Anda di halaman 1dari 138

ANALISIS FAKTOR RISIKO WASTING PADA BALITA

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IDI RAYEUK


KABUPATEN ACEH TIMUR
TAHUN 2019

TESIS

Oleh
ANNA DARA TAMBUNAN
1602011322

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
2019
ANALISIS FAKTOR RISIKO WASTING PADA BALITA
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IDI RAYEUK
KABUPATEN ACEH TIMUR
TAHUN 2019

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.K.M)
Pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Kebijakan Manajemen Pelayanan Kesehatan
Institut Kesehatan Helvetia Medan

Oleh :

ANNA DARA TAMBUNAN


1602011322

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
2019
Tanggal Lulus :
Telah diuji Pada Tanggal: 06 Maret 2019

PANITIA PENGUJI TESIS


`
Ketua : 1. Dr. Ir. ZuraidahNasution, M.Kes
Anggota : 2. Anto, SKM, M.Kes, M.M
3. Prof. Dr. Evawany Yunita Aritonang, M.Si
4. Prof. Dr. dr. SarmaLumban Raja Sp.OG (K)
ABSTRAK

ANALISIS FAKTOR RISIKO WASTING PADA BALITA


DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IDI RAYEUK
KABUPATEN ACEH TIMUR
TAHUN 2019

ANNA DARA TAMBUNAN


1602011322

Wasting merupakan status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) yang merupakan padanan istilah wasted (kurus)
dan severely wasted (sangat kurus). Berdasarkan pemantauan status gizi (PSG)
Tahun 2017 di Indonesia terdapat sebanyak 2,8% balita mempunyai status gizi
sangat kurus dan 6,7% balita mempunyai status gizi kurus.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalis faktor risiko wasting pada
balita di Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur Tahun
2019. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain kasus control
(case control design). Penarikan sampel dilakukan secara total sampling.
Perbandingan kasus dan kontrol yaitu 1:1 matching umur, jenis kelamin dan
memiliki buku KIA maka jumlah sampel keseluruhan adalah 86 balita yang terdiri
dari 43 balita sebagai kasus dan 43 balita sebagai kontrol. Data dianalisis secara
univariat, bivariat dengan uji chi square dan multivariate dengan uji regresi
logistik.
Hasil penelitian di wilayah kerja Puskesmas Idi Rayeuk menunjukkan
bahwa penyakit infeksi (OR=7,6), riwayat ASI Ekslusif (OR=3,1), pendapatan
keluarga (OR=2,6), pola asuh (OR=3,4), dan riwayat imunisasi dasar (OR=3,1)
merupakan faktor risiko wasting pada balita dan variabel jumlah anggota keluarga
(OR=1,4) bukan merupakan faktor risiko wasting pada balita. Faktor risiko
wasting yang paling dominan adalah penyakit infeksi (OR= 15,797) artinya balita
yang mengalami riwayat penyakit infeksi memiliki peluang 15,7 kali mengalami
wasting dibandingkan balita yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi.
Bagi Puskesmas Idi Rayeuk diharapkan kepada petugas kesehatan
khususnya pelaksanaan program gizi agar dapat memantau secara berkala dan
mengatasi masalah status gizi balita terutama masalah wasting yang dialami
balita.

Kata Kunci : Wasting, penyakit infeksi, riwayat ASI Ekslusif, pendapatan


keluarga, pola asuh, jumlah anggota keluarga, riwayat
imunisasi dasar, balita.
Daftar Pustaka: 30 Buku + 18 Kutipan Internet (2012-2017)
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat ALLAH SWT atas berkat dan

Karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul:

“Analisis faktor risiko wasting pada balita di wilayah kerja puskesmas Idi Rayeuk

Kabupaten Aceh Timur Tahun 2019 ”.

Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.K.M) pada Program Studi

S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Gizi Kesehatan Keluarga dan

Kesehatan Reproduksi di Institut Kesehatan Helvetia Medan. Dalam penyusunan

tesis ini, penulis mendapat bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak.

Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. Dr. dr. Hj. Razia Begum Suroyo, M.Sc, M.Kes selaku Pembina Yayasan

Helvetia.

2. Iman Muhammad, S.E, S.Kom, M.M, M.Kes, Selaku ketua Yayasan

Helvetia Medan

3. Dr. H. Ismail Efendy, M.Si selaku Rektor Institut Kesehatan Helvetia

Medan.

4. Dr. Asriwati, S. Kep, Ns, S.Pd, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia Medan.

5. Anto, S.K.M, M.Kes, MM, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat dan sekaligus

Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta


mencurahkan waktu, perhatian ide dan motivasi selama penyusunan untuk

kesempurnaan tesis ini.

6. Dr. Ir. Zuraidah Nasution, M.Kes, selaku Pembimbing I yang telah

membimbing penulis selama penyusunan Tesis ini.

7. Prof. Dr. Evawany Yunita Aritonang, M.Si, selaku Penguji I yang telah

memberikan masukan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

8. Dr. dr. Sarma N. Lumbanraja Sp.OG(K), selaku Penguji II yang telah

memberikan masukan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

9. Teristimewa kepada suami dan anak-anak tercinta yang selalu memberikan

mendoakan dan selalu memotivasi penulis dalam penyelesaian tesis ini

10. Kepala Puskesmas Idi Rayeuk beserta staf yang telah memberikan izin

tempat penelitian dan informasi yang dibutuhkan oleh penulis

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan.

Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran. demi kesempurnaan tesis ini.

Akhir kata semoga kita semua dalam lindungan ALLAH SWT.


DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i
ABSTRACT ..................................................................................................... ii
ABSTRAK ...................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1


1.1............................................................................................ Latar
belakang ........................................................................................ 1
1.2............................................................................................
Rumusan masalah.......................................................................... 7
1.3............................................................................................
Tujuan penelitian ........................................................................... 7
1.4............................................................................................
Manfaat Penelitian......................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 10


2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu ........................................................ 10
2.2. Telaah Teori ................................................................................ 15
2.3. Kerangka Teori ........................................................................... 30
2.4. Landasan Teori ........................................................................... 45
2.5. Kerangka konsep ....................................................................... 46
2.6. Hipotesis penelitian ..................................................................... 47

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 48


3.1. Desain Penelitian ........................................................................ 48
3.2. Lokasi dan waktupenelitian ........................................................ 48
3.3. Populasi dan sampel .................................................................... 49
3.4. Metode pengumpulan data .......................................................... 50
3.5. Variabel dan analisa data ............................................................ 53
3.6. Metode Pengukuran ................................................................... 54
3.7. Metode Pengolahan Data ........................................................... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN ..................................................................... 59


4.1. Gambaran umum lokasi penelitian ............................................. 59

4.2. Analisis Univariat ....................................................................... 60


4.2. Analisis Bivariat.......................................................................... 65
4.3. Analisis Multivariat .................................................................... 70

BAB V PEMBAHASAN ................................................................................ 74


5.1. Pengaruh Penyakit Infeksi dengan Wasting Pada Balita .......... 74

5.2. Pengaruh Riwayat ASI Ekslusif dengan Wasting Pada Balita . 77


5.3. Pengaruh Pendapatan Keluarga dengan Wasting Pada Balita .. 80
5.4. Pengaruh Pola Asuh dengan Wasting Pada Balita .................... 82
5.5. Pengaruh Jumlah Anggota Keluarga dengan Wasting .............. 85
5.6. Pengaruh dengan Riwayat Imunisasi Dasar Kejadian Wasting 86
5.7. Faktor Dominan Kejadian Wasting Pada Balita ........................ 91

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 93


6.1. Kesimpulan ................................................................................ 94
6.2. Saran .......................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DOKUMENTASI
DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

2.1 Kerangka teori penelitian ......................................................................... 45

2.2 Kerangka Konsep ...................................................................................... 46


DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

2.1. Kategori dan Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan
Indeks............................................................................................................ 24

2.2. Jadwal Pemberian Imunisasi ......................................................................... 44

3.6. Metode Pengukuran Variabel Penelitian ....................................................... 54

4.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur .................................... 60

4.2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan............................................... 60

4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ....................... 61

4.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur balita ............................................. 61

4.5. Distribusi Frekuensi Wasting Pada Balita di Wilayah Kerja


Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur ............................................ 62

4.6. Distribusi Frekuensi Penyakit Infeksi di Wilayah Kerja Puskesmas Idi


Rayeuk Kabupaten Aceh Timur .................................................................... 62

4.7. Distribusi Frekuensi Riwayat ASI Ekslusif di Wilayah Kerja


Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur ............................................ 62

4.8. Distribusi Frekuensi Pendapatan Keluarga di Wilayah Kerja


Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur ............................................ 63

4.9. Distribusi Frekuensi Pola Asuh di Wilayah Kerja Puskesmas Idi


Rayeuk Kabupaten Aceh Timur .................................................................... 63

4.10. Distribusi Frekuensi Jumlah Anggota Keluarga di Wilayah Kerja


Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur ........................................... 64

4.11. Distribusi Frekuensi Riwayat Imunisasi Dasar di Wilayah Kerja


Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur ........................................... 64

4.12. Hubungan Penyakit Infeksi dengan Wasting Pada Balita ......................... 65

4.13. Hubungan Riwayat ASI Ekslusif dengan Wasting Pada Balita ................ 66
4.14. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Wasting Pada Balita ................. 67

4.15. Hubungan Pola Asuh dengan Wasting Pada Balita ................................... 68

4.16. Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Wasting Pada Balita ......... 69

4.17. Hubungan Riwayat Riwayat Imunisasi Dasar dengan Wasting Pada


Balita ......................................................................................................... 70

4.18. Seleksi Variabel yang menjadi Kandidat Model dalam


Uji Regresi Logistik Berdasarkan Analisis Bivariat ................................. 71

4.19. Hasil Tahapan Terakhir Analisis Regresi Logistik .................................... 72

4.20. Hasil Hasil Analisis Logistik Model Summary......................................... 73


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat,

tetapi penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan

pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor,

karena itu pendekatan penanggulangannya melibatkan berbagai faktor, masalah

gizi muncul akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumah tangga yaitu

kemampuan rumah tangga memperoleh makanan untuk semua anggotanya (1).

Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) merupakan suatu

tindakan sistematis dan terencana yang dilakukan secara bersama-sama oleh

seluruh komponen bangsa dengan kesadaran, kemauan dan kemampuan

berperilaku sehat untuk meningkatkan kualitas hidup. Pelaksanaan GERMAS

harus dimulai dari keluarga, karena keluarga adalah bagian terkecil dari

masyarakat yang membentuk kepribadian. Dalam kehidupan sehari-hari, praktik

hidup sehat merupakan salah satu wujud Revolusi Mental. GERMAS mengajak

masyarakat untuk membudayakan hidup sehat, agar mampu mengubah kebiasaan-

kebiasaan atau perilaku tidak sehat (2).

Status gizi merupakan salah satu indikator kualitas sumber daya

manusia yang menentukan tingkat kesehatan masyarakat. Pemantauan

pertumbuhan pada balita dapat menjadi awal untuk penilaian status gizi dengan

melakukan konfirmasi terhadap indicator berat badan menurut panjang badan atau

tinggi badan oleh tenaga kesehatan (3).


Gangguan gizi yang terjadi pada balita mempengaruhi pertumbuhan

dan perkembangan, baik pada masa balita maupun masa berikutnya sehingga

perlu mendapatkan perhatian dan penanggulangan gizi kurang memerlukan upaya

yang menyeluruh (4).

Status gizi pada masalah balita perlu mendapatkan perhatian yang

serius dari orang tua, karena kekurangan gizi pada masa ini akan menyebabkan

kerusakan yang irreversible (tidak dapat dipulihkan). Kekurangan gizi yang lebih

fatal akan berdampak pada perkembangan otak pesat pada usia 30 minggu-18

bulan dan juga akan berpengaruh pada perkembangan fisik dan mental anak (5).

Pengaruh kekurangan gizi tidak hanya berpengaruh terhadap

perkembangan fisik tetapi juga terhadap perkembangan kognitif yang pada

gilirannya berpengaruh terhadap kecerdasan dan ketangkasan berpikir serta

terhadap produktifitas kerja, kekurangan gizi pada masa ini juga dikaitkan dengan

resiko terjadinya penyakit kronis pada usia dewasa, yaitu kegemukan, penyakit

jantung dan pembuluh darah, hipertensi, stroke dan diabetes (6).

Masalah gizi yang diderita oleh anak usia dibawah 5 tahun

(balita) dapat mengakibatkan hal yang serius pada kesehatan dan masa

depannya. Balita yang menderita wasting dengan menderita gizi sangat kurus

akan mudah terkena penyakit sedangkan balita yang kurus maka akan

mengalami pertumbuhan jaringan tubuhnya akan mengalami keterlambatan

(7).

Wasting merupakan status gizi yang didasarkan pada indeks berat

badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang merupakan padanan istilah wasted
(kurus) dan severely wasted (sangat kurus). Balita yang mengalami wasting atau

kurus disebabkan karena kejadian tersebut baru terjadi atau akut yaitu penurunan

asupan gizi yang drastis atau menderita penyakit sehingga berat badannya

berkurang, balita seperti ini disebut mengalami masalah gizi akut. Wasting

menggambarkan status gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari keadaan yang

berlangsung dalam waktu yang pendek, seperti menurunnya nafsu makan akibat

sakit atau karena menderita diare. Dalam keadaan demikian berat badan anak akan

cepat turun sehingga tidak proporsional dengan tinggi badannya dan anak menjadi

kurus (8).

UNICEF pada tahun 2015 menempatkan Indonesia diantara 31

negara yang tidak akan mencapai target global untuk menurunkan angka kurang

gizi di tahun 2025. Data pemerintah menunjukkan 37% anak balita menderita

stunting, 12% menderita wasting (terlalu kurus untuk tinggi badan mereka) dan

12% mengalami kelebihan berat badan (9).

Data dari WHO 2016, Indonesia menempati urutan ke-17 dari 117

negara dengan prevalensi wasting (perawakan kurus) dan stunting (perawakan

pendek) yang tinggi pada balita. Ada sekitar 14 persen balita wasting, dan balita

stunting mencapai proporsi tertinggi yaitu 35 persen (10).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2013) Menunjukkan bahwa

masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara

10,0-14,0 persen, dan dianggap kritis bila ≥15,0 persen (WHO 2010). Pada tahun

2013, secara nasional prevalensi kurus pada anak balita masih 12,1 persen, yang

artinya masalah kurus di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan


masyarakat yang serius. Diantara 33 provinsi, terdapat 16 provinsi yang masuk

kategori serius, dan 4 provinsi termasuk kategori kritis, yaitu Kalimantan Barat,

Maluku, Aceh dan Riau (11).

Sasaran dan target upaya peningkatan status gizi masyarakat

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 adalah

prevalensi gizi kurang/kekurangan gizi (underweight) pada anak balita menurun

dari 19,6% menjadi 17,0%, prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada

anak baduta (dibawah 2 tahun) menurun dari 32,9% menjadi 28,0%, prevalensi

wasting (kurus) anak balita menurun dari 12% menjadi 9,5%, prevalensi anemia

pada ibu hamil menurun dari 37,1% menjadi 28,0% dan persentase bayi dengan

berat badan lahir rendah (BBLR) menurun dari 10,2% menjadi 8,0% (12).

Berdasarkan pemantauan status gizi (PSG) Tahun 2017 di Indonesia

terdapat sebanyak 2,8% balita mempunyai status gizi sangat kurus dan 6,7% balita

mempunyai status gizi kurus. Persentase wasting/kurus (sangat kurus dan kurus)

pada kelompok balita (9,5%) dan kelompok baduta (12,8%) (10) .

Hasil penelitian Rochmawati (2016) mengenai faktor risiko gizi

kurus atau wasting pada balita di wilayah kerja puskesmas kota Pontianak

menunjukkan faktor risiko wasting pada balita yaitu asupan karbohidrat, asupan

protein, penyakit infeksi, pemberian ASI, kelengkapan imunisasi. Berdasarkan

hasil penelitian diperoleh Ada hubungan yang signifikan antara penyakit

infeksi, pemberian ASI, dan kelengkapan imunisasi dengan kejadian gizi kurus

atau wasting dan tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan karbohidrat

dan asupan protein dengan kejadian gizi kurus atau wasting (13) .
Berdasarkan indikator status gizi untuk masalah balita kurus atau

wasting (BB/TB) terjadi penurunan prevalensi secara bertahap dari tahun 2014-

2017, namun jika dibandingkan dengan rerata nasional prevalensi balita kurus

Aceh atau wasting (12.8%) hampir dua kali dari prevalensi Nasional (6,9%).

Berdasarkan hasil Survai Pemantauan Status Gizi Provinsi Aceh Tahun 2017

didapatkan masalah status gizi balita kurus atau wasting di Aceh Timur pada

tahun 2017 sebesar 11,2% (12).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Idi Rayeuk

Kabupaten Aceh Timur, kejadian wasting pada balita pada tahun 2016 sebesar

14,12 % terdiri dari balita kurus sebanyak 11,01 % dan 3,11 % balita sangat

kurus, pada tahun 2017 sebanyak 15,73 % terdiri dari 11,84 % balita kurus dan

3,89 % balita sangat kurus.

Menurut Baliwati (2004) Status gizi dapat dipengaruhi oleh faktor

langsung dan tidak langsung. Faktor langsung yang menimbulkan masalah gizi

ialah kurangnya asupan makan dan penyakit infeksi. Kekurangan asupan makan

disebabkan karena tidak tersedianya pangan pada tingkat rumah tangga sehingga

tidak ada makanan yang dapat dikomsumsi. Kekurangan asupan makanan juga

disebabkan oleh perilaku atau pola asuh orang tua yang kurang baik pada anak

seperti orang tua lebih mementingkan memakai perhiasan dibandingkan untuk

menyediakan makanan bergizi. Faktor tidak langsung mencakup jumlah anggota

keluarga, pekerjaan, tingkat pendapatan keluarga, pemberian ASI Ekslusif (14).

Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi sehingga mudah

terserang infeksi. Infeksi yang berlanjut akan menghambat pertumbuhan fisik


anak sehingga anak menderita wasting. Hasil penelitian Afriyani menunjukkan

faktor dominan terjadinya wasting pada balita adalah penyakit infeksi, balita yang

sering menderita penyakit infeksi berisiko 3,512 kali mengalami wasting

dibandingkan anak yang tidak menderita penyakit infeksi (15).

Rendahnya pemberian ASI merupakan ancaman ancaman bagi

tumbuh kembang anak yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan

kualitas sumber daya manusia secara umum. Penelitian menunjukkan bahwa anak

yang tidak mendapatkan ASI Ekslusif memiliki risiko 3,025 kali mengalami

wasting dibandingkan anak yang tidak mendapatkan ASI Ekslusif (16)

Survey yang telah peneliti lakukan serta wawancara kepada 5 orang

petugas kesehatan di Wilayah kerja Puskesmas Idi Rayeuk diketahui bahwa

umumnya pendapatan keluarga rendah dengan pekerjaan nelayan dan petani serta

memiliki jumlah anak lebih dari 4 orang. Selanjutnya hasil wawancara kepada 10

ibu yang memiliki balita di Puskesmas Idi Rayeuk diketahui bahwa 5 dari 10 ibu

jarang memberikan makanan beranekaragam dan bergizi karena ibu selalu

menuruti kemauan anak untuk jajan agar anak tidak menangis. Terdapat 6 dari 10

ibu mengatakan anak balitanya pernah menderita ISPA bila keadaan sudah parah

baru ibu membawa balitanya kepelayanan kesehatan. Terdapat 5 dari 10 balita

mengalami diare dalam setahun terakhir. Terdapat 7 dari 10 ibu tidak memberikan

ASI Ekslusif kepada bayinya. Terdapat 5 dari 10 ibu mengatakan anak balitanya

tidak mendapatkan imunisasi lengkap karena suami tidak memberikan izin dengan

alasan nanti anaknya demam dan lemas. Dari hasil uji pendahuluan bahwa banyak

faktor risiko wasting pada balita diantaranya penyakit infeksi, riwayat imunisasi
dasar, pendapatan keluarga, jumlah anggota rumah tangga, riwayat ASI Ekslusif,

pola asuh.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka peneliti

tertarik melakukan penelitian mengenai Analisis faktor risiko Wasting pada balita

di Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur Tahun 2019.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun yang akan menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah Faktor apa saja yang merupakan risiko wasting di Wilayah Kerja

Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur Tahun 2019?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum


Untuk menganalisis faktor risiko wasting pada balita di Wilayah

Kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur Tahun 2019.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk menilai penyakit infeksi merupakan faktor risiko wasting

pada balita.

2. Untuk menilai riwayat ASI Ekslusif merupakan faktor risiko

wasting pada balita.

3. Untuk menilai pendapatan keluarga merupakan faktor risiko

wasting pada balita.

4. Untuk menilai pola asuh gizi merupakan faktor risiko wasting pada

balita.
5. Untuk menilai jumlah anggota keluarga merupakan faktor risiko

wasting pada balita.

6. Untuk menilai riwayat imunisasi dasar merupakan faktor risiko

wasting pada balita.

7. Untuk menilai faktor yang paling dominan terhadap risiko wasting

pada balita.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Ilmiah

1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengkayaan literature

tentang terjadinya wasting pada balita.

2. Menjadi acuan dan tambahan referensi bagi calon peneliti

selanjutnya, terutama yang berhubungan dengan faktor risiko

wasting pada balita

1.4.2. Manfaat Institusi

1. Sebagai dasar informasi bagi pihak puskesmas dalam

melakukan upaya promotif, preventif terhadap kejadian wasting

pada balita.

2. Sebagai bahan informasi bagi Dinas Kesehatan dalam program

penanggulangan wasting pada balita.

3. Sebagai referensi dan kepustakaan program pascasarjana ilmu

kesehatan masyarakat institut kesehatan Helvetia Medan.

1.4.3. Manfaat Praktis


Merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti dalam

mengaplikasikan ilmu dan wawasan ilmiahnya mengenai wasting

pada balita.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Penelitian Sebelumnya

Rochmawati (2016) mengenai faktor risiko gizi kurus atau wasting pada

balita di wilayah kerja puskesmas kota Pontianak. Jenis penelitian Case control

dengan tekhnik purposive sampling. Sampel penelitian sebanyak 66 responden

yang terbagi menjadi 2 kelompok yaitu 33 kasus dan 33 kontrol. Data dianalisis

menggunakan uji Chi square. Hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan

yang bermakna antara penyakit infeksi (p = 0,001, OR = 10,436 dengan CI 95% =

CI 95% =2,831-37,255), ASI eksklusif (p = 0,021, OR = 3,946 dengan CI 95% =

1,343 – 11,800), dan kelengkapan imunisasi (p = 0,025, OR = 3,619 dengan CI

95% = 1,290-10,150). Variabel yang tidak berhubungan asupan karbohidrat (p =

0,577, OR = 1,688 dengan CI 95% = 0,524-5,438) dan asupan protein (p = 1,000,

OR = 1,134 dengan CI 95% = 0,425-3,026) dengan kejadian wasting di Wilayah

Kerja Puskesmas Kota Pontianak (13).

Lestari (2016), Analisis determinan gizi kurang pada balita di Kulon

Progo. Teknik pengumpulan data dengan melakukan penimbangan dan

pengukuran tinggi badan serta membagikan kuesioner dengan pertanyaan tertutup

berjumlah 18 soal. Hasil analisa data dengan uji Chi square test dengan signifikasi

95% diperoleh hasil ada hubungan bermakna antara jumlah keluarga dengan

kejadian gizi kurang (p = 0,004, OR = 2,312), ada hubungan antara pendapatan

dengan kejadian gizi kurang (p = 0,000, OR= 3,174), dan ada hubungan antara
pengetahuan dengan kejadian wasting (p = 0,001, OR = 2,784). Dari penelitian ini

dapat disimpulkan bahwa jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, dan

pengetahuan ibu tentang gizi memiliki hubungan dengan kejadian gizi kurang

pada balita di Kulon Progo, Yogyakarta (17) .

Djauhar (2011) Hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian

Wasting Pada anak dibawah dua tahun di Kabupaten Aceh Besar Metode

penelitian: Jenis penelitian observasional dengan rancangan matched case control.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita usia dibawah dua tahun di

Kabupaten Aceh Besar. Sampel penelitian yaitu anak dibawah 2 tahun usia 7-24

bulan. Pengambilan sampel menggunakan two stage cluster random sampling dan

purposive sampling. Jumlah sampel 70 anak terdiri dari 35 kasus dan 35 kontrol.

Analisis bivariabel menggunakan Chi square (c2) McNemar dan analisis

multivariabel dengan menggunakan uji regresi logistik kondisional. (conditional

logistic regression). Hasil Penelitian : Analisis bivariat menunjukkan bahwa ada

hubungan yang bermakna secara statistik antara pemberian ASI tidak eksklusif

dengan kejadian wasting pada anak dibawah dua tahun (p = 0,0290 ; OR = 3,25

95% CI; 1,00-13,68). Analisis multivariat menunjukkan ada hubungan yang

bermakna antara pemberian ASI tidak eksklusif dengan kejadian wasting (16).

Wahyono (2013), judul penelitian Faktor langsung dan tidak langsung

yang berhubungan dengan kejadian Wasting pada anak umur 6-59 bulan di

Indonesia, Desain penelitian ialah deskriptif analitik dengan desain studi cross

sectional. Hasil penelitian faktor langsung wasting secara langsung (asupan

energi, karbohidrat, lemak, protein, pola menyusui, dan penyakit malaria), faktor
tidak langsung dan karakteristik anak (pendidikan bapak, pendidikan ibu,

pekerjaan bapak, pekerjaan ibu, persentase pengeluaran pangan terhadap

pengeluaran total, status imunisasi, kondisi rumah, umur dan jenis kelamin,

jumlah anggota keluarga). Analisis regresi menunjukkan faktor langsung yang

dominan untuk kejadian wasting adalah asupan karbohidrat dan faktor tidak

langsung risiko yang dominan untuk wasting adalah jumlah anggota keluarga dan

pekerjaan ayah (18)

Nimah (2018), judul penelitian Hubungan tingkat pendidikan, tingkat

pengetahuan dan pola asuh ibu dengan wasting dan stunting pada balita keluarga

miskin. Menyimpulkan bahwa wasting banyak terjadi pada keluarga miskin. Salah

satu penyebab wasting adalah pola asuh ibu terhadap balitanya. Pola asuh ibu

terkait dengan tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan ibu. Ibu dengan tingkat

pendidikan rendah lebih sulit menerima informasi daripada ibu dengan tingkat

pendidikan tinggi. Pengetahuan yang kurang dapat menjadikan pola asuh ibu

kurang sehingga memengaruhi kejadian wasting dan stunting pada balita. Tujuan

penelitian adalah untuk menganalisis hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan,

dan pola asuh dengan wasting dan stunting pada balita keluarga miskin. Besar

sampel adalah 47 balita dari keluarga miskin di Kecamatan Balen Kabupaten

Bojonegoro yang dipilih menggunakan teknik simple random sampling. Data

dianalisis menggunakan uji chi-square dengan α= 0,05. Berdasarkan hasil

penelitian didapatkan ada hubungan antara tingkat pendidikan (p=0,002, OR =

2,884), tingkat pengetahuan (p=0,017,OR= 3,428), dan pola asuh ibu (p=0,022,

OR=3,119) dengan wasting (19).


Hendrayati (2013). Judul penelitian faktor yang mempengaruhi kejadian

wasting pada anak balita di Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Shoppeng.

Desain penelitian survey analitik dengan pendekatan cross sectional study. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa yang menjadi faktor terjadinya wasting adalah

penyakit infeksi (diare), pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga,

pengetahuan gizi ibu dan pola asuh. Berdasarkan hasil uji statistic didapatkan ada

hubungan antara penyakit infeksi (diare) (p=0,002, OR = 2,884), pendapatan

keluarga (p=0,002, OR = 2,884), tingkat pengetahuan (p=0,017,OR= 3,428), dan

pola asuh ibu (p=0,022, OR=3,119) dengan wasting dan variabel jumlah

anggota keluarga tidak ada hubungan dengan kejadian wasting (p = 0,561 0R=

0,721) (20).

Afriyani (2015). Judul penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi

kejadian wasting pada balita usia 1-5 tahun dipuskesmas Talang Betutu Kota

Palembang. Desain penelitian menggunakan survey analitik dengan rancangan

cross sectional. Tingginya prevalensi kejadian wasting tersebut dipengaruhi

oleh banyak faktor resiko seperti: faktor riwayat penyakit infeksi, status

kelengkapan imunisasi, dan pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian yang

didapatkan terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit dengan

kejadian wasting pada balita usia 1-5 tahun di Puskesmas Talang Betutu Kota

Palembang (p= 0.010 dan OR= 3,512) riwayat penyakit infeksi dapat

meningkatkan resiko kejadian wasting sebesar 3,512 kali dibandingkan anak

yang tidak menderita penyakit infeksi, dimana responden yang memiliki balita

dengan status imunisasi tidak lengkap dan riwayat penyakit infeksi cenderung
memiliki peluang untuk mengalami wasting sebesar 4,331 kali lebih besar

dari pada responden yang memiliki balita dengan status imunisasi lengkap

tanpa riwayat penyakit infeksi. Lebih lanjut setelah dikontrol dengan

variabel ASI eksklusif didapatkan ORMH (Odds Ratio Mentel Haenzel) =

2,843. Hal ini berarti responden yang memiliki balita yang tidak mendapatkan

ASI Ekslusif dengan cenderung berpeluang mengalami wasting sebesar 2,843

kali lebih besar daripada responden yang memiliki balita yang mendapat

ASI secara ekslusif (15).

Muljati (2008), judul penelitian status gizi kurus anak usia (24-59) di

Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas

Tahun 2010 dengan desain studi cross-sectional. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa pendapatan keluarga, pendidikan ibu dan ayah mempunyai pengaruh

terhadap gangguan pertumbuhan. Semakin rendah status ekonomi keluarga

semakin tinggi juga risiko balita dalam keluarga tersebut untuk mengalami

kejadian balita kurus. Balita dari keluarga dengan pendapatan keluarga rendah

mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami status gizi kurus dibandingkan

dengan balita dari keluarga berpendapatan keluarga tinggi dan balita yang

mempunyai orang tua dengan tingkat pendidikan rendah lebih besar untuk

mengalami gangguan pertumbuhan (21).

Rahayu (2018) judul penelitian The Biopsychosocial Determinants of

Stunting and Wasting in Children Aged 12-48 Months. Desain penelitian yang

digunakan adalah analitik observasional dengan pendekatan case control. hasil

analisis regresi logistik ada hubungan yang positif dan secara statistik signifikan
antara pengetahuan, pola asuh, riwayat imunisasi dasar, status ekonomi keluarga,

berat badan lahir, riwayat ISPA, riwayat diare, sumber air minum dan sanitasi

terhadap kejadian wasting. Meningkatnya risiko terjadinya wasting meningkat

dengan pengetahuan yang buruk (OR= 10.95; CI95%= 2.14 hingga 56.91; p=

0.004), pola asuh (OR= 8,74; CI95%= 3,14 hingga 33,17; p= 0.011), riwayat

imunisasi dasar (OR= 4,378; CI95%= 2,67 hingga 17,98; p= 0.019), status

ekonomi yang rendah (OR= 7.04; CI95% 5.51 hingga 32.78; p=0.013), berat

badan lahir rendah (BBLR) (OR= 14.71; CI95% 2.74 hingga 79.06; p=0.002),

riwayat ISPA (OR= 4.87; CI95% 1.23 hingga 19.38; p=0.024), riwayat diare

(OR= 6.09; CI95% 1.42 hingga 26.20; p=0.015), sumber air minum (OR= 9.78;

CI95% 2.26 hingga 42.36; p=0.002), dan sanitasi (OR= 7.67; CI95% 1.85 hingga

31.75; p=0.004) (22).

2.2. Telaah Teori

2.2.1. Pengertian Wasting

Wasting adalah keadaan status gizi pada indeks berat badan menurut

tinggi badan (BB/TB) yang merupakan padanan istilah wasted (kurus) dan

severely wasted (sangat kurus) berdasarkan kategori status gizi sangat kurus

dengan ambang batas (z-score) <-3 SD dan kategori status gizi kurus dengan

ambang batas (z-score)-3 SD sampai dengan <-2 SD (8).

Balita kurus (wasting) ditandai dengan kurangnya berat badan menurut

panjang/tinggi badan anak (BB/TB). Balita kurus disebabkan karena kekurangan

makan atau terkena penyakit infeksi yang terjadi dalam waktu yang singkat.
Karakteristik masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita kurus adalah masalah gizi

akut (4).

Wasting memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnnya akut sebagai

akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat).Misalnya

terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang menyebabkan anak

menjadi kurus. Masalah kurus pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai

penyakit degenerative pada saat dewasa (Teori Barker) (23).

Wasting merupakan keadaan status gizi pada indeks berat badan

menurut tinggi badan (BB/TB). Pada keadaan status gizi baik berat badan

seseorang akan berbanding lurus dengan tinggi badannya. Dengan kata lain berat

badan akan proporsional dgn tinggi badannya. Bila terjadi kondisi yang kurang

baik dalam waktu cepat, berat badan akan berubah karena sifat berat badan yang

labil sedangkan tinggi badan tidak terpengaruh. Akibatnya berat badan dalam

waktu singkat akan menjadi tidak proporsional dengan tinggi badannya. Oleh

karena itu indikator BB/TB memberikan gambaran tentang status gizi saat kini

atau masalah gizi akut (24).

Banyaknya anak yang mengalami wasting atau BB/TB nya tidak

proporsional atau kurus memberikan gambaran adanya masalah gizi akut yang

disebabkan oleh perubahan kondisi yang berlangsung dalam tempo atau periode

singkat. Indikator BB/TB ini berguna untuk pemilihan sasaran (targeting) bagi

tindakan intervensi segera, seperti pemeriksaan kesehatan, pemberian makanan

tambahan (PMT) pemulihan agar berat badannya kembali proporsional dgn tinggi

badannya atau juga bentuk intervensi yang memperbaiki lingkungan yang kurang
sehat, ketika anak mengalami wasting sebaiknya segera ditangani dalam waktu

cepat dengan mengatasi penyakit infeksi yang sedang dialami balita maupun

perbaikan asupan makanan dapat dilakukan dalam waktu sebulan ataupun sampai

berbulan-bulan apabila perbaikan gizi terhadap balita wasting tidak tertangani

(25).

2.2.2. Penyebab Wasting

Wasting merupakan kelompok gizi kurang, secara langsung disebabkan

oleh inadekuat nutrisi dan penyakit infeksi sedangkan penyebab pokok masalah

gizi kurang meliputi: ketahanan pangan yang tidak memadai, perawatan ibu

dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai (14).

Konsep yang dikembangkan oleh Unitred Nation Children’s Fund

(Unicef) tahun 1990 menyatakan bahwa masalah gizi disebabkan oleh dua faktor

utama, yaitu langsung dan tidak langsung. Faktor langsung yang menimbulkan

masalah gizi ialah kurangnya asupan makan dan penyakit infeksi. Kekurangan

asupan makan disebabkan karena tidak tersedianya pangan pada tingkagt rumah

tangga sehingga tidak ada makanan yang dapat dikomsumsi. Kekurangan asupan

makanan juga disebabkan oleh perilaku atau pola asuh orang tua yang kurang

baik pada anak. Dalam rumah tangga sebetulnya tersedia cukup makanan, tetapi

distribusi makanan tidak tepat, atau pemanfaatan potensi dalam rumah tangga

tidak tepat seperti orang tua lebih mementingkan memakai perhiasan

dibandingkan untuk menyediakan makanan bergizi. Menilai status gizi

memerlukan beberapa informasi lain yang berkaitan dengan penyebab gizi

kurang. Informasi tersebut misalnya mencakuo jumlah anggota keluarga, tingkat


pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan. Data kesehatan dan data statistic vital

juga berkaitan dengan status gizi seperti proporsi anak yang mendapat imunisasi,

proporsi ibu yang memberikan ASI ekslusif (26).

Faktor-faktor yang mempengaruhi gizi kurang kedalam tiga kelompok, yaitu

faktor penyebab langsung, tidak langsung, dan faktor yang mendasari kedua

faktor tersebut. Faktor penyebab langsung meliputi konsumsi makanan dan infeksi

sedangkan penyebab tidak langsung adalah ketersediaan dan pola konsumsi

pangan dalam rumah tangga, pola pengasuhan anak, serta jangkauan mutu

pelayanan kesehatan. Adapun faktor yang mendasari kedua faktor tersebut adalah

sosial,politik dan ekonomi. Faktor penyebab langsung meliputi jumlah konsumsi

makanan dan komposisi zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan gizi seimbang.

Konsumsi makanan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan dalam tingkat makro

dan mikro. Ketersediaan pangan dalam tingkat makro ditunjukkan oleh tingkat

produksi nasional dan cadangan pangan di tingkat regional dan lokal. Dalam

tingkat mikro, jumlah pangan yang cukup dan harga yang terjangkau akan

berdampak pada konsumsi pangan di rumah tangga. Pada bayi kurang dari 6 bulan

makanan yang memenuhi kecukupan gizi seimbangnya adalah ASI. Setelah

berumur 6 bulan, bayi perlu asupan tambahan selain ASI yakni makanan

pendamping ASI. Selain konsumsi pangan, infeksi juga menjadi penyebab

langsung terhadap gizi kurang pada anak. Infeksi seperti ISPA, TBC, malaria,

demam berdarah dan HIV/AIDS dapat mempengaruhi penyerapan asupan gizi

yang membuat gizi kurang dan buruk. Gizi kurang dan buruk dapat melemahkan

daya tahan tubuh sehingga membuat anak semakin rentan untuk terinfeksi
penyakit. Kedua hal tersebut saling berkaitan erat terhadap status gizi anak. Faktor

penyebab tidak langsung meliputi ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam

rumah tangga, pola pengasuhan anak serta jangkauan mutu pelayanan kesehatan.

Ketiga faktor tersebut mempengaruhi konsumsi pangan dan infeksi penyakit pada

anak. Rendahnya kualitas konsumsi pangan dalam rumah tangga dikarenakan

kurangnya akses rumah tangga dan masyarakat terhadap pangan, baik akses

karena jumlah ketersediaan pangan maupun tingkat pendapatan yang

mempengaruhi daya beli rumah tangga. Adapun pola asuh anak meliputi

pemberian ASI, makanan pendamping ASI yang tepat, serta perilaku higienis dan

tindakan mencari pelayanan kesehatan guna mendukung gizi yang baik. Hal

tersebut dipengaruhi oleh pendidikan, pelayanan kesehatan, informasi, pelayanan

keluarga berencana, serta kelembagaan masyarakat untuk pemberdayaan

perempuan (24).

Faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak terdiri dari sebab

langsung dan sebab tak langsung. Sebab langsung meliputi kecukupan pangan dan

keadaan kesehatan, sebab tidak langsung meliputi ketahanan pangankeluarga, pola

asuh anak, pemanfaatan pelayanan dan sanitasi lingkungan dengan penyebab

dasar struktur ekonomi (27).

2.2.3. Dampak Wasting

Tingginya prevalensi wasting merupakan salah satu masalah kesehatan

yang memerlukan penanganan serius. Dampak wasting pada balita dapat

menurunkan kecerdasan, produktifitas dan kreatifitas dan sangat berpengaruh

pada kualitas SDM. Dampak yang paling buruk ditimbulkan kurang gizi adalah
kematian, selain itu juga menyebabkan kehilangan generasi penerus bangsa (Lost

Generation) (8).

Dampak wasting pada anak adalah mengalami penurunan daya

ekspolasi terhadap lingkungannya, peningkatan frekuensi menangis, kurang

bergaul dengan sesama anak, kurang perasaan gembira, dan cenderung menjadi

apatis. Dalam jangka panjang, anak tersebut akan mengalami gangguan kognitif,

penurunan prestasi belajar, gangguan tingkah laku, bahkan peningkatan resiko

kematian. Dampak tersebut akan merugikan bangsa dan dapat menyebabkan lost

generation jika dialami oleh banyak anak dan tidak dilakukan penanggulangan

terhadap penyakit tersebut (28).

Kekurangan gizi pada masa balita dapat berpengaruh pada

pertumbuhan otak karena sel-sel otak tidak dapat berkembang. Otak mencapai

pertumbuhan yang optimal pada usia 2-3 tahun. Kekurangan gizi mengakibatkan

terganggunya fungsi otak secara permanen, yang menyebabkan kemampuan

berpikir setelah masuk sekolah dan usia dewasa menjadi berkurang (29).

Balita sering disebut konsumen pasif. Anak usia dibawah 5 tahun

merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat namun

kelompok ini merupakan kelompok tersering yang menderita kekurangan gizi.

Bila gizi buruk maka perkembangan otaknyapun kurang dan itu akan berpengaruh

pada kehidupannya diusia sekolah (6).

2.2.4. Penilaian Wasting

Untuk melakukan penilaian terhadap status pertumbuhan anak dapat

dilakukan melalui dua hal, yaitu pencapaian pertumbuhan berdasarkan umur dan
tinggi badan. Contoh status pencapaian pertumbuhan berdasarkan umur adalah

apakah berat atau tinggi badan seorang anak sudah sesuai dengan norma

pencapaian pertumbuhan anak sehat. Apabila berat atau tinggi badannya tidak

mencapai norma yang umum terjadi pada anak-anak sehat, anak tersebut

dikatakan memiliki status pertumbuhan yang lambat (3).

Dalam prakteknya indeks yang paling berguna adalah berat dan tinggi

badan , lebih-lebih jika umurnya diketahui. Pada keadaan akut didapati rasio berat

terhadap tinggi yang menurun, sedangkan jika kekurangan ini sudah berlanjut

lama, maka baik berat maupun tinggi akan terpengaruhi, hingga rasio berat

terhadap tinggi tidak atau hanya sedikit mengalami perubahan (7).

Antropometri sebagai indicator status gizi dapat dilakukan dengan

mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh

manusia antara lain umurt, berat badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala,

lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak dibawah kulit. Berat badan menurut

tinggi badan (BB/TB) adalah indikator untuk mengetahui seseorang anak wasting

atau normal. Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan.

Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan

pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan

indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini (sekarang) (30) .

Berat badan adalah parameter antropometri yang menggambarkan jumlah

protein tubuh, lemak tubuh, mineral tubuh dan air. Berat badan dapat digunakan

sebagai parameter antropometri karena perubahannya dapat terlihat dalam waktu

yang singkat. Jenis alat yang digunakan untuk mengukur berat badan harus
memiliki ketelitian 0,1 kg dan sudah dikalibrasi. Beberapa alat antropometri yang

biasa digunakan untuk mengukur berat badan adalah timbangan bayi (baby scale)

Untuk mengukur barat bayi, timbangan dacin untuk mengukur berat balita.

Timbangan injak digital untuk mengukur berat badan dewasa atau anak. Panjang

atau tinggi badan merupakan parameter antropometri untuk menilai pertumbuhan

massa tulang. Istilah panjang badan apabila seorang bayi atau anak diukur sambil

berbaring yaitu dilakukan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Alat yang

digunakan untuk mengukur panjang badan adalah infantometer atau alat ukur

panjang badan. Istilah tinggi badan adalah penyebutan apabila seorang diukur

sambil berdiri. Anak usia 2 tahun atau lebih diukur tinggi badannya menggunakan

microtois. Ketelitian alat ukur panjang atau tinggi badan harus 0,1 cm. prinsip

pengukuran tinggi badan adalah belakang kepala, punggung, pantat, betis, dan

tumit harus menempel pada dinding (31)

Dalam melakukan pengukuran antropometri terdapat kelebihan dan

kelemahan. Kelebihan Pengukuran Indeks (BB/TB) untuk penentuan status gizi

adalah indeks ini sensitif menggambarkan adanya gangguan pertumbuhan. Selain

itu, indeks ini juga spesifikmenunjukkan gangguan pertumbuhan yang bersifat

akut, tidak memerlukan data umur, serta dapat membedakan proporsi badan

(gemuk, normal, atau kurus), Namun mempunyai kelemahan diantaranya adalah

tidak untuk menilai gangguan pertumbuhan yang bersifat kronis, agak sulit

mengukur panjang badan balita serta memerlukan data dua alat ukur, yaitu berat

dan tinggi badan sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan pembacaan hasil

pengukuran (7).
Untuk menilai status gizi anak balita yang mengalami wasting, maka angka berat

badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai

terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO

Antroplus 2007.

Z-score : Nilai Individu subyek-Nilai Median Baku Rujukan


Nilai Simpang Baku rujukan

Nilai simpang baku rujukan disini maksudnya adalah selisih kasus dengan

standar +1 SD atau -1 SD. Jadi apabila BB/TB pada kasus lebih besar daripada

median, maka nilai simpang baku rujukannya diperoleh dengan mengurangi +1

SD dengan median. Tetapi jika BB/TB kasus lebih kecil daripada median, maka

nilai simpang baku rujukannya menjadi median dikurangi dengan -1

SD. Pengukuran menentukan status gizi balita wasting dapat juga diolah

menggunakan software WHO Anthro Plus 2007.

Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator

tersebut ditentukan status gizi anak balita dengan menentukan klasifikasi status

gizi diperlukan ada batasan-batasan yang disebut dengan batas ambang. Batas

ambang ini disetiap Negara berbeda tergantung dari kesepakatan ahli gizi di

Negara tersebut, berdasarkan hasil penelitian empiris dan keadaan kliniks.

Kategori ambang batas status gizi anak berdasarkan keputusan Menteri kesehatan

RI: No 1995/MENKES/Sk/XII/2010 tentang standar Antropometri penilaian

status gizi anak adalah sebagai berikut (31).

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z – Score)


Berat Badan Sangat Kurus < -3 SD

Menurut Tinggi Kurus -3 SD Sampai Dengan < -2 SD

Badan (BB/TB) Normal -2 SD Sampai 2 SD

anak umur 0-60 Gemuk > 2 SD

bulan

Sumber: Kepmenkes RI, 2010

2.2.5. Pencegahan Wasting

Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita untuk

pertumbuhan dan kecerdasannya, maka sudah seharusnya para orang tua

memperhatikan hal-hal yang dapat mencegah terjadinya wasting yang merupakan

kelompok gizi kurang pada anak. Berikut adalah beberapa cara untuk mencegah

terjadinya gizi kurang pada anak:

1. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah

itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping

ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.

2. Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein,

lemak, vitamin dan mineralnya dan karbohidrat.

3. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program

Posyandu.
4. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya kurang, bisa ditanyakan

kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang

dari rumah sakit.

5. Pencegahan penyakit infeksi, dengan meningkatkan kebersihan lingkungan

dan kebersihan perorangan

6. Pemberian imunisasi.

7. Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori

yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk

proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat

mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan

vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang

baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan

meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan

meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul

masalah intelegensia di kemudian hari (32).

Menurut Almatsier (2002), gizi kurang dapat dicegah melalui:

Meningkatkan produksi pertanian, supaya persediaan bahan makanan cukup

sekaligus merupakan tambahan penghasilan, penyediaan makanan formula yang

cukup tinggi protein dan tinggi energi pada anak balita, memperbaiki infrastruktur

pemasaran, infrastruktur yang tidak baik akan berpengaruh pada kualitas bahan

makanan, subsidi harga bahan makanan, hal tersebut dapat membantu mereka

yang sangat terbatas penghasilannya dan pemberian makanan suplemen dalam hal

ini makanan diberikan cuma-cuma atau dijual dengan harga yang minim.
Pendidikan gizi bertujuan untuk mengajar rakyat untuk mengubah kebiasaan

mereka dalam menghidangkan makanan supaya mendapatkan makanan yang baik

mutunya (4).

2.2.6. Penanggulangan Wasting

Berbagai upaya untuk mengatasi masalah sosial yang berkaitan dengan

gizi kurang termasuk salah satunya wasting maka tidak lepas dari kebijakan dan

strategi dari pihak terkait terutama pemerintah sebagai pemegang wewenang

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya (29).

Intervensi gizi dan kesehatan bertujuan memberikan pelayanan

langsung kepada balita. Ada dua bentuk pelayanan gizi dan kesehatan yaitu

pelayanan perorangan dalam rangka menyembuhkan dan memulihkan anak dari

kondisi gizi kurang dan pelayanan masyarakat, yaitu dalam rangka mencegah

timbulnya gizi kurang di masyarakat termasuk :

a. Pelacakan Kasus Gizi Kurang

Pelacakan kasus gizi kurang adalah menemukan kasus balita gizi

kurang melalui pengukuran Berat Badan (BB) dan melihat tanda-tanda klinis.

Pelacakan kasus gizi kurang dapat dimulai dari pemantauan arah pertumbuhan

secara cermat yang dilakukan secara rutin oleh Posyandu. Pelacakan kasus

gizi kurang dapat dimulai dari pemantauan angka pertumbuhan secara cermat

yang dilakukan secara rutin di Posyandu.

b. Penyuluhan Gizi Balita

Penyuluhan merupakan upaya perubahan perilaku manusia yang

dilakukan melalui pendekatan edukatif. Pendekatan edukatif diartikan


sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematik, terencana, dan

terarah dengan peran serta aktif individu maupun kelompok atau

masyarakat, untuk memecahkan masalah masyarakat dengan

memperhitungkan faktor sosial-ekonomi budaya setempat. Dalam hal

penyuluhan di masyarakat sebagai pendekatan edukatif untuk menghasilkan

perilaku, maka terjadi proses komunikasi antar penyuluh dan masyarakat. Dari

proses komunikasi ini ingin diciptakan masyarakat yang mempunyai sikap

mental dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Jadi,

sesuai dengan pengertian yang telah disebutkan tersebut, maka penyuluhan

gizi adalah suatu pendekatan edukatif yang bertujuan untuk menghasilkan

perilaku individu atau masyarakat yang diperlukan dalam peningkatan dan

mempertahankan gizi yang baik. Dalam penyuluhan tentang gizi balita terdapat

metode dan media yang digunakan. Pilihan seorang agen penyuluhan

terhadap suatu metode atau teknik penyuluhan sangat tergantung kepada

tujuan khusus yang ingin dicapai (32).

c. Pemberian Makanan Tambahan (PMT)

Pemberian makanan tambahan (PMT) merupakan suatu program

dalam rangka mencegah semakin memburuknya status kesehatan dan gizi

masyarakat terutama keluarga miskin yang diakibatkan adanya krisis ekonomi.

Adapun tujuan dari PMT tersebut adalah mempertahankan dan meningkatkan

status gizi anak balita terutama dari keluarga miskin, meringankan beban

masyarakat serta memotivasi ibu-ibu untuk datang ke posyandu.


PMT ada 2 macam yaitu PMT Pemulihan dan PMT Penyuluhan. PMT

Penyuluhan diberikan satu bulan sekali di posyandu dengan tujuan disamping

untuk pemberian makanan tambahan juga sekaligus memberikan contoh

pemberian makanan tambahan yang baik bagi ibu balita. PMT Pemulihan

adalah PMT yang diberikan selama 60 hari pada balita gizi kurang dan 90 hari

pada balita gizi buruk dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi balita

tersebut. Dalam hal jenis PMT yang diberikan harus juga memperhatikan kondisi

balita karena balita dengan KEP berat atau gizi buruk biasanya mengalami

gangguan sistim pencernaan dan kondisi umum dari balita tersebut.

PMT Pemulihan bagi anak usia 6-59 bulan dimaksudkan sebagai

tambahan, bukan sebagai pengganti makanan utama sehari-hari. PMT

Pemulihan dimaksud berbasis bahan makanan lokal dengan menu khas daerah

yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Balita gizi kurang atau kurus usia

6-59 bulan termasuk balita dengan Bawah Garis Merah (BGM) dari keluarga

miskin menjadi sasaran prioritas penerima PMT Pemulihan (23).

Dalam memberikan makanan pada balita dengan gangguan gizi kurang

atau pun balita dengan gizi buruk untuk fase rehabilitasi maka terapi utama

sebenarnya difokuskan pula pada pemberian makanan utamanya, baru

pemberian makanan tambahan sehingga membawa manfaat dalam menaikkan

derajat status gizi balita (12).

Gizi merupakan faktor penting bagi kesehatan dan kecerdasan anak. Gizi

penting bagi anak tidak hanya dimulai semenjak anak lahir, tetapi sejak dalam

kandungan. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan keguguran, cacat
bawaan, dan melahirkan bayi dengan berat badan rendah yang dapat

menyebabkan kelainan di masa mendatang. Penelitian menunjukkan bahwa anak

yang dikandung oleh ibu yang kurang gizi banyak mengalami pertumbuhan otak

dan tubuh yang buruk. Sel-sel otak dapat berkurang secara permanen. Akibat gizi

tidak seimbang kelainan struktur bawaan Misalnya penyakit jantung bawaan,

penyakit hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis, micrognathia,

stenosispilorus, hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pancreas (23).

Kelainan bawaan atau kelainan kongenital atau cacat bawaan adalah

kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil

konsepsi sel telur. Kelainan bawaan dapat dikenali sebelum kelahiran, pada saat

kelahiran atau beberapa tahun kemudian setelah kelahiran. Kelainan bawaan dapat

disebabkan oleh keabnormalan genetika, sebab-sebab alamiah atau faktor-faktor

lainnya yang tidak diketahui (8).

Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak

lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Kadang-

kadang suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau belum terlihat pada

waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa saat setelah kelahiran bayi.

Selain itu, pengertian lain tentang kelainan sejak lahir adalah defek lahir, yang

dapat berwujud dalam bentuk berbagai gangguan tumbuh-kembang bayi baru

lahir, yang mencakup aspek fisis, intelektual dan kepribadian.

Masalah gizi, khususnya pada balita, menjadi masalah besar karena

berkaitan erat dengan indikator kesehatan umum seperti tingginya angka kesakitan

serta angka kematian bayi dan balita. Masalah kekurangan gizi sangat umum
terjadi pada anak-anak terutama pada balita, dikarenakan balita sedang mengalami

proses pertumbuhan yang sangat pesat sehingga memerlukan zat-zat makanan

yang relatif banyak dan kualitas yang lebih tinggi. Kelompok balita juga termasuk

kelompok rentan gizi yaitu kelompok masyarakat yang paling mudah menderita

kelainan atau cacat bawaan sejak lahir (7).

2.2.7. Kajian Variabel Penelitian

1. Penyakit Infeksi

Menurut Schrimshaw, et al (1959) menyatakan bahwa ada hubungan

yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus, parasit) dan malnutrisi. Mereka

menekankan adanya interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit

infeksi dan infeksi yang mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi.

Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam, secara sendiri-sendiri maupun

bersamaan yaitu: penurunan asupan zat gizi akibat nafsu makan yang berkurang,

penurunan absorpsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit.

Peningkatan kehilangan cairan atau zat gizi akibat penyakit diare, mual dan

muntah dan perdarahan terus menerus. Meningkatnya kebutuhan, baik akibat

peningkatan kebutuhan karena sakit (human host) maupun parasit yang terdapat

dalam tubuh. Hubungan penyakit infeksi dan malnutrisi merupakan hubungan

sinergis, yang artinya infeksi dapat mempengaruhi terjadinya malnutrisi dan

sebaliknya, malnutrisi akan mempengaruhi seseorang untuk mudah terkena

penyakit infeksi (4).


Wasting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena

memiliki dampak yang besar. Wasting dapat meningkatkan risiko kesakitan dan

kematian anak. Anak yang wasting sangat mudah terkena penyakit infeksi.

Apabila keadaan kurang gizi pada masa balita terus berlanjut, maka dapat

mempengaruhi intellectual performance, kapasitas kerja, dan kondisi

kesehatannya di usia selanjutnya (14).

Penyakit infeksi disebabkan oleh kurangnya pelayanan kesehatan pada

masyarakat dan keadaan lingkungan yang tidak sehat. Tingginya penyakit juga

disebabkan karena pola asuh yang kurang baik, misalnya anak dibiarkan bermain

pada tempat kotor. Status gizi mempunyai kerkaitan yang erat dengan kejadian

infeksi karena anak yang menderita penyakit infeksi umumnya tidak mempunyai

nafsu makan yang cukup, akibatnya anak kekurangan gizi mempunyai hubungan

timbale balik yang kuat. Beberapa penyakit infeksi yang terkait dengan status gizi

adalah diare, TBC, cacingan, ISPA dan penyakit infeksi lainnya (28).

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15

tahun 2017 tentang penanggulangan cacingan. Pemberian Obat Pencegahan

Secara Massal Cacingan disebut POPM Cacingan adalah pemberian obat yang

dilakukan untuk mematikan cacing secara serentak kepada semua penduduk

sasaran di wilayah berisiko Cacingan sebagai bagian dari upaya pencegahan

penularan Cacingan. POPM Cacingan dilaksanakan dua kali dalam 1 (satu) tahun

untuk daerah kabupaten/kota dengan prevalensi tinggi dan satu kali dalam 1 (satu)

tahun untuk daerah kabupaten/kota dengan prevalensi sedang (33).


Faktor makanan dan penyakit infeksi, sebagai penyebab langsung

masalah gizi, keduanya saling berkaitan. Anak balita yang tidak mendapat cukup

makanan bergizi seimbang memiliki daya tahan yang rendah terhadap penyakit

sehingga mudah terserang infeksi. Sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan

infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dapat mengakibatkan asupan gizi tidak

dapat diserap tubuh dengan baik sehingga berakibat gizi buruk. Oleh karena itu,

mencegah terjadinya infeksi juga dapat mengurangi kejadian gizi kurang dan gizi

buruk (23).

Penyakit infeksi pada anak antara lain ISPA dan diare. Penyakit ISPA

didefinisikan sebagai suatu penyakit infeksi dan hidung, telinga, tenggorokan

(Pharynx), trachea, bronchioli dan paru-paru yang kurang dari dua minggu (14

hari) dengan tanda dan gejala dapat berupa batuk dan atau pilek dan atau sesak

nafas karena hidung tersumbat dengan atau tanpa demam, batasan waktu 14 hari

diambil menunjukkan berlangsungnya proses akut, meskipun beberapa penyakit

yang dapat digolongkan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (6).

Penyakit diare salah satu penyakit dengan sumber penularan melalui air

(water borne disease) dan penyakit diare yang terjadi pada balita umumnya

disertai muntah dan mencret. Diare berdampak terhadap pertumbuhan linear anak.

Diare merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak

dinegara berkembang. Anak balita rata-rata mengalami tiga kali diare pertahun.

Menurut WHO (2009) diare adalah suatu keadaan buang air besar dengan

konsistensi lembek hingga cair dan frekuensi lebih dari tiga kali sehari. Diare

akutberlangsung selama 3-7 hari, sedangkan diare persisten terjadi selama >14
hari. Secara klinis penyebab diare terbagi menjadi enam kelompok yaitu infeksi,

malabsorbsi, alergi, keracunan makanan, imunodefisiensi dan penyebab lain

seperti gangguan fungsional dan malnutrisi (8).

Balita karena memiliki aktifitas yang semakin meningkat sehingga sering

keluar rumah untuk bermain sehingga mudah terkena penyakit infeksi sehingga

perilaku hidup bersih perlu dibiasakan untuk mencegahnya. Gizi menjadi bagian

yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan. Gizi didalamnya

memiliki keterkaitan yang erat hubungannya dengan kesehatan dan kecerdasan.

Apabila seorang anak terkena defisiensi gizi maka kemungkinan besar sekali anak

terkena infeksi. Gizi ini sangat berpengaruh terhadap nafsu makan, kehilangan

bahan makanan misalnya melalui diare dan muntah-muntah serta metabolisme

makanan pada anak. Selain itu juga dapat diketahui bahwa infeksi menghmbat

reaksi immunologis yang normal dengan menghabiskan sumber-sumber energi

tubuh (5).

Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan

hubungan timbale balik yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat

memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah

terkena infeksi. Penyakit yang umumnya terkait dengan masalah gizi antara lain

diare, ISPA, dan batun rejan (whopping cough) (34).

Interaksi sinergistis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui.

Infeksi berat dapat memperjeleek keadaan gizi melalui gangguan masukan

makanannya dan meningginya kehilangan zat-zat esesnsial tubuh. Sebaliknya

malnutrisi walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh


terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergistik, maka malnutrisi bersama-

sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar (1).

2. Riwayat ASI Ekslusif

ASI Ekslusif adalah pemberian makanan pada bayi tanpa ditambahkan

makanan tambahan seperti susu formula. ASI merupakan pilihan terbaik bagi

kesehatan bayi. Lebih dari sekedar nutrisi yang sempurna bagi bayi, ASI benar-

benar mampu mengurangi resiko berbagai jenis infeksi pada masa balita karena

adanya bahan istimewa yang membantu system kekebalan tubuh bayi. Efek

perlindungan ASI tampak lebih jelas dinegara-negara berkembang dimana

ancaman infeksi masa balita lebih serius tetapi bahkan diwilayah-wilayah dengan

tingkat penyakit infeksi yang rendah, efek keseluruhan ASI pada sisitem

kekebalan tubuh masih menjadi alasan yang penting untuk menyusui. Dengan

memberikan antibody yang spesifik pada bayi (24).

Menilai kecukupan ASI bagi bayi sangatlah penting. Makanan bagi bayi

sampai usia 6 bulan adalah air susu ibu yang dikenal dengan ASI Ekslusif. Setelah

itu, bayi harus mendapat makanan tambahan berupa makanan pendamping ASI

(MPASI) (7). Air susu ibu merupakan makanan yang ideal untuk bayi terutama

pada bulan bulan pertama, sebab memenuhi syarat karena ASI mengandung

semua zat gizi untuk membangun dan penyediaan energy dalam susunan yang

diperlukan serta menghasilkan pertumbuhan fisik yang optimum. ASI merupakan

makanan bayi yang paling baik, akan tetapi adakalanya produksinya tidak cukup

untuk menyokong pertumbuhan bayi, bahkan kadang kadang ibu tidak dapat

mengeluarkan ASI sama sekali (27).


Selain penganekaragaman pangan yang dapat menyebabkan terjadinya

status gizi kurang pada balita adalah pemberian ASI Eksklusif. Terjadinya

rawan gizi pada bayi disebabkan antara lain oleh karena ASI (Air Susu Ibu)

banyak diganti oleh susu formula dengan jumlah dan cara yang tidak sesuai

kebutuhan. ASI merupakan Makanan yang bergizi yang mudah dicerna oleh bayi

dan langsung diserap. Diperkirakan 80% dari jumlah ibu yang melahirkan mampu

untuk menghasilkan air susu ibu dalam jumlah yang cukup untuk keperluan

bayinya secara penuh tanpa Makanan tambahan bahkan ibu yang gizinya kurang

baikpun dapat menghasilkan ASI cukup tanpa Makanan tambahan selama tiga

bulan pertama (25).

3. Pendapatan keluarga

Pendapatan keluarga adalah jumlah uang yang dihasilkan dan jumlah

uang yang akan dikeluarkan untuk membiayai keperluan rumah tangga selama

satu bulan. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang perilaku anggota

keluarga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan keluarga yang memadai (35).

Kemiskinan membuat ketidakmampuan keluarga untuk menyediakan

makanan yang cukup bagi anggota keluarga, kemiskinan ini berkaitan dengan

pendapatan keluarga dan kondisi social dan ekonomi dari wilayah tertentu .

Keadaan social ekonomi keluarga akan memberikan kesempatan ibu untuk

menyediakan makanan bagi anggota keluarga, keadaan ekonomi juga dapat

mempengaruhi status gizi yaitu pendapatan perbulan, hal ini mempengaruhi

ketersediaan makanan dalam rumah tangga yang dapat dikomsumsi anggota

keluarga sehingga berdampak pada status gizi anggota keluarga (36).


Pendapatan keluarga merupakan indikator kasar dari kemakmuran

suatu keluarga. Apabila pendapatan keluarga meningkat maka kebutuhan gizi

dapat terpenuhi dengan baik. Sebaliknya, pada keluarga dengan pendapatan

rendah tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi dengan baik, sehingga dapat

memperburuk status gizi (35) .

Pendapatan merupakan factor yang paling menentukan kualitas dan

kuantitas makanan, antara pendapatan dan gizi sangat erat kaitannya dalam

pemenuhan makanan kebutuhan hidup keluarga, makin tinggi daya beli keluarga

makin banyak makanan yang dikonsumsi dan semakin baik pula kualitas makanan

yang dikonsumsi bahwa pendapatan rendah akan menghalangi perbaikan gizi dan

menimbulkan kekurangan gizi (37).

4. Pola asuh Gizi

Menurut Soekirman (2000), Pola asuh gizi merupakan asupan makan

dalam rangka menopang tumbuh kembang fisik dan biologis balita secara tepat

dan berimbang. Pola asuh yang baik dari ibu akan memberikan kontribusi yang

besar pada pertumbunhan dan perkembangan balita sehingga akan menurunkan

angka kejadian gangguan gizi. Ibu harus memahami cara memberikan perawatan

dan perlindungan terhadap anaknya agar anak menjadi nyaman, meningkat nafsu

makannya, terhindar dari cedera dan penyakit yang akan menghambat

pertumbuhan. Apabila pengasuhan anak baik makan status gizi anak juga akan

baik. Peran ibu dalam merawat sehari-hari mempunyai kontribusi yang besar

dalam pertumbuhan anak karena dengan pola asuh yang baik anak akan terawat

dengan baik dan gizi terpenuhi (38).


Dinegara berkembang, kesakitan dan kematian pada anak umur 1-4 tahun

banyak dipengaruhi oleh keadaan gizi. Pengaruh keadaan gizi pada kelompok

umur tersebut lebih besar dari pada kelompok umur kurang dari 1 tahun. Pada

umur tersebut sering terjadi asupan makanan yang tidak adekuat dikarenakan

praktek pola asuh pemberian makanan oleh ibu (39) .

Orang tua memepunyai peran bermacam-macam salah satunya adalah

mendidik anak. Menurut Edward (2006) menyatakan bahwa pola asuh merupakan

interaksi anak dan orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta

melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma yang ada

dalam masyarakat. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan

orang tua yang diterapkan pada anak. Pengasuhan pada anak berupa suatu proses

interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan

seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan

melindungi,maupun menyosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang

diterima oleh masyarakat (40).

Tidak jarang anak tidak mau makan disebabkan oleh ibu atau

pengasuhnya sendiri. Kesukaran pemberian makanan sudah dimulai jika anak

sudah merasa kenyang tetapi dipaksa untuk menghabiskan porsinya. Anak mulai

berontak dengan pemberian makanan yang melebihi keperluannya oleh jadwal

pemberian yang terlalu kaku. Balita dalam hal ini tidak merasa lapar maka tidak

pernah menikmati makanannya. Lambat laun anak menganggap makanan sebagai

musuhnya hingga sudah muntah begitu melihat makanan yang hendak diberikan.

Anak yang merasa tidak mendapatkan kasih sayang ibunya dapat kehilangan
nafsu makannya dan akan terganggu pertumbuhannya, ibu harus tahu mengenai

anak dan perasaannya terhadap makanannya (41).

Pola asuh merupakan faktor yang erat kaitannya dengan pertumbuhan

dan perkembangan anak balita. Masa anak usia balita adalah masa di mana anak

masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup

memadai dan sebaiknya makanan yang diberikan kepada anak mengandung zat

tenaga (nasi), zat pembangun (lauk) dan zat pengatur (sayur). Kekurangan gizi

pada masa ini dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang secara fisik,

mental, sosial dan intelektual yang sifatnya menetap dan dibawa terus sampai

dewasa. Masa anak usia 12-59 bulan (balita) adalah masa anak-anak yang masih

tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Tipe pola asuh terdiri dari dua

dimensi perilaku yaitu Directive Behavior dan Supportive Behavior.

1. Directive Behavior melibatkan komunikasi searah dimana orangtua

menguraikan peran anak dan memberitahu anak apa yang harus mereka

lakukan, di mana, kapan, dan bagaimana melakukan suatu tugas.

2. Supportive Behavior melibatkan komunikasi dua arah di mana orangtua

mendengarkan anak, memberikan dorongan, membesarkan hati, memberikan

teguran positif dan membantu mengarahkan perilaku anak. Anak yang

disiplin diri memiliki keteraturan diri berdasarkan nilai agama, nilai budaya,

aturan-aturan pergaulan, pandangan hidup, dan sikap hidup yang bermakna

bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, tanggung jawab

orangtua adalah mengupayakan agar anak berdisiplin diri untuk

melaksanakan hubungan dengan Tuhan yang menciptakannya, dirinya


sendiri, sesama manusia, lingkungan alam, dan mahkluk hidup lainnya

berdasarkan nilai moral. Orang tua yang mampu berprilaku seperti diatas,

berarti mereka telah mencerminkan nilai-nilai moral dan bertanggung jawab

untuk mengupayakannya (38).

Menurut Wardle (2002) tipe pola asuh makan atau parenteral feeding

style dikelompokkan menjadi 4 yaitu :

a. Emotional feeding

Emotional feeding atau memberikan makanan agar anak tenang,

merupakan salah satu tipe pola asuh makan dimana orang tua memberikan

makanan agar anaknya tenang saat si anak merasa marah, cemas, menangis,

dan lain-lain.

b. Instrumental Feeding

Instrumental feeding merupa kan satu tipe pola asuh makan dimana

orang tua memberikan hadiah atau reward berupa makanan jika anak

berperilaku baik atau melakukan hal yang diperintahkan oleh orang tua.

c. Prompting or encouragement to eat

Merupakan tipe pola asuh makan dimana orangtua mendorong

anaknya untuk makan dan memuji jika anaknya memakan makanan yang telah

disediakan. Mendorong anak untuk makan disini bukan hanya menyuruh anak

makan tapi juga memastikan anaknya memakan makanannya.

d. Control over eating


Ditipe ini, orang tua dengan tegas memutuskan apa yang anaknya

makan, menentukan makanan baik jenis dan jumlah makanannya, serta orang

tua menentukan kapan anak harus makan dan berhenti makan (23).

Pola asuh yang baik dapat mendorong orang tua dan anak dalam

melakukan interaksi timbal balik secara terbuka sehingga terjalin kepercayaan dan

kedekatan antara orang tua dan anak. Salah satu pola asuh yang dapat

mempertahankan keadaan gizi balita yaitu pola asuh makan yang baik meliputi

memberikan makanan sesuai dengan usia balita, mengawasi jadwal makan utama

seperti makan pagi, siang dan malam atau juga makan selingan balita setiap

harinya, kepekaan seorang ibu saat anak ingin makan, upaya dalam

menumbuhkan nafsu makan anak balita, memberikan makanan yang bergizi dan

beranekragam serta menciptakan suasana makan yang nyaman untuk anak balita.

Pola asuh makan yang responsif meliputi upaya orang tua memotivasi anak untuk

makan, memperhatikan nafsu makan dan waktu makan anak mempengaruhi

asupan gizi sehingga mempengaruhi keadaan status gizi anak (19).

Pengasuhan memiliki beberapa pola yang menunjukkan adanya hubungan

dengan aspek tertentu, mengikuti kebutuhan anak akan kebutuhan fisik dan non-

fisik, agar anak dapat hidup normal dan mandiri di masa mendatang. Pola asuh

terdiri dari pola asuh makan, pola asuh kesehatan. kualitas interaksi ibu anak yang

dilihat dari aspek praktik pengasuhan, praktik pemberian makan serta perawatan

kesehatan. Pola asuh Kesehatan merupakan tugas orang tua anak agar anak selalu

berada pada kondisi terbebas dari penyakit serta dapat beraktivitas rutin

selayaknya individu normal dengan cara memperhatikan kesehatan anak, ketika


anak sakit segera dibawa kefasilitas kesehatan. Usaha preventif yang dilakukan

orang tua untuk membentuk kesehatan anak adalah dengan membiasakan pola

hidup sehat, melalui penanaman kebiasaan hidup bersih dan teratur. Kebisaan

tersebut antara lain: mandi, keramas rambut, menggosok gigi, menggunting kuku,

mencuci tangan sebelum makan, memakai alas kaki ketika bermain diluar rumah

dan sebagainya. Aspek kesehatan juga mencakup upaya kuratif yang dibelanjakan

orang tua untuk memberikan pengobatan dan perawatan kesehatan anak (39).

Membesarkan balita tidaklah mudah dan banyak orang tua menggunakan

makanan sebagai alat tawar menawar untuk meredakan anak yang suka menuntut

atau sebagai suap dalam sebuah pertengkaran. Taktik ini biasanya menyebabkan

anak makan banyak permen, kue, dan soda yang menggantikan makanan yang

mengandung zat gizi yang diperlukan anak dan membiasakan anak untuk jajan.

Dengan semakin besarnya anak maka semakin sulit untuk mengendalikan semua

keputusan mengenai apa yang merka makan, tetapi untuk saat ini pola asuh orang

tua adalah memberi makanan anak dengan nutrisi yang paling baik. Orang tua

berperan aktif dalam menentukan makanan yang harus disajikan pada anak (42).

5. Jumlah anggota keluarga

Keadaan sosial yang dapat mempengaruhi status gizi ialah jumlah

anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah, keadaan ini secara tidak

langsung akan mempengaruhi status gizi terutama pada balita. Salah satu faktor

yang mempengaruhi gizi dalam keluarga salah satunya adalah banyaknya keluarga

yang tinggal dalam satu rumah. Dimana pada pasangan yang memiliki jumlah

keluarga lebih banyak, kemungkinan lebih besar memenuhi kebutuhan gizi dalam
keluarga. BKKBN (2012) menerangkan bahwa yang dimaksud dengan keluarga

kecil adalah keluarga yang terdiri dari ibu dan bapak serta jumlah anaknya paling

banyak 2 (dua ) orang. Keluarga besar (Extended Family) adalah keluarga inti

ditambahkan dengan sanak keluarga misalnya kakek, nenek, keponakan dan

saudara yang lain yang tinggal dalam satu rumah (23).

Jumlah anggota keluarga sangat menentukan jumlah kebutuhan

keluarga. Semakin banyak anggota keluarga berarti semakin banyak pula jumlah

kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Begitu pula sebaliknya, semakin sedikit

anggota keluarga berarti semakin sedikit pula kebutuhan yang harus dipenuhi

keluarga. Sehingga dalam keluarga yang jumlah anggotanya banyak, akan diikuti

oleh banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi. Semakin besar ukuran rumah

tangga berarti semakin banyak anggota rumahtangga yang pada akhirnya akan

semakin berat beban rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Demikian pula jumlah anak yang tertanggung dalam keluarga dan anggota-

anggota keluarga yang cacat maupun lanjut usia akan berdampak pada besar

kecilnya pengeluaran suatu keluarga (41) .

Jumlah anggota rumah tangga juga penting diperhatikan dimana anak

pada keluarga dengan anggota keluarga banyak lebih kurus daripada anak pada

keluarga dengan anggota keluarga sedikit. Hal ini disebabkan anak pada keluarga

dengan anggota keluarga banyak cenderung mendapatkan perhatian dan

perawatan individu yang minim. Jumlah Komsumsi makanan yang rendah juga

disebabkan oleh adanya penyakit, terutama penyakit infeksi saluran pernafasan


maupun diare, disamping itu jumlah anak dalam keluarga yang terlalu banyak

akan mempengaruhi zat gizi dalam keluarga (9).

Penelitian Ariesthi (2018) menunjukkan bahwa jumlah anggota rumah

tangga pada anak wasting cenderung lebih besar dibandingkan jumlah anggota

keluarga anak yang normal. Jumlah anggota rumah tangga merupakan faktor

risiko wasting. Pada studi ini terlihat lebih dari separuh (54,9%) subjek penelitian

mempunyai jumlah anggota keluarga lebih dari > 4 orang. Keadaan ini tidak

menguntungkan bagi anak-anak mereka. Keluarga yang jumlah anggotanya lebih

banyak disertai pendapatan yang rendah maka anggota keluarga tersebut terutama

anak-anak berpeluang untuk tidak mendapatkan asupan lebih baik guna memenuhi

kebutuhan hidupnya (43).

6. Riwayat Imunisasi Dasar

Imunisasi merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah

terjadinya suatu penyakit dengan cara memberikan mikroorganisme bibit penyakit

berbahaya yang telah dilemahkan (vaksin) kedalam tubuh sehingga merangsang

sistem kekebalan tubuh terhadap jenis antigen itu dimasa yang akan datang (44).

Saat ini di Indonesia masih ada anak-anak yang belum mendapatkan

imunisasi secara lengkap bahkan tidak pernah mendapatkan imunisasi sedari lahir.

Hal itu menyebabkan mereka mudah tertular penyakit berbahaya karena tidak

adanya kekebalan terhadap penyakit tersebut. Anak yang sering menderita

penyakit akan mengalami pertumbuhan yang lambat dan nafsu makan akan

hilang. Orang tua harus menjaga agar anak terhindar dari pilek, batuk dan panas.
Vaksinasi sebelum anak berusia 1 tahun harus sudah diberikan agar anak terhindar

dari penyakit yang lebih parah (45).

Pemberian imunisasi dasar lengkap sangat memengaruhi kesehatan bayi.

Imunisasi merupakan suatu upaya untuk menimbulkan dan meningkatkan

kekebalan secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan

dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan (46).

Jenis dan sasaran imunisasi yang ada di Indonesia dapat dilihat pada tabel

dibawah ini

Tabel 2.2. Jadwal Pemberian Imunisasi


Usia Pemberian Jumlah pemberian

0 Bulan HBO

1 Bulan BCG, POLIO

2 Bulan DPT, HB KOMBO, POLIO 2

3 Bulan DPT, HB KOMBO 2, POLIO3

4 Bulan DPT, HB KOMBO 3, POLIO4

9 Bulan CAMPAK

Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak

dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk

mencegah terhadap penyakit tertentu. Zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh

melalui suntikan seperti vaksin imunisasi HBO, BCG, DPT, campak, dan melalui

mulut seperti vaksin polio. Tujuan diberikan imunisasi adalah diharapkan anak

menjadi kebal terhadap penyakit tertentu, mengingat efektifnya pemberian


imunisasi sehingga kekebalan tubuh dapat diharapkan pada diri anak diharapkan

anak tetap tumbuh dalam keadaan sehat (44).

Imunisasi merupakan domain yang sangat penting untuk memiliki status

gizi yang baik. Imunisasi yang lengkap biasanya menghasilkan status gizi yang

baik. Pemberian imunisasi terhadap anak tidak mudah terserang penyakit yang

berbahaya menjadikan anak lebih sehat dengan tubuh atau status sehat, sehingga

asupan makanan dapat masuk dan diserap dengan baik. Nutrisi yang terserap oleh

tubuh balita dimanfaatkan untuk pertumbuhannya, sehingga menghasilkan status

gizi yang baik. Hal ini karena penyakit infeksi dan fungsi kekebalan saling

berhubungan erat satu sama lain, dan pada akhirnya akan mempengaruhi status

gizi berupa penurunan status gizi pada anak (32).

2.3. Landasan Teori

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Gizi Kurang

Penyebab Langsung Asupan Makanan Penyakit Infeksi

Ketersediaan Pola Asuh Pelayanan


dan pola anak Tidak Kesehatan
Komsumsi Memadai dan
Rumah Perilaku Kesehatan
Penyebab Tidak Tangga Gizi Lingkungan
Langsung Seimbang
Daya Beli, Akses Pangan, Akses Informasi, Akses Pelayanan

Penyebab masalah
dimasyarakat

Kemiskinan, Ketahanan Pangan dan Gizi,


Pendidikan

Akar Masalah Sosial Ekonomi, Politik dan Sosial Budaya

Gambar 2.1.Kerangka Teori penelitian Modifikasi UNICEF (7).

2.4. Kerangka Konsep Penelitian

Penyakit Infeksi
Riwayat ASI
Ekslusif

Pendapatan
keluarga

Pola asuh

Wasting
Jumlah anggota
keluarga

riwayat imunisasi
dasar

Pendidikan

Pekerjaan
Keterangan :

: Variabel yang Diteliti


: Variabel yang Tidak Diteliti
: Variabel Independen
: Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

2.5. Hipotesis Penelitian

1. Penyakit infeksi merupakan faktor risiko wasting pada balita.

2. ASI Ekslusif merupakan faktor risiko wasting pada balita.

3. Pendapatan keluarga merupakan faktor risiko wasting pada balita.

4. Pola asuh gizi merupakan faktor risiko wasting pada balita.

5. Jumlah anggota rumah tangga merupakan faktor risiko wasting pada

balita.

6. Riwayat imunisasi dasar merupakan faktor risiko wasting pada balita.

Ada variabel yang paling dominan terhadap risiko wasting pada balita.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain kasus control

(case control design) yaitu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor

risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospektif. Dengan kata lain,

efek (penyakit atau status kesehatan) diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor

risiko diidentifikasi ada atau terjadi pada waktu yang lalu.

Faktor Risiko (+)


Kasus
Retrospektif (Wasting)

Faktor Risiko (-)

Matching

Faktor Risiko (+)

Retrospektif Kontrol (tidak


Faktor Risiko (-) Wasting/normal)

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk

Kabupaten Aceh Timur.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari s/d Maret Tahun 2019.
2.3. Populasi dan Sampel

2.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh balita yang tinggal menetap di Wilayah

Kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur yang berjumlah 912 balita

terdiri dari:

1. Populasi kasus adalah balita yang mengalami wasting yang telah diukur

menggunakan metode antropometri berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB (z-

score<-2SD) sebanyak 43 balita.

2. Populasi kontrol adalah balita yang tidak Wasting yang telah diukur

menggunakan metode antropometri berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB (z-

score > -2 SD) sebanyak 869 balita.

2.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah bagian yang dipilih dari seluruh

populasi yang terbagi atas kelompok kasus dan kontrol. Penarikan sampel

dilakukan secara total sampling.

Perbandingan kasus dan kontrol yaitu 1:1 matching umur, jenis kelamin

serta memiliki buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) maka jumlah sampel

keseluruhan adalah 86 balita yang terdiri dari 43 balita sebagai kasus dan 43 balita

sebagai kontrol. Sebagai responden dalam penelitian ini adalah ibu kandung dari

anak yang menjadi sampel tersebut.


3.4. Metode Pengumpulan data

3.4.1. Jenis Data

1. Data primer berupa data jumlah anggota rumah tangga, pendapatan

keluarga, dan pola asuh.

2. Data sekunder berupa data jumlah balita wasting dan normal, data yang

didapatkan dari buku KIA berupa data penyakit infeksi, riwayat ASI

Ekslusif dan riwayat imunisasi dasar.

3. Data tertier diperoleh dari Pemantauan Status Gizi Provinsi Aceh Tahun

2017

3.4.2. Tekhnik Pengumpulan Data

1. Data primer diperoleh langsung dari responden dan dikumpulkan melalui

pengisian kuesioner yang terdiri atas identitas responden, pertanyaan

faktor risiko Wasting mengenai jumlah anggota rumah tangga,

pendapatan keluarga, dan pola asuh.

2. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dengan mengambil data dari

puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur, data dari buku KIA

berupa data penyakit infeksi, riwayat ASI Ekslusif dan imunisasi dasar

3. Data tertier adalah data riset yang sudah dipublikasikan secara resmi,

dalam penelitian ini mengambil data dari Riset kesehatan Dasar tahun

2013, Pemantauan Status Gizi Provinsi Aceh Tahun 2017 dan jurnal-

jurnal ilmiah yang telah dipublikasikan.


3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan keandalan atau

kesahihan suatu alat ukur dengan kata lain sejauh mana dari kacamata

suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Untuk mengetahui validitas

suatu instrument (dalam kuesioner) dengan cara melakukan korelasi antara

skor r masing-masing pertanyaan dengan skor totalnya dalam suatu

variabel. Tekhnik korelasi yang digunakan adalah Pearson Product

Moment, dengan bantuan SPSS. Kriteria validitas instrument yaitu jika r

hitung > r tabel maka butir instrument dinyatakan valid. Jika r hitung > r

tabel maka butir instrument dinyatakan tidak valid.

Dalam penelitian ini, kuesioner pola asuh diuji coba kepada 30

responden di Puskesmas Idi Tunong Kabupaten Aceh Timur, maka nilai r

tabel = 0,361. Uji validitas dalam penelitian ini sebagai berikut:

Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas Instrumen Pola Asuh

Item pertanyaan Nilai Corrected Item Total Keterangan

Pertanyaan 1 0,769 Valid

Pertanyaan 2 0,608 Valid

Pertanyaan 3 0,781 Valid

Pertanyaan 4 0,597 Valid

Pertanyaan 5 0,747 Valid

Pertanyaan 6 0,606 Valid

Pertanyaan 7 0,649 Valid


Pertanyaan 8 0,563 Valid

Pertanyaan 9 0,684 Valid

Pertanyaan 10 0,597 Valid

Pertanyaan 11 0,608 Valid

Pertanyaan 12 0,781 Valid

Pertanyaan 13 0,482 Valid

Pertanyaan 14 0,597 Valid

Pertanyaan 15 0,623 Valid

Pertanyaan 16 0,769 Valid

Pertanyaan 17 0,532 Valid

Pertanyaan 18 0,649 Valid

Pertanyaan 19 0,464 Valid

Pertanyaan 20 0,735 Valid

2. Uji Reliabilitas

Setelah semua pernyataan dinyatakan valid, analisis dilanjutkan

dengan uji reliabilitas. Kuesioner dikatakan reliabel jika jawaban

seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil. Untuk

mengetahui reliabilitas suatu pertanyaan dapat dilakukan melalui uji

reliabilitas dengan menggunakan metode alpha (Cronbach’s).

Nilai Cronbach’s Alpha (Reliabilitas) yang diperoleh kemudian

dibandingkan dengan r product moment pada tabel dengan ketentuan jika r


hitung > r tabel (0,361) maka tes tersebut reliabel. Uji reliabilitas dalam

penelitian ini sebagai berikut :

Tabel 3.2 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Pola Asuh

Variabel Nilai Cronbach’s Alpha Hasil

Pola Asuh 0,925 Reliabel

3.5. Variabel Dan Defenisi Operasional

3.5.1. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen dalam penelitian ini yaitu penyakit infeksi, riwayat

pemberian ASI Ekslusif, jumlah anggota keluarga dan pendapatan

keluarga, riwayat imunisasi dasar, pola asuh.

2. Variabel Dependentdalam penelitian ini yaitu Wasting pada balita

3.5.2. Defenisi Operasional

1. Wasting adalah Suatu keadaan anak yang berada pada nilai z-score sesuai

buku rujukan WHO anthro 2005 berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB

dengan nilai z-score <-2SD.

2. Riwayat penyakit infeksi adalah penyakit yang diderita balita penyakit

diare dan atau ISPA yang diderita oleh anak dalam satu tahun terakhir.

3. Riwayat Imunisasi dasar adalah Riwayat pemberian imunisasi dasar

lengkap yang sesuai dengan jenis imunisasi dan jumlah pemberian

imunisasi yaitu pemberian imunisasi HBO, pemberian imunisasi BCG

dan polio, pemberian imunisasi DPT-HB dan polio serta imunisasi

campak
4. Pendapatan keluarga adalah segala bentuk penghasilan yang diperoleh

keluarga setiap bulannya yang diserahkan kepada ibu untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari.

5. Jumlah anggota keluarga rumah tangga adalah jumlah anggota keluarga

yang tinggal dan hidup bersama dengan balita dalam satu rumah.

4. Riwayat ASI Ekslusif adalah Pemberian ASI saja pada anak sampai

berusia 6 bulan

7. Pola Asuh yaitu cara ataupun kebiasaan yang dilakukan ibu terhadap

balitanya dalam hal memberikan makanan pada balita dan perawatan

kesehatan pada balita.

3.6. Metode Pengukuran

No. Nama Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Independen

1. Penyakit Kuesioner 1. Pernah menderita ISPA dan Nominal

Infeksi atau diare dalam satu tahun

terakhir

2. Tidak pernah menderita ISPA

dan diare dalam satu tahun

terakhir

2. Riwayat Kuesioner 1. Tidak (Tidak memberikan Nominal

ASI Ekslusif ASI Ekslusif)


2. Ya (Memberikan ASI

Ekslusif)

3. Pendapatan Kuesioner 1. Rendah Ordinal

keluarga (< Rp. 2.500.000)

2. Tinggi

(>Rp. 2.500.000)

4 Pola asuh Kuesioner pola 1. Kurang baik (Skor<20) Ordinal

asuh untuk 2. Baik (Skor> 20)

pertanyaan

positif jika ya

nilai 2 dan jika

tidak nilai 0,

begitu pula

sebalikanya

5. Jumlah Kuesioner 1. Besar (>4 orang) Nominal

anggota 2. Kecil (< 4 orang)

keluarga

6. Riwayat Kuesioner 1. Tidak baik (Imunisasi dasar Ordinal

Imunisasi tidak lengkap)

Dasar 2. Baik (Imunisasi dasar


lengkap)

Dependent

7. Wasting Telaah rekap 1. Wasting (Z-score -3 SD Nominal

data yang s/d Z-score <-2 SD)

dilakukan 2. Normal

dipuskesmas Idi (Z-score >-2 SD)

Rayeuk

3.7. Metode pengolahan data

Data yang terkumpul diolah dengan cara komputerisasi dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

1. Collecting

Mengumpulkan data yang berasal dari kuesioner, angket maupun observasi

2. Checking

Dilakukan dengan memeriksa kelengkapan jawaban kuesioner atau lembar

observasi dengan tujuan agar data diolah secara benar sehingga pengolahan

data memberikan hasil yang valid dan reliable dan terhindar dari bias

3. Coding

Pada langkah ini penulis melakukan pemberian kode pada variabel-variabel

yang diteliti, misalnya nama responden dirubah menjadi nomor 1,2,3,…..,42.


4. Entering

Data entry, yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang masih

dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan kedalam aplikasi SPSS.

5. Data Proccesing

Semua data yang telah di input kedalam aplikasi computer akan diolah sesuai

dengan kebutuhan dari penelitian.

Data yang dikumpulkan, diolah dengan komputer. Analisis data yang

dilakukan dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat, bivariat dan

multivariate.

1. Analisis Univariat

Analisis Univariat merupakan analisis yang menggambarkan

distribusi frekuensi dari masing-masing jawaban kuesioner variabel bebas

dan variabel terikat dan juga distribusi frekuensi rekapitulasinya.

2. Analisis Bivariat

Analisis dilakukan untuk melihat hubungan masing-masing variabel

bebas yaitu penyakit infeksi, jumlah anggota keluarga, pendapatan

keluarga, riwayat imunisasi dasar, riwayat ASI Ekslusif dan pola asuh

dengan variabel terikat yaitu Wasting pada balita. Untuk membuktikan

adanya hubungan yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel

terikat digunakan analisis Odds Ratio, pada batas kemaknaan perhitungan

statistic p value (0,05). Apabila hasil perhitungan menunjukkan nilai p<p

value (0,05), artinya kedua variabel secara statistik mempunyai hubungan

yang signifikan. Kemudian untuk menjelaskan adanya asosiasi (hubungan)


antara variabel terikat dengan variabel bebas digunakan analisis tabulasi

silang. Sedangkan untuk melihat kejelasan tentang dinamika hubungan

antara faktor risiko dan faktor efek dilihat melalui nilai rasio odds (OR).

Rasio Odds (OR) dalam hal ini adalah untuk menunjukkan nilai rasio

antara banyaknya kasus yang terpapar dan kasusu tidak terpapar.

3. Analisis Multivariat

Analisis Multivariat bertujuan untuk melihat kemaknaan hubungan antara

variabel bebas (independent variabel) dengan variabel terikat (dependent

variabel) dilokasi penelitian secara simultan sekaligus menentukan faktor-

faktor yang lebih dominan berhubungan dengan wasting pada balita.

Langkah-langkah dalam analisis multivariat menggunakan regresi logistic

berganda anatara lain sebagai berikut:

1. Tahap yang pertama adalah melakukan seleksi bivariat masing-masing

variabel independen terhadap variabel dependen. Apabila nilai p value

kurang dari 0,25, maka variabel tersebut diikutsertakan pada tahap

analisis selanjutnya. Untuk variabel independen dengan nilai p value

lebih dari 0,25 namun secara substansi penting, maka variabel tersebut

diikutsertakan dalam analisis multivariate.

2. Tahap yang kedua adalah dilakukan pemodelan terhadap variabel yang

masuk dalam analisis multivariate, yaitu dengan cara mengeluarkan

secara bertahap variabel nilai p value lebih dari 0,05 dan dimulai pada

variabel yang memiliki nilai p value tertinggi kemudian diurutkan

sampai dengan yang terendah. Selain itu pengeluaran variabel juga


dipertimbangkan dengan perubahan nilai OR, jika terjadi perubahan

nilai OR lebih dari 10% maka variabel tersebut tetap diikutsertakan dan

merupakan variabel confounding pada interprestasi.

3. Tahap yang ketiga adalah dengan melakukan uji interaksi. Penentuan

uji interaksi pada variabel independen dilakukan melalui pertimbangan

logika substantif. Pengukuran interaksi dilihat dari kemaknaan uji

statistic. Bila variabel pada uji interaksi mempunyai nilai bermakna,

maka variabel interaksi tersebut diikutsertakan dalam model.

4. Tahap selanjutnya adalah pemodelan akhir, yaitu variabel yang

memiliki nilai p < 0,05 diikutsertakan dalam analisis multivariate dan

dilihat yang memiliki nilai OR paling tinggi maka variabel tersebut

adalah variabel independen yang paling dominan dalam mempengaruhi

variabel dependen.
BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum

Puskesmas Idi Rayeuk merupakan puskesmas jenis Non perawatan yang

terletak di Jalan Medan-Banda Aceh, Desa Tanoh Anou kecamatan Idi Rayeuk

dengan luas wilayah kerja 55,15 Km2. Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk

memiliki jumlah penduduk 12929 jiwa 2.937 KK yang terdiri dari 6429 jiwa laki-

laki dan perempuan 6500 jiwa. Jumlah desa yang terdapat di Wilayah kerja

Puskesmas Idi Rayeuk sebanyak 13 desa.

Visi dan Misi Puskesmas Idi Rayeuk.

Visi : Terwujudnya masyarakat Idi Rayeuk yang sehat, mandiri dan berkualitas

Misi :

1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat

2. Meningkatkan upaya kesehatan promotif dan preventif dalam upaya

peningkatan status kesehatan masyarakat Idi Rayeuk yang berkesinambungan

3. Mendorong kemandirian masyarakat untuk berperilaku sehat

4. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat Idi Rayeuk

Batas-batas wilayah Puskesmas Idi Rayeuk:

1. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Idi Timur

2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Darul Aman

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Darul Ihsan

4. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka


4.2. Analisis Univariat

Analisis univariat dalam penelitian ini akan menjelaskan distribusi frekuensi

dari masing-masing variable penelitian yaitu wasting pada balita, penyakit infeksi,

riwayat ASI Ekslusif, pendapatan keluarga, pola asuh, jumlah anggota keluarga,

riwayat imunisasi dasar.

4.2.1. Wasting pada balita

Wasting pada balita dalam penelitian ini sebagai kelompok kasus yang

ditentukan berdasarkan rekap data dari puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh

Timur dan balita yang normal sebagai kelompok kasus yang dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Wasting pada balita di Wilayah Kerja


Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur

Wasting pada Balita Frekuensi(f) %


Kasus 43 50,0
Kontrol 43 50,0
Total 86 100,0

Berdasarkan tabel 4.1. dapat dilihat bahwa dari 86 responden yang

menjadi kelompok kasus atau yang mengalami wasting sebanyak 43 (50,0%)

responden dan yang menjadi kelompok kontrol atau normal sebanyak 43 (50,0%)

responden.
4.2.2. Penyakit Infeksi

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Penyakit infeksi di Wilayah Kerja


Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur

Penyakit Infeksi Frekuensi(f) %


Ya 39 45,3
Tidak 47 54,7
Total 86 100,0

Berdasarkan tabel 4.2. dapat dilihat bahwa dari 86 responden mayoritas

tidak mengalami penyakit infeksi yaitu sebanyak 47 (54,7%) responden dan 39

(45,3%) responden mengalami penyakit infeksi.

4.2.3. Riwayat ASI Ekslusif

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Riwayat ASI Ekslusif di Wilayah Kerja


Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur

Riwayat ASI Ekslusif Frekuensi(f) %


Tidak memberikan 41 47,7
Memberikan 45 52,3
Total 86 100,0

Berdasarkan tabel 4.3. dapat dilihat bahwa dari 86 responden mayoritas

memberikan ASI Ekslusif yaitu sebanyak 45 (52,3%) responden dan 41 (47,7%)

responden tidak memberikan ASI Ekslusif.

4.2.4. Pendapatan Keluarga

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Pendapatan Keluarga di Wilayah Kerja


Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur

Pendapatan Keluarga Frekuensi(f) %


Rendah 57 66,3
Tinggi 29 33,7
Total 86 100,0
Berdasarkan tabel 4.4. dapat dilihat bahwa dari 86 responden mayoritas

pendapatan keluarga rendah yaitu sebanyak 57 (66,3%) responden dan 29 (33,7%)

responden memiliki pendapatan keluarga tinggi.

4.2.5. Pola Asuh

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Pola Asuh di Wilayah Kerja Puskesmas Idi
Rayeuk Kabupaten Aceh Timur

Pendapatan Keluarga Frekuensi(f) %


Kurang baik 33 38,4
Baik 53 61,6
Total 86 100,0

Berdasarkan tabel 4.5. dapat dilihat bahwa dari 86 responden mayoritas

responden memiliki pola asuh baik kepada balita yaitu sebanyak 53 (61,6%)

responden dan 33 (38,4%) responden memiliki pola asuh kurang baik kepada

balita.

4.2.6. Jumlah Anggota Rumah Tangga

Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Jumlah Anggota Rumah Tangga di Wilayah


Kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur

Jumlah Anggota Rumah Tangga Frekuensi(f) %


Besar 54 62,8
Kecil 32 37,2
Total 86 100,0

Berdasarkan tabel 4.6. dapat dilihat bahwa dari 86 responden mayoritas

memiliki jumlah anggota rumah tangga besar yaitu sebanyak 54 (62,8%)

responden dan 32 (37,2%) responden memiliki jumlah anggota rumah tangga

kecil.
4.2.7. Riwayat Imunisasi Dasar

Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Riwayat Imunisasi Dasar di Wilayah Kerja


Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur

Riwayat Imunisasi Dasar Frekuensi(f) %


Tidak Baik 49 57,0
Baik 37 43,0
Total 86 100,0

Berdasarkan tabel 4.7. dapat dilihat bahwa dari 86 responden mayoritas

balita memiliki riwayat imunisasi dasar tidak baik yaitu sebanyak 49 (57,0%)

responden dan 37 (43,0%) responden memiliki riwayat imunisasi dasar baik.

4.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan risiko masing-masing

variabel bebas (Independent varibel) yaitu penyakit infeksi, riwayat ASI Ekslusif,

pendapatan keluarga, pola asuh, jumlah anggota keluarga, riwayat imunisasi dasar

dengan variabel terikat (Dependent variabel) yaitu wasting pada balita

menngunakan analisis Risk Factor, pada batas kemaknaan perhitungan statistik p

value (0,05). Apabila hasil perhitungan menunjukkan nilai p value < α (0,05)

maka hipotesis diterima, artinya kedua variabel secara statistik mempunyai

hubungan yang signikan.

4.3.1. Analisis Faktor Risiko Penyakit Infeksi Terhadap Wasting pada Balita

Analisis faktor risiko penyakit infeksi terhadap wasting pada balita

dilakukan dengan menggunakan uji Risk Factor pada tingkat kepercayaan 95% (p

value < 0,05) dan melakukan tabulasi silang. Hasil dari analisis tersebut dapat

dilihat pada tabel dibawah ini:


Tabel 4.8 Analisis Faktor Risiko Penyakit Infeksi Terhadap Wasting pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh
Timur
Wasting pada Balita
Jumlah OR
Penyakit Infeksi Kasus Kontrol
f % f % f % value (Lower-Upper)
Ya 31 36,0 8 9,3 39 45,3 11.302
Tidak 12 14,0 35 40,7 47 54,7 I6 (4.088-
31.244)
Jumlah 43 50,0 43 50,0 86 100
Hasil analisis penyakit infeksi dengan wasting pada balita diperoleh dari

39 responden yang mengalami penyakit infeksi sebanyak 31 (36,0%) responden

mengalami wasting dan dari 47 responden yang tidak mengalami penyakit infeksi

sebanyak 12 (14,0%) responden mengalami wasting. Hasil uji statistik diperoleh

nilai Odds Ratio (OR) = 11.302. Artinya balita yang mempunyai riwayat penyakit

infeksi beresiko 11.302 kali untuk menderita wasting dibandingkan dengan balita

yang tidak mempunyai riwayat penyakit infeksi. Karena nilai OR (11.320) > 1,

maka penyakit infeksi merupakan faktor risiko wasting pada balita. Karena tidak

mencakup nilai 1 diantara nilai lower limit (4.088) dan nilai upper limit (31.244)

artinya tidak ada hubungan yang signifikan.

4.3.2. Analisis Faktor Risiko Riwayat ASI Ekslusif Terhadap Wasting pada

Balita

Analisis faktor risiko riwayat ASI Ekslusif terhadap wasting pada balita

dilakukan dengan menggunakan uji Risk Factor pada tingkat kepercayaan 95% (p

value < 0,05) dan melakukan tabulasi silang. Hasil dari analisis tersebut dapat

dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.9 Analisis Faktor Risiko Riwayat ASI Ekslusif Terhadap Wasting
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten
Aceh Timur
Wasting pada Balita
Riwayat ASI Jumlah OR
Kasus Kontrol
Ekslusif f % f % f % (Lower-Upper)

Tidak Memberikan 26 30,2 15 17,4 41 47,7 2.132


Memberikan 17 19,8 28 32,6 45 52,3 (0,899-5,052)
Jumlah 43 50,0 43 50,0 86 100
Hasil analisis riwayat ASI Ekslusif terhadap wasting pada balita

diperoleh dari 41 responden yang tidak memberikan ASI Ekslusif sebanyak 26

(30,2%) responden mengalami wasting dan dari 45 responden yang memberikan

ASI Ekslusif sebanyak 17 (19,8%) responden mengalami wasting. Hasil uji

statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 2.132. Artinya balita yang mempunyai

riwayat ASI Ekslusif beresiko 2.132 kali untuk menderita wasting dibandingkan

dengan balita yang tidak mempunyai riwayat ASI Ekslusif. Karena nilai OR

(2.132) > 1, maka riwayat ASI Ekslusif merupakan faktor risiko wasting pada

balita. Karena mencakup nilai 1 diantara nilai lower limit (0,899) dan nilai upper

limit (5,052) artinya ada hubungan yang signifikan.

4.3.3. Analisis Faktor Risiko Pendapatan Keluarga Terhadap Wasting pada

Balita

Analisis faktor risiko pendapatan keluarga terhadap wasting pada balita

dilakukan dengan menggunakan uji Risk Faktor pada tingkat kepercayaan 95% (p

value < 0,05) dan melakukan tabulasi silang. Hasil dari analisis tersebut dapat

dilihat pada tabel dibawah ini:


Tabel 4.10 Analisis Faktor Risiko Pendapatan Keluarga Terhadap Wasting
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten
Aceh Timur

Wasting pada Balita


Pendapatan Jumlah OR
Kasus Kontrol
Keluarga f % f % f % (Lower-Upper)

Rendah 30 34,9 27 31,4 57 66,3 1,368


Tinggi 13 15,1 16 18,6 29 33,7 (0,557-3.356)
Jumlah 43 50,0 43 50,0 86 100

Hasil analisis pendapatan keluarga terhadap wasting pada balita

diperoleh dari 57 responden yang memiliki pendapatan keluarga rendah sebanyak

30 (34,9%) responden mengalami wasting dan dari 29 responden yang memiliki

pendapatan keluarga tinggi sebanyak 13 (15,1%) responden mengalami wasting..

Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 1.368. Artinya balita yang

mempunyai pendapatan keluarga rendah beresiko 1.368 kali untuk menderita

wasting dibandingkan dengan balita yang tidak mempunyai pendapatan keluarga

rendah. Karena nilai OR (1,368) > 1, maka merupakan faktor risiko wasting pada

balita. Karena mencakup nilai 1 diantara nilai lower limit (0,557) dan nilai upper

limit (3,356) artinya ada hubungan yang signifikan.

4.3.4. Analisis Faktor Risiko Pola Asuh Terhadap Wasting pada Balita

Analisis faktor risiko pola asuh terhadap wasting pada balita dilakukan

dengan menggunakan uji Risk Faktor pada tingkat kepercayaan 95% (p value <

0,05) dan melakukan tabulasi silang. Hasil dari analisis tersebut dapat dilihat pada

tabel dibawah ini:


Tabel 4.10 Analisis Faktor Risiko Pola Asuh Terhadap Wasting pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh
Timur

Wasting pada Balita


Jumlah OR
Pola Asuh Kasus Kontrol
f % f % f % (Lower-Upper)

Kurang Baik 23 26,7 10 11,6 33 38,4 3,795


Baik 20 23,3 33 38,4 53 61,6 (1,502-9,591)
Jumlah 43 50,0 43 50,0 86 100

Hasil analisis pola asuh terhadap wasting pada balita diperoleh dari 33

responden dengan pola asuh kurang baik sebanyak 23 (26,7%) responden

mengalami wasting dan dari 53 responden dengan pola asuh baik sebanyak 20

(23,3%) responden mengalami wasting. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds

Ratio (OR) = 1.368. Artinya balita yang mempunyai pola asuh kurang baik

beresiko 3,795 kali untuk menderita wasting dibandingkan dengan balita yang

mempunyai pola asuh baik. Karena nilai OR (3,795) > 1, maka merupakan faktor

risiko wasting pada balita. Karena tidak mencakup nilai 1 diantara nilai lower

limit (1,502) dan nilai upper limit (9,591) artinya tidak ada hubungan yang

signifikan.

Tabel 4.11 Analisis Faktor Risiko Jumlah Anggota Keluarga Terhadap


Wasting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk
Kabupaten Aceh Timur

Wasting pada Balita


Jumlah Anggota Jumlah OR
Kasus Kontrol
Keluarga f % f % f % (Lower-Upper)

Besar 33 38,4 21 24,4 54 62,8 3,457


Kecil 10 11,6 22 25,6 32 37,2 (1,369-8,730)
Jumlah 43 50,0 43 50,0 86 100

Hasil analisis jumlah anggota keluarga terhadap wasting pada balita

diperoleh dari 54 responden yang memiliki jumlah anggota keluarga besar

sebanyak 33 (38,4%) responden mengalami wasting dan dari 32 responden yang

memiliki jumlah anggota keluarga kecil sebanyak 10 (11,6%) responden

mengalami wasting. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 3,457

Artinya balita yang mempunyai jumlah anggota keluarga besar beresiko 3,457 kali

untuk menderita wasting dibandingkan dengan balita yang mempunyai jumlah

anggota keluarga rkecil. Karena nilai OR (3,457) > 1, maka merupakan faktor

risiko wasting pada balita. Karena tidak mencakup nilai 1 diantara nilai lower

limit (1,369) dan nilai upper limit (8,730) artinya tidak ada hubungan yang

signifikan.

Tabel 4.12 Analisis Faktor Risiko Riwayat Imunisasi Dasar Terhadap


Wasting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk
Kabupaten Aceh Timur

Wasting pada Balita


Riwayat Imunisasi Jumlah OR
Kasus Kontrol
Dasar f % f % f % (Lower-Upper)

Tidak Baik 31 36,0 18 20,9 49 57,0 3,588


Baik 12 14,0 25 29,1 32 43 (1,458-8,830)
Jumlah 43 50,0 43 50,0 86 100

Hasil analisis riwayat imunisasi dasar terhadap wasting pada balita

diperoleh dari 49 responden yang memiliki riwayat imunisasi dasar tidak baik

sebanyak 31 (36,0%) responden mengalami wasting dan dari 32 responden yang


memiliki riwayat imunisasi dasar baik sebanyak 12 (14,0%) responden mengalami

wasting. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 3,588 Artinya balita

yang mempunyai riwayat imunisasi dasar beresiko 3,588 kali untuk menderita

wasting dibandingkan dengan balita yang tidak mempunyai riwayat imunisasi

dasar. Karena nilai OR (3,558) > 1, maka merupakan faktor risiko wasting pada

balita. Karena tidak mencakup nilai 1 diantara nilai lower limit (1,458) dan nilai

upper limit (8,830) artinya tidak ada hubungan yang signifikan.


BAB V

PEMBAHASAN

5.1. Faktor Risiko Penyakit Infeksi Terhadap Wasting Pada Balita

Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio penyakit infeksi dengan wasting

pada balita diperoleh dari 43 responden yang mengalami wasting sebanyak 30

(69,8%) mengalami penyakit infeksi dan dari 43 responden yang tidak mengalami

wasting sebanyak 10 (23,3%) responden mengalami penyakit infeksi. Hasil uji

statistik diperoleh p < 0,05 menunjukkan bahwa riwayat penyakit infeksi

merupakan wasting pada balita. Hasil uji diperoleh OR > 1 dengan 95% CI 2,912-

19,915. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 7,615. Artinya balita

yang mempunyai riwayat penyakit infeksi beresiko 7,615 kali untuk menderita

wasting dibandingkan dengan balita yang tidak mempunyai riwayat penyakit

infeksi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Afriyani (2015) menyatakan bahwa

ada hubungan yang signifikan antara penyakit infeksi dengan kejadian wasting di

wilayah kerja dipuskesmas Talang Betutu Kota Palembang dan diperoleh nilai (p=

0.010 dan OR= 3,512) artinya penyakit infeksi merupakan faktor risiko dari

kejadian wasting dan balita yang mengalami penyakit infeksi berisiko 3,512 kali

mengalami kejadian wasting dibandingkan dengan balita yang tidak mengalami

penyakit infeksi (13)

Penyakit infeksi berhubungan dengan kejadian wasting pada balita.

Anak-anak yang menderita penyakit infeksi (diare dan/atau ISPA) lebih banyak
mengalami wasting dibandingkan anak-anak yang tidak menderita penyakit

infeksi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena anak-anak yang menderita diare

dan/atau ISPA mengalami kekurangan/kehilangan nafsu makan dan malabsorpsi

nutrient. Apabila asupan nutrisi anak tidak adekuat, ketidak seimbangan antara

kebutuhan tubuh dan asupan makanan akan terjadi. Dampak lain dari penyakit

infeksi adalah penggunaan energi yang berlebihan untuk mengatasi penyakit

tersebut. Kecukupan energi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan dan

perkembangan anak menjadi terhambat karena adanya penyakit infeksi. Oleh

karena itu, anak-anak yang menderita penyakit infeksi cenderung mengalami

wasting (47)

Menurut Victora et al. (1999) menyatakan bahwa kurang gizi pada anak

menurunkan sistem imun yang akhirnya akan meningkatkan risiko terjadinya

penyakit infeksi. Keadaan kurang gizi mempunyai efek terhadap mekanisme

pertahanan terhadap antigen, serta berpengaruh juga terhadap respon imun yang

lebih khusus. Penurunan respon seperti itulah yang menyebabkan virus dengan

mudah menginfeksi dan bereplikasi, sehingga timbullah penyakit infeksi pada

anak tersebut. Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan

hubungan timbal balik, yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat

memperburuk keadaan gizi, dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah

terkena infeksi (4)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hendrayati (2013) penyakit

infeksi seperti diare dan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang disebabkan

oleh sanitasi pangan dan lingkungan yang buruk, berhubungan dengan kejadian
wasting. Penelitian yang dilakukan Khan et al. (2016) juga menyatakan ada

hubungan yang signifikan antara penyakit infeksi (diare) dengan kejadian wasting.

Diare yang terjadi pada anak sangat berbahaya karena dapat menyebabkan tubuh

kehilangan cairan dalam jumlah banyak. Diare sangat berhubungan dengan

kerusakan yang terjadi pada mukosa usus sehingga protein, cairan dan zat lainnya

tidak dapat terserap dengan baik. Selain itu terjadi masalah dalam aliran usus dan

enzim pancreas. Seseorang dengan penyakit saluran pernafasan juga mengalami

masalah yang dapat mempengaruhi asupan gizi. Penyakit Infeksi bisa

berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara, yaitu mempengaruhi

nafsu makan, menyebabkan kehilangan bahan makanan karena muntah/diare, atau

mempengaruhi metabolisme makanan (20)

Penyakit infeksi dan keadaan gizi anak merupakan 2 hal yang saling

mempengaruhi. Dengan adanya suatu penyakit nafsu makan anak mulai menurun

dan mengurangi asupan konsumsi makanannya, sehingga berakibat berkurangnya

zat gizi yang masuk ke dalam tubuh anak. Dampak penyakit infeksi yang lain

adalah ISPA yang kemudian berakibat pada kehilangan zat gizi. Infeksi yang

menyebabkan diare pada anak mengakibatkan cairan dan zat gizi di dalam tubuh

berkurang. Penyakit infeksi sangat erat kaitannya dengan status gizi yang kurang.

Hal ini berkaitan dengan mekanisme pertahanan tubuh dimana balita yang

mengalami kekurangan makanan tubuhnya tidak mampu membentuk energi baru

untuk melawan serangan infeksi (9).

Penyakit infeksi dapat menyebabkan gizi kurang dan juga sebaliknya

gizi kurang akan semakin memperberat sistem pertahanan tubuh yang selanjutnya
dapat menyebabkan seorang anak lebih rentan terkena penyakit infeksi. Sehingga

disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi

merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Penyakit infeksi yang paling

sering menyebabkan gangguan gizi dan sebaliknya adalah infeksi saluran nafas

akut (ISPA) dan diare (15)

Dalam penelitian ini ditemukan pada kelompok kasus banyak yang

mengalami penyakit infeksi ISPA dan diare dibandingkan yang tidak mengalami

penyakit infeksi dalam satu tahun terakhir, sedangkan pada kelompok kontrol

banyak balita yang tidak mengalami penyakit infeksi dalam satu tahun terakhir.

Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya wasting pada

balita karena balita yang mengalami penyakit infeksi baik ISPA maupun diare

menyebabkan kehilangan nafsu makan sehingga menyebabkan kurangnya

kebutuhan asupan makanan untuk pertumbuhan balita, dalam hasil pengamatan

peneliti bahwa balita yang mengalami penyakit infeksi banyak dijumpai balita

tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap, hal ini menyebabkan balita rentan

mengalami penyakit infeksi, hal ini juga didukung masih banyak dijumpai balita

bermain ditempat yang kotor atau bermain mainan yang kotor dan kemudian

menghisap jari tangannya atau memasukkan mainan yang kotor kemulutnya dan

juga masih dijumpai kebersihan lingkungan yang kotor disekitar balita dengan

banyaknya sampah, lantai yang kotor dan adanya genangan air yang tidak

dibersihkan serta masih dijumpai ibu memberikan makan pada anaknya tidak

pernah mencuci tangan.


5.2. Faktor Risiko Riwayat ASI Ekslusif Terhadap Wasting Pada Balita

Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio antara riwayat ASI Ekslusif

dengan wasting pada balita diperoleh dari 43 responden yang mengalami wasting

sebanyak 28 (65,1%) responden tidak memberikan ASI Ekslusif dan dari 43

responden yang tidak mengalami wasting sebanyak 16 (37,2%) responden tidak

memberikan ASI Ekslusif. Hasil uji statistik diperoleh p < 0,05 menunjukkan

bahwa riwayat ASI Ekslusif merupakan faktor risiko wasting pada balita. Hasil uji

diperoleh OR > 1 dengan 95% CI 1,306-7,600. Hasil uji statistik diperoleh nilai

Odds Ratio (OR) = 3,150. Artinya balita yang tidak mendapatkan ASI Ekslusif

beresiko 3,150 kali untuk menderita wasting dibandingkan dengan balita yang

mendapatkan ASI Ekslusif.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Afriani

(2016) membuktikan bahwa ada hubungan signifikan antara riwayat pemberian

ASI dengan kejadian wasting dengan diperoleh nilai OR = 3,223. Hal ini berarti

responden yang memiliki balita yang tidak mendapatkan ASI Ekslusif cenderung

berpeluang mengalami wasting sebesar 3,223 kali lebih besar daripada

responden yang memiliki balita yang mendapat ASI secara ekslusif (15)

Hasil uji multivariat menunjukkan riwayat ASI Ekslusif memengaruhi

kejadian wasting pada balita diwilayah kerja puskesmas Idi Rayeuk dengan OR =

7,026 artinya balita wasting berisiko 7,026 kali disebabkan karena tidak

mendapatkan ASI Ekslusif. Hasil penelitian ini didukung oleh Penelitian Djauhar

(2011) mengatakan bahwa riwayat ASI Ekslusif berhubungan secara signifikan

dengan kejadian wasting. Hal ini disebabkan karena pemberian ASI ekslusif
menurunkan angka kejadian penyakit infeksi yang berhubungan dengan kondisi

status gizi balita. ASI ekslusif akan meningkatkan sistem imunitas bayi, sehingga

daya tahan tubuh terhadap infeksi akan meningkat (16)

Data UNICEF menyebutkan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan

pertama kelahiran dapat mencegah kematian sekitar 13 juta bayi di seluruh dunia

tiap tahun. ASI memiliki komposisi yang sesuai dengan kebutuhan bayi, bahwa

ASI mengandung zat yang membantu dalam penyerapan kalsium dan mineral

dasar. Selain itu, di dalamASI terkandung banyak vitamin, antara lain vitamin A,

D, E, K, B12, dan zat yang melindungi bayi dari infeksi serta menjaga saluran

pencernaan. ASI juga mengandung hormon pertumbuhan yang meningkatkan

proses pertumbuhan pada sistem pencernaan bayi dan melindungi bayi untuk

melawan bakteri dan virus (22)

Rendahnya Pemberian ASI Ekslusif menjadi salah satu pemicu terjadinya

wasting pada anak balita akibat dari kejadian masa lalu dan akan berdampak

terhadap masa depan anak. mempengaruhi status gizi anak. Pemberian ASI yang

baik oleh ibu akan membantu menjaga keseimbangan gizi anak sehingga

tercapainya pertumbuhan anak yang normal. ASI yang mengandung

imunoglobulin dan zat lain memberikan kekebalan pada bayi terhadap infeksi

bakteri dan virus. Balita yang pernah mendapatkan ASI Ekslusif mempunyai

status kesehatan yang lebih baik dari pada yang tidak pernah mendapatkan ASI

Ekslusif. Pemberian makanan atau zat gizi yang belum baik dalam hal jumlah dan

mutu, waktu pemberian yang tidak tepat, masalah dalam pengolahan makanan
akan memberi dampak pada gangguan pertumbuhan dan munculnya beberapa

penyakit infeksi (32)

Dalam penelitian ini bayi yang mendapatkan ASI Ekslusif lebih

banyak pada kelompok kontrol sedangkan balita yang tidak mendapatkan ASI

Ekslusif lebih banyak mengalami wasting pada balita, hal ini menunjukkan

bahwa balita yang mendapatkan ASI Ekslusif kebutuhan nutrisi yang diperoleh

saat bayi sesuai dengan usia dan bayi dapat terhindar dari kemungkinan

terjadinya penyakit infeksi yang disebabkan pemberian makanan tambahan

selain ASI karena kandungan ASI sangat baik untuk bayi karena mengandung

imunoglobulin dan zat lain memberikan kekebalan pada bayi terhadap infeksi

bakteri dan virus. Dari hasil pengamatan peneliti masih banyak balita yang tidak

mendapatkan ASI Ekslusif, salah satu penyebabnya adalah budaya maupun

tradisi setempat yang biasanya merupakan anjuran dari mertua maupun orang

tua responden yang agar bayi diberi madu maupun air putih atau dicampur

dengan gula bahkan bayi yang berusia 0-6 bulan sudah mendapatkan pisang, hal

ini dilakukan secara turun temurun sehingga bayi tidak mendapatkan ASI

Ekslusif disamping itu masih terdapatnya pemahaman ibu bila bayi

mendapatkan susu formula maka bayi akan bertambah gemuk sehingga tidak

cukup hanya dengan ASI saja. Tetapi ada juga ibu yang memberikan ASI

Ekslusif salah satunya karena informasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan

yang menambah pemahaman ibu tentang penting ASI Ekslusif bagi

pertumbuhan dan perkembangan balita kedepannya.


5.3 Faktor Risiko Pendapatan Keluarga Terhadap Wasting Pada Balita

Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio pendapatan keluarga dengan

wasting pada balita diperoleh dari 43 responden yang mengalami wasting

sebanyak 23 (53,5%) responden memiliki pendapatan keluarga rendah dan dari 43

responden yang tidak mengalami wasting sebanyak 13 (30,2%) responden yang

memiliki pendapatan keluarga rendah. Hasil uji statistik diperoleh p < 0,05

menunjukkan bahwa pendapatan keluarga merupakan risiko wasting pada balita.

Hasil uji diperoleh OR > 1 dengan 95% CI 1,096-6,428. Hasil uji statistik

diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 2,654. Artinya balita yang berasal dari keluarga

dengan pendapatan yang rendah beresiko 2,654 kali untuk menderita wasting

dibandingkan dengan balita balita yang berasal dari keluarga dengan pendapatan

tinggi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hendrayati (2013). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pendapatan keluarga memiliki pengaruh yang

siginifikan terhadap kejadian wasting pada balita. Dan diperoleh nilai OR = 5,496

(95% CI = 1,080 – 27,970), menunjukkan bahwa respoden yang jumlah

pendapatan rendah 5 kali lebih beresiko mengalami wasting pada balita

dibandingkan dengan balita yang memiliki pendapatan tinggi (20)

Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan

kuantitas makanan, antara pendapatan dan gizi sangat erat kaitannya dalam

pemenuhan makanan kebutuhan hidup keluarga, makin tinggi daya beli keluarga

makin banyak makanan yang dikomsumsi dan semakin baik pula kualitas
makanan yang dikomsumsi. Disini terlihat jelas bahwa pendapatan rendah akan

menghalangi perbaikan gizi dan menimbulkan kekurangan gizi (37)

Hasil uji multivariat menunjukkan pendapatan keluarga memengaruhi

kejadian wasting pada balita diwilayah kerja puskesmas Idi Rayeuk dengan OR =

4,807 artinya balita yang berasal dari keluarga dengan pendapatan yang rendah

beresiko 4,807 kali untuk menderita wasting dibandingkan dengan balita yang

berasal dari keluarga dengan pendapatan tinggi. Hasil penelitian ini didukung oleh

Penelitian Muljati (2008) bahwa semakin besar pendapatan keluarga maka

semakin baik status gizi balita dan begitu pula sebaliknya. Tingkat pendapatan

keluarga yang tinggi mempunyai dana untuk menyediakan kebutuhan gizi anggota

keluarganya karena semakin rendah pendapatan kelurga semakin tidak mampu ibu

dalam mencukupi kebutuhan makanan yang mengandung gizi yang baik (21).

Pendapatan keluarga yang rendah menyebabkan asupan gizi anak tidak

optimal dan dapat mempengaruhi status gizi anak. Pendapatan keluarga dinilai

berdasarkan persentase pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total. Proporsi

kejadian wasting semakin meningkat seiring dengan meningkatnya persentase

pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total. Semakin tinggi persentase

pengeluaran untuk konsumsi pangan, ada kecenderungan bahwa rumah tangga

tersebut miskin dan memiliki tingkat ketahanan pangan yang rendah (23)

Penelitian ini menunjukan pendapatan keluarga rendah akan berisiko

lebih besar untuk menyebabkan anak mengalami wasting. Kemampuan keluarga

untuk mencukupi kebutuhan makanan dipengaruhi oleh tingkat pendapatan

keluarga itu sendiri. Keluarga yang mempunyai pendapatan relatif rendah sulit
mencukupi kebutuhan makanannya. Pada umumnya jika pendapatan naik, jumlah

dan jenis makanan akan cenderung membaik.

5.4. Faktor Risiko Pola Asuh Terhadap Wasting Pada Balita

Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio pola asuh dengan wasting pada

balita diperoleh dari 43 responden mengalami wasting sebanyak 27 (62,8%)

dengan pola asuh kurang baik dan dari 43 responden yang tidak mengalami

wasting sebanyak 14 (32,6%) dengan pola asuh kurang baik. Hasil uji statistik

diperoleh p < 0,05 menunjukkan bahwa pola asuh merupakan risiko wasting pada

balita. Hasil uji diperoleh OR > 1 dengan 95% CI 1,438-8,498. Hasil uji statistik

diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 3,496. Artinya balita yang mendapatkan pola

asuh kurang baik beresiko 3,496 kali untuk menderita wasting dibandingkan

dengan balita yang mendapatkan pola asuh baik.

Berdasarkan hasil penelitian Nimah (2016) menunjukkan terdapat

hubungan yang signifikan antara pola asuh gizi dengan wasting pada balita (p

value=0,022) dan nilai OR = 3,119 ini artinya balita yang mendapatkan pola asuh

kurang baik beresiko 3,119 kali untuk menderita wasting dibandingkan dengan

balita yang mendapatkan pola asuh baik.

Menurut Depkes RI pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu

dalam hal kedekatannya dengan anak, memberi makan, merawat, memberi kasih

sayang dan sebagainya. Pola asuh juga merupakan praktik dari rumah tangga yang

diwajibkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan untuk

keterjangkauan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan. Orang tua selalu

mempunyai pengaruh paling kuat pada anak balita. Setiap orang tua mempunyai
pola asuh tersendiri dari segi asuh, asah dan asih dalam hubungannya dengan

anak-anaknya, hal ini mempengaruhi perkembagan anak (45)

Menurut UNICEF mengemukakan bahwa Pengasuhan didefinisikan

sebagai cara memberikan makan, merawat anak, membimbing, dan mengajari

anak yang dilakukan oleh individu dan keluarga. Praktik memberikan makan pada

anak meliputi pemberian ASI, makanan tambahan berkualitas, penyiapan

makanan dan penyediaan makanan yang bergizi, perawatan anak termasuk

merawat anak apabila sakit, imunisasi, pemberian suplemen, memandikan anak

dan sebagainya. faktor yang cukup dominan yang menyebabkan meluasnya

keadaan gizi kurang adalah perilaku yang kurang benar dikalangan masyarakat

dalam memilih dan memberikan makanan kepada anggota keluarganya, terutama

kepada anak-anak. Oleh karena itu berbagai kegiatan harus dilaksanakan untuk

memberikan makanan (Feeding) dan perawatan (carring) yang benar untuk

mencapai status gizi yang baik. Feeding dan carring melalui pola asuh yang

dilakukan ibu kepada anaknya akan mempengaruhi tumbuh kembang anak secara

positif maupun negative (38)

Hasil uji multivariat menunjukkan pola asuh memengaruhi kejadian

wasting pada balita diwilayah kerja puskesmas Idi Rayeuk dengan OR = 12,574

artinya balita yang mendapatkan pola asuh kurang baik beresiko 12,574 kali untuk

menderita wasting dibandingkan dengan balita yang mendapatkan pola asuh baik.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Rahayu (2018) dari hasil uji statistic

didapatkan nilai OR= 8,74; CI95%= 3,14 hingga 33,17; p= 0.011), menyimpulkan

bahwa balita yang memiliki pola asuh tidak baik mempunyai peluang risiko
kejadian wasting sebesar 8,74 kali dibandingkan dengan balita yang mendapatkan

pola asuh baik. (22)

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Wandira (2012) bahwa

terdapat hubungan antara pola asuh makan dengan status gizi balita. Kondisi usia

balita yang masih berada pada tahap ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan

dasarnya terhadap orang tua atau pengasuh, membuat asupan makanan sangat

tergantung dengan bagaimana cara pengasuhan, cara memberi makan dan cara

perawatan kesehatan oleh orang tua atau pengasuh. Pola asuh merupakan faktor

yang erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan anak balita. Pola

asuh yang baik dari ibu akan memberikan kontribusi yang besar pada

pertumbuhan dan perkembangan balita sehingga akan menurunkan angka kejadian

gangguan gizi (48)

Pola asuh yang baik dapat mendorong orang tua dan anak dalam

melakukan interaksi timbal balik secara terbuka sehingga terjalin kepercayaan dan

kedekatan antara orang tua dan anak. Salah satu pola asuh yang dapat

mempertahankan keadaan gizi balita yaitu pola asuh makan yang baik meliputi

memberikan makanan sesuai dengan usia balita, mengawasi jadwal makan utama

seperti makan pagi, siang dan malam atau juga makan selingan balita setiap

harinya, kepekaan seorang ibu saat anak ingin makan, upaya dalam

menumbuhkan nafsu makan anak balita, memberikan makanan yang bergizi dan

beranekragam serta menciptakan suasana makan yang nyaman untuk anak balita.

Pola asuh makan yang responsif meliputi upaya orang tua memotivasi anak untuk
makan, memperhatikan nafsu makan dan waktu makan anak mempengaruhi

asupan gizi sehingga mempengaruhi keadaan status gizi anak (19).

Pola asuh terdiri dari pola asuh makan, pola asuh kesehatan. kualitas

interaksi ibu anak yang dilihat dari aspek praktik pengasuhan, praktik pemberian

makan serta perawatan kesehatan. Pola asuh Kesehatan merupakan tugas orang

tua anak agar anak selalu berada pada kondisi terbebas dari penyakit serta dapat

beraktivitas rutin selayaknya individu normal dengan cara memperhatikan

kesehatan anak, ketika anak sakit segera dibawa kefasilitas kesehatan. Usaha

preventif yang dilakukan orang tua untuk membentuk kesehatan anak adalah

dengan membiasakan pola hidup sehat, melalui penanaman kebiasaan hidup

bersih dan teratur. Kebisaan tersebut antara lain: mandi, keramas rambut,

menggosok gigi, menggunting kuku, mencuci tangan sebelum makan, memakai

alas kaki ketika bermain diluar rumah dan sebagainya (39).

Dalam penelitian ini pola asuh merupakan hal yang berhubungan dengan

kejadian wasting pada balita, pola asuh terkait pemberian makan berpengaruh

terhadap kebutuhan makan anak dan praktek kebersihan anak mempengaruhi

pertumbuhan linear anak melalui peningkatan kerawanan terhadap penyakit

infeksi. Meskipun sebagian besar pola pengasuhan balita positif akan tetapi masih

terdapat balita dengan wasting, hal tersebut disebabkan karena ada balita yang

menderita penyakit infeksi yaitu ISPA maupun diare yang sangat erat kaitannya

dengan pola asuh ibu terhadap balita salah satunya ibu tidak mengajarkan pada

anak mencuci tangan sebelum makan, ibu membiarkan anak untuk jajan jika tidak

mau makan dan ibu masih memberikan makanan yang tidak sehat kepada anak
atau makanan siap saji seperti sosis maupun mie instan asalkan anak tidak

menangis dan ibu masih membiarkan anak tidak memakai alas kaki ketika

bermain diluar rumah. Dengan pola asuh yang tidak baik maka balita akan rentan

mengalami penyakit infeksi yang dapat mempengaruhi nafsu makan balita

sehingga kebutuhan gizi dan makanan dalam tubuh balita tidak terpenuhi

akibatnya balita dapat mengalami penurunan berat badan.

5.5. Faktor Risiko Jumlah Anggota Rumah Tangga Terhadap Wasting Pada

Balita

Berdasarkan analisis Odds Ratio jumlah anggota keluarga terhadap

wasting pada balita diperoleh dari 46 responden yang memiliki jumlah anggota

keluarga besar sebanyak 25 (58,1%) responden mengalami wasting dan dari 50

responden yang memiliki jumlah anggota keluarga kecil sebanyak 18 (41,9%)

responden mengalami wasting. Hasil uji statistik diperoleh p > 0,05 menunjukkan

bahwa jumlah anggota keluarga bukan merupakan risiko wasting pada balita.

Hasil uji statistik (OR= 1,455 dengan 95% CI 0,621-3,408) menunjukkan bahwa

jumlah anggota keluarga bukan merupakan faktor risiko wasting pada balita.

Jumlah anggota keluarga yang besar dikaitkan dengan kemiskinan.

Kemiskinan menyebabkan kurangnya dukungan dan pengharapan, dimana tidak

direncanakannnya terlebih dahulu dalam pembatasan jumlah anak. Jumlah

anggota keluarga besar secara langsung akan mempengaruhi angka kesakitan dan

status gizi anak, hal ini terkait dengan kurangnya ketersediaan pangan yang ada

dalam keluarga karena kurangnya sumber daya (18)


Jumlah anggota keluarga merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga. Banyaknya anggota keluarga, maka

pola konsumsinya semakin bervariasi karena masing-masing anggota rumah

tangga belum tentu mempunyai selera yang sama. Jumlah anggota keluarga

berkaitan dengan pendapatan rumah tangga yang akhirnya akan mempengaruhi

pola konsumsi rumah tangga tersebut (9).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hendrayati (2013) yang

menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara jumlah anggota keluarga

dengan kejadian wasting (p value = 0,561 0R= 0,721) (19). Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian di Bangladesh yang menunjukkan tidak ada hubungan

wasting terhadap jumlah anggota keluarga. Hasil penelitian ini didukung oleh

Charmarbaglawa, Ranger, Waddington, dan White (2010) menunjukkan bahwa

pada keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang besar akan tetapi memiliki

lebih banyak anggota keluarga yang bekerja (rasio antara anggota keluarga yang

tidak bekerja dibandingkan yang bekerja lebih kecil) menyebabkan pendapatan

keluarga dan status ekonominya meningkat. Hal ini menyebabkan kondisi

kesehatan anak dan status gizinya menjadi lebih baik (20).

Dalam penelitian ini jumlah anggota keluarga bukan merupakan faktor

risiko terjadinya wasting pada balita dikarenakan anggota keluarga masih

dijumpai yang bekerja dan produktif yang mampu menambah pendapatan

keluarga untuk memenuhi kebutuhan nutrisi balita dan anggota keluarga yang

tinggal satu rumah dengan balita tidak memberatkan anggota keluarga yang

ditumpangi atau yang tinggal bersamanya.


5.6. Faktor Risiko Riwayat Imunisasi Dasar Terhadap Wasting Pada Balita

Berdasarkan analisis Odds Ratio riwayat imunisasi dasar terhadap

wasting pada balita diperoleh dari 55 responden yang memiliki riwayat imunisasi

dasar tidak baik sebanyak 33 (76,7%) responden mengalami wasting dan dari 31

responden yang memiliki riwayat imunisasi dasar baik sebanyak 10 (23,3%)

responden mengalami wasting. Hasil uji statistik diperoleh p < 0,05 menunjukkan

bahwa riwayat imunisasi dasar merupakan risiko wasting pada balita. Hasil uji

diperoleh OR > 1 dengan 95% CI 1,247-7,954. Hasil uji statistik diperoleh nilai

Odds Ratio (OR) = 3,150. Artinya balita yang tidak mendapatkan imunisasi dasar

beresiko 3,150 kali untuk menderita wasting dibandingkan dengan balita yang

mendapatkan imunisasi dasar.

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Rochmawati (2016), dimana ada hubungan yang bermakna antara Kelengkapan

Imunisasi dengan Wasting pada balita diwilayah kerja puskesmas Kota Pontianak.

Didapatkan Hasil uji statistic diperoleh p = 0,025, nilai OR = 3,619 dengan CI

95%= 1,290-10,150 (13).

Pemberian imunisasi dasar lengkap sangat memengaruhi kesehatan bayi.

Imunisasi merupakan suatu upaya untuk menimbulkan dan meningkatkan

kekebalan secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan

dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.

Apabila anak diimunisasi lengkap maka ketahanan tubuh bayi akan meningkat

dan tidak mudah tertular penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Anak

dikatakan sudah mendapat imunisasi lengkap apabila anak sudah mendapat


imunisasi satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio dan satu kali

Campak sebelum anak berusia satu tahun (15)

Hasil uji multivariat menunjukkan riwayat imunisasi dasar memengaruhi

kejadian wasting pada balita diwilayah kerja puskesmas Idi Rayeuk dengan OR =

4,166 artinya balita yang tidak mendapatkan imunisasi dasar beresiko 4,166 kali

untuk menderita wasting dibandingkan dengan balita yang mendapatkan imunisasi

dasar. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Rahayu (2018) bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara status imunisasi lengkap dengan kejadian

riwayat imunisasi dasar (OR= 4,378; CI95%= 2,67 hingga 17,98; p= 0.019). Dari

penelitian wasting ini balita yang status imunisasinya tidak lengkap lebih banyak

yang menderita wasting dari pada balita yang status imunisasinya lengkap, ini

karena kekebalan tubuh anak balita juga dipengaruhi oleh status imunisasi, oleh

karena itu imunisasi sangat penting karena peluang untuk terkena penyakit lebih

kecil yaitu 4,3 kali dibandingkan dengan anak yang status imunisasinya tidak

lengkap. Status imunisasi berhubungan secara langsung dengan kejadian penyakit

ISPA dan diare bahkan dapat diperburuk dengan tingkat asupan nutrisi yang

kurang (22).

Dalam penelitian ini riwayat imunisasi dasar yang lengkap biasanya

menghasilkan status gizi yang baik. Sebagai contoh adalah dengan imunisasi

seorang anak tidak mudah terserang penyakit yang berbahaya, sehingga anak lebih

sehat, dengan tubuh dan status sehat asupan makanan dapat masuk dengan baik,

nutrisi pun terserap dengan baik. Nutrisi yang terserap oleh tubuh balita

dimanfaatkan untuk pertumbuhannya, sehingga menghasilkan status gizi yang


baik. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti rendahnya cakupan imunisasi

lengkap dikarenakan orang tua takut bila anaknya diimunisasi akan demam dan

sakit dan juga masih dijumpai pemahaman dari orang tua yang mengatakan bahwa

vaksin imunisasi mengandung sesuatu yang diharamkan dalam agama, hal ini

yang membuat balita tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap.

5.7 Faktor Dominan Kejadian Wasting Pada Balita

Berdasarkan hasil analisis uji regresi logistik ditemukan faktor risiko yang

paling dominan memiliki pengaruh signifikan terhadap wasting pada balita

adalah penyakit infeksi dengan nilai p (sig) = 0,000 dan memiliki nilai OR =

15,787 dengan CI 95%=3,802-65,632) artinya balita yang mengalami riwayat

penyakit infeksi memiliki peluang 15,7 kali mengalami wasting dibandingkan

balita yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi. Nilai Koefisien B yaitu 2,760

bernilai positif, maka semakin banyak balita yang mengalami penyakit infeksi

akan semakin meningkat pula balita yang mengalami wasting.

Sesuai dengan penelitian Rochmawati faktor penyakit infeksi

menunjukkan nilai paling dominan sebagai faktor risiko kejadian wasting pada

balita (p = 0,001, OR = 10,436 dengan CI 95% =2,831-37,255). Sejalan dengan

kerangka konsep UNICEF 1990 salah satu faktor penyebab langsung terjadinya

masalah gizi adalah penyakit infeksi. Hal ini sejan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Dobner dan Kaser (2017) juga membuktikan bahwa anak yang

kekurangan berat badan berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi untuk

terkena penyakit infeksi.


Penyakit infeksi yang sering terjadi pada balita adalah diare dan ISPA.

Diare dapat menyebabkan anak tidak mempunyai nafsu makan sehingga terjadi

kekurangan jumlah makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuhnya yang

dapat berakibat gizi kurang. Anak yang menderita diare mengalami penurunan

cairan serta gangguan keseimbangan zat gizi dan elektolit. Serangan diare yang

berulang atau diare akut yang berat pada anak gizi kurang merupakan risiko

kematian. (25)

Balita yang mengalami wasting dapat meningkatkan risiko kesakitan dan

kematian anak. Anak yang wasting sangat mudah terkena penyakit infeksi.

Apabila keadaan kurang gizi pada masa balita terus berlanjut, maka dapat

mempengaruhi intellectual performance, kapasitas kerja, dan kondisi

kesehatannya di usia selanjutnya (19).


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1) Penyakit infeksi merupakan faktor risiko wasting pada balita di wilayah kerja

Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur.

2) Riwayat ASI Ekslusif merupakan faktor risiko wasting pada balita di wilayah

kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur.

3) Pendapatan keluarga merupakan faktor risiko wasting pada balita di wilayah

kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur.

4) Pola asuh merupakan faktor risiko wasting pada balita di wilayah kerja

Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur.

5) Jumlah anggota keluarga bukan merupakan faktor risiko wasting pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur.

6) Riwayat imunisasi dasar merupakan faktor risiko wasting pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur.

7) Faktor penyakit infeksi merupakan faktor paling dominan terhadap wasting

pada balita.
6.2 Saran

1) Bagi Dinas Kesehatan

Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur agar

dapat menekankan petugas kesehatan untuk aktif dalam mengatasi masalah

kesehatan di masyarakat khususnya masalah gizi dan penyakit infeksi pada

balita dan coordinator program kesehatan melakukan monitoring serta

evaluasi ke Puskesmas secara berkala dan berkelanjutan.

2) Bagi Puskesmas

Diharapkan kepada petugas kesehatan di Puskesmas khususnya

pelaksanaan program gizi agar dapat memantau secara berkala dan mengatasi

masalah status gizi balita terutama masalah wasting yang dialami dan petugas

kesehatan agar dapat mengobati dan mencegah penyakit penyakit infeksi pada

balita yang dapat memengaruhi nafsu makan pada balita

3) Bagi responden

Diharapkan kepada responden agar dapat meningkatkan asupan

gizi anak, menjaga lingkungan fisik rumah sesuai syarat kesehatan dan

meningkatkan personal hygiene untuk mencegah penyakit infeksi pada balita,

meningkatkan pemberian ASI Ekslusif dan imunisasi dasar yang lengkap

pada balita serta meningkatkan pola asuh yang baik untuk meningkatkan

status gizi pada balita.


Ibu – ibu yang memiliki Balita yang Status Gizi Buruk agak selalu membawa

anak-anaknya ke pukesmas untuk mendapatkan makanan tambahan-

pemulihan yang ade kuat, dan selalu memperhatikan pola asuh kepada

anaknya dan pola makan yang baik.

3. Bagi peneliti selanjutnya , di harapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk

penelitian selanjutnya namun dengan menambahkan faktor lainnya yang

belum di teliti oleh peneliti.


DAFTAR PUSTAKA

1. Merryana Adriani SKM, Kes M. Pengantar gizi masyarakat. Prenada


Media; 2016.
2. Kementerian Kesehatan RI. Buku Panduan Germas. Jakarta; 2016.
3. Gizi D. Gizi dan kesehatan masyarakat. Jakarta PT Raja Graf Persada.
2007;
4. Almatsier S. Prinsip dasar ilmu gizi. Gramedia Pustaka Utama; 2002.
5. Khomsan A. Pangan dan gizi untuk kesehatan. PT Raja Graf Persada,
Jakarta. 2003;
6. Sulistyoningsih H. Gizi untuk kesehatan ibu dan anak. Yogyakarta Graha
Ilmu. 2011;128.
7. Adriani M, Wirjatmadi B. Peranan gizi dalam siklus kehidupan. Jakarta
Kencana Prenada Media Gr. 2012;2:245–78.
8. Pudjiadi S. Ilmu gizi klinis pada anak. Jakarta Gaya Baru. 2005;
9. Atmarita FTS. Analisis situasi gizi dan kesehatan masyarakat. Jakarta
Direktorat Gizi Masyarakat, Dep Kesehat. 2004;
10. Rahmad AHAL. Efektivitas Penggunaan Standar Pertumbuhan WHO
Anthro Terhadap Kualitas Dan Informasi Data Status Gizi Balita. J Inf Syst
Public Heal. 2016;1(1):39–46.
11. Kesehatan K. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Kemenkes RI. 2013;
12. Kesehatan K. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan’. Jakarta; 2015.
13. Rochmawati R, Marlenywati M, Waliyo E. Gizi Kurus (Wasting) pada
Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Pontianak. J Vokasi Kesehat.
2016;2(2):132–8.
14. Baliwati YF, Khomsan A, Dwiriani CM. Pengantar pangan dan gizi.
Jakarta: Penebar Swadaya. 2004;32.
15. Afriyani R, Malahayati N, Hartati H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Wasting pada Balita Usia 1-5 Tahun di Puskesmas Talang Betutu
Kota Palembang. J Kesehat. 2016;7(1):66–72.
16. Djauhar I. Hubungan pemberian ASI Ekslusif dengan Kejadian Wasting
pada anak dibawah dua tahun di Kabupaten Aceh Besar. Universitas
Gadjah Mada; 2011.
17. Lestari ND. Analisis determinan gizi kurang pada balita di Kulon Progo,
Yogyakarta. IJNP (Indonesian J Nurs Pract. 2016;1(1):15–21.
18. Wahyono TYM, Putri DSK. Faktor Langsung dan Tidak Langsung yang
Berhubungan dengan Kejadian Wasting pada Anak Umur 6–59 Bulan di
Indonesia Tahun 2010. Media Penelit dan Pengemb Kesehat. 2013;23(3).
19. Ni’mah C, Muniroh L. Hubungan tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan
dan pola asuh ibu dengan wasting dan stunting pada balita keluarga miskin.
Media Gizi Indones. 2016;10(1):84–90.
20. Hendrayati AA. Darmawati (2013). Faktor yang Mempengaruhi Kejadian
Wasting pada Anak Balita di Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Sopeng.
Media Gizi Pangan, 15.
21. Muljati S. Status Gizi Kurus Anak Usia (24-59) bulan Di Nanggroe Aceh
Darussalam. Analisis Data Surkesda NAD 2006. GIZI Indones. 2008;31(2).
22. Rahayu RM, Pamungkasari EP, Wekadigunawan CSP. The
Biopsychosocial Determinants of Stunting and Wasting in Children Aged
12-48 Months. J Matern Child Heal. 2018;3(2):105–18.
23. Proverawati A, Wati EK. Ilmu gizi untuk keperawatan dan gizi kesehatan.
Yogyakarta Nuha Med. 2011;45–8.
24. Budiyanto MAK. Dasar-dasar ilmu gizi. Univ Muhammadiyah Malang
Malang. 2002;
25. Sediaoetama AD. Ilmu gizi. Jakarta Dian Rakyat. 2000;
26. Berg A, Nur ZD. Peranan gizi dalam pembangunan nasional. Rajawali,
Jakarta; 1986.
27. Khomsan A. Peranan pangan dan gizi untuk kualitas hidup. Gramedia
Widiasarana Indones Jakarta. 2004;
28. Kartasaputra G, Marsetyo H. Ilmu gizi: korelasi gizi, kesehatan dan
produktivitas kerja. Penerbit Rineka Cipta; 2003.
29. Moehji S. Ilmu Gizi: Pengetahuan Dasar Ilmu Gizi. Jakarta Bhratara Niaga
Media. 2002;
30. Kementerian Kesehatan RI. Standar antropometri penilaian status gizi anak.
Jakarta Direktorat Bina Gizi. 2011;
31. Gizi DB, Ibu K, Anak K. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor: 1995. MENKES/SK/XII/2010 Tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi; 2011.
32. Adriani M, Wirjatmadi B. Gizi dan kesehatan balita. Kencana
Prenadamedia Gr. 2014;
33. RI DGD. Program Perbaikan Gizi Masyarakat. Jakarta; 2005.
34. Nyoman ID. Penilaian status gizi. Jakarta EGC. 2001;113–4.
35. Ulfani DH, Martianto D, Baliwati YF. Faktor-faktor sosial ekonomi dan
kesehatan masyarakat kaitannya dengan masalah gizi underweight, stunted,
dan wasted di Indonesia: Pendekatan ekologi gizi. J gizi dan pangan.
2011;6(1):59–65.
36. Khasanah NA, Sulistyawati W. Karakteristik Ibu dengan Kejadian Gizi
Kurang pada Balita 6-24 Bulan di Kecamatan Selat, Kapuas Tahun 2016.
Str J Ilm Kesehat. 2018;7(1):1–8.
37. Lestari ND. Analisis Determinan Status Gizi Balita di Yogyakarta. Mutiara
Med J Kedokt dan Kesehat. 2015;15(1):21–7.
38. Anwar HM. Peranan gizi dan pola asuh dalam meningkatkan tumbuh
kembang anak. 2009;
39. Virdani AS. Hubungan Antara Pola Asuh Terhadap Status Gizi Balita
bUsia 12-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Kalirungkut Kelurahan
Kalirungkut Kota Surabaya. Universitas Airlangga; 2012.
40. Kardjati S, Alisjahbana A, Kusin JA. Aspek kesehatan dan gizi anak balita.
Jakarta Yayasan Obor Indones. 1985;
41. Devi N. Nutrition and food: gizi untuk keluarga. Penerbit Buku Kompas;
2010.
42. Nangley WK, Kandou GD, Malonda NSH. Hubungan Antara Pola Asuh
Ibu Dengan Status Gizi Balita Di Desa Tatelu Kecamatan Dimembe
Kabupaten Minahasa Utara. Kesmas. 2019;6(3).
43. Ariesthi KD. Faktor Risiko Gizi Kurang Pada Balita Di Nusa Tenggara
Timur. CHMK Heal J. 2019;3(1):13.
44. Hidayat AAA. Buku saku praktikum keperawatan anak. In EGC; 2008.
45. Ali HZ, SKM MBA. Pengantar keperawatan keluarga. In EGC; 2010.
46. Dompas R. Gambaran Pemberian Imunisasi Dasar Pada Bayi Usia 0-12
Bulan. JIDAN (Jurnal Ilm Bidan). 2014;2(2):71–6.
47. Betan Y, Hemcahayat M, Wetasin K. Hubungan Antara Penyakit Infeksi
dan Malnutrisi Pada anak 2-5 tahun. J Ners Lentera. 2018;6(1):1–9.
48. Wandira DA. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gizi Kurang pada
Anak Balita di Kelurahan Rengas Pulau Kecamatan Medan Marelan Tahun
2012.
LAMPIRAN

KUESIONER PENELITIAN

ANALISIS FAKTOR RISIKO WASTING PADA BALITA DI WILAYAH


KERJA PUSKESMAS IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR
TAHUN 2019

No. Kasus…………
No. Kontrol……….

Tanggal Pengumpulan Data : ...................................................................


I. Data Responden
A. Identitas ibu (Responden)
Nama ibu : ...................................................................
umur ibu : ...................................................................
Alamat : ...................................................................
Pendidikan : ...................................................................
Pekerjaan : ...................................................................
Pendapatan keluarga perbulan : ...............................

B. Data Identitas Sampel


a. Nama Balita : ………………............................................
b. Tgl/Bln/Thn lahir : ………………............................................
c. Jenis kelamin : ………………............................................
d. Umur : ………………............................................
e. Berat Badan : ………………............................................
f. Tinggi Badan : ………………............................................
C. Identitas Keluarga
1. Jumlah seluruh anggota keluarga :
[ 1 ] < 4 orang
[ 2 ] > 4 orang
2. Jumlah anak : ……………….....................................….. Orang
3. Jumlah anak balita : ................................................................... Orang
II. Riwayat Penyakit Infeksi
1. Apakah dalam satu tahun terakhir anak ibu pernah menderita diare (dengan
gejala buang air besar >3 kali sehari dengan konsistensi cair dengan atau tanpa
muntah)?
1. Ya
2. Tidak
2. Apakah dalam satu tahun terakhir anak ibu pernah menderita ISPA ( batuk,
pilek disertai atau tanpa demam?
1. Ya
2. Tidak

III. Riwayat ASI Ekslusif


1. Apakah ibu memberikan ASI saja secara terus menerus kepada bayi ibu
sampai berusia 6 bulan?
1. Ya
2. Tidak
IV. Riwayat Pemberian Imunisasi
1. Mendapat Imunisasi HB0 : 1. Ya 2. Tidak
2. Pemberian BCG : 1. Ya 2. Tidak
3. Pemberian Hepatitis B/HB Combo : 1. Ya 2. Tidak
Ya, Berapa kali :....
4. Pemberian DPT : 1. Ya 2. Tidak
Ya, Berapa kali :....
5. Pemberian Polio : 1. Ya 2. Tidak
Ya, Berapa kali :....
6. Pemberian Campak : 1. Ya 2. Tidak
Ya, Berapa kali :....
V. Pola Asuh
Petunjuk Pengisian: Isilah pertanyaan dibawah ini dengan memberikan tanda
rumput (√) pada jawaban yang ibu pilih
NO Pernyataan Ya Tidak
1. Ibu memberikan makanan utama (nasi, sayur, lauk)
sebanyak 3 kali sehari pada anak
2. Ibu menghidangkan menu yang sama setiap harinya
3. Ibu memberikan makanan selingan disela waktu
makan pokok
4. Ibu memberikan makanan siap saji seperti sosis,
mie instan pada anak
5. Ibu memarahi anak saat anak tidak mau makan
6. Ibu mengajak anak makan sambil bermain atau
sambil bercerita ketika anak sulit makan
7. Ibu langsung membawa anak kepelayanan
kesehatan jika anak sakit
8. Ibu mengajarkan anak agar terbiasa mencuci tangan
sebelum makan
9. Ibu membiasakan anak untuk mandi dua kali sehari

10. Ibu mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan


untuk balita
11. Ibu membiarkan anak untuk jajan jika tidak mau
makan
12. Ibu membiasakan memakai alas kaki pada anak
ketika bermain diluar rumah
13. Ibu membujuk anak ketika tidak mau makan
14. Ibu selalu membersihkan kuku anak secara teratur
15. Ibu tidak masalah jika anak tidak makan tepat
waktu
16. Ibu mengawasi dan mendampingi anak ketika
makan
17. Ibu membiasakan anak untuk sikat gigi setiap
mandi
18. Ibu mengharuskan anak untuk menghabiskan
makanan walaupun sudah kenyang
19. Ibu menunggu anak minta makan
20. Ibu memaksa anak untuk menghabiskan porsi
makanan yang disiapkan
Aceh Timur, Januari 2019
Responden,

(……………………………..)
Frequencies

Notes

Output Created 28-Mar-2019 22:41:15

Comments

Input Data C:\Users\lenovo\Documents\SPSS APRIL


TESIS.sav

Active Dataset DataSet1

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data File 86

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used Statistics are based on all cases with valid


data.

Syntax FREQUENCIES
VARIABLES=Status_Gizi_Balita
Riwayat_penyakit_infeksi
Riwayat_ASI_Ekslusif
Pendapatan_keluarga Pola_Asuh
Jumlah_anggota_keluarga
Riwayat_imunisasi_dasar
/ORDER=ANALYSIS.

Resources Processor Time 00:00:00.016

Elapsed Time 00:00:00.174

Statistics

Status_Giz Riwayat_peny Riwayat_ASI Pendapatan_kelu Jumlah_anggota Riwayat_imuni


i_Balita akit_infeksi _Ekslusif arga Pola_Asuh _keluarga sasi_dasar

N Valid 86 86 86 86 86 86 86

Missing 0 0 0 0 0 0 0
Frequency Table

Status_Gizi_Balita

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Wasting 43 50.0 50.0 50.0

Normal 43 50.0 50.0 100.0

Total 86 100.0 100.0

Riwayat_penyakit_infeksi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Ya 40 46.5 46.5 46.5

Tidak 46 53.5 53.5 100.0

Total 86 100.0 100.0

Riwayat_ASI_Ekslusif

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak memberikan 44 51.2 51.2 51.2

Memberikan 42 48.8 48.8 100.0

Total 86 100.0 100.0

Pendapatan_keluarga

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Rendah 36 41.9 41.9 41.9

Tinggi 50 58.1 58.1 100.0

Total 86 100.0 100.0

Pola_Asuh

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang Baik 41 47.7 47.7 47.7

Baik 45 52.3 52.3 100.0

Total 86 100.0 100.0


Jumlah_anggota_keluarga

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Besar 46 53.5 53.5 53.5

Kecil 40 46.5 46.5 100.0

Total 86 100.0 100.0

Riwayat_imunisasi_dasar

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Baik 55 64.0 64.0 64.0

Baik 31 36.0 36.0 100.0

Total 86 100.0 100.0

Crosstabs
Notes

Output Created 28-Mar-2019 22:42:53

Comments

Input Data C:\Users\lenovo\Documents\SPSS APRIL


TESIS.sav

Active Dataset DataSet1

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data File 86

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax CROSSTABS
/TABLES=Status_Gizi_Balita BY
Riwayat_penyakit_infeksi
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources Processor Time 00:00:00.124

Elapsed Time 00:00:00.123

Dimensions Requested 2

Cells Available 174762


Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Status_Gizi_Balita *
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Riwayat_penyakit_infeksi

Status_Gizi_Balita * Riwayat_penyakit_infeksi Crosstabulation

Riwayat_penyakit_infeksi

Ya Tidak Total

Status_Gizi_Balita Wasting Count 30 13 43

% within Status_Gizi_Balita 69.8% 30.2% 100.0%

Normal Count 10 33 43

% within Status_Gizi_Balita 23.3% 76.7% 100.0%

Total Count 40 46 86

% within Status_Gizi_Balita 46.5% 53.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 18.696a 1 .000

Continuity Correctionb 16.873 1 .000

Likelihood Ratio 19.458 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 18.478 1 .000

N of Valid Casesb 86

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.00.

b. Computed only for a 2x2 table


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


Status_Gizi_Balita (Wasting / 7.615 2.912 19.915
Normal)

For cohort
3.000 1.684 5.345
Riwayat_penyakit_infeksi = Ya

For cohort
Riwayat_penyakit_infeksi = .394 .243 .639
Tidak

N of Valid Cases 86

Crosstabs
Notes

Output Created 28-Mar-2019 22:48:11

Comments

Input Data C:\Users\lenovo\Documents\SPSS APRIL


TESIS.sav

Active Dataset DataSet1

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data File 86

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax CROSSTABS
/TABLES=Status_Gizi_Balita BY
Riwayat_ASI_Ekslusif
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources Processor Time 00:00:00.015

Elapsed Time 00:00:00.016

Dimensions Requested 2

Cells Available 174762


Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Status_Gizi_Balita *
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Riwayat_ASI_Ekslusif

Status_Gizi_Balita * Riwayat_ASI_Ekslusif Crosstabulation

Riwayat_ASI_Ekslusif

Tidak memberikan Memberikan Total

Status_Gizi_Balita Wasting Count 28 15 43

% within Status_Gizi_Balita 65.1% 34.9% 100.0%

Normal Count 16 27 43

% within Status_Gizi_Balita 37.2% 62.8% 100.0%

Total Count 44 42 86

% within Status_Gizi_Balita 51.2% 48.8% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 6.701a 1 .010

Continuity Correctionb 5.631 1 .018

Likelihood Ratio 6.791 1 .009

Fisher's Exact Test .017 .009

Linear-by-Linear Association 6.623 1 .010

N of Valid Casesb 86

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21.00.

b. Computed only for a 2x2 table


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


Status_Gizi_Balita (Wasting / 3.150 1.306 7.600
Normal)

For cohort
Riwayat_ASI_Ekslusif = Tidak 1.750 1.121 2.733
memberikan

For cohort
Riwayat_ASI_Ekslusif = .556 .348 .888
Memberikan

N of Valid Cases 86

Crosstabs
Notes

Output Created 28-Mar-2019 22:48:27

Comments

Input Data C:\Users\lenovo\Documents\SPSS APRIL


TESIS.sav

Active Dataset DataSet1

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data File 86

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax CROSSTABS
/TABLES=Status_Gizi_Balita BY
Pendapatan_keluarga
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources Processor Time 00:00:00.031

Elapsed Time 00:00:00.031

Dimensions Requested 2

Cells Available 174762


Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Status_Gizi_Balita *
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Pendapatan_keluarga

Status_Gizi_Balita * Pendapatan_keluarga Crosstabulation

Pendapatan_keluarga

Rendah Tinggi Total

Status_Gizi_Balita Wasting Count 23 20 43

% within Status_Gizi_Balita 53.5% 46.5% 100.0%

Normal Count 13 30 43

% within Status_Gizi_Balita 30.2% 69.8% 100.0%

Total Count 36 50 86

% within Status_Gizi_Balita 41.9% 58.1% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 4.778a 1 .029

Continuity Correctionb 3.870 1 .049

Likelihood Ratio 4.828 1 .028

Fisher's Exact Test .048 .024

Linear-by-Linear Association 4.722 1 .030

N of Valid Casesb 86

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.00.

b. Computed only for a 2x2 table


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


Status_Gizi_Balita (Wasting / 2.654 1.096 6.428
Normal)

For cohort
1.769 1.038 3.014
Pendapatan_keluarga = Rendah

For cohort
.667 .458 .971
Pendapatan_keluarga = Tinggi

N of Valid Cases 86

Crosstabs

Notes

Output Created 28-Mar-2019 22:48:48

Comments

Input Data C:\Users\lenovo\Documents\SPSS APRIL


TESIS.sav

Active Dataset DataSet1

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data File 86

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax CROSSTABS
/TABLES=Status_Gizi_Balita BY
Pola_Asuh
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources Processor Time 00:00:00.016

Elapsed Time 00:00:00.015

Dimensions Requested 2

Cells Available 174762


Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Status_Gizi_Balita * Pola_Asuh 86 100.0% 0 .0% 86 100.0%

Status_Gizi_Balita * Pola_Asuh Crosstabulation

Pola_Asuh

Kurang Baik Baik Total

Status_Gizi_Balita Wasting Count 27 16 43

% within Status_Gizi_Balita 62.8% 37.2% 100.0%

Normal Count 14 29 43

% within Status_Gizi_Balita 32.6% 67.4% 100.0%

Total Count 41 45 86

% within Status_Gizi_Balita 47.7% 52.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 7.878a 1 .005

Continuity Correctionb 6.712 1 .010

Likelihood Ratio 8.004 1 .005

Fisher's Exact Test .009 .005

Linear-by-Linear Association 7.786 1 .005

N of Valid Casesb 86

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.50.

b. Computed only for a 2x2 table


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


Status_Gizi_Balita (Wasting / 3.496 1.438 8.498
Normal)

For cohort Pola_Asuh = Kurang


1.929 1.184 3.141
Baik

For cohort Pola_Asuh = Baik .552 .355 .857

N of Valid Cases 86

Crosstabs
Notes

Output Created 28-Mar-2019 22:49:00

Comments

Input Data C:\Users\lenovo\Documents\SPSS APRIL


TESIS.sav

Active Dataset DataSet1

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data File 86

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax CROSSTABS
/TABLES=Status_Gizi_Balita BY
Jumlah_anggota_keluarga
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources Processor Time 00:00:00.484

Elapsed Time 00:00:00.749

Dimensions Requested 2

Cells Available 174762


Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Status_Gizi_Balita *
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Jumlah_anggota_keluarga

Status_Gizi_Balita * Jumlah_anggota_keluarga Crosstabulation

Jumlah_anggota_keluarga

Besar Kecil Total

Status_Gizi_Balita Wasting Count 25 18 43

% within Status_Gizi_Balita 58.1% 41.9% 100.0%

Normal Count 21 22 43

% within Status_Gizi_Balita 48.8% 51.2% 100.0%

Total Count 46 40 86

% within Status_Gizi_Balita 53.5% 46.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .748a 1 .387

Continuity Correctionb .421 1 .517

Likelihood Ratio .749 1 .387

Fisher's Exact Test .517 .258

Linear-by-Linear Association .739 1 .390

N of Valid Casesb 86

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.00.

b. Computed only for a 2x2 table


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


Status_Gizi_Balita (Wasting / 1.455 .621 3.408
Normal)

For cohort
Jumlah_anggota_keluarga = 1.190 .800 1.771
Besar

For cohort
Jumlah_anggota_keluarga = .818 .518 1.293
Kecil

N of Valid Cases 86

Crosstabs
Notes

Output Created 28-Mar-2019 22:49:19

Comments

Input Data C:\Users\lenovo\Documents\SPSS APRIL


TESIS.sav

Active Dataset DataSet1

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data File 86

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used Statistics for each table are based on all the
cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax CROSSTABS
/TABLES=Status_Gizi_Balita BY
Riwayat_imunisasi_dasar
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources Processor Time 00:00:00.016

Elapsed Time 00:00:00.015

Dimensions Requested 2

Cells Available 174762


Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Status_Gizi_Balita *
86 100.0% 0 .0% 86 100.0%
Riwayat_imunisasi_dasar

Status_Gizi_Balita * Riwayat_imunisasi_dasar Crosstabulation

Riwayat_imunisasi_dasar

Tidak Baik Baik Total

Status_Gizi_Balita Wasting Count 33 10 43

% within Status_Gizi_Balita 76.7% 23.3% 100.0%

Normal Count 22 21 43

% within Status_Gizi_Balita 51.2% 48.8% 100.0%

Total Count 55 31 86

% within Status_Gizi_Balita 64.0% 36.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 6.103a 1 .013

Continuity Correctionb 5.044 1 .025

Likelihood Ratio 6.204 1 .013

Fisher's Exact Test .024 .012

Linear-by-Linear Association 6.032 1 .014

N of Valid Casesb 86

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.50.

b. Computed only for a 2x2 table


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for


Status_Gizi_Balita (Wasting / 3.150 1.247 7.954
Normal)

For cohort
Riwayat_imunisasi_dasar = 1.500 1.073 2.097
Tidak Baik

For cohort
.476 .255 .888
Riwayat_imunisasi_dasar = Baik

N of Valid Cases 86

LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Y


/METHOD=ENTER X1 X2 X3 X4 X6
/PRINT=CI(95)

/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10) ITERATE(20) CUT(0.5).

Logistic Regression

Notes

Output Created 29-Mar-2019 00:13:19

Comments

Input Data C:\Users\lenovo\Documents\SPSS APRIL


TESIS.sav

Active Dataset DataSet1

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data File 86

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing

Syntax LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Y


/METHOD=ENTER X1 X2 X3 X4 X6
/PRINT=CI(95)
/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10)
ITERATE(20) CUT(0.5).

Resources Processor Time 00:00:00.047

Elapsed Time 00:00:00.021

[DataSet1] C:\Users\lenovo\Documents\SPSS APRIL TESIS.sav


Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 86 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 86 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 86 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original
Value Internal Value

Wasting 0

Normal 1

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Predicted

Y
Percentage
Observed Wasting Normal Correct

Step 0 Y Wasting 0 43 .0

Normal 0 43 100.0

Overall Percentage 50.0

a. Constant is included in the model.

b. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .000 .216 .000 1 1.000 1.000


Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables X1 18.696 1 .000

X2 6.701 1 .010

X3 4.778 1 .029

X4 7.878 1 .005

X6 6.103 1 .013

Overall Statistics 40.417 5 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 51.561 5 .000

Block 51.561 5 .000

Model 51.561 5 .000

Model Summary

Cox & Snell R Nagelkerke R


Step -2 Log likelihood Square Square

1 67.660a .451 .601

a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter


estimates changed by less than .001.

Classification Tablea

Predicted

Y
Percentage
Observed Wasting Normal Correct

Step 1 Y Wasting 35 8 81.4

Normal 9 34 79.1

Overall Percentage 80.2

a. The cut value is .500


Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

Step 1a X1 2.760 .727 14.424 1 .000 15.797 3.802 65.632

X2 1.950 .677 8.292 1 .004 7.026 1.864 26.485

X3 1.570 .683 5.288 1 .021 4.807 1.261 18.324

X4 2.532 .739 11.750 1 .001 12.574 2.957 53.473

X6 1.427 .696 4.206 1 .040 4.166 1.065 16.289

Constant -15.267 3.239 22.210 1 .000 .000

a. Variable(s) entered on step 1: X1, X2, X3, X4,


X6.
Reliability
Notes

Output Created 26-Jan-2019 17:56:04

Comments

Input Data C:\Users\lenovo\Documents\VALIDITAS


ANNA BAGUS.sav

Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data File 30

Matrix Input

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used Statistics are based on all cases with valid


data for all variables in the procedure.

Syntax RELIABILITY
/VARIABLES=Item_1 Item_2 Item_3
Item_4 Item_5 Item_6 Item_7 Item_8
Item_9 Item_10 Item_11 Item_12 Item_13
Item_14 Item_15 Item_16 Item_17 Item_18
Item_19 Item_20
/SCALE('ALL VARIABLES') ALL
/MODEL=ALPHA.

Resources Processor Time 00:00:00.031

Elapsed Time 00:00:00.013

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 30 100.0

Excludeda 0 .0

Total 30 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the


procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

.925 20
CORRELATIONS
/VARIABLES=Item_1 Item_2 Item_3 Item_4 Item_5 Item_6 Item_7 Item_8 Item_9 Item_10 Item_11 Item_12 Item_13 Item_14 Item_15 Item_16
Item_17 Item_18 Item_19 Item_20 Total_skor
/PRINT=TWOTAIL NOSIG

/MISSING=PAIRWISE.

Correlations

Notes

Output Created 26-Jan-2019 17:37:39

Comments

Input Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data File 30

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used Statistics for each pair of variables are based


on all the cases with valid data for that pair.

Syntax CORRELATIONS
/VARIABLES=Item_1 Item_2 Item_3 Item_4
Item_5 Item_6 Item_7 Item_8 Item_9 Item_10
Item_11 Item_12 Item_13 Item_14 Item_15
Item_16 Item_17 Item_18 Item_19 Item_20
Total_skor
/PRINT=TWOTAIL NOSIG
/MISSING=PAIRWISE.

Resources Processor Time 00:00:00.109

Elapsed Time 00:00:00.115


[DataSet0]

Correlations

Item_ Item_ Item_1 Item_1 Item_1 Item_1 Item_1 Item_1 Item_1 Item_1 Item_1 Item_ Total_s
Item_1 Item_2 Item_3 4 Item_5 Item_6 Item_7 Item_8 Item_9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 20 kor

Item_1 Pearson Correlation 1 .259 .856** .196 .856** .312 .793** .196 .397* .196 .226 .856** .342 .196 .761** 1.000** .259 .636** .085 .489** .769**

Sig. (2-tailed) .167 .000 .300 .000 .094 .000 .300 .030 .300 .230 .000 .064 .300 .000 .000 .167 .000 .656 .006 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_2 Pearson Correlation .259 1 .259 .189 .259 .800** .191 .189 .866** .189 .191 .259 .189 .189 .134 .259 .732** .191 .873** .472** .608**

Sig. (2-tailed) .167 .167 .317 .167 .000 .311 .317 .000 .317 .312 .167 .317 .317 .481 .167 .000 .311 .000 .008 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_3 Pearson Correlation .856** .259 1 .196 .856** .451* .636** .196 .397* .196 .226 1.000** .196 .196 .761** .856** .397* .636** .226 .489** .781**

Sig. (2-tailed) .000 .167 .300 .000 .012 .000 .300 .030 .300 .230 .000 .300 .300 .000 .000 .030 .000 .230 .006 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_4 Pearson Correlation 1.000*


.196 .189 .196 1 .196 .095 .213 .700** .189 .866** .196 .400* 1.000** .141 .196 .047 .373* .144 .400* .597**
*

Sig. (2-tailed) .300 .317 .300 .300 .617 .258 .000 .317 .000 .000 .300 .029 .000 .456 .300 .804 .042 .447 .029 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_5 Pearson Correlation .856** .259 .856** .196 1 .312 .793** .196 .397* .196 .226 .856** .196 .196 .761** .856** .259 .636** .085 .489** .747**

Sig. (2-tailed) .000 .167 .000 .300 .094 .000 .300 .030 .300 .230 .000 .300 .300 .000 .000 .167 .000 .656 .006 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_6 Pearson Correlation .312 .800** .451* .095 .312 1 .081 .095 .935** .095 .110 .451* .095 .095 .202 .312 .935** .081 .796** .381* .606**

Sig. (2-tailed) .094 .000 .012 .617 .094 .670 .617 .000 .617 .563 .012 .617 .617 .285 .094 .000 .670 .000 .038 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_7 Pearson Correlation .793** .191 .636** .213 .793** .081 1 .213 .191 .213 .277 .636** .373* .213 .603** .793** .040 .659** -.031 .533** .649**

Sig. (2-tailed) .000 .311 .000 .258 .000 .670 .258 .311 .258 .138 .000 .042 .258 .000 .000 .833 .000 .872 .002 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_8 Pearson Correlation .196 .189 .196 .700** .196 .095 .213 1 .189 .700** .866** .196 .550** .700** .141 .196 .047 .213 .144 .550** .563**

Sig. (2-tailed) .300 .317 .300 .000 .300 .617 .258 .317 .000 .000 .300 .002 .000 .456 .300 .804 .258 .447 .002 .001

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_9 Pearson Correlation .397* .866** .397* .189 .397* .935** .191 .189 1 .189 .191 .397* .189 .189 .267 .397* .866** .191 .736** .472** .684**

Sig. (2-tailed) .030 .000 .030 .317 .030 .000 .311 .317 .317 .312 .030 .317 .317 .153 .030 .000 .311 .000 .008 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_10 Pearson Correlation 1.000*


.196 .189 .196 .196 .095 .213 .700** .189 1 .866** .196 .400* 1.000** .141 .196 .047 .373* .144 .400* .597**
*

Sig. (2-tailed) .300 .317 .300 .000 .300 .617 .258 .000 .317 .000 .300 .029 .000 .456 .300 .804 .042 .447 .029 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_11 Pearson Correlation .226 .191 .226 .866** .226 .110 .277 .866** .191 .866** 1 .226 .433* .866** .136 .226 .055 .277 .167 .433* .608**

Sig. (2-tailed) .230 .312 .230 .000 .230 .563 .138 .000 .312 .000 .230 .017 .000 .473 .230 .775 .138 .379 .017 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_12 Pearson Correlation .856** .259 1.000** .196 .856** .451* .636** .196 .397* .196 .226 1 .196 .196 .761** .856** .397* .636** .226 .489** .781**

Sig. (2-tailed) .000 .167 .000 .300 .000 .012 .000 .300 .030 .300 .230 .300 .300 .000 .000 .030 .000 .230 .006 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_13 Pearson Correlation .342 .189 .196 .400* .196 .095 .373* .550** .189 .400* .433* .196 1 .400* .141 .342 .047 .373* .000 .400* .482**

Sig. (2-tailed) .064 .317 .300 .029 .300 .617 .042 .002 .317 .029 .017 .300 .029 .456 .064 .804 .042 1.000 .029 .007

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_14 Pearson Correlation 1.000* 1.000*


.196 .189 .196 .196 .095 .213 .700** .189 .866** .196 .400* 1 .141 .196 .047 .373* .144 .400* .597**
* *

Sig. (2-tailed) .300 .317 .300 .000 .300 .617 .258 .000 .317 .000 .000 .300 .029 .456 .300 .804 .042 .447 .029 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_15 Pearson Correlation .761** .134 .761** .141 .761** .202 .603** .141 .267 .141 .136 .761** .141 .141 1 .761** .134 .603** .000 .424* .623**

Sig. (2-tailed) .000 .481 .000 .456 .000 .285 .000 .456 .153 .456 .473 .000 .456 .456 .000 .481 .000 1.000 .019 .000

N 30
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Item_16 Pearson Correlation 1.000** .259 .856** .196 .856** .312 .793** .196 .397* .196 .226 .856** .342 .196 .761** 1 .259 .636** .085 .489** .769**

Sig. (2-tailed) .000 .167 .000 .300 .000 .094 .000 .300 .030 .300 .230 .000 .064 .300 .000 .167 .000 .656 .006 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_17 Pearson Correlation .259 .732** .397* .047 .259 .935** .040 .047 .866** .047 .055 .397* .047 .047 .134 .259 1 .040 .736** .331 .532**

Sig. (2-tailed) .167 .000 .030 .804 .167 .000 .833 .804 .000 .804 .775 .030 .804 .804 .481 .167 .833 .000 .074 .002

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_18 Pearson Correlation .636** .191 .636** .373* .636** .081 .659** .213 .191 .373* .277 .636** .373* .373* .603** .636** .040 1 -.031 .533** .649**

Sig. (2-tailed) .000 .311 .000 .042 .000 .670 .000 .258 .311 .042 .138 .000 .042 .042 .000 .000 .833 .872 .002 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_19 Pearson Correlation .085 .873** .226 .144 .085 .796** -.031 .144 .736** .144 .167 .226 .000 .144 .000 .085 .736** -.031 1 .289 .464**

Sig. (2-tailed) .656 .000 .230 .447 .656 .000 .872 .447 .000 .447 .379 .230 1.000 .447 1.000 .656 .000 .872 .122 .010

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Item_20 Pearson Correlation .489** .472** .489** .400* .489** .381* .533** .550** .472** .400* .433* .489** .400* .400* .424* .489** .331 .533** .289 1 .735**

Sig. (2-tailed) .006 .008 .006 .029 .006 .038 .002 .002 .008 .029 .017 .006 .029 .029 .019 .006 .074 .002 .122 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Total_sko Pearson Correlation .769** .608** .781** .597** .747** .606** .649** .563** .684** .597** .608** .781** .482** .597** .623** .769** .532** .649** .464** .735** 1
r Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .001 .000 .000 .000 .000 .007 .000 .000 .000 .002 .000 .010 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-


tailed).

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-


tailed).
Gambar 1. Responden Mengisi Kuesioner

Gambar 2. Responden Mengisi Kuesioner

Anda mungkin juga menyukai