TESIS
Oleh
ANNA DARA TAMBUNAN
1602011322
TESIS
Oleh :
Wasting merupakan status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) yang merupakan padanan istilah wasted (kurus)
dan severely wasted (sangat kurus). Berdasarkan pemantauan status gizi (PSG)
Tahun 2017 di Indonesia terdapat sebanyak 2,8% balita mempunyai status gizi
sangat kurus dan 6,7% balita mempunyai status gizi kurus.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalis faktor risiko wasting pada
balita di Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur Tahun
2019. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain kasus control
(case control design). Penarikan sampel dilakukan secara total sampling.
Perbandingan kasus dan kontrol yaitu 1:1 matching umur, jenis kelamin dan
memiliki buku KIA maka jumlah sampel keseluruhan adalah 86 balita yang terdiri
dari 43 balita sebagai kasus dan 43 balita sebagai kontrol. Data dianalisis secara
univariat, bivariat dengan uji chi square dan multivariate dengan uji regresi
logistik.
Hasil penelitian di wilayah kerja Puskesmas Idi Rayeuk menunjukkan
bahwa penyakit infeksi (OR=7,6), riwayat ASI Ekslusif (OR=3,1), pendapatan
keluarga (OR=2,6), pola asuh (OR=3,4), dan riwayat imunisasi dasar (OR=3,1)
merupakan faktor risiko wasting pada balita dan variabel jumlah anggota keluarga
(OR=1,4) bukan merupakan faktor risiko wasting pada balita. Faktor risiko
wasting yang paling dominan adalah penyakit infeksi (OR= 15,797) artinya balita
yang mengalami riwayat penyakit infeksi memiliki peluang 15,7 kali mengalami
wasting dibandingkan balita yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi.
Bagi Puskesmas Idi Rayeuk diharapkan kepada petugas kesehatan
khususnya pelaksanaan program gizi agar dapat memantau secara berkala dan
mengatasi masalah status gizi balita terutama masalah wasting yang dialami
balita.
Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat ALLAH SWT atas berkat dan
“Analisis faktor risiko wasting pada balita di wilayah kerja puskesmas Idi Rayeuk
Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
tesis ini, penulis mendapat bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak.
Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Dr. dr. Hj. Razia Begum Suroyo, M.Sc, M.Kes selaku Pembina Yayasan
Helvetia.
Helvetia Medan
Medan.
4. Dr. Asriwati, S. Kep, Ns, S.Pd, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kesehatan
7. Prof. Dr. Evawany Yunita Aritonang, M.Si, selaku Penguji I yang telah
10. Kepala Puskesmas Idi Rayeuk beserta staf yang telah memberikan izin
Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran. demi kesempurnaan tesis ini.
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i
ABSTRACT ..................................................................................................... ii
ABSTRAK ...................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi
2.1. Kategori dan Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan
Indeks............................................................................................................ 24
4.13. Hubungan Riwayat ASI Ekslusif dengan Wasting Pada Balita ................ 66
4.14. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Wasting Pada Balita ................. 67
4.16. Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Wasting Pada Balita ......... 69
PENDAHULUAN
gizi muncul akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumah tangga yaitu
harus dimulai dari keluarga, karena keluarga adalah bagian terkecil dari
hidup sehat merupakan salah satu wujud Revolusi Mental. GERMAS mengajak
pertumbuhan pada balita dapat menjadi awal untuk penilaian status gizi dengan
melakukan konfirmasi terhadap indicator berat badan menurut panjang badan atau
dan perkembangan, baik pada masa balita maupun masa berikutnya sehingga
serius dari orang tua, karena kekurangan gizi pada masa ini akan menyebabkan
kerusakan yang irreversible (tidak dapat dipulihkan). Kekurangan gizi yang lebih
fatal akan berdampak pada perkembangan otak pesat pada usia 30 minggu-18
bulan dan juga akan berpengaruh pada perkembangan fisik dan mental anak (5).
terhadap produktifitas kerja, kekurangan gizi pada masa ini juga dikaitkan dengan
resiko terjadinya penyakit kronis pada usia dewasa, yaitu kegemukan, penyakit
(balita) dapat mengakibatkan hal yang serius pada kesehatan dan masa
depannya. Balita yang menderita wasting dengan menderita gizi sangat kurus
akan mudah terkena penyakit sedangkan balita yang kurus maka akan
(7).
badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang merupakan padanan istilah wasted
(kurus) dan severely wasted (sangat kurus). Balita yang mengalami wasting atau
kurus disebabkan karena kejadian tersebut baru terjadi atau akut yaitu penurunan
asupan gizi yang drastis atau menderita penyakit sehingga berat badannya
berkurang, balita seperti ini disebut mengalami masalah gizi akut. Wasting
menggambarkan status gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari keadaan yang
berlangsung dalam waktu yang pendek, seperti menurunnya nafsu makan akibat
sakit atau karena menderita diare. Dalam keadaan demikian berat badan anak akan
cepat turun sehingga tidak proporsional dengan tinggi badannya dan anak menjadi
kurus (8).
negara yang tidak akan mencapai target global untuk menurunkan angka kurang
gizi di tahun 2025. Data pemerintah menunjukkan 37% anak balita menderita
stunting, 12% menderita wasting (terlalu kurus untuk tinggi badan mereka) dan
Data dari WHO 2016, Indonesia menempati urutan ke-17 dari 117
pendek) yang tinggi pada balita. Ada sekitar 14 persen balita wasting, dan balita
masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara
10,0-14,0 persen, dan dianggap kritis bila ≥15,0 persen (WHO 2010). Pada tahun
2013, secara nasional prevalensi kurus pada anak balita masih 12,1 persen, yang
kategori serius, dan 4 provinsi termasuk kategori kritis, yaitu Kalimantan Barat,
dari 19,6% menjadi 17,0%, prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada
anak baduta (dibawah 2 tahun) menurun dari 32,9% menjadi 28,0%, prevalensi
wasting (kurus) anak balita menurun dari 12% menjadi 9,5%, prevalensi anemia
pada ibu hamil menurun dari 37,1% menjadi 28,0% dan persentase bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR) menurun dari 10,2% menjadi 8,0% (12).
terdapat sebanyak 2,8% balita mempunyai status gizi sangat kurus dan 6,7% balita
mempunyai status gizi kurus. Persentase wasting/kurus (sangat kurus dan kurus)
kurus atau wasting pada balita di wilayah kerja puskesmas kota Pontianak
menunjukkan faktor risiko wasting pada balita yaitu asupan karbohidrat, asupan
infeksi, pemberian ASI, dan kelengkapan imunisasi dengan kejadian gizi kurus
atau wasting dan tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan karbohidrat
dan asupan protein dengan kejadian gizi kurus atau wasting (13) .
Berdasarkan indikator status gizi untuk masalah balita kurus atau
wasting (BB/TB) terjadi penurunan prevalensi secara bertahap dari tahun 2014-
2017, namun jika dibandingkan dengan rerata nasional prevalensi balita kurus
Aceh atau wasting (12.8%) hampir dua kali dari prevalensi Nasional (6,9%).
Berdasarkan hasil Survai Pemantauan Status Gizi Provinsi Aceh Tahun 2017
didapatkan masalah status gizi balita kurus atau wasting di Aceh Timur pada
Kabupaten Aceh Timur, kejadian wasting pada balita pada tahun 2016 sebesar
14,12 % terdiri dari balita kurus sebanyak 11,01 % dan 3,11 % balita sangat
kurus, pada tahun 2017 sebanyak 15,73 % terdiri dari 11,84 % balita kurus dan
langsung dan tidak langsung. Faktor langsung yang menimbulkan masalah gizi
ialah kurangnya asupan makan dan penyakit infeksi. Kekurangan asupan makan
disebabkan karena tidak tersedianya pangan pada tingkat rumah tangga sehingga
tidak ada makanan yang dapat dikomsumsi. Kekurangan asupan makanan juga
disebabkan oleh perilaku atau pola asuh orang tua yang kurang baik pada anak
faktor dominan terjadinya wasting pada balita adalah penyakit infeksi, balita yang
kualitas sumber daya manusia secara umum. Penelitian menunjukkan bahwa anak
yang tidak mendapatkan ASI Ekslusif memiliki risiko 3,025 kali mengalami
umumnya pendapatan keluarga rendah dengan pekerjaan nelayan dan petani serta
memiliki jumlah anak lebih dari 4 orang. Selanjutnya hasil wawancara kepada 10
ibu yang memiliki balita di Puskesmas Idi Rayeuk diketahui bahwa 5 dari 10 ibu
menuruti kemauan anak untuk jajan agar anak tidak menangis. Terdapat 6 dari 10
ibu mengatakan anak balitanya pernah menderita ISPA bila keadaan sudah parah
mengalami diare dalam setahun terakhir. Terdapat 7 dari 10 ibu tidak memberikan
ASI Ekslusif kepada bayinya. Terdapat 5 dari 10 ibu mengatakan anak balitanya
tidak mendapatkan imunisasi lengkap karena suami tidak memberikan izin dengan
alasan nanti anaknya demam dan lemas. Dari hasil uji pendahuluan bahwa banyak
faktor risiko wasting pada balita diantaranya penyakit infeksi, riwayat imunisasi
dasar, pendapatan keluarga, jumlah anggota rumah tangga, riwayat ASI Ekslusif,
pola asuh.
tertarik melakukan penelitian mengenai Analisis faktor risiko Wasting pada balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur Tahun 2019.
adalah Faktor apa saja yang merupakan risiko wasting di Wilayah Kerja
pada balita.
4. Untuk menilai pola asuh gizi merupakan faktor risiko wasting pada
balita.
5. Untuk menilai jumlah anggota keluarga merupakan faktor risiko
pada balita.
pada balita.
pada balita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Rochmawati (2016) mengenai faktor risiko gizi kurus atau wasting pada
balita di wilayah kerja puskesmas kota Pontianak. Jenis penelitian Case control
yang terbagi menjadi 2 kelompok yaitu 33 kasus dan 33 kontrol. Data dianalisis
berjumlah 18 soal. Hasil analisa data dengan uji Chi square test dengan signifikasi
95% diperoleh hasil ada hubungan bermakna antara jumlah keluarga dengan
dengan kejadian gizi kurang (p = 0,000, OR= 3,174), dan ada hubungan antara
pengetahuan dengan kejadian wasting (p = 0,001, OR = 2,784). Dari penelitian ini
pengetahuan ibu tentang gizi memiliki hubungan dengan kejadian gizi kurang
Wasting Pada anak dibawah dua tahun di Kabupaten Aceh Besar Metode
Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita usia dibawah dua tahun di
Kabupaten Aceh Besar. Sampel penelitian yaitu anak dibawah 2 tahun usia 7-24
bulan. Pengambilan sampel menggunakan two stage cluster random sampling dan
purposive sampling. Jumlah sampel 70 anak terdiri dari 35 kasus dan 35 kontrol.
hubungan yang bermakna secara statistik antara pemberian ASI tidak eksklusif
dengan kejadian wasting pada anak dibawah dua tahun (p = 0,0290 ; OR = 3,25
bermakna antara pemberian ASI tidak eksklusif dengan kejadian wasting (16).
yang berhubungan dengan kejadian Wasting pada anak umur 6-59 bulan di
Indonesia, Desain penelitian ialah deskriptif analitik dengan desain studi cross
energi, karbohidrat, lemak, protein, pola menyusui, dan penyakit malaria), faktor
tidak langsung dan karakteristik anak (pendidikan bapak, pendidikan ibu,
pengeluaran total, status imunisasi, kondisi rumah, umur dan jenis kelamin,
dominan untuk kejadian wasting adalah asupan karbohidrat dan faktor tidak
langsung risiko yang dominan untuk wasting adalah jumlah anggota keluarga dan
pengetahuan dan pola asuh ibu dengan wasting dan stunting pada balita keluarga
miskin. Menyimpulkan bahwa wasting banyak terjadi pada keluarga miskin. Salah
satu penyebab wasting adalah pola asuh ibu terhadap balitanya. Pola asuh ibu
terkait dengan tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan ibu. Ibu dengan tingkat
pendidikan rendah lebih sulit menerima informasi daripada ibu dengan tingkat
pendidikan tinggi. Pengetahuan yang kurang dapat menjadikan pola asuh ibu
kurang sehingga memengaruhi kejadian wasting dan stunting pada balita. Tujuan
dan pola asuh dengan wasting dan stunting pada balita keluarga miskin. Besar
2,884), tingkat pengetahuan (p=0,017,OR= 3,428), dan pola asuh ibu (p=0,022,
Desain penelitian survey analitik dengan pendekatan cross sectional study. Hasil
pengetahuan gizi ibu dan pola asuh. Berdasarkan hasil uji statistic didapatkan ada
pola asuh ibu (p=0,022, OR=3,119) dengan wasting dan variabel jumlah
anggota keluarga tidak ada hubungan dengan kejadian wasting (p = 0,561 0R=
0,721) (20).
kejadian wasting pada balita usia 1-5 tahun dipuskesmas Talang Betutu Kota
oleh banyak faktor resiko seperti: faktor riwayat penyakit infeksi, status
kejadian wasting pada balita usia 1-5 tahun di Puskesmas Talang Betutu Kota
Palembang (p= 0.010 dan OR= 3,512) riwayat penyakit infeksi dapat
yang tidak menderita penyakit infeksi, dimana responden yang memiliki balita
dengan status imunisasi tidak lengkap dan riwayat penyakit infeksi cenderung
memiliki peluang untuk mengalami wasting sebesar 4,331 kali lebih besar
dari pada responden yang memiliki balita dengan status imunisasi lengkap
2,843. Hal ini berarti responden yang memiliki balita yang tidak mendapatkan
kali lebih besar daripada responden yang memiliki balita yang mendapat
Muljati (2008), judul penelitian status gizi kurus anak usia (24-59) di
semakin tinggi juga risiko balita dalam keluarga tersebut untuk mengalami
kejadian balita kurus. Balita dari keluarga dengan pendapatan keluarga rendah
mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami status gizi kurus dibandingkan
dengan balita dari keluarga berpendapatan keluarga tinggi dan balita yang
mempunyai orang tua dengan tingkat pendidikan rendah lebih besar untuk
Stunting and Wasting in Children Aged 12-48 Months. Desain penelitian yang
analisis regresi logistik ada hubungan yang positif dan secara statistik signifikan
antara pengetahuan, pola asuh, riwayat imunisasi dasar, status ekonomi keluarga,
berat badan lahir, riwayat ISPA, riwayat diare, sumber air minum dan sanitasi
dengan pengetahuan yang buruk (OR= 10.95; CI95%= 2.14 hingga 56.91; p=
0.004), pola asuh (OR= 8,74; CI95%= 3,14 hingga 33,17; p= 0.011), riwayat
imunisasi dasar (OR= 4,378; CI95%= 2,67 hingga 17,98; p= 0.019), status
ekonomi yang rendah (OR= 7.04; CI95% 5.51 hingga 32.78; p=0.013), berat
badan lahir rendah (BBLR) (OR= 14.71; CI95% 2.74 hingga 79.06; p=0.002),
riwayat ISPA (OR= 4.87; CI95% 1.23 hingga 19.38; p=0.024), riwayat diare
(OR= 6.09; CI95% 1.42 hingga 26.20; p=0.015), sumber air minum (OR= 9.78;
CI95% 2.26 hingga 42.36; p=0.002), dan sanitasi (OR= 7.67; CI95% 1.85 hingga
Wasting adalah keadaan status gizi pada indeks berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB) yang merupakan padanan istilah wasted (kurus) dan
severely wasted (sangat kurus) berdasarkan kategori status gizi sangat kurus
dengan ambang batas (z-score) <-3 SD dan kategori status gizi kurus dengan
makan atau terkena penyakit infeksi yang terjadi dalam waktu yang singkat.
Karakteristik masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita kurus adalah masalah gizi
akut (4).
akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat).Misalnya
terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang menyebabkan anak
menjadi kurus. Masalah kurus pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai
menurut tinggi badan (BB/TB). Pada keadaan status gizi baik berat badan
seseorang akan berbanding lurus dengan tinggi badannya. Dengan kata lain berat
badan akan proporsional dgn tinggi badannya. Bila terjadi kondisi yang kurang
baik dalam waktu cepat, berat badan akan berubah karena sifat berat badan yang
labil sedangkan tinggi badan tidak terpengaruh. Akibatnya berat badan dalam
waktu singkat akan menjadi tidak proporsional dengan tinggi badannya. Oleh
karena itu indikator BB/TB memberikan gambaran tentang status gizi saat kini
proporsional atau kurus memberikan gambaran adanya masalah gizi akut yang
disebabkan oleh perubahan kondisi yang berlangsung dalam tempo atau periode
singkat. Indikator BB/TB ini berguna untuk pemilihan sasaran (targeting) bagi
tambahan (PMT) pemulihan agar berat badannya kembali proporsional dgn tinggi
badannya atau juga bentuk intervensi yang memperbaiki lingkungan yang kurang
sehat, ketika anak mengalami wasting sebaiknya segera ditangani dalam waktu
cepat dengan mengatasi penyakit infeksi yang sedang dialami balita maupun
perbaikan asupan makanan dapat dilakukan dalam waktu sebulan ataupun sampai
(25).
oleh inadekuat nutrisi dan penyakit infeksi sedangkan penyebab pokok masalah
gizi kurang meliputi: ketahanan pangan yang tidak memadai, perawatan ibu
(Unicef) tahun 1990 menyatakan bahwa masalah gizi disebabkan oleh dua faktor
utama, yaitu langsung dan tidak langsung. Faktor langsung yang menimbulkan
masalah gizi ialah kurangnya asupan makan dan penyakit infeksi. Kekurangan
asupan makan disebabkan karena tidak tersedianya pangan pada tingkagt rumah
tangga sehingga tidak ada makanan yang dapat dikomsumsi. Kekurangan asupan
makanan juga disebabkan oleh perilaku atau pola asuh orang tua yang kurang
baik pada anak. Dalam rumah tangga sebetulnya tersedia cukup makanan, tetapi
distribusi makanan tidak tepat, atau pemanfaatan potensi dalam rumah tangga
juga berkaitan dengan status gizi seperti proporsi anak yang mendapat imunisasi,
faktor penyebab langsung, tidak langsung, dan faktor yang mendasari kedua
faktor tersebut. Faktor penyebab langsung meliputi konsumsi makanan dan infeksi
pangan dalam rumah tangga, pola pengasuhan anak, serta jangkauan mutu
pelayanan kesehatan. Adapun faktor yang mendasari kedua faktor tersebut adalah
makanan dan komposisi zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan gizi seimbang.
dan mikro. Ketersediaan pangan dalam tingkat makro ditunjukkan oleh tingkat
produksi nasional dan cadangan pangan di tingkat regional dan lokal. Dalam
tingkat mikro, jumlah pangan yang cukup dan harga yang terjangkau akan
berdampak pada konsumsi pangan di rumah tangga. Pada bayi kurang dari 6 bulan
berumur 6 bulan, bayi perlu asupan tambahan selain ASI yakni makanan
langsung terhadap gizi kurang pada anak. Infeksi seperti ISPA, TBC, malaria,
yang membuat gizi kurang dan buruk. Gizi kurang dan buruk dapat melemahkan
daya tahan tubuh sehingga membuat anak semakin rentan untuk terinfeksi
penyakit. Kedua hal tersebut saling berkaitan erat terhadap status gizi anak. Faktor
penyebab tidak langsung meliputi ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam
rumah tangga, pola pengasuhan anak serta jangkauan mutu pelayanan kesehatan.
Ketiga faktor tersebut mempengaruhi konsumsi pangan dan infeksi penyakit pada
kurangnya akses rumah tangga dan masyarakat terhadap pangan, baik akses
mempengaruhi daya beli rumah tangga. Adapun pola asuh anak meliputi
pemberian ASI, makanan pendamping ASI yang tepat, serta perilaku higienis dan
tindakan mencari pelayanan kesehatan guna mendukung gizi yang baik. Hal
perempuan (24).
langsung dan sebab tak langsung. Sebab langsung meliputi kecukupan pangan dan
pada kualitas SDM. Dampak yang paling buruk ditimbulkan kurang gizi adalah
kematian, selain itu juga menyebabkan kehilangan generasi penerus bangsa (Lost
Generation) (8).
bergaul dengan sesama anak, kurang perasaan gembira, dan cenderung menjadi
apatis. Dalam jangka panjang, anak tersebut akan mengalami gangguan kognitif,
kematian. Dampak tersebut akan merugikan bangsa dan dapat menyebabkan lost
generation jika dialami oleh banyak anak dan tidak dilakukan penanggulangan
pertumbuhan otak karena sel-sel otak tidak dapat berkembang. Otak mencapai
pertumbuhan yang optimal pada usia 2-3 tahun. Kekurangan gizi mengakibatkan
berpikir setelah masuk sekolah dan usia dewasa menjadi berkurang (29).
Bila gizi buruk maka perkembangan otaknyapun kurang dan itu akan berpengaruh
dilakukan melalui dua hal, yaitu pencapaian pertumbuhan berdasarkan umur dan
tinggi badan. Contoh status pencapaian pertumbuhan berdasarkan umur adalah
apakah berat atau tinggi badan seorang anak sudah sesuai dengan norma
pencapaian pertumbuhan anak sehat. Apabila berat atau tinggi badannya tidak
mencapai norma yang umum terjadi pada anak-anak sehat, anak tersebut
Dalam prakteknya indeks yang paling berguna adalah berat dan tinggi
badan , lebih-lebih jika umurnya diketahui. Pada keadaan akut didapati rasio berat
terhadap tinggi yang menurun, sedangkan jika kekurangan ini sudah berlanjut
lama, maka baik berat maupun tinggi akan terpengaruhi, hingga rasio berat
manusia antara lain umurt, berat badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala,
lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak dibawah kulit. Berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB) adalah indikator untuk mengetahui seseorang anak wasting
atau normal. Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan.
indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini (sekarang) (30) .
protein tubuh, lemak tubuh, mineral tubuh dan air. Berat badan dapat digunakan
yang singkat. Jenis alat yang digunakan untuk mengukur berat badan harus
memiliki ketelitian 0,1 kg dan sudah dikalibrasi. Beberapa alat antropometri yang
biasa digunakan untuk mengukur berat badan adalah timbangan bayi (baby scale)
Untuk mengukur barat bayi, timbangan dacin untuk mengukur berat balita.
Timbangan injak digital untuk mengukur berat badan dewasa atau anak. Panjang
massa tulang. Istilah panjang badan apabila seorang bayi atau anak diukur sambil
berbaring yaitu dilakukan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Alat yang
digunakan untuk mengukur panjang badan adalah infantometer atau alat ukur
panjang badan. Istilah tinggi badan adalah penyebutan apabila seorang diukur
sambil berdiri. Anak usia 2 tahun atau lebih diukur tinggi badannya menggunakan
microtois. Ketelitian alat ukur panjang atau tinggi badan harus 0,1 cm. prinsip
pengukuran tinggi badan adalah belakang kepala, punggung, pantat, betis, dan
akut, tidak memerlukan data umur, serta dapat membedakan proporsi badan
tidak untuk menilai gangguan pertumbuhan yang bersifat kronis, agak sulit
mengukur panjang badan balita serta memerlukan data dua alat ukur, yaitu berat
pengukuran (7).
Untuk menilai status gizi anak balita yang mengalami wasting, maka angka berat
badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai
Antroplus 2007.
Nilai simpang baku rujukan disini maksudnya adalah selisih kasus dengan
standar +1 SD atau -1 SD. Jadi apabila BB/TB pada kasus lebih besar daripada
SD dengan median. Tetapi jika BB/TB kasus lebih kecil daripada median, maka
SD. Pengukuran menentukan status gizi balita wasting dapat juga diolah
tersebut ditentukan status gizi anak balita dengan menentukan klasifikasi status
gizi diperlukan ada batasan-batasan yang disebut dengan batas ambang. Batas
ambang ini disetiap Negara berbeda tergantung dari kesepakatan ahli gizi di
Kategori ambang batas status gizi anak berdasarkan keputusan Menteri kesehatan
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
bulan
kelompok gizi kurang pada anak. Berikut adalah beberapa cara untuk mencegah
1. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah
ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.
Posyandu.
4. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya kurang, bisa ditanyakan
kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang
6. Pemberian imunisasi.
7. Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori
yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk
vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang
baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan
meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul
cukup tinggi protein dan tinggi energi pada anak balita, memperbaiki infrastruktur
pemasaran, infrastruktur yang tidak baik akan berpengaruh pada kualitas bahan
makanan, subsidi harga bahan makanan, hal tersebut dapat membantu mereka
yang sangat terbatas penghasilannya dan pemberian makanan suplemen dalam hal
ini makanan diberikan cuma-cuma atau dijual dengan harga yang minim.
Pendidikan gizi bertujuan untuk mengajar rakyat untuk mengubah kebiasaan
mutunya (4).
gizi kurang termasuk salah satunya wasting maka tidak lepas dari kebijakan dan
langsung kepada balita. Ada dua bentuk pelayanan gizi dan kesehatan yaitu
kondisi gizi kurang dan pelayanan masyarakat, yaitu dalam rangka mencegah
kurang melalui pengukuran Berat Badan (BB) dan melihat tanda-tanda klinis.
Pelacakan kasus gizi kurang dapat dimulai dari pemantauan arah pertumbuhan
secara cermat yang dilakukan secara rutin oleh Posyandu. Pelacakan kasus
gizi kurang dapat dimulai dari pemantauan angka pertumbuhan secara cermat
perilaku, maka terjadi proses komunikasi antar penyuluh dan masyarakat. Dari
mempertahankan gizi yang baik. Dalam penyuluhan tentang gizi balita terdapat
status gizi anak balita terutama dari keluarga miskin, meringankan beban
pemberian makanan tambahan yang baik bagi ibu balita. PMT Pemulihan
adalah PMT yang diberikan selama 60 hari pada balita gizi kurang dan 90 hari
pada balita gizi buruk dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi balita
tersebut. Dalam hal jenis PMT yang diberikan harus juga memperhatikan kondisi
balita karena balita dengan KEP berat atau gizi buruk biasanya mengalami
Pemulihan dimaksud berbasis bahan makanan lokal dengan menu khas daerah
yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Balita gizi kurang atau kurus usia
6-59 bulan termasuk balita dengan Bawah Garis Merah (BGM) dari keluarga
atau pun balita dengan gizi buruk untuk fase rehabilitasi maka terapi utama
Gizi merupakan faktor penting bagi kesehatan dan kecerdasan anak. Gizi
penting bagi anak tidak hanya dimulai semenjak anak lahir, tetapi sejak dalam
kandungan. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan keguguran, cacat
bawaan, dan melahirkan bayi dengan berat badan rendah yang dapat
yang dikandung oleh ibu yang kurang gizi banyak mengalami pertumbuhan otak
dan tubuh yang buruk. Sel-sel otak dapat berkurang secara permanen. Akibat gizi
kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil
konsepsi sel telur. Kelainan bawaan dapat dikenali sebelum kelahiran, pada saat
kelahiran atau beberapa tahun kemudian setelah kelahiran. Kelainan bawaan dapat
Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak
lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Kadang-
kadang suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau belum terlihat pada
waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa saat setelah kelahiran bayi.
Selain itu, pengertian lain tentang kelainan sejak lahir adalah defek lahir, yang
berkaitan erat dengan indikator kesehatan umum seperti tingginya angka kesakitan
serta angka kematian bayi dan balita. Masalah kekurangan gizi sangat umum
terjadi pada anak-anak terutama pada balita, dikarenakan balita sedang mengalami
yang relatif banyak dan kualitas yang lebih tinggi. Kelompok balita juga termasuk
kelompok rentan gizi yaitu kelompok masyarakat yang paling mudah menderita
1. Penyakit Infeksi
yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus, parasit) dan malnutrisi. Mereka
infeksi dan infeksi yang mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi.
bersamaan yaitu: penurunan asupan zat gizi akibat nafsu makan yang berkurang,
Peningkatan kehilangan cairan atau zat gizi akibat penyakit diare, mual dan
peningkatan kebutuhan karena sakit (human host) maupun parasit yang terdapat
memiliki dampak yang besar. Wasting dapat meningkatkan risiko kesakitan dan
kematian anak. Anak yang wasting sangat mudah terkena penyakit infeksi.
Apabila keadaan kurang gizi pada masa balita terus berlanjut, maka dapat
masyarakat dan keadaan lingkungan yang tidak sehat. Tingginya penyakit juga
disebabkan karena pola asuh yang kurang baik, misalnya anak dibiarkan bermain
pada tempat kotor. Status gizi mempunyai kerkaitan yang erat dengan kejadian
infeksi karena anak yang menderita penyakit infeksi umumnya tidak mempunyai
nafsu makan yang cukup, akibatnya anak kekurangan gizi mempunyai hubungan
timbale balik yang kuat. Beberapa penyakit infeksi yang terkait dengan status gizi
adalah diare, TBC, cacingan, ISPA dan penyakit infeksi lainnya (28).
Secara Massal Cacingan disebut POPM Cacingan adalah pemberian obat yang
penularan Cacingan. POPM Cacingan dilaksanakan dua kali dalam 1 (satu) tahun
untuk daerah kabupaten/kota dengan prevalensi tinggi dan satu kali dalam 1 (satu)
masalah gizi, keduanya saling berkaitan. Anak balita yang tidak mendapat cukup
makanan bergizi seimbang memiliki daya tahan yang rendah terhadap penyakit
sehingga mudah terserang infeksi. Sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dapat mengakibatkan asupan gizi tidak
dapat diserap tubuh dengan baik sehingga berakibat gizi buruk. Oleh karena itu,
mencegah terjadinya infeksi juga dapat mengurangi kejadian gizi kurang dan gizi
buruk (23).
Penyakit infeksi pada anak antara lain ISPA dan diare. Penyakit ISPA
(Pharynx), trachea, bronchioli dan paru-paru yang kurang dari dua minggu (14
hari) dengan tanda dan gejala dapat berupa batuk dan atau pilek dan atau sesak
nafas karena hidung tersumbat dengan atau tanpa demam, batasan waktu 14 hari
yang dapat digolongkan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (6).
Penyakit diare salah satu penyakit dengan sumber penularan melalui air
(water borne disease) dan penyakit diare yang terjadi pada balita umumnya
disertai muntah dan mencret. Diare berdampak terhadap pertumbuhan linear anak.
Diare merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak
dinegara berkembang. Anak balita rata-rata mengalami tiga kali diare pertahun.
Menurut WHO (2009) diare adalah suatu keadaan buang air besar dengan
konsistensi lembek hingga cair dan frekuensi lebih dari tiga kali sehari. Diare
akutberlangsung selama 3-7 hari, sedangkan diare persisten terjadi selama >14
hari. Secara klinis penyebab diare terbagi menjadi enam kelompok yaitu infeksi,
keluar rumah untuk bermain sehingga mudah terkena penyakit infeksi sehingga
perilaku hidup bersih perlu dibiasakan untuk mencegahnya. Gizi menjadi bagian
Apabila seorang anak terkena defisiensi gizi maka kemungkinan besar sekali anak
terkena infeksi. Gizi ini sangat berpengaruh terhadap nafsu makan, kehilangan
makanan pada anak. Selain itu juga dapat diketahui bahwa infeksi menghmbat
tubuh (5).
hubungan timbale balik yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat
memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah
terkena infeksi. Penyakit yang umumnya terkait dengan masalah gizi antara lain
sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar (1).
makanan tambahan seperti susu formula. ASI merupakan pilihan terbaik bagi
kesehatan bayi. Lebih dari sekedar nutrisi yang sempurna bagi bayi, ASI benar-
benar mampu mengurangi resiko berbagai jenis infeksi pada masa balita karena
adanya bahan istimewa yang membantu system kekebalan tubuh bayi. Efek
ancaman infeksi masa balita lebih serius tetapi bahkan diwilayah-wilayah dengan
tingkat penyakit infeksi yang rendah, efek keseluruhan ASI pada sisitem
kekebalan tubuh masih menjadi alasan yang penting untuk menyusui. Dengan
Menilai kecukupan ASI bagi bayi sangatlah penting. Makanan bagi bayi
sampai usia 6 bulan adalah air susu ibu yang dikenal dengan ASI Ekslusif. Setelah
itu, bayi harus mendapat makanan tambahan berupa makanan pendamping ASI
(MPASI) (7). Air susu ibu merupakan makanan yang ideal untuk bayi terutama
pada bulan bulan pertama, sebab memenuhi syarat karena ASI mengandung
semua zat gizi untuk membangun dan penyediaan energy dalam susunan yang
makanan bayi yang paling baik, akan tetapi adakalanya produksinya tidak cukup
untuk menyokong pertumbuhan bayi, bahkan kadang kadang ibu tidak dapat
status gizi kurang pada balita adalah pemberian ASI Eksklusif. Terjadinya
rawan gizi pada bayi disebabkan antara lain oleh karena ASI (Air Susu Ibu)
banyak diganti oleh susu formula dengan jumlah dan cara yang tidak sesuai
kebutuhan. ASI merupakan Makanan yang bergizi yang mudah dicerna oleh bayi
dan langsung diserap. Diperkirakan 80% dari jumlah ibu yang melahirkan mampu
untuk menghasilkan air susu ibu dalam jumlah yang cukup untuk keperluan
bayinya secara penuh tanpa Makanan tambahan bahkan ibu yang gizinya kurang
baikpun dapat menghasilkan ASI cukup tanpa Makanan tambahan selama tiga
3. Pendapatan keluarga
uang yang akan dikeluarkan untuk membiayai keperluan rumah tangga selama
satu bulan. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang perilaku anggota
makanan yang cukup bagi anggota keluarga, kemiskinan ini berkaitan dengan
pendapatan keluarga dan kondisi social dan ekonomi dari wilayah tertentu .
rendah tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi dengan baik, sehingga dapat
kuantitas makanan, antara pendapatan dan gizi sangat erat kaitannya dalam
pemenuhan makanan kebutuhan hidup keluarga, makin tinggi daya beli keluarga
makin banyak makanan yang dikonsumsi dan semakin baik pula kualitas makanan
yang dikonsumsi bahwa pendapatan rendah akan menghalangi perbaikan gizi dan
dalam rangka menopang tumbuh kembang fisik dan biologis balita secara tepat
dan berimbang. Pola asuh yang baik dari ibu akan memberikan kontribusi yang
angka kejadian gangguan gizi. Ibu harus memahami cara memberikan perawatan
dan perlindungan terhadap anaknya agar anak menjadi nyaman, meningkat nafsu
pertumbuhan. Apabila pengasuhan anak baik makan status gizi anak juga akan
baik. Peran ibu dalam merawat sehari-hari mempunyai kontribusi yang besar
dalam pertumbuhan anak karena dengan pola asuh yang baik anak akan terawat
banyak dipengaruhi oleh keadaan gizi. Pengaruh keadaan gizi pada kelompok
umur tersebut lebih besar dari pada kelompok umur kurang dari 1 tahun. Pada
umur tersebut sering terjadi asupan makanan yang tidak adekuat dikarenakan
mendidik anak. Menurut Edward (2006) menyatakan bahwa pola asuh merupakan
interaksi anak dan orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta
melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma yang ada
dalam masyarakat. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan
orang tua yang diterapkan pada anak. Pengasuhan pada anak berupa suatu proses
interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan
Tidak jarang anak tidak mau makan disebabkan oleh ibu atau
sudah merasa kenyang tetapi dipaksa untuk menghabiskan porsinya. Anak mulai
pemberian yang terlalu kaku. Balita dalam hal ini tidak merasa lapar maka tidak
musuhnya hingga sudah muntah begitu melihat makanan yang hendak diberikan.
Anak yang merasa tidak mendapatkan kasih sayang ibunya dapat kehilangan
nafsu makannya dan akan terganggu pertumbuhannya, ibu harus tahu mengenai
dan perkembangan anak balita. Masa anak usia balita adalah masa di mana anak
masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup
memadai dan sebaiknya makanan yang diberikan kepada anak mengandung zat
tenaga (nasi), zat pembangun (lauk) dan zat pengatur (sayur). Kekurangan gizi
pada masa ini dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang secara fisik,
mental, sosial dan intelektual yang sifatnya menetap dan dibawa terus sampai
dewasa. Masa anak usia 12-59 bulan (balita) adalah masa anak-anak yang masih
tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Tipe pola asuh terdiri dari dua
menguraikan peran anak dan memberitahu anak apa yang harus mereka
disiplin diri memiliki keteraturan diri berdasarkan nilai agama, nilai budaya,
bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, tanggung jawab
berdasarkan nilai moral. Orang tua yang mampu berprilaku seperti diatas,
Menurut Wardle (2002) tipe pola asuh makan atau parenteral feeding
a. Emotional feeding
merupakan salah satu tipe pola asuh makan dimana orang tua memberikan
makanan agar anaknya tenang saat si anak merasa marah, cemas, menangis,
dan lain-lain.
b. Instrumental Feeding
Instrumental feeding merupa kan satu tipe pola asuh makan dimana
orang tua memberikan hadiah atau reward berupa makanan jika anak
berperilaku baik atau melakukan hal yang diperintahkan oleh orang tua.
anaknya untuk makan dan memuji jika anaknya memakan makanan yang telah
disediakan. Mendorong anak untuk makan disini bukan hanya menyuruh anak
makan, menentukan makanan baik jenis dan jumlah makanannya, serta orang
tua menentukan kapan anak harus makan dan berhenti makan (23).
Pola asuh yang baik dapat mendorong orang tua dan anak dalam
melakukan interaksi timbal balik secara terbuka sehingga terjalin kepercayaan dan
kedekatan antara orang tua dan anak. Salah satu pola asuh yang dapat
mempertahankan keadaan gizi balita yaitu pola asuh makan yang baik meliputi
memberikan makanan sesuai dengan usia balita, mengawasi jadwal makan utama
seperti makan pagi, siang dan malam atau juga makan selingan balita setiap
harinya, kepekaan seorang ibu saat anak ingin makan, upaya dalam
menumbuhkan nafsu makan anak balita, memberikan makanan yang bergizi dan
beranekragam serta menciptakan suasana makan yang nyaman untuk anak balita.
Pola asuh makan yang responsif meliputi upaya orang tua memotivasi anak untuk
dengan aspek tertentu, mengikuti kebutuhan anak akan kebutuhan fisik dan non-
fisik, agar anak dapat hidup normal dan mandiri di masa mendatang. Pola asuh
terdiri dari pola asuh makan, pola asuh kesehatan. kualitas interaksi ibu anak yang
dilihat dari aspek praktik pengasuhan, praktik pemberian makan serta perawatan
kesehatan. Pola asuh Kesehatan merupakan tugas orang tua anak agar anak selalu
berada pada kondisi terbebas dari penyakit serta dapat beraktivitas rutin
orang tua untuk membentuk kesehatan anak adalah dengan membiasakan pola
hidup sehat, melalui penanaman kebiasaan hidup bersih dan teratur. Kebisaan
tersebut antara lain: mandi, keramas rambut, menggosok gigi, menggunting kuku,
mencuci tangan sebelum makan, memakai alas kaki ketika bermain diluar rumah
dan sebagainya. Aspek kesehatan juga mencakup upaya kuratif yang dibelanjakan
orang tua untuk memberikan pengobatan dan perawatan kesehatan anak (39).
makanan sebagai alat tawar menawar untuk meredakan anak yang suka menuntut
atau sebagai suap dalam sebuah pertengkaran. Taktik ini biasanya menyebabkan
anak makan banyak permen, kue, dan soda yang menggantikan makanan yang
mengandung zat gizi yang diperlukan anak dan membiasakan anak untuk jajan.
Dengan semakin besarnya anak maka semakin sulit untuk mengendalikan semua
keputusan mengenai apa yang merka makan, tetapi untuk saat ini pola asuh orang
tua adalah memberi makanan anak dengan nutrisi yang paling baik. Orang tua
berperan aktif dalam menentukan makanan yang harus disajikan pada anak (42).
anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah, keadaan ini secara tidak
langsung akan mempengaruhi status gizi terutama pada balita. Salah satu faktor
yang mempengaruhi gizi dalam keluarga salah satunya adalah banyaknya keluarga
yang tinggal dalam satu rumah. Dimana pada pasangan yang memiliki jumlah
keluarga lebih banyak, kemungkinan lebih besar memenuhi kebutuhan gizi dalam
keluarga. BKKBN (2012) menerangkan bahwa yang dimaksud dengan keluarga
kecil adalah keluarga yang terdiri dari ibu dan bapak serta jumlah anaknya paling
banyak 2 (dua ) orang. Keluarga besar (Extended Family) adalah keluarga inti
keluarga. Semakin banyak anggota keluarga berarti semakin banyak pula jumlah
kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Begitu pula sebaliknya, semakin sedikit
anggota keluarga berarti semakin sedikit pula kebutuhan yang harus dipenuhi
keluarga. Sehingga dalam keluarga yang jumlah anggotanya banyak, akan diikuti
oleh banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi. Semakin besar ukuran rumah
tangga berarti semakin banyak anggota rumahtangga yang pada akhirnya akan
Demikian pula jumlah anak yang tertanggung dalam keluarga dan anggota-
anggota keluarga yang cacat maupun lanjut usia akan berdampak pada besar
pada keluarga dengan anggota keluarga banyak lebih kurus daripada anak pada
keluarga dengan anggota keluarga sedikit. Hal ini disebabkan anak pada keluarga
perawatan individu yang minim. Jumlah Komsumsi makanan yang rendah juga
tangga pada anak wasting cenderung lebih besar dibandingkan jumlah anggota
keluarga anak yang normal. Jumlah anggota rumah tangga merupakan faktor
risiko wasting. Pada studi ini terlihat lebih dari separuh (54,9%) subjek penelitian
mempunyai jumlah anggota keluarga lebih dari > 4 orang. Keadaan ini tidak
banyak disertai pendapatan yang rendah maka anggota keluarga tersebut terutama
anak-anak berpeluang untuk tidak mendapatkan asupan lebih baik guna memenuhi
sistem kekebalan tubuh terhadap jenis antigen itu dimasa yang akan datang (44).
imunisasi secara lengkap bahkan tidak pernah mendapatkan imunisasi sedari lahir.
Hal itu menyebabkan mereka mudah tertular penyakit berbahaya karena tidak
penyakit akan mengalami pertumbuhan yang lambat dan nafsu makan akan
hilang. Orang tua harus menjaga agar anak terhindar dari pilek, batuk dan panas.
Vaksinasi sebelum anak berusia 1 tahun harus sudah diberikan agar anak terhindar
kekebalan secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan (46).
Jenis dan sasaran imunisasi yang ada di Indonesia dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
0 Bulan HBO
9 Bulan CAMPAK
dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk
mencegah terhadap penyakit tertentu. Zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh
melalui suntikan seperti vaksin imunisasi HBO, BCG, DPT, campak, dan melalui
mulut seperti vaksin polio. Tujuan diberikan imunisasi adalah diharapkan anak
gizi yang baik. Imunisasi yang lengkap biasanya menghasilkan status gizi yang
baik. Pemberian imunisasi terhadap anak tidak mudah terserang penyakit yang
berbahaya menjadikan anak lebih sehat dengan tubuh atau status sehat, sehingga
asupan makanan dapat masuk dan diserap dengan baik. Nutrisi yang terserap oleh
gizi yang baik. Hal ini karena penyakit infeksi dan fungsi kekebalan saling
berhubungan erat satu sama lain, dan pada akhirnya akan mempengaruhi status
Gizi Kurang
Penyebab masalah
dimasyarakat
Penyakit Infeksi
Riwayat ASI
Ekslusif
Pendapatan
keluarga
Pola asuh
Wasting
Jumlah anggota
keluarga
riwayat imunisasi
dasar
Pendidikan
Pekerjaan
Keterangan :
balita.
Ada variabel yang paling dominan terhadap risiko wasting pada balita.
BAB III
METODE PENELITIAN
(case control design) yaitu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor
efek (penyakit atau status kesehatan) diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor
Matching
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari s/d Maret Tahun 2019.
2.3. Populasi dan Sampel
2.3.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh balita yang tinggal menetap di Wilayah
Kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur yang berjumlah 912 balita
terdiri dari:
1. Populasi kasus adalah balita yang mengalami wasting yang telah diukur
2. Populasi kontrol adalah balita yang tidak Wasting yang telah diukur
2.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah bagian yang dipilih dari seluruh
populasi yang terbagi atas kelompok kasus dan kontrol. Penarikan sampel
Perbandingan kasus dan kontrol yaitu 1:1 matching umur, jenis kelamin
serta memiliki buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) maka jumlah sampel
keseluruhan adalah 86 balita yang terdiri dari 43 balita sebagai kasus dan 43 balita
sebagai kontrol. Sebagai responden dalam penelitian ini adalah ibu kandung dari
2. Data sekunder berupa data jumlah balita wasting dan normal, data yang
didapatkan dari buku KIA berupa data penyakit infeksi, riwayat ASI
3. Data tertier diperoleh dari Pemantauan Status Gizi Provinsi Aceh Tahun
2017
2. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dengan mengambil data dari
puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur, data dari buku KIA
berupa data penyakit infeksi, riwayat ASI Ekslusif dan imunisasi dasar
3. Data tertier adalah data riset yang sudah dipublikasikan secara resmi,
dalam penelitian ini mengambil data dari Riset kesehatan Dasar tahun
2013, Pemantauan Status Gizi Provinsi Aceh Tahun 2017 dan jurnal-
1. Uji Validitas
kesahihan suatu alat ukur dengan kata lain sejauh mana dari kacamata
suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Untuk mengetahui validitas
hitung > r tabel maka butir instrument dinyatakan valid. Jika r hitung > r
2. Uji Reliabilitas
1. Wasting adalah Suatu keadaan anak yang berada pada nilai z-score sesuai
buku rujukan WHO anthro 2005 berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB
diare dan atau ISPA yang diderita oleh anak dalam satu tahun terakhir.
campak
4. Pendapatan keluarga adalah segala bentuk penghasilan yang diperoleh
kebutuhan sehari-hari.
yang tinggal dan hidup bersama dengan balita dalam satu rumah.
4. Riwayat ASI Ekslusif adalah Pemberian ASI saja pada anak sampai
berusia 6 bulan
7. Pola Asuh yaitu cara ataupun kebiasaan yang dilakukan ibu terhadap
Independen
terakhir
terakhir
Ekslusif)
2. Tinggi
(>Rp. 2.500.000)
pertanyaan
positif jika ya
tidak nilai 0,
begitu pula
sebalikanya
keluarga
Dependent
dilakukan 2. Normal
Rayeuk
1. Collecting
2. Checking
observasi dengan tujuan agar data diolah secara benar sehingga pengolahan
data memberikan hasil yang valid dan reliable dan terhindar dari bias
3. Coding
dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan kedalam aplikasi SPSS.
5. Data Proccesing
Semua data yang telah di input kedalam aplikasi computer akan diolah sesuai
multivariate.
1. Analisis Univariat
2. Analisis Bivariat
keluarga, riwayat imunisasi dasar, riwayat ASI Ekslusif dan pola asuh
antara faktor risiko dan faktor efek dilihat melalui nilai rasio odds (OR).
Rasio Odds (OR) dalam hal ini adalah untuk menunjukkan nilai rasio
3. Analisis Multivariat
lebih dari 0,25 namun secara substansi penting, maka variabel tersebut
secara bertahap variabel nilai p value lebih dari 0,05 dan dimulai pada
nilai OR lebih dari 10% maka variabel tersebut tetap diikutsertakan dan
variabel dependen.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
terletak di Jalan Medan-Banda Aceh, Desa Tanoh Anou kecamatan Idi Rayeuk
dengan luas wilayah kerja 55,15 Km2. Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk
memiliki jumlah penduduk 12929 jiwa 2.937 KK yang terdiri dari 6429 jiwa laki-
laki dan perempuan 6500 jiwa. Jumlah desa yang terdapat di Wilayah kerja
Visi : Terwujudnya masyarakat Idi Rayeuk yang sehat, mandiri dan berkualitas
Misi :
dari masing-masing variable penelitian yaitu wasting pada balita, penyakit infeksi,
riwayat ASI Ekslusif, pendapatan keluarga, pola asuh, jumlah anggota keluarga,
Wasting pada balita dalam penelitian ini sebagai kelompok kasus yang
ditentukan berdasarkan rekap data dari puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh
Timur dan balita yang normal sebagai kelompok kasus yang dapat dilihat pada
tabel berikut:
responden dan yang menjadi kelompok kontrol atau normal sebanyak 43 (50,0%)
responden.
4.2.2. Penyakit Infeksi
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Pola Asuh di Wilayah Kerja Puskesmas Idi
Rayeuk Kabupaten Aceh Timur
responden memiliki pola asuh baik kepada balita yaitu sebanyak 53 (61,6%)
responden dan 33 (38,4%) responden memiliki pola asuh kurang baik kepada
balita.
kecil.
4.2.7. Riwayat Imunisasi Dasar
balita memiliki riwayat imunisasi dasar tidak baik yaitu sebanyak 49 (57,0%)
variabel bebas (Independent varibel) yaitu penyakit infeksi, riwayat ASI Ekslusif,
pendapatan keluarga, pola asuh, jumlah anggota keluarga, riwayat imunisasi dasar
value (0,05). Apabila hasil perhitungan menunjukkan nilai p value < α (0,05)
4.3.1. Analisis Faktor Risiko Penyakit Infeksi Terhadap Wasting pada Balita
dilakukan dengan menggunakan uji Risk Factor pada tingkat kepercayaan 95% (p
value < 0,05) dan melakukan tabulasi silang. Hasil dari analisis tersebut dapat
mengalami wasting dan dari 47 responden yang tidak mengalami penyakit infeksi
nilai Odds Ratio (OR) = 11.302. Artinya balita yang mempunyai riwayat penyakit
infeksi beresiko 11.302 kali untuk menderita wasting dibandingkan dengan balita
yang tidak mempunyai riwayat penyakit infeksi. Karena nilai OR (11.320) > 1,
maka penyakit infeksi merupakan faktor risiko wasting pada balita. Karena tidak
mencakup nilai 1 diantara nilai lower limit (4.088) dan nilai upper limit (31.244)
4.3.2. Analisis Faktor Risiko Riwayat ASI Ekslusif Terhadap Wasting pada
Balita
Analisis faktor risiko riwayat ASI Ekslusif terhadap wasting pada balita
dilakukan dengan menggunakan uji Risk Factor pada tingkat kepercayaan 95% (p
value < 0,05) dan melakukan tabulasi silang. Hasil dari analisis tersebut dapat
Tabel 4.9 Analisis Faktor Risiko Riwayat ASI Ekslusif Terhadap Wasting
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten
Aceh Timur
Wasting pada Balita
Riwayat ASI Jumlah OR
Kasus Kontrol
Ekslusif f % f % f % (Lower-Upper)
statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 2.132. Artinya balita yang mempunyai
riwayat ASI Ekslusif beresiko 2.132 kali untuk menderita wasting dibandingkan
dengan balita yang tidak mempunyai riwayat ASI Ekslusif. Karena nilai OR
(2.132) > 1, maka riwayat ASI Ekslusif merupakan faktor risiko wasting pada
balita. Karena mencakup nilai 1 diantara nilai lower limit (0,899) dan nilai upper
Balita
dilakukan dengan menggunakan uji Risk Faktor pada tingkat kepercayaan 95% (p
value < 0,05) dan melakukan tabulasi silang. Hasil dari analisis tersebut dapat
Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 1.368. Artinya balita yang
rendah. Karena nilai OR (1,368) > 1, maka merupakan faktor risiko wasting pada
balita. Karena mencakup nilai 1 diantara nilai lower limit (0,557) dan nilai upper
4.3.4. Analisis Faktor Risiko Pola Asuh Terhadap Wasting pada Balita
Analisis faktor risiko pola asuh terhadap wasting pada balita dilakukan
dengan menggunakan uji Risk Faktor pada tingkat kepercayaan 95% (p value <
0,05) dan melakukan tabulasi silang. Hasil dari analisis tersebut dapat dilihat pada
Hasil analisis pola asuh terhadap wasting pada balita diperoleh dari 33
mengalami wasting dan dari 53 responden dengan pola asuh baik sebanyak 20
(23,3%) responden mengalami wasting. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds
Ratio (OR) = 1.368. Artinya balita yang mempunyai pola asuh kurang baik
beresiko 3,795 kali untuk menderita wasting dibandingkan dengan balita yang
mempunyai pola asuh baik. Karena nilai OR (3,795) > 1, maka merupakan faktor
risiko wasting pada balita. Karena tidak mencakup nilai 1 diantara nilai lower
limit (1,502) dan nilai upper limit (9,591) artinya tidak ada hubungan yang
signifikan.
mengalami wasting. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 3,457
Artinya balita yang mempunyai jumlah anggota keluarga besar beresiko 3,457 kali
anggota keluarga rkecil. Karena nilai OR (3,457) > 1, maka merupakan faktor
risiko wasting pada balita. Karena tidak mencakup nilai 1 diantara nilai lower
limit (1,369) dan nilai upper limit (8,730) artinya tidak ada hubungan yang
signifikan.
diperoleh dari 49 responden yang memiliki riwayat imunisasi dasar tidak baik
wasting. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 3,588 Artinya balita
yang mempunyai riwayat imunisasi dasar beresiko 3,588 kali untuk menderita
dasar. Karena nilai OR (3,558) > 1, maka merupakan faktor risiko wasting pada
balita. Karena tidak mencakup nilai 1 diantara nilai lower limit (1,458) dan nilai
PEMBAHASAN
(69,8%) mengalami penyakit infeksi dan dari 43 responden yang tidak mengalami
merupakan wasting pada balita. Hasil uji diperoleh OR > 1 dengan 95% CI 2,912-
19,915. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 7,615. Artinya balita
yang mempunyai riwayat penyakit infeksi beresiko 7,615 kali untuk menderita
infeksi.
ada hubungan yang signifikan antara penyakit infeksi dengan kejadian wasting di
wilayah kerja dipuskesmas Talang Betutu Kota Palembang dan diperoleh nilai (p=
0.010 dan OR= 3,512) artinya penyakit infeksi merupakan faktor risiko dari
kejadian wasting dan balita yang mengalami penyakit infeksi berisiko 3,512 kali
Anak-anak yang menderita penyakit infeksi (diare dan/atau ISPA) lebih banyak
mengalami wasting dibandingkan anak-anak yang tidak menderita penyakit
infeksi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena anak-anak yang menderita diare
nutrient. Apabila asupan nutrisi anak tidak adekuat, ketidak seimbangan antara
kebutuhan tubuh dan asupan makanan akan terjadi. Dampak lain dari penyakit
wasting (47)
Menurut Victora et al. (1999) menyatakan bahwa kurang gizi pada anak
pertahanan terhadap antigen, serta berpengaruh juga terhadap respon imun yang
lebih khusus. Penurunan respon seperti itulah yang menyebabkan virus dengan
anak tersebut. Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan
hubungan timbal balik, yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat
memperburuk keadaan gizi, dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah
infeksi seperti diare dan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang disebabkan
oleh sanitasi pangan dan lingkungan yang buruk, berhubungan dengan kejadian
wasting. Penelitian yang dilakukan Khan et al. (2016) juga menyatakan ada
hubungan yang signifikan antara penyakit infeksi (diare) dengan kejadian wasting.
Diare yang terjadi pada anak sangat berbahaya karena dapat menyebabkan tubuh
kerusakan yang terjadi pada mukosa usus sehingga protein, cairan dan zat lainnya
tidak dapat terserap dengan baik. Selain itu terjadi masalah dalam aliran usus dan
Penyakit infeksi dan keadaan gizi anak merupakan 2 hal yang saling
mempengaruhi. Dengan adanya suatu penyakit nafsu makan anak mulai menurun
zat gizi yang masuk ke dalam tubuh anak. Dampak penyakit infeksi yang lain
adalah ISPA yang kemudian berakibat pada kehilangan zat gizi. Infeksi yang
menyebabkan diare pada anak mengakibatkan cairan dan zat gizi di dalam tubuh
berkurang. Penyakit infeksi sangat erat kaitannya dengan status gizi yang kurang.
Hal ini berkaitan dengan mekanisme pertahanan tubuh dimana balita yang
gizi kurang akan semakin memperberat sistem pertahanan tubuh yang selanjutnya
dapat menyebabkan seorang anak lebih rentan terkena penyakit infeksi. Sehingga
disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi
merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Penyakit infeksi yang paling
sering menyebabkan gangguan gizi dan sebaliknya adalah infeksi saluran nafas
mengalami penyakit infeksi ISPA dan diare dibandingkan yang tidak mengalami
penyakit infeksi dalam satu tahun terakhir, sedangkan pada kelompok kontrol
banyak balita yang tidak mengalami penyakit infeksi dalam satu tahun terakhir.
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya wasting pada
balita karena balita yang mengalami penyakit infeksi baik ISPA maupun diare
peneliti bahwa balita yang mengalami penyakit infeksi banyak dijumpai balita
tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap, hal ini menyebabkan balita rentan
mengalami penyakit infeksi, hal ini juga didukung masih banyak dijumpai balita
bermain ditempat yang kotor atau bermain mainan yang kotor dan kemudian
menghisap jari tangannya atau memasukkan mainan yang kotor kemulutnya dan
juga masih dijumpai kebersihan lingkungan yang kotor disekitar balita dengan
banyaknya sampah, lantai yang kotor dan adanya genangan air yang tidak
dibersihkan serta masih dijumpai ibu memberikan makan pada anaknya tidak
dengan wasting pada balita diperoleh dari 43 responden yang mengalami wasting
memberikan ASI Ekslusif. Hasil uji statistik diperoleh p < 0,05 menunjukkan
bahwa riwayat ASI Ekslusif merupakan faktor risiko wasting pada balita. Hasil uji
diperoleh OR > 1 dengan 95% CI 1,306-7,600. Hasil uji statistik diperoleh nilai
Odds Ratio (OR) = 3,150. Artinya balita yang tidak mendapatkan ASI Ekslusif
beresiko 3,150 kali untuk menderita wasting dibandingkan dengan balita yang
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Afriani
ASI dengan kejadian wasting dengan diperoleh nilai OR = 3,223. Hal ini berarti
responden yang memiliki balita yang tidak mendapatkan ASI Ekslusif cenderung
responden yang memiliki balita yang mendapat ASI secara ekslusif (15)
kejadian wasting pada balita diwilayah kerja puskesmas Idi Rayeuk dengan OR =
7,026 artinya balita wasting berisiko 7,026 kali disebabkan karena tidak
mendapatkan ASI Ekslusif. Hasil penelitian ini didukung oleh Penelitian Djauhar
dengan kejadian wasting. Hal ini disebabkan karena pemberian ASI ekslusif
menurunkan angka kejadian penyakit infeksi yang berhubungan dengan kondisi
status gizi balita. ASI ekslusif akan meningkatkan sistem imunitas bayi, sehingga
pertama kelahiran dapat mencegah kematian sekitar 13 juta bayi di seluruh dunia
tiap tahun. ASI memiliki komposisi yang sesuai dengan kebutuhan bayi, bahwa
ASI mengandung zat yang membantu dalam penyerapan kalsium dan mineral
dasar. Selain itu, di dalamASI terkandung banyak vitamin, antara lain vitamin A,
D, E, K, B12, dan zat yang melindungi bayi dari infeksi serta menjaga saluran
proses pertumbuhan pada sistem pencernaan bayi dan melindungi bayi untuk
wasting pada anak balita akibat dari kejadian masa lalu dan akan berdampak
terhadap masa depan anak. mempengaruhi status gizi anak. Pemberian ASI yang
baik oleh ibu akan membantu menjaga keseimbangan gizi anak sehingga
imunoglobulin dan zat lain memberikan kekebalan pada bayi terhadap infeksi
bakteri dan virus. Balita yang pernah mendapatkan ASI Ekslusif mempunyai
status kesehatan yang lebih baik dari pada yang tidak pernah mendapatkan ASI
Ekslusif. Pemberian makanan atau zat gizi yang belum baik dalam hal jumlah dan
mutu, waktu pemberian yang tidak tepat, masalah dalam pengolahan makanan
akan memberi dampak pada gangguan pertumbuhan dan munculnya beberapa
banyak pada kelompok kontrol sedangkan balita yang tidak mendapatkan ASI
Ekslusif lebih banyak mengalami wasting pada balita, hal ini menunjukkan
bahwa balita yang mendapatkan ASI Ekslusif kebutuhan nutrisi yang diperoleh
saat bayi sesuai dengan usia dan bayi dapat terhindar dari kemungkinan
selain ASI karena kandungan ASI sangat baik untuk bayi karena mengandung
imunoglobulin dan zat lain memberikan kekebalan pada bayi terhadap infeksi
bakteri dan virus. Dari hasil pengamatan peneliti masih banyak balita yang tidak
tradisi setempat yang biasanya merupakan anjuran dari mertua maupun orang
tua responden yang agar bayi diberi madu maupun air putih atau dicampur
dengan gula bahkan bayi yang berusia 0-6 bulan sudah mendapatkan pisang, hal
ini dilakukan secara turun temurun sehingga bayi tidak mendapatkan ASI
mendapatkan susu formula maka bayi akan bertambah gemuk sehingga tidak
cukup hanya dengan ASI saja. Tetapi ada juga ibu yang memberikan ASI
Ekslusif salah satunya karena informasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan
memiliki pendapatan keluarga rendah. Hasil uji statistik diperoleh p < 0,05
Hasil uji diperoleh OR > 1 dengan 95% CI 1,096-6,428. Hasil uji statistik
diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 2,654. Artinya balita yang berasal dari keluarga
dengan pendapatan yang rendah beresiko 2,654 kali untuk menderita wasting
dibandingkan dengan balita balita yang berasal dari keluarga dengan pendapatan
tinggi.
siginifikan terhadap kejadian wasting pada balita. Dan diperoleh nilai OR = 5,496
kuantitas makanan, antara pendapatan dan gizi sangat erat kaitannya dalam
pemenuhan makanan kebutuhan hidup keluarga, makin tinggi daya beli keluarga
makin banyak makanan yang dikomsumsi dan semakin baik pula kualitas
makanan yang dikomsumsi. Disini terlihat jelas bahwa pendapatan rendah akan
kejadian wasting pada balita diwilayah kerja puskesmas Idi Rayeuk dengan OR =
4,807 artinya balita yang berasal dari keluarga dengan pendapatan yang rendah
beresiko 4,807 kali untuk menderita wasting dibandingkan dengan balita yang
berasal dari keluarga dengan pendapatan tinggi. Hasil penelitian ini didukung oleh
semakin baik status gizi balita dan begitu pula sebaliknya. Tingkat pendapatan
keluarga yang tinggi mempunyai dana untuk menyediakan kebutuhan gizi anggota
keluarganya karena semakin rendah pendapatan kelurga semakin tidak mampu ibu
dalam mencukupi kebutuhan makanan yang mengandung gizi yang baik (21).
optimal dan dapat mempengaruhi status gizi anak. Pendapatan keluarga dinilai
tersebut miskin dan memiliki tingkat ketahanan pangan yang rendah (23)
keluarga itu sendiri. Keluarga yang mempunyai pendapatan relatif rendah sulit
mencukupi kebutuhan makanannya. Pada umumnya jika pendapatan naik, jumlah
Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio pola asuh dengan wasting pada
dengan pola asuh kurang baik dan dari 43 responden yang tidak mengalami
wasting sebanyak 14 (32,6%) dengan pola asuh kurang baik. Hasil uji statistik
diperoleh p < 0,05 menunjukkan bahwa pola asuh merupakan risiko wasting pada
balita. Hasil uji diperoleh OR > 1 dengan 95% CI 1,438-8,498. Hasil uji statistik
diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 3,496. Artinya balita yang mendapatkan pola
asuh kurang baik beresiko 3,496 kali untuk menderita wasting dibandingkan
hubungan yang signifikan antara pola asuh gizi dengan wasting pada balita (p
value=0,022) dan nilai OR = 3,119 ini artinya balita yang mendapatkan pola asuh
kurang baik beresiko 3,119 kali untuk menderita wasting dibandingkan dengan
Menurut Depkes RI pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu
dalam hal kedekatannya dengan anak, memberi makan, merawat, memberi kasih
sayang dan sebagainya. Pola asuh juga merupakan praktik dari rumah tangga yang
mempunyai pengaruh paling kuat pada anak balita. Setiap orang tua mempunyai
pola asuh tersendiri dari segi asuh, asah dan asih dalam hubungannya dengan
anak yang dilakukan oleh individu dan keluarga. Praktik memberikan makan pada
keadaan gizi kurang adalah perilaku yang kurang benar dikalangan masyarakat
kepada anak-anak. Oleh karena itu berbagai kegiatan harus dilaksanakan untuk
mencapai status gizi yang baik. Feeding dan carring melalui pola asuh yang
dilakukan ibu kepada anaknya akan mempengaruhi tumbuh kembang anak secara
wasting pada balita diwilayah kerja puskesmas Idi Rayeuk dengan OR = 12,574
artinya balita yang mendapatkan pola asuh kurang baik beresiko 12,574 kali untuk
menderita wasting dibandingkan dengan balita yang mendapatkan pola asuh baik.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Rahayu (2018) dari hasil uji statistic
didapatkan nilai OR= 8,74; CI95%= 3,14 hingga 33,17; p= 0.011), menyimpulkan
bahwa balita yang memiliki pola asuh tidak baik mempunyai peluang risiko
kejadian wasting sebesar 8,74 kali dibandingkan dengan balita yang mendapatkan
terdapat hubungan antara pola asuh makan dengan status gizi balita. Kondisi usia
balita yang masih berada pada tahap ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan
dasarnya terhadap orang tua atau pengasuh, membuat asupan makanan sangat
tergantung dengan bagaimana cara pengasuhan, cara memberi makan dan cara
perawatan kesehatan oleh orang tua atau pengasuh. Pola asuh merupakan faktor
yang erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan anak balita. Pola
asuh yang baik dari ibu akan memberikan kontribusi yang besar pada
Pola asuh yang baik dapat mendorong orang tua dan anak dalam
melakukan interaksi timbal balik secara terbuka sehingga terjalin kepercayaan dan
kedekatan antara orang tua dan anak. Salah satu pola asuh yang dapat
mempertahankan keadaan gizi balita yaitu pola asuh makan yang baik meliputi
memberikan makanan sesuai dengan usia balita, mengawasi jadwal makan utama
seperti makan pagi, siang dan malam atau juga makan selingan balita setiap
harinya, kepekaan seorang ibu saat anak ingin makan, upaya dalam
menumbuhkan nafsu makan anak balita, memberikan makanan yang bergizi dan
beranekragam serta menciptakan suasana makan yang nyaman untuk anak balita.
Pola asuh makan yang responsif meliputi upaya orang tua memotivasi anak untuk
makan, memperhatikan nafsu makan dan waktu makan anak mempengaruhi
Pola asuh terdiri dari pola asuh makan, pola asuh kesehatan. kualitas
interaksi ibu anak yang dilihat dari aspek praktik pengasuhan, praktik pemberian
makan serta perawatan kesehatan. Pola asuh Kesehatan merupakan tugas orang
tua anak agar anak selalu berada pada kondisi terbebas dari penyakit serta dapat
kesehatan anak, ketika anak sakit segera dibawa kefasilitas kesehatan. Usaha
preventif yang dilakukan orang tua untuk membentuk kesehatan anak adalah
bersih dan teratur. Kebisaan tersebut antara lain: mandi, keramas rambut,
Dalam penelitian ini pola asuh merupakan hal yang berhubungan dengan
kejadian wasting pada balita, pola asuh terkait pemberian makan berpengaruh
infeksi. Meskipun sebagian besar pola pengasuhan balita positif akan tetapi masih
terdapat balita dengan wasting, hal tersebut disebabkan karena ada balita yang
menderita penyakit infeksi yaitu ISPA maupun diare yang sangat erat kaitannya
dengan pola asuh ibu terhadap balita salah satunya ibu tidak mengajarkan pada
anak mencuci tangan sebelum makan, ibu membiarkan anak untuk jajan jika tidak
mau makan dan ibu masih memberikan makanan yang tidak sehat kepada anak
atau makanan siap saji seperti sosis maupun mie instan asalkan anak tidak
menangis dan ibu masih membiarkan anak tidak memakai alas kaki ketika
bermain diluar rumah. Dengan pola asuh yang tidak baik maka balita akan rentan
sehingga kebutuhan gizi dan makanan dalam tubuh balita tidak terpenuhi
5.5. Faktor Risiko Jumlah Anggota Rumah Tangga Terhadap Wasting Pada
Balita
wasting pada balita diperoleh dari 46 responden yang memiliki jumlah anggota
responden mengalami wasting. Hasil uji statistik diperoleh p > 0,05 menunjukkan
bahwa jumlah anggota keluarga bukan merupakan risiko wasting pada balita.
Hasil uji statistik (OR= 1,455 dengan 95% CI 0,621-3,408) menunjukkan bahwa
jumlah anggota keluarga bukan merupakan faktor risiko wasting pada balita.
anggota keluarga besar secara langsung akan mempengaruhi angka kesakitan dan
status gizi anak, hal ini terkait dengan kurangnya ketersediaan pangan yang ada
tangga belum tentu mempunyai selera yang sama. Jumlah anggota keluarga
dengan kejadian wasting (p value = 0,561 0R= 0,721) (19). Hasil penelitian ini
wasting terhadap jumlah anggota keluarga. Hasil penelitian ini didukung oleh
pada keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang besar akan tetapi memiliki
lebih banyak anggota keluarga yang bekerja (rasio antara anggota keluarga yang
keluarga untuk memenuhi kebutuhan nutrisi balita dan anggota keluarga yang
tinggal satu rumah dengan balita tidak memberatkan anggota keluarga yang
wasting pada balita diperoleh dari 55 responden yang memiliki riwayat imunisasi
dasar tidak baik sebanyak 33 (76,7%) responden mengalami wasting dan dari 31
responden mengalami wasting. Hasil uji statistik diperoleh p < 0,05 menunjukkan
bahwa riwayat imunisasi dasar merupakan risiko wasting pada balita. Hasil uji
diperoleh OR > 1 dengan 95% CI 1,247-7,954. Hasil uji statistik diperoleh nilai
Odds Ratio (OR) = 3,150. Artinya balita yang tidak mendapatkan imunisasi dasar
beresiko 3,150 kali untuk menderita wasting dibandingkan dengan balita yang
Imunisasi dengan Wasting pada balita diwilayah kerja puskesmas Kota Pontianak.
kekebalan secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.
Apabila anak diimunisasi lengkap maka ketahanan tubuh bayi akan meningkat
dan tidak mudah tertular penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Anak
kejadian wasting pada balita diwilayah kerja puskesmas Idi Rayeuk dengan OR =
4,166 artinya balita yang tidak mendapatkan imunisasi dasar beresiko 4,166 kali
dasar. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Rahayu (2018) bahwa terdapat
riwayat imunisasi dasar (OR= 4,378; CI95%= 2,67 hingga 17,98; p= 0.019). Dari
penelitian wasting ini balita yang status imunisasinya tidak lengkap lebih banyak
yang menderita wasting dari pada balita yang status imunisasinya lengkap, ini
karena kekebalan tubuh anak balita juga dipengaruhi oleh status imunisasi, oleh
karena itu imunisasi sangat penting karena peluang untuk terkena penyakit lebih
kecil yaitu 4,3 kali dibandingkan dengan anak yang status imunisasinya tidak
ISPA dan diare bahkan dapat diperburuk dengan tingkat asupan nutrisi yang
kurang (22).
menghasilkan status gizi yang baik. Sebagai contoh adalah dengan imunisasi
seorang anak tidak mudah terserang penyakit yang berbahaya, sehingga anak lebih
sehat, dengan tubuh dan status sehat asupan makanan dapat masuk dengan baik,
nutrisi pun terserap dengan baik. Nutrisi yang terserap oleh tubuh balita
lengkap dikarenakan orang tua takut bila anaknya diimunisasi akan demam dan
sakit dan juga masih dijumpai pemahaman dari orang tua yang mengatakan bahwa
vaksin imunisasi mengandung sesuatu yang diharamkan dalam agama, hal ini
Berdasarkan hasil analisis uji regresi logistik ditemukan faktor risiko yang
adalah penyakit infeksi dengan nilai p (sig) = 0,000 dan memiliki nilai OR =
balita yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi. Nilai Koefisien B yaitu 2,760
bernilai positif, maka semakin banyak balita yang mengalami penyakit infeksi
menunjukkan nilai paling dominan sebagai faktor risiko kejadian wasting pada
kerangka konsep UNICEF 1990 salah satu faktor penyebab langsung terjadinya
masalah gizi adalah penyakit infeksi. Hal ini sejan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Dobner dan Kaser (2017) juga membuktikan bahwa anak yang
kekurangan berat badan berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi untuk
Diare dapat menyebabkan anak tidak mempunyai nafsu makan sehingga terjadi
kekurangan jumlah makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuhnya yang
dapat berakibat gizi kurang. Anak yang menderita diare mengalami penurunan
cairan serta gangguan keseimbangan zat gizi dan elektolit. Serangan diare yang
berulang atau diare akut yang berat pada anak gizi kurang merupakan risiko
kematian. (25)
kematian anak. Anak yang wasting sangat mudah terkena penyakit infeksi.
Apabila keadaan kurang gizi pada masa balita terus berlanjut, maka dapat
6.1 Kesimpulan
berikut :
1) Penyakit infeksi merupakan faktor risiko wasting pada balita di wilayah kerja
2) Riwayat ASI Ekslusif merupakan faktor risiko wasting pada balita di wilayah
4) Pola asuh merupakan faktor risiko wasting pada balita di wilayah kerja
5) Jumlah anggota keluarga bukan merupakan faktor risiko wasting pada balita di
pada balita.
6.2 Saran
2) Bagi Puskesmas
pelaksanaan program gizi agar dapat memantau secara berkala dan mengatasi
masalah status gizi balita terutama masalah wasting yang dialami dan petugas
kesehatan agar dapat mengobati dan mencegah penyakit penyakit infeksi pada
3) Bagi responden
gizi anak, menjaga lingkungan fisik rumah sesuai syarat kesehatan dan
pada balita serta meningkatkan pola asuh yang baik untuk meningkatkan
pemulihan yang ade kuat, dan selalu memperhatikan pola asuh kepada
KUESIONER PENELITIAN
No. Kasus…………
No. Kontrol……….
(……………………………..)
Frequencies
Notes
Comments
Filter <none>
Weight <none>
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Syntax FREQUENCIES
VARIABLES=Status_Gizi_Balita
Riwayat_penyakit_infeksi
Riwayat_ASI_Ekslusif
Pendapatan_keluarga Pola_Asuh
Jumlah_anggota_keluarga
Riwayat_imunisasi_dasar
/ORDER=ANALYSIS.
Statistics
N Valid 86 86 86 86 86 86 86
Missing 0 0 0 0 0 0 0
Frequency Table
Status_Gizi_Balita
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Riwayat_penyakit_infeksi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Riwayat_ASI_Ekslusif
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Pendapatan_keluarga
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Pola_Asuh
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Riwayat_imunisasi_dasar
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Crosstabs
Notes
Comments
Filter <none>
Weight <none>
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Status_Gizi_Balita BY
Riwayat_penyakit_infeksi
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Dimensions Requested 2
Cases
Status_Gizi_Balita *
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Riwayat_penyakit_infeksi
Riwayat_penyakit_infeksi
Ya Tidak Total
Normal Count 10 33 43
Total Count 40 46 86
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.00.
For cohort
3.000 1.684 5.345
Riwayat_penyakit_infeksi = Ya
For cohort
Riwayat_penyakit_infeksi = .394 .243 .639
Tidak
N of Valid Cases 86
Crosstabs
Notes
Comments
Filter <none>
Weight <none>
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Status_Gizi_Balita BY
Riwayat_ASI_Ekslusif
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Dimensions Requested 2
Cases
Status_Gizi_Balita *
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Riwayat_ASI_Ekslusif
Riwayat_ASI_Ekslusif
Normal Count 16 27 43
Total Count 44 42 86
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21.00.
For cohort
Riwayat_ASI_Ekslusif = Tidak 1.750 1.121 2.733
memberikan
For cohort
Riwayat_ASI_Ekslusif = .556 .348 .888
Memberikan
N of Valid Cases 86
Crosstabs
Notes
Comments
Filter <none>
Weight <none>
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Status_Gizi_Balita BY
Pendapatan_keluarga
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Dimensions Requested 2
Cases
Status_Gizi_Balita *
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Pendapatan_keluarga
Pendapatan_keluarga
Normal Count 13 30 43
Total Count 36 50 86
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.00.
For cohort
1.769 1.038 3.014
Pendapatan_keluarga = Rendah
For cohort
.667 .458 .971
Pendapatan_keluarga = Tinggi
N of Valid Cases 86
Crosstabs
Notes
Comments
Filter <none>
Weight <none>
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Status_Gizi_Balita BY
Pola_Asuh
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Dimensions Requested 2
Cases
Pola_Asuh
Normal Count 14 29 43
Total Count 41 45 86
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.50.
N of Valid Cases 86
Crosstabs
Notes
Comments
Filter <none>
Weight <none>
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Status_Gizi_Balita BY
Jumlah_anggota_keluarga
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Dimensions Requested 2
Cases
Status_Gizi_Balita *
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Jumlah_anggota_keluarga
Jumlah_anggota_keluarga
Normal Count 21 22 43
Total Count 46 40 86
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.00.
For cohort
Jumlah_anggota_keluarga = 1.190 .800 1.771
Besar
For cohort
Jumlah_anggota_keluarga = .818 .518 1.293
Kecil
N of Valid Cases 86
Crosstabs
Notes
Comments
Filter <none>
Weight <none>
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=Status_Gizi_Balita BY
Riwayat_imunisasi_dasar
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.
Dimensions Requested 2
Cases
Status_Gizi_Balita *
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Riwayat_imunisasi_dasar
Riwayat_imunisasi_dasar
Normal Count 22 21 43
Total Count 55 31 86
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.50.
For cohort
Riwayat_imunisasi_dasar = 1.500 1.073 2.097
Tidak Baik
For cohort
.476 .255 .888
Riwayat_imunisasi_dasar = Baik
N of Valid Cases 86
Logistic Regression
Notes
Comments
Filter <none>
Weight <none>
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing
Missing Cases 0 .0
Total 86 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 86 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Original
Value Internal Value
Wasting 0
Normal 1
Classification Tablea,b
Predicted
Y
Percentage
Observed Wasting Normal Correct
Step 0 Y Wasting 0 43 .0
Normal 0 43 100.0
Score df Sig.
X2 6.701 1 .010
X3 4.778 1 .029
X4 7.878 1 .005
X6 6.103 1 .013
Chi-square df Sig.
Model Summary
Classification Tablea
Predicted
Y
Percentage
Observed Wasting Normal Correct
Normal 9 34 79.1
Comments
Filter <none>
Weight <none>
Matrix Input
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Syntax RELIABILITY
/VARIABLES=Item_1 Item_2 Item_3
Item_4 Item_5 Item_6 Item_7 Item_8
Item_9 Item_10 Item_11 Item_12 Item_13
Item_14 Item_15 Item_16 Item_17 Item_18
Item_19 Item_20
/SCALE('ALL VARIABLES') ALL
/MODEL=ALPHA.
N %
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
Reliability Statistics
.925 20
CORRELATIONS
/VARIABLES=Item_1 Item_2 Item_3 Item_4 Item_5 Item_6 Item_7 Item_8 Item_9 Item_10 Item_11 Item_12 Item_13 Item_14 Item_15 Item_16
Item_17 Item_18 Item_19 Item_20 Total_skor
/PRINT=TWOTAIL NOSIG
/MISSING=PAIRWISE.
Correlations
Notes
Comments
Filter <none>
Weight <none>
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Syntax CORRELATIONS
/VARIABLES=Item_1 Item_2 Item_3 Item_4
Item_5 Item_6 Item_7 Item_8 Item_9 Item_10
Item_11 Item_12 Item_13 Item_14 Item_15
Item_16 Item_17 Item_18 Item_19 Item_20
Total_skor
/PRINT=TWOTAIL NOSIG
/MISSING=PAIRWISE.
Correlations
Item_ Item_ Item_1 Item_1 Item_1 Item_1 Item_1 Item_1 Item_1 Item_1 Item_1 Item_ Total_s
Item_1 Item_2 Item_3 4 Item_5 Item_6 Item_7 Item_8 Item_9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 20 kor
Item_1 Pearson Correlation 1 .259 .856** .196 .856** .312 .793** .196 .397* .196 .226 .856** .342 .196 .761** 1.000** .259 .636** .085 .489** .769**
Sig. (2-tailed) .167 .000 .300 .000 .094 .000 .300 .030 .300 .230 .000 .064 .300 .000 .000 .167 .000 .656 .006 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_2 Pearson Correlation .259 1 .259 .189 .259 .800** .191 .189 .866** .189 .191 .259 .189 .189 .134 .259 .732** .191 .873** .472** .608**
Sig. (2-tailed) .167 .167 .317 .167 .000 .311 .317 .000 .317 .312 .167 .317 .317 .481 .167 .000 .311 .000 .008 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_3 Pearson Correlation .856** .259 1 .196 .856** .451* .636** .196 .397* .196 .226 1.000** .196 .196 .761** .856** .397* .636** .226 .489** .781**
Sig. (2-tailed) .000 .167 .300 .000 .012 .000 .300 .030 .300 .230 .000 .300 .300 .000 .000 .030 .000 .230 .006 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Sig. (2-tailed) .300 .317 .300 .300 .617 .258 .000 .317 .000 .000 .300 .029 .000 .456 .300 .804 .042 .447 .029 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_5 Pearson Correlation .856** .259 .856** .196 1 .312 .793** .196 .397* .196 .226 .856** .196 .196 .761** .856** .259 .636** .085 .489** .747**
Sig. (2-tailed) .000 .167 .000 .300 .094 .000 .300 .030 .300 .230 .000 .300 .300 .000 .000 .167 .000 .656 .006 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_6 Pearson Correlation .312 .800** .451* .095 .312 1 .081 .095 .935** .095 .110 .451* .095 .095 .202 .312 .935** .081 .796** .381* .606**
Sig. (2-tailed) .094 .000 .012 .617 .094 .670 .617 .000 .617 .563 .012 .617 .617 .285 .094 .000 .670 .000 .038 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_7 Pearson Correlation .793** .191 .636** .213 .793** .081 1 .213 .191 .213 .277 .636** .373* .213 .603** .793** .040 .659** -.031 .533** .649**
Sig. (2-tailed) .000 .311 .000 .258 .000 .670 .258 .311 .258 .138 .000 .042 .258 .000 .000 .833 .000 .872 .002 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_8 Pearson Correlation .196 .189 .196 .700** .196 .095 .213 1 .189 .700** .866** .196 .550** .700** .141 .196 .047 .213 .144 .550** .563**
Sig. (2-tailed) .300 .317 .300 .000 .300 .617 .258 .317 .000 .000 .300 .002 .000 .456 .300 .804 .258 .447 .002 .001
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_9 Pearson Correlation .397* .866** .397* .189 .397* .935** .191 .189 1 .189 .191 .397* .189 .189 .267 .397* .866** .191 .736** .472** .684**
Sig. (2-tailed) .030 .000 .030 .317 .030 .000 .311 .317 .317 .312 .030 .317 .317 .153 .030 .000 .311 .000 .008 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Sig. (2-tailed) .300 .317 .300 .000 .300 .617 .258 .000 .317 .000 .300 .029 .000 .456 .300 .804 .042 .447 .029 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_11 Pearson Correlation .226 .191 .226 .866** .226 .110 .277 .866** .191 .866** 1 .226 .433* .866** .136 .226 .055 .277 .167 .433* .608**
Sig. (2-tailed) .230 .312 .230 .000 .230 .563 .138 .000 .312 .000 .230 .017 .000 .473 .230 .775 .138 .379 .017 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_12 Pearson Correlation .856** .259 1.000** .196 .856** .451* .636** .196 .397* .196 .226 1 .196 .196 .761** .856** .397* .636** .226 .489** .781**
Sig. (2-tailed) .000 .167 .000 .300 .000 .012 .000 .300 .030 .300 .230 .300 .300 .000 .000 .030 .000 .230 .006 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_13 Pearson Correlation .342 .189 .196 .400* .196 .095 .373* .550** .189 .400* .433* .196 1 .400* .141 .342 .047 .373* .000 .400* .482**
Sig. (2-tailed) .064 .317 .300 .029 .300 .617 .042 .002 .317 .029 .017 .300 .029 .456 .064 .804 .042 1.000 .029 .007
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Sig. (2-tailed) .300 .317 .300 .000 .300 .617 .258 .000 .317 .000 .000 .300 .029 .456 .300 .804 .042 .447 .029 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_15 Pearson Correlation .761** .134 .761** .141 .761** .202 .603** .141 .267 .141 .136 .761** .141 .141 1 .761** .134 .603** .000 .424* .623**
Sig. (2-tailed) .000 .481 .000 .456 .000 .285 .000 .456 .153 .456 .473 .000 .456 .456 .000 .481 .000 1.000 .019 .000
N 30
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_16 Pearson Correlation 1.000** .259 .856** .196 .856** .312 .793** .196 .397* .196 .226 .856** .342 .196 .761** 1 .259 .636** .085 .489** .769**
Sig. (2-tailed) .000 .167 .000 .300 .000 .094 .000 .300 .030 .300 .230 .000 .064 .300 .000 .167 .000 .656 .006 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_17 Pearson Correlation .259 .732** .397* .047 .259 .935** .040 .047 .866** .047 .055 .397* .047 .047 .134 .259 1 .040 .736** .331 .532**
Sig. (2-tailed) .167 .000 .030 .804 .167 .000 .833 .804 .000 .804 .775 .030 .804 .804 .481 .167 .833 .000 .074 .002
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_18 Pearson Correlation .636** .191 .636** .373* .636** .081 .659** .213 .191 .373* .277 .636** .373* .373* .603** .636** .040 1 -.031 .533** .649**
Sig. (2-tailed) .000 .311 .000 .042 .000 .670 .000 .258 .311 .042 .138 .000 .042 .042 .000 .000 .833 .872 .002 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_19 Pearson Correlation .085 .873** .226 .144 .085 .796** -.031 .144 .736** .144 .167 .226 .000 .144 .000 .085 .736** -.031 1 .289 .464**
Sig. (2-tailed) .656 .000 .230 .447 .656 .000 .872 .447 .000 .447 .379 .230 1.000 .447 1.000 .656 .000 .872 .122 .010
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_20 Pearson Correlation .489** .472** .489** .400* .489** .381* .533** .550** .472** .400* .433* .489** .400* .400* .424* .489** .331 .533** .289 1 .735**
Sig. (2-tailed) .006 .008 .006 .029 .006 .038 .002 .002 .008 .029 .017 .006 .029 .029 .019 .006 .074 .002 .122 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Total_sko Pearson Correlation .769** .608** .781** .597** .747** .606** .649** .563** .684** .597** .608** .781** .482** .597** .623** .769** .532** .649** .464** .735** 1
r Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .001 .000 .000 .000 .000 .007 .000 .000 .000 .002 .000 .010 .000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30