda pusaka dari apapun yang menempel “karena nenek moyang
dulu tidak suka bersih-bersih”.

Gambar 2.33
Rumah adat Bui’ihi dan “Tiang Nok” di dalam rumah adat “Bui’ihi”
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Semua benda yang berada di dalam rumah adat “Bui ihi”
adalah hasil panen yang pertama kali dituai para penduduk.
Masyarakat yang datang melakukan upacara adat bersama sebelum
memasukkan beberapa hasil bumi yang mewakili pekerjaan setiap

56
anggota keluarga. Tujuan untuk melakukan ritual ini adalah agar
semua hasil ladang yang telah di berikan mendapat restu di musim
berikutnya dari leluhur.
2.5.3.3 Rumah Adat “Dabba”
Rumah penyelenggaraan ritual adat “Dabba” merupakan
tempat pertama untuk memperingari hari perdamaian antara Raijua
atas dan Raijua bawah. Menurut cerita, sejak dahulu terjadi
peperangan antara Suku Sabu di Pulau Raijua bagian bawah melawan
orang Sabu Raijua bagian atas. Peperangan tersebut memakan korban
jiwa manusia. Melihat semakin banyaknya korban dan berkurangnya
penduduk di Pulau Raijua maka para petinggi adat membuat
kesepakatan untuk mengganti peperangan manusia dengan
pertarungan ayam.
Kesepakatan perdamaian terjadi, hingga sampai saat ini, ritual
“Dabba” tetap dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan terhadap
pahlawan yang telah gugur sekaligus memperingati perdamaian yang
terjaga selama ini. Pelaksanaan upacara “Dabba” berlangsung selama
dua hari di dua tempat yang berbeda. Peserta yang mengikuti terdiri
dari 12 “udu”. Masing-masing “udu” membawa ayam jagoannya untuk
diadu dengan si jago dari “udu” lain. Dua hari sebelum hari
pelakssanaan semua pengikut “udu” melaksanakan ritual dengan
mengorbankan binatang di rumah adat “Dabba”.

Gambar. 2.34
Rumah adat Da’bba
uduMalako Ae
Sumber :
Dokumentasi
Penelitian, 2015

Rumah adat
“Dabba” mempunyai fungsi dalam setiap sudut bangunan. Batu yang

57
berdiri depan di sudut kiri dan kanan rumah adalah simbol prajurit
penjaga rumah adat. Tiang utama didepan pintu masuk dianggap sebagai
lambang keselamatan “semua persembahan berupa daging babi dan
kambing akan ditaruh di bagian bawah tiang tersebut, Menurut
kepercayaan, nenek moyang akan makan bersama mereka dan akan
melindungi segenap anggota keluarga”.
2.5.3.4 Rumah Adat “Pehere Jarra” dan Rumah Adat “Kewego”.
Upacara/ritual “Pehera Jarra” dilakukan oleh warga Desa
Kolorae untuk memperingati kebaikan para leluhur dan orang tua
yang telah mengasuh dan membimbing hingga dewasa. Upacara ini
juga sebagai bentuk timbal balik dari para warga untuk membalas
jasa-jasa para leluhur yang telah memberikan yang terbaik bagi
keturunannya.
Pelaksanaan ritual ini dilakukan dengan menunggang kuda yang
telah dihias mengelilingi dua batu di tengah lapangan berulang kali.
Penunggang kuda yang jatuh dari tunggangan pedal kuda bisa mengalami
sakit. Penunggang kuda yang jatuh tersebut kemudian dibawa ke rumah
adat “Pehere Jarra” dan diberikan minum berupa segelas air gula Sabu
yang sudah disimpan sangat lama. Pasien dipercaya dapat sembuh dari
sakit yang dialami ketika meneguk air gula Sabu tersebut.
Rumah adat “Kewego” adalah sebuah rumah daun yang
berfungsi saat upacara peringatan kematian bagi tokoh-tokoh yang
mempunyai jasa-jasa dan dianggap penting oleh keluarga besar, disebut
juga “Tao Leo”.

Gambar 2.35
Rumah adat “Pehera Jarra” dan Rumah adat “Kewego” dari “udu Malako Ae”.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.

58
Dalam setiap kompleks rumah adat juga banyak terdapat batu
pamali yang dihormati dan tidak boleh disentuh. Penjaga rumah adat,
informan KHL (58 tahun) mengungkapkan bahwa
“sonde (tidak) masalah kalo sonde tau dan lupa beta (saya) kasi
tau, itu sonde sengaja jadi son apa-apa , kalo injak sonde
masalah-tapi biasa beta kasi ingat pas mau masuk di sini, kalo
beta su (sudah) kasi tau dan dia sengaja injak, itu yang jadi
masalah, batu itu, batu pertama kali pas bangun rumah adat,
pake untuk persembahan kepada nenek moyang, nanti dia akan
minta tumbal kalo sengaja injak-nenek moyang akan kutuk kita
atau minta tumbal dari rumah adat, biasa beta yang tau, nenek
moyang yang datang kasi tau - istilahnya jangan sampe ada orang
yang curang dengan kita - begini maksudnya penjaga rumah adat
ke beta begini bisa kerja sepihak, cari tumbal kalo beta jengkel
dengan orang lain, na nanti kasian-tapi biasanya juga ada hewan
pengganti tumbal manusia-itu semua nanti kita sepakat bersama-
kalo sonde sepakat itu yang bahaya”.
Batu pamali tidak membahayakan jika orang yang menginjak
tidak mengetahui dan tidak diperingatkan terlebih dahulu oleh penjaga
rumah adat. Batu pamali merupakan batu altar sebagai meja
persembahan yang digunakan pertama kali saat pembangunan rumah
adat. Saat pengunjung menginjakkan kaki di sekitar rumah adat.
Penjaga rumah adat akan memberi tahu batu-batu pamali yang tidak
boleh dilewati maupun dipijak di wilayah perkampungan adat. Masalah
akan terjadi jika pengunjung dengan sengaja melanggar dan
menginjakkan kaki pada batu pamali yang telah diberitahukan tersebut.
Penduduk percaya bahwa para leluhur akan datang kepada
penjaga rumah adat sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan.
Leluhur di rumah adat akan meminta kurban, baik manusia maupun
hewan. Hal yang menjadi permasalahan adalah penjaga rumah adat
akan bekerja sepihak dengan mencari kurban sendiri tanpa berdiskusi
dengan keluarga inti berdasarkan tuntunan adat. Bekerja sepihak yang
dimaksud adalah kurban diberikan dengan melihat orang-orang yang
selama ini menurut pandangannya ialah oknum yang sering berbuat
jahat atau orang lain yang menjadi musuh dari individu-individu
tertentu untuk dijadikan tumbal.

59
Gambar 2.36
Batu Pamali dimana terdapat larangan untuk melintasi di atas serta
larangan untuk menginjak.
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
2.6. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
Terdapat pemimpin formal dari pemerintahan dan pemimpin
adat di wilayah Kabupaten Sabu Raijua. Setiap wilayah mempunyai
tokoh-tokoh adat yang tergabung di dalam Dewan Adat bernama
“Mone Ama”. “Mone Ama” memilih satu pimpinan adat tertinggi atau
yang disebut “Deo Rai” bertugas untuk mengatur kebijakan dan ritual
adat dari wilayah adat yang menjadi wewenangnya. “Deo Rai”
memiliki perwakilan atas dirinya di desa-desa yang disebut “Rohaleo”.
Lembaga adat tersebut sampai sekarang masih memegang peranan
penting dan dihormati oleh masyarakat Sabu dan Raijua.
2.6.1. Forum Rapat Desa
Kecamatan Raijua dengan ibukota Ledeunu, mempunyai dua
kelurahan dan tiga desa yaitu Kelurahan Ledeunu, Kelurahan Ledeke
dipimpin oleh seorang lurah PNS yang ditunjuk oleh camat sedangkan
Desa Bolua, Ballu dan Kolorae dipimpin oleh seorang Kepala Desa
melalui musyawarah masyarakat. Setiap desa mempunyai aparatnya
sendiri yang terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris dan Kepala Dusun,
Badan Pembangunan daerah, penggerak PKK, ketua RT dan RW.
Rapat desa merupakan forum komunikasi dan koordinasi antara
aparat desa dengan warga. Pada salah satu rapat desa yang peneliti
hadiri adalah rapat desa sedang membahas tentang “Bulan Bakti” yaitu
suatu bulan dimana masyarakat secara gotong royong membersihkan
lingkungan. Tujuan dari kegiatan ini pada dasarnya untuk mendapatkan
juara lomba kebersihan lingkungan antar desa dan kelurahan.

60
Masyarakat diminta mendedikasikan waktunya selama lima hari
dalam bulan tersebut untuk bergotong royong memperbaiki jalanan yang
berlubang dan membersihkan sampah di jalan desa. Alasan pergelaran
rapat karena ada panitia kelurahan yang datang memantau dan menilai
tingkat partisipasi warga dalam kegotong-royongan.
Rapat desa membahas tentang kesepakatan waktu, jenis-jenis
dan pembagian pekerjaan yang harus dilakukan. Rapat bersifat formal
yang dipimpin oleh Sekretaris Desa. Usulan-usulan lebih banyak
diberikan oleh sekretaris desa yang memimpin rapat. Perwakilan
warga yang diundang lebih banyak menyetujui apa yang diusulkan
oleh aparat desa. Jarang perwakilan warga yang mengungkapkan
pendapat, bertanya atau menyatakan usulannya.

Gambar 2.37
Forum Rapat Desa Kolorae
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015
Masyarakat secara jelas membedakan jenis-jenis pekerjaan
yang dilakukan kaum laki-laki dan perempuan. Untuk laki-laki akhirnya
diputuskan untuk melakukan pekerjaan membetulkan jalan desa
dengan menimbun jalan-jalan yang berlubang, sedangkan kaum
perempuan ditugaskan untuk bersih-bersih lingkungan.
Di dalam ruang kerja Kepala Desa Kolorae, terdapat sebuah
piala penghargaan kebersihan lingkungan. Desa Kolorae mendapat
juara 3 sebagai desa yang mempunyai kebersihan dan semangat
kegotong-royongan diantara dua desa dan dua kelurahan lainnya.
Berdasarkan observasi peran adat lebih kuat pengaruhnya dari
pada pemerintahan formal pada aktivitas masyarakat. Pemerintahan
formal yang dipimpin oleh aparat desa belum sepenuhnya menjadi

61
bagian yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal ini
nampak dari perbedaan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan yang
berkaitan dengan upacara adat, yaitu pembangunan rumah daun,
acara kematian dan renovasi rumah adat. Dala acara adat semangat
kegotongroyongan warga benar-benar tumbuh atas kesadaran sendiri
tanpa ada yang mewajibkan seperti “bulan Bakti”.
2.6.2. Nilai Kebersamaan dan Keharmonisan
Secara umum kebiasaan orang Sabu ketika menerima tamu
adalah menggelar tikar pandan dan mempersilahkan tamu yang
datang untuk duduk dan memakan sirih pinang. Setelah memakan
sirih pinang kemudian menawarkan tamu untuk meminum air gula
Sabu yang dalam bahasa lokal disebut “ai nahu”.
Tamu berbincang-bincang dengan tuan rumah di rumah bagian
depan sambil meminum air gula Sabu. Ketika pembicaraan telah usai dan
tamu pamit untuk pulang. Biasanya sebelum tamu pulang tuan rumah
menawarkan makan terlebih dahulu. Jika makanan belum siap dan masih
dimasak maka tuan rumah meminta tamu untuk menunggu untuk
makan bersama. Jika kedatangan tamu besamaan waktu ketika tuan
rumah sedang makan maka otomatis tamu langsung diajak makan.
Kebersamaan dan kebersamaan menjadi ciri khas yang terasa
kental di Desa Kolorae. Masing-masing anggota masyarakat saling
menjaga hubungan saudara satu sama lain. Mereka memegang erat
tali persaudaraan dan saling membantu satu sama lain dalam berbagai
kegiatan terutama penyelenggaraan ritual adat, perkawinan,
membangun rumah, panen dll. Ketika panen sorgum masyarakat akan
mengerjakan secara bergotong royong dari ladang yang satu ke ladang
yang lainnya secara bergiliran.
Masyarakat Sabu mayoritas beragama Kristen protestan, namun
ada beberapa dari keluarga mereka yang masih memegang kepercayaan
asli orang Sabu yang bernama “Jingitiu”. Walau mereka beragama
Kristen, mereka tetap bergotong royong untuk mendukung pelaksanaan
ritual adat dari saudara yang “Jingitiu” tersebut, misalnya dengan
menyumbang hewan untuk pelaksanaan ritual adat tersebut. Walau
mempunyai kepercayaan yang berbeda mereka tetap berpartisipasi
untuk menunjukkan dukungan kepada saudara yang berbeda
kepercayaan.

62
Di dalam keluarga besar selalu ada pihak yang dituakan atau
disebut “Ama”. Orang yang dituakan tidak selalu tua berdasarkan
umur ataupun orang tua kandung. Mereka bisa merupakan kakek,
kakak atau adik laki-laki orang tua ataupun sepupu. Mereka dipilh
secara informal oleh anggota keluarga besar karena mempunyai
pengetahuan yang luas dan juga mempunyai kemampuan ekonomi
yang baik. Menurut informan TK (38 Tahun) “tidak berarti harus
sekolah, bisa juga pendidikan tidak tinggi tapi punya kemampuan
bermasyarakat”. “Ama” biasanya menjadi juru bicara keluarga
diundang dalam rapat atau pertemuan keluarga”. “Kehadiran “Ama”
selalu dimintai pendapat atau juga bantuan jika persoalan satu
keluarga tidak selesai dalam keluarga”.
Dalam persoalan kemasyarakatan di desa, juga terdapat orang-
orang yang dipilih secara informal sebagai orang yang dituakan di
desa. Mereka diundang dalam musyawarah desa yang diketuai oleh
Kepala Desa. Musyawarah ini dihadiri oleh hampir semua warga baik
laki-laki maupun perempuan. Dalam musyawarah desa, setiap
persoalan yang terjadi akan dibahas secara kekeluargaan. Pihak yang
berkonflik diajak untuk berdiskusi dan diberikan nasihat oleh Kepala
Desa. Pihak yang berkonflik diingatkan kembali bahwa mereka
bersaudara sehingga mau kembali berdamai kembali.
Pertemuan biasanya diadakan pada malam karena warga sibuk
bekerja saat pagi hingga sore hari. Terkadang pertemuan juga
dilakukan diluar jadwal jika ada persoalan mendadak, penyelesaian
masalah belum mencapai kata sepakat ataupun ketidakhadiran pihak
yang mempunyai persoalan.
2.6.3. Sistem Kekerabatan
Suku Sabu mempunyai sistem kekerabatan yang bersifat
bilateral yaitu mengikuti garis keturunan patrilineal dan matrilineal.
Seorang istri yang melahirkan, keturunannya akan membawa dua
garis keturunan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Anak
yang lahir akan mengikuti marga suami, nama garis keturunan
perempuan tidak dicantumkan.
“Udu” merupakan suku dimana garis keturunan laki-laki
diturunkan seseorang dan bersifat menetap di suatu perkampungan.
Untuk garis keturunan perempuan disebut “Wini” bersifat tidak

63
menetap karena setelah menikah perempuan yang membawa garis
keturunan ibu akan mengikuti tempat tinggal suami (Patrilokal).

Suku Sabu

UDU (KLIN) HUBI /


12 udu asli dan 1 MAYANG
udu pendatang

HUBI AE
KEROGO (KLIN) /HUBI IKI

MARGA WINI

Bagan 2.1: Garis keturunan laki-laki dan garis keturunan perempuan


Digaris keturunan laki-laki terdapat terdapat 12 “Udu”.Dua
belas “Udu” atau suku tersebut terbagi dalam sub suku yang disebut
“Kerogo” (sub-klin). Udu dan kerogo tersebut adalah: (1) Udu Nadaibu
terbagi atas kerogo Wuirae, Natua, Naalo, Lodoae, Hebu Wadu, Banga
Miha, Ledetalo, Oe Nehu, Deme dan Laihu. (2) Udu Loborae terbagi
atas kerogo Huma Mone, Dudu Mone, Weli Mone, Muhu Madja. (3)
Udu Ledekeh terbagi atas kerogo Ubi Kore, Djara Doro, Here Gedi dan
Dina Gedi. (4) Udu Rohabba terbagi atas kerogo Kebunu dan Naradi.
(5) Udu Loboraliu terbagi atas kerogo Medi Bore, Djawa Medi dan
Leba Medi. (6) Udu Nadega terbagi atas kerogo Nadega, Narui,
Narobo dan Hubbehi. (7) Udu Melako terbagi atas kerogo Nalele,
Natalo, Nabalu, Naroho, Nadjula, Nawada dan Naweli. Sedangkan (8)
Udu Wei, (9) Udu Djela, (10) Udu Keitta dan (11) Udu Madiri

64
Melakotidak terbagi atas kerogo serta (12) Udu Barawiniyang dikenal
sebagai pendatang yang hidup ditengah-tengah mereka.
Kepala dari satu “Udu” disebut “Bengu Udu” dan dari “Kerogo”
disebut “Kettu Kerogo”. Ada banyak kelompok kekerabatan yang
menetap di Desa Kolorae, menurut informan LKB (32 tahun), Kerogo
yang menetap di Desa Kolorae terdiri dari Udu Rona Balu, Udu Rona
Talo (paling tua), Udu Rona Weli, Udu Rona Djara, Udu Namalele, Udu
Rona Roha (paling muda).
Dalam garis keturunan matrilineal terdapat sistem
kekeluargaan dari garis ibu yang bernama “wini”. Persaudaraan ini
melibatkan garis keturunan yang berasal dari ibu, terdiri dari sepupu
perempuan, kakak atau adik perempuan dari ibu kandung, termasuk
juga anak-anak perempuan mereka. Terdapat sebutan “Bani Aa dan
Bani Ari” dalam sistem kekerabatan tersebut. “Bani Aa” merupakan
sebutan untuk saudara perempuan yang lebih tua sedangkan “Bani
Ari” adalah sebutan untuk saudara perempuan yang lebih muda.
Sesama saudara perempuan mempunyai ikatan yang kuat, mereka
saling mendukung dan membantu satu sama lain.
Perempuan dalam satu “wini” berkewajiban untuk mengetahui
apa yang dialami oleh saudara perempuan lainnya, misalnya
melahirkan, sakit ataupun kematian. Jika saudara perempuan sakit
maka orang yang paling berkewajiban merawat adalah saudari
perempuannya. Jika ia sudah menikah dan suami memberitahu bahwa
istrinya yang merupakan saudara perempuan mereka sakit maka
saudara perempuan akan segera merawatnya. Saudara perempuan
yang tidak bisa merawat saudarinya maka ia akan merasa malu.
Apalagi jika saudaranya sampai dirawat orang lain.
2.6.4. Sistem Perkawinan
Dalam sistim perkawinan, hubungan persaudaraan dianggap
lebih kuat dibandingkan dengan hubungan perkawinan. Menurut BOK
(35 tahun) “Perkawinan tidak bisa terjadi tanpa ada restu dan
dukungan dari saudara”. Perkawinan biasa terjadi karena dua orang
saling mencintai atau dijodohkan oleh pihak orang tua.
Menjelang pernikahan, keluarga dari ke dua belah pihak akan
bertemu dan membicarakan persiapan peminangan. Dalam
pertemuan tersebut terjadi pembicaraan yang menjadi inti

65
kedatangan yaitu “kenoto” atau mas kawin. Untuk perkawinan yang
dijodohkan maka “kenoto” dibawakan secara sepihak dari laki-laki
kepada pihak perempuan.
Perjodohan dari para orang tua sudah jarang terjadi lagi di
Desa Kolorae. Pada umumnya para pemuda maupun pemudi bebas
mencari pasangan masing-masing sesuai dengan keinginan sendiri.
Usia yang ideal untuk menikah menurut penduduk setempat adalah
umur 20 s/d 27 tahun. Responden H (35 tahun) menyatakan bahwa
“….. sekitar 22-27, jangan terlalu muda… saya sendiri menikah sudah
hampir 30 karena pergi merantau dulu”.
Di Desa Kolorae terdapat dua jenis perkawinan yaitu
pernikahan adat dan pernikahan melalui gereja. Sudah menjadi tradisi
bahwa masyarakat lebih mengutamakan pernikahan adat
dibandingkan pernikahan di gereja. Penduduk merasa nyaman dengan
pernikahan adat karena semua nilai, norma dan sanksi antara ke dua
mempelai akan dibacakan dan disaksikan oleh semua rumpun
keluarga yang hadir.
Pernikahan adat juga sering dimaknai dengan mendapat restu
dari leluhur karena berlangsung dalam rumah adat. Hewan mahar “belis”
akan ditunjukkan kepada semua keluarga dan para undangan yang hadir
sebagai bentuk penghormatan. Selain itu mahar perkawinan yang
dibawakan dapat mengangkat derajat keluarga apabila calon pengantin
laki-laki membayar sesuai dengan yang telah disepakati sebelumnya.
Perkawinan adat berlangsung dari pagi hingga sore hari. Hal
tersebut karena kedua mempelai harus menunggu seluruh keluarga
kumpul. Penuturan informan BOK (35 tahun) mengenai pernikahan
adalah sebagai berikut.
“Terjadi atas dasar cinta dan kesepakatan kedua belah pihak
keluarga, untuk menyelesaikan nikah adat ini, di sana pihak
keluarga laki-laki sudah tunggu dengan mempersiapkan diri, si
perempuan nanti datang bersama keluarganya bawa hewan untuk
balas “kenoto”, hewan itu dapat mengangkat derajat keluarga
yang membawa jika sesuai dengan permintaan dan kesepakatan-
tidak akan mulai dan datang ke sini jika semua saudara semua
terutama perempuan belum datang – iya karena nanti semuanya
yang akan bantu jika ada masalah di kemudian hari”

66
2.6.4.1 Tata Cara Pernikahan Adat
Dalam perkawinan adat, sebelum perkawinan terjadi biasanya
pihak laki-laki akan mendatangi pihak perempuan atau biasa disebut
“masuk minta” (peminangan). Perkawinan secara adat dilakukan di
kediaman pihak laki-laki, di rumah adat yang bernama “Dara Rai Kolo
Tede”. Upacara perkawinan dimulai dengan calon pengantin laki-laki
mendatangi kediaman calon pengantin perempuan dengan membawa
“kenoto” atau mas kawin.
Kedatangan pihak laki-laki disambut oleh pihak perempuan,
pengantin laki-laki dan perempuan dihadapkan pada pemuka adat
untuk meramalkan kelanggengan pernikahan tersebut. Di depan
rumah, pemuka adat itu memukul ayam hidup tiga kali hingga mati.
Arah jatuh ayam itu dapat meramalkan kelanggengan pernikahan.
Jika arah ayam jatuh ke arah Timur maka diprediksikan pernikahan
akan langgeng selamanya sampai pasangan meninggal. Jika ayam jatuh
menghadap arah Barat maka diprediksikan bahwa pernikahan tidak akan
lama. Jika arah ayam jatuh diantara Barat dan Timur maka belum dapat
dipastikan apakah pernikahan langgeng atau tidak.
Setelah “kenoto” diserahkan kemudian pengantin laki-laki
kembali kekediamannya. Di tempat pihak perempuan “kenoto” dibuka
didepan keluarga besar perempuan, kenoto tidak akan dibuka jika
keluarga besar belum semuanya hadir. Jika kenoto sesuai dengan
kesepakatan maka pihak istri akan menuju ke kediaman laki-laki
dengan membawa satu ekor babi.
Sementara itu, di kediaman pihak laki-laki, calon pengantin
laki-laki dan keluarga besar sudah menunggu. Pengantin laki-laki akan
turun dari rumah adatnya ketika perempuan datang. Kemudian kedua
calon pengantin akan masuk ke dalam rumah adat, di sana kedua
mempelai akan disuapi kacang hijau dan gula Sabu sebanyak tiga
suapan oleh ketua adat.
Kacang hijau diberikan sebagai lambang keberkahan dan
kemakmuran sedangkan gula sabu melambangkan kelembutan dan
kelekatan. Hal ini dimaksudkan agar kedua mempelai mendapat
kemakmuran dan menjadi pasangan yang selalu setia dalam
perkawinan. Setelah memakan kacang hijau suami dan istri meminum
air dari satu tempurung kelapa secara bergantian, air diberikan

67
sebagai lambang agar rumah tangga tetap dingin layaknya air. Prosesi
kemudian dilanjutkan dengan pemberian sirih pinang oleh ketua adat
kepada kedua mempelai. Ketua adat menyuapi masing-masing
mempelai dengan sirih pinang.

Gambar 2.38
Prosesi pernikahan adat Suku Sabu
Sumber: Dokumentasi peneliti, 2015
Di luar rumah adat, babi yang dibawa oleh pihak perempuan
dipersiapkan untuk disembelih oleh ketua adat. Babi kemudian
dibakar untuk persiapan prosesi puncak dari acara perkawinan. Kedua
mempelai kemudian keluar dari rumah adat dan dipersilahkan untuk
duduk dihalaman rumah dengan dikelilingi keluarga besar, ketua adat
dan masyarakat setempat. Masing-masing dari ketua adat, tokoh
masyarakat dan wakil dari keluarga memberikan petuah-petuah
dalam berumah tangga.
Setelah petuah selesai diberikan maka akan dilakukan doa
bersama dengan dipimpin tokoh agama setempat. Setelah doa selesai
maka acara dilanjutkan dengan menyuapi kedua pengantin dengan
kacang hijau dan gula sabu. Kemudian para tamu yang datang
dipersilahkan untuk mengambil hidangan yang telah disiapkan.

68
Gambar 2.39
Kedua mempelai sedang mendengarkan petuah dari tokoh masyarakat
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Kedua mempelai kemudian kembali ke rumah adat, disana
telah disiapkan bagian-bagian tubuh dari babi yang tadi disembelih
seperti jantung, ginjal, paru-paru, hati, usus di dalam “Kerigi wore”
(piring besar yang terbuat dari daun lontar). Semua bagian tersebut
dipotong kecil-kecil kemudian disatukan dalam satu tempat untuk
disuapkan kepada pengantin. Hal ini melambangkan penyatuan antara
dua keluarga besar dan merupakan puncak dari acara pernikahan.
Dalam perkawinan adat Sabu, tidak hanya satu babi yang
dipersiapkan melainkan bisa berjumlah puluhan. Puluhan babi harus
disiapkan karena selain untuk disantap bersama di tempat. Setiap
tamu yang hadir akan mendapatkan jatah pembagian daging untuk
dibawa pulang. Untuk mempersiapkan belasan babi ini kedua
pengantin tidak harus menyiapkan sendiri melainkan dibantu oleh
keluarga besar. Setiap keluarga membantu tanpa harus diminta
terlebih dahulu sehingga terkumpul jumlah babi sesuai yang
dibutuhkan. Sebelumnya telah ada larangan pemerintah memotong
banyak ternak untuk pesta perkawinan maupun kematian. Namun
himbauan ini hanya diikuti beberapa bulan karena masyarakat sudah
terbiasa mendapat daging untuk dibawa pulang.
2.6.4.2 Perjanjian Perkawinan dan Denda Adat
Pernikahan adat melambangkan penyatuan dua keluarga
besar, dalam pernikahan juga terjadi kepakatan antar pasangan dan
kedua belah pihak keluarga berdasarkan ikatan hukum adat yang

69
berlaku. Kebanyakan pasangan di Desa Kolorae melakukan pernikahan
adat terlebih dahulu sebelum melakukan pernikahan gereja.
Pernikahan gereja biasanya dilakukan kurang lebih lima sampai
dengan sepuluh tahun setelah menikah adat. Hal ini difasiltasi gereja dengan
mengadakan pernikahan masal. Dalam pernikahan masal ini pasangan yang
telah siap dapat mendaftar dan menikah di gereja. Kesiapan pasangan untuk
menikah gereja berbeda-beda satu sama lain. Biasanya pasangan
melakukan nikah gereja bila kedua pasangan atau kedua orang tua sudah
siap. Kesiapan bisa terjadi jika pasangan merasa karakter satu sama lain
sudah cocok atau merasa tidak dapat dipisahkan lagi.
Salah satu narasumber MKT (24 tahun) merasa belum siap
menikah di gereja.
“kalo menikah gereja berarti harus janji sama Tuhan…
jalankan perintah-perintah kitab suci…. tidak boleh berkata
kasar lagi pada suami… setia sampai mati. Kalo pernikahan
adat, berjanji dengan sesama manusia… sama keluarga besar,
tokoh adat dan kepala desa”.
Masyarakat merasa nyaman dengan perjanjian perkawinan
adat yang mengikat pihak laki-laki dan perempuan. Dalam prosesi
perkawinan adat dibicarakan kewajiban istri dan suami dan
konsekuensi jika melanggar hal tersebut. Menurut BOK (35 tahun)
kewajiban istri secara garis besar adalah:
1. Istri menghargai suami sebagai kepala rumah tangga, suami
melindungi istri.
2. Istri mempersiapkan makan dan minum untuk keluarga, suami
memberikan nafkah kepada istri.
3. Bertutur kata yang sopan ketika suami pulang kerja misalnya
dengan menyapa “Ama Balige” (Bapak sudah pulang), istri
kemudian bangkit menyambut dan mencium suami. Jika hal itu
dijalankan maka suami istri dapat dikatakan keluarga yang
harmonis.
Denda dilakukan jika kedua belah pihak yang terikat dalam
perkawinan melakukan hal berikut:
1. Terjadi perjinahan diluar perkawinan oleh salah satu pasangan
suami istri.

70
2. Suami menganggap perilaku istri terhadap keluarga sudah tidak
pantas lagi, misalnya makan dan minum tanpa menunggu suami
terlebih dahulu.
3. Suami atau istri menyinggung keluarga besar perempuan (“Wini”)
maupun keluarga besar laki-laki (“Udu”).
4. Suami atau istri mengancam dan memaki pasangan.
Memberi makan suami pada bagian atas makanan merupakan
hal penting karena melambangkan penghormatan terhadap laki-laki.
Jika hal ini tidak dilakukan maka dianggap menyinggung harga diri laki-
laki. Akan tetapi Jika suami istri sudah mempunyai anak dan suami
belum sampai di rumah ketika waktu makan. Anak istri tetap boleh
makan terlebih dahulu hanya saja bagian makanan teratas dipisahkan
dan disimpan terlebih dahulu untuk suami, kemudian anak dan istri
boleh makan.
Ada pun denda adat yang didapat ditagihkan kepada pihak
laki-laki maupun perempuan jika melanggar hak dan kewajiban dalam
perkawinan adalah:
1. Pihak yang melanggar memberikan kerbau yang minimal berumur
7 hingga 8 tahun kepada pasangannya.
2. Pihak yang melanggar memberikan babi jantan yang sudah
mempunyai taring kepada pasangan.
3. Pihak yang melanggar memberikan sarung dan selimut adat Sabu
sesuai dengan permintaan.
Jika terjadi ketidakharmonisan dalam rumah tangga dan kedua
pasangan suami istri berkeinginan untuk bercerai maka denda yang
dibayar sesuai dengan kesepakatan masing-masing. Namun jika
bercerai karena perselingkuhan maka denda adat di atas harus
dipenuhi. Dalam hukum adat juga berlaku jika setahun pernikahan
pasangan tidak dapat memberikan anak maka pasangan dapat
mengajukan perceraian.
2.6.4.3 Perkawinan Bangsawan
Menurut penuturan tokoh adat BOK (35 tahun) untuk
perkawinan dengan bangsawan mas kawin yang diberikan akan lebih
besar dibandingkan dengan orang kebanyakan. Mas kawin bisa
mencapai puluhan kerbau dan babi, juga kain dan selimut Sabu.
Dalam perkawinan bangsawan, terdapat prosesi dimana “Bani

71
Aa”atau kakak tertua dari pihak laki-laki akan duduk dengan kaki lurus
di halaman rumah. Di atas kaki “Bani Aa” tersebut diletakkan ”nyiru”
atau tampah disebut juga “Kerigi Dai” untuk menampung barang-
barang yang diminta. Di tengah nyiru tersebut akan dipancangkan
sebuah “tiang” sepanjang 20-40 cm untuk mengukur jumlah barang-
barang yang diberikan. Jumlah barang-barang yang ditumpuk harus
membuat tiang tersebut tegak dan terbenam oleh barang-barang. Jika
tiang tersbut belum tegak maka “Bani Aa” akan berkata, “tobo dai
do”, yang berarti belum penuh dan harus ditambah.
2.7. Bahasa Sabu
Bahasa Sabu adalah salah satu bahasa daerah yang digunakan
oleh orang sabu di Kepulauan Sabu dan Raijua. Penggunaan bahasa ini
meluas ke bagian Nusa Tenggara Timur lainnya, yaitu Pulau Timor,
Sumba, Flores, Rote dan Alor. Penyebaran bahasa ini akibat kebiasaan
orang Sabu yang suka merantau. Perpindahan di rantau tidak
menyebabkan mereka lupa akan bahasa asal mereka. Bahasa Sabu
tetap digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Sabu di
daerah perantauan.
Pola kehidupan masyarakat Sabu yang hidup berkelompok
membuat kampung-kampung Sabu di daerah-daerah di NTT banyak
ditemukan. Kampung Sabu dapat dijumpai di kota kupang (ibu kota
Provinsi Nusa Tenggara Timur), Kabupaten Timor Tengah Selatan
(Soe), Kabupaten Sumba Timur (Waingapu).
Bahasa Sabu terdiri dari lima dialek, yaitu dialek Seba, Timu,
Liae, Mesara dan Raijua. Walau berbeda dialek dan pelafalan, bahasa
Sabu dapat dimengerti oleh semua orang Sabu yang tinggal di Pulau
Sabu Besar maupun di Pulau Raijua. Orang asing akan lebih sulit untuk
melafalkan bahasa Sabu karena terdapat banyak penekanan pada
suku-suku kata. Untuk menuliskan bahasa Sabu juga mempunyai
tantangan tersendiri, terdapat huruf “a” yang dibaca sebagai “a” atau
“e”. Untuk membedakan penekanan pada pengucapan suku kata
maka dalam penulisan diberikan tanda petik tunggal ‘ di suku kata
yang mengalami penekanan.
Sebagai contoh tulisan sakit = pad’da dibaca diucapkan
“pedda” dengan penekanan ditengah. Rumah sakit = ammu ped’da
diucapkan “emmu peda”. Tulisan obat = ro’aju diucapkan oleh

72
masyarakat Sabu sebagai “ruaju”. Bahasa Sabu tidak mengenal huruf S
dan V sehingga huruf S diganti dengan huruf H, sedangkan huruf V
diganti dengan W, sehingga pelafalan Savu menjadi Hawu (Fox, 1996).
2.7.1. Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Kedua
Proses belajar di SD berjalan lebih lambat karena terdapat
hambatan bahasa. Bahasa Sabu merupakan bahasa Ibu (Mother
Tounge) dari anak-anak Sabu sehingga secara otomatis bahasa
Indonesia menjadi bahasa kedua. Siswa di kelas satu belum
memahami bahasa Indonesia sehingga proses belajar harus dilakukan
dengan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia kemudian diterjemahkan
dengan bahasa Sabu atau sebaliknya. Hal ini memperlambat proses
belajar sehingga guru tidak mungkin untuk memenuhi semua muatan
kurikulum yang ditetapkan pemerintah.
Sebagai solusi masalah tersebut akhirnya guru-guru yang
mempunyai kemampuan mengajar yang baik ditempatkan di kelas-
kelas awal untuk mempermudah penguasaan siswa dalam membaca
dan menulis. Guru kelas satu pada akhirnya hanya menargetkan
penguasaan siswa terhadap membaca, menulis dan bahasa Indonesia.
Siswa baru benar-benar memahami bahasa Indonesia ketika mereka
di kelas 4. Pengusaan bahasa mereka masih bersifat pasif, siswa masih
kesulitan untuk bertanya dalam bahasa Indonesia sehingga jarang
diantara mereka yang bertanya. Di kelas enam kemampuan bahasa
Indonesia mereka meningkat sehingga siswa mulai aktif bertanya.
Saat berkunjung ke SDN Lokojuli yang berlokasi di wilayah
Dusun 4 dan SDN Boko di Dusun 2, ditemukan bahwa sebagian besar
guru di sekolah tersebut berasal dari luar pulau Raijua. Sebagian
sudah bisa beradaptasi dengan menggunakan bahasa setempat,
namun beberapa guru yang baru masih membutuhkan waktu untuk
berkomukasi dengan para murid yang tidak mengerti bahasa
Indonesia.
Informan PM (45 tahun) yang merupakan guru matematika
dan mengajar murid kelas 6 SDN Lokojuli mengatakan bahwa,
“di sini kami kendalanya bahasa, karena sering kali para
orang tua murid sering memakai bahasa daerah di rumah
jadi ketika saya mengajar di kelas 6 saat sekarang,
sebagian besar mereka baru menggunakan bahasa

73
Indonesia, kalau murid yang kelas 6 ke bawah masih sulit
bicara dan mengerti bahasa Indonesia”.
Bahasa yang digunakan saat pelajaran adalah bahasa Indonesia
dan separuh bahasa Sabu. Bahasa Sabu paling sering digunakan ketika
menegur anak di luar kelas. Anak-anak Sekolah Dasar sebagian besar
saat bertegur sapa dengan peneliti menggunakan bahasa Indonesia.
2.7.2. Bahasa Isyarat Sebagai Bahasa Pengantar Kesehatan
Tenaga kesehatan kontrak daerah yang bertugas di Pustu
Kolorae berasal dari suku Timor. Ia sudah empat bulan menetap di
Desa Kolorae, yaitu sejak Januari 2015. Hasil percakapan dengan
informan FS (24 Tahun) mengatakan bahwa sampai saat ini masih
bingung dan tidak mengerti bahasa Sabu. Padahal sebagian besar
pasien adalah orang tua dan pembicaraan yang sering dilontarkan
memakai bahasa Sabu. Saat berhadapan dengan pasien informan
mengalami kesulitan dalam berbahasa sehingga informan memakai
bahasa “tunjuk-tunjuk” atau bahasa isyarat untuk bertanya bagian
tubuh pasien yang sakit.

Gambar 2.40
Pasien yang menggunakan bahasa Sabu saat diagnosa.
Sumber : dokumentasi penelitian, 2015.
Cerita tersebut terlihat saat peneliti berkunjung ke Posyandu
di Dusun 3 pada tanggal 8 Mei jam 9 pagi. Salah satu pasien (gambar
2.40), datang berkunjung untuk meminta obat karena sakit kepada
petugas kesehatan yang bertugas.

74
Saat berkomunikasi dengan pasien, dokter dan bidan
menggunakan bahasa Indonesia. Pasien hanya menganggukan
kepalanya saja pertanda setuju tanpa pemeriksaan lanjutan. Hanya
berdasarkan komunikasi yang berlangsung singkat, kemudian pasien
diberi obat Ciprofloxacin dan Amoxilin. Setelah pasien selesai dengan
petugas kesehatan, peneliti meminta izin untuk mewawancarai pasien
yang bernama MRL (49 tahun).
Peneliti berbicara dalam bahasa Indonesia dan informan
menjawab dengan bahasa Sabu disertai anggukkan kepala. Asisten
peneliti kemudian membantu menerjemahkan pembicaraan tersebut.
Ternyata informan tidak mengerti bahasa Indonesia baik lisan maupun
tulisan, ia hanya menguasai bahasa Sabu. Informan diketahui putus
sekolah saat kelas 2 Sekolah Dasar.
Menurut gejala penyakit yang disampaikan informan tersebut
adalah panas-dingin, sakit kepala, “tatikam di bagian belakang”. Ia
sudah minum obat trdisional selama dua minggu namun belum
sembuh. Informan juga menceritakan bahwa sudah pernah menerima
obat saat di Posyandu desa tetangga (Desa Ballu) tapi obatnya
berbeda dengan obat yang baru saja ia terima.
Selepas pasien pergi, menurut keterangan yang diberikan oleh
dokter dan bidan, pasien mengalami rasa sakit “tertusuk” nyeri, pegal-
pegal “badan asam-asam” dan mempunyai riwayat sebagai peminum
alkhohol dan stroke. Oleh karena itu dokter memberikan obat
tersebut diatas. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti,
hambatan bahasa bisa saja menyebabkan terjadinya salah diagnosa
dan pemberian obat.
2.8. Mata Pencaharian
Sebagian besar penduduk desa Kolorae bermata pencaharian
sebagai petani rumput laut, sisanya adalah petani ladang, nelayan,
penambang garam, pengiris lontar dan penenun. Untuk petani ladang
sangat bergantung pada curah hujan sehingga ladang hanya dapat
ditanami satu kali dalam setahun. Penduduk setempat berladang
dengan menanam sorgum, kacang merah dan kacang hijau. Hanya
sedikit penduduk yang berkebun atau menanam sayur karena air dan
bibit yang sulit didapatkan.

75
2.8.1. Rumput Laut
Rumput laut menjadi sumber pendapatan baru bagi penduduk Desa
Kolorae. Pada tahun 2003 pemerintah daerah memberikan bantuan
budidaya rumput laut berupa pelathan, tali dan bibit. Penduduk lebih
banyak beralih ke budidaya rumput laut karena dapat dijual dengan harga
lebih mahal yaitu Rp. 7.000 hingga Rp. 12.000 per kilo. Harga rumput laut
pernah mencapai puncaknya pada tahun 2013, dimana harga sekilo rumput
laut bisa mencapai Rp. 15.000 - 21.000. Seorang petani rumput laut dengan
30 tali dapat menghasilkan Rp. 2 juta hingga Rp. 3 juta setiap bulannya,
sedangkan untuk yang memiliki lebih dari 100 tali bisa mencapai 4-5 juta.

Gambar 2.41
Aktivitas petani rumput laut.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Penduduk lebih banyak memilih budidaya rumput laut karena
tidak bergantung dengan musim, masa panen yang singkat sehingga
memperoleh penghasilan yang lebih cepat dan baik. Petani rumput
laut dalam waktu empat puluh hari sejak pembibitan dapat segera
panen. Bahkan pada bulan Juli dan Agustus rumput laut dapat dipanen
selama tiga puluh hari. Pada bulan ini terdapat musim angin Barat yang

76
membuat air laut dingin dan bergelombang sehingga rumput laut bersih
dari lumut dan lumpur yang menempel. Petani tidak perlu bersusah
payah membersihkan rumput laut seperti di saat musim air laut tenang.
2.8.2. Pembuat Tikar Pandan
Sejak dahulu penduduk Pulau Raijua terkenal sebagai penghasil tikar
pandan yang halus. Generasi tua di Pulau Raijua sering berdagang tikar
pandan dengan berlayar ke pulau-pulau lain seperti pulau Timor, Flores dan
Sumba. Sekarang membuat tikar hanya menjadi pekerjaan tambahan
karena penghasilan membuat tikar tidak terlalu besar. Satu tikar pandan
dengan satu lapis anyaman memerlukan waktu pembuatan selama dua
hingga tiga hari dan hanya dihargai Rp.7000. Untuk tikar pandan dengan dua
lapis anyaman bisa berharga Rp. 20.000 , namun menghabiskan waktu
selama satu minggu.
Pada tahun 2008-2009, penduduk pernah kembali beralih
membuat tikar pandan karena rumput laut gagal dipanen akibat terjadi
pencemaran minyak di laut Timor.

Gambar 2.42
Penduduk menganyam tikar pandan
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
2.8.3. Pengiris Lontar
Sekarang hanya sekitar 20 persen penduduk yang mempunyai
pekerjaan sebagai pembuat gula Sabu. Pekerjaan ini kebanyakan
ditekuni oleh penduduk pulau yang tinggal di Raijua bagian atas
termasuk Desa Kolorae. Penduduk yang tinggal di dekat pantai lebih
banyak yang bekerja sebagai petani rumput laut.
Untuk pekerjaan mengiris lontar pendapatan bergantung pada
musim dan jumlah pohon yang dimiliki. Sebelum bulan Juli hasil yang
didapat terbilang masih sedikit, jika mengiris 5-6 pohon petani hanya

77
mendapatkan dua liter setiap harinya. Namun pada bulan Juli sampai
dengan Agustus hasil bisa lebih banyak yaitu sepuluh liter. Air mengiris
lontar ini biasa disebut “tuak”.“Tuak” tersebut ditampung dengan
wadah khusus yang dibuat dari daun lontar dan biasa disebut “haik”.
Pekerjaan mengiris lontar dianggap sebagai pekerjaan yang paling
berat karena pekerja harus naik pohon lontar yang bisa mencapai 15-20
meter. Petani naik kemudian mengiris bunga pohon lontar, mengikat
“haik” di ketinggian untuk menampung tetesan air tersebut. Diatas
pohon petani mengikat dan menutup “haik” tersebut dengan tempat
segi empat yang terbuat dari pohon lontar, biasa di sebut “kepisak”. Hal
itu dilakukan untuk melindungi tetesan air lontar dari serangga. Petani
akan mengambil “haik” pada pagi dan sore hari. Selagi petani lontar
memanjat untuk mengikat “haik” maka ia juga mengambil “haik” yang
telah penuh ketika turun. Jika “tuak” telah terkumpul, air kemudian
dimasak diatas tungku api hingga mengental dan berwarna kecoklatan.
Pekerjaan ini juga tergolong berbahaya karena petani harus naik
turun dari satu pohon ke pohon lainnya dan beresiko jatuh dari atas
pohon. Penghasilan dari mengiris bunga daun lontar tergolong sangat
kecil, penghasilan dari bulan Juli hingga Desember hanya dapat dibelikan
beras dan keperluan rumah tangga seperti sabun dan deterjen sehingga
untuk lauk sehari-hari sebagian penduduk harus tetap pergi mencari
tambahan dengan memancing ikan.
Dalam waktu setahun untuk keluarga yang mempunyai 10 pohon
tuak dapat menghasilkan sepuluh derigen isi lima liter gula Sabu. Tujuh
derigen dijual dan tiga derigen disimpan untuk dipakai sendiri. Satu
derigen dapat dijual dengan harga Rp. 100.000.

Gambar 2.43
Pohon lontar dan haik untuk menampung air irisan bunga lontar
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

78
2.8.4. Pekerjaan Tambahan
Pekerjaan sebagai nelayan juga tidak lagi menjadi pekerjaan
utama lagi, Penduduk menjadikan pekerjaan mencari ikan sebagai pekerjaan
tambahan. Pekerjaan ini hanya dilakukan untuk mencukupi kebutuhan ikan
sehari-hari keluarga. Jika ada kelebihan tangkapan baru dijual ke orang lain.
Penduduk berangkat sekitar pukul 19.00 – 20.00 dan baru kembali pada pukul
23.00. Mereka menggunakan pancing ataupun memasang pukat untuk
menanglap ikan. Jika memakai pancing mendapat ikan yang besar sedangkan
jika memakai pukat mendapat ikan yang kecil-kecil.
Selain pekerjaan diatas, terdapat pekerjaan lain yang
dikhususkan untuk laki-laki. Pekerjaan khusus yang hanya dilakukan
oleh laki-laki adalah supir, tukang bangunan dan tukang angkut atau
biasa disebut “kojak”. Untuk pekerjaan petani rumput laut dilakukan
oleh laki-laki maupun perempuan dengan dibantu anggota keluarga
yang lain seperti anak dan orangtua.
Menenun merupakan pekerjaan yang banyak dilakukan oleh
kaum perempuan. Hasil dari tenunan menggambarkan keluhuran dan
keterampilan kaum perempuan. Kain tenun sangat dibutuhkan untuk
berbagai upacara adat, tanpa kain ini upacara adat tidak dapat
dilakukan. Kain tenun untuk upacara adat harus dikerjakan secara
tradisional dengan tangan dan pewarna alami sehingga membutuhkan
waktu yang lama untuk menyelesaikan satu kain. Satu tenunan bisa
memakan waktu kurang lebih seminggu ataupun sebulan. Kain tenun
ini sangat berharga sehingga dapat bernilai minimal Rp. 700.000
hingga jutaan rupiah.

Gambar 2.44
Aktivitas menenun Kain dan hasil tenun berupa sarung dan selimut
Sumber: Dokumentasi Penelitian, 2015.

79
2.8.5. Alokasi Penghasilan
Untuk sebuah rumah tangga di Desa Kolorae, minimal
membutuhkan biaya sebesar Rp. 1 juta sampai Rp. 1,5 juta sebulan. Hal ini
dialokasikan untuk membeli beras yang berharga Rp.490.000 sekarung,
Rp.500.000 untuk membeli minyak, bumbu dapur, ikan dan sayur dan
sisanya untuk membeli keperluan mandi dan mencuci seperti sabun
mandi, pasta gigi dan sabun cuci. Ada juga rumah tangga yang merasa
cukup menghabiskan uang sebesar Rp.500.000 saja untuk membeli beras,
sisa dari penghasilan dipakai untuk bertaruh di pertandingan taji ayam.
Terdapat acara adat yang melibatkan kegiatan taji ayam yang
dinamakan “Kebihu”. Dalam acara “Kebihu” kegiatan taji ayam dilakukan
setiap hari selama sebulan. Kegiatan ini berpindah-pindah tempat dan
ramai didatangi oleh para laki-laki di waktu sore hari. Mereka berkumpul di
arena taji ayam selepas melakukan pekerjaan sehari-hari.
Terdapat peraturan tidak tertulis bahwa bertaruh taji ayam diluar
acara “kebihu” tidak diperbolehkan. Polisi tidak dapat melarang kegiatan ini
karena bagian dari acara adat. Bagi yang senang bertaruh, acara ini menjadi
kesempatan untuk berjudi. Menurut NK (32) “bagi mereka yang gemar
berjudi akan berusaha bekerja lebih keras lagi agar mendapatkan uang
untuk dapat berjudi terus”.
Seorang tokoh masyarakat setempat BOK (35) menganggap
bahwa standar kehidupan di Pulau Raijua dapat lebih baik jika dilihat
dari sumber pendapatan sekarang. Walau penghasilan meningkat,
namun taraf hidup tidak meningkat karena banyak penduduk yang
terlibat judi taji ayam, kuru-kuru, dan jenis judi lainnya.
Selain penghasilan banyak dihabiskan untuk berjudi, alokasi
pendapatan juga digunakan untuk menyumbang saudara yang
menyelenggarakan acara adat seperti pernikahan, selamatan rumah,
kematian, upacara peringatan kematian dll. Dalam acara adat ini keluarga
menyumbang hewan kurban seperti babi, kerbau, kuda, kambing, domba dan
ayam. Selain hewan, keluarga juga dapat menyumbang berupa uang, Besar
uang yang dikeluarkan sangat bergam, berkisar Rp. 100.000 sampai dengan
Rp. 200.000 ada juga yang menyumbangkan sampai dengan satu juta rupiah.
2.9. Teknologi dan Peralatan
Dalam penggunaan teknologi dan peralatan untuk kehidupan
sehari-hari. Masyarakat Desa Kolorae masih mempertahankan peralatan

80
tradisional yang dipakai secara turun temurun. Peralatan tradisional tetap
diperlukan terutama untuk memenuhi persyaratan dalam ritual adat.
Pada acara adat untuk memberi makan tamu diperlukan peralatan
makan tradisional seperti “Kerigi Ngaa” dan “Kab’ba Nginu”. “Kerigi Ngaa”
adalah piring untuk makan yang dibuat dari anyaman daun lontar. “Kab’ba
Nginu” merupakan tempat minum yang berasal dari tempurung kelapa.
Dalam acara adat untuk menaruh makanan yang mengandung kuah
penduduk menggunakan “Oko”, yaitu sejenis mangkuk yang berasal dari
tempurung kelapa.

Gambar2.45
Kiri: “Kerigi Nginu” dan “Kerigi Ngaa”.
Kanan: Ibu-ibu membawa makanan yang disimpan di “Kerigi Wore”
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Walaupun telah banyak produk-produk plastik modern yang
masuk ke Desa Kolorae. Penduduk masih mengunakan peralatan
tradisional untuk menyimpan makanan yang disebut “Kerigi Wore”,
yaitu keranjang kecil berbentuk segi empat yang terbuat dari anyaman
daun lontar dan dilengkapi dengan tutup. Dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat masih menggunakan tikar dari pandan “Dappi” untuk
mempersilahkan tamu duduk.
2.10. Kesenian
Kesenian yang dikenal luas dan merakyat adalah tarian
“Padoa” yang merupakan tarian yang dilakukan setelah panen kacang
hijau dan sorgum selesai. Tarian “Padoa” dilakukan secara masal

81
dilapangan melibatkan pria dan wanita. Pria dan wanita bergandengan
membuat lingkaran. Dulu tarian “Padoa” merupakan ajang sosialisasi
dan mencari jodoh, namun sekarang ketertarikan pemuda pemudi
untuk mengikuti tari “Padoa” sudah berkurang karena sudah adanya
televisi dan telepon selular. Menurut VK (30 tahun) “anak-anak
sekarang lebih tertarik melihat artis-artis sinetron yang cantik-catik..
putih-putih… dan mencari jodoh lewat sms di HP (handphone).

Gambar 2.46
Tarian Padoa
Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Sabu Raijua, 2015.

82
BAB III
POTRET KESEHATAN

3.1 Kesehatan Lingkungan


3.1.1 “Piala yang sudah berdebu”
Salah satu aspek dari kesehatan masyarakat adalah kesehatan
lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan kehidupan
di sekitar manusia yang mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan
manusia itu sendiri. Hubungan antara manusia dan lingkungannya
selanjutnya dapat meningkatkan kualitas hidup manusia dan dapat
pula menghasilkan sesuatu yang merugikan lingkungan dan manusia.
Menurut H.J. Mukono (2006), menerangkan bahwa ada
hubungan sehat, sakit dan lingkungan hidup. Dalam segitiga epidemiologi
menggambarkan hubungan timbal balik antara induk semang
(host)dengan agen (agent) dan juga lingkkungan (environment).
Perjalanannya terdapat faktor yang selalu menyertakan lingkungan fisik,
biologis dan sosial budaya.
Lingkungan fisik meliputi keadaan iklim dan cuaca. Lingkungan
biologis mencakup agen penyakit, manusia dan binatang (reservoir),
vektor pembawa penyakit (lalat, nyamuk), tumbuhan dan binatang.
Agen-agen patogen yang ditularkan melalui air di sebut water borne.
Sama seperti manusia,ada pembagian tugas antara kesemuanya antara
lain algae pembawa penyakit gastro enteritis (GE), bakteri untuk penyakit
cholera, parasit menularkan penyakit malaria dan cacingan, protozoa
menjadi penyebab penyakit desentri, diare dan untuk penyakit polio dan
hepatitisdisebabkan oleh virus. Lingkungan sosial budaya merupakan
ruang yang bersifat dinamis dan cukup pelik yang dimaksudkan adalah
kebiasaan sosial yang sudah menjadi budaya masyarakat memungkinkan
akan memberi pengaruh terhadap kesehatan.
Berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)
tahun 2013 menampakan Kabupaten Sabu Raijua memiliki 0,0318 %
kesehatan lingkungan dengan kategori sangat buruk dan berada pada
rangking 475 Nasional serta rangking 377 dalam kategori
kabupaten/kota dalam kota.Menurut data Dinas Kesehatan Sabu
Raijua dalam angka 2014 menulis angka tersebut sebagai sesuatu yang
pantas untuk ditulis mengingat Kabupaten ke 19 di Provinsi NTT

83
tersebut baru mekar dari Kabupaten Kupang tahun 2009 dan perlu
berbenah dari semua aspek termasuk lingkungan. Harapan untuk
diperhatikan dari pihak luar juga tersirat dalam setiap kalimat “tegas”
yang tertuang di dalam buku putih Kabupaten Sabu Raijua. Mengingat
betapa luasnya aspek lingkungan, pada topik ini peneliti membatasi
dengan menitikberatkan pada sistem penunjang kehidupan dan
sumberdaya akses publik (sanitasi) serta sisa-sisa aktivitas manusia
yang disebut sampah dan penyakit yang timbul akibat lingkungan yang
tidak diperhatikan.

Gambar 3.1
Piala lomba kebersihan tahun2014 untuk Desa Kolorae
Sumber: Dokumentasi Penelitian, 2015
Satu piala penghargaan diberikan untuk desa Koloraedi tahun
2014 sebagai juara ketiga dari 2 kelurahan dan 3 desa dalam lomba
kebersihan lingkungan oleh Puskesmas Ledeunu.Hadiahtersebut
disematkan saat hari kesehatan dunia tanggal 7 April. Setelah
menerima piala itu selanjutnya diletakan di dalam ruangan kepala
desa, di atas sebuah lemari kayu, lama tak dibersihkan sehingga ketika
dipandangsudah berdebu, ruangan itu kosong, kursinya jarang
diduduki dan tidak ada berkas didalam ruangan 4x4 meter persegi
tersebut. Urusan administrasi sepenuhnya ditangani oleh satu orang
Kepala Urusan Umum kantor desa (bukan PNS)karena kepala desa
lebih banyak menangani masalah sosial di masyarakat dan jarang
berkantor sehingga camat Raijua menunjuk seorang PNS sebagai
mentor untuk membatu pegurusan administrasi.
Mengenai pemenang lomba kebersihan lingkungan tingkat
Kecamatan Raijua menurut Kepala Puskesmas Ledeunu, “Kami menilai

84
sesuai dengan apa yang kami lihat di lapangan, kalau sudah
mendapatkan juara ke-3, berarti om bisa tahu sendiri kondisi
sanitasinya seperti apa dan kesadaran perilaku masyarakat dalam
kebersihan lingkungan seperti apa”. Sanitasi secara umum mengacu
pada penyediaan fasilitas dan akses pelayanan untuk publik dalam hal
tempatsampah, ketersediaan air bersih, jamban keluarga dan
pengelolaan limbah. Sanitasi yang tidak memadai adalah penyebab
utama penyakit. Kata “sanitasi” khususnya mengacu pada kemampuan
menjaga kondisi lingkungan yang sehatdengan sumber daya yang ada.
3.1.2 Sampah Bukan Merupakan Fatamorgana Belaka
Di desa Kolorae terdapat sampah lokal yang berasal dari individu,
kelompok dan masyarakat. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk
pengelolaan sampah menjadi persoalan tersendiri bagi lingkungan
tempat tinggal. Pemandangan sampah di setiap rumah dan jalan desa
dan ladang bukan lagi menjadi fatamorgana belaka. Salah satu kendala
dalam pengendalian pencemaran sampah di samping tidak ada sarana
tempat sampah, seringkali masyarakat membuang sampah sembarangan
dan membiarkan begitu saja dalam waktu lama.
Pada umumnya masyarakat desa Kolorae tidak memiliki
tempat sampah keluarga maupun umum. Sampah di buang di sekitar
rumah dan jalan. Tumpukan tersebut berserakan mengelilingi
lingkungan rumah tinggal bersamaan dengan hewan peliharaan yang
bebas berkeliaran di perkarangan rumah dengan membuang
kotorannya. Disimpulkan berdasarkanpengamatan dan keterangan
para informan sewaktu Focus Group Discussion (FGD), sampah-
sampah tersebut dibiarkan dengan maksud agar nantinya dibakar
pada saat yang diinginkan. Informan NKK mengatakan bahwa, “Biar
nanti baru dibersihkan,” informan YKK sebagai ibu rumah tangga,
“Kalau sudah banyak, kumpul, pakai bakar di tungku untuk masak”,
informan BE sebagai petani sorgum, “Nanti di bakar satu kali saat
kasih bersih ladang”.

85
Gambar 3.2
Sampah di jalan umum, ladang dan seputaran rumah.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Sampah yang ditumpuk dan dibuang sembarangan akan beresiko
terhadap kesehatan. Tumpukan sampah yang dibiarkan begitu saja
akan mengundang hewan dan serangga seperti tikus, lalat, kecoa,
kutu dan binatang lainnya yang dapat membawa kuman penyakit.
Selain itu juga timbunan sampah menyebabkan bau yang tidak sedap
dan mengurangi pemandangan yang asri.
Tidak ada kegiatan pembersihan lingkungan sekitar rumah yang
rutin setiap harinya. Menurut kepala desa Kolorae kegiatan
kebersihan lingkungan desa dalam setahun dilaksanakan sebanyak
dua (2) kali yaitu pada bulan Maret dan bulan Oktober. Tanggal 22
Mei tahun2015 masyarakat 5 dusun berkumpul di kantor desa Kolorae
dihimbau agar membersihkan lingkungan desa. Tujuan utama
pembersihan lingkungan yaitu mendapatkan juara kategori kebersihan
lingkungan tahun 2015 berdasarkan tingkat kegotong-royongan yang
akan dipantau langsung oleh pihak kecamatan.
Saat forum desa berlangsung, disepakati kaum pria bertugas
memperbaiki jalan desa yang berlubang dan kaum perempuan
bertugas untuk membersihkan sampah yang berserakan di depan
Pustu Kolorae. Jadwal Jumad bersih tersebut dilaksanakan pagi hari.
Tidak ada kegiatan pembersihan lagi di tempat lain sesuai
kesepakatan selama tiga hari di 5 tempat berbeda. Menurut
koordinator pelaksana YBB “Tempat sekitar Pustu Kolorae dipilih
sebagai bentuk kepedulian masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
yang ada di desa, 2 hari tidak ada kegiatan kebersihan karena semua

86
masyarakat sudah sibuk dengan kerja rumput laut, kita tidak bisa
paksa mereka”.
Tempat umum merupakan tempat interaksi bertemunya segala
macam masyarakat dengan segala jenis “Tabungan” penyakit yang
dipunyai oleh setiap individu. Media penularan yang tampakmata
adalah masih banyaknya sampah dan kotoran hewan yang
berserakan. Menurut H.J Mukono (hal 97-98), sesuatu yang merugikan
lingkungan di sebut sebagai “Environmental Hazards”. Hubungan
antar manusia dan lingkungan tergambarkan seperti bagan berikut :

Penunjang kehidupan yaitu Sisa sisa sampah yaitu padat,


Energy, biologik, geofisik, sosial cair, gas, energi.

Aktivitas Manusia (human activities) yaitu perumahan,


rekreasi, bekerja, transportasi.

Bahaya lingkungan (environmental, hazards) : Fisika : vibrasi,


radiasi, abrasi, kelembaban. Biologik : hewan, insekta, mikro
biologik, vegetasi, tertekan/depresi. Psikologik : ketegangan,
kejemuan, kecemasan, tidak nyaman. Bahaya Lokal : gempa
bumi, banjir, angin ribut. Kimia : keracunan, toksin, alergen,
iritan. Sosiologikialah kumuh, terisolir.

Gambar3.3 Hubungan antar manusia dan lingkungan


Sumber : Living in the Env, concepts, problems and deternatives (1975)
3.1.3 Ketersediaan Air Bersih “Antara Ada dan Tiada”
Ketersediaan air bersih sangat minim di desa Kolorae, tidak
semua rumah tangga mempunyai sumur sendiri. Penduduk
mengandalkan pasokan air bersih dari sumur-sumur yang ada di desa.
Sumur -sumur dipakai bersama oleh penduduk setempat. Satu sumur
diperebutkan oleh delapan sampai dengan sepuluh keluarga. Sebagian
besar penduduk mengambil air di sumur umum yang berjarak 200
hingga 500 meter dari rumah, dengan jalanan menanjak, tidak rata
dan berbatu. Berdasarkan hasil observasi di lima dusun terdapat 30
sumur umum yang diperuntukkan untuk 442 Kepala Keluarga yang
hidup di wilayah tersebut. Dusun 1 ada 3 sumur, 5 sumur di dusun 2,

87
dusun 3 terdapat 3 sumur, dusun 4 memiliki 11 sumur dan9
sumur dimanfaatkan oleh warga dusun 5. Kedalaman sumur umum
rata-rata berkisar 20-25 meter. Setiap sumur mempunyai 1 mata air
kecil.
Sudah menjadi tradisi setempat, laki-laki pergi keluar rumah
untuk mencari nafkah sedangkan kaum perempuan memikul air,
mengurus anak, mencuci dan memasak. Setiap pagi dan sore kaum
perempuan mengantri untuk menimba air di sumur. Pekerjaan ini
sudah biasa mereka lakukan semenjak mereka kecil.Air diambil
dengan menggunakan pikulan dari kayu dengan dua ember yang
digantungkan di sisi kanan dan kiri bahu. Untuk anak perempuan yang
beranjak dewasa mereka mulai belajar menimba air dengan ember
kecil sedangkan untuk perempuan dewasa mereka menimba dengan
ember besar.
Dalam satu hari mereka membawa tiga sampai enam pikul air
tergantung kebutuhan masing-masing rumah tangga. Tiga pikul air
atau enam ember dapat digunakan untuk memasak dan mandi.Tidak
ada keluhan yang keluar dari para perempuan ketika harus menimba
dan memikul air. Mereka berkata bahwa mereka sudah biasa memikul
air dan tidak terasa capek. Mereka melakukan hal ini sebagai bagian
dari kewajiban pekerjaan seorang perempuan.
Perempuan harus mengantri untuk mengisi ember-ember yang
dibawa. Pekerjaan memikul air menjadi menjemukan dikala musim
kering tiba. Ketika sumur kering maka perempuan semakin lama
menunggu air dan antrian menjadi semakin panjang. Setiap pengisian
5 pikul atau 10 ember perempuan harus menunggu kurang lebih tiga
puluh sampai empat puluh menit sampai air tanah menggenangi dasar
liang bergorong-gorong tersebut. Untuk menyiasati hal ini mereka
menaruh ember sebagai tanda giliran antrian mereka. Sambil
menunggu, mereka biasa ke tetangga yang rumahnya paling dekat
atau berkumpul dengan sesama ibu-ibu sambil bertukar cerita sampai
air terkumpul lagi.

88
Gambar 3.4
Aktivitas warga untuk mendapatkan air bersih.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Tempat penyimpanan air di rumah wargaberupa ember
plastik, jerigen, bak mandi ukuran kecil dan beberapa bejana tanah.
Para pelangganmengambil air paling sering dijumpai sore hari yaitu
antrian persiapan stok untuk keesokan harinya. Ada peraturan yang
tidak tertulis diantara pengguna air sumur yaitu tidak diperbolehkan
mencuci apapun termasuk mandi di sekitar sumur karena akan
mencemari air sumur.
Berkunjung ke Sekolah Dasar Loko Juli, sebagian besar anak
sekolah tidak mandi pagi. Setiap individu di desa kolorae bisa
dipastikan satu kali mandi per hari. Musim hujan yang hanya
berlangsung tiga bulan, akibatnyadesa Kolorae sering mengalami
kekeringan dan kesulitan air. Setelah musim hujan berakhir sumur-
sumur mulai mengering. Pemerintah daerah membuat penampungan
air hujan seperti danau kecil yang dikenal dengan nama “Embung”.
Embung digunakan untuk menampung air hujan. Tujuan awal
diperuntukan untuk pengairan ladang dan tanaman serta kebutuhan
masyarakat akan air bersih di musim kemarau. Seiring dengan waktu,
kolam air tersebut digunakan untuk mandi dan minum ternak. Oleh
sebab itu para warga enggan menggunakan sarana air yang telah
disediakan untuk minum, mandi dan mencuci. Menurut informan ibu
Sarlin “Jorok masa sudah kasih mandi hewan begitu kita mau pakai
untuk mandi dan minum”

89
Gambar 3.5
Embung, sumur khusus untuk minum dan mandi/mencuci.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Untuk memenuhi kebutuhan air yang lebih besar ketika ada pesta
dan upacara adat,penduduk biasanya memesan air dari mobil tangki
sebagai tambahan pasokan air bersih. Air berasal dari mata air di
“Menanga” Desa Ballu tampatnya berada di pesisir pantai. Harga air dari
tangki Rp. 300.000,- berisi 4000 liter air. Untuk mengatasi kekeringan, di
desa Kolorae sendiri terdapat enam aliran air berupa sungai “Kali” kecil.
Sungai itu sebagai batas desa Kolorae dengan desa Ballu, akan tetapi
sungai tersebut tidak dapat digunakan karena kering.
Dalam sesi tanya jawab warga 3 desa dengan Bupati
Kabupaten Sabu Raijua saat pertemuan di desa Balua mengenai
keluhan ketersediaan air bersih di pulau Raijua khusunya desa
kolorae, beliau mengatakan bahwa
“Sudah bekerja sejak dahulu sebelum menjabat sebagai Bupati
Sabu Raijua untuk membatu masyarakat terkait Air bersih,
waktu itu saya bekerja pada yayasan atau NGO (Non
Government Organisasion), yang paling berpotensi sekarang
yaitu ada1 mata air besar yaitu di Menanga, kami sudah
memasang selang dan pipa beberapa tahun lalu untuk
mengaliri ke rumah-rumah warga sampai ke Kecamatan
Ledeunuakan tetapi tekanan air yang kecil/rendah sehingga
tidak dapat menempus sampai ke atas desa Kolorae, Ballu dan
Balua, kita sekarang sedang berupaya untuk membuat
kaptering untuk menampung air yang keluar dari mata air dan
akan mencoba menggunakan teknologi baru yaitu mesin
pompa penyalur dengan tenaga surya, pasti berhasil, oleh

90
karena itu perlu adanya kerjasama masyarakat tentang
informasi lain mengenai sumber mata air lainnya yang ada
disekitar ataupun yang dahulu sudah tertutup atau tertimbun
tanah di sekitar 3 desa ini, saya siap bekerja bersama-sama
karena sekarang sudah ada alat berat yang kami taruh di pulau
ini, di pulau ini kami sudah membuat embung sebanyak 20
buah dengan harga tender 50 juta per embung, untuk desa
Kolorae ada 2 embung, yang satu sedang kering,jadi bapa,
mama basodara semua diharapkan memaksimalkan apa yang
sudah diberikan oleh pemerintah, yang kami pantau tadi siang
embung-embung tadah hujan tersebut hanya digunakan
sebagai tempat mandi ternak, tidak ada pemanfaatan lain
seperti pertanian dan lain-lain jadi berikan kami waktu untuk
bekerja”
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-
hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum
setelah di masak.
Menurut informan Jibrael Miwetuhi
“Masyarakat di sini malas mengambil air yang jauh-jauh,
padahal sudah ada, air yang diambilpun kemudian tidak
dimasak untuk keperluan minum, minum air mentah saja, tidak
sakit perut karena sedah terbiasa”.
Menurut tenaga kesehatan Puskesmas Ledeunu sebagai pengelola
kesehatan lingkungan, Arif Rihi Biha
“Memang benar, masyarakat di sini lebih dominan
mengkonsumsi air mentah, karena rasa dinginnya itu, malas
cari kayu bakar untuk masak karena lama, apalagi kalau sudah
pulang dari ladang panas, itu sangat berbahaya karena
kandungan bakteri E.Colli saat musim kemarau begini akan
terkonsentrasi pada air yang sedikit, kalau musim hujan bakteri
E.Collinya sedikit karena air mengalir”
Kualitas air yang memenuhi syarat kesehatan yaitu tidak berasa,
tidak berwarna, tidak berbau dan tidak mengandung bakteri. Ada
beberapa sumur di desa Kolorae yang menurut warga rasanya pahit dan
tidak untuk di minum karena berdekatan dengan pohon nitas. Ada juga
air sumur tertentu yang jika di minum mentah rasanya sedikit payau

91
namun tetap dikonsumsi karena tidak ada pilihan lain. Semua air sumur
ketika diambil dan ditampung mempunyai warna yang sedikit keruh dan
berkapur, hal tersebut karena dasar sumur adalah tanah kapur putih dan
memang jarang dibersihkan secara berkala.
Adapun tentang keberadaan bakteri E.Collidalam air mentah dari
sumur yang sering di konsumsi oleh warga, peneliti belum membawanya
ke laboratorium akan tetapi ada hal yang sering terjadi ketika peneliti dan
beberapa orang yang tinggal serumah ketika meminum air yang
disuguhkan baik berupa air putih maupun yang sudah di campur dengan
air gula sabu yaitu akan mengeluarkan bunyi disertai hembusan angin
dari dubur individu secara terus menerus baik siang maupun malam
setelah meneguk segelas atau lebih. Menurut informan MF “Itu kita
sudah biasa karena minum air mentah, hahaha…”.
Menurut peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 20
tahun 1990 menyatakan bahwa pencemaran air adalah masuknya atau
dimasukannya makluh hidup, zat, energy dan atau komponen lain ke
dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke
tingkat tertentu yang membahayakan, yang mengakibatkan air tidak
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Air yang tercemar
berdampak pada kesehatan masyarakat. Menurut H.J. Mukono, 2006,
salah satu indikator bahwa air tercemar adalah adanya mikroorganisme
patogen dan non patogen didalamnya. Sumber air yang terkontaminasi
mempunyai species mikroorganisme yang berlainan dari air yang bersih.
Sumber air yang telah tercemar umumnya mempunyai kadar bahan
organik yang tinggi sehingga banyak mengandung mikroorganisme
heterotropik. Mikroorganisme tersebut akan menggunakan bahan
organik untuk metabolismenya seperti Coliform.
3.1.4 MinumanBermerek Sebagai Pola Gaya Hidup “Persaingan
antara air mentah, air gula sabu, minuman sopi dan Bir Bintang”
Selain mengkonsumsi airmentah dan air gula sabu, masyarakat
setempat juga mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman keras
tradisional yang bernama Sopi. Sopi merupakan air tetesan irisan bunga
lontar (tuak) yang telah difermentasikan. Jika “Tuak” di masak maka
akan menghasilkan gula sabu namun jika tuak difermentasi maka akan
menghasilkan minuman beralkohol. Minuman Sopi biasa diminum oleh
kaum laki-laki dewasa. Saat ini, seiring dengan peningkatan taraf

92
ekonomi masyarakat, keberadaan Sopi mulai tergantikan oleh
minuman-minuman beralkohol dengan merek tertentu yang berasal
dari kota-kota besar. Kehadiran minuman keras bermerek menambah
semarak pesta-pesta yang diadakan oleh masyarakat. Selain menambah
keceriaan, kehadiran minuman tersebut juga menambah gengsi tuan
rumah yang menyelenggarakan pesta.
Dalam pesta-pesta selalu diakhiri dengan acara minum-
minuman keras sampai berpuluh-puluh krat. Satu krat berisi 12 botol.
Sebagian kecil setiap perjumpaan dengan pemuda-pemuda desa
Kolorae saat malam hari selalu tercium aroma khas minuman keras
baik sopi maupun bir bintang. Aktivitas meneguk minuman keras
biasanya dengan alasan supaya menjalin tali persaudaraan dengan
teman, lebih mempererat hubungan kekeluargaan. Kebiasaan
membunuh waktu yang diterapkan oleh para kawula muda dan para
orang tua berjenis kelamin laki-laki di desa Kolorae memperburuk
ekonomi keluarga. Di dalam survei rumah tangga yang diadakan oleh
pihak desa Kolorae rata-rata mengatakan bahwa dalam sehari makan
tidak tentu. Saat peneliti observasi wawancara masyarakat rata-rata
makan 1,5 kali dalam sehari.
Menurut penanggung jawab wilayah jemaat gereja Loko Juli
Tobias Kehe Tola.
“Di sini beras tidak ada jual perkilo, coba kakak tanya saja di
toko-toko pasti tidak ada, kalau dapat uang langsung beli 1
karung untuk makan satu rumah, harga 1 karung 400-450 ribu
tergantung kualitas beras, terus kasih uang sedikit untuk istri
pegang dan sisa uang lainnya untuk beli minuman baik sopi
atau bir, pergi taruhan ayam dan lain-lain, sistim di sini yang
penting sudah beli beras 1 karung untuk makan saja sudah
cukup yang lain urusan berikutnya”
Hampir di setiap rumah yang peneliti lalui selalu terdapat
jejeran dan tumpukan botol-botol bir bintang. Peletakan botol-botol
berwarna hijau tersebut menandakan bahwa si tuan rumah pernah
membuat sebuah acara pesta besar dengan menghadirkan minuman
bermerek. Harga minuman sopi per 1 botol dalam kemasan botol
aqua sedang di jual dengan harga 10 ribu rupiah. Untuk harga 1 botol
bir bintang dihargai dengan 40 ribu rupiah. Para penikmat seolah tak

93
tanggung-tanggung saat merogok kocek untuk membeli berkrat-krat
minuman keras yang baru masuk di pulau tersebut tahun 2005 silam.
Minuman tersebut di bawa pertama kali oleh para pelaut dari
Makasar dan dibarter dengan hasil bumi dari penduduk desa Kolorae
yang berprofesi sebagai petani rumput laut.
Meneguk 1 sampai 2 botol bir dianggap biasa, mereka akan
lebih puas jika bisa menghabiskan banyak botol hingga mabuk. Mabuk
yang dimaksud adalah bisa melupakan masalah kehidupan dan
kerasnya hidup di pulau karang ini. Menurut para kaum perempuan
yang telah menjadi ibu rumah tangga, ketika melihat kondisi tersebut
rasanya sudah bosan menegur suami, informan YRT “Mereka hanya
mebuang-buang uang saja, kita mau bilang apa lagi, mereka yang cari
uang untuk kita-itu minum juga utang di toko nanti setelah dapat
timbang agar (rumput laut) baru bayar”.
Biasanya kaum laki-laki memulai mengenal minuman keras ketika
mereka berusia Sekolah Menengah Atas.Kebiasaan ini mereka dapatkan
karena bergaul dengan teman-teman lingkungan yang juga peminum.
Pengalaman itu mereka terapkapkan berdasarkan para orang tua dan
kakak laki-laki mereka yang kerap kali mempertontonkan aksi “Miras”
disekitar mereka dan juga pada saat acara pesta. Awalnya hanya coba-
coba namun karena kurangnya pengetahuan akan bahaya minuman
keras sehingga menjadi kebiasaan. Kemungkinan besar para kaum laki-
laki dewasa sudah menjadi alkoholik.

Gambar 3.6
Tumpukan botol bir di rumah warga
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Berdasarkan hasil wawancara, responden yang suka
mengkonsumsi “Miras”mempunyai pengetahuan yang kurang tentang

94
dampak dari minuman keras itu sendiri. Mereka berpendapat bahwa
semua jenis minuman yang mengandung alkohol memang merupakan
minuman keras dimana pada saat dikonsumsi akan memberikan
sesuatu yang tidak dapat mereka rasakan atau alami sebelumnya
seperti perasaan senang, keberanian untuk melakukan sesuatu, bahkan
dapat memberikan kekuatan atau energi baru bagi mereka untuk
beraktivitas. Selain itu, mereka berasumsi bahwa semua jenis minuman
keras itu sama saja walaupun memiliki kadar alkohol yang berbeda
sehingga jika dikonsumsi dalam jumlah yang banyak hanya akan
menimbulkan pusing sesaat kemudian hilang dan semua itu tidak akan
menimbulkan dampak yang negatif bagi kesehatan mereka. Bahkan
mereka berani mengatakan bahwa mengkonsumsi minuman keras
dalam jumlah yang banyak dapat membuat mereka berimajinasi dan
dapat menghilangkan segala beban hidup yang dirasakan sangat berat.
Ditinjau dari segi teori Hutapea(1993), minuman keras adalah
produk yang dihasilkan melalui proses fermentasi dengan
menggunakan khamir (ragi/saccaromyces cereviceae), pada bahan
yang mengandung pati. Alkohol yang sering diperdagangkan dapat
berupa metanol, etanol dan butanol. Alkohol digolongkan ke dalam
zat adiktif karena dapat menimbulkan ketagihan (adiksi) dan
ketergantungan (dependensi). Karena sifat adiktifnya ini maka
seseorang yang mengkonsumsi alkohol dalam jangka waktu tertentu
akan menambah takarannya sampai pada dosis yang dapat
menimbulkan keracunan (intoksikasi) dan kemabukan.
Pernyataan tersebut juga didukung oleh Ismail (2005) yang
menyatakan bahwa orang yang mengkonsumsi alkohol 70% lama
kelamaan dapat menyebabkan kecanduan dan akan menambah
takaran yang lebih pada saat mengkonsumsi, hal ini dapat
menyebabkan mata menjadi kabur atau rabun yang pada akhirnya
bisa buta dan dapat menyebabkan kematian. Walaupun ada yang
selamat maka sudah pasti akan menyebabkan matanya buta karena
menyerang saraf-saraf mata. Kalau sudah ada orang yang kecanduan
alkohol, lama kelamaan mereka akan malas dan tidak bisa melakukan
sesuatu pekerjaan kalau tidak minum alkohol atau ada rangsangan.
Keadaan ini bermula dari adanya perilaku (kebiasaan) seseorang untuk

95
mengkonsumsi minuman beralkohol. Alkoholisme merupakan suatu
penyakit yang sulit ditanggulangi oleh penderitanya.
3.1.5 Cuci Tangan Pakai Sabun
Kebersihan tangan,minuman danmakanan yang masuk ke
mulut seseorang dapat mempengaruhi kondisi kesehatannya. Salah
satu pokok bahasan yang berkaitan dengan ketersediaan air bersih
adalah cuci tangan memakai sabun dalam setiap aktivitas.
Berdasarkan pengamatan selama di lapangan, peneliti tidak pernah
menjumpai penampungan air yang tersedia sabun. Sabun yang telihat
berupa deterjen “Rinso dan Daia” yang tergeletak di dalam rumah.
Bahan pembersih tersebut diperuntukkan khusus untuk
mencuci pakaian dan alat makan. Setelah berlama-lama di beberapa
rumah yang dikunjungi, kami selalu dipertontonkan beberapa aksi dari
para bocah yang berdebu setelah bermain melubangi tanah,
permainan lompat-lompat dengan mengambil batu “Sikidoka” dan
langsung makan di halaman rumah maupun di ladang/kebun sekitar
yang terdapat batang tanamantebu dengan kedua tangan. Hal ini
sudah biasa, para orang tua, sanak saudara yang melihatnya pun
tampak senang melihat kondisi tersebut “Yang penting mereka
makan, apa saja makan”. Untuk kegiatan mencuci tangan dengan
sabun pada saat menggunakan pestisida kami tak pernah melihat,
karena saat penelitian berlangsungbelum bertepatan dengan musim
tanam sehingga tidak berladang.
Kejadian setelah menceboki bayi, tidak mencuci tangan
dengan sabun dan hendak menyediakan makanan, kami mendapati
langsung. Semua aktivitas mencuci tangan dengan sabun tidak pernah
telihat oleh pandangan mata peneliti, kecuali membersihkan diri pada
saat mandi dan mencuci alat makan dengan menggunakan sabun dari
air sumur yang telah di tampung.

96
Gambar 3.7
Konsumsi makanan tanpa CPTS dan kebersihan diri
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
3.1.6 Jamban Sehat “Semboyan kloset malu”
Kamar mandi darurat dan Kakus berbahan semen terletak di
luar bagian samping dan belakang rumah. Menurut kepercayaan
masyarakat, saat menerima tamu, rumah tersebut dianggap tidak
sopan dan rumahnya terasa kotor. Pembangunan WC/kamar mandi
dimulai sejak bulan April tahun 2013. Sebanyak 90 rumah tangga yang
mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah. Berdasarkan Raijua
dalam angka tahun 2013 mencantumkan kondisi praktek sanitasi total
berbasis masyarakat desa Kolorae yaitu dari 437 Kepala Keluarga yang
buang air besar di jamban sebanyak 338, diantaranya 239 melakukan
cuci tangan pakai sabun.

Gambar 3.8
MCK bantuan yang di
bangun,kamar mandi
darurat.
Sumber :
Dokumentasi
Penelitian, 2015

Pemilik rumah yang tidak mendapat bantuan, memiliki kamar


mandi darurat tanpa kloset tetapi memiliki lubang pembuangan.
Penghuni rumah yang tidak memiliki kakus biasanya melakukan hajat
besar di tempat tersembunyi. Para pelaku akan mencari tempat-
tempat yang jauh dari pengamatan orang. Budaya malu menjadi
kendala untuk meminjam kakus milik orang lain.
Informan MA mengatakan bahwa
“.....Beta (saya) perasaan dan malu kalau mau pinjam dong
pung (punya mereka yang ada kloset), karena air susah di sini, air

97
harus piko (ambil) di sana, kalau orang datang tinggal lari sembunyi,
kalau sonde (tidak) cepat-cepat pake (pakai) celana baru sengaja
(pura-pura) jalan-habis sampai di rumah baru pi hela (pergi ambil) air
di sumur”.

Gambar 3.9 Data Sekunder Bidang Promosi Kesehatan


Sumber : Raijua dalam angka 2014.
Berdasarkan data kemajuan akses jamban sehat tahun 2014
yang tertera pada tabel yang ditulis oleh yang berwenang. Saat
penelitian berlangsung, di kediaman Kepala Urusan Umum Desa
Kolorae tepatnya di dusun 2 (dusun Boko), terlihat beberapa file
kertas diatas meja yang berisi format tentang pendataan penduduk
miskin, salah satunya terdapat kolom jamban sehat setiap kepala
keluarga yang dititipkan oleh petugas sensus kecamatan tahun 2015.
Format tersebut diisi dengan menggunakan pensil. Menurut Nikson
Riwu “format tersebut akan diisi berdasarkan data dari masing-masing
RT yang sudah ditugaskan untuk mendata warganya-kalau petugas
sensus butuh cepat begini biasanya tahu sendiri isinya akan seperti
apa-sebenarnya masih banyak warga yang kurang menggunakan WC
karena sudah terbiasa sejak dulu dan masih banyak juga yang
membutuhkan WC”.

98
Gambar 3.10
MCK Sekolah Dasar yang dikunci dan Anak BAB di halaman.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Mendapati tempat pembuangan tinja dan air seni bagi anak
sekolah di Sekolah Dasar Lokojuli yang selalu di gembok dari luar
mengundang pertanyaan yang serius, dimanakah anak-anak ini akan
membuang hajatnya saat ingin?, menurut murid-murid“SD” yang sedang
bermain di seputaran lokasi umum tersebut mereka akan
menyalurkannya di semak-semak jauh di belakang sekolah dengan alasan
tidak ada air, sudah kebelet dan pemikiran harus pergi keluar sekolah
untuk meminta kunci kepada petugas Ama Kati yang berdomisili di depan
“SD”. Alasan-alasanitulah yang menyebabkan perilaku anak – anak “SD”
selalu membuang hajat di sembarang tempat.
Para pelajar Sekolah Dasar (SD) dan siswa Sekolah Menengah
Pertama (SMP) diwajibkan setiap hari membawa sebuah jerigen putih 5
liter yang telah diisi air. Tujuannya adalah untuk menyiram bunga yang
telah di tanam di halaman sekolah. Untuk urusan buang air besar dan
kecil para murid terkecuali perempuan akan menggunakan kebiasaan
mereka sejak Sekolah Dasar. Bagi murid “SD” yang tidak membawa air
saat ditugaskan maka sanksinya akan diberikan pukulan dengan rotan
saat apel pagi. Mungkin saja oknum guru tersebut masih menganut
paham “Di ujung rotan ada emas”. Di tingkat “SMP” hukumannya tidak
sempat ditanyakan ataupun disaksikan tetapi yang pasti akan ada
hukuman bagi mereka yang melanggar aturan sekolah tersebut.
Data profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sabu Raijua tahun 2013
bidang promosi kesehatan mencantumkan penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan sanitasi total berbasis masyarakat adalah diare,
malaria serta ISPA.

99
3.2. Penyakit Menular
3.2.1 Diarebelum berlalu
Catatan sejarah pada zaman kedudukan Belanda dalam buku
“Panen Lontar” yang ditulis oleh James Fox (1996) menulis pernah terjadi
wabah diare yang menewaskan hampir sebagian penduduk pulau Sabu
dan Raijua. Hal tersebut juga dibenarkan oleh informan ibu Ida Padje
“Waktu itu wabah berjangkit, kita masih kecil-kecil, bapa
larang keras untuk keluar rumah, cuma lihat dari jendela saja,
dulu kalau tetangga sakit kita tidak sempat melawat, langsung
di kubur saja, maksudnya ketika sakit tidak ada dokter atau
obat jadi sakit langsung meninggal ”
Berdasarkan trauma masa lalu itulah warga pulau Raijua dan
desa Kolorae pada khususnya menganggap penyakit diare adalah
penyakit yang menakutkan dan mematikan. Sampai sekarang pada
tingkat Puskesmas Ledeunu pun diare masuk dalam daftar 10 besar
penyakit yang sering dilaporkan oleh masyarakat dan ternyata masih
menjadi perhatian khusus setiap tahunnya.
Tanggal 12 November mendatang adalah Hari Kesehatan
Nasional, lazimnya hari ulang tahun akan diberikan hadiah baik berupa
ucapan maupun kado. Namun dalam 5 tahun terakhir, penyakit diare
seolah “Mengurangi senyuman” dalam mengisi hari-hari indah
masyarakat pulau Raijua. Perjalanan penyakit di tingkat Puskesmasdari
tahun 2011 sebanyak 229 kasus, tahun 2012 menjadi 461 kasus, tahun
2013 meningkat dengan total pasien 630 orang dan tahun 2014
mencatat 414 pasien diare dan awal tahun 2015 sampai bulan maret
petugas Pustu Kolorae sudah mengobati pasien diare sebanyak 175
orang dari semua golongan umur sehingga rangkuman jumlah pasien
diare yang tertulis dan dialami bukan lagi menjadi babak baru dalam
kehidupan warga desa Kolorae.

100
Gambar 3.11
Pengumuman di Puskesmas Ledeunu
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015
Tulisan pada dinding kaca yang tertera di Puskesmas Ledeunu
menyisaratkan bahwa penderita diare masih dan akan ada yang
berkunjung sehingga dipastikan bagi petugas kesehatan agar tetap
melayani para pasien yang datang meskipun hari libur. Menurut
petugas kesehatan Pustu Kolorae Frangky Sakan
“Sudah ada penyuluhan diare berupa gejala, tanda, obat rumah
(larutan gula garam), diberikan setiap kali ada kegiatan di
posyandu-posyandu dulunya, sekarang saya cuma memberikan
penyuluhan sedikit-sedikit waktu mereka berobat”.
Warga yang diwawancarai dapat menjelaskan seperti apa
penyakit diare termasuk nama lokalnya. Pengertian diare menurut
para warga Kolorae adalah sakit perut yang disertai dengan buang air
besar secara terus menerus. Mereka menyebutnya “Mencret”. Dalam
pengkajian yang tercatat di lembaran rekam medik Pustu Kolorae
mencantumkan gejala pasien diare seperti mencret, panas/demam,
batuk, perut kembung dan muntah. Sedangkan penyakit disentri
ditambahkan mencretlendir bercampur darah.
Adapun penyebab semakin tingginya angka kesakitan pasien
diare di desa Kolorae selain faktor kesehatan lingkungan dan perilaku
pola gaya hidup yang telah dijelaskan sebelumnya, faktor pendukung
lainnya adalah tingkat pengetahuan dan sikap warga tentang penyakit
diare. Penyakit diare dianggap tidak menular saat musim kemarau,
mereka beraggapan akan menular jika musim hujan karena kehadiran

101
lalat yang banyak menghinggapi makanan, faktor air tergenang saat
musim penghujan juga masuk dalam hitungan, sebab sampah yang
digenangi air dan anak-anak mereka sering main digenangan kotoran
tersebut.
Informan ibu Ida Padje
“Penyakit diare pengaruh makan yang asam-asam, makan
buah asam (tambarin) yang berlebihan akhirnya mencret
sudah – karena minum air gula sabu juga karena tidak cocok,
saat masak gula sabu itu tidak betul, tidak matang sehingga
sakit perut, mencret, kalau di Seba sana mereka masak gula
sabu campur dengan soda, di Raijua sini tidak, masih murni ”.
selanjutnya menurut ibu Elisabet Alehede
“Penyakit mencret banyak gara-gara tasala makan (salah makan
saat perut kosong), makan biskuit-biskuit, minum gula sabu juga
karena pakai air mentah, musim hujanpengaruhkarena lalat
hinggap dimakanan dan minuman, kalau musim hujan sedikit
lalat tidak ada, jarang ada yang sakit mencret”.
Saat penelitian berlangsung, tidak bertepatan dengan musim
hujan, namun di dalam rumah tinggal yang peneliti kunjungi sering banyak
lalat yang menghinggapi tubuh peneliti maupun tuan rumah bahkan
sampai tidurpun hewan kecil bersayap itu masih mengkerubuti.Tidak ada
upaya dari masyarakat dan individu untuk mengatasi banyaknya salah satu
vector pembawa penyakit diare tersebut.

Gambar 3.12
Lalat yang menghinggapi minuman dan tubuh.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Pengobatan sekaligus pencegahan secara tradisional untuk
meredakan sakit diare yang dialami yaitu dengan menggunakan

102
larutan gula garam atau meminum teh tanpa gula “Teh keras”.Ada
beberapa mantan penderita diare yang masih menggunakan ramuan
103atin yaitu pucuk jambu hitam yang di masak dengan bawang
merah. Selain itu kulit kayu kedondong hitam (yang tidak berbuah)
juga digunakan karena bahan yang disebutkan tersebut menurut
mereka mengandung rasa sepat. Ramuan tersebut direbus kemudian
airnya di minum. Untuk pengobatan pasien diare yang 103ating
berobat di Pustu Kolorae akan diberi obat contrimexasol, B6, ctm dan
entrostop.
3.2.2 Malaria dalam kalender tahunan
Hampir sebagian besar penduduk desa Kolorae sudah pernah
mengalami sakit yang disebut “Demam Malaria”. Penyebab sakit
demam menurut masyarakat Kolorae yakni 103ating cuaca yang
dingin maupun panas sedangkan penyebab utama penyakit malaria
adalah nyamuk. Kedua penyakit tersebut sering kali digabungkan
karena terdapat gejala yang sama yaitu diawali dengan rasa demam.
Pengertian demam dalam pemikiran warga Kolorae ialah
perasaan panas disertai dingin secara bergantian dengan
kondisibadan yang menggigil (gemetar). Gejala penyakit malaria
seperti panas-dingin (Pana Meringi), gemetar/menggigil (Keraggu),
pusing (Ked’iu), sakit kepala (Ke Bo’o Katu), mual (Mengeli Dara),
muntah (Med’du), kejang-kejang (Hekoto) dan berhalusinasi. Secara
spesifik penduduk membedakan penyakit malaria dengan demam
biasa melalui tanda yang ada pada penderita yaitubola mata berwarna
kuning (Kelara Namuhi Namada), kuku jari yang berwarna kuning
(Kelara Dara Kuu) dan memiliki raut wajah yang pucat (Heweda
Worawwu). Menurut pengkajian tenaga kesehatan di Pustu Kolorae
semua tanda-tanda yang disebutkan penduduk tercatat dalam gejala
penderita malaria klinis.
Penyakit malaria secara menyeluruh dikategorikan oleh
penduduk sebagai penyakit yang 103ating berdasarkan musim, baik
musim kemarau maupun musim hujan. Alasannya sederhana yaitu
setiap tahun masyarakat Kolorae selalu mendapat penyakit yang sama
dan bertepatan dengan musim yang sama. Bulan Desember sampai
dengan bulan April adalah puncak dari penyakit malaria karena
bertepatan dengan musim hujan. Awal musim hujan biasanya

103
penyakit yang banyak muncul adalah penyakit demam berdarah.
Penyakit diare mendapat jatah kemunculan pada bulan Februari
sedangkan untuk penyakit lain-lain berada sesudah bulan-bulan
tersebut.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Sabu Raijua
dalam angka tahun 2013 dari total 111 pasien malariayang
terekap,diantaranya berasal dari desa Kolorae. Berdasarkan
rekapitulasi 10 besar penyakit di Puskesmas Ledeunu periode bulan
Januari 2014 sampai dengan bulan Februari 2015 menunjukkan total
penderita malaria semakin meningkat yaitu menembus angka 362
pasien dari semua jenis tipe malaria. Hal tersebut menandakan bahwa
penyakit malaria masih menjadi langganan tetap di dalam kehidupan
masyarakat pulau Raijua terkhususnya desa Kolorae.
Menurut Soegeng Soegijanto 2005, malaria disebabkan oleh
infeksi Protozoa genus Plasmodium. Ada empat spesies Plasmodium
yang dapat menyebabkan penyakit ini yaitu P. falciparum, P. vivax, P.
ovale dan P. malariae. Parasit malaria ini ditransnmisikan secara
alamiah dari satu orang ke orang lain melalui gigitan nyamuk
Anopheles betina. Gambaran klinis malaria tanpa kompilasi secara
umum hamper sama pada keempat species. Gejala awal tidak spesifik,
menyerupai influenza misalnya sakit kepala, nyeri otot, rasa tidak
enak di perut, lesu dan lemah yang biasanya terjadi 2 hari sebelum
demam. Suhu badan kemudian meningkat disertai sakit kepala yang
menghebat, menggigil dan hilangnya nafsu makan. Demam
merupakan gejala khas pada semua jenis malaria. Gejala klinis malaria
ditandai beberapa serangan demam dengan interval tertentu
(paraksisme

104
Tabel 3.1 Karakteristik Keempat Plasmodium
Relaps adalah berulangnya gejala klinis setelah periode
tertentu, biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh
bentuk di luar eritrosit (hati) pada malaria vivax dan ovale. Data di
Puskesmas pembantu Kolorae, pasien dengan diagnosa malaria klinis
pada bulan Januari sampai dengan bulan April tahun 2015 mencapai 9
orang.

Gambar 3.13
Pasien malaria rawat inap.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015
Para pasien yang didiagnosa malaria klinis oleh perawat di Pustu
Kolorae diberikan obat bervariasi yaitu B1, B6, B com, ibuprofen, vitc,
ctm, rani, paracetamol, amoxilin, antalgin. Apabila pasien yang sama
datang kembali dengan keluhan yang sama (belum sembuh) maka akan

105
dirujuk ke Puskesmas induk untuk penentuan malaria tipe/jenisnya
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium di Puskesmas Ledeunu.
Para pasien malaria akan mempertimbangkan rujukan untuk pergi ke
Puskesmas induk berdasarkan kesepakatan dengan keluarga besar.
Keputusan yang diambil berdasarkan mufakat memakan waktu yang
cukup lama karena pertimbangan berat ringannya kondisi fisik penderita
dan juga biaya yang harus dikeluarkan, juga dihambatkarena menunggu
reaksi obat tradisonal yang keluarga berikan kepada pasien. Pada
akhirnya, sebagian besar pasien yang diminta untuk ke Puskesmas, tidak
datang melapor kembali ke petugas Pustu meskipun para penderita
mempunyai kartu Jamkesmas.

Gambar 3.14
Poster biaya di Puskesmas
Ledeunu
Sumber : Dokumentasi
Penelitian, 2015.

Keluarga merupakan lingkungan terkecil bagi seseorang. Kasih


sayang orang tua akan menyebabkan penderita yang sakit merasa bahwa
dirinya masih ada yang memperhatikan, merasa dihargai dan dibutuhkan.
Orang tua ataupun pihak keluarga yang dituakan sepenuhnya memegang
kendali dalam pengambilan keputusan atau bantuan yang pertamakali
dimintai tentang hal tersebut. Apabila individu atau anggota keluarga
memutuskan untuk pergi sendiri tanpa mengindahkan kesepakatan
keluarga yang dituakan maka selanjutnya dalam kehidupan keseharian dan
keluarganya tidak akan diperhatikan dalam bentukatau bantuan apapun
jika mengalami suatu masalah. Faktor sosial budaya dalam keterlibatan
keluarga besar yang masih sangat erat menghambat penanganan pasien
malaria secara cepat dan tuntas

106
Tabel 3.2
Rekapitulasi jumlah penderita malaria yang rawat jalan dan rawat inap di
puskesmas Ledeunu tahun 2014 sampai dengan bulan februari tahun 2015
Pasien Malaria Rawat
Pasien Malaria Rawat Inap
Bulan Jalan Total
Klinis Falcifarum Vivax Klinis Falcifarum Vivax mix
Januari
24 - - 4 7 2 - 37
2014
Februari - - - - 1 2 - 3
Maret - - - - - 1 1 2
April 21 - - - - - 4 25
Mei 38 29 - 3 1 4 - 75
Juni - 23 62 2 7 9 - 103
Juli 14 - 44 - 2 4 - 64
Agustus - - - - 2 1 - 3
September - - - - - 3 - 3
Oktober - - - - - - - -
November - - - - 1 1 - 2
Desember - 2 - 2
Januari
15 - - - - - - 15
2015
Februari
26 - - - 1 1 - 28
2015
TOTAL 138 52 106 9 22 30 5 362
Sumber : 10 besar penyakit di Puskesmas Ledeunu, 2015

3.2.2.1 Studi kasus : Malaria yang meliburkan“Karisna” darisekolah


Tidak ada cacatan medis yang tercantum di Puskesmas
PembantuKolorae untuk cerita yang satu ini. cerita tersebut beredar di
kalangan anak usia remaja dan menjadi kabar terbaru di sekolah-
sekolah yang kami kunjungi. Adapun informasi tersebut tentang
penderita penyakit malaria yang belum sembuh dan sering kambuh.
tuturan tersebut diceritakan para informan dengan wajah serius dan
berharap untuk ditelusuri lebih jauh. Informasi awal yang didapatkan
menjadi rencana untuk bertemu dengan pihak keluarga dan penderita
sekaligus observasi wawancara.
Peneliti akhirnya berkesempatan untuk bertemu dengan orang
tua salah satu penderita malaria yang menurut cerita masih sering
kambuh. Karakteristik penderita, perempuan bernama Karisna Kaka

107
Balo berusia 15 tahun, anak ke 3 dari 9 bersaudara, sedang menjalani
pendidikan sekolah kelas 2 di SMPN 2 Raijua. Ayah Karisna bekerja
sebagai petani lontar (pengiris tuak), ibu Karisna berumur 40 tahun
dan bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Riwayat penyakit penderita yang diceritakan yaitu selama
masuk ke pendidikan Sekolah Menengah Pertama, Karisna tinggal di
desa Ballu bersama neneknya agar lebih dekat ke sekolah yang berada
di desa tersebut. Menurut cerita orang tuanya, tanggal 15 maret 2015,
orang tua menjemput Karisna karena mendapat berita kalau
menderita sakit demam, panas tinggi, sakit kepala, pusing-pusing,
gatal semua badan, rasa “Tatikam”, tidak bisa tidur malam karena
gelisah melihat bayangan seperti ada setan yang datang menganggu.
Gambaran informan, Setan tersebut mempunyai tanduk, memakai
sarung warna hitam, baju berwarna putih dan datang mengganggu
dengan menusuk tubuhnya.
Setelah satu malam di desa Ballu, orang tua Karisna
membawanya ke Puskesmas Ledeunu. Dokter mengambil darah
sebagai sampel untuk di periksa di laboratorium. Menurut keterangan
medis, pasien menderita penyakit malaria vivax. Karisna kemudian di
rawat selama tiga hari lamanya di ruang rawat pasien. Setelah tiga
hari menjalani pengobatan dengan cairan infus dan beberapa obat
yang diberikan, Karisna diperbolehkan pulang karena dokter
mengatakan sudah sembuh.
Keluarga mempunyai kartu Jamkesmas sehingga membayar
ongkos 20 ribu sebagai tarif administrasi Puskesmas. Puskesmas juga
memberi obat secara gratis, seingat ayah dan ibu informan, obat
tersebut berupa biji-biji berwarna, yang terdiri dari obat pusing yang
harus di minum selama tiga hari dan obat malaria yang di minum 1
kali dalam sehari selama dua minggu. Obat tersebut harus di konsumsi
sampai habis. Ibu Karisna menjelaskan bahwa dokter mengatakan
anaknya masih harus diperiksa lagi setelah selesai pengobatan rawat
jalan. Sampai saat kami menemui Karisna, ia belum pernah di bawa ke
Puskesmas untuk dikontrol karena kesibukan orang tua dan masih
menggunakan terapi obat tradisonal yaitu “Kiu Maringi Rai” yang
rasanya pahit. Tumbuhan tersebut tumbuh di pekarangan rumah
informan sehingga mudah untuk mendapatkannya.

108
Gambar 3.15
Daun Kiu Maringi Rai
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Setelah pengobatan rawat jalan berakhir, Karisna masih sering
menglami halusinasi, badan gatal-gatal, lemah dan kejang-kejang.
Kekambuhan datang pada waktu yang tidak tentu. Saat gelisah pada
malam hari informan diberikan obat luar berupa bawang merah,
bawang busuk dan “Genoak”. Menurut orang tua dulu, bawang busuk
dipercaya dapat mengusir roh jahat yang datang mengganggu.Bawang
busuk berbentuk seperti bawang pada umumnya tetapi siung dan ruas
buah lebih kecil dengan aroma lebih tajam dibandingkan bawang
putih biasa. Informan sudah tidak bersekolah selama dua bulan lebih
terhitung dari 15 maret 2015 karena sakit yang masih dialami. Satu
minggu sebelum peneliti meninggalkan tempat penelitian Karisna
sudah kembali bersekolah seperti biasa.
Pengetahuan keluarga informan tentang penyebab penyakit
malaria adalah penyakit yang disebabkan karena pengaruh lingkungan
luar seperti rumah kotor sehingga nyamuk dapat bersarang. Definisi
kotor yang diutarakan berupa sampah botol dan kotoran hewan yang
berserakan di sekitar rumahnya sehingga nyamuk bersarang. Informan
mendeskripsikan nyamuk malaria sebagai nyamuk besar yang
berwarna putih dan menggigit pada waktu yang tidak tentu.
Agar penyakit malaria tidak kambuh ia menghindari meminum
kopi karena jika meminumnya pasti kambuh lagi. Untuk mengatasi
sakit malaria yang kambuh, penderita mengkonsumsi daun “Ki Maringi
Rai”. Daun diambil dan langsung dikunyah, rasanya pahit saat di telan.

109
Dalam sehari jika gejala demam terus berlangsung, Karisna bisa
menelan daun tersebut dua sampai tiga kali tanpa dimasak. Hal
tersebut sudah menjadi kebiasaan penderita, ia melakukan itu dengan
harapan agar bisa sembuh total dan segera masuk sekolah. Ketika
sakit, pendidikan tidak lagi menjadi prioritas utama dalam prinsip
keluarga, yang terpenting anak kesayangan bisa sembuh total
kemudian diizinkan pergi ke sekolah “takut nanti sakit di sekolah, bikin
jadi soal, kita keluarga yang malu”.
Informasi penyakit malaria sudah didapatkan berupa
penyuluhan dari pihak puskesmas, terutama tentang manfaat
penggunaan kelambu agar terhindar dari gigitan nyamuk. Penyuluhan
tersebut disampaikan ketika hari posyandu dan pada saat pembagian
kelambu pada bulan Desember tahun 2014 di rumah kepala desa
Kolorae. Ibu Karisna adalah ketua kader Posyandu Ma’ri, namun
informasi tentang berbagai penyakit termasuk malaria terlupakan
karena aktivitas mengurus tujuh anak yang ia lahirkan.
3.2.2.2 Aksesoris yang nyaman buat Nyamuk
Rumah daun merupakan pondok sederhana yang paling
banyak didirikan sebagai tempat tinggal di desa Kolorae. Rumah daun
tidak mempunyai kamar atau bagian ruangan lain. Rumah berbahan
pohon lontar tersebut terdiri dari satu pintu dan satu jendela yang
terletak di bagian samping rumah. Rumah daun memiliki ukuran
bervariasi, paling banyak berukuran 5x7 meter. Saat observasi
partisipatif, peneliti merasakan suhu dalam rumah daun terasa sejuk
saat pagi maupun siang hari. Di dalam rumah tidak terdapat celah
yang menjadi jalan masuknya cahaya matahari.
Warga yang tinggal di rumah daun sering membaringkan
badantepatnya jam 5 sore sampai jam 10 malam di depan pintu
masuk rumah karena di dalam rumah terasa panas. Keadaan panas
yang dirasakan disebabkan karena semua peralatan rumah tangga
diletakan dalam rumah. Di depan rumah, mereka terlelap dengan
sebuah kain tipis tanpa menggunakan obat oles anti nyamuk ataupun
obat nyamuk bakar. Jika sudah merasa sangat kantuk barulah tuan
rumah pindah ke dalam rumah untuk tidur.
informan Kornelis kaka Balo,45 tahun mengungkapkan lebih suka tidur
di luar karena tidak ada nyamuk.

110
“Lebih suka tidur di luar, nyamuknya tidak ada karena tertiup
angin, kalau di dalam rumah panas, nyamuknya banyak sekali
karena nyamuk yang sudah ada di dalam tidak bisa keluar lagi
karena pintu selalu ditutup - supaya debu dan kotoran tidak masuk
- barangkali (mungkin) mereka bersarang di celah-celah atap daun”
Semua aksesoris baik pakaian dan peralatan rumah tangga lainya
tersimpan di dalam rumah tersebut. Pakaian digantung bertumpukan pada
seutas tali yang ditarik melintasi sisi kanan/kiri pondok itu. Saat observasi di
rumah-rumah daun terdapat kelambu yang dipasang. Menurut keterangan
informan MN, kelambu tersebut mengandung obat sehingga nyamuk tidak
akan mendekat. Sebelum ada pembagian kelambu oleh pihak Puskesmas
Ledeunu pada bulan Desember tahun 2014. Para penghuni rumah daun
selalu menggunakan asap hasil bakaran dari sabut kelapa kering.
Pengasapan dengan bahan serabut kopra kering tersebut berlangsung saat
sore hari sebelum tidur malam. Saat melakukan fogging dengan bahan
tradisional tersebut, pintu dan jendela dibuka. Saat beristirahat malam bau
asap masih terasa, akan tetapi masih banyak nyamuk berkeliaran dengan
membunyikan suaranya pada telinga penghuni saat tidur malam.
Nyamuk-nyamukhidup nyaman di ruangan yang dipenuhi oleh
tumpukan pakaian kotor yang digantung. Karbon dioksida dari hasil
keringat manusia yang menempel pada pakaian menjadi daya tarik
nyamuk. Sinar matahari yang jarang masuk ditambah pintu rumah
yang selalu tertutup dan gelap menyebabkan pertukaran udara baru
sulit untuk membuat nyamuk keluar dari tempat persembunyiannya.

Gambar 3.16
Semua isi dalam rumah daun.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015

111
3.2.2.3 Pencegahan malaria
Program pencegahan yang sering disuarakan oleh pihak Dinas
Kesehatan Kabupaten Sabu Raijua adalah gerakan “Kelambunisasi”
untuk mencegah penyakit malaria yang sudah menjadi “Primadona” di
pulau Raijua saat musim hujan. Berkaitan dengan situasi
tersebutpemerintah khususnya Puskesmas Ledeunu telah melakukan
berbagai upaya pencegahan di tingkat masyarakat. Tindakan preventif
yang sudah dilaksanakan di Kecamatan Raijua yaitu berupa pembagian
kelambu kepada seluruh kepala keluarga yang tercatatat namanya di
kantor desa dan berdomisili di daerah setempat.
Program pencegahan lain juga dilakukan penyemprotan
dengan menggunakan sistem Spraycan yaitu penyemprotan campuran
cairan kimia pada dinding rumah.Tindakan preventif tersebut
dilakukan di kelurahan dengan jumlah penduduk terbesar yaitu,
kelurahan Ledeunu dan Ledeke. Tindakan ini didasari oleh tingginya
angka kesakitan malaria dan sudah menjadi daerah endemis tutur
kepala Puskesmas Ledeunu. Untuk tiga desa yang lain di kecamatan
Raijua, termasuk desa Kolorae tidak mendapat jatah penyemprotan
Spraycan karena daerah tersebut mempunyai jumlah penduduk dan
penderita lebih sedikit dibanding kedua kelurahan diatas, sehingga
proporsi penderita malaria dianggap lebih sedikit.

Gambar 3.17
Kelambu yang belum digunakan warga dan stiker setiap rumah
yang telah mendapat kelambu
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Mengenai kelambu, untuk satu rumah tangga yang sudah
mempunyai anak akan mendapatkan dua buah kelambu sedangkan
untuk kepala keluarga yang belum memiliki keturunan hanya

112
mendapatkan satu buah. Para ibu hamil mendapatkan prioritas utama
untuk memperoleh kelambu berwarna merah muda yang lebih halus
dibandingkan dengan rumah tangga lain pada umumnya.
Bila anggota keluarga ada yang mengalami gejala sakit malaria
maka usaha untuk menghindari terjadinya penyakit tersebut adalah
dengan mencoba untuk mengobati sendiri, dengan cara makan atau
minum yang pahit-pahit. Seperti makan daun pepaya ataupun rebusan
daun pepaya dan atau menggunakan ramuan “Kiu Maringi Rai” seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya. Sebagian besar masyarakat yang
pernah menderita penyakit malaria menganggap bahwa penyakit
malaria sangat mengganggu pekerjaan mereka sehari-hari. Dengan
adanya pernyataan tersebut menandakan bahwa warga telah
termotivasi untuk menanggulangi penyakit malaria secara
mandiri.Cara yang paling sering dilakukan oleh wargadesaKolorae
untuk menghindari gigitan nyamuk adalah tidur menggunakan
kelambu atau kain sarung, hanya satu dua individu yang menggunakan
obat oles “Autan” untuk digosokan pada kulit tangan, kaki dan muka.
Tidak ada warga yang menggunakan obat nyamuk bakar karena
asapnya sangat mengganggu pernapasan di dalam ruangan. Faktor
lainnya juga karena atap rumah yang rendah berbahan daun pohon
lontar kering yang mudah terbakar.

Gambar 3.18
Tindakan preventif warga terhadap gigitan nyamuk.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Hubungan tetangga dan para kerabat keluarga sangat baik, hal
tersebut diketahui dari jawaban mereka bahwa bila tetangganya ada

113
yang sakit malaria, mereka saling mengetahui dan kebanyakan dapat
menceritakan kronologi sakit yang dialami oleh orang lain. Keadaan ini
merupakan suatu petunjuk adanya kesadaran terhadappenyakit
malaria. Para informan yang ditemui sebagian besar mengatakan
bahwa pernah satu kali mendengar penyuluhan tentang penyakit
malaria yaitu pada saat pembagian kelambu akhir tahun
2014.Pengetahuan masyarakat pada umumnya mengenai penyebab
penyakit malaria adalah karena musim hujan yang menyebabkan
banyak nyamuk. Mengenai tempat perkembangbiakan, tempat
perindukan nyamuk, cara penularan sebagian besar informan
menjawab dengan kata “Kurang tahu dan tidak tahu”.
Terdapat keyakinan di masyarakat Kolorae bahwa malaria
tidak dapat menular karena dipengaruhi oleh musim hujan. “Kalau
musim hujan itu bulan januari, februari, maret, april nyamuknya
banyak sekali, sekarang sudah kurang nyamuknya karena tidak hujan”.
Di sisi lain masyarakat sudah mengetahui sendiri obat malaria maka
para warga dengan gejala klinis menganggap bahwa malaria tidak
menular. Para informan terbiasa mendiagnosa gejala penyakitnya
sendiri sehingga membeli obat sesuai dengan pengalaman diri dan
orang lain. Terdapat obat yang dijual bebas dan mudah mereka
dapatkan di toko dan pasar. Obat bernama kina dan klorokuin menjadi
keuntungan bagi penjual saat penyakit malaria menyerang. Perilaku
menggunakan pengetahuan sendiri dalam pengobatan dikhawatirkan
dapat menyebabkan resistensi pengobatan karena sebagian penderita
yang diwawancarai meminum obat sampai merasa tubuhnya sudah
baik dan masih menyisakan beberapa butir obat yang diberikan oleh
petugas Pustu.
Semua warga mempunyai aktivitas di ladang dan kebun baik
pada pagi, siang maupun sore hari. Bertepatan dengan panen sorgum
“Gandum”, kacang hijau ataupun kacang tanah. Jarang terlihat para
pekerja memakai baju lengan panjang ataupun celana panjang. Semua
pekerja tidak memakai obat oles anti nyamuk ketika hendak bekerja.
Perilaku tersebut sudah menjadi kebiasaan karena dianggap
merepotkan dan tidak bebas bergerak. Berdasarkan umur, 9 penderita
malaria yang tercatat di register Pustu Kolorae, empat orang
diantaranya berumur 50 tahun ke atas yang memiliki kebiasaan

114
berladang pada sore hari karena pada pagi dan siang hari masih
dengan urusan mengurus anak, mengambil air di sumur, memasak
dan memberi makan hewan ternak. Hal tersebut juga didukung oleh
cuaca yang panas sehingga mereka merasa berat untuk melaksanakan
pekerjaan di siang hari. Aktivitas yang lama di ladang ataupun kebun
pada masa pembersihan rumput ladang/kebun dan masa panen tanpa
memakai pelindung anti nyamuk kemungkinan bisa dapat terpapar
gigitan nyamuk.

Gambar 3.19
Aktivitas warga saat malam dan hasil gigitan nyamuk.
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015.
Beberapa rumah di desa Kolorae mempunyai televisi, sebagian
besar aktifitas malam para anak sampai orang dewasa berkumpul
untuk menyaksikan tontonan hiburan tersebut. Aktivitas menonton
saat malam terbilang ramai. Mereka yang datang di rumah-rumah
yang ada televisi selalu duduk di lantai bahkan sampai tertidur lelap di
depan layar kaca di halaman teras depan rumah. Saat wawancara
menggunakan metodeforum diskusi grup mengatakan bahwa tidak
memakai obat anti nyamuk oles, tidak terlihat juga obat nyamuk
bakar,bahkan ada diantara mereka yang mengatakan bahwa gigitan
nyamuk sudah biasa mereka dapatkan. Salah satu diantara mereka
terkena gigitan nyamuk yang menyebabkan bentol dan bengkak pada
bagian kaki dan tangan. Kondisi tersebut menandakan bahwa nyamuk
malaria masih mempunyai “Taring” untuk menularkan penyakit.
3.2.2.4 Cerita kenangan Pos Malaria Desa
Pos malaria desa adalah wadah pemberdayaan masyarakat
yang dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat secara mandiri dan

115
berkelanjutan dengan tujuan meningkatkan jangkauan penemuan
kasus malaria melalui peran aktif masyarakat. Program tersebut
bertujuan untuk mengendalikan perkembangan penyakit malaria
dengan merujuk pada fasilitas kesehatan terdekat dan juga
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan malaria.
Menurut keterangan kepala Puskesmas Ledeunu
“Pulau Raijua ini sudah menjadi daerah endemis malaria. Salah
satunya adalah Desa kolorae yang menurut letak geografinya
merupakan daerah terpencil paling ujung di penuhi oleh
ladang dan hutan, untuk menjangkaunyanya saja sangat sulit
waktu itu, jalannyanya juga belum seperti sekarang,
komunikasi juga sulit karena sinyal telepon/handphone tidak
ada dan akses kesehatan di sana juga belum memadai
sehingga kita bentuk pos malaria desa”
Sebuah papan putih dengan tulisan “Posmaldes Selaras”
tergantung pada dinding “Bebak” di antara gantungan beberapa
plastik berisi kain di salah satu rumah warga di desa kolorae. Tahun
2007 sampai dengan tahun 2009 rumah informan Ibu Welmince
Pamajiwe menjadi tempat pengobatan penderita malaria untuk
masyarakat Kolorae. Pos malaria desa tersebut berada di dusun
Lobowalu (dusun lima). Seingat informan WP rumahnya sudah di
kenal oleh masyarakat yang sering datang meminta obat malaria.
Obat yang sering diberikan berupa obat kina atau klorokuin. Kepuasan
saat melayanipun terobati saat para penderita sembuh dengan obat
yang dikonsumsi tuturnya.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan obat-obatan,
rumah pribadi yang sudah dengan iklas diberikan untuk menjadi balai
pengobatan sejak dulu akhirnya tinggal kenangan. Semenjak dibentuk
pertama kali oleh Puskesmas Ledeunu, informan WP menjadi satu-
satunya sukarelawan untuk membantu saudara-saudaranya yang sakit
malaria di desa Kolorae.
Berbekal pengetahuan yang didapat melalui pelatihan tentang
obat-obat malaria yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Informan
WP selalu siap memberikan pelayanan sepanjang waktu bersama
seorang suami dan empat orang anaknya. Pada akhir tahun 2009
tenaga kesehatan menarik kembali obat-obat malaria yang menjadi

116
stok di rumah informan WP dengan alasan bahwa obat-obatan
tersebut tidak cocok lagi dengan penyakit malaria yang sekarang
“Karena mereka bilang obatnya sudah berubah model, jangan sampai
mama salah kasih obat di masyarakat”. Menurut informan WP hal
tersebut wajar karena sudah ada tenaga kesehatan bidan dan perawat
yang tinggal di Pustu Kolorae pada tahun yang sama. Karier informan
WP sebagai sukarelawan tidak berhenti sampai di situ, sekarang beliau
juga turut mengambil bagian sebagai salah satu ketua Posyandu
dengan alasan “saya suka anak-anak”. Sebuah kebanggaan baginya
sudah bisa memberikan yang terbaik dalam hidupnya.
3.2.3 ISPA “Tanpa informasi”
Bernapas merupakan proses kontak langsung antara tubuh
bagian dalam dan udara dari luar. Banyak perubahan yang akan terjadi
terhadap alat pernapasan saat terpapar udara dari luar terutama udara
yang sudah tercemar. Data di kabupaten Sabu Raijua dalam angka 2014
menunjukan bahwa penyakit ISPA adalah penyakit nomor satu. Data
Puskesmas Ledeunu tahun 2014 juga mencatat ISPA selalu menjadi
urutan pertama dalam 10 besar penyakit yaitu 5133 pasien. Puskesmas
Pembantu Kolorae periode bulan Februari sampai bulanMarettahun
2015 sudah mencatat penderita ISPA yakni 179 orang.
Jalanan berdebu putih, kondisi cuaca yang panas ditambah
tiupan angin timur yang keras menurut para informan menjadi faktor
penyebab penyakit ISPA selalu ada.
Menurut keterangan perawat di Pustu Samuel Uly Binu
“Pengaruh alergi debu dan suhu juga kakak, ISPAitu kalau flora
normal hidup, hidup berdasarkan suhu, PH 8, kalau kena (terpapar)
hujan, dingin kaget (secara tiba-tiba), mukosa akan melepaskan
toksin, kalau imun rendah, bisa batuk, pikek, itu ISPA sudah”.
Dalam wacana pemikiran yang diketahui oleh para informan
saat di Pustu Kolorae ketika didiagnosa menderita penyakit ISPA
adalah rasa panas, batuk dan pilek dengan penyebab yang tidak
diketahui. Untuk diagnosa penyakit ISPA, perawat Franky Sakan yang
bertugas di Pustu jarang memberikan informasi tentang nama
penyakit ISPA kepada pasien. Menurutnya “Biar su kakak, dong
(mereka) juga sonde (tidak) tahu itu nama sakit, yang penting sudah
kasih obat dan pasti sembuh kalau minum teratur”

117
Anggapan penderita mengenai penyakit ISPA adalah penyakit
yang bisa sembuh jika sudah minum obat, penyakit tersebut juga
dikategorikan sebagai penyakit ringan karena faktor perubahan cuaca
dan kerja keras yang menyebabkan kelelahan.
3.3 PENYAKIT TIDAK MENULAR
3.3.1 “Sakit Tatikamversi lain dari penyakitMyalgia”
Penamaan suatu gejala penyakit meluas dengan berbagai
informasi sesuai dengan pengalaman pribadi masing-masing orang.
Pengalaman tersebut menjadi pengetahuan bagi diri sendiri dan orang
lain. Pengetahuan berupa cara penyembuhan dan pantangan
terhadap penyakit. Kurangnya pengetahuan dan informasi akan
kesehatan membuat masyarakat menalar dan mencari pola sendiri
dari penyakit yang dialami. Penyakit yang tidak terlalu berbahaya
seperti “Tatikam” menjadi penyakit yang ditakuti sedang penyakit
yang berbahaya seperti malaria tidak dianggap berbahaya.
Sepanjang pembicaraan dengan masyarakat umum di desa
Kolorae maupun desa Ballu, penyakit yang paling ditakuti dan sering di
derita adalah sakit “Tatikam” dalam bahasa sabu di sebut “Ihi Lala
atau Petabbu”. Menurut semua informan yang pernah mengalami
sakit “Tatikam” menerangkan bahwa penyakit tersebut digolongkan
berat dan ringan. Secara umum riwayat penyakit ini memiliki gejala
nyeri di bagian belakang tubuh seperti tertusuk di bagian samping kiri,
kanan tulang rusuk dan bagian depan di bawah dada “Ulu Hati”, dan
rasa kram pada semua tubuh. Menurut penduduk setempat penyakit
tersebut hanya dialami oleh individu tertentu dan tidak dapat menular
kepada orang lain. Penderita dalam kategori ringan memiliki gejala
yang sama seperti telah disebutkan di atas. Menurut informan Febi
Boni Geti (27 tahun) berprofesi sebagai guru, penderita “Tatikam”
yang digolongkan berat adalah mereka yang mengalami tegang pada
urat leher bagian belakang bahkan sampai badan berwarna biru pada
anak kecil dan resikonya bisa meninggal dunia.
Penyebab penyakit “Tatikam” menurut bahasa alam setempat
diakibatkan karena pelanggaran adat. Informan Bernabas Owi Kitu (35
tahun) mengatakan bahwa, “Ada tempat-tempat keramat yang tidak
boleh sembarangan dimasuki, biasanya karena ada yang coba-coba,
pulang langsung tatikam, bekas tikaman setan, aneh tapi nyata”,

118
selanjutnya menurut Febi Boni Geti, “Karena kebiasaan jalan malam,
kena angin jahat, kuntilanak, kalau sudah kena tatikam itu leher tidak
bisa menoleh, karena ada kuasa roh jahat yang tusuk – sebenarnya
sonde(tidak) jahat, ada yang suruh begitu semacam sihir “Suanggi”
datang dari luar, karena faktor jengkel dengan orang lain juga bisa itu,
ada yang sampai meninggal”.
Pantangan yang harus dihindari saat mengalami sakit
“Tatikam” yaitu tidak boleh dipijat, tidak diperbolehkan
mengkonsumsi daging ayam, telur, supermie dan bumbu dapur
berupa kunyit, tidak memperkenankan di suntik di Puskesmas atau
Pustu dan tidak boleh mandi atau mengenai air pada bagian tubuh.
Jika penderita melanggar apa yang sudah dipantangkan maka
akibatnya akan kambuh bahkan sampai meninggal dunia. Banyak versi
cerita yang disampaikan, namun yang pasti penyakit tersebut sudah
menjadi kuda hitam dalam benak di kalangan setiap orang yang sudah
merasakannya. Pengobatan tradisional yang sering digunakan ada 3
macam yaitu menggunakan campuran bahan alam berupa kayu yang
dikenal dengan sebutan “Hemoi Mea dan Hemoi Pudi”. Sebagai obat
luar/oles dipakai bawang busuk dan ludah basi, campuran ke 2 bahan
digosokan ke bagian tubuh yang merasa tegang setiap pagi.
Pengobatan tradisonal ini berlangsung 3-4 hari agar bisa sembuh.
Pengobatan dengan cara swemedikasi menurut para informan yaitu
mengkonsumsi obat antasida dan amoxilin.
Para pasien yang datang di Pustu maupun di Puskesmas selalu
mengatakan penyakit yang diderita adalah penyakit “Tatikam”.
Menurut para tenaga kesehatan di Pustu Kolore dan Pustu Ballu yang
sering menangani kasus tersebut mengatakan hal yang sama.
Pendiagnosa hanya menjawab sebelum di beri obat akan dilakukan
pengkajian terlebih dahulu. Obat yang diberikan berupa paracetamol,
dexrometropan, CTM, b.com, vitamin B1, dan dexa. Setelah
mengkonsumsi obat pasien merasa sembuh karena ada keyakinan
bahwa obat dapat menyembuhkan tutur tenaga kesehatan.
Berdasarkan pembedahan catatan medis di Pustu Kolorae dan Ballu,
penyakit tersebut masuk dalam kategori myalgia.
Data Puskesmas Ledeunu mencatat myalgiaselalu masuk dalam 3
besar penyakit pada tahun 2014 setelah penyakit ISPA. Di Pustu Kolorae

119
menulis penyakit myalgia sudah mencapai 51 orang terhitung dari bulan
februari sampai dengan tanggal 13 Mei 2015. Dalam pengkajian medis
menurut diagnosa tenaga kesehatan Pustu Kolorae tentang myalgia
memiliki gejala sakit pada bagian belakang, pinggang, lutut kaki, terasa
nyeri pada seluruh badan seperti di tikam-tikam, susah tidur, cepat
capek, pusing, mata gelap, demam, darah tinggi sampai tekanan 140/100
mili meter merkuri (hidrargirum).Menurut rekam kesehatan, penyakit
myalgia akibat dari kerja keras para penderita selama melakukan
pekerjaannya tanpa istirahat yang cukup. Selama menerima obat,
penderita jarang kembali.Rata-rata Penderita sudah sembuh setelah
menelan obat yang diberikan.
3.3.2 Defenisi Aktivitas ringan, sedang dan berat menurut warga
Berkaitan dengan keterangan para responden mengenai
pekerjaan, terdapat banyak pola dalam mendeskripsikannya,
disimpulkan dari pemaparan cerita mereka, peneliti memilah-milah
berdasarkkan kategori aktivifitas fisik setiap hari. Aktivitas fisik setiap
pagi, warga desa Kolorae sudah disibukan dengan berbagaigerakan
tubuh. Anak sekolah sudah berkemas dengan seragam dan siap
menelusuri lereng bukit karang menuju sekolahnya. Ibu rumah tangga
mulai membuka pintu rumah, mencuci piring dan sendok makan yang
bertumpuk dari semalam. Sejak dini hari ibu sudah berjalan
mengambil air di sumur terdekat dengan pikulan ember. Sementara
itu kaum lelaki bersiap melaksanakan rencana kerjanya.
Kegiatan-kegiatan tersebut memerlukan kekuatan fisik yang
cukup untuk bisa melakukannya. Menurut beberapa informan yang
terdiri dari ibu rumah tangga, anak sekolah dan petani yang mengikuti
Forum Diskusi Kelompok, semua pekerjaan mempunyai tingkat
kesulitan masing-masing. Dari berbagai informasi terdapat tiga
kategori berbeda dalam melakukan pekerjaan yaitu aktivitas ringan,
sedang dan berat dengan kegiatan yang berbeda-beda berdasarkan
latar belakang pekerjaan masing-masing

120
Gambar 3.20
Aktifitas ringan, sedang dan berat menurut warga.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Aktivitas ringan yang disepakati peserta diskusi adalah
menonton televisi, duduk bercerita dengan tetangga, menjemur hasil
pertanian berupa kacang hijau dan sorgum, mencuci piring dan
memasak yang sudah menjadi kebiasaan mereka sehari-hari. Lain lagi
yang dikatakan oleh para petani, aktivitas fisik yang dianggap ringan
adalah berjalan menelusuri hutan untuk mencari kayu bakar, memberi
makan hewan dan menghadiri upacara/ritual adat yang memakan
waktu berjam-jam lamanya sambil berdiri. Untuk aktivitas sedang,
yang paling banyak menuturkan adalah kaum ibu rumah tangga dan
perempuan usia sekolah. Kegiatan tersebut berupa berjalan pulang-
pergi dengan tentengan air di pundaknya. pekerjaan mengangkat air
termasuk aktivitas sedang karena sumber air yang belum kering
berada di dusun sebelah sehingga mempunyai jarak yang cukup jauh.
Untuk anak sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), bersekolah dan
belajar merupakan kegiatan yang wajar dan masuk dalam golongan
sedang. Alasan yang mereka ungkapkan karena sekolah mereka
berada di desa tetangga dengan jarak tempuh 8 kilo meter dan
dengan perut lapar mereka harus berjalan pulang-pergi.
Defenisi aktivitas berat di sebut “Paling sulit”, menurut mereka
adalah jenis pekerjaan sebagai pemanjat pohon lontar “Pengiris Tuak”.
Pohon lontar yang dimiliki tiap rumah tangga paling sedikit berjumlah 5
pohon dan paling banyak 40 pohon. Letak pohon jauh antara satu pohon
dengan lainnya. Ukuran tinggi pohon lontar rata-rata 20 meter di atas
permukaan tanah. Petani bekerja berminggu-minggu lamanya untuk

121
memaksimalkan hasil panen yang sedang berlangsung dengan berjalan
dan memanjat ke pohon-pohon milik keluarga. Pengiris lontar bekerja
dengan lincah, mengandalkan kekuatan tenaga fisik semata tanpa
memikirkan faktor keselamatan kerja dengan memasang tali pengaman.
Ia mengisi penuh hasil sadapan lontar kemudian harus turun kembali
dengan wadah “Haik” berisi air lontar yang di ikat pada pinggang
pemanjat. Tidak sedikit para pemanjat yang jatuh dari atas pohon lontar
dengan kondisi tidak sadarkan diri dan mengalami patah tulang serta
meninggal di tempat kejadian.
Orang yang pingsan akan diobati dengan cara menyiram air
gula sabu sambil menyebut nama korban di tempat ia jatuh. Kegiatan
itu dilakukan dengan maksud untuk memanggil kembali jiwa/roh
orang yang sedang pingsan. Patah tulang yang dialami akan sembuh
setelah melakukan terapi tradisional oleh jasa tukang urut di desa
setempat. Tukang urut melakukan pijat “Urut” tradisional dengan
minyak urut yang berasal dari kelapa. Terkadang pemanjat pohon
yang pernah jatuh mengalami trauma sampai berhenti dari pekerjaan.
Informan Lukas Kaka Balo menuturkan kisahnya
“Tahun 1998, waktu itu saya masih SMP (Sekolah Menengah
Pertama), pohon tuak (lontar) tinggi 20 meter tapi sudah biasa
naik, itu pohon milik keluarga, bapak punya, waktu itu sore,
naik pohon yang kedua, sampai di atas pohon, saya rasa
pusing, gelap begitu, langsung jatuh sudah, ada orang satu
yang lihat, mungkin bunyi besar jadi dia lihat, baru dia tolong,
maitua (istri) bilang saya pingsan sonde (tidak) sadar begitu, ini
tulang belakang patah, jadi di urut satu minggu pakai tukang
urut, dia sudah biasa urut orang, terus setiap hari bapak dan
mama datang gendong, bawa ke laut, baru bikin lubang di
pasir, terus suruh beta (saya) tidur melintang, baru mereka
tutup dengan pasir semua badan, kasih tinggal kepala saja,
baru mereka siram dengan air laut, rasa ke batarek
(menyerap), seperti semut gigit begitu, bilang supaya tarik itu
darah kotor semua bawa ke laut, tiap hari begitu selama satu
minggu lebih, sekarang sudah sembuh, tapi beta (saya) sudah
bertobat sonde (tidak) mau pergi iris tuak lai (lagi)”.

122
Hasil observasi, Jika dihubungkan dengan gaya
hidupterkhususnya pola makan masyarakat kolorae yang hampir tidak
pernah mengkonsumsi buah dan sayuran ditambah dengan selebrasi
makan daging babi dan daging kambing setiap kali acara adat ataupun
pertemuan keluarga selalu menghidangkan makanan-makanan berlemak.
3.3.3 Konsumsi Buah dan Sayur
Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia. Setiap hari
manusia memerlukan makanan sebagai penghasil energi untuk berativitas.
Makanan yang bergizi berguna untuk menjaga keseimbangan kesehatan
dalam tubuh setiap orang. Pertanian rumput laut yang sedang menjadi
trend pekerjaan warga Kolorae menambah pendapatan ekonomi keluarga.
Menurut kepala urusan umum Desa Kolorae, sekarang sudah banyak
penduduk yang makan dua sampai tiga kali sehari. Tampaknya terjadi
perubahan pada pola makan. Akan tetapi sebagian penduduk Pulau Raijua
yang berprofesi sebagai petani ladang dan rumput laut masih mengikuti
pola makan dari orang tua terdahulu yaitu hanya makan satu kali sehari
pada siang hari dan minum gula lontar (gula sabu) sebagai sarapan dan
penolak rasa lapar pada malam hari. Gula sabu menjadi makanan pokok
sejak dahulu. Air putih yang di campur gula sabu di sebut sebagai air gula
Sabu. Minuman ini dikonsumsi sebagai makanan untuk keluarga, “Kami
orang tani memang begitu, kecuali pegawai, pagi minum gula sabu, jam
sebelas masak, jam 12 makan, kerja lagi sampai jam enam sore kalau ada
nasi sisa dari siang, makan lagi untuk malam kalau tidak ada sisa dari siang
kita minum gula sabu lagi”.
Gambar

Gambar 3.21
Menu makanan setiap hari
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Selain penduduk yang meminum air gula sabu pada pagi hari,
terdapat juga penduduk yang membuat bubur sebagai sarapan. Bubur

123
terbuat dari hasil bumi setempat yaitu kacang hijau, kacang merah,
sorgum ataupun bubur beras. Tidak ada makanan khusus yang
diberikan untuk bayi, kecuali air gula sabu. Bubur ini juga menjadi
makanan bayi di bawah satu tahun. Makanan selingan di kala santai
berupa sirih pinang, kacang tanah dan kacang hijau mentah. Menu
makanan setiap siang hari berupa nasi terkadang disertai dengan ikan
laut. Makanan pokok warga desa Kolorae adalah sorgum (sejenis
gandum). Tidak terdapat kawasan persawahan di wilayah tersebut.
Beras dapat ditemui saat hari pasar berlangsung. Beras dijual per
karung. Untuk 50 kilogram beras di hargai dengan harga 450-500 ribu,
tidak dijual per kilogram. Sorgum yang dimasak terkadang di campur
dengan kacang merah ataupun kacang hijau. Masih ada penduduk
yang makan sorgum selang-seling dengan nasi, akan tetapi sekarang
sorgum lebih banyak di makan untuk acara yang berhubungan dengan
ritual adat. Rata-rata masyarakat hanya memasak sekali dalam sehari
untuk makan siang, jika ada sisa makan siang akan dimakan pada
malam hari. Makanan sisa dari semalam biasanya dijadikan makanan
untuk ternak peliharaan. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga
terkadang kepala keluarga pergi mencari ikan“Meting” ke laut. Hasil
yang didapat seperti ikan dan gurita bisa dikeringkan atau di jemur di
panas matahari untuk persediaan.
Tidak banyak penduduk yang menyediakan sayur pada menu
saat makan karena untuk sayur dan buah memang sulit untuk
ditemukan di daerah ini. Hanya sayuran dan buah tertentu yang bisa
dilihat dalam keseharian yaitu labu kuning, pepaya dan daunnya.
Kesulitan mendapatkan sayuran di musim panas adakalanya membuat
warga Kolorae harus berkendara mencari sayuran di Kelurahan
Ledeunu dan Ledeke. Saat ingin mengkonsumsi sayuran, beberapa
individu terkadang harus rela menyeberang pulau untuk berburu daun
hijau yang mengandung gizi tersebut. Terdapat 2 buah embung
dengan debit air yang banyak. Embung tersebut jarang di gunakan
untuk pertanian khususnya menanam sayur-mayur. Waduk yang berisi
air berwarna coklat di pakai untuk keperluan mandi dan minum
ternak. Sebagian penduduk yang tinggal di sekitar memanfaatkannya
sebagai air mandi. Sepanjang penelusuran wilayah desa tidak pernah
dijumpai lahan tanaman sayuran.

124
Untuk kebutuhan buah bisa dipastikan setiap rumah tangga
jarang mengkonsumsinya. Terdapat lahan pohon kelapa yang banyak
di dusun Boko (dusun 2). Dalam keseharian masyarakat jarang
mengkonsumsinya. Daging buah kelapa dipakai hanya untuk menu
makanan adat yang dicampur dengan kacang hijau. Buah
tomat,lombok sesekali bisa ditemukan pada saat hari pasar. Hari pasar
berlangsung 3 kali dalam seminggu. Tempat menjual barang dan jasa
sering berpindah-pindah lokasi dari 1 desa ke desa lain. Orang yang
sama sebagai pedagang menjual buah setiap kali ada hari pasar.
Pedagang buah tersebut berasal dari kelurahan Ledeunu. Dalam
pengamatan, sedikit pelanggan yang membeli buah tomat. Banyak
sisa hasil jualan hingga selesai jam pasar.
Bukan keterbasan air dan lahan yang tersedia di desa Kolorae
namun para masyarakat hanya mau menanam sesuatu yang bisa
menghasilkan uang dan makanan pokok mereka. Bibit sayuran dapat
dibeli di tempat atau kebun sayur di wilayah Raijua bawah namun hal
itu tidak dilakukan. Ada kecenderungan masyarakat Kolorae yang
hanya menunggu kapan musim hujan tiba. Sayuran seperti bayam dan
kangkung dan lain-lain hanya bisa ditemukan pada saat musim hujan.
Sudah ada kantor balai pertanian di desa Kolorae. Kantor tersebut di
bangun tahun 2011 lalu. Bangunan permanen di batasi dengan pagar
kawat duri diliputi suasana sepi karena belum ada kegiatan
operasional karena penyebab utama adalah tidak ada tenaga kerja.
Pengolahan makanan dilakukan secara sederhana dengan di
rebus, di goreng atau di tumis dengan bumbu bawang merah, cabai
dan garam. Peralatan masak yang digunakan tergolong sederhana.
Makanan dimasak dengan menggunakan wajan atau panci yang
diletakan di atas tungku dengan kayu bakar yang menyala. Setiap kali
masak daging apapun awalnya harus diletakan di tempat khusus yang
telah tersedia pada setiap rumah, alat tersebut bernama…. tujuannya
adalah untuk mempersembahkan makanan kepada arwah nenek
moyang agar makan bersama dan menurut ibu MF “Supaya babi yang
suka berkeliaran masuk ke rumah tidak makan itu makanan”. Untuk
menandakan makanan persembahan telah disantap oleh arwah nenek
moyang adalah makanan itu akan terasa dingin saat dipegang.

125
Gambar 3.22
Tungku masak warga dan ….
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Salah satu Indikator dalam perilaku hidup bersih dan sehat
adalah kegiatan menghisap rokok di dalam ruangan tertutup yang
terdapat orang lain disekelilingnya.
3.3.4 Tidak Merokok Dalam Rumah “Rokok daun dan sirih pinang
yang tak bisa dipisahkan”
Jenis rokok yang sering di konsumsi oleh masyarakat Kolorae
adalah rokok tradisional yang di sebut “Rokok daun”. Kulit rokok dari
daun lontar kering. Daun lontar akan dihaluskan bagian kulitnya
menggunakan pisau agar mudah melintingnya. Harga satu Ons
tembakau adalah lima ribu rupiah. setiap satu Ons tembakau dapat
menghasilkan 15-20 batang rokok daun tergantung lebar daun lontar
yang digunakan. Setiap kali di temui, rokok daun sering dihisap oleh
sebagian besar laki-laki dewasa maupun semua para orang tua. Tidak
menutup kemungkinan anak kecil yang putus sekolah juga
mengkonsumsinya. Rasa rokok daun sangat keras bagi pemula karena
tidak terdapat penyaring filter. Setiap menghabiskan satu lintingan
rokok daun sebagian besar ahli hisap meneguk segelas air karena
terasa panas di tenggorokan dan asapnya pedas jika di hirup. Saat
dihitung, durasi waktu yang digunakan setiap membakar 1 batang
rokok berkisar 30-45 menit setiap gulungan. Dalam 1 hari rata-rata
para perokok membuang 10 puntung rokok daun. Aktivitas menghisap
bermacam-macam yaitu saat bangun tidur, setelah selesai makan,
kala bersantai bersama keluarga dan tetangga ataupun saat bekerja di
lahan rumput laut serta duduk termenung sendiri. Alasan
mengkonsumsi rokok daun yaitu untuk menghilangkan kantuk dan

126
menghilangkan rasa dingin. “Kalau hisap ini rokok daun, mata
langsung terang, dingin di laut jadihisap supaya tidak rasa dingin,
kalau duduk tunggu jemur agar-agar (rumput laut), biasa mengantuk
kalau tidak hisap”. Semua informan mengetahui bahaya merokok,
pernah mengalami batuk dan sembuh namun belum ada keinginan
berhenti yang tersirat. Sudah menjadi tradisi setempat dalam
mengonsumsi rokok daun di dalam rumah tanpa mengindahkan
penghuni rumah.

Gambar 3.23
Rokok daun yang sedang dinikmati.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Kebisaan menghisap rokok daun di dukung oleh tingkat
konsumsi sirih pinang. Ahli hisap di desa Kolorae berpendapat bahwa
belum lengkap makan sirih pinang tanpa menghisap rokok daun.
Setiap kali peneliti dan asisten peneliti berkunjung ke rumah
penduduk, selalu dihidangkan rokok daun dan sirih pinang sebagai
simbol penghargaan terhadap tamu. Para penikmat rokok daun dan
sirih pinang menerangkan bahwa buah pinang kering, daun sirih di
kunyah secara bertahap kemudian di campur dengan kapur agar lebih
merah ludahnya, “Semakin merah semakin enak”. Puntung rokok
daun dan ludah merah dibuang begitu saja di halaman rumah.
Anggapan masyarakat terhadap mengkonsumsi sirih pinang yakni
dapat membersihkan karang gigi, tidak bau mulut dan bisa
menguatkan gigi. Menurut beberapa Informan, akibat dari konsumsi
sirih pinang yang berlebihan dapat menghitamkan gigi karena tidak
menyikat gigi sampai berhari-hari. Lain lagi yang dikatakan oleh

127
informan NKB (50 tahun), “Pernah kena penyakit racun dari sirih
pinang, liat gigi saya habis semua (sambil menunjukan giginya),
akhirnya saya tidak bisa makan yang keras-keras”. Penyakit racun yang
dimaksud adalah informan diracuni oleh orang lain saat
mengkonsumsi sirih pinang sehingga sampai saat ini berhenti.

Gambar 3.24
Mulut yang sering mengkonsumsi sirih pinang.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
3.3.5 Gangguan Jiwa “10 orang gila”
Menurut cerita yang beredar di masyarakat desa Kolorae, mereka
mengatakan bahwa di pulau tempat mereka tinggal terdapat kasus
gangguan jiwa atau yang biasa mereka sebut gila. Dalam wawancara yang
dilakukan masing-masing informan berkata bahwa di pulau Raijua terdapat
kurang lebih sepuluh orang yang mengalami gangguan jiwa.
Diperlukan diagnosis dari profesional psikolog atau psikiater untuk
mengetahui kondisi kejiwaan seseorang, akan tetapi masyarakat setempat
telah menyimpulkan bahwa jika seseorang yang berperilaku aneh misalnya
seperti kembali seperti anak kecil, menangis dan berlari sambil menjerit-
jerit tanpa ada sebab yang jelas maka orang tersebut disebut orang gila.
Peneliti mengunjungi salah satu orang penduduk yang dianggap
mengalami gangguan jiwa oleh penduduk. Ketika ditemui DR tidak
menunjukkan perilaku yang bisa dianggap aneh. Ia berbicara seperti
biasa dengan koherensi pembicaraan yang logis. Akan tetapi ia
membawa bawang putih kecil untuk membuatnya merasa aman dari
gangguan setan. DR sendiri tidak bersedia menjelaskan apa yang ia alami
begitu juga pihak keluarga tidak secara terbuka menjelaskan. Namun dari

128
tetangga menjelaskan bahwa DR berperilaku aneh, hal ini dimulai
sebulan yang lalu semenjak ia dimarahi oleh sang ayah di waktu siang
hari. Karena kejadian itu DR tidak mau pulang dan duduk termenung
dibawah pohon lontar hingga hari gelap. Ketika disusul oleh keluarga ia
kemudian menangis dan berteriak-teriak kemudian berlari menuju danau
kecil tempat penampungan air (embung).
Sejak kejadian itu DR terkadang menunjukkan sikap agresif
dengan orang tua, ia memukul ibunya jika tidak mau memberikan apa
yang diinginkan. Tetangga DR mengemukakan bahwa DR sebenarnya
sudah menunjukkan keanehan dari kecil. Sewaktu kecil jikakeinginannya
tidak dituruti ia akan menangis sejadi-jadinya dalam waktu yang lama,
bisa sampai seharian. Jika ia marah maka ia akan meloncat dan
menjatuhkan diri dengan posisi pantat terlebih dahulu. Hal ini pun masih
terjadi di saat DR sudah beranjak dewasa (17 tahun). Menurut tetangga
yang lain, DR mengalami perubahan sifat, sebelumnya DR merupakan
anak yang pemalu dan pendiam, sedangkan sekarang ini DR berubah
menjadi pribadi yang cerewet dan senang berbicara.
Saat ini DR telah absen dari sekolah selama sebulan, ia masih
belum mau ke sekolah karena malas bertemu dengan teman-teman
dan takut ditanyai oleh teman-teman dan guru. Ia juga masih khawatir
bahwa dirinya masih diganggu oleh setan. Agar merasa aman, untuk
melindungi diri, ia masih merasa perlu untuk membawa bawang putih.
Di PuskesmasKecamatan Raijua tidak terdapat layanan untuk
merawat pasien dengan gangguan jiwa. Puskesmas juga tidak dapat
merujuk ke Rumah Sakit Kabupaten karena memang tidak ada unit
rumah sakit yang menangani pasien dengan gangguan jiwa. Pasien
harus dirujuk ke rumah sakit umum Provinsi NTT untuk mengetahui
diagnosa dan melakukan perawatan hingga sembuh. Hal ini dapat
dipastikan jika pasien menderita ganggunan jiwa tidak mendapatkan
perawatan yang semestinya.
Di pulau Raijua sendiri terdapat kurang lebih sepuluh pasien
dengan gangguan jiwa dengan berbagai sebab seperti gangguan jiwa
yang disebabkan guncangan karena ditinggal mati orang yang dikasihi
sampai berbau mistik yaitu gila karena lalai memberikan persembahan
kepada barang bertuah yang dimiliki. Sebab ketiga gangguan jiwa adalah
karena dirasuki setan. Terdapat satu kategori lagi gangguan jiwa yaitu

129
gangguan jiwa yang disebabkan oleh penyakit malaria. Masyarakat
menganggap malaria sangat berbahaya jika kena ke otak karena
menyebabkan hilang ingatan seperti kasus yang dialami 9 pasien lainnya.
Masyarakat yang percaya pada hal gaib sehingga
penyembuhan melalui doa kerap dilakukan untuk mengatasi
gangguan jiwa. Masyarakat desa kolorae termasuk masyarakat yang
menerima gangguan jiwa sewajarnya. Mereka tidak mengucilkan dan
mengajak orang yang mereka anggap mempunyai gangguan jiwa
untuk bergabung dalam percakapan dan kegiatan mereka.
3.3.5.1 Penjara bagi orang gila
Sisi lain dari tindakan preventif yang dilakukan untuk
mengendalikan efek dari “gila” yang timbul adalah diisolir menurut
pandangan pribadi seorang suami terhadap orang yang dikasihi dan
sudah dinikahinya. Dari serangkaian peristiwa yang lalu, sejak tanggal
10 januari tahun 2010 adalah puncak tindakan mengurung istri secara
permanen di dalam sebuah ruangan rumah menjadi tempat satu-
satunya perempuan tersebut hidup. Tindakan pengurungan secara
paksa yang dilaksanakan menyebabkan penderita tidak bisa
berinteraksi dan menjalin komunikasi dengan orang lain selain
suaminya sendiri. Beberapa kali peneliti mencoba bertemu dengan
suami saat pagi, siang, sore maupun malam, tetapi tak pernah
bertemu kerena laki-laki yang menjadi suami ibu Berta Djami tersebut
sering keluar mencari ikan di laut. Aktivitas melaut sering tak tentu
jadwalnya bahkan sampai berhari-hari lamanya baru kembali ke
rumah. Informasi tentang penderita yang di sekap oleh suami
(Lodowik Pamajiwe) karena sudah tak sanggup lagi mengatasi
kelakuan istrinya saat penyakit tersebut kambuh.
Menurut cerita tetangga terdekat, informan Dina Mariana
Ngawi Leo mengisahkan rumah setengah tembok tepat di sebelah
rumahnya sejak dulu adalah sebuah toko tempat berjualan, saat tamu
berkunjung ke rumah, keluarganya menerima dengan ramah. Pada
tahun 2012 semenjak ibu Bertha Djami terserang penyakit, hal
tersebut seolah berubah 180 derajat.Penderita sempat dibawa ke
Puskesmas Ledeunu selama 2 hari 2 malam karena sakit yang dialami
tersebut. Saat keluarga menjenguk melihat kondisi fisik dan mental
sudah tidak sanggup menahan kelakuan penderita karena seringkali

130
merusak bahan dan alat di dalam ruangan inap pasien, informan
DMNL mengatakan bahwa para bidan dan dokter pun menjadi takut
dengan tindakan perusakan yang dilakukan oleh pasien Berta Djami.
Setelah perbuatan itu pasien tidak sempat diperiksa oleh pihak
Puskesmas Ledeunu. Semenjak pulang itulah istrinya sering merusak
barang jualan dalam tokonya dan beberapa barang di dalam rumah.
“Mungkin karena itu mereka jadi bangkrut dan tidak jualan dan tidak
membuka toko lagi, suaminya stres juga”.
Suaminya mengambil keputusan untuk membatasi ruang gerak
istri tercintanya. Beberapa kali peneliti bercengkerama dengan para
tetangga penderita sering terdengar teriakan, nada berisik, suara
nyanyian dari dalam rumah yang digembok dari luar tersebut.
Penderita mengenal suara orang dan bisa menjawab sapaan, akan
tetapi menurut tetangga“Dia tahu ada orang di luar, tapi dia sudah
tidak berbusana lagi di dalam rumah karena semua barang sudah
dirusaknya, pernah dia kasi pecah kaca rumah bagian belakang juga
dan lari keluar tanpa busana, tidak pulang sampai 1 minggu lebih, ada
orang ketemu di tempat mandi di Ae Bego, ajak pulang, dia ikut
pulang”.

Gambar 3.25
Kamar yang di palang dan jendela kamar bekas pelarian.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Informasi dari suami Lodiwik Pamajiwe mengatakan bahwa
istri yang dikurung tersebut memiliki 4 orang anak, anak pertama
berjenis kelamin perempuan dari hasil pacaran dengan pemuda asal
Kabupaten Belu (salah satu kabupaten di Provinsi di NTT, tepatnya di
daratan pulau Timor) tetapi sudah meninggal. Setelah berpisah
dengan kekasih hatinya, ibu BD menikah secara adat dengan suaminya

131
yang sekarang dan sudah memiliki 3 orang anak. Anak kedua berjenis
kelamin laki-laki sedang mengecap pendidikan di Kota Kupang kelas 2
Sekolah Menengah Pertama mengikuti keluarga yang mengambil dan
mengasuhnya semenjak kecil. Anak ketiga bernama Sepriyanus
Pamujiwe sudah menjadi almarhum sejak kelas 3 Sekolah Dasar akibat
sakit “Darah keluar dari hidung dan mulut, setengah hari saja di rawat
di puskesmas sebelum hembusan nafas terakhir pada tahun 2013”.
Kuburan anaknya berbentuk kotak ditutupi pasir yang di tata dengan
beberapa batu mengeliing makam tersebut terletak di depan rumah.
Setelah bercakap-cakap dengan suami ibu BD, kami di izinkan untuk
masuk observasi dalam rumah sekaligus berkomunikasi dengan ibu BD
melalui pintu yang telah di palang dengan jejeran papan kayu.
Saat berkomunikasi dengan ibu Berta Djami melalui pintu kamar
yang telah dibatasi tersebut, terdengar suara perempuan dewasa yang
menjawab dengan bahasa indonesia dengan baik dan sopan. Ibu BD
memiliki memori ingatan yang baik. Ia menceritakan nama lengkap,
tanggal lahir 4 mei 1967, nama ke 4 anaknya dan kondisi tubuhnya yang
sekarang dengan lancar. Informan melanjutkan kisahnya, dalam 1 hari ia
makan 3 kali, makan bubur jika ada, sedang mengeluh sakit maag,
informan juga menjelaskan sakit maag tersebut karena gangguan
pencernaan, harapannya adalah ingin sehat, ingin mandi, ingin makan
sayur dan ingin dapat kekuatan lagi. Terdengar ibu BD sangat menikmati
pembicaraan dengan peneliti layaknya seperti teman akrab yang sudah
lama tidak bertemu. Informan BD juga menceritakan kisahnya sewaktu
sekolah sampai kelas 6 Sekolah Rakyat, merantau keluar dari pulau raijua
tahun 1984-1988, masa pacaran pertama dengan kekasihnya dan tinggal
bersama di kabupaten Belu pada tanggal 13 oktober 1991 dan tanggal 15
Agustus pada tahun 1993 anak pertama lahir dan ketika berumur 1 bulan
3 hari meninggal di pangkuannya dan kisah itu dibenarkan oleh suami
yang berada di dalam ruangan yang sama. Di sela-sela pembicaraan
peneliti dengan suami, sebagian besar pertanyaan yang di tanyakan
kepada informan menjawab dengan “Tidak ingat” lalu di jawab oleh istri
yang berada di ruangan sebelah kami. Merasa penasaran bercampur
heran karena selama terjadi pembicaraan dengan informan lain. Ibu DB
juga menyimak dan menjawab apa yang kami perbincangkan. Suara
nyanyiannya sangat merdu di kala semuanya terdiam.

132
Berdasarkan informasi dari suaminya mengatakan bahwa tidak tahu
penyebab penyakit secara medis, karena waktu itu tidak sempat diperiksa.
Menurutnya karena ada masalah dengan keluarga sebelum sakit.
“Waktu itu kami ada pertemuan dengan keluarga di dusun
Kolorae, sempat ada perselisihan dan marah-marah di situ,
kami pulang, malamnya itu, istri saya rasa seperti tatikan pada
leher bagian belakang, saya gosok minyak, urut pelan-pelan,
paginya sudah sakit kepala, langsung kumat, dia teriak-teriak
sendiri, lari keluar dari rumah ke gunung situ, ada orang
rentangkan tangan untuk palang dia begitu tapi dia pukul pakai
tangan di hidung orang satu kali langsung berdarah”.
Ibu BD di bawa ke Puskesmas Ledeunu pada tahun 2011
seingat suaminya. Sudah dua tahun ibu BD tidak pernah keluar dari
“Penjara” itu. Selanjutnya informasi mengenai penyakit yang selama
ini di derita adalah demam, batuk, pilek, “di kasih obat paracetamol
untuk turun panas dan ampisilin untuk luka-luka di dalam tubuh,
sekarang sudah lama tidak kasih obat lagi karena dia tidak mau
minum, dia bilang kau telan saja, dia tetap ribut, omong sembarang,
menyanyi, berdoa, aktif terus, tidur sedikit saja tapi kalau sudah
bangun langsung mengulagi hal itu lagi ”.
3.3.6 Sehatdi Usia Tua “Senja di antara pohon lontar”
Setiap manusia yang hidup di dunia akan menemui usia tua.
Entah dalam kondisi sehat ataupun sakit semua itu tergantung
bagaimana manusia tersebut menikmati hidupnya. Hidup sehat
dengan umur panjang adalah berkat dan anugerah dari Tuhan Yang
Maha Esa. Setiap manusia memiliki cita-cita tersebut dalam setiap
langkah menjalani hidup dan kehidupannya. Secara statistik, usia
harapan hidup perempuan Indonesia lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2006, usia harapan hidup perempuan 70 tahun,
sedangkan laki-laki 66 tahun. Artinya di Indonesia masa kini,
perempuan diperkirakan dapat mencapai usia 70 tahun, sedangkan
laki-laki mencapai 66 tahun. Dalam pembagian umur yang digunakan
di lima Posyandudesa Kolorae, ketegori lanjut usia adalah mereka
yang masih hidup dan memiliki usia di atas 51 tahun. Para manusia
berumur panjang tersebut datang ketika mendengar informasi dari

133
para kader yang sudah mengunjugi mereka dua hari sebelum tanggal
Posyandu lanjut usia di mulai. Terlebih lagi tutur kader Posyandu
mama Dina Mariana Ngewi Leo (40 tahun) “Waktu ketemu di jalan, di
sumur, saat ibadat rumah tangga, di gereja kami sering ingatkan
jadwal Posyandu Lansia”. Mereka datang masing-masing baik laki-laki
maupun perempuan tanpa didampingi orang lain. Melihat kedatangan
mereka di hari itu, menggambarkan bahwa “Kami” masih bisa dan
“Kami” masih ada.
Papan informasi di kantor desa Kolorae periode februari 2014
mencantumkan penduduk dengan golongan umur 51-55 tahun sebanyak
67 jiwa, umur 56-60 tahun berjumlah 105 jiwa dan usia 61 tahun ke atas
berjumlah 126 jiwa. Tanggal 30 Bulan April 2015 berkurang menjadi 294
orang. Jumlah warga lanjut usia berdasarkan register di lima Posyandu
yaitu 217 orang yang terdaftar. Berdasarkan data tersebut
mencerminkan bahwa usia tua bisa dinikmati dalam kondisi relatif masih
sehat dengan tidak merasa terhalangi oleh penyakit. Mereka yang hadir
pada tanggal 25 mei jam 10 pagi tak kalah dengan para balita saat hari
Posyandu. Catatan pada kolom absensi terlihat 50 orang yang
mengalpakan diri di lima Posyandu karena bertepatan dengan kegiatan
renovasi rumah adat. Saat selesai penimbangan berat badan, para
“Lansia” diperiksa tekanan darah kemudian di hadapkan dengan proses
pengakuan keluhan kepada petugas kesehatan yang datang. Saat
di“Tensi” mereka mempunyai tekanan darah rendah dan darah tinggi.
Untuk darah rendah diberi penyuluhan agar mengurangi aktivitas kerja,
istirahat yang cukup dan disuntik. Bagi yang divonis darah tinggi
diberikan informasi untuk mengurangi konsumsi garam dan daging
kambing serta diberi obat. Rata-rata saat didiagnosa, mereka mengeluh
seluruh badan terasa sakit, namun hal tersebut tak menyurutkan
semangat mereka untuk peduli dan tanggap terhadap pelayanan
kesehatan yang datang di wilayah mereka.
Dalam pembagian usia manusia lanjut usia “Manula” menurut
Papalia,2003 proses menua di bagi dalam Primary aging atau proses
menua biologis (senescencing) yang normal, terjadi secara perlahan
dan terus berjalan apapun yang dilakukan seseorang. Artinya bisa
diperlambat tetapi tidak bisa dihentikan. Tanda-tandanya rambut
memutih atau menipis, gerakan fisik melambat serta pengurangan

134
pendengaran dan penglihatan. Secondary aging adalah proses menua
yang dipengaruhi kondisi tubuh atau karena seseorang mengidap
penyakit tertentu. Contohnya karena cedera otak yang bisa
menimbulkan kebingungan dalam orientasi atau karena seseorang
pernah mengalami kekerasan fisik dan mental dalam kehidupannya.
Pakar ilmu gerantologi atau spesialis usia lanjut membagi usia
tua secara kronologis dalam tiga kategori usia (Papalia, 2003).
Kelompok usia 65-74 tahun di sebut “Muda-tua” (young old).
Mayoritas yang tergolong usia tua yang berada pada tahapan “Muda-
tua” ini cukup banyak dari mereka masih energik, penuh gaya dan
gagasan. Tidak jarang perempuan usia ini tetap meneruskan pekerjaan
profesional yang ditekuni sebelumnya. Sedangkan yang sebelumnya
mempunyai kesibukan di bidang kerja kemasyarakatan justru
bertambah aktif karena pengalaman mereka sangat dibutuhkan dan
waktu yang tersedia juga lebih banyak. Menurut DKK “Biarkan mereka
bekerja selama masih mampu, sebab jika tidak bekerja dan bergerak
mereka akan sakit”.
3.3.6.1Perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya “The
Last Generation”
Manusia berusia 65 tahun bernama Henderina Huda Kehe
adalah perempuan asli suku sabu yang lahir dan besar di desa Kolorae,
dalam kehidupannya, beliau di karuniai 6 orang anak yang sudah
dewasa. Talenta yang dimiliki oleh beliau adalah berladang, berkebun,
menenun kain, tetapi yang paling dikenal pendudukdesa Kolorae
adalah jasanya sebagai “Bani Deo” atau dukun beranak. Kemampuan
menolong ibu hamil dan persalinan dipelajari saat usia kecil mengikuti
kemanapun ibunya pergi. Informan tidak pernah mengecap bangku
pendidikan karena dulu tidak ada uang untuk sekolah. Setelah
sepeninggal ibunda tersayang, mama Hude pada usianya yang ke 40
tahun mulai mengambil sikap untuk melanjutkan karier almarhum
ibunda. Pengalamannya berdasarkan hasil pengamatan selama
mendampingi ibu bersalin yang ditolong orang tuanya. Seingat mama
Hude dengan menggunakan bahasa sabu dan sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa indonesia “Sudah banyak sekali yang saya tolong, saya
tidak sekolah jadi saya tidak bisa menghitung sudah berapa banyak”.

135
Menurut keterangan yang diberikan oleh ibu Yance Raja Tuka
(42 tahun) yang sering menggunakan jasa dan tenaga mama Hude
saat persalinan 6 orang anaknya mengatakan bahwa
“Kita semua tidak pergi ke dokter, ini anak saya 6 orang sudah
besar-besar semua, mama Hude yang kasih lahir semua, cuma
persiapan fisik dan mental saja, mental itu harus berani saat mau
kasih lahir anak, biasanya kepala anak baru muncul sedikit, mama
sudah tarik keluar, tidak sakit, kalau persiapan fisik yang mama
Hude bilang yaitu harus kuat minum air gula sabu, supaya
tambah tenaga saat melahirkan dan harus kuat kerja juga”.
Masyarakat Kolorae terkhususnya kaum perempuan dewasa
yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak semuanya mengetahui
bakat dan talenta mama Hude. Mereka senang karena sampai saat ini
mama Mude masih sehat walhafiat dan masih bisa menolong persalinan.
Pertolongan yang diberikan informan HHK tanpa batas waktu, kapan saja
di panggil selalu siap. Menurut cerita mama Hude paling banyak
membantu persalinan saat malam hari. “Duduk tunggu sampai selesai
melahirkan, selama 1 minggu harus datang berkunjung melihat kondisi
dan mengurus ibu serta bayi”. Mama Hude melanjutkan kisahnya, saat
menghadapi situasi-situasi yang kadang membuatnya terhentak yaitu
persalinan pertamakali oleh calon ibu bayi seperti pingsan dan
mengeluarkan kotoran saat proses melahirkan. Para ibu akan diberikan
aroma bawang busuk agar sadar dan cepat terbangun. Hal tersebut
cukup efektif menurut pandangan informan. Untuk kelahiran pertama
wajib hukumnya seorang suami mendampingi istrinya. Alasannya karena
sering kali istri mengeluh sakit pada punggung belakang. Manfaat
pendampingan agar suami dapat memeluk perut istrinya dari belakang
yang sedang dalam posisi jongkok. Pegangan tersebut agar dapat
menendang pinggul belakang istrinya sesuai dengan instruksi “Aba-aba”
mama Hude ketika istrinya tidak kuat atau tidak mempunyai tenaga lagi
saat mengeluarkan bayi dalam kandungan.
Kisah sedih lainnya diungkapkan oleh informan HHK adalah
banyak persalinan yang gagal bahkan sampai ibu dan bayi meninggal
dunia saat ditolong olehnya. Hal itu disebabkan karena faktor tali
pusar atau “Ari-ari” putus di dalam perut. Alasannya karena terlalu
banyak makan cuka yang di campur dengan makanan “Suka makan

136
yang lawar-lawar, cuka tuak, asam” sehingga tali pusat bayi dan ibu
mencair di dalam rahim. Obat yang digunakan untuk mengatasi cair
dan putusnya “Ari-ari” yakni menggunakan ramuan kulit pohon
“Lu’ba”, di masak kemudian di minum. Jika tali pusar terlanjur cair
dan putus di dalam perut pada saat proses persalinan, beliau
menyarankan bagi ibu nifas untuk mengkonsumsi “Tembakau kupu-
kupu atau Nae Kebeba”. Menurut penjelasan bunga tembakau ini
biasanya di hinggapi oleh kupu-kupu yang bunganya berwarna putih,
oleh sebab itu masyarakat menyebutnya daun tembakau kupu-kupu.
Penyebab lain kematian ibu bersalin menurut informan HHK
akibat darah putih yang naik ke otak kepala ibu. Untuk pencegahannya
beliau menyarankan untuk mengkonsumsi bawang merah, bawang putih
yang di campur dengan air gula sabu di minum dua hari sebelum
persalinan. Tips dan kiat khusus dari mama Hude untuk para ibu hamil di
desa Kolorae agar janin kuat yang sering di informasikan sebagai
berikutyaitu harus banyak mengkonsumsi air gula sabu dari masa
kehamilan berumur 1 bulan,wajib perut ibu hamil di urut oleh mama
Hude pada usia 2 bulan kehamilan tujuannya agar bisa memutar kepala
bayi kebawah,diharuskan bekerja keras semasa umur kandungan
memasuki usia 5-9 bulan seperti mengambil air dengan pikulan ember di
sumur secara terus-menerus agar lancar melahirkan.

Gambar 3.26
Mama Hude, Kulit kayu pohon Lu’ba, tembakau kupu-kupu.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Cukup banyak perempuan-perempuan di desa Kolorae yang kini
mencapai usia 65 tahun dan masih mampu menyumbangkan waktu dan
tenaganya untuk keperluan orang lain. Dalam usianya yang tidak muda
lagi, mama Hude masih kuat berjalan untuk mengunjungi rumah anak-
anak dan cucunya tanpa bantuan meskipun lambat, hati-hati tanpa

137
membawa tongkat, tetapi ia sering kali meminta di temani orang lain
kalau berpergian saat malam hari. Dalam kesempatan ini peneliti
mendapatkan bonus agar bisa bertahan hidup sampai usia 60 ke atas
yaitu “Banyak - banyak membantu orang lain yang datang meminta
pertolongan, banyak minum air pohon lontar baik tuak maupun air gula
sabu, makan nasi sedikit saja dan banyak minum air putih”.
Sehat secara fisik di usia 65 tahun bukan berarti tanpa
penyakit. Banyak penyakit yang sering terdengar di telinga ketika
mendengar istilah “Penyakit orang tua” dari masyarakat Kolorae.
Penyakitseperti darah tinggi, stroke, osteoporosis dan penyakit
degeneratif lainnya sudah menjadi trend sakit di kalangan para orang
tua, hal tersebut bukan berarti mereka memonopoli semuanya di usia
lanjut namun sebagian diantaranya sudah menjadi magnet dalam
tubuh mereka. Sehat di usia tua dapat disimpulkan dengan adanya
keluhan dan penyakit yang biasa menemani seseorang dalam proses
menua. Begitulah yang terjadi kepada mama Hude, sewaktu suaminya
meninggal, informan HHK menderita sakit keras berupa batuk sampai
mengeluarkan darah yang banyak. Sempat di rujuk ke Rumah Sakit
Prof. W.Z. Yohanes Kupang dan di vonis penyakit TBC. Menjalani
pengobatan selama 6 bulan dan menghabiskan obat yang diberikan
kepadanya. Kondisi tubuh masih terasa kambuh menurutnya. Dalam
pengamatan Informan HHK kadang batuk dan mengeluarkan lendir
putih. “Sekarang masih sakit, kadang muntah darah sekali, sekarang
habis batuk keluar lendir dulu baru darah, kata dokter sakit TBC”.
Menurut anak-anak nya yang waktu itu berada di ruangan yang sama
dengan peneliti mengatakan bahwa
“Mama sudah tidak mau minum obat lagi karena obatnya
banyak, minum obat telinganya tuli (berdengung), sekarang
cuma minum rebusan bawang merah yang di campur dengan
air gula sabu setiap bangun tidur pagi, dulu sebelum sakit
badan montok, sekarang badan sudah kurus begini”.
Keaktifan mama Hude dalam bidang kesehatan terutama
menolong ibu hamil dan persalinan masih sering dilakukannya.
Keluhan dan batuk yang masih sering di suarakan menjadi persoalan
tersendiri. Menurut penuturan keluarga penyakit yang di derita sudah

138
sembuh. Jika di cermati hal tersebut dapat membahayakan ibu hamil
dan ibu bersalin serta bayi yang di tangani oleh informan.
3.3.6.2 Bapak Nehemia Hudapati “Pernah jadi koki dulu”
Mantan anak muda ini menceritakan kisah masa kecilnya
sebagai juru masak saat masa Nipon (Jepang) datang di pulau Raijua.
Kurang lebih satu tahun ia meracik menu makanan bagi para pemuda-
pemudi yang dipaksa kerja untuk membuat sebuah bendungan air
“Cek Dam” di Ubalie, wilayah desa Kolorae. Masak alakadarnya, yang
masih diingatnya adalah makanan yang paling berpantangan oleh
masyarakat sabu waktu itu adalah kadal besar “Tokek” dan ular.
Mereka diharuskan makan makanan tersebut. “Saya dan 4 teman
yang masak, campur semua, daging ular dan tokek”. Para tentara
membunyikan laras untuk menembak para pekerja yang mengeluh
sakit “Tidak ada yang boleh mengeluh sakit, kalau ada sakit langsung
dikuburkan”. Suasana mencekam menyelimuti daerah setempat
sampai tidak seorang pun berani menyalakan pelita “Api” di pondok-
pondok mereka. Mereka yang ditembak mati di kuburkan secara
massal di daerah sekitar dermaga Raijua “Namo”. Setelah kepulangan
Nipon dari pulau Raijua, ia merantau ke sebuah pulau yang di sebut
“Pulau Salura” yang terletak di pulau sumba timur.
Sekarang ia adalah duda lanjut usia berumur 70 tahun yang
mengisi kekosongannya dengan melakukan sesuatu yang berguna bagi
8 anaknya. Sesuatu yang memberi penghasilan yang tidak terlalu
besar tetapi memberi kepuasan baginya. Pekerjaan memasak gula
sabu dan mencari ikan di laut adalah kegiatannya sehari-hari. Diakhir
bahasanya, orang sabu renta ini bisa memilih apa yang ia kehendaki
dan apa yang tidak mau dia lakukan, hal tersebut dimaknai sebagai
suatu kebebasan dan kenikmatan hidup.
3.3.6.3 Lanjut usia dan hasil rontgennya
Masih menurut Papalia,2003.Usia 75-84 tahun disebut “Tua-
tua” (old-old). Meskipun tidak ada data statistik pada “SDKI” tahun
2006, dapat diperkirakan bahwa jumlah mereka tidak sebanyak yang
tergolong “Young-old” pembahasan kali ini membahas dan
menitkberatkan pada kelompok usia “Old-old”.
Satu lagi Lansia pada kategori ini yang peneliti temui adalah
Bapak Harun Dema Pajo, ia berumur 83 tahun dan lahir pada tahun

139
1932. Pada tahun 1942 ia masuk ke Sekolah Dasar Bogi dan
bersekolah sampai dengan kelas 3 SD. Ia tidak mempunyai anak
kandung tapi mempunyai banyak keponakan dari adik dan kakak
kandungnya. Kekerabatan yang sangat kuat membuatnya tidak
merasa kesepian karena menganggap bahwa keponakan adalah anak-
anak mereka sendiri.

Gambar 3.27
Lansia dan hasil rontgennya.
Sumber : Dokumentasi Penelitian , 2015.
Bapak Harun dulunya merupakan seorang pelaut yang bekerja
membawa penumpang dan barang dari Pulau Raijua ke Sumba dari
tahun 1968 sampai dengan tahun 1975. Pada tahun 1980 sampai
1990, ia mulai beralih dengan membawa perahu motor untuk
mengangkut penumpang dan barang. Sejak tahun 1975 Bapak Dema
tidak lagi bekerja. Ia sudah dilarang untuk bekerja di laut maupun
mengiris lontar oleh keponakan-keponakan yang sudah dianggap anak
sendiri. Sekarang ini kegiatannya sehari-hari adalah menganyam tikar.
Menganyam tikar ia lakukan pada pagi, siang dan malam hari. Dalam
waktu seminggu ia bisa menyelesaikan satu tikar jika tidak ada
pekerjaan lain yang ia lakukan. Merasa baik-baik saja ketika tidak
diperbolehkan bekerja oleh keluarga, satu syarat yang ia minta yaitu
anak-anak mampu menggantikan pekerjaannya.
Diusianya yang ke 83 tahun, ia sudah merasa tidak sehat
seperti dahulu. Tulang belakangnya sakit dan harus menggunakan
tongkat jika berjalan. Selain itu ia juga mengalami gangguan di
perutnya, sampai sekarang perutnya masih sering sakit.Pernah

140
memeriksakan penyakitnya ini di Rumah Sakit di Maumere. Ia telah
diberi obat namun tidak sembuh sehingga tidak lagi mau melanjutkan
pengobatan ke Puskesmas setempat karena merasa badannya akan
bertambah sakit dimana tubuh terguncang-guncang di dalam
kendaraan akibat kondisi jalan yang rusak.Sakit yang informan alami
sudah dianggap biasa.
Sejak dahulu hingga sekarang bapak Harun meminum air tuak
dan gula Sabu agar selalu sehat dan kuat. Untuk makanan sehari-hari
ia makan nasi dengan ikan saja, jika ikan terlalu mahal maka ia hanya
makan nasi ditambah cabai atau garam. Dalam sehari ia makan nasi
dua kali, berbeda dengan zaman dahulu dimana ia hanya makan nasi
seminggu sekali karena sulit untuk mendapatkan beras. Dalam kurun
waktu seminggu itu, terkadang hanya makan sorgum dan kacang hijau
atau meminum air gula Sabu. Tentang kesehatan menurut bapak
Harun cukup penting “Supaya tetap hidup sampai tua”, hal tersebut
ditandai dengan kesadaran akan pemeriksaan kesehatan dan Chek Up
di fasilitas kesehatan walaupun harus mengeluarkan biaya yang besar
3.3.6.4 Cerita di hari tua dari pasangan lanjut usia
Usia diatas 85 tahun menurut Papalia, 2003 di sebut “Sangat
tua” (oldest-old) kelompok ini menunjukan tanda-tanda menjadi
rapuh secara fisik. Kemunduran secara fisik pada umumnya akan
mengganggu kualitas hidup seseorang karena dalam usia “Sangat tua”
berbagai kerapuhan biasanya membatasi kegiatan seseorang.
Tenaga kesehatan yang turun ke Desa untuk Posyandu Lansia
terdiri dari bidan, perawat dengan dibantu oleh dua kader Posyandu
yang berasal dari masyarakat setempat. Dalam menjalankan
pelayanan kesehatan ternyata terdapat hambatan bahasa. Tenaga
kesehatan mengalami kesulitan dalam memahami bahasa setempat
sehingga harus diterjemahkan oleh kader Posyandu setempat.
Selama pemeriksaan, pada umumnya keluhan dari para Lansia
adalah badan teras pegal-pegal, sesak nafas, sakit pinggang, batuk-
batuk dan sakit kepala. Walau para Lansia mempunyai keluhan
Kesehatan rata-rata para Lansia yang hadir di Posyandu tergolong
sehat. Sebagian besar berat badan para Lansia berkisar antara 40
sampai dengan 51 kilogram. Tekanan darah juga tergolong terkontrol,
dengan tekanan paling tinggi mencapai 120/80 mmHg dan terdapat

141
beberapa Lansia dengan tekanan darah rendah dibawah 100/70mili
meter merkuri (hidrargirum).
Di Posyandu ditemukan Lansia yang termasuk kategori Old –
Oldest yang berusia 85-94 tahun. Lansia ini bernama ibu Wahi Bei
yang berusia 88 tahun, ia tidak tahu tanggal lahirnya karena orang
zaman dahulu tidak mencatat.Beliau mengaku tidak sekolah sehingga
tidak bisa berbicara bahasa Indonesia namun sangat terbuka.
Informan bersedia berinteraksi dan menjawab pertanyaan dari
peneliti dengan bantuan temannya yang bisa berbahasa Indonesia.
Ibu Wahi Bei mempunyai empat anak yaitu dua anak laki-laki
dan dua anak perempuan. Terlihat masih sehat dan aktif dengan
penglihatan dan pendengaran yang baik. Responden datang dengan
membawa seorang cucu karena memang sekarang pekerjaannya
mengasuh cucu. Sudah sekitar lima tahun tidak lagi mengerjakan
pekerjaan rumah tangga karena tidak diperbolehkan lagi oleh anak
sulungnya untuk bekerja. Tugas rumah tangga yang masih lakukannya
adalah memasak nasisehari sekali di pagi hari dan makan sesukanya.
Nasi yangdi masaknya terkadang dicampur kacang hijau ataupun
kacang merah. Akan tetapi lauk yang dimakan terbatas, setiap hari
makan selang seling antara nasi kosong dengan ikan. Untuk menjaga
kesehatan, informan meminum gula sabu satu gelas setiap harinya.
Dahulu ia pernah menderita penyakit yang cukup parah dan
mengaku pernah hampir mati karena penyakit itu.Gejala
yangdirasakan waktu itu adalah pusing, muntah-muntah dan batuk-
batuk namun anaknya datang membawa obat cina yang tidak
diketahui merknya sehingga ia bisa kembali sembuh. Sekarang ini ibu
Wahi Bei merasa sehat-sehat hanya saja ada keluhan gatal-gatal di
kulit bagian tangan jika mengkonsumsi daging babi.

142
Gambar 3.28
Pasangan Lansia.
Sumber : Dokumentasi Penelitian , 2015.
Adapun penyakit rabun mata “Katarak” akibat bertambahnya
usia membuat fleksibilitas mata yaitu ketebalan dan kejernihan
mengalami penurunan. Selaput putih yang menutupi bagian lensa hitam
pada bola mata sebelah kanan yang menghabat aktivitas informan
berjalan ke luar rumah. Menderita penyakit mata “Katarak”sejak tahun
1992 silam bagi pasangan setia ini dianggap akibat dari menjual barang-
barang adat atau pusaka ke luar dari pulau Raijua.
Kedua sejoli ini semasa perkawinan hingga sekarang tidak di
karuniai keturunan, tidak ada kesunyian saat menghampiri pondok
sederhana mereka, canda tawa dan senyuman menyambut setiap
tamu yang datang tetap tergambar di wajah keriput mereka.
Kesetiaan di penghujung hari tua diisi dengan komunikasi berupa
cerita-cerita antara keduanya. Menemukan pasangan setia ini tidaklah
mudah dijumpai di masa sekarang karena data identitas jarang
dimunculkan dalam data statistik. Mungkin karena usia lanjut yang
hidup sehat dan damai ini dianggap tidak banyak jumlahnya, sehingga
orang banyak tidak berpikir untuk meneliti jumlahnya secara khusus
untuk menyusun kebijakan yang dapat dijadikan contoh yang dapat
meningkatkan kualitas hidup dengan sasaran individu dan kelompok.
Pulau Raijua merupakan salah satu pulau dimana populasi
Lansia tergolong tinggi. Banyak Lansia yang dijumpai terlihat
mengalami penyakit Katarak. Informasi mengenai pengobatan dan
operasimata katarak secara massal oleh dokter dari kota Kupang

143
sudah disampaikan oleh petugas kesehatan sewaktu jadwal Posyandu
Lansia. Operasi mata tersebut akan berlangsung bulan juni 2015 di
Sabu Menia (ibu kota Sabu Raijua). Hal tersebut di dengar namun
apadaya tangan tak sampai, selepas informasi, semua informan
menjawab “Terlalu jauh karena harus langgar ke pulau seberang”.
Secara keseluruhan individu-individu berumur panjang ini
memiliki kesehatan fisik, mental dan psikologi yang baik. Tidak hanya
memiliki pengalaman masa muda yang terbiasa hidup keras dan
terbatas namun juga memiliki latar belakang pola makan yang alami
dari alam tanpa campuran bahan kimia. Kata kunci yang bisa dimaknai
dari semua informan Lansia adalah “Menikmati hidup secara sehat
dengan mensyukuri anugerah Tuhan Yang Maha Esa”.
3.4 Perilaku Pencarian Pengobatan
Perilaku pencarian pengobatan di masyarakat Kolorae meliputi
tiga tahap yaitu mengobati di tabib lokal dengan cara tradisional,
kemudian bertindak mengobati diri sendiri dengan membeli obat di
toko “Kios kecil” terdekat dan mengambil keputusan untuk pergi
berobat di Pustu terdekat jika pengobatan yang telah dijalani belum
sembuh. Berdasarkan observasi di lima dusun yang berada dalam
wilayah kerja desa Kolorae, terdapat 2 toko dengan bangunan
permanen dan 8 lainnya adalah rumah daun “Kios kecil” yang menjual
berbagai keperluan rumah tangga dalam hal ini sembilan bahan pokok
(sembako) termasuk obat-obatan.
Ketersedian obat di setiap toko dan kios mendukung tingkat
konsumsi warga terhadap obat. Obat paling laris di toko Lobowalu
dusun 5 yaitu obat yang di sebut no. 19 yakni obat untuk sakit kepala.
Di dusun 4, obat yang sering di beli adalah paracetamol dan obat
antalgin. Kios kecil di dusun 1 juga menyediakan obat entrostop dan
obat contrimesasol karena banyak permintaan dari konsumen. Para
pembeli selalu bertanya kepada penjaga toko atau yang sedang
berjaga di rumah kios tentang jenis obat apa yang cocok dengan
penyakit yang sedang di derita.
Pengetahuan warga tentang obat-obat swamedikasi
berdasarkan sering munculnya iklan obat di televisi dan juga cerita
warga yang berhasil sembuh dengan menggunakan obat yang telah
dikonsumsinya. Ada segelintir masyarakat yang mengatakan bahwa

144
obat yang diberikan oleh petugas kesehatan di Pustu tidak cocok,
Informan Thobias Kehe Tola (35 tahun) berbicara dengan nada suara
kecil bahwa,
“Waktu itu saya punya bapak sakit rematik, pergi ambil obat di
Pustu, tapi waktu minum, saya punya bapak setengah mati
selama satu malam, makin parah, akhirnya beta pi kios di
depan situ ko beli obat, akhirnya sembuh”.
Berdasarkan pernyataan -pernyataan yang telah di paparkan,
peneliti menggali lebih jauh tentang konsep pemilahan terhadap
konsep kategori penyakit yang terjadi pada masyarakat Kolorae.
3.4.1Konsep Sakit
Dalam kehidupan bermasyarakat sabu, terdapat perbedaan
mengenai konsep sehat dan sakit. Perbedaan terlihat pada saat
menanggapi suatu masalah kesehatan. Pemahaman kesehatan
tergatung pada kondisi umur dan faktor alam (cuaca) saat seseorang
terkena suatu penyakit. Yang tampak nyata adalah seseorang memilih
pengobatan yang dijalani saat terkena suatu penyakit. Khusus di desa
Kolorae terdapat empat hal dalam mengkategorikan suatu penyakit
antara lain yaitu sakit berat, sakit ringan, sakit akibat pelanggaran adat
dan sakit akibat penyakit racun.
3.4.1.1 Konsep Sakitberat
Masyarakat Kolorae menyebut sakit berat yaitu sakit yang
berkepanjangan. Penyakit yang diderita membuatnya tidak bisa
terbangun dari tempat tidur dan tidak bisa melakukan aktivitas selama
beberapa hari. Seperti yang tergambarkan dalam bayangan pasien,
sakit tersebut sangat menakutkan. Penyakit yang paling ditakuti pada
umumnya di wilayah setempat adalah penyakit Muntaber (muntah
berak) dan sakit demam malaria. Penduduk setempat meyakini bahwa
penyebabnya adalah faktor musim hujan. Puncak musim penyakit
berat terjadi pada bulan januari sampai dengan bulan April. Pada
bulan-bulan tersebut banyak nyamuk dan lalat.
Menurut informan Ma’nona
“Sakit muntaber tu bikin badan kurus, pi berak terus-terus,
baru munta-munta, badan rasa ke lemah begitu, sonde kuat
jalan, loyo begitu, sonde bisa buat apa- apa, duduk, hanya
tidur sa, badan turun kaget, tau lai, mangkali pangaruh cuaca,

145
pangaruh makan sambarang, pokoknya ada dia pung musim,
musim-musim hujan biasanya kena di ana kici -kici, orang tua-
tua dong, bisanya tiap tahun itu barang ada, kalo su kena 1
orang tu su kena semua, tapi sekarang su ada obat yang dong
kasi dari puskesmas, obat diare, nama potrit bungkus merah,
dia kapsul, hari-hari 1 kali minum 1 biji berarti 3 kali, kalo
sonde cocok dengan oralit, potrit sudah tu, kalo sonde ada
obat na pake garam, gula deng aer , muntaber tu diare sudah”
Selanjutnya informan menuturkan
“Kalo malaria tu pangaruh musim hujan juga, bulan-bulan
Januari begitu, karna kan musim hujan nyamuk banyak di sini
jadi kena gigit na sudah, kalo sekarang su ada dapat kulambu
dari puskesmas, bantuan dari kementrian kesehatan dong bagi
tahun lalu, itu nyamuk sonde akan dekat, ada obat di itu
kulambu, nyamuk jao di laen tempat- kulambu untuk ibu hamil
kain halus, kalo katongpung kasar- dapat susu, disini begitu,
maitua pung itu hari dapat susu dan telur bantuan dari PNPM
khusus ibu hamil tapi harus rajin pi periksa, kalo sonde dong
sonde akan kasi na-nanti anak kurang sehat dong bilang”.
Penyakit berat menyerang semua golongan umur.
Memerlukan penanganan yang baik serta teratur berobat. Sakit berat
oleh warga Kolorae dianggap sebagai penyakit yang bisa disembuhkan
dalam waktu yang lama dan akan memakan biaya pengobatan yang
besar. Ada tersirat makna pesimis di antara masyarakat saat melihat
orang dengan riwayat sakit berat yaitu “Kalausonde (tidak) sembuh
pasti mati”. Hal tersebut mempunyai alasan tersendiri karena pasien
telah berobat namun tak kunjung sembuh baik secara medis maupun
tradisional. Ada hal lain, menurut mereka sakit berat biasanya juga
terjadi karena faktor usia, karena lanjut usia maka sudah sewajarnya
semakin banyak penyakit yang akan di derita dengan sebutan
“Penyakit orang tua”.

3.4.1.2 Konsep Sakit Ringan


Sakit yang dianggap ringan oleh penduduk desa Kolorae
seperti “Badan sakit, kepala pusing , batuk, pilek, sakit mata dan gatal-
gatal”. Penyebabnya adalah akibat kerja keras dan kurang beristirahat.

146
Tidak ada efek yang berarti saat terkena penyakit yang disebutkan di
atas karena Penyakit tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa
diobati dan hanya memerlukan istirahat yang cukup. Jikalaupun belum
sembuh maka orang sakit akan mencoba mengkonsumsi ramuan
tradisional atau memakai minyak urut. Pasien dengan sakit ringan
sangat yakin sembuh saat pergi ke Pustu untuk memeriksa kesehatan
dan mendapatkan obat yang diberikan oleh petugas kesehatan. Dalam
konsep ini para tenaga kesehatan mengatakan bahwa hal tersebut
soal keyakinan untuk sembuh.
3.4.1.3Konsep Sakit karena Pelanggaran Adat
Warga desa Kolorae sangat identik dengan kehidupan budaya
adat yang bersifat gaib. Bukan sakit medis, tetapi bisa dirasakan
gejalanya tanpa sebab seperti ada bayangan yang menghampiri
adalah sepenggal kalimat yang disampaikan beberapa informan yang
pernah mengalaminya. Pasien dengan keluhan di atas memperjelas
bahwa sewaktu memeriksa kesehatannya di fasilitas kesehatan
setempat, pemberi diagnosa tidak mengatakan pasien mengalami
sakit, yang mereka katakan ialah bukan penyakit, akan tetapi pasien
merasakan sakit yang aneh dalam tubuhnya. Sakit karena pelanggaran
adat bermacam-macam tergantung pelanggaran yang dilakukan. Sakit
yang dialami adalah pingsan secara tiba-tiba (kategori pelanggaran
ringan), sedangkan pelanggaran berat bisa mengalami sakit
mental/gangguan jiwa dan bisa meninggal. Menurut keterangan
petugas kesehatan bernama Samuel Uly Binu saat di Pustu Kolorae hal
tersebut biasa terjadi. Menurut catatan medis, pingsan masuk
kategori kejang akibat cuaca yang panas, “Suhu di sini panas kalau 39-
41 derajad, biasa anak kecil-anak SD pingsan”.
Menurut informan Nikson Riwu
“Waktu itu saya duduk santai di dalam rumah, ada minum kopi
bersama istri dan anak, tetapi firasat saya seperti ada
bayangan wanita tua di belakang, tetapi saya tidak terlalu
hiraukan, di rumah tidak ada orang lain selain istri dan kedua
anak saya, setelah saya cek di belakang, saya liat tidak ada
sapa-sapa, kemudian saya lanjut minum kopi, terus waktu saya
kemar mandi/WC datang kembali duduk tiba-tiba saya rasa
ada semacam tertusuk kayu tapi tidak tajam di leher belakang,

147
tangan sebelah saya mati rasa, tidak bisa gerak, saya tidak
sadar selama 1 hari sampe pingsan, kemudian istri panggil
mama tua di rumah adat, urut saya pelan-pelan, saya baru bisa
sadar, terus kasih minum ramuan juga baru saya rasa segar,
terus mama tua bilang datang dulu ke rumah sana, dia bilang
sudah lama Ama sonde datang acara adat, semacam
peringatan dari nenek moyang”.
Meskipun belum ada penelitian artefak mengenai kebenaran
situs-situs peninggalan yang ada di pulau Raijua, namun beberapa
peninggalan dari “Maja” di desa Kolorae sudah menjadi bagian dalam
hidup masyarakat pada umumnya dan beraliran “Jingitiu” pada
khususnya. Selain menjaga kesakralan rumah adat, banyak individu
dari setiap keluarga yang sampai saat ini masih memelihara sebuah
benda pusaka yang dipandang keramat dan sebagian besar
mengatakan berasal dari nenek moyang “Maja”. Benda tersebut di
simpan di tempat tersendiri dan tidak seorangpun bisa
menggunakannya tanpa seijin pemilik. Mereka percaya bahwa barang
siapa menelantarkan benda itu maka akan ditimpa bala bencana atau
penyakit. Pada waktu peneliti berkunjung ke salah satu rumah dan
bertemu dengan informan ID yang katanya baru saja sembuh dari
sakit yang berkepanjangan, selanjutnya beliau bercerita bahwa ketika
ia sedang sakit datanglah seorang pintar yang disebut “Mone Malare”
untuk memeriksa kesehatannya dan berkesimpulan bahwa pasien
telah membakar benda keramat yang sudah ia pelihara bertahun-
tahun lamanya, tanpa melalui suatu upacara adat. Ia mengaku
semenjak menjadi orang kristen telah dibakarnya benda keramat itu.
Setelah upacara penolak bala dilakukan dengan bantuan “Mone
Malare”, maka sembuhlah pasien. Di percaya atau tidak, namun jelas
dalam pandangan tersebut masih hidup di kalangan orang Kolorae,
khususnya mereka yang masih mempercayainya.

3.4.1.4 Konsep sakit akibat penyakit racun


Penyakit dibagi dalam 2 golongan yakni yang disebabkan oleh
racun dan oleh santet/sihir “Suanggi”. Ahli racun/pembuat racun
menularkan melalui makanan, minuman, rokok dan tembakau sirih
pinang yang dikonsumsi oleh si penderita sakit. Sedangkan yang

148
diakibatkan oleh “Suanggi” adalah penyakit yang dikenakan kepada si
penderita tanpa menggunakan media penularan atau benda perantara
dandianggap dapat memasuki tubuh si sakit melalui kuku atau
menghisap darah si sakit. Keduanya disembuhkan dengan
menggunakan mantera yang digolongkan ke ungkapan panas
“Lipana”.
Saat bertemu dengan pihak Dinas Kesehatan Sabu Raijua di
Menia, nakhoda perahu dan pihak Puskesmas Ledeunu di pulau
Raijua, kami sudah di peringatkan akan bahaya racun.
Informan MAR
“Hati-hati di sana, jangan makan dan minum di sembarang
rumah, kalau bisa, kalian bawa bekal sebelum berkunjung ke
rumah warga, dan tinggallah di rumah bapa desa Kolorae,
bapak Degi Kaka Balo, di situ aman, tidak ada yang macam-
macam”.
Kasus keracunan sering terjadi di desa Kolorae. Kejadian lama
terjadi pada tahun 2010 dan sudah diselesaikan secara adat. Kejadian
terbaru berlangsung 2 minggu sebelum kegiatan Pengumpulan Data
Riset Etnografi 2015 dimulai. Modus operandi adalah karena merasa
iri terhadap keluarga yang mempunyai anak. Akibat perbuatan racun
yang dicampur dengan makanan ringan, 2 orang bocah meninggal
dunia. Keracunan akibat mengkonsumsi makanan ringan “Gula-gula”
(permen) yang ditinggalkan di arena bermain anak-anak. Keluarga
korban sudah pasrah dengan nasib kedua anak mereka. Reaksi
masyarakat Kolorae menduga akibat ahli racun yang sudah terbentuk
secara berkelompok mendemonstrasikan racun yang diraciknya.
Racun terbuat dari bahan pewarna kain tenun adat yang dicampurkan
dengan akar lain yang disimpan (di kubur) di pesisir pantai. Pelakunya
sudah diketahui. Satu orang sudah diamankan beserta barang bukti di
Polsek setempat. 2 orang lainnya ketika mau di tangkap bunuh diri
dengan cara menggantung diri. Karena belum cukup bukti maka
pelaku dibebaskan. Setelah dilepaskan,pelaku akhirnya bunuh diri
dengan cara yang sama dengan 2 pelaku lainnya. Cerita tersebut
sudahmenjadi buah bibir masyarakat Kolorae sehingga dalam konsep
pemikiran mereka terdapat penyakit Racun.
Menurut informan ibu Ida Padje

149
“Kasus racun ini sudah merajalela, cuma belum ketahuan saja,
kepala desa Ballu tahun 2010 kena racun dari makanan sirih
pinang, waktu itu proses perdamaian dengan ahli racun,
prosesnya sudah lama itu karena tidak ada yang
berani,pelakunya 1 orang ibu, tahun 2011 ada 2 orang, sudah
almarhum mereka, pelaku racun sudah 3 orang yang gantung
diri, sudah putus asa kalau bawa ke polisi, karena pelaku takut,
takut di siksa dan lain-lain, jadi gantung diri–bulan mei 2015 di
belakang rumah bapak D ada orang yang kami curigai, kalau
mau ditelususri bukan hanya 1 atau 2 orang saja sudah lebih
dari itu, 4 orang yang terungkap, sekarang sudah larang kalau
ada acara adat, nikah, kematian, tidak boleh lagi sorong-
sorong (diberikan) sirih pinang ke orang lain, mereka yang buat
racun sudah ada penangkalnya karena waktu itu juga
saudaranya tidak kena padahal makan 1 piring, pengakuan
baru-baru yang paling sadis, mereka buang gula-gula (permen),
sirih pinang di jalan, di sumur-sumur sehingga menarik
perhatian, korban 2 orang anak, itu kan gula-gula, nah ini
sudah ada pengakuan malah tidak mau bertindak”.
Adapun cerita dari tenaga kesehatan (Pustu Ballu) yang ada
pada saat itu mengatakan bahwa giginya rontok semua dan lidahnya
putus. Keluarga korban menolak untuk diotopsi dan mau diselesaikan
secara adat dan kekeluargaan. Menurut keterangan yang disampaikan
oleh kepala desa Ballu yang merupakan saudara dari kepala desa
Kolorae mengatakan bahwa
“Si pelaku racun sama dengan teroris karena membunuh, kalau
diselesaikan secara kekeluargaan terus maka hal ini akan jadi
kebiasaan bagi mereka, tahun yang lalu sudah terjadi dan
sekarang terjadi lagi, mengapa hal ini bisa terjadi lagi itu
karena dibiarkan dan selalu ditutup-tutupi, bisa saja mereka
melakukannya lagi di kemudian hari, makanya percuma juga
saya hadir dalam forum, pendapat saya tidak berlaku karena
masalah ini terjadi di desa Kolorae, bukan desa saya, pendapat
saya bahwa jika sudah cukup bukti dan sudah ditetapkan
tersangka oleh pihak kepolisian maka harus di tindak tegas ”.

150
Motif yang terungkap berdasarkan keterangan informan IP
adalah karena faktor iri terhadap kepala keluarga yang mempunyai
anak. Pelaku racun semuanya adalah kaum ibu yang belum mempunyai
keturunan. Selain itu secara gaib, ahli racun mempunyai latar belakang
dipengaruhi oleh setan. “Ada juga yang buat racun untuk anak atau
cucunya sendiri kalau tidak dapat tumbal orang lain, soalnya itu di
tuntut setan kalau tidak dapat, diri mereka sendiri yang jadi korban”.

Gambar 3.29
Pohon yang dijadikan tempat gantung diri dan korban racun menurut
anggapan keluarga.
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
3.4.1.5 Persepsi racun dari penderita dan tenaga kesehatan
Studi kasus yang dialamai oleh mama Pigu Giwe (50 tahun)
menurut keluarga dan sanak saudara korban akibat dari terkena racun
melalui makanan yang diberikan oleh si ahli racun.
Menurut informan yang PG menerangkan penyakit racun memiliki gejala
“Rasa pedis di mulut saat menelan makanan, bagian dada dan
perut panas terus, langsung bengkak pada mulut dan pipi, satu
minggu baru bengkak, kalau rasa sudah begitu langsung
minum minyak kelapa 1 botol, kumur-kumur langsung telan”
Saat berada di tempat pukul 02.00 WITA, warga sekitar dan
keluarga besar sudah berkumpul di halaman rumah
penderita.Hirupikuk suasana diisi dengan cerita-cerita dari tiap
individu yang mendiagnosa menurut pandangan mereka. Seorang
perawat perempuan dari Pustu Ballu juga hadir. Bersama rombongan
keluarga menyewa sebuah mobil pick up berwarna putih, beliau di
rujuk ke Puskesmas Ledeunu. Menurut petugas kesehatan yang

151
bertugas, Ibu Santi “Itu racun kakak, tapi racun kelas teri”. Menurut
hasil pemeriksaan di ruang IGD mengatakan bahwa
“Itu keracunan makanan, perutnya teriris-iris (lambung), gusi
bengkak, alergi makanan, mungkin racun, karena kami disini
pemeriksaan tidak lengkap, maksudnya hanya melihat fisiknya,
alat kesehatandi Puskesmastidak lengkap, itu keracunan
makanan, tapi karena sudah lama sekarang baru di bawa
kemari, tidak tahu lagi”.
Setelah opname 3 hari lamanya di ruang rawat inap Puskesmas
Ledeunu, informan diizinkan pulang pada hari Jumad jam 11 siang.
Dengan kondisi secara fisik masih bengkak pada wajahnya yang belum
berkurang. Seingat informan, dokter yang memeriksanya mengatakan
bahwa keracunan makanan dan diberikan obatibuprofen, sefadroxsil,
asam mefenamat, ctm, antasit sirup. Sambil menjalani perawatan
jalan, informan juga mengkonsumsi obat tradisional berupa daun
“Koleng Susu” yang pelepah atau tulangnya berwarna hijau dicampur
dengan biji kacang panjang. Ramuan tersebut dimasak dan dimakan
setiap pagi dan siang hari. Saat mengkonsumsi racikan bahan lokal
dari alam berdasarkan informasi dari keluarga yang sudah pernah
mengalami sebelumnya, pada hari Sabtu informan memuntahkan
darah kental yang bercampur dengan liur berwarna hitam, gusi yang
bengkak mulai berkurang sampai normal kembali.
Penyelesaian masalah secara musyawarah di laksanakan pada
tanggal 10 dan 11 mei 2015 bertempat di rumah kepala desa dengan
menghadirkan para tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat,
pengurus desa Kolorae, camat, sekertaris camat, pihak kepolisian
setempat serta memanggil keluarga korban. Forum diskusi menggunakan
bahasa sabu atau bahasa daerah dengan maksud agar penyampaiannya
lebih cepat dimengerti oleh masyarakat yang hadir. Mufakat terjadi pada
pukul 11 malam hari disertai pemotongan hewan 1 ekor babi dan
makanan lain yang ditanggung secara bersama sebagai bentuk
kepedulian. Dampak dari perbuatan beberapa individu “Tersangka” maka
sampai saat ini nama desa Kolorae sudah menjadi tempat yang disegani
oleh masyarakkat pulau Raijua. Hal tersebut ditandai dengan adanya
acara atau pesta yang diadakan oleh tuan rumah daerah setempat maka
para undangan yang berasal dari dua kelurahan dan dua desa lainnya

152
jarang hadir, jikalau hadir maka para tamu terlihat jarang makan dan
minum ataupun langsung berpamitan ketika acara santap bersama
dimulai. Tindakan tersebut sebagai bentuk preventif terhadap isu-isu
yang sedang hangat dibicarakan di pulau Raijua.
3.4.2 Pengobatan tradisional dan teknik penyembuhannya.
Metode pengobatan secara tradisional sudah menjadi
kebiasaan masyarakat Kolorae semenjak dahulu. Pengobatan
dilaksanakan di dalam rumah adat. Ada mahar yang perlu disiapkan
oleh pasien yang meminta untuk mendeteksi penyebab penyakit serta
pengobatannya. Hewan kurban berupa babi, kambing, domba dan
ayam selalu dipenuhi sebagai syarat penyembuhan. Sampai saat ini,
orang yang masih melaksanakan pengobatan dengan teknik
tradisional (bukan ramuan tradisional) adalah mereka yang tergolong
aliran kepercayaan “Jingitiu”. Orang yang membantu untuk
mendeteksi riwayat penyakit pasien di kalangan kepercayaan
“Jingitiu” di sebut “Mone Malare”. Terdapat empat (4) orang tabib
lokal yang mempunyai cara-cara pengobatan tradisional. Dua orang
berjenis kelamin laki-laki dan lainya perempuan. Teknik
penyembuhannya juga berbeda saat menangani pasien. Sebanyak 2
orang menggunakan alat pusaka (tombak) dan lainnya menggunakan
ramuan tradisional. Bahasa yang digunakan saat pengobatan ialah
bahasa sabu dan bahasa mantera. Kedudukan sosial para “Mone
Malare” juga berbeda. Tabib lokal dianggap sebagai orang yang
mempunyai kemampuan supranatural dan bakat alami secara turun-
temurun dari orang tua. Mereka tinggal di rumah tersendiri yaitu di
dekat perkampungan rumah adat. Untuk mengetahui cara dan teknik
penyembuhan secara tradisional dan detail, peneliti menemui para
tabib lokal.

3.4.2.1 Sekapur Sirih bersama Tabib Lokal


Hal-hal berbau mistik dan klenik, bukan hanya dipercaya oleh
orang Indonesia atau dari negara lain. Kebiasaan meminta tolong
kepada dukun, mengadakan ritual pada tempat-tempat yang dianggap
angker serta menyembah roh nenek moyangmasih hidup dengan
subur di Desa kolerae, Kecamatan Raijua, Kabupaten Sabu Raijua.
Wilayah yang pernah di pimpin oleh kepala desa (almarhum) Lofinus

153
Riwu sejak tahun 1986 s/d 2007 ini, Penduduknya terkenal dengan
masih memegang teguh kepercayaan turun-temurun dari nenek
moyang yang disebut “Jingitiu”. Selain terkenal berusia panjang dan
memegang teguh tradisi juga sangat dikenal menghormati arwah
nenek moyang “Gajah Mada” biasa disebut “Maja”, juga sebagai anak
sulung dari UduMelako Ae oleh masyarakat Kolorae. Meski
moderenitas telah membaur sangat kuat, tapi budaya adat leluhur
masih sangat mengakar dalam kehidupan penduduknya.
Saat ditelusuri dengan seksama, nuansa magis memang terasa
begitu kental menyelumuti daerah yang di kenal sebagai penghasil
gula sabu, tikar dan rumput laut tersebut. Orang mungkin tak
menduga, daerah ini banyak terdapat lokasi keramat yang
dipergunakan sebagai tempat pemujaan roh leluhur oleh masyarakat
setempat, juga para pendatang yang mempercayai betapa sakralnya
tempat rumah adat.Hampir disetiap tempat di kawasan pulau raijua,
peneliti tidak mengalami kesulitan menemukan tempat sakral yang
diyakini sebagai tempat bersemayamnya kekuatan arwah nenek
moyang. Sedemikian keramatnya hingga tak seorangpun berani
mengusik benda apapun yang ada disekitar desa Kolorae. Kolorae
sendiri berarti nama tempat rumah adat pertama. Terdapat hutan
keramat maja, tapak kaki maja, jubah maja (desa Ballu), sumur maja
(terdapat di kec. Ledeunu) dan salah satunya adalah rumah adat yang
terdapat pada setiap “Kerogo” atau marga. Harapannya jelas, mereka
memohon agar apa yang di cita-citakan terkabul, diberi umur panjang
dan mendapatkan kesejahteraan serta kesehatan yang lebih baik.

154
Gambar 3.30
Jubah dan tapak kaki maja
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015
Begitu seringnya berbagai upacara ritual diadakan, hingga
kegiatan tersebut seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat pulau itu. Dalam setahun puluhan kali ritual
pemujaan terselenggara. Pada saat peneliti pertama kali menginjakan
kaki di pulau Raijua kami mengikuti upacara “Da’bba” yang waktu itu
bertepatan dengan penanggalan bulan dan hari menurut hitungan
orang aliran kepercayaan“Jingitiu”. Dukun atau yang sering disebut
dengan orang pinter adalah suatu profesi yang tidak asing
kedengarannya. Di Desa Kolorae di sebut “Mone Malare”. Walaupun
nama atau istilahnya berbeda antar satu daerah dengan daerah lain,
“Mone Malare” adalah satu profesi yang sangat popular dan
memasyarakatkan. Keterlibatan mereka dalam kehidupan kesehatan
ditempat praktiknya seringkali membuat pengguna jasa sudah paham
tentang adanya kepercayaan sembuh dan keahlian yang dimiliki oleh
pengobat kesayangannya. Praktik penyembuhan secara tradisional
selalu di kaitkan dengan korban persembahan atau hewan mahar.
identifikasi observasi, ruangan dihiasi rupa-rupa sesajen di langit-
langit atap dalam ruangan, lumuran darah hewan tumbal untuk
sesembahan di bawah tiang utama, dilengkapi berbagai macam jimat
dan benda pusaka, cenderung mengarah kepada nuansa kegelapan
dan suasana mistis.

155
3.4.2.2 Bertanya Kepada Tombak “Haku Wango”
Berbagai cara dilakukan para penyembuh untuk
menyembuhkan penyakit. Orang yang memiliki pengetahuan tentang
obat-obatan dengan ramuan bahan alam (Ruajuberarti daun dan kayu
dalam bahasa sabu disebutadju). “Bani Melare” adalah orang yang
dianggap mampu memindahkan penyakit. Disebutkan informan Lukas
Kaka Balo,32 tahun untuk mencegah serangan angin yang
mendatangkan penyakit di sebut “Kolo Ngalu Apa” (ujung angin
buruk) antara lain digunakan 3 biji buah nitas “Talu Lamuhi Kepaka”
yang diikat pada rambut tepat di ubun-ubun orang yang sakit.
Semua pasien yang datang pada “Mone Malare” dengan
keluhan sakit bermacam-macam. Paling banyak penyakit yang
menurut mereka tidak diketahui secara medis. Apabila ada penyakit
yang dianggap tidak diketahuidengan jelas sebab-sebabnya, maka
dianggap akibat perbuatan orang lain dan ini disebut “Tao Keriu Dou”.
Untuk melindungi seluruh anggota keluarga dilakukan upacara “Ta
Tiba Rara Heburu”untuk menahan “Kuning” (hepatitis), sedangkan
penyakit yang diduga akibat pelanggaran terhadap sesuatu ataupun
kesalahan dahulu kepada nenek moyang dan mengalami sakit, dicari
dengan upacara “Kerei Kepoke/Haku Wango” yaitu upacara menanyai
tombak.

Gambar 3.31
Ritual Kerai Kepoke untuk pasien yang sakit
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015
Dalam upacara ini, si pemegang tombak duduk bersila sambil
memegang tombak, yang mata tombaknya ditancapkan ke tiang
utama rumah adat di sebut “Duru”. Kemudian tangan tangan
memegang bagian ke arah mata tombak sedangkan tangan kiri

156
memegang bagian arah ujung pangkal tombak. Untuk setiap
pertanyaan yang diajukan ditetapkan jawabannya dengan cara
berusaha menyentuh tiang “Duru” pada bagian atas mata tombak
dengan punggung ibu jari tangan kanan. Bila tersentuh berarti
pertanyaan mendapatkan jawaban “Ya”, sebaliknya bila tidak
tersentuh berarti jawabannya “Tidak” dan si penyembuh akan terus
menerus melakukan hal yang sama sampai mendapatkan jawaban
“Ya”. Kemudian menjelaskan jawaban tersebut kepada si sakit. Jika
pasien ingin sembuh harus dengan persyaratan berupa hewan yang
dimintai oleh “Wango/arwah/setan”. Hewan mahar berupa babi,
kambing, domba dan ayam. Pasien dan keluarga akan berusaha
mencari hewan untuk memenuhi anjuran pengobat. Setelah
mendapatkan hewan persembahan, pasien akan menghubungi
kembali si pengobat dan diundang ke rumah pasien. Selanjutnya
hewan akan dibunuh dengan pisau. Bagian kepala hewan dipotong
dan dipersembahkan kepada “Wango/arwah/setan”. Sedangkan
bagian tubuh hewan lainnya akan dimakan anggota keluarga di dalam
rumah bersama pengobat. Pasien yakin saat mempersembahkan
hewan kurban yang telah didoakan oleh ‘Mone Malare” akan sembuh
dalam beberapa hari kemudian.
Alat yang digunakan adalah tombak yang disebut “Kepoke”.
Benda tersebut bermata besi dengan panjang 3-4 meter. Tombak
adalah senjata utama kaum laki-laki di sabu saat berperang zaman
dahulu. Alat pendeteksi di balut kain merah pada pangkal mata
tombak, melambangkan darah dan keberanian yang mengalir dalam
tubuh si pemilik tombak. Bahan ritual digunakan kelapa kering dengan
tempurung yang bermata tiga “Semua kelapa di sini tempurungnya
bermata tiga”. Daging Kopra akan diambil sedikit dan dikunyah
pengobat sambil merapalkan mantera dengan menyebutkan satu
demi satu nama arwah nenek moyang. Ketika nama arwah yang
disebutkan benar maka tangan si pemegang tombak akan sampai
menyentuh tiang utama rumah adat.
Untuk mengusir “Suanggi” atau santet dipilih penyembuh yang
dianggap lebih hebat kemampuannya.Cara yang digunakan oleh
“Mone Malare” yang berjenis kelamin perempuan adalah “Kerei
Wango”yaitu mendeteksi suatu penyebab penyakit dengan

157
menggunakan jari tangan dan lengan tangannya sendiri. Tabib lokal
tersebutmelebarkan Ibu jari dan jari tengahnya pada sisi dalam
pergelangan tangannya sendiri untuk mengukur dua kali jengkal
sampai tepat di arah jari tengahnya. Saat jari tengah pendeteksi
sejajar dengan jari tengah tangan yang satunya maka dianggap “Kerei
atau berhasil”. Berhasil yang dimaksud adalah pendeteksi mengetahui
penyebab penyakit pasien akibat pelanggaran terhadap arwah
leluhur/setan. Sesudah melewati tahap ini, tahap selanjutnya sama
seperti “Kerei Kepoke” yaitu persiapan hewan kurban dan seterusnya.

Gambar3.32
Ritual Kerai Wango untuk pasien yang sakit
Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2015.
Lain lagi yang di lakukan oleh pengobatan tradisional yang
bernama mama Ningi Raba. Beliau terkenal di desa kolorae sebagai ahli
obat tradisional dengan mengandalkan ramuan bahan alam yang sudah
turun-temurun dipelajari dari almarhum ibunda. Kulit kayu obat yang
dipergunakan untuk mencegah dan mengobati pasien dengan penyakit
ringan dan penyakit malaria serta pasien yang terkena penyakit racun.
Tidak terdapat jenis pohon obat yang disebutkan tumbuh subur di
wilayah ini. Jika stok kulit kayu sudah habis, si peracik obat tradisional
akan memesan pada saudaranya yang tinggal di pulau Flores tepatnya
Aimere kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sudah terbiasa
memesan kepada orang tersebut. Pemesanan memakan waktu selama
satu minggu sampai di tangan langganan tetap.

158
Gambar 3.33
Kulit kayu obat dan tumbuhan obat yang digunakan tabib.
Sumber : Dokumentasi penelitian, 2015.
Pemberian nama 6 kulit kayu oleh mama Ningi Raba dari gambar
pertama bagian bawah ke atas adalah sebagai berikut : (1) Kulit Kayu
“Hemoi Me’a”. (2) Kulit Kayu “Padu Pahi”. (3) Kulit Kayu Nai Puri. (4). Kulit
kayu Nai Kebe’du. (5) kulit kayu Hemoi Pudi. (6) kulit kayu Ajudai. (7)
daun tanaman perdu mirip daun kelor, Sebagai tambahan obat herbal
dinamakan daun ekor kalejengking dan binatang siput bermata tujuh
(siput khas di laut Kolorae). Untuk mengobati penyakit malaria dan
penyakit “Tatikam” seperti magg, tabib meramu kulit kayu nomor 1, 2
dan 5. Campuran tiga kayu tersebut dihaluskan dan ditambahkan
bawang merah, kemudian di rendam atau masak dengan air hangat
dalam bejana tanah dan diminum.
Sebagai obat luar campuran kayu nomor 3 dan nomor 6 yang
telah ditumbuk halus, dioleskan pada bagian kening sebagai obat
tempel jika terjadi sakit kepala tuturnya. Ramuan kayu nomor 4 di atas
di khususkan untuk pasien dengan keluhan “Muntaber” (munta berak)

159
dicampur dengan satu siung bawang merah, direndam/dimasak dalam
air panas kemudian diminum. Obat lain untuk menghentikan
muntaber yang di alami pasien adalah 1 buah kelapa, dijebol untuk
membuat lubang kecil kemudian memasukan bawang merah dan di
bakar sampai masak, airnya diminum.
Sebagai informasi tambahan mengobati pasien malaria oleh
tabib lokal yang sudah bertahun-tahun mengobati pasien di dalam
keluarganya maupun masyarakat Kolorae pada umumnya yaitu daun
ekor kalejengking dihaluskan bersama dengan rumput “Meringi Rai”
(peneliti kesulitan mendapatkan penjelasan nama rumput kering
tersebut).Rebusan kedua bahandicampur dengan bawang merah dan
disaring ampasnya, airnya kemudian diminum. Menurutnya bawang
merah sangat berkhasiat untuk mengobati semua penyakit terutama
penyakit-penyakit yang sering dialami oleh pasien dalam kampungnya
dan tidak menutup kemungkinan juga pasien yang berasal dari desa
lain yang sering datang meminta pertolongannya.
3.4.3 Tentang Pelayanan Kesehatan dari Tenaga Kesehatan
Terdapat Puskesmas Pembantu di desa Kolorae.Sejak renovasi
tahun 2014, Pustu Kolorae dihuni oleh 2 petugas kesehatan dengan
latar belakang bidan dan 1 orang perawat. Saat penelitian
berlangsung, 1 orang petugas kesehatan bidan perempuan berstatus
kontrak daerah sedang cuti melahirkan. Keberadaan perawat yang
selalu berada di Pustu membuat para warga cenderung untuk memilih
pengobatan terdekat yang telah disediakan oleh pemerintah daerah.
Waktu pelayanan tertulis pada dinding kaca dengan tempelan kertas
yakni pelayanan pasien saat jam kerja pukul 07.00-13.00
WITA.menurut informan Franky Sakan
“Beta(saya) biasa melayani tanpa membatasi jam kerja kakak,
kalau sudah selesai jam kerja, beta tidur sonde (tidak) tutup
pintu, biasanya dong (mereka) datang kasih bangun beta,
periksa dan minta obat”.
Saat observasi berlangsung, rata-rata pengunjung Pustu dalam
satu hari sebanyak 5 orang. Paling banyak pada hari Senin, Selasa,
Rabu dan Kamis pagi yaitu berkisar 10-15 orang, datang secara
berkelompok. Mayoritas para pasien datang dengan keluhan “Badan
sakit rasa asam-asam”.Secara medis disebut Myalgia dan demam

160
dengan diagnosa ISPA. Pasien datang dengan membawa kartu
jamkesmas. Yang tidak membawa kartu Jamkesmas di perintahkan
untuk pulang karena tidak akan dilayani. Mereka yang tidak membawa
kartu Jamkesmas akan kembali pada sore hari. Setelah ditanyakan
kepada petugas pustu tentang pelayanan Jamkesmas,
“Beta sudah kasitau dong(menginformasikan kepada mereka),
kalau datang na, bapa, mama dong bawa itu kartu Jamkesmas,
kalausonde bawa, beta sonde akan layani, karna pemerintah
sudah bayar kasih dari itu kartu Jamkesmas, supaya itu
doi(uang) yang bapa dengan mama bawa pake bayar, bisa
simpan di rumah untuk beli keperluan lain”.
Untuk kunjungan pasien setiap hari berasal dari dusun terjauh
yaitu dusun 1, 2 dan 3 yang berdomisili di pinggiran pantai dengan
profesi sebagai pekerja rumput laut. Aktivitas total saat bekerja
dimaksimalkan pada hari jumad, sabtu dan minggu. Keberadaan
tenaga kesehatan yang selalu berada di Pustu membuat para
pengunjung merasa yakin bahwa penyakit yang dialami bisa
disembuhkan dengan cepat dari obat yang diberikan.
3.4.3.1 Pandangan masyarakat Kolorae tentang Pelayanan Kesehatan
Ketersediaan obat, alat kesehatan, tenaga kesehatan serta
bangunan Pustu sangat menunjang keberhasilan suatu program
kesehatan masyarakat. Menurut para pengguna jasa kesehatan medis
di desa Kolorae sangat membatu mereka saat mengalami suatu jenis
penyakit. Penanganan penderita jauh lebih cepat tanpa harus
menunggu waktu yang lama daripada harus berjalankaki 1-2 jam lebih
untuk pergi ke ibukota Kecamatan Ledeunu yang terdapat Puskesmas
induk. Keyakinan untuk sembuh juga lebih besar dan dapat
menghemat ekonomi keluarga dalam hal persembahan hewan kurban
sebagai mahar dalam konsultasi penyakit.
Ungkapan informan Jibrael Miwetuhi (56 tahun)
“Kalau dulu tidak ada Pustu, kita sering pi sana (pergi ke dukun
kampung), tapi sama saja itu semua juga tergantung keyakinan,
kalau mau sembuh ya sembuh, kalausonde sembuh mau bilang
apa, sama seperti kita orang kristen juga, kalau sakit kita berdoa
minta sembuh, kalausonde sembuh, pasrah sudah - kalau di sana
mereka minta babi, kambing, ayam, bae ko ada Ama, kalausonde

161
ada na mau karmana lai hehehe... (baik kalau ada persiapan
hewan, jika tidak ada tetap pasrah)”
3.4.3.2 Hewan mahar “Diikat atau Dilepaskan
”Hampir setiap rumah tangga di desa Kolorae mempunyai
hewan ternak. Hewan ternak diikat dan ada juga yang sering
dibiarkan berkeliaran bebas. Hewan sering terlihat melintasi
jalan, pekarangan rumah dan hutan adalah babi, kambing, dan
ayam. Untuk hewan kerbau, kuda dan domba selalu ada yang
menjadi gembala untuk membimbing mereka mencari makan
dan mandi. Rumah yang mempunyai ruang bawah tanah
“Kelaga” selalu dijadikan sebagai kandang. Adalah babi,
kambing dan ayam yang selalu dijadikan hewan persembahan
untuk upacara adat. Hewan –hewan berkaki empat dipelihara
oleh warga dan diberi makan 2 kali dalam sehari. Makanan
bervariasi berupa makanan sisa dan makanan yang dimasak
khusus. Informan Niksonn kaka Balo “Kasih makan babi 2 kali
sehari, pagi dan sore, pagi dan sore makan nasi sisa, labu, nasi
kacang, kalau tidak kasih minum air gula sabu, kalo musim iris
tuak, kasi minum tuak”.
Maksud pemeliharaan hewan tersebut bukan untuk di jual
melainkan sebagai persiapan untuk menyumbang apabila ada pihak
keluarga yang membuat suatu acara adat atau acara peminangan dan
kedukaan.
Menurut penuturan kepala desa kolorae, Degi Kaka Balo
“Hewan-hewan itu wajib disumbang karena sejak dulu nenek
moyang sudah membuat aturan itu, saling menyumbang dan
akan ingat namanya, harus sumbang, mereka sudah tahu jauh-
jauh hari (sudah ada persiapan), kalau tidak sumbang maka pasti
dia akan dikenai denda karena sudah sumpah, baik berupa sakit
atau bisa diganti juga dengan uang - di sini aman tidak ada yang
mencuri kalau hewan berkeliaran sembarangan”.
Di sela-sela kunjungan Bupati Sabu Raijua di pulau Raijua,
dalam pertemuan yang dihadiri oleh masyarakat desa Balua, Ballu dan
desa Kolorae tanggal 24 mei 2015 malam hari, mengatakan bahwa
hewan –hewan ternak diharapkan untuk ditertipkan, maksudnya
adalah dikandangi supaya tidak merusak tanaman dan tumbuhan

162
sayur-mayur yang akan ditanam. Tindakan tersebut juga dapat
mempengaruhi kesehatan masyarakat karena hewan yang berkeliaran
di jalan dapat menghambat proses lalu lintas dan bisa menyebabkan
kecelakaan.

163
BAB IV
RO’ HILI SI PENYAMBUT BAYI

Masyarakat Kolorae percaya bahwa kehidupan bukan hanya


dimulai saat seseorang dilahirkan ke dunia, melainkan sejak janin
berada di dalam kandungan ibu. Berbagai persiapan dilakukan oleh
ibu hamil dan keluarga untuk menyambut bayi yang lahir ke dunia.
Perlakuan khusus yang dilakukan terhadap bayi yang baru lahir adalah
perawatan tali pusar “Ari-ari”, persiapan makanan adat untuk
penamaan bayi dan pemberian “Ro’ Hili” sebagai minuman yang
pertama kali diberikan kepada bayi.
“Ro’ Hili’ merupakan minuman yang berasal dari daun perasan
daun cabai/lombok. “Ro’ Hili” diberikan dengan maksud agar bayi
dapat mengeluarkan lendir yang berasal dari air ketuban ibu ketika
proses persalinan. Pemberian “Ro’ Hili” tidak diketahui oleh tenaga
kesehatan yang ada di Pustu Kolorae. Pada bab ini peneliti akan
menggambarkan secara khusus alur kehidupan yang terkait dengan
kesehatan ibu dan anak, dimulai dari perjalanan remaja, kehamilan,
sampai persalinan dan pengasuhan anak di keluarga.
4.1. Pandangan Masyarakat Kolorae terhadap Usia Remaja
Menurut John W. Santrok (2003), masa remaja diartikan
sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak menuju ke
masa dewasa dimana terjadi perubahan yang mencakup perubahan
biologis, kognitif dan sosial. Perubahan biologis, kognitif dan sosial
emosional yang terjadi berkisar pada perkembangan fungsi seksual,
proses berpikir abstrak sampai pada kemandirian. Proses biologis
(biological processes) mencakup perubahan-perubahan dalam fisik
individu. Proses kognitif (cognitive processes) meliputi perubahan
dalam pikiran, inteligensi dan bahasa individu. Proses sosial ekonomi
(socioemotional processes) meliputi perubahan dalam lingkungan
individu dengan manusia lain dalam emosi, kepribadian dan dalam
peran berdasarkan konteks sosial perkembangan.
Masa remaja dimulai kira-kira di usia 10 sampai 13 tahun dan
berakhir antara usia 18 dan 22 tahun. Masa remaja awal (early
adolescence) kira-kira sama dengan masa Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan mencakup kebanyakan perubahan puberitas. Masa remaja

164
akhir (late adolescence) terjadi setelah usia 15 tahun. Pada masa ini remaja
selalu menunjukkan minat pada karir, pacaran dan eksplorasi identitas.
Pandangan masyarakat Kolorae tentang remaja adalah anak
yang sudah memasuki usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai
usia 17 tahun, sudah tinggal terpisah dengan orang tuadan mampu
bekerja secara mandiri. Anak remaja biasa disebut “Su Besar”.
Penuturan informan YP (27 tahun), “Mereka yang su besar-besar, su
bisa kerja sendiri maksudnya yang sudah bisa bantu-bantu orang tua”,
selanjutnya informan YT (42 tahun), “Kurang tahu juga, mungkin yang
sudah bisa tinggal dengan dia punya nene (nenek) dan bai (kakek)
supaya bisa bantu kerja”. Menurut informan DN (40 tahun) lebih jauh
mengatakan bahwa usia remaja,“Itu mereka yang su besar, yang
tinggal dengan keluarga, yang sudah sekolah diluar, yang sudah bisa
bantu kerja angkat air dan masak sendiri”.
Menurut pandangan guru-guru di Sekolah Menengah Pertama
Negeri (SMPN) 2 Raijua, ibu guru RK (32 tahun), “…kelas 1 SMP sampai
kelas 3 SMP itu masih remaja, itu yang saya tahu, kalau pemuda atau
dewasa itu sudah umur 17 tahun ke atas …. ”.
4.1.1. Remaja dan Pengetahuan Reproduksi
Mengenai pengetahuan tentang reproduksi, remaja yang
berusia 10 sampai 13 tahun di SD sudah mengetahui tentang
perubahan yang terjadi pada tubuh. Remaja putri sudah mengetahui
bahwa mereka akan mengalami menstruasi. Hal ini mereka ketahui
dari pelajaran Biologi ketika di kelas enam SD. Selain itu pengetahuan
tentang menstruasi juga didapat dari cerita kakak kelas.
Para remaja yang bersekolah juga pernah mendapatkan
penyuluhan dari Puskesmas Ledeunu mengenai penyakit seksual
sewaktu duduk di SMP. Remaja akhir yang berusia 17 tahun
mengetahui bahwa perempuan bisa hamil jika melakukan hubungan
seksual. Sayangnya mereka belum mengetahui usia yang sesuai bagi
tubuh untuk siap menjalani kehamilan.
Seperti juga di tempat lain, kedekatan antara anak perempuan
dan laki-laki disebut pacaran. Hubungan pacaran di Desa Kolorae
berbeda seperti yang biasa di temukan di daerah lain. Hubungan
pacaran di wilayah ini bukan hanya berkesempatan membangun
komunikasi atau berjalan-jalan bersama untuk mengenal satu sama

165
lain. Pada umumnya hubungan pacaran akan berakhir pada perilaku
seksual yang didasari suka satu sama lain. Hal ini tidak menutup
kemungkinan walaupun perkenalan baru terjadi selama beberapa jam
dan menyatakan rasa suka.
Informan H (25 tahun) menyatakan,
“Sistem pacaran supayapunya anak di rumah, rayuan
pemuda-pemudi di sini disebut Dau Pe’dai, yaitu langsung
masuk rumah, langsung tidur bersama, jam 9 malam orang
tua sudah tidur, kalau serius kasi tahu orang tua, orang tua
mengerti,” selanjutnya informan meneruskan pembicaraan,
“…kawin muda supaya punya anak, kita (laki-laki) bisa bebas
bekerja, bebas merantau, ada yang urus rumah, bantu
orang tua, pulang sudah ada makan.”
Terdapat faktor sosial ekonomi yang mendukung keadaan ini,
kebanyakan orang tua sibuk bekerja di laut dari pagi sampai larut
malam.Dalam pengamatan rata-rata aktivitas kerja kaum lelaki (orang tua)
dimulai jam lima pagi hingga jam delapan malam. Sekembali dari laut
(petani rumput laut) orang tua langsung beristirahat karena lelah seharian
bekerja sehingga aktivitas anak tidak terpantau.Pengawasan orang tua
yang minim membuat remaja mempunyai kesempatan dan kebebasan
yang lebih besar dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Hubungan seksual sebelum menikah bukanlah merupakan hal
yang tabu bagi kebanyakan remaja di pulau ini. Hubungan ini bisa
dilakukan pada pertemuan pertama jika saling menyukai satu sama
lain. Pasangan bebas berpacaran dalam arti berhubungan seksual
selama tidak diketahui orang tua. Laki-laki yang akan mendatangi
rumah anak perempuan dengan cara sembunyi-sembunyi.
Sebelumnya kedua pasangan tersebut telah membuat janji untuk
bertemu yang berlanjut pada hubungan layaknya suami istri.
Hubungan ini dilakukan di tempat terpisah sebelum orang tua
perempuan terbangun dan berangkat kerja atau pada malam hari
setelah orang tua remaja perempuan tidur lelap. Tentang hal ini

166
Informan TK (35 tahun) mengungkapkan,
“Sekitar jam 1 atau 2 malam, kalau datang itu pas orang
tua sudah tidur, nanti nona yang kasi sen (kode sandi),
lempar batu di pohon, hehe, tergantung kesepakatan,
ada yang buat janji waktu ketemu di sumur”.
Pada saat memulai hubungan pacaran, pasangan muda-mudi
belum memikirkan masa depan untuk membentuk suatu keluarga. Jika
pasangan ingin melanjutkan hubungan dengan serius maka laki-laki
akan datang ke rumah atau biasa disebut “Masuk Rumah”. Dalam
tahap “Masuk Rumah” hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak
sembunyi-sembunyi lagi. Laki-laki akan tinggal bersama perempuan
dan diketahui oleh keluarga kedua belah pihak. Biasanya orang tua
perempuan akan tahu terlebih dulu jika anaknya mempunyai
hubungan khusus dengan laki-laki tersebut.
Hubungan ini diharapkan akan dilanjutkan untuk menikah
secara adat. Apabila perkawinan adat yang diharapkan tidak kunjung
dilangsungkan, orang tua perempuan dapat melaporkan kepada ketua
Rukun Tetangga (RT), Kepala Desa dan Ketua Adat setempat agar
pasangan anaknya ditangkap saat mereka sedangbersama di dalam
kamar.
Informan TK (35 tahun) mengungkapkan,
“Dulu saya juga begitu makanya saya tahu, di sini bebas,
kalau kena tangkap tinggal bayar denda saja sudah
selesai, denda ayam dan kambing bisa juga babi dan
uang.Kenalan biasanya di tempat ramai, di sini beda gaya
pacaran dengan di Kupang sana, langsung bisa… (sambil
menunjuk jarinya), nanti bakujanji begitu, tempat ramai
seperti upacara adat Lendo (tarian adat secara massal)
nanti tanggal 2 mei, nanti kakak lihat sendiri saja, banyak
yang pulang merantau atau izin kerja untuk ikut itu
Lendodi Raijua sini, nona-nona banyak yang datang nanti
yang kembali sedikit karena sudah taga’e (tinggal
menetap/tidak kembali)dan menikah di sini.”
Tidak ada kata tidak siap dari kedua belah pihak untuk
dinikahkan karena masyarakat menganggap jika sudah berani pacaran
maka sudah berani menikah. Siswa yang tidak melanjutkan pendidikan

167
biasanya akan menikah. Hal ini juga terjadi pada tingkat Sekolah
Dasar, jika tidak melanjutkan sekolah maka dua atau tiga tahun
kemudian ia akan menikah. Namun sekarang masyarakat Kolorae
menilai tidak banyak lagi siswa yang menikah selepas Sekolah Dasar.
Diperkirakan dari sekitar dua puluh siswa yang lulus ujian, lima orang
diantaranya saja yang akan menikah. Pernikahan ini berdasarkan
kemauan anak sendiri bukan karena dijodohkan atau keinginan orang
tua. “Sekarang sudah sedikit yang menikah selepas SD, kebanyakan
melanjutkan ke SMP,” jelas SB (27 Tahun).
4.1.2. Romantika Masa SMA
Peneliti berkesempatan untuk berada di salah satu Sekolah
Menengah Atas di Pulau Raijua.Terlihat banyak aktivitas baik di dalam
kelas maupun di kantin sekolah saat siang hari. Kantin sekolah yang
berada di belakang sekolah menjadi tempat berkumpulnya para
remaja-pemuda yang sedang mengekspresikan kebebasannya. Para
siswa berjalan-jalan di luar kelas pada jam pelajaran, duduk di balik
pohon lontar ataupun ke tengah hutan. Ada yang duduk santai sambil
merokok dan ada juga yang berpasang-pasangan sambil bercerita
dengan lawan jenisnya. Sekolah Menengah Atas tersebut mengalami
kekurangan guru yang mengajar di sekolah sehingga banyak kelas
kosong.
Saat jadwal pelajaran sekolah sudah selesai, peneliti
menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang dengan para
informan. Menurut informan T (17 tahun),
“Pacaran biasanya di sekolah, nanti baru janjian
ketemunya di dermaga Namo Ledeunu, paling sering
malam minggu ketemunya, ramai sekali anak-anak muda
pacaran, bisa lihat laut, ada sinyal HP juga”.
Dalam Focus Group Discussion (FDG), para siswa kelas 2 SMA
digabungkan menjadi satu kelas karena guru mata pelajaran tidak
hadir.Terdapat tiga informan yang berani mengungkapkan alasan-alasan
mengapa mereka menjalin hubungan pacaran dengan lawan jenisnya.
Seorang perempuan berinisial O (17 tahun), mengatakan bahwa
ia berpacaran karena merasa sewaktu masa kecilnya, Ia kurang
mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya lantaran keduanya
telah berpisah. Semasa kecil ia sudah diasuh dan tinggal dengan kakek,

168
neneknya. Saat mengacungkan tangan dan berdiri, informan O
menceritakan alasan berpacaran, “Saya mendapatkan kasih sayang dari
pacar saya sekarang yang selama ini tidak didapatkan dari orang tuanya”.
Dua informan lain berjenis kelamin laki-laki,merasa ada
tantangan ketika berpacaran dengan kekasihnya yang sudah memiliki
suami atau pacar. Informan S (17 tahun) memiliki pengalaman yang
kerap kali menyukai perempuan yang sudah mempunyai suami dan
anak. Tidak berbeda jauh dengan Informan K (17 tahun), anak muda
yang satu ini lebih memilih berpacaran dengan perempuan yang
sudah mempunyai pacar dengan alasan jarang dipersalahkan, selalu
mendapatkan cerita negatif tentang kekurangan pacar asli dan lebih
mudah untuk diajak keluar.
Dengan latar belakang budaya yang cenderung permisif dan
kecederungan remaja untuk mencari kebebasan. Berdampak pada
banyaknya siswa yang hamil disaat masih menjalani studi. Kejadian ini
cukup banyak terjadi, sesuai keterangan T (17 tahun) berikut,
“Di sekolah ada 8 orang teman yang hamil dengan
pacarnya, ada yang ikut ujian dan tidak, sekitar 4 orangyang
ikut ujian, pasti sudah melahirkan, guru tahu, kami juga bisa
lihat karena perutnya besar, suka muntah di belakang
sekolah, selalu dengan pacarnya, ada dua yang sudah nikah,
yang lain tidak tahu, sekarang yang hamil harus bayar
denda uang 5 juta, harus keluar dari sekolah juga”.
Pada tahun 2013 terdapat delapan kasus murid kelas tiga SMA
hamil sebelum ujian kelulusan. Empat murid kemudian diizinkan untuk
mengikuti ujian setelah melahirkan sedangkan sisanya putus sekolah.
Sebagai tindakan pencegahan maka pihak sekolah membuat
perjanjian kepada siswa-siswi bahwa mereka akan terkena denda lima
juta rupiah jika hamil pada saat menjalani pendidikan sekolah.
Selain latar belakang budaya tersebut, Informan T (16 tahun)
yang diwawancarai juga menganggap bahwa faktor yang
menyebabkan hal ini terjadi adalah karena adanya internet yang
membawa dampak buruk bagi remaja. Kemudahan untuk mengakses
situs-situs porno dengan menggunakan handphone membuat rasa
ingin tahu remaja untuk merasakan hubungan seksual semakin besar.

169
Secara keseluruhan para remaja di sekolah belum memahami
resiko dan dampak melakukan hubungan seksual di usia dini.
Minimnya informasi dan pengetahuan serta faktor sosial budaya yang
cenderung permisif mendukung remaja untuk melakukan hubungan
seksual di usia yang tergolong muda. Padahal dari segi kesehatan
ditemukan bahwa resiko kematian bayi menjadi dua kali lipat jika bayi
dilahirkan oleh ibu yang berusia dibawah duapuluh tahun. Remaja
yang menjadi ibu merupakan golongan kelompok usia yang menerima
sedikit perawatan setelah melahirkan dari klinik maupun pelayanan
kesehatan (Santrok, 2011).
4.2. Sikap terhadap Kehamilan
Pada umumnya orang Sabu di Desa Kolorae selalu menyambut
dengan gembira kehadiran keturunan baru dalam keluarga.
Masyarakat Kolorae menganggap hal itu berkah yang biasadisebut
sebagai “berkat”, jika ada tambahan orang dalam
keluarga.Penerimaan terhadap kehamilan dilakukan terlepas dari
perkawinan yang sah ataupun di luar perkawinan.
Pihak keluarga akan menikahkan jika pihak laki-laki mau
bertanggung jawab. Jika pihak laki-laki tidak mau bertanggung jawab
maka anak akan diambil oleh pihak orang tua perempuan. Masyarakat
menganggap kehamilan diluar perkawinan sebagai hal yang biasa,
bersikap menerima, tidak mengejek atau mengucilkan. Kehamilan
diperlakukan secara wajar sebagai proses biologis, tidak ada
pantangan makanan maupun kegiatan khusus yang dilakukan untuk
menyambut perempuan yang sedang hamil. Semua makanan dapat
dimakan dan semua kegiatan dapat dilakukan tanpa adanya larangan.
Hambatan bagi ibu hamil adalah pemenuhan sumber gizi bagi
ibu hamil yang kurang bervariasi sehingga tidak mencukupi
kebutuhannya. Seperti kebanyakan penduduk lain, perempuan hamil
sulit untuk memenuhi kebutuhannya akan sayur dan buah-buahan.
Perempuan yang hamil makan seperti hari-hari sebelum ia hamil,
hanya saja ia disarankan untuk lebih sering minum air gula Sabu untuk
menjaga kesehatan dan menambah darah. Menurut pengakuan ibu H
(34) “… disini susah mau makan sayur atau buah, tidak seperti waktu
saya merantau di Maumere, mau makan apa saja ada, ya kadang
makan nasi saja…. ”

170
Padahal perkembangan fetus didalam rahim tergantung
sepenuhnya dari nutrisi yang dialirkan ibu melalui darahnya (Shapira
dalam Santrock, 2011). Status gizi dari anak yang dikandung
ditentukan oleh masukan kalori, protein, vitamin dan mineral. Anak
yang dilahirkan dari ibu yang mengalami malnutrisi beresiko untuk
mengalami kelainan dibandingkan anak yang lahir dari ibu normal
(Santrock, 2011 ).
Di beberapa keluarga yang kurang mampu, ibu hamil tetap
dengan pola makan sebelumnya yaitu makan sehari sekali dengan
menu nasi dan ikan atau nasi dengan sayur (labu kuning). Jika sudah
ada sayur maka tidak lagi ada ikan, ada kalanya karena lauk pauk tidak
tersedia maka mereka hanya memakan nasi putih saja.
Tidak ada perlakuan istimewa bagi perempuan yang sedang
hamil. Bagi kaum ibu yang sudah pernah memiliki anak pertama, Ia
tetap melakukan pekerjaan rumah tangga seperti biasa, misalnya
memikul air, mencuci, memasak, mengasuh anak dan membersihkan
rumah. Mereka tetap mengambil air dari usia kehamilan awal sampai
akan melahirkan. Namun ada juga diantara mereka yang meminta
bantuan suami untuk mengambilkan air karena sudah tidak kuat.Pada
umumnya jarang suami yang ikut membantu karena memikul air
merupakan pekerjaan perempuan. Menurut ibu IP (46 tahun) “Dari
100 cuma ada satu laki-laki yang mau membantu istrinya mengambil
air, tapi beruntungnya suami saya termasuk yang satu itu hahaha”

Gambar 4.1
Ibu Hamil 8 Bulan
Sedang Memikul Air
Sumber: Dokumentasi
Peneliti, 2015

Ibu hamil
tetap mengambil air dari sumur yang terletak cukup jauh dari rumah.
Mendekati kelahiran ibu hamil perlu lebih banyak memikul airlagi,

171
agar lebih mudah melahirkan. Biasanya mereka mengisi dan memikul
air di ember-ember besar. Mereka tetap melakukan kerja berat
karena menurut pengetahuan yang mereka ketahui ibu hamil perlu
banyak bergerak agar mudah melahirkan. “… makin dekat melahirkan,
makin sering ambi air, pakai ember-ember besar”, jelas ibu ES (26
tahun).
Setelah ibu selesai melahirkan dan sudah sehat dalam waktu
kurang dari sebulan. Ibu kembali melakukan aktivitas rutin, yaitu
memikul air dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Ibu yang melahirkan
akan sangat beruntung jika masih mempunyai ibu kandung dan ibu
mertua karena tugas-tugas rumah tangganya dapat dibantu. Jika ibu dari
kedua belah pihak telah tiada maka ia akan mengerjakan semua
pekerjaan rumah tangga sendiri. Ibu juga merasa beruntung jika
mempunyai anak perempuan karena anak tersebut dapat menemani dan
membantunya mengurus rumah tangga terutama untuk memikul air.
Ibu hamil yang bekerja sebagai petani rumput laut, ia tetap
bekerja dari awal kehamilan hingga menjelang melahirkan. Biasanya
ketika hamil mereka tidak turun langsung ke laut, ia hanya membantu
suami mengikat rumput laut kering di darat. Ibu mulai kembali bekerja
ketika anak berumur tiga atau empat bulan, ada juga yang mulai
kembali bekerja ketika anak berusia satu tahun.Bayi dititipkan kepada
nenek dan kakek sementara ibu bekerja, ada juga yang anak yang
diasuh oleh kakaknya yang lebih besar. Ibu hanya menyusui ketika tiba
di rumah pada siang atau sore harikarena harus bekerja seharian.
Kebutuhan anak akanASI digantikan dengan air gula Sabu yang
diberikan lebih dari tiga kali sehari.
4.2.1. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan
Tahun 2008 pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur sudah
merilis kebijakan Program Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Hal
tersebut dirasakan positif bagi pengguna jasa yang tinggal berdekatan
dengan fasilitas kesehatan dan masyarakat kota tentunya, akan tetapi
masih banyak pekerjaaan rumah yang harus diselesaikan di daerah-
daerah terpencil. Beberapa kendala untuk mewujudkan program
tersebut adalah ketersediaan bidan di Pustu, akses jalan yang belum
terbuka, tidak ada sinyal komunikasi dan belum ada kerjasama pihak
Puskesmas dengan dukun bayi“Banni Deo”di Desa Kolorae.

172
Bukan merupakan suatu kebetulan jika mendapati semua
persoalan yang disebutkan di daerah pulau terluar seperti Pulau
Raijua. Pada tahun 2012 tenaga kesehatan di Puskesmas
Ledeunusudah gencar melaksanakan Revolusi “KIA” berdasarkan
petunjuk teknis namun karena kendala bidan yang tidak tinggal di
desa maka program tersebut kurang “menggigit”. Tenaga kesehatan
yang berasal dari ibukota Kabupaten Sabu Raijua enggan ditempatkan
di Desa Kolorae karena dianggap minim sumber daya alam. Hal ini
seperti penuturan perawat Puskesmas S (24 tahun) berikut,
“Dulu waktu saya pertama kali lulus tahun 2014 jadi
Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan ditempatkan di sini
saya tidak mau, saya menangis selama 2 hari, iya kan di
sini susah, mau makan apa, tidak ada keluarga, awalnya
tidak betah, sering pulang, tapi sekarang sudah biasa,
sudah kenal semua jadi tahan-tahan saja, nanti saya
minta pindah.”
Pernyataan tentang kondisi tenaga kesehatan ini dibenarkan Kepala
Puskesmas Ledeunu, MR (35 tahun),
“Dulu saya sendiri bawa mobil ambulan keliling ke desa-
desa, belum ada tenaga kontrak daerah, bidan juga baru
dua orang waktu itu, seperti sekarang sudah banyak,
kalau dulu saya ketemu dengan ibu hamil yang mau
bersalin langsung saya angkut, saya bilang tidak ada
istilah melahirkan di rumah, saya sudah datang jauh-jauh
ke sini baru tidak ikut, itu saya marah besar-sekarang
sudah banyak tenaga kesehatan malah tambah kurang
semangat kalau turun ke desa”

173
Tabel 4.1.
Jumlah Kelahiran dan Kematian di Kecamatan Raijua
Menurut Desa/Kelurahan dan Jenis Kelamin, Tahun 2013
Desa/ Kelahiran Kematian
Kelurahan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
1 Kolorae 13 16 9 18
2 Bolua 7 9 13 7
3 Ledeke 7 10 3 4
4 Ledeunu 15 17 3 5
5 Ballu 8 10 7 6
50 62 35 40
Sumber: Raijua dalam Angka, 2013
Tidak ada buku register yang mencatat jumlah ibu hamil dan
persalinan ibu hamil di Puskesmas Pembantu Kolorae.Di
PuskesmasLedeunu semua catatan mengenai pemeriksaan ibu hamil
termasuk jumlah persalinan yang sudah di tangani oleh tenaga
kesehatan tahun 2014 sebanyak 4 orang. Berdasarkan rekapitulasi
data di 5 Posyandu bulan Januari-April 2015 yang dipegang oleh bidan
K (29 tahun), jumlah ibu hamil yang ada di Desa Kolorae sebanyak 7
orang. Persalinan yang sudah ditolong oleh tenaga kesehatan tahun
2014 sampai dengan bulan Mei 2015, sebanyak 6 orang termasuk ibu
hamil dari periode tahun 2014.
Berdasarkan data Kecamatan, Raijua dalam Angka Tahun 2014
mencantumkan jumlah ibu hamil yang diimunisasi di Desa
Koloraesebanyak 1 orang yaitu imunisasi (TT 1). Tahun 2015 dari bulan
Januari sampai bulan April, Imunisasi (TT2) sebanyak 1 orang.

174
Gambar 4.2
Ruangan Pemeriksaan dan Tindakan di Pustu Kolorae
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Di Desa Kolorae terdapat satu bangunan Puskesmas Pembantu
yang terletak di dusun 4 yaitu Dusun Loko Juli. Bangunan yang baru
saja direnovasi pada tahun 2014 ini terdiri dari 7 ruangan, yaitu
tempat pemeriksaan dan tindakan, ruangan pengobatan, kamar tidur,
ruang tamu, dapur dan dua kamar MCK serta sebuah profile tank
untuk penampungan air.
Ruangan untuk persalinan terdapat peralatan yang biasa
disebut Partus set. Akan tetapi setiap ibu yang mau bersalin akan
dirujuk ke Puskesmas induk yang berada di Ibu Kota Kecamatan
Raijua. Hal ini disebabkan tenaga kesehatan yang tinggal menetap
adalah seorang perawat laki-laki. Keluarga akan menginformasikan
kepada petugas yang ada di Pustu Kolorae jika ada yang ingin
melahirkan.
Jika ada Ibu yang hendak memeriksa kehamilannya, petugas
akan memeriksa tekanan darah ibu terlebih dulu dengan
menggunakan tensimeter.Jika tekanan darah rendah akan diberikan
obat SF (obat tambah darah) dan Dekom (vitamin). Ketiadaan bidan
perempuan di Pustu Kolorae membuat petugas Pustu menyarankan
ibu untuk memeriksa kehamilan yang lebih lengkap pada hari
Posyandu. Informan FS (24 tahun) menyatakan,
“Hari Posyandu nanti yang akan datang bidan dan perawat dari
Puskesmas, mereka juga yang bawa register ibu hamil, jadi
betasuruh (saya sarankan) periksa di Posyandu saja kakak”.

175
Menjelang kelahiran, sebagian besar para calon ibu memilih
untuk melahirkan di rumah. Alasan tersebut karena masih ada dukun
bayi yang dipercaya sejak turun temurun.Dukun bayi di Desa Kolorae
yang biasa disebut “Banni Deo”tersebut berjumlah dua orang dan
belum diakui statusnya sebagai dukun terlatih oleh pihak Puskesmas
Ledeunu.
Dukun bayi yang diakui oleh pihak Puskesmas sebagai dukun
terlatih untuk keseluruhan Pulau Raijua hanya berjumlah satu orang
yaitu nyonya WT (64 tahun), yang berdomisili di Desa Ballu. Menurut
keterangan pelaksana harian (PLH) Puskesmas Ledeunu AR (28 tahun).
Sudah pernah ada kerjasama dan membuat pelatihan dukun bayi
terlatih namun semua dukun bayi yang hadir menolak hadir karena
kendala pada bahasa, baca dan tulis. “… (mereka) tidak bisa membaca
dan menulis”. Hanya satu orang dukun bayi yang bisa membaca dan
menulis dengan latar belakang pendidikan Sekolah Dasar.
Selanjutnya menurut Kepala Puskesmas Ledeunu MR (35
tahun), lebih lanjut mengomentari kerja sama dengan dukun bayi
yang ada di Pulau Raijua,
“Bukan hanya kendala bahasa saja, sudah pernah dikasih
pelatihan di Puskesmas, tahun 2012, sudah pernah
dikasih insentif juga, Banni Deo (dukun bayi) per orang itu
akan diberikan 25 ribu sampai 50 ribu jika memberikan
informasi keberadaan dan mengantar ibu hamil ke
Posyandu, Pustu, Puskesmas, tapi karena mereka malas
jadi tidak bisa, sekarang saya sudah lebih tegas kalau ibu
hamil yang tidak periksa di Posyandu dan tenaga
kesehatan tidak akan dibantu kalau ada apa-apa dengan
ibu hamil saya tidak akan bertanggungjawab”
Rata-rata semua ibu hamil di Desa Kolorae mempunyai buku
panduan KIA berwarna merah muda, ada catatan pada kolom
keterangan setiap bulan saat pemeriksaan dan status kepemilikan
kartu Jamkesmas. Menurut kader Posyandu WP (50 tahun) melahirkan
di PuskesmasLedeunu itu biayanya gratis akan tetapi perjalanannya
yang jauh, jalan berbatu, menurun, berkelok serta faktor kendaraan
bermotor yang harus dipinjam menjadi rintangan yang harus dihadapi.
Alasan lain lagi yang sempat diutarakan adalah mengenai biaya sewa

176
atau sekedar pengganti biaya operasional (bahan bakar minyak) untuk
kendaraan.
Keterbatasan bahan bakar minyak khususnya bensin dan solar
juga didukung dengan tidak adanya pertamina.Semua “BBM” di pasok
dari luar Pulau Raijua yaitu Kota Kupang. Dua kapal besar yang masuk
tiga minggu sekali di Pulau Raijua membawa BBM dalam drum plastik
berwarna biru. Harga bensin per liter dijual seharga 35 sampai 50 ribu
rupiah tergantung cuaca dan pasang-surutnya air laut. Masyarakat
Kolorae memilih untuk berjalan kaki ketimbang harus berkendara,
seperti pernyataaninforman VK (30 tahun) berikut, “Kita juga perasaan
mau pinjam mobil, uang dari mana, mau beli beras saja susah, lebih
baik jalan kaki, uang 10 ribu bisa beli apa begitu”

Gambar 4.3
Poster di Puskesmas Ledeunu
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Pada dinding sisi dalam ruangan Puskesmas Ledeunu
terpampang sebuah poster dengan harapan agar pengunjung dapat
membaca dan mematuhinya.Tulisan tersebut sepertinya menjadi
tidak berlaku pada warga masyarakat Kolorae karena masih banyak
penduduk yang tidak lancar membaca dan menulis.
Para bidan yang datang saat hari Posyandu pun terlihat hanya
memeriksa kehamilan di ruangan khusus kemudian menulis pada
buku KIA milik ibu hamil untuk memantau kondisi ibu dan
bayinya.Setelah menulis, buku merah muda tersebut langsung
diserahkan kepada kader Posyandu, dengan alasan supaya tidak
hilang. Para kader Posyandu, juga mengatakan hal yang sama, yaitu

177
mereka tidak tahu membaca apalagi menulis, jadi percuma saja
diberikan kepada mereka. Ketika ditanyakan kepada ibu hamil,
mereka menjawab tidak pernah membaca buku itu sambil tersenyum
kecil, seperti kilah EW (27 tahun), “Saya tidak sekolah, tidak bisa baca
tulis, yang penting sudah periksa supaya dapat bantuan susu, biskuit
dan kelambu.”
Para ibu hamil lebih memilih bersalin di rumah sendiri selain
mempertimbangkan jarak dan biaya yang harus dikeluarkan, mereka
tidak mau merepotkan pihak keluarga yang akandatang menjenguk.
Hasil observasi mendapatkan faktor lain yang menguatkan hal
tersebut, yaitu setiap selesai bersalin, terdapat tradisi dimana
keluarga terdekat berkumpul dan memasak bersama untuk
menyambut kelahiran bayi.
Selain itu, juga ada kegiatan menggantung “ari-ari” bayi pada
pohon. Terdapat dua pohon untuk tempat menggantung, yaitu pohon
ara untuk masyarakat yang tinggal di sekitar dusun 4 dan pohon
beringin yang letaknya di desa tetangga, yaitu Desa Ballu. Kegiatan
tersebut berlangsung setelah dukun bayi (Banni Deo) mencuci “ari-ari”
saat selesai persalinan.
Informan VK (30 tahun) menyatakan,
“... karena kebiasaan dan normal-normal saja, saya bukan
tidak mau ke Puskesmas, di rumah nyaman, kita tidak
terburu-buru, ambil air, saudara datang semua ke rumah,
ada yang bamasak, ada yang cari obat ini itu, kalau kita di
Puskesmas, repot ini itu tidak ada yang kenal, cuma
dokter dan perawat saja, merasa lebih aman di rumah,
susah juga buat saudara-saudara yang ikut saya, kan
darah-darah, kita kasian orang yang kasi bersih, bukan
saudara kita”
Pengalaman lain diceritakan ibu HK (35 tahun), yang
menerangkan bahwa ia sudah memiliki empat orang anak, sekarang
sedang menunggu kelahiran anak kelima, umur kehamilan saat
ditemui 9 bulan dan tinggal menghitung jam.
“Mungkin sebentar malam sudah melahirkan, suami
sudah buat lubang, alas dengan papan sebagai tempat
tidur, itu disebelah, lihat saja, lubang kecil supaya

178
sebentar kalau cuci darahnya langsung mengalir ke
lubang bawah papan”
Selanjutnya Ibu HK (35 tahun) berencana akan meminta
bantuan “Banni Deo” (dukun bayi) sebagai penolong persalinan.
“Melahirkan di rumah saja, soalnya takut dengan jarum
suntik, paling sakit sekali pas abis melahirkan saya punya
anak, saya capek, muka sudah pucat kalau lihat jarum,
mungkin tidak cocok setiap hamil tidak pernah
diimunisasi juga, pernah coba waktu itu pak Adi mau
paksa suntik, tapi bidan liat saya punya muka sudah
takut, dia bilang lama-lama orang mati pak, jadi sonde
jadi suntik, kalau saya rajin pi periksa di Posyandu, tapi
kalau melahirkan biar dengan mama dukun saja, mana
bidan berani kalau anak sonde keluar, kita punya sudah
tarobek-robek pake gunting, kalau mama dukun kasih
masuk tangan dapat pegang anak punya telinga atau
rambut sedikit saja langsung tarik keluar begitu, anak
selamat, kalau tarobek begitu hanya cuci dan minum air
daun sirih saja, tidak jahit kalau sama dukun, bidan di sini
tidak berani tarik-tarik, mereka takut.”
Sudah ada ketegasan dari pihak Puskesmas bahwa setiap
persalinan harus di fasilitas kesehatannamun dalam prosesnya
menemui berbagai hambatan.Salah satu dari sekian banyak
percakapan dengan ibu bayi, ibu ME (30 tahun) mengungkapkan
bahwa, “Petugas di Pustu sering tidak ada di tempat”. Selain
keterbatasan waktu dan tenaga juga tidak adanya sinyal handphone
sehingga mendukung para ibu untuk melakukan persalinan di rumah
sendiri dengan memakai jasa dukun bayi yang ada.Senada dengan
informan ibu-ibu, BK (30 tahun) tenaga kesehatan di Pustu Kolorae
menyatakan sebagai berikut,
“Biasanya mereka takut dengan petugas, itu mereka
takut karena waktu masa hamil dulu, mereka tidak
periksa di Posyandu atau di Pustu sehingga saat
melahirkan mereka tidak hubungi kita (tenaga kesehatan)
.”

179
Gambar 4.4
Persalinan di Rumah Ibu Hamil oleh Bidan
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Masyarakat lebih senang jika dapat menggunakan dua jasa
penolong persalinan, yaitu bidan dan “Banni Deo” secara bersamaan.
Pandangan masyarakat ini terungkap oleh informan VK (30 tahun)
yang telah memiliki tiga orang anak, “lebih senang kalau dua-duanya
ada begitu, supaya dapat obat langsung juga”.
Kehadiran “Banni Deo” juga dirasakan sangat penting. “Banni
Deo” terus mendampingi ibu bersalin saat menunggu pembukaan
sampai pembukaan lengkap/akhir, juga sampai perawatan tali pusar
bayi setelah bersalin. Hal ini membuat ibu-ibu hamil merasa yakin
ketika ditangani oleh dukun bayi. Mama HK (65 tahun)sebagai dukun
bayi atau “Banni Deo” sangat mengharapkan kerjasama dengan para
tenaga kesehatan karena umurnya sudah renta.
Saat pengumpulan data berlangsung, sekitar pukul 01.00 s/d
pukul 03.30 WITA dini hari, peneliti sempat berpapasan dengan
keluarga dan “Banni Deo” yang baru saja mencari petugas kesehatan
di Pustu. Mereka datang ke Pustu untuk meminta pertolongan bagiibu
yang hendak bersalin. Namun, tidak ada petugas kesehatan di Pustu
Kolorae yang bisa ditemui oleh keluarga dan “Banni Deo”.Banni
Deoakhirnya pergi tanpa petugas kesehatan untuk memeriksa ibu B
(30 tahun) yang hendak melahirkan.
Di sore hari terlihat mobil ambulan Puskesmas Ledeunu yang
membawa Bidan K (29 tahun) melintas di jalan Desa Kolorae. Ia
terlihat datang dengan membawa peralatan medis dan didampingi

180
oleh seorang kader Posyandu setempat yang membawa timbangan
bayi di tangan. Persalinan terjadi setengah jam setelah bidan
Puskesmas Ledeunu tiba di rumah ibu B. Ibu menolak untuk dibawa
dengan ambulan ke Puskesmas Ledeunu karena sudah tidak kuat
berjalan, bahkan untuk digendong pun akan sulit karena rumah ibu B
terletak di bukit dengan jalan sempit yang menanjak dan menurun.
Mobil ambulan diparkir sekitar 200 meter dibawah.
Akhirnya persalinan dilakukan di rumah, persalinan ini
merupakan hasil kerja sama antara bidan Puskesmas Ledeunu dan juga
“Banni Deo”. Tepat pukul 19.05 terdengar tangisan bayi, dan senyuman
bahagia yang terpancar dari raut keluarga ibu yang melahirkan. Telah
lahir dengan selamat bayi laki-laki tampan dengan berat 3,5 kilo gram.
Semua alat persalinan berasal dari bidan, dibawa dalam
sebuah kotak almunium berisi tiga buah gunting, gulungan kasa steril,
sarung tangan lebih dari satu buah, obat Bet**ine, tensimeter dan
timbangan bayi.Di dalam pengamatan tidak terlihat adanya
stetoskop.Bidan tidak membawa obat sehingga meminta keluarga
untuk membeli obat Amoksilin dan Parasetamol di pasar yang sedang
berlangsung. Dalam persalinan di rumah ibu B, bidan memakai sarung
tangan, sarung tangan juga dibagikan kepada dukun bayi (Banni Deo),
akan tetapi kedua penolong tersebut tidak memakai masker.
Pada saat ini ada nilai tambah dari pelayanan persalinan oleh
tenaga kesehatan di mata masyarakat Kolorae.Sebanyak dua
persalinan pada tahun 2014 lalu mengalami pendarahan saat ditolong
oleh dukun bayi dan berhasil diselamatkan oleh para petugas
kesehatan senior di Puskesmas Ledeunu. Semenjak peristiwa tersebut,
paramedis mulai mendapatkan kepercayaan dan dilibatkan dalam
menangani setiap persalinan di Desa Kolorae.Paramedis dilibatkan
dengan dipanggil ke rumah mendampingi “Banni Deo” yang
membantu melahirkan. Bidan yang mendampingi persalinan di rumah
biasanya tidak memungut biaya, akan tetapi masyarakat biasa
memberi uang pengganti transportasi sebesar Rp.50.000,-.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam.Tabel 4.2 berikut
menampilkan kelebihan dan kekurangan persalinan di rumah yang
ditolong oleh dukun bayi dan bidan.

181
Tabel 4.2.
Perbedaan Persalinan oleh “Banni Deo” dan Bidan
di Desa Kolorae
Persalinan yang di Persalinan yang di tolong
tolong oleh Banni Deo oleh bidan
- Sudah terpercaya - Pustu diisi oleh tenaga
karena tradisi sudah kesehatan laki-laki sehingga
turun temurun di selalu memakai sistim
tolong oleh dukun dan rujukan ke Puskesmas induk
bersalin di rumah yang yang berada di ibukota
tidak memerlukan kecamatan.
perjalanan. - BIdan-bidan yang ada
- Bidan sudah menolong merupakan bidan baru
ratusan persalinan sehingga ibu-ibu kurang
sehingga sudah merasa percaya.
berpengalaman
- Biaya dukun lebih - Meskipun ada Jamkesmas,
murah, bisa di bayar keluarga merasa tidak enak
berapa saja tergantung jika tidak mengganti biaya
dari kemampuan transport sebesar Rp.
50.000,-
- Dukun bayi “Bani Deo” - Bidan adalah orang lain,
adalah kerabat mereka sulit menjangkau mereka di
sendiri sehingga dapat Pustu. Harus menghubungi
di panggil kapan saja via telepon.
dan selalu siap sedia. - Kedatangan bidan
- “Banni Deo” tinggal di tergantung ada tidaknya
kampung yang sama kendaraan operasional, jika
sehingga dekat dan datang pun selalu pada saat
hanya perlu berjalan pembukaan akhir.
kaki
- Dukun sudah - Bidan tinggal di ibukota
menemani ibu hamil Kecamatan sehingga tidak
saat menjelang bisa berlama-lama dengan
kelahiran, saat bersalin pasien
sampai dengan - Bidan langsung pamit

182
perawatan ibu dan bayi pulang ketika persalinan
selama ibu dan selesai ditangani.
keluuarga
membutuhkan.
- “Banni Deo” bersedia
mendampingi sejak
pembukaan awal
hingga akhir.
- Berani mengambil - Tidak berani mengambil
resiko ketika menolong resiko jika menghadapi
persalinan. Saat“bayi kasus “bayi sungsang”.
sungsang” dan kepala Harus dirujuk apabila tidak
bayi belum keluar ia bisa menangani, bidan
berani memasukan dianggap takut/gugup
tangan tanpa sarung menghadapi situasi
tangan, memutar dan persalinan bermasalah.
menarik bayi keluar.
- “Banni Deo” ramah saat - Tidak banyak komunikasi
komunikas/berinteraksi dengan ibu hamil atau ibu
dengan ibu hamil/ibu bersalin.
bersalin. - Menggunakan bahasa
- “Banni Deo” indonesia yang terkadang
menggunakan bahasa menurut para informan
Sabu (lokal) sehingga tidak dapat dimengerti
benar-benar mengerti maksudnya.
ibu.
- Tidak ada beban - Takut / trauma di cukur,
psikologis karena tidak suntik dan di jahit dengan
akan di cukur, di suntik benang.
dan tidak dijahit. - Menggunakan obat-obatan
- Cukup menggunakan
ramuan tradisonal saja
saat selesai melahirkan
- Persalinan dapat di - Hanya kader dan suami
temani oleh keluarga yang diperbolehkan
dekat. masukke dalam ruangan

183
- Pasien merasa lebih persalinan, baik di rumah
nyaman ketika ada maupun di Pustu.
yang menemani dan - Merasa merepotkan pihak
saudara yang tenaga kesehatan yang
membantu membersihkan sisa
membersihkan sisa persalinan
persalinan.
- Dukun bayi “Banni Deo” - Persalinan sebatas
bisa keluarkan ari-ari mengeluarkan bayi dan
dengan memakai memotong ari-ari saja.
doa“uku-uku” atau Tidak ada perlakuan khusus
mantera untuk Tuhan dari bidan untuk mengurus
“Deo Ama”. ari-ari.
- Tidak dimarahi jika Ibu - Takut dimarahi dan tidak
hamil tidak pernah dilayani apabila tidak
memeriksa kesehatan pernah memeriksakan
di tenaga kesehatan, kehamilannya
tidak mendapatkan
imunisasi, tidak ada
buku KIA
- Menggunakan alat dan - Menggunakan banyak alat,
bahan sederhana gunting, jarum suntik, obat
berupa pisau dapur, tablet untuk minum
bawang merah. bawang
putih, jahe.
- Bebas menjalankan - Terlalu banyak aturan:
tradisi orang Sabu Harus menunggu enam
setelah melahirkan bulan untuk memberikan air
seperti kebiasaan gula, tidak boleh memberi
memberi air perasan perasan daun Lombok dan
daun Lombok dan air tahi kerbau.
gula Sabu dan tahi
kerbau.
- Ibu di basuh dengan air - Ibu hanya di basuh dengan
panas sehingga rasa air biasa sehingga merasa
lelah langsung hilang kurang segar.

184
4.2.2. Situasi Ibu Melahirkan
Keluarga besar merupakan sumber dukungan sosial yang
penting bagi masyarakat Kolorae. Hal ini juga berlaku pada
perempuan yang akan melahirkan. Mereka memperoleh dukungan
dari keluarga besar berupa bantuan dari saudara-saudara untuk
melengkapi kebutuhan bayi dan juga bantuan tenaga pada saat
persalinan.
Pada umumnya Ibu hamil memeriksakan kehamilannya dengan
Bidan di Posyandu setiap bulannya, akan tetapi perilaku
memeriksakan kandungan ke tenaga kesehatan tidak berhubungan
dengan keinginan ibu untuk melahirkan di fasilitas kesehatan yang
dibantu tenaga kesehatan.
Kebanyakan perempuan yang melahirkan memilih untuk
melahirkan dengan Banni Deo.Alasan yang dikemukakan beragam, salah
satunya adalah ibu merasa lebih nyaman melahirkan di rumah karena
banyak keluarga yang bisa hadir dan dapat dimintai bantuan tanpa
merasa sungkan.
Dalam proses persalinan, ibu VK (30 tahun) menerangkan bahwa
saat melahirkan biasanya dibantu oleh ibu dan saudara perempuan.
Mereka membantu menyiapkan perlengkapan sampai membersihkan
darah bekas melahirkan.Ia merasa sungkan jika orang lain yang tidak ada
hubungan saudara harus membersihkan darah bekas melahirkan.
Terdapat persalinan di rumah yang hanya dibantu oleh Banni
Deo saja, namun ada juga persalinan yang melibatkan Banni Deo dan
bidan. Biasanya bidan dipanggil jika ibu mengalami kesulitan dalam
melahirkan, misalnya telah lama menunggu namun anak tidak juga
lahir. Jika kelahiran normal, ibu hanya ditolong Banni Deo saja. Di Desa
Kolorae sendiri terdapat dua dukun beranak yang membantu
melahirkan. Kemitraan dukun bayi “Banni Deo” dengan bidan secara
informal sudah mulai berlangsung. Dalam salah satu persalinan yang
peneliti saksikan, bidan dipanggil oleh keluarga untuk membantu
“Banni Deo” karena bayi tidak kunjung lahir setelah lebih dari dua
belas jam menunggu.
Saat itu ibu B (30 tahun) sudah merasakan tanda-tanda akan
melahirkan sejak jam dua pagi, akan tetapi sampai pukul lima sore
belum juga melahirkan. Oleh karena itu keluarga memutuskan

185
memanggil ibu bidan melalui Handphone. Dalam persalinan bidan dan
Banni Deo saling bekerja sama, mereka bergantian memeriksa
keadaan ibu hamil. Pada saat itu juga terlihat ibu bidan membantu
memakaikan sarung tangan kepada Banni Deo.
4.2.3. Proses Melahirkan Ala “Banni Deo”
Pada tahun 2015, Pukesmas menetapkan aturan bahwa ibu
hamil yang telah memanggil bidan, apapun alasannya harus
melahirkan di Puskesmas, dan akan dijemput dengan mobil ambulan.
Persalinan di rumah menggunakan alat yang terbatas, Pemotongan
tali pusar dilakukan dengan menggunakan sebilah pisau dapur tanpa
proses sterilisasi.
Peneliti menemukan tempat persalinan di rumah yang belum
selesai pembangunannya, lantai rumah masih berupa tanah pasir yang
belum disemen. Untuk persiapan persalinan, tanah pasir digali
kemudian dilapisi papan dan tikar. Tanah digali untuk menampung
darah dan kotoran sisa melahirkan (limbah air mandi bayi dan cucian
ari-ari) sehingga setelah selesai melahirkan lubang dapat segera
ditimbun tanah.

Gambar 4.5
Alat, Bahan dan Tempat Bersalin yang Sudah Disiapkan di Rumah
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Ibu Hamil di Desa Kolorae melakukan persalinan dengan
berbaring atau duduk tergantung kebiasaan keluarga. Untuk
persalinan duduk, saat melahirkan ibu duduk di lantai rumah yang
lebih tinggi. Ia berpegangan dengan tali yang dibentangkan pada
dinding atas rumah. Lantai dilapisi perlak plastik yang tahan air dan
kain-kain untuk menyerap ketuban dan darah melahirkan. Keperluan
bayi seperti baju dan kain sudah dipersiapkan sebelumnya. Posisi

186
dukun bayi dan bidan di depan ibu yang akan melahirkan, dibelakang
terdapat ibu kandung atau saudara perempuan yang melingkari perut
ibu hamil dengan kain untuk ditarik ke belakang. Posisi kaki saudara
perempuan yang membantu dibelakang menginjak pinggang ibu pada
bagian belakang untuk membantu memberi tekanan agar bayi mudah
keluar. Ibu kandung berperan untuk menguatkan dengan memijat-
mijat kepala ibu yang akan melahirkan. Ketika merasakan sakit karena
kontraksi di perut maka Ibu bidan menginstruksikan ibu untuk “Muku”
atau mengejan. Orang-orang yang mendampingi serentak membantu
dengan posisi masing-masing ketika ibu mengejan.
Setelah ibu hamil berhasil melahirkan, saudara perempuan
atau ibu kandung dari ibu bayi tersebut segera memberikan bawang
merah untuk dikunyah oleh ibu hamil. Kemudian ibu hamil diberikan
tiga sendok madu untuk ditelan. Bawang merah dimakan untuk
mencegah rasa pusing yang dirasakan oleh ibu hamil karena
disebabkan darah putih yang naik.Penduduk sendiri tidak terlalu
paham dengan yang dimaksud dengan darah putih. Namun darah
putih ini dianggap berbahaya jika sampai naik ke kepala karena dapat
menyebabkan ibu tidak sadar. Bawang merah yang dimakan juga
dimaksudkan untuk obat tambah darah. Ibu terus memakan bawang
merah sehari tiga kali selama tiga hari setelah melahirkan. Selain
bawang merah, ibu hamil segera diberi tiga sendok gula Sabu agar
semua darah dan kotoran sisa melahirkan keluar.
Setelah ibu melahirkan, ibu kemudian dibersihkan badannya
dengan handuk yang direndam air panas dengan maksud agar badan
ibu yang melahirkan kembali segar. Setelah selesai dibersihkan ibu
melahirkan diberi bubur. Di bagian tengah bubur tersebut diberi satu
sendok teh cabai yang telah dihaluskan. Cabai itu diberikan dengan
maksud agar darah sisa melahirkan yang keluar bisa lancar dan tuntas.
Terdapat juga ramuan tradisional atau biasa disebut obat Sabu,
diberikan untuk perawatan setelah melahirkan. Ramuan ini juga
dimaksudkan agar perut tidak sakit ketika mengeluarkan darah sisa
melahirkan. Ramuan tersebut terdiri dari bunga lontar panjang yang
dibakar hingga hangus, kemudian ditambah daun asam. Bunga dan
daun asam kemudian dihaluskan dan diberi air dan tambahan gula
Sabu. Campuran tersebut kemudian disaring dan diminum sehari tiga

187
kali dengan tujuanagar semua darah kotor sehabis melahirkan keluar
semua. Air gula sabu juga diberikan dengan maksud untuk menambah
energi setelah melahirkan.
Dalam persalinan dimana tenaga kesehatan tidak hadir maka
keluarga bayi bebas melakukan ritual dan tradisi yang secara turun
temurun biasa dilakukan. Pada persalinan yang peneliti hadiri, bayi
langsung dimandikan dengan air hangat dengan sabun cap tangan. Hal
ini dimaksudkan agar bayi tidak bau amis dan cepat bersih dari lendir-
lendir bekas melahirkan. Tali pusar atau “Ari-ari” dipotong dengan
menggunakan pisau yang diambil dari dapur beserta alas kayu yang
biasa dipakai memotong bumbu di dapur. Dalam pengamatan pisau
tersebut tidak disterilkan dengan air panas sebelum memotong tali
pusar ibu bayi.

Gambar 4.6
Perut Ibu yang telah selesai bersalin ditekan agar mengeluarkan darah
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Bayi yang baru lahir kemudian diberi ramuan daun
cabai/lombok atau disebut “Ro’ Hili”. Daun tersebut ditumbuk dan
diambil sarinya dengan cara disaring dan diberikan sebelum bayi
diberikan air gula Sabu. Air dari daun lombok ini dipercaya untuk
membersihkan pencernaan bayi untuk mengeluarkan lendir-lendir
yang ada didalamnya. Daun diambil dari kebun tanpa dicuci kemudian
dihaluskan dengan peralatan dari batu yang masih berdebu.

188
Gambar 4.7
Tempat Untuk Menumbuk Daun “Ro ’Hili” dan Siap Diminum Bayi
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Air gula Sabu diberikan dengan menggunakan jari karena ASI
belum keluar saat selesai persalinan. Bayi yang baru saja dilahirkan akan
diperlihatkan ke ibunya beberapa saat. Bayi tersebut langsung dipisahkan
dengan ibunya dan diletakkan di samping ibu. Hal tersebut dilakukan
agar ibunya bisa beristirahat setelah menghabiskan tenaganya saat
melahirkan. Tidak terlihat bayi diletakan pada dada ibu sepanjang
peneliti mengikuti dukun bayi dan bidan saat membantu persalinan.
Sari daun cabai/lombok “Ro’ Hili” itu diberikan sebelum bayi
menerima Air Susu Ibu (ASI) sebanyak tiga kali dalam sehari selama
lima hari.Semua bayi baru lahir di Desa Kolorae diberi perasan daun
lombok dengan tujuan agar perut bayi bersih dari cairan air ketuban
yang ditelannya saat proses persalinan. Dua orang Informan, Banni
Deo bernama HK (65 tahun), air daunnya ditumbuk, diperas, dikasih
minum supaya ana mea (anak bayi) muntah keluar itu lendir semua
sampai bersih” dan selanjutnya pernyataan NM (60 tahun)
mengatakan “Supaya bayi muntah kotoran-kotoran,supaya perut bayi
tidak kembung, kasi minum bayi 5 hari, pagi, siang dan malam hari
sebelum air susu ibu.”
“Ro’ Hili” ini diberikan sehari tiga kali selama tiga hari berturut-
turut sebelum Air Susu Ibu (ASI) keluar.Setelah bayi diberikan sari
daun tersebut, bayi kemudian diberikan air gula Sabu sambil
menunggu keluarnya ASI. Saat dikonfirmasi ke bidan dan perawat
Puskesmas Ledeunu mereka mengatakan tidak tahu mengenai
kebiasaan memberikan perasan air daun lombok.

189
4.2.4. Perawatan Tali Pusar
Sebelum “ari-ari” dipotong, “ari-ari” terlebih dahulu dipijat
dengan perasan air jahe. Perawatan tali pusar bayi dilakukan dengan
menggunakan kotoran hewan yaitu, “tahi kerbau” yang dibakar.
Tujuannya adalah agar tali pusar bayi cepat mengering. Menurut NM
(60 tahun), tahi kerbau dipilih karena kotoran hewan tersebut cepat
mengering jika terkena angin. Hampir semua bayi yang ditemui
memiliki gumpalan pusar di perut berwarna hitam pekat. Menurut ibu
bayi bernama YK (42 tahun), “kami sudah biasa sejak dulu, semua ana
mea (anak bayi) pakai tahi kerbau supaya cepat kering”.
Semua perilaku ibu nifas terhadap bayi berupa pemberian
daun “Ro’ Hili” dan Tahi Kerbau” tersebut tidak diketahui oleh tenaga
kesehatan baik di Pustu maupun di Puskesmas. Menurut keterangan
Bidan dari Pustu, informan S (23 tahun) “Aduh kakak, saya tidak tahu
itu, saya baru tahu juga dari kakak, tunggu nanti saat ketemu di
Posyandu atau nanti imunisasi saya marah dia, bahaya itu.”

Gambar 4.8
Perawatan Tali Pusar dengan Tahi Kerbau (Kiri) dan Tali Pusar yang
Hitam (Kanan)
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
4.2.5. Prosesi Menggantung “Ari-ari”
Tali Pusar dapat keluar sekaligus bersama bayi ataupun setelah
bayi dilahirkan. Ketika ari-ari keluar dukun bayi mengunyah alia, yaitu
sejenis jahe untuk diperas ke tali pusar bayi. Hal itu dilakukan kembali
dibagian tali pusar yang akan dipotong. Ari-ari kemudian dicuci hingga
bersih dengan menggunakan deterjen sampai air perasan terakhir
bening. Semua tali pusar bayi di Desa Kolorae akan digantung. Ari-ari
yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan ke tempat yang terbuat

190
dari daun lontar, atau disebut “Oko Pana”, kemudian digantung pada
cabang pohon. Prosesi menggantungari-ari di pohon disebut “Rai Ti
Marapo”. Ada dua pohon di Desa Kolorae yang dijadikan tempat
untuk menggantung ari-ari yaitu pohon Maloki dan pohon beringin.
Penentuan pohon tesebut sesuai dengan kedudukan wini atau garis
ibu dari anak yang lahir.

Gambar 4.9
Tali Pusar yang di Bersihkan oleh Banni Deo dan Keluarga
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Calon pengantar “Ari-ari” adalah ayah bayi atau saudara ayah
bayi. Sang pengantar akanberjalan kaki ke tempat yang telah
ditentukan dengan memakai sarung atau selimut Sabu. Di Desa
Kolorae terdapat dua pohon yang diwajibkan. Pohon yang pertama
adalah beringin berada di area perbatasan dengan Desa Ballu dan
pohon kedua disebut pohon “Ara” letaknya di Dusun Loko Juli. Khusus
pohon “Ara” karena tumbuhnya dihimpit antara 2 lapisan batu karang
besar. Menurut cerita informan NK(44 tahun), “Dari nenek moyang
bilang begitu, katanya supaya anak bisa kuat, bisa bertahan hidup dan
tetap tumbuh jika ada masalah yang datang”.
Sepanjang perjalanan tersebut, orang yang membawa “Oko
Pana” tidak boleh berbicara atau menengok jika dipanggil
orang.Menghindari orang yang bertanya. Menurut GR (38 tahun) yang
membawa “Oko Pana”, “Karena yang ajak bicara itu adalah wango
(setan), dia ajak cerita supaya kita lupa, lupa gantung dan dia mau
ambil itu “Oko Pana”. Orang akan membawa “Oko Pana” ditangan
kanan jika bayi itu laki-laki dan akan membawa dengan tangan kiri jika
bayi itu perempuan. “Oko Pana” anak laki-laki dibawa dengan tangan
kanan karena tangan tersebut biasa digunakan untuk bekerja sehingga

191
diharapkan anak laki-laki kuat bekerja dengan tangan kanannya. Anak
perempuan dibawa dengan tangan kiri dengan harapan bahwa ia
mampu merawat keluarga.

Gambar 4.10
Prosesi Gantung “Ari-ari” dan Ari-Ari yang digantung di Pohon Ara dan
Beringin
Sumber :Dokumentasi Peneliti, 2015.
Menggantung “Ari-ari” juga dimaksudkan agar anak yang lahir
tidak takut akan ketinggian sehingga mendukungnya untuk memanjat
pohon lontar tanpa rasa takut. Setelah selesai menggantungkan ari-ari
maka pengantar “Oko Pana” akan memetik tiga buah daun disebut
“Rokemoro” dan berjalan mundur keluar dari area pohon ara atau
beringin tersebut. Setelah sampai di rumah, tiga daun tersebut diikat di
bagian atas tiang utama rumah.Prosesi ini disebut “Rokemata”, prosesi
ini menyimbolkan tanggung jawab suami terhadap anak yang baru
lahir.Jika terjadi sesuatu dalam rumah tangga dan ayah tidak mau
mengakui atau tidak mau bertanggung jawab lagi terhadap anak
tersebut.Ibu dapat mencopot daun tersebut dan membawanya ke rumah
keluarga perempuan.Anak tersebut kemudian menjadi tanggung jawab
pihak perempuan sehingga ayah tidak berhak lagi terhadap anak itu.

192
Gambar 4.11
Adat Rokemoro dan Rokemata
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Terdapat juga cara lain untuk merawat “Ari-ari”, yaitu dengan
disimpan didalam buah kelapa muda yang dilubangi tempurungnya
kemudian dikubur. Sebelum dikubur, tempurung kelapa berisi “ari-ari”
kemudian diberi pensil dan buku dengan harapan anak menjadi pintar.Tali
pusar bayi perempuan yang diletakan dibawah pohon “Ara” juga sebagai
lambang status para perempuan selalu berada di bawah laki-laki.
Menurut keterangan Kepala Desa Ballu BO (35 tahun), untuk
anak pembesar adat disebut “Mone Ke Pue”.Tali pusarnya harus
digantung sesuai berdasarkan sifat dan kedudukan “Wini” di
masyarakat, misalnya untuk “Wini Jau”harus digantung di pohon
beringin.Pohon beringin merupakan pohon yang dingin dan rindang,
serta tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah.“Ari-ari” tetap digantung
dengan mengikuti kebiasaan terdahulu yaitu tempat ari-ari diisi
dengan kelapa dan kayu-kayuan yang wangi seperti cendana.
4.2.6. Penamaan Bayi berdasarkan “Panas Dinginnya Bubur”
Untuk Keluarga yang orang tuanya masih memegang kuat
kepercayaan “Jingitiu”, penamaan anak akan dilakukan beberapa jam
setelah anak lahir. Penamaan anak dilakukan melalui tanda dari bubur
yang akan dimakan bersama-sama. Setelah ibu melahirkan, keluarga
akan menyiapkan enam piring bubur panas. Bubur panas dituangkan
ke piring, jika salah satu piring masih dingin maka nama anak belum
diberikan. Nama akan diberikan jika semua piring sudah dalam

193
keadaan panas/hangat. Piring yang sudah panas menandakan setan
“wango” sudah pergi sehingga makluk halus tersebut tidak lagi
mendengar jika anak dipanggil dengan nama barunya.

Gambar 4.12
Makanan Adat Setelah Menggantung Ari-ari dalam “Oko Pana”
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Di Desa Kolorae terdapat kebiasaan dimana anak bayi yang
baru lahir tidak langsung diberi nama, namun dipanggil “Anak Babi”.
Hal ini dilakukan untuk mengelabui setan yang biasa tinggal di atas
pucuk pohon atau yang biasa disebut “Wango Kolo Adju”, agar tidak
menukar anak bayi yang baru lahir dengan anak setan. Biasanya pucuk
pohon yang ditinggali setan berbeda dengan pohon yang lain.
Menurut masyarakat, pohon tersebut berwarna hitam seperti
percikan oli pada pucuk dan daun-daunnya.
Informan VK (30 tahun) menjelaskan hal ini,
“Anak yang ditukar dengan anak setan biasanya tidak
akan berkembang, tidak bisa buat apa-apa, sakit-sakitan
dan akhirnya belum lima tahun akan meninggal,supaya
anak tidak ditukar setan tidak boleh kasi tinggal sendiri,
harus selalu ada keluarga yang bergantian jaga didalam
rumah.”
4.3. Penimbangan Bayi dan Balita
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) didirikan untuk memantau
pertumbuhan dan perkembangan serta kesehatan balita dan ibu
hamil. Di Desa Kolorae terdapat 5 dusun, setiap dusun mempunyai
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Bangunan tersebut dibangun dari
bantuan dana PNPM yang diberikan secara bertahap dari tahun 2007

194
hingga 2010. Keberadaan Posyandu di lokasi strategis antara
pemukiman warga, memberi harapan besar bagi ibu, bayi, balita dan
Ibu hamil serta lanjut usia (lansia) setempat.
Pada hari Posyandu selalu hadir lima orang kader dan petugas
kesehatan baik dari Pustu maupun Puskesmas induk. Selain menimbang
anak, bidan juga memeriksa para calon ibu bayi yang datang. Ruang
pemeriksaan ibu hamil memiliki tempat tersendiri, dilengkapi dengan
tempat tidur dan sebuah bantal sebagai tempat bersandarnya kepala.
Lima kader berasal masyarakat dusun setempat. Rata-rata
terdapat dua orang laki-laki sebagai kader. Paling dominan terdapat di
Posyandu Deme yaitu empat orang kader laki-laki. Tenaga kesehatan
(bidan dan perawat) datang secara selang-seling ketika Posyandu
dilakukan. Sebelum bangunan Posyandu berdiri, masyarakat telah
aktif melaksanakan kegiatan Posyandu di rumah-rumah warga
maupun di rumah Kepala Desa. Pelaksanaan Posyandu masih
dilakukan dengan tanggal yang berubah-ubah setiap bulannya, akan
tetapi mulai tahun 2014 kegiatan Posyandu mulai dilaksanakan
dengan teratur. Tanggal sudah ditetapkan setiap bulannya dengan
jadwal mulai Posyandu dari jam 09.00 sampai dengan jam 12.00.
Semua Posyandu yang dikunjungi menunjukkan partisipasi
masyarakat yang cukup baik. Posyandu tidak hanya dikunjungi kaum
ibu namun juga bapak-bapak yang mengantar anak untuk ditimbang.
Menurut pengakuan ketua Posyandu Surya Indah, WP (50 tahun),
“Disini bapak-bapak juga datang ke Posyandu jika ibu sedang sibuk,
jika kedua orang tua sibuk, bai dan nene (kakek dan nenek) yang
bawa”. Dalam pengamatan terlihat ada kakek dan nenek yang
menggendong cucu mereka datang untuk ditimbang. Hasil wawancara
dengan JM (65 tahun) mengatakan bahwa ayah dan ibu balita sedang
bekerja di luar Pulau Raijua, sehingga anak dititipkan dan diasuh oleh
informan semenjak bayi.
Pengamatan di Posyandu cukup banyak balita yang takut
ditimbang, oleh karena itu para kader menimbang anak balita yang
tidak takut terlebih dahulu. Apabila anak yang ditimbang pertama
takut dan menangis maka sangat mempengaruhi anak yang akan
ditimbang berikutnya. Rata-rata anak yang belum ditimbang sudah
menangis terlebih dahulu karena melihat anak yang sudah ditimbang

195
sebelumnya. Strategi yang kerap dipakai oleh orang tua untuk
menenangkan balita adalah dengan memberikan air gula Sabu dalam
botol dot yang sudah dipersiapkan dari rumah. Dari hasil rekapan
Posyandu tercatat bahwa terdapat balita yang mengalami gizi kurang
dan gizi buruk.

Gambar 4.13
Penimbangan dan Alat Ukur Tinggi Badan di Posyandu
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Menurut para kader penentuan status gizi sudah mengalami
perubahan sebanyak tiga kali, yang pertama menggunakan sistem
penimbangan berat badan dan menarik garis pada kartu menuju sehat
“KMS”. Terdapat standar pengukuran berdasarkan berat badan
dengan menggunakan standar perhitungan Word Health Organitation
(WHO) pada tahun 2013, yaitu memakai indikator umur dan berat
badan yang dicatat di KMS.
Sejak tahun 2014 para kader dilatih dalam acara refreshing
kader Posyandu oleh pihak di Puskesmas Ledeunu. Sekaligus
mengganti standar penimbangan WHO dengan menggunakan standar
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014, yaitu
memakai ukuran panjang badan dan berat badan yang disesuaikan
dengan umur balita dan jenis kelamin dilanjutkan dengan menandai
pada KMS.
Masing-masing Posyandu mempunyai lembaran standar
penimbangan dari “KEMENKES RI” tersebut. Menurut ketua Posyandu
Ma’ri ibu DN (40 tahun)

196
“Kalau perhitungan memakai aturan yang sekarang lebih
susah karena harus melihat semuanya baru di garis pada
KMS, kalau dulu balita yang tergolong gizi buruk, jika
pakai standar KEMENKES RI, dia masuk kategori gizi
kurang, tidak tahu lagi, hehehe”.
Saat pengukuran tingggi badan balita di Posyandu, alat ukur
yang digunakan adalah sebuah mistar plastik transparan ukuran 30
centimeter. Kepala balita disejajarkan dengan posisi berdiri lurus pada
tembok yang telah diberi angka. Deret angka yang tertulis dengan
pena secara vertikal pada sisi tembok terlihat tidak lurus dan sudah
kabur. Dimungkinkan ada kesalahan pengukuran tinggi badan
beberapa centimeter jika masih menggunakan media tersebut.

Tabel 4.3.
Cakupan Penimbangan Balita berdasarkan Data KMS tahun 2015
Bulan
Posya Jan Feb Maret April Mei
ndu GK GB GK GB GK GB GK GB GK GB
Surya 4 0 8 0 7 0 6 1 2 5
indah
Loko 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
juli
Nau 0 0 0 0 0 0 1 2 6 0
Nyiu
Deme 1 0 1 0 0 0 5 0
Mari 1 0 1 0 1 0 2 0 3 0
Sumber : Rekapan Puskesmas Ledeunu, 2015
Menurut keterangan yang diberikan oleh semua kader Posyandu
tentang kasus gizi kurang dan gizi buruk disebabkan oleh kekurangan
makanan bergizi karena anak susah makan sehingga sering sakit. Hal
senada juga di ungkapkan oleh para ketua Posyandu yaitu karena pola
makan yang tidak teratur.
Informan DL (46 tahun) menuturkan,
“Di sini kami makan satu hari satu kali, makan siang
dengan nasi/sorgum, pagi tidak makan cuma minum air
gula Sabu, kalau malam ada makanan kami makan, kalau

197
tidak ada kami minum air gula Sabu, masak satu kali saja
dalam satu hari”.
Hasil percakapan dengan petugas kesehatan FS (24 tahun) dalam
menanggapi hal tersebut adalah balita gizi kurang dan gizi buruk akan
mendapatkan bantuan berupa biskuit susu, tetapi harus mengambil
sendiri di Puskesmas induk karena stok terbatas. Perihal pemberian
makanan tambahan atau lebih dikenal dengan PMT dikalangan Ibu
bayi balita. Selama bulan berjalan, tepatnya bulan Mei 2015 balita
baru mendapatkannya.Saat diobservasi di 5 Posyandu, hanya
Posyandu “Surya Indah” yang tidak mendapat jatah PMT karena
ketidakhadiran petugas kesehatan.
Setiap kunjungan, ada keluhan yang disampaikan dari para kader
Posyandu mengenai PMT, menurut Informan DN (40 tahun), “Bulan Mei
balita yang datang dan ditimbang hanya mendapatkan dua lempeng
biskuit sedangkan di Posyandu lain, di desa lain mendapatkan 1 sampai 2
bungkus PMT “. Menurut tenaga kesehatan yang hadir, Informan BK (30
tahun),“PMT satu sampai dua bungkus diberikan khusus untuk bayi, balita
yang gizi kurang dan gizi buruk saja”.
Pada tahun 2013 menurut Raijua dalam angka tahun 2014,
jumlah balita yang di imunisasi berdasarkan kategori jenisnya, untuk
Desa Kolorae tertera angka nol Tahun 2015 sampai dengan bulan Mei,
jumlah anak yang tercatat pada 5 register Posyandu sebanyak 199 balita.

Tabel 4.4
Cakupan Jumlah Balita yang di imunisasi di Desa Kolorae Tahun 2015
imunisasi Januari Februari Maret April
HB 0 0 3 2 0
HB 2 0 4 2 5
HB 3 2 0 5 3
BCG 0 6 2 0
Campak 1 2 1 0
Polio 1 0 6 7 1
Polio 2 4 1 4 1
Polio 3 1 3 4 5
Sumber :Laporan Puskesmas Ledeunu tahun 2015.

198
4.3.1. Studi Kasus Gizi Buruk “Balita yang tidak mempunyai KMS”
Berbekal informasi dari kader Posyandu Ma’ri di dusun 5
menunjukkan adanya balita gizi buruk yang sudah lama tidak
mengunjungi Posyandu, meskipun sudah ada tanggal pasti yang telah
ditetapkan setiap bulannya.Jarak lokasi rumah informan ME (30
tahun) cukup dekat sehingga memudahkan peneliti untuk ke lokasi.
Suasana rumah tampak ramai, karena bertepatan dengan
jadwal makan siang semua anggota keluarga dalam rumah daun
berbentuk panggung yang berukuran kira-kira 8x8 meter persegi.
Informan ME memiliki dua orang anak, yang sulung berumur 3,5
tahun dan yang bungsu berumur dua tahun. Si Bungsu tampak tidak
bersemangat, kulit putih, matanya bulat dan cekung.Ia nampak selalu
berdekatan dengan ibunda. Ibu ME merupakan ibu rumah tangga
dengan berat badan yang tidak pernah melebihi 35 kg dan jika hamil
hanya mencapai 40 saja.
Hari Posyandu dijadwalkan tanggal 11, namun karena kesibukan
orang tua maka lupa akan waktu penimbangan. Ibu ME (30 tahun)
bersedia untuk diwawancarai.

199
“Saya dulu rajin sekali bawa si bungsu ke Posyandu untuk
timbang, kader Posyandu bilang anak saya ini gizi buruk,
lihat saja badannya kurus begini. Tiap hari Posyandu saya
bawa di timbang terus, anak ini tidak pernah dapat
bantuan, di Posyandu lain saja dapat, mereka bilang lapor
di Puskesmas di Kecamatan sana baru dapat susu dan
biskuit, tapi saya tidak pergi karena jauh dan tidak ada
kendaraan, saya sudah malu bawa si bungsu ke
Posyandu, katanya, anak saya gizi buruk terus, makanya
tadi saya sembunyi tidak mau ke Posyandu, hanya
timbang-timbang terus saja, tidak ada kasih apa-apa.
Imunisasi juga hanya dua kali karena kasian dia panas
kalau habis diimunisasi, jika petugas datang mengunjungi
sehabis Posyandu, saya sengaja (menghindar) tidak ada
di rumah”.
Pada buku register Posyandu “Ma’ri”, nama Si Bungsu tercantum
sebagai balita gizi buruk. Tidak ada kartu menuju sehat (KMS) miliknya
karena selama ibunya hamil dan bersalin tidak pernah memeriksa
kehamilan di Posyandu dan tenaga kesehatan di Pustu maupun
Puskesmas. Larangan pemberian KMS dan buku KIA diterapkan oleh
pihak PuskesmasLedeunu sebagai sanksi bagi para ibu hamil, ibu bayi
dan balita agar memeriksakan kesehatannya.

Gambar 4.14
Balita Gizi Buruk yang Tidak Mempunyai KMS

200
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Meskipun hubungan ibu ME (30 tahun) dan para kader baik namun ia
tidak pernah diinformasikan kelanjutan perkembangan anak. Semua kader
di 5 Posyandu tidak mengetahui akibat gizi kurang ataupun gizi buruk
ketika ditanyakan.DM (51 tahun), ketua Posyandu “Nao Nyiu”menyatakan,
“Tidak pernah ada informasi tentang gizi kurang dan
buruk, yang penting sudah tahu hasilnya nanti mereka
(tenaga kesehatan) yang lihat sendiri, kami di sini sudah
timbang, ukur tingggi badan dengan berat badan dilihat
umur dan jenis kelamin terus catat lagi, status anak gizi
kurang atau buruk yang kami tahu akan dapat bantuan
biskuit”
Di dalam lemari ruang pemeriksaan ibu hamil terdapat buku
panduan kader sebagai bahan informasi penyuluhan kepada para
pengunjung Posyandu, namun buku-buku tersebut diletakkan di
antara tumpukan buku-buku lain.Menurut ketua PosyanduDeme DL
(46 tahun), “Kami sudah sibuk kalau mereka sudah datang, sibuk catat
register hasil timbang, lihat status gizinya dipanduan”.
Tabel 4.5

201
Dua Ibu bayi balita gizi buruk tidak berada di rumah karena
sedang sibuk panen sorgum saat ditemui. Semua balita di asuh oleh
ayah, balita sering menangis ketika ibunya tidak ada di tempat. Bayi
mendapatkan perhatian dari saudara laki-laki dan nenek yang
mengasuh. Informan MJT (31 tahun), “Kasih makan bubur, nenek tadi
baru peras susu kambing, baru coba-coba kasi susu kambing - susu
campur gula Sabu dan air mentah dalam botol”

Gambar 4.15
Bayi Gizi Buruk yang Sedang Mengkonsumsi Susu Kambing
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
JT adalah nama bayi berusia 5 bulan, neneknya ST (64 tahun)
mengatakan bahwa JT sering mengalami sakit diduga karena serangan
roh jahat “Pana Kai”. JT juga belum pernah imunisasi, tidak
mendapatkan makanan pendamping air susu ibu (MPASI) karena
tenaga kesehatan tidak hadir pada bulan Mei 2015. Satu orang balita
gizi buruk di Posyandu Ma’ri (dusun 4) dan 2 orang di Posyandu Surya
Indah tidak mempunyai kartu menuju sehat (KMS) karena ibunya
sewaktu hamil tidak pernah memeriksa kesehatan di tenaga
kesehatan atau di Pustu sehingga tidak mendapat buku KIA.
Ibu ME (30 tahun) tidak pernah diimunisasi semasa hamil.
Anak bungsunya yang berstatus gizi buruk sudah diberikan perasan
daun lombok dan air gula Sabu, semenjak umur 0-5 hari karena ASI ibu
belum keluar. Anak sering sakit dan jarang dibawa untuk ditimbang
karena tidak pernah dibantu MPASI. Ibu ME (30 tahun)
menghindar/sembunyi saat hari Posyandu karena sering dibilang anak

202
gizi buruk. Pada bulan Mei 2015, ia datang menimbang di Posyandu
dan mendapat MPASI berupa dua bungkus biskuit susu.
Untuk tiga orang anak kategori gizi kurang, ketiga ibunya
mempermasalahkan faktor pengukuran baru yang diterapkan dari
Posyandu setempat yaitu tinggi badan.
Menurut DL (46 tahun) selaku ketua Posyandu Deme,
“Kalau umur bertambah pasti tinggi badan juga
bertambah, tetapi status gizi (pola makan atau makanan
bergizi) sebenarnya kurang, mereka lihat panjang badan
saja, padahal mereka tidak lihat badan anak kurus begini
(anak tinggi tetapi badannya kurus)”.
Penduduk menganggap gizi buruk disebabkan anak sering sakit
sehingga tidak mau makan. Ada juga yang menganggap bahwa gizi
buruk disebabkan anak meminum air susu ibu yang sedang
mengandung. Ibu bayi, balita menyebut air susu ibu yang sedang
hamil sebagai air kuning atau “Ai Hu Lara”. Meminum air susu ini bisa
menyebabkan anak sakit bahkan juga meninggal. Hal ini terjadi pada
bayi bernama IR, balita berusia 14 bulan tersebut merupakan anak
terakhir dari enam bersaudara. Ibu IR berusia 30 tahun dan menikah
ketika masih berusia 16 tahun. Kakak tertua IR sudah duduk di kelas 1
SMP. Anak kedua kelas empat Sekolah Dasar. Anak ketiga, keempat
dan kelima dititipkan ke kakek dan nenek dari ibu. Ketika IR berusia
tiga bulan ibu IR hamil lagi, namun ia tidak menyadari kalau dirinya
hamil hingga dirinya mengalami keguguran ketika kehamilan berusia
empat bulan.

Gambar 4.16
Balita Gizi Buruk yang diduga
Keluarga Akibat Pana Kai
Sumber : Dokumentasi
Peneliti, 2015

203
Orang tua IR percaya bahwa anaknya sakit karena meminum
air susu kuning yang dihasilkan oleh ibunya yang mengandung. Orang
tua percaya bahwa anaknya terkena “Pana Kai” sewaktu bayi tersebut
berumur dua bulan lebih.Bayi tersebut mulai demam, batuk, pilek dan
dada membusung. Sewaktu bayi, anak tersebut merupakan bayi yang
sehat, lahir dengan berat badan 3,1 kilo gram namun sekarang walau
sudah berumur 1 tahun 2 bulan namun berat badan hanya 5,8 kilo
gram. Batita (balita tiga tahun) perempuan ini sempat diberi ASI
selama satu tahun kemudian mulai makan bubur instan pada usia
enam bulan. Ibu IR (SNB, 38 tahun), “Masih kecil berbodi sekali, tapi
sejak terkena “Pana Kai” badan menyusut”.
Pandangan orang tua anak yang tinggal berdekatan dengan
tempat-tempat keramat mempercayai bahwa gizi buruk karena anak
dipegang orang yang “Pana Kai” atau tangan panas.Tentang “Pana
kai”, para informan menyebut orang tersebut tidak mengetahui
bahwa tangannya mempunyai kekuatan yang diwariskan oleh leluhur
sehingga jika memegang anak kecil atau dewasa bisa menyebabkan
sakit. Istilah penyakit seperti ini disebut “Nai”.
Situasi ini terjadi ketika bayi digendong oleh seseorang yang
mempunyai “Pana Kai”. Orang tua sulit menolak jika ada orang lain
yang ingin menggendong bayinya. Para orang tua tidak dapat
mendeteksi orang yang memiliki ilmu “Pana kai”.Untuk mengetahui
penyebab penyakit anak biasanya dibawa ke tukang urut. Tukang urut
dapat mengetahui bahwa bayi tersebut terkena “Pana Kai” atau hal
lain pada saat meraba tubuh bayi terasa panas.
Menurut ayah IR, (KN, 45 tahun) sulit untuk mengobati bayi
yang terkena “Pana Kai”, biasanya pengobatan hanya di urut
saja.Belum ditemukan ramuan tradisional untuk mengobati “Pana
Kai”. Penyakit ini bisa sembuh sendiri namun pertumbuhan anak tidak
berkembang dengan baik. Sebab lain yang dipercayai orang tua IR
ketika berusia tiga bulan, membantu panen sorgum di lahan yang
dianggap keramat. Hal ini disinyalir menjadi penyebab sakitnya IR.
Informan KN (45 tahun), “Kita tidak sengaja menginjak atau

204
mengambil barang dari tempat yang keramat maka diri kita, anak,
istri, keluarga atau saudara bisa terkena sakit”. Gejala sakit bisa hanya
berupa demam namun makin lama makin parah. Sakit ini terjadi
akibat roh diikat oleh setan atau yang disebut “Akila Wango”. Ikatan
ini tidak bisa dilihat secara kasat mata namun tukang urut yang
mengobati bisa melihat dan merasakan saat diurut terasa ada tali
yang mengikat di badan. Tukang urut mengetahui bagian-bagian yang
diikat setan dan kadar keparahan ikatan.
Penyakit diikat setan ini juga dapat diturunkan sampai tujuh
turunan jika generasi sebelumnya belum minta maaf dan
melaksanakan persyaratan yang dimaksud. Jika orang yang sakit telah
beragama kristen maka ia dapat melakukan ritual “doa pelepasan”.
Tim doa dapat mengetahui keberadaan tali. Kesembuhan akan
bergantung pada kesungguhan dari orang sakit untuk menyerahkan
diri pada Tuhan agar bisa sembuh. Akan tetapi jika tim doa dengan
cara Kristen tidak berhasil, biasanya keluarga akan meminta bantuan
dengan cara “Jingitiu” dengan persyaratan di atas. Sebaliknya jika
cara“Jingitiu” tidak berhasil maka “Jingitiu” juga meminta bantuan tim
doa secara Kristen. Jika persyaratan sudah dilakukan dan orang yang
sakit meninggal maka kematian dan generasi selanjutnya dianggap
wajar, bukan lagi karena diikat setan.
Selain kepercayaan supranatural mengenai sebab terjadinya
gizi buruk, penyebab gizi buruk juga dapat disebabkan oleh faktor
lingkungan dan gaya pengasuhan. Kedua orang tua IR adalah petani
rumput laut yang sehari-harinya mempunyai kesibukan ke laut. Dari
enam anak yang dilahirkan tiga sudah dititipkan kepada kakek nenek
karena repot mengurus. IR sendiri sebagai anak terakhir sering
ditinggalkan dan dijaga oleh kakaknya. Keadaan ini menyebabkan
perawatan dan kebutuhan makan anak kurang mendapat perhatian.
Sekarang ini IR sudah makan dengan lancar, setiap pagi ia makan
bubur nasi tanpa ditambahkan apapun. Untuk siang dan malam
makan nasi. Hanya saja untuk memenuhi kebutuhan akan sayur
ataupun ikan masih sangat bergantung pada musim.

205
Ketergantungan pada kesediaan pangan terhadap musim terjadi
hampir pada semua penduduk Desa Kolorae.Sangat sulit untuk
memperoleh sayur-mayur karena ketersediaan air yang kurang untuk
menanam sayuran.Sayur ditanam sebagai pekerjaan sambilan karena
penduduk sibuk dengan bertani rumput laut.Sayur baru ditanam jika sudah
selesai menanam sorgum, kacang hijau dan tanaman ladang lainnya.
4.3.2. ASI Ekslusif “Air gula Sabu menjelma sebagai pendamping ASI”
Menurut buku panduan kader posyandu, menuju keluarga
sadar gizi, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011,
makanan terbaik untuk bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan adalah
Air Susu Ibu (ASI). Menyusui secara ekslusif berarti bayi hanya di beri
ASI, tidak di berikan tambahan makanan atau cairan lain. Penyuluhan
sudah dilakukan oleh para kader Posyandu. ASI yang baik menurut
para kader adalah sampai 1,5 tahun. Bagi para ibu bayi yang menyusui
mengerti hal tersebut dengan tetap memberikan ASI seperti yang
dianjurkan tetapi seringkali yang tidak mengerti memberikan
makanan lain kepada si buah hati. Bayi sejak baru lahir biasa diberikan
air gula Sabu. Menurut para informan, mereka sudah terbiasa karena
diajarkan oleh orang tua dan Banni Deo sebelumnya. Air susu ibu dan
air gula Sabu diberikan secara bergantian, tergantung kemauan dan
kesibukan ibu di rumah.

Gambar 4.17
Ibu Menyusui ASI dan Air Gula Sabu yang Diberikan Kepada Bayi
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.

206
Semua informan ibu bayi, balita mengatakan bahwa ASI adalah
wajib diberikan oleh ibu. Para ibu bayi belum memahami pengertian
ASI Ekslusif dengan baik sehingga dalam pelaksanaannya menjadi
sering diselingi makanan lain. Dalam pemikiran ibu bayi, air gula juga
berguna buat bayi karena rasa manisnya membuat bayi suka apalagi
saat ibu yang belum ada air susu sesaat selesai bersalin. Rata-rata
informan ibu bayi mengatakan bahwa setelah empat hari saat selesai
melahirkan air susu belum keluar sehingga para bayi diberikan air gula
Sabu sebagai pengganti ASI. Sudah menjadi tradisi setempat sejak
anak bayi mengkonsumsi air gula Sabu sehingga anak-anak balita
ketika mau tidurpun harus meminumnya.

Gambar 4.18
Konsumsi Air Gula Sabu oleh Balita
Sumber : Dokumentasi penelitian, 2015
Air gula Sabu memiliki rasa yang manis. Saat mengkonsumsi
dalam jumlah yang banyak dapat menahan rasa lapar yang cukup
lama. Kebiasaan inilah yang membuat masyarakat menjadikan
minuman tersebut menjadi ciri khas dan pengganti makanan
penduduk Desa Kolorae. Setiap bayi yang lahir di Pulau Raijua,
beberapa jam setelah dilahirkan maka orang tua segera memberikan
air gula Sabu. Mereka beranggapan gula Sabu yang diminumkan
bermanfaat buat kesehatan dan mencegah perut bayi menjadi sakit.
Air gula Sabu juga dianggap bermanfaat untuk membersihkan perut
dari kotoran bayi yang masih hitam ketika ia baru lahir.

207
Penduduk beranggapan bahwa air gula Sabu sangat cocok
untuk bayi dan terus diberikan berdampingan dengan ASI. Para ibu
balita juga merasa kasihan pada bayi yang baru lahir jika harus
menunggu air susu ibu keluar. Menurut ibu ME (30 tahun), “Sudah
diberi ASI, tapi anak masih sering menangis, lapar itu kalau belum
diberi air gula Sabu”. Rata-rata para ibu balita di Desa Kolorae selalu
memberikan minuman gula Sabu sehari tiga kali kepada anak.
Terdapat juga bayi yang berhenti meminum ASI sebelum berusia
enam bulan karena lebih menyukai air gula Sabu ataupun terlanjur
meminum susu formula.

Gambar 4.19
Air Gula Sabu sebagai Minuman Pendamping ASI
Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
4.3.3. Pola Asuh Anak
Didesa Kolorae pola pemukiman mengikuti tempat keluarga
suami, maka kebanyakan penduduk hidup berkelompok dalam
pemukiman yang berisi keluarga satu marga. Interaksi antar keluarga
sangat erat sehingga anak tidak hanya diasuh oleh keluarga inti
namun sering juga diasuh oleh keluarga besar yang tinggal
berdekatan.
Kebanyakan orang tua disibukkan dengan kegiatan mencari
nafkah, yaitu menanam rumput laut di pantai. Anak terkadang harus
tinggal sendiri di rumah tanpa pengawasan karena orang tua sudah sejak
pagi pergi ke laut. Balita bermain dengan pengawasan yang minim dari
orang tua. Jika ibu sibuk bekerja maka bayi diasuh oleh anak yang lebih
besar atau dititipkan kepada saudara yang tinggal berdekatan. Ada juga
anak-anak yang dititipkan dan tinggal bersama kakek-nenek.

208
Pola pengasuhan orang tua yang mengajarkan pola hidup
sehat kepada anak masih minim. Orang tua mengajarkan anak balita
untuk latihan membuang air kecil atau air besar namun tidak selalu di
tempat yang semestinya. Untuk keluarga yang tidak mempunyai WC,
anak umur batita sudah tahu kalau ingin buang air kecil ataupun
buang air besar harus menjauh dari rumah. Akan tetapi untuk
keluarga yang sudah mempunyai WC, penggunaan WC untuk melatih
anak buang air belum konsisten. Orang tua tidak selalu meminta anak
untuk membuang hajat di WC. Salah satu alasan adalah merasa tidak
praktis karena anak harus benar-benar diawasi ketika berada di WC.
Anak perempuan yang sudah duduk dikelas empat SD diberi
tanggung jawab untuk membantu pekerjaan di rumah seperti
menyapu halaman dan mengangkut air. Orang tua membebaskan
anak laki-laki untuk bermain tanpa batasan waktu yang jelas. Dalam
pengasuhan orang tua tidak mengutarakan apa yang menjadi perilaku
yang diharapkan oleh orang tua, namun jika anak melanggar dan
perilaku tidak sesuai dengan yang diharapkan maka orang tua akan
memberi peringatan dengan menghitung satu sampai tiga. Orang tua
tidak menetapkan aturan pada anak di rumah sehingga terbawa ke
sekolah. Anak sulit untuk mengikuti peraturan sekolah sehingga sulit
diarahkan oleh guru.
Dari pihak sekolah, guru merasakan keterlibatan orang tua
pada proses pendidikan anak tergolong kurang. Tugas guru menjadi
lebih berat karena proses belajar menjadi tanggung jawab guru
sepenuhnya. Informan PM sebagai guru Matematika Sekolah Dasar
Loko Juli (46 tahun) memberi keterangan,
“Di sini orang tua biarkan anak belajar sendiri, tidak ada
belajar di rumah, sehingga kita sebagai guru di sekolah
sulit, harus mulai dari nol lagi, di rumah juga selalu bicara
memakai bahasa Sabu sehingga kita mengajar dengan
bahasa Indonesia kadang-kadang mereka tidak paham
maksudnya, apalagi orang tua yang kerja rumput laut, itu
pasti tidak akan mengawas anak belajar, alternatifnya ya

209
kalau sudah mendekati Ujian Nasional begini kami harus
mengumpulkan mereka, tidur di sekolah supaya kami
bimbing belajar bersama”.
Guru menilai kesiapan siswa kelas satu untuk belajar sangat
rendah. Terdapat siswa yang datang ke sekolah tidak membawa alat
tulis atau tidak mandi. Siswa dibiarkan oleh orang tua untuk pergi ke
sekolah tanpa alas kaki walaupun siswa berjalan jauh ke sekolah.
Menurut guru kelas 1 SD Loko Juli, siswa bertelanjang kaki bukan
karena siswa tidak mempunyai sepatu, melainkan malas memakai
sepatu karena tidak terbiasa.PM (46 tahun), “Waktu itu ada
pembagian sepatu, tapi mereka tidak pakai karena malas atau belum
muat, padahal mereka berjalan jauh tapi tidak kepanasan”.
4.3.4. Nilai Anak di Mata Masyarakat Kolorae
Orang Sabu di desa Kolorae tidak terbiasa dengan Keluarga
berencana dan tindakan menggugurkan kandungan. Mereka selalu
menyambut baik kehadiran anggota baru dalam keluarga sehingga tidak
ada yang menggugurkan kandungan ataupun membuang anak.
Masyarakat merasa berbeda dengan budaya dari luar yang menjadi
tontonan mereka di televisi. Mereka sulit memahami jika siaran berita
televisi memberitakan bayi dibuang sehabis dilahirkan. Begitu pula
dengan kejadian perempuan yang diusir dari rumah oleh keluarganya
karena hamil. Informan PM (28 tahun) menanyakan, “Itu benar di Jawa
ada yang hamil diusir dari rumah, terus anaknya dibuang, kasihan sekali
itu bayi, coba dibawa ke Raijua sini pasti ada yang mau rawat”.
Nilai Anak di mata masyarakat Kolorae sangat berharga
sehingga pernyataan tentang anak pun disebutkan dalam perjanjian
nikah adat. Menurut keterangan Kepala Desa Ballu BO (35 tahun),
“Kalau orang yang masih menganut Jingitiu salah satu
janji yang disebutkan sewaktu dihadapkan adalah dalam
satu tahun perkawinan jika istri belum bisa memberikan
anak kepada suami maka suami dapat menceraikan istri
dan tentu saja dengan membayar denda …”.

210
Keberadaan anak di tengah-tengah keluarga menjadi
kebanggaan. Anak menjadi penerus keturunan marga dan dapat
mengolah serta menjaga harta warisan keluarga secara turun temurun.
Dikemudian hari anak juga yang mengurus dan menjaga orang tua.
Diakhir pembicaraan dengan Kepala Desa Kolorae DKK (49 tahun),
mengatakan bahwa “Nanti anak-anak ini besar, mereka bisa cerita
tentang kita dan kita juga bangga karena mereka akan mengingatnya
dalam setiap perayaan acara adat Bui’ ihi, Pehere Jara dan lendo”.
Penduduk desa beranggapan bahwa semakin banyak
keturunan semakin baik. Rata-rata anak dalam satu kepala rumah
tangga mempunyai anak lima orang. Sebagian kecil keluarga yang
ditemui mempunyai anak sampai delapan orang. Tidak ada rasa
kekhawatiran bagaimana harus menafkahi anak-anak yang banyak
walau keluarga hidup sederhana.
Jika keluarga tidak mampu maka ia akan meminta bantuan dari
keluarga yang lain untuk merawat anaknya. Bisa dikatakan anggota
keluarga yang dititipkan tidak lebih mampu dari keluarga sendiri.
Tetapi mereka sangat terbuka untuk saling menolong satu sama lain.
Anak dapat diasuh dan tinggal bersama keluarga lain dengan mudah
namun status anak tetap menjadi anak orang tua kandung. Anak juga
mengetahui siapa orang tua kandungnya karena diberitahu. Ada anak
yang dititipkan ketika masih bayi ataupun ketika sudah besar.
Tidak nampak ada kekhawatiran bagi pasangan keluarga yang
tidak mempunyai anak karena mereka dapat merawat anak
saudaranya. Dalam kompleks keluarga, penduduk mempunyai
interaksi yang erat dengan anggota saudara satu sama lain sehingga
menanggap anak saudara-saudara mereka juga merupakan anak
sendiri. Pasangan yang tidak mempunyai anak tidak khawatir akan
masa depan mereka di masa tua karena annggota keluarga besar akan
saling menopang satu sama lain. Menurut informan PM (28 tahun),
“Orang tua di sini dapat makan di mana saja, pergi ke saudara satu
dan pergi ke saudara yang lain”.

211
BAB V
PENUTUP

5.1. Simpulan
Dari paparan bab-bab sebelumnya dapat diketahui gambaran
budaya yang dimiliki oleh masyarakat Sabu di Pulau Raijua khususnya di
Desa Kolorae. Dapat disimpulkan bahwa adat istiadat masih dipegang
kuat oleh sebagian besar masyarakat Desa Kolorae. Hampir semua
kegiatan masyarakat di Desa Kolorae bermuara kepada kepercayaan dan
penghormatan masyarakat terhadap leluhur. Penghormatan terhadap
nenek moyang merupakan pusat kehidupan masyarakat sehingga ritual
adat secara rutin dijalankan dengan tuntunan ketua adat setempat. Hal
ini tidak saja berlaku untuk masyarakat yang masih memegang teguh
kepercayaan lokal “Jingitiu” tetapi juga berlaku untuk masyarakat yang
telah memeluk agama resmi pemerintah.
Selain kepercayaan yang kuat terhadap leluhur, unsur budaya yang
juga menonjol dalam kehidupan orang Sabu di Desa Kolorae adalah
sistem kekerabatan yang erat. Kuatnya nilai kebersamaan dan gotong
royong tercermin dalam menjalankan ritual adat yang melibatkan
keluarga besar. Anggota keluarga merasakan saling membutuhkan
dan ketergantungan satu sama lain di keluarga besar. Norma sosial
yang berlaku untuk saling membantu dan gotong royong
mengarahkan perilaku anggota keluarga untuk saling membantu
sehingga terjadi timbal balik di kesempatan lain.
Masyarakat Sabu di Desa Kolorae merupakan masyarakat yang
terbuka terhadap orang baru. Pendatang yang bersedia memahami
kepercayaan dan adat istiadat masyarakat setempat dapat diterima
dengan mudah oleh masyarakat setempat dan dianggap sebagai
bagian dari keluarga besar. Dalam setiap keluarga besar terdapat
orang yang dituakan yang dinamakan “Ama”. Ama mempunyai peran
yang penting sebagai orang yang memberikan petunjuk dan arahan
dalam keluarga. Ia juga menjadi pembuat keputusan dalam persoalan
keluarga besar dan adat. Pembuatan keputusan bersifat vertikal
sehingga keputusan dari orang yang dituakan berlaku untuk seluruh
keluarga. Sistem kekerabatan yang menempatkan “Ama” sebagai
orang yang dituakan membuat anggota keluarga mematuhi pedoman

212
dan saran yang disampaikan oleh “Ama”. Adanya kekerabatan yang
kuat dan keterbukaan dari masyarakat Kolorae merupakan peluang
bagi tenaga kesehatan untuk mengembangkan kerja sama dengan
masyarakat setempat.Tenaga kesehatan dapat mengembangkan
kerjasama melalui bantuan“Ama” dari masing-masing keluarga besar.
Pada dasarnya masyarakat Desa Kolorae sudah terbuka terhadap
pengobatan medis. Hal ini terlihat dari tindakan masyarakat yang
menjadikan pengobatan yang dibantu oleh tenaga medis dan
paramedis di Pustu setempat sebagai salah satu pilihan pengobatan.
Hal ini berlaku hampir di segala lapisan, baik generasi muda maupun
generasi tua yang terlihat aktif di Posyandu Lansia maupun kegiatan
pembersihan lingkungan di sekitar Pustu Kolorae.
Penyakit menular seperti malaria, diare serta ISPA masih
menduduki urutan teratas sebagai penyakit yang diderita masyarakat
setempat. Keterbatasan sarana sanitasi, tempat dan pengolahan
sampah keluarga maupun umum merupakan salah satu faktor sulitnya
tercapainya perilaku hidup bersih dan sehat.
Adapun penyakit tidak menular yang banyak ditemukan adalah
penyakit myalgia atau “tatikam”. Masih terdapat anggapan bahwa
penyakit ini terjadi akibat bekerja terlalu keras dan pelanggaran adat.
Terdapat beberapa kasus gangguan jiwa yang juga dipercaya oleh
masyarakat akibat pelanggaran adat dan juga tekanan dari lingkungan.
Pengetahuan masyarakat mengenai pola hidup bersih dan sehat
(PHBS) tergolong masih minim. Kurangnya ketersediaan informasi
kesehatan yang berasal dari berbagai sumber berupa buku, koran dan
akses internet menjadi salah satu faktor penghambat. Kemampuan
membaca dan menulis masyarakat yang kurang memadai menyebabkan
pemanfaatan sumber informasi tertulis seperti poster, buku panduan di
Posyandu kurang maksimal sehingga sumber informasi utama mengenai
pola hidup sehat hanya berasal dari tenaga kesehatan.
Ditemukan partisipasi kaum ibu yang rendah untuk melahirkan ke
fasilitas kesehatan, juga rendahnya keberhasilan pemberian ASI
ekslusif di Desa Kolorae. Selain faktor geografis seperti jarak yang jauh
dan jalan yang rusak, terdapat faktor psikologis dan budaya yang
menghambat ibu untuk melahirkan di fasilitas kesehatan. Faktor
budaya tersebut berupa tradisi yang harus keluarga jalankan setelah

213
ibu bersalin, yaitu pemberian perasan air daun Lombok atau disebut
“Ro’ Hili” dan pemberian air gula Sabu kepada bayi yang baru saja
dilahirkan. Terdapat ritual adat menggantung “Ari-ari” dan memasak
bubur untuk pemberian nama bayi, serta pemberian “tahi kerbau”
untuk mengeringkan tali pusar bayi.
Sedangkan faktor sosial dan psikologis yang menghambat ibu
untuk melahirkan di fasilitas kesehatan adalah proses persalinan yang
membutuhkan dukungan keluarga besar. Faktor bahasa ditemukan
menjadi salah salah satu faktor penghambat terbinanya hubungan
yang dekat antara ibu dengan tenaga kesehatan sehingga lebih
memilih dukun bayi atau Banni Deo.
5.2. Rekomendasi
Agar suatu program kesehatan masyarakat dapat berjalan
dengan baik, diperlukan tenaga kesehatan yang mempunyai
kemampuan budaya (cultural competence), yaitu kemampuan untuk
mempelajari dan memahami budaya, termasuk kepercayaan setempat
yang berbeda dari tempatnya berasal. Dengan kemampuan tersebut,
pemahaman mengenai budaya dan tradisi yang dijalankan oleh
penduduk setempat dapat terbangun.
Terciptanya pemahaman budaya memudahkan terbentuknya
kerjasama antara masyarakat dengan tenaga kesehatan. Tenaga
kesehatan dapat memberikan pengetahuan kesehatan berdasarkan
konsep dan sudut pandang yang telah dimiliki penduduk setempat.
Diperlukan penguasaan bahasa setempat oleh tenaga kesehatan
untuk memudahkan komunikasi dan interaksi.
Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan berkaitan dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi masyarakat setempat adalah:
1. Mengingat eratnya sistem kekerabatan pada suku Sabu yang
berpengaruh pada penyelesaian masalah dan pembuatan
keputusan. Pendekatan secara kekeluargaan mutlak diperlukan
dengan melibatkan orang yang dituakan dalam keluarga yang
disebut “Ama”. “Ama” dapat berperan dalam mempengaruhi
keputusan keluarga untuk melakukan pola hidup sehat dan bersih,
terutama persalinan di fasilitas kesehatan.
2. Berkaitan dengan hambatan pemahaman budaya dan bahasa yang
dialami oleh tenaga kesehatan dengan masyarakat setempat.

214
“Program Orientasi Kerja” dapat dilakukan untuk tenaga
kesehatan yang ditempatkan di Desa setempat. Hal ini dilakukan
dengan tujuan agar petugas kesehatan mendapatkan berbagai
informasi mengenai gambaran keadaan desa, budaya, bahasa
daerah dan karakteristik masyarakat setempat. Pengetahuan ini
dapat membantu tenaga kesehatan dalam beradaptasi dalam
lingkungan dan masyarakat yang akan dihadapi.
3. Pengetahuan kesehatan masyarakat yang minim akibat kurangnya
informasi menjadi penyebab terhambatnya Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS). Diperlukan pendidikan kesehatan melalui
program-program penyuluhan yang bersifat informal melalui
kegiatan-kegiatan yang berbasis masyarakat. Misalnya penyuluhan
informal yang melibatkan orang yang dituakan, tokoh adat dan
tokoh masyarakat setempat. Penyuluhan dapat dilakukan pada
saat musyawarah desa, acara adat maupun kunjungan rumah
(home visit) yang dilakukan secara berkala oleh tenaga kesehatan.
4. Program edukasi dapat dilaksanakan untuk masyarakat dan
penolong persalinan (Banni Deo). Program edukasi dapat
menitikberatkan pada pengenalan PHBS. Terutama edukasi
mengenai faktor resiko melahirkan di rumah dengan
menggunakan alat yang tidak steril, pemberian Ro’Hili dan air gula
Sabu serta penggunaan Tahi Kerbau untuk merawat tali pusat bayi
baru lahir.
5. Kerjasama antara pihak puskesmas setempat dengan pihak
sekolah dapat terus ditingkatkan untuk melakukan promosi PHBS
melalui program-program di sekolah.

215
DAFTAR PUSTAKA

Angkasawati, Tri Juni. Protokol Penelitian Riet Khusus Budaya


Kesehatan 2014. Surabaya: KementErian Kesehatan Republik
Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan kesehatan.
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sabu Raijua. Sabu Raijua Dalam
Angka 2012
Badan Pusat Statistik Kecamatan Raijua. Raijua Dalam Angka 2014
Dinas Kesehatan kabupaten Sabu Raijua. Profil Kesehatan Kabupaten
Sabu Raijua 2013
Foster, George M. & Anderson Barbara G. (2006). Antropologi
Kesehatan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Fox, James J. 1996. Panen Lontar: Perubahan Ekologi dalam
Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
GT, Miller. 1975. Living in The Environment Concept, Problem, and
Alternatives. California: Wodsworth Publishing Company.
Hutapea, Alber. M. 1993. Menuju Gaya Hidup Sehat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kagiya, Akiko. 2010. Female Culture in Raijua: Ikats and Everlasting
Witch-Worship in Eastern Indonesia.Tokyo: Japan Publication,
Inc.
Kaho, Robert Riwu. (2005). Orang Sabu dan Budayanya. Yogyakarta:
Jogja global Media.
KementErian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Buku Panduan
Kader Posyandu Keluarga Sadar Gizi.
Mukono, H.J. (2006). Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Edisi
Kedua. Surabaya: Airlangga University Press.
Papalia, Diane., et al. 2004. Human Development 9th Ed. New York:
Mc. Graw Hill.
Poerwandari, K. (2011). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian
Perilaku Manusia edisi ketiga. Jakarta: LPSP3 UI.
Raflizar, dkk. 2012. Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak. “Etnik
Manggarai. Desa Wae Codi, Kecamatan Cibal, Kabupaten

216
Manggarai. Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Pusat Humaniora,
Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan
Penelitian dan Pengembangan kesehatan Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Santrock, John W. (2011). Life-Span Development 13th Ed. Mc Graw
Hill. New York.
Soegijanto, Soegeng. 2005. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan
Infeksi di Indonesia.Jilid 4. Surabaya: Airlangga University Press.
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya.
SUMBER INTERNET

Ismail, A. 2005. Peraturan Daerah Sebagai Payung Hukum


Pemberantasan Minuman Keras. Diunduh 20 Maret 2015.
www.sijunjung.go.id/index2.php.

Maulia, Erwida 2011. Indonesia ranks 124th in 2011 Human


Development Index. Diunduh 3 November 2011 dari
http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/02/indonesia-ranks-
124th-2011-human-development-index.html

Peta wilayah Kabupaten Sabu Raijua diunduh 26 Juni 2015 dari


http://savuraijuatourism.com

Undang-Undang Republik Indonesia nomer 52 tahun 2008 tanggal 26


November 2008. Diunduh 25 Juni 2015 dari
http://www.dpr.go.id/document/uu/UU_2008_52.pdf.

217
INDEKS

Adat 36, 63, 64, 65, 66, 68, 70, 78, 81, 164, 187, 218, 219
Air gula Sabu 183, 213, 233, 235
Aktivitas 17, 89, 92, 102, 107, 129, 130, 136, 142, 146, 181
Anak17, 18, 19, 43, 61, 74, 82, 86, 101, 102, 113, 135, 147, 184, 192,
195, 217, 218, 220, 229, 230, 236, 237, 238, 239, 240
Ari-ari 183, 212, 215, 216, 217, 218, 219, 244

Bahasa 84, 85, 86, 172


Banni Deo152, 183, 195, 198, 199, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207,
208, 209, 214, 216, 234, 245, 247
Bidan 203, 204, 205, 206, 208, 215
Budaya 43, 112
Bui’ihi 54, 63, 66
Bulan 71, 118, 121, 150, 193, 223, 224, 229

Desa Kolorae3, 4, 5, 6, 10, 11, 12, 14, 15, 17, 20, 26, 27, 31, 34, 35, 36,
39, 42, 43, 44, 54, 58, 59, 60, 63, 65, 68, 71, 72, 73, 76, 77, 81, 86,
88, 90, 93, 94, 95, 97, 98, 99, 101, 103, 104, 105, 107, 108, 111, 112,
114, 115, 116, 118, 124, 126, 127, 130, 131, 133, 135, 138, 140, 143,
144, 146, 150, 152, 154, 156, 161, 162, 164, 165, 166, 168, 171, 172,
173, 177, 179, 180, 182, 185, 191, 195, 196, 197, 198, 199, 204, 205,
209, 210, 214, 215, 216, 220, 225, 233, 235, 240, 241, 242, 243, 244
Dokumentasi15, 18, 19, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 33, 37, 42,
46, 49, 51, 52, 53, 55, 56, 58, 64, 65, 66, 67, 68, 70, 71, 79, 80, 89,
90, 91, 92, 94, 97, 99, 102, 103, 108, 111, 113, 115, 117, 120, 123,
126, 127, 128, 130, 136, 137, 139, 141, 143, 144, 147,154, 157, 160,
169, 170, 173, 175, 176, 177, 178, 193, 197, 200, 203, 210, 213, 215,
216, 217, 218, 220, 222, 227, 229, 230, 234, 235, 236

218
Dukun 173, 198, 206, 207
Dusun10, 11, 12, 14, 17, 34, 42, 57, 63, 64, 65, 71, 85, 87, 101, 131,
140, 149, 197, 216

Embung 32, 103, 145

Gizi 225, 227, 229, 230

Hamil 193, 203, 210


Hemoi 134, 178
Hidup 6, 44, 106, 149, 246

Ibu hamil 193, 194, 207, 208, 220


Informan40, 41, 56, 85, 87, 98, 112, 116, 123, 125, 128, 131, 132, 133,
138, 142, 143, 148, 152, 155, 159, 162, 179, 186, 187, 188, 190, 191,
198, 201, 214, 220, 224, 226, 228, 232, 237
Informasi 57, 121, 124, 132, 147, 160

Jingitiu34, 35, 40, 41, 42, 43, 48, 54, 57, 58, 64, 73, 165, 171, 172, 173,
219, 232, 240, 241
Jiwa 61, 144

Kabupaten Sabu Raijua3, 5, 15, 22, 23, 43, 70, 95, 96, 97, 104, 112,
114, 126, 195, 241, 248, 249

219
Kekerabatan 74, 157
Kelahiran 153, 196
Kematian 1, 48, 54, 196
Kepala Desa4, 10, 14, 20, 31, 56, 70, 72, 73, 97, 98, 187, 218, 221, 239,
240
Kepala Puskesmas 100, 195, 198
Kepercayaan 5, 46, 51
Kerogo 63, 64, 75, 76, 173
Kesehatan2, 3, 86, 96, 97, 112, 114, 115, 118, 126, 150, 158, 166, 169,
180, 182, 194, 223, 233, 246, 247, 248
Konsumsi 111, 138, 142, 235

Laki-laki 187, 196


Lingkungan 96, 248
Lokojuli 85, 113

Ma’ri 17, 64, 124, 223, 225, 226, 229


Maja 44, 45, 46, 165, 172, 173
Makanan 55, 56, 111, 138, 139, 141, 179, 219
Malaria 118, 120, 121, 126, 130
Masyarakat4, 13, 18, 21, 65, 66, 71, 72, 73, 81, 94, 96, 102, 105, 146,
153, 162, 167, 182, 184, 191, 199, 203, 238, 242, 248
Menyusui 233, 234
Minuman 106, 108, 117, 139, 236

Namo 21, 27, 28, 32, 33, 156, 189

Obat 122, 129, 131, 134, 153, 161, 178, 179

220
Orang8, 9, 38, 42, 43, 44, 46, 50, 59, 61, 64, 73, 84, 137, 144, 146, 171,
172, 174, 211, 216, 231, 236, 237, 238, 239, 248

Pasien68, 86, 87, 117, 120, 121, 145, 164, 175, 176, 177, 181, 207
Pekerjaan 90, 91, 92, 102, 135, 136, 156
Pelayanan 180, 182, 220
Pemukiman 35, 36
Penderita 121, 133, 135, 146, 147, 169, 170
Penduduk20, 26, 29, 30, 31, 33, 34, 35, 42, 44, 45, 48, 69, 77, 88, 89,
90, 91, 95, 101, 117, 162, 211, 230, 235, 239
Pengetahuan 123, 128, 162, 185, 246
Pengobatan 4, 134, 161, 171
Penyakit114, 116, 118, 119, 126, 133, 143, 155, 162, 163, 164, 166,
232, 243
Perempuan 76, 152, 192, 196
Perilaku 4, 113, 129, 161, 246
Persalinan 2, 194, 196, 203, 204, 205, 207, 209
Petani 89, 90, 137
Pohon lontar 91, 137
Posyandu87, 116, 124, 131, 150, 158, 161, 183, 196, 198, 199, 200,
202, 203, 204, 208, 215, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228,
229, 233, 243, 244
Pulau Raijua2, 3, 8, 9, 10, 12, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 24, 25, 27, 28,
31, 32, 33, 34, 35, 38, 44, 45, 46, 47, 48, 57, 60, 66, 84, 89, 93, 104,
114, 115, 119, 126, 130, 138, 144, 145, 148, 156, 157, 160, 165, 166,
171, 172, 173, 180, 188, 195, 198, 199, 221, 235, 241
Puskesmas3, 21, 25, 27, 57, 97, 105, 114, 115, 118, 120, 121, 122, 124,
125, 126, 130, 131, 132, 134, 135, 145, 146, 147, 149, 158, 163, 166,
169, 170, 180, 182, 185, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 204,
205, 209, 214, 215, 220, 222, 224, 225, 226, 227
Pustu86, 99, 100, 115, 116, 117, 118, 120, 129, 131, 132, 134, 135,
161, 162, 164, 165, 168, 169, 180, 181, 182, 183, 195, 197, 198, 199,
202, 203, 204, 205, 206, 207, 215, 220, 227, 229, 242

221
R

Ramuan 117, 170, 179, 212


Ritual 45, 64, 175, 177
Ruangan 97, 174, 197
Rumah17, 25, 36, 38, 39, 40, 41, 46, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 84, 99, 108,
124, 126, 127, 141, 145, 155, 158, 179, 187, 203, 210

Sakit 25, 133, 145, 155, 158, 162, 163, 164, 166, 175, 177, 232
Sehat 3, 111, 149, 155, 246
Sekolah16, 17, 18, 19, 86, 87, 103, 113, 114, 121, 138, 148, 157, 184,
185, 188, 198, 230, 237, 247
Suku Sabu 63, 66, 74, 79, 152

Tatikam 122, 133, 134, 135, 178


Tempat 2, 10, 100, 102, 169, 210, 213
Tenaga kesehatan 86, 150, 195, 221, 242, 243
Tujuan 5, 59, 66, 71, 99, 103

Udu 13, 60, 74, 75, 76, 172


Usia 17, 77, 149, 150, 156, 158, 184

Wango 174, 175, 176, 177, 220, 232, 255


Warga42, 102, 108, 116, 124, 127, 128, 129, 135, 136, 141, 164, 170,
255
Wini 50, 60, 61, 62, 74, 219, 255

222
GLOSARIUM

Agar Rumput laut yang telah dijemur


Ammu Ae Rumah adat keluarga
Ammu Pa’dda Rumah sakit atau Puskesmas
Panggilan kehormatan kepada
Ama
kaum laki-laki yang sudah dewasa
Au atau Deo Ama Tuhan
Ai Air
Adju Kayu
Keseluruhan atap rumah adat
Ammu Rukoko
keluarga
Ai Nahu Air gula sabu
Ari-ari Tali Pusar bayi
Ana mea Anak bayi
Ai Hu Lara Air susu yang berwarna kuning
Akila Wango Roh yang diikat setan
Nama pelabuhan Rakyat di Desa
Ae Bego
Kolorae
Anak yang berusia 12 tahun ke
Ana kici-kici
bawah
Kata sambutan istri terhadap
Ama Belige
suami yang baru tiba di rumah
Orang yang dianggap mampu
Bani Malare
memindahkan penyakit
Saya (kata untuk menunjuk diri
Beta
sendiri)
Nama Dewi yang disakralkan
Banni Keddo
oleh penduduk Raijua
Bengu Atap Rumah Adat keluarga
Dukun yang membantu ibu hamil
Banni Deo
dan bersalin

223
Kalender adat untuk bulan April
Banga Liwu Ae
sampai bulan Mei
Upacara untuk memperingati hari
Bui Ihi Made kematian seseorang yang masih
menganut kepercayaan Jingitiu
Kalender adat untuk bulan Mei
Banga Liwu Ro
sampai bulan Juni
Kalender adat untuk bulan Juni
Bagarae Ae
sampai bulan Juli
Kalender adat untuk bulan Juli
Bagarae Ro
sampai bulan Agustus
Banni Aa Saudara tertua
Banni Ari Saudara termuda
Belis Mahar
Bebak Dinding kayu dari pohon lontar
Batarek Menyerap
Air lontar yang sudah berubah
Cuka tuak
menjadi asam
Cek dam Bendungan air
Dapi Tikar
Deo Ama Tuhan
Upacara adat masyarakat Raijua
untuk memperingati hari
perdamaian, dahulunya perang
Da’bba antara manusia dan manusia dan
telah disepakati untuk
menggantinya dengan ayam jago
(perang ayam antar Udu)
Deo Rai Pemuka adat tertinggi
Duru Tiang utama Rumah
Dida Atas
Doi Uang

224
Sistem pacaran laki-laki untuk
Dau Pe’dai
masuk rumah perempuan
Dahi Mane Nama tempat di dusun Lokojuli
Rumah adat tempat
Dara Rai Kolo Tede berlangsungnya perkawinan
antara kedua mempelai
Mereka (kata untuk menujuk
Dong orang lain dalam jumlah yang
banyak)
Nama dusun tiga dalam wilayah
Deme
Desa Kolorae
Deng Dengan
Danau buatan untuk menampung
Embung
air hujan
Pengasapan dengan bahan kimia
Fogging
untuk membunuh nyamuk
Makanan yang disantap selama 7
Gatti hari bagi keluarga inti yang
berduka
Tumbuhan sejenis jahe
Genoak diperuntukan untuk menangkal
serangan roh jahat
Sedapan pohon lontar yang telah
dimasak menjadi gumpalan gula
Gula Sabu
yang masih lengket berwarna
coklat
Hekoto Kejang-kejang
Heweda Worawwu Raut wajah pucat
Hemoi Mea Kayu obat berwarna merah
Hemoi Pudi Kayu obat berwarna putih
Hemoi Laka Kayu obat berwarna hitam
Wadah untuk menampung
Haik
sedapan (air) pohon lontar

225
Ramuan untuk pengobatan patah
Hidi Kettu
tulang
Istilah lain untuk oko pana atau
Tempat ari-ari untuk anak bayi
Hope ana
yang akan di gantung atau
diletakan di bawah pohon
Hura Surat
Ritual pembuangan perlengkapan
Hura Malaha yang digunakan dalam upacara
penguburan.
Hura Hebe atau Hura Motif khas arung adat pulau
Higi Raijua
Nama lokal untuk sakit Tatikam
Ihi Lala atau Petabbu yaitu Penyakit nyeri
otot/sendi/Myalgia
Panggilan kehormatan kepada
Ina kaum perempuan yang sudah
dewasa
Jingi Menolak
Kepercayaan lokal orang Sabu
Jingitiu yang menganut animisme dan
dinamisme
Nama hutan suci yang ada di
Jammi Ae
wilayah selatan Desa Kolorae
Tempat yang dipercaya sebagai
tempat tujuan terakhir bagi
Jami Leba
arwah orang yang baru saja
meninggal.
Rumah adat keluarga berupa
Jula Kae Kiki Muri
perahu yang dipercaya turun dari
Oma Dope Ridu
langit.
Kali Aliran sungai kecil
Kaptering Saluran air dari semen yang

226
dibuat untuk memagari mata air
Anyaman berbentuk keranjang
segi empat yang digunakan untuk
Kepisak melindungi haik yang
menampung air irisan daun
lontar.
Keraggu Gemetar atau menggigil
Ked’iu Pusing
Ke Bo’o Katu Sakit kepala
Kelara Dara Kuu Kuku jari berwarna kuning
Kelara Namuhi
Bola mata berwarna kuning
Namada
Kabi Periuk tanah
Mas kawin yang telah disepakati
Kenoto untuk meminang mempelai
perempuan
Piring makan yang terbuat dari
Keringi Ngaa
anyaman daun lontar
Rumah daun yang mempunyai
ruang dibawah sebagai tempat
Kelaga
menenun kain atau kandang
hewan peliharaan.
Upacara untuk memperingati hari
kematian kerabat yang dianggap
Kewego
mempunyai jasa-jasa penting bagi
keluarga.
Kiu Maringi Rai Daun obat untuk penyakit malaria
Tempat makanan yang terbuat
Kerigi Wore
dari anyaman bahan lontar
Tempat minum yang terbuat dari
Kab’ba Nginu
tempurung kelapa.
Kolo Appu Namone Saudara laki-laki dari pihak ibu
Kelambunisasi Program pembagian kelambu

227
dari Puskesmas.
Ritual menanyai tombak untuk
Kerei kepoke/Haku
mengetahui penyebab dari suatu
Wango
hal atau penyakit.
Kepoke Tombak
Kerei Menanyakan
Ritual menanyakan penyebab
Kerei Wango sakit melalui jarak jengkal tangan
dukun
Kerogo Sub suku
Upacara mengiringi kepergian
Kewaro arwah dari pelabuhan Ai Bego
menuju Pulau Dana
Pimpinan rombongan orang sabu
Kika Ga
yang berasal dari India Selatan
Tanaman yang dipakai untuk
Koleng Susu
mengobati penyakit racun
Penyakit akibat serangan roh
Kolo Ngalu Apa jahat dalam bentuk angin yang
buruk
Kolo Ujung
Kalender adat untuk bulan
Ko’oma
Desember sampai bulan Januari
Sebutan untuk tukang angkut
Kojak
bahan bangunan atau kuli
Kebihu Acara adat untuk taji ayam
Leo Tenda
Lai Lagi
Obat tradisional berupa Kulit
pohon yang dipakai untuk
Lu’ba
mencegah tali pusar ibu dan bayi
mencair di dalam perut
Ledo Tarian adat yang dilakukan oleh

228
laki-laki dan perempuan untuk
memperingati kemenangan
dalam perang
Tiang utama dalam rumah adat
Labuhu
keluarga
Lederato Nama gunung di Desa Ballu
Lokojuli Nama Dusun di Desa Kolorae
Nama Dusun di Desa Kolorae
Lobowalu
yang berarti Waduk atau Kolam
Kalender adat untuk bulan
Februari sampai Maret dan
Leko Wila
ditandai dengan mulai tumbuh
dan berkembangnya kacang hijau
Jenazah yang dimandikan secara
bersama dengan saudara
Lolo Bella
perempuan dengan air yang
dicampur dengan daun jarak
Anak turunan raja atau pembesar
Mone Ke Pue
adat
Nama tempat sumber air
Menanga
terbesar di Pulau Raijua
Mengeli Dara Sakit kepala
Med’du Muntah
Ma’ri Hidup
Made Mati
Sebutan kaum laki-laki untuk istri
Maitua
atau pacar
Mencari ikan di laut dengan cara
memanah, memotong dan
Meting
menangkap ikan pada saat air
laut sedang surut
Mone Ama Dewan Adat
Masuk Minta Peminangan

229
Kalender adat untuk bulan
Matina
November sampai Desember
Mangkali Kemungkinan
Pimpinan adat melakukan ritual
untuk mulai menanam kacang
Melolo Ma
hijau yang kemudian diikuti oleh
masyarakat
Gajah Mada, Dewa atau leluhur
Maja yang dihormati masyarakat
setempat
Tabib lokal atau orang yang
mempunyai kemampuan untuk
Mone Malare
memeriksa kesehatan dan
mengobati
Muku Mengejan
Maloki Pohon ara
Kalung/gelang tradisional
Muti
perempuan sabu
Istilah sakit akibat dipegang oleh
Nai
seorang yang memiliki Pana Kai
Nginu Minum
Nyanyian tradisional berupa
Ngararai ratapan duka yang mengiringi
kepergian rombongan keluarga
Obat tradisional berupa
tumbuhan yang mempunyai
Nae Kebeba
bunga berwarna putih yang biasa
dihinggapi kupu -kupu
Dua orang yang dipercaya sebagai
Nera Bia dan Ngeda
asal mula terbentuknya nama
Bia
dusun Boko di Desa Kolorae
Nama pelabuhan di Kecamatan
Namo
Raijua

230
Nga’a Makan
Pemberian makan untuk
Nga’a Rai Dida penduduk Raijua bagian dalam
acara “Kewego”
Penduduk Raijua bagian bawah
Nga’a Rai Wawa
diberi makan daging
Keturunan dari Kika Ga (leluhur
Ngara Rai orang Raijua) yang pindah ke
Pulau Sabu
Tempat peristirahatan terakhir
Nguju bagi orang yang meninggal,
terletak di Pulau Sumba
Nyiru atau kerigi Dai Sampah untuk menapis beras
Tempat yang berasal dari daun
Oko Pana lontar untuk menaruh ari-ari bayi
yang akan digantung di pohon
Sejenis mangkuk dari tempurung
Oko kelapa untuk menaruh masakan
yang berkuah
Ritual yang dilakukan tiga sampai
enam tahun sekali di laut untuk
Panadahi
menghormati leluhur (Banni
Keddo)
Ritual yang dilakukan tiga sampai
enam tahun sekali untuk
Panajami
menghormati hutan milik leluhur
(Maja)
Ritual mengirim hasil panen
Palale Kowa Mone pertama kepada penguasa pulau
Weo Raijua terdahulu (Mone Weo)
yang telah pindah ke Pulau lain
Pa’ dda Sakit
Pehire Prosesi penguburan boneka kayu

231
perlambang orang yang telah
meninggal dalam upacara
Kewego
Pung Punya (milik)
Ritual adat dimana penduduk
berdoa agar mendapat hasil
Pehele panen yang baik dengan saling
melempar bibit lontar satu sama
lain
Puncak dari Tao Leo yang ditandai
dengan mengorbankan anak
Peri Kebao
kerbau untuk dibagikan kepada
10 Udu
Tarian tradisonal yang dilakukan
secara masal oleh masyarakat
Padoa
Sabu setelah selesai panen
kacang hijau dan sorgum
Pergi untuk tarik katrol/menimba
Pi Hela
air disumur
Pohon Tuak Pohon Lontar
Orang yang bekerja memanjat,
Pengiris Tuak mengiris dan menampung getah
irisan bunga pohon lontar
Pana – Meringi Panas - dingin
Kulit kayu yang digunakan tabib
Padu Pahi, Nai Puri, lokal untuk mengobati pasien
Nai Kebe’du dengan berbagai keluhan rasa
sakit
Nama leluhur yang dipercaya
Plodo Liru
datang dari langit
Prosesi melukis wajah jenazah
Pedate
dengan ludah sirih pinang
Patrilokal Tempat tinggal yang berdasarkan

232
garis keturunan laki-laki
Orang yang mempunyai “tangan
panas” sehingga dapat
Pana Kai
menyebabkan sakit pada anak
yang dipegangnya
Ritual untuk memperingati
kebaikan orang tua dengan
Pehere Jarra
memberikan persembahan
terbaik bagi mereka.
Ruaju Daun
Jalan yang dibangun dengan
Rabat bahan kerikil, pasir, tanah putih
dan semen
Prosesi menggantung tali pusar di
Rai Ti Marapo
pohon
Ro’aju Obat
Prosesi Memetik tiga lembar
Rokemoro daun setelah selesai
menggantung ari-ari
Prosesi mengikat tiga lembar
Rokemata
daun di tiang utama rumah
Rae Pulau/Tanah
Kalender adat untuk bulan
Agustus sampai bulan September
Rokoko
dan bertepatan dengan
dimulainya panen lontar
Perwakilan pemangku adat
Rohaleo
setempat
Nama minuman keras lokal yang
Sopi berasal dari tetesan irisan bunga
lontar
Makanan pokok orang Sabu
Sorgum
Raijua, sejenis gandum

233
menyerupai Jagung Rote dengan
nama latin andropogon sorghum
Jenis permaianan anak-anak
Sikidoka dengan gerakan melompat dan
mengambil batu
Sonde Tidak
Penyemprotan cairan kimia pada
Spray can dinding rumah untuk mencegah
nyamuk Malaria
Suanggi Sejenis ilmu sihir atau santet
Binatang laut seperti siput yang
Siput Mata Tujuh bermata tujuh yang hidup di
Pulau Raijua
Sen Kode atau sandi
Tinggal menetap atau tinggal
Taga’e
menetap
Teh keras Minuman teh tanpa gula
Sakit nyeri otot dan sendi
Tatikam
(Myalgia)
Hewan yang ditanggung bersama
Tepo Bui Ihi oleh pihak keluarga untuk acara
Bui Ihi
Orang yang dituakan dalam adat
Tua Adat atau orang yang berperan
penting dalam acara-acara adat
Tofa Bersih-bersih kebun
Ramuan tradisional berupa tiga
biji buah nitas yang diikat pada
Talu Lamuhi Kepaka
rambut di ubu-ubun orang yang
sakit
Penyakit yang tidak diketahui
Tao Keriu Dou dengan jelas sebabnya, akibat
perbuatan orang lain

234
Ritual untuk melindungi anggota
Ta Tiba Rara Heburu keluarga dari serangan Tao Keriu
Dou
Nama pemerintah wilayah setara
Temukun dengan Desa pada masa
penjajahan Belanda
Tempat yang dipercaya sebagai
tempat penjemputan pertama
Tanjung Uju
kali oleh leluhur bagi arwah orang
yang baru saja meninggal
Perayaan peringatan kematian
Tao Leo bagi orang yang berjasa terhadap
keluarga
Tao Membuat
Prosesi ritual memanggil Jiwa
Urihaga
orang yang telah meninggal
Ula Ular
Suku berdasarkan garis keturunan
Udu
suami
Doa atau mantera yang
Uku – uku diucapkan oleh Banni Deo saat
membantu mengeluarkan Ari-ari
Nama pemimpin Pemerintah
setara dengan camat yang
Vetor
diangkat oleh pemerintah
Belanda
Wango Setan
Setan yang tinggal diatas pucuk
Wango Kolo Udju
pohon
Wini Garis keturunan Ibu
Wady Udu Nama tempat di Dusun Lokojuli
Wo Juli Kerang Laut
Wawa Bawah

235
Kalender adat dalam bulan
September sampai Oktober
dimana terdapat ritual
Wadu A’a
pengorbanan babi, domba dan
ayam sebagai tanda terimakasih
atas panen lontar yang melimpah
Kalender adat untuk bulan
Wadu A’ri
Oktober sampai November
Kalender adat untuk bulan
Wari Ma
Januari sampai Februari
Hari Kedelapan pada acara
Wue Dare pemakaman dimana semua
hewan dikurbankan

236

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai