Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh neurotoksin


dari Clostridium tetani. Hal tersebut ditandai dengan trismus, kekakuan dan
kejang otot serta terdapat riwayat luka sebelumnya sebagai port de entry.
Clostridium tetani adalah bakteri gram positif anaerob yang ditemukan di tanah
dan kotoran binatang. Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora. Masa
inkubasi tetanus umumnya antara 7-10 hari, namun dapat lebih singkat atau dapat
lebih lama (Hendarwanto, 2004). Klinis tetanus bergantung terhadap pernah atau
tidaknya seseorang mendapatkan vaksin tetanus toksoid pada waktu selama hidup
mereka. Yang pernah mendapatkan vaksin klinisnya tidak begitu berat berbeda
dengan yang tidak cukup divaksinasi atau tidak divaksinasi sama sekali
(Widiyono, 2008).
Secara keseluruhan, tingkat kematian penderita tetanus sekitar 45%. Angka
kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan
kontaminasi tali pusat, infeksi pada telinga, luka tusuk, sirkumsisi pada laki-laki
dan kehamilan dengan abortus. Selama kurun waktu tahun 2001-2008, total ada
233 kasus tetanus yang dilaporkan dengan rata-rata 29 kasus pertahun dan 197
kasus menyebabkan kematian. Dari 233 kasus tersebut 49% terjadi pada pria usia
50 tahun atau lebih (Center for Disease Control and Prevention Tetanus, 2015).
Penegakan diagnosa tetanus sebaiknya bisa dilakukan dengan cepat dengan
anamnesa dan melihat gejala klinis walaupun tanpa pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan tetanus juga harus dilakukan dengan tepat dan cepat, terutama
pada tetanus dengan masa inkubasi yang singkat. Karena semakin singkat masa
inkubasi semakin buruk prognosisnya. Oleh karena itu, kasus tetanus akan
dibahas lebih lanjut pada laporan kasus ini baik dari klinis penyakit hingga
penatalaksaannya (Widiyono, 2008).

1.2 Rumusan Masalah

1
1. Apakah definisi tetanus?
2. Bagaimana etiologi tetanus?
3. Bagaimana epidemiologi tetanus?
4. Bagaimana patofisiologi tetanus?
5. Apa saja manifestasi klinis tetanus?
6. Bagaimana penegakan diagnosa tetanus?
7. Apa saja diagnosa banding dari tetanus?
8. Bagaimana cara pencegahan tetanus?
9. Bagaimana penatalaksanaan tetanus?
10. Apa saja komplikasi tetanus?
11. Bagaimana prognosis tetanus?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi tetanus
2. Untuk mengetahui dan memahami etiologi tetanus
3. Untuk mengetahui dan memahami epidemiologi tetanus
4. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi pada tetanus
5. Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis tetanus
6. Untuk mengetahui dan memahami penegakan diagnosa tetanus
7. Untuk mengetahui dan memahami diagnosa banding tetanus
8. Untuk mengetahui dan memahami pencegahan tetanus
9. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan tetanus
10. Untuk mengetahui dan memahami komplikasi tetanus
11. Untuk mengetahui dan memahami prognosis tetanus
1.1 Manfaat Penulisan
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan dan analisis kasus dokter muda, sehingga jika nanti menemui
kasus ini dapat mendiagnosa dan memberikan penatalaksanaan yang tepat.

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : Tn. W
Umur : 59 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Alamat : Jl. Jokromo 70
Status perkawinan : Kawin
Suku : Jawa
Tanggal MRS : 06 Desember 2019
No. Reg : 482***

2.2 ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sulit menelan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen pada tanggal 06 Desember
2019 dengan keluhan sulit menelan disertai nyeri sejak bangun tidur. Sejak
keluhan tersebut pasien hanya minum air putih saja. 1 hari SMRS, pasien
mengaku kaku pada rahang bawah sehingga sulit membuka mulut, pelo saat
berbicara dan kaku leher. Keluhan tersebut memberat saat bergerak atau
menelan dan diperingan saat istirahat. Demam (-), kejang (-), BAK (+), BAB (+),
mual (-), muntah (-), sesak nafas (-).
3. Riwayat Trauma

Satu minggu SMRS pasien tertusuk bambu di ujung jari ke 4 tangan kiri
saat sedang mengambil bambu di samping rumah pasien. Luka tersebut tidak
diberi apapun, hanya dibersihkan dengan air.

3
4. Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat penyakit serupa (-)


 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat penyakit paru (-)
 Riwayat sakit kejang (-)
 Riwayat asam urat (-)

5. Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat keluarga dengan penyakit serupa (-)


 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat sakit jantung (-)

6. Riwayat Alergi

(-)

7. Riwayat Pengobatan

(-)

8. Riwayat Kebiasaan

- Makan : Nafsu makan menurun dan tidak mau makan sejak sakit

- Minum : Berkurang sejak sakit

- Minum Kopi : Tetap mengkonsumsi kopi sampai sebelum sakit tetapi jarang

- Alkohol : (-)

- Olahraga : (-)

- Merokok : (-)

- Jamu : Jarang, biasanya jamu pegal linu

4
9. Riwayat Imunisasi

Tetanus (-)

10. Riwayat Sosial Ekonomi

Menengah kebawah

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan umum
Lemah, tampak sakit sedang
2. Vital sign
Tensi : 130/90 mmHg
Nadi : 64 kali/menit
Suhu : 36,60 C
RR : 16 kali/menit
SpO2 : 99%
3. Kepala
Bentuk normocephal, rambut beruban, tidak ada luka dan tidak mudah dicabut
4. Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
5. Telinga
Bentuk normotia, sekret (-/-), pendengaran berkurang (-/-).
6. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-), epistaksis (-).
7. Mulut dan tenggorokan
Bibir pucat (-), bibir cianosis (-), trismus (+) 1 cm, gusi berdarah (-), tonsil
membesar (-), pharing hiperemis (-) risus sardonikus (+)
8. Leher
Trakea di tengah, pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-), kaku kuduk
(+), kaku leher (+)
9. Thoraks
Normochest, simetris, pernafasan thoracoabdominal, retraksi (-), spidernevi (-)

5
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis kuat angkat
Perkusi : Batas kiri atas : ICS II linea para sternalis sinistra
Batas kanan atas : ICS II linea para sternalis dekstra
Batas kiri bawah : ICS V linea medio clavicularis
sinistra
Batas kanan bawah : ICS IV linea para sterna dekstra
Auskultasi : Bunyi jantug I-II intensitas normal, regular.
Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan sama dengan kiri, benjolan (-),
luka (-)
Palpasi : Fremitus taktil kanan sama dengan kiri, nyeri tekan (-),
krepitasi (-)
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikular
suara tambahan: Ronkhi Wheezing

- - - -
- - - -
- - - -
10. Abdomen
Inspeksi : Perut datar, jaringan parut/bekas luka (-), tumor/benjolan (-).
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani seluruh lapang perut
Palpasi : Defans muscular (+)
11. Ektremitas
Teraba hangat +/+, CRT <2”, pada ekstermitas atas sinistra digiti 4 terdapat bekas
terkena tusukan bambu dan sedikit nyeri

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

6
Laboratorium : Tanggal 06 Desember 2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,2 g/dL L:13 – 17g/dL, P:11,5-16g/dL
Hematokrit 37,8 % L:40-54%, P:35-47%
Hitung Eritrosit 4.42 juta/cmm 4.0-5.0
MCV 85,5 Fl 80-93
MCH 29,9 pg 27-31
MCHC 34,9 g/dL 32-36
Hitung Lekosit 5.150 4.700 – 11.300 cell/cmm
Hitung Trombosit 214.000 142.000 – 424.000 cell/cmm
KIMIA KLINIK
GDS 128 mg/dL <200 mg/dL
SGOT 22 U/L 0-40 U/L
SGPT 34 U/L 0-41 U/L
Ureum 34 mg/dL 10-20 mg/dL
Kreatinin 0,74 mg/dL <1,2 mg/dL
HITUNG JENIS
LEUKOSIT
Leukosit 5.150 sel/cmm 4.700-11.300 sel/cmm
Eosinofil 3.1 % 0-4 %
Basophil 0.2 % 0-1 %
Neutrofil 51,8 % 51-67 %
Limfosit 38,1 % 25-33 %
Monosit 6,8 % 2-5%

Derajat Keparahan (Philips Score)


Variable Tolak ukur Nilai

Masa inkubasi < 48 jam 5

2- 5 hari 4

6- 10 hari 3

11-14 hari 2

≥ 14 hari 1

Lokasi infeksi Internal/umbilical 5

Leher, kepala, dinding tubuh 4

7
Ekstremitas proksimal 3

Ekstremitas distal 2

Tidak diketahui 1

Imunisasi Tidak ada 10

Mungkin ada/ibu dapat 8

>10 tahun lalu 4

<10 tahun lalu 2

Proteksi lengkap 0

Faktor pemberat Penyakit trauma 10

Membahayakan jiwa 8

Keadaan yang tidak langsung 4

Berbahaya 2

Keadaan tidak berbahaya 1

Trauma/penyakit ringan 0

Total philip score yang di dapat adalah 16 maka dapat di kategorikan dalam
tetanus sedang (Moderate tetanus).

2.5 RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen pada tanggal 06 Desember
2019 dengan keluhan sulit menelan disertai nyeri sejak bangun tidur. Sejak
keluhan tersebut pasien hanya minum air putih saja. 1 hari SMRS, pasien
mengaku kaku pada rahang bawah sehingga sulit membuka mulut, pelo saat
berbicara dan kaku leher. Keluhan tersebut memberat saat bergerak atau
menelan dan diperingan saat istirahat. Satu minggu SMRS pasien tertusuk
bambu di ujung jari ke 4 tangan kiri saat sedang mengambil bambu di samping
rumah pasien. Luka tersebut tidak diberi apapun, hanya dibersihkan dengan air.

8
Pada pemeriksaan fisik diperoleh vital sign tensi 130/90 mmHg, nadi 64
kali/menit, suhu 36,60 C, RR 16 kali/menit, SpO2 99%. Trismus (+) 1 cm, risus
sardonikus (+), kaku kuduk (+) selain itu ditemukan adanya defans muscular
pada saat dilakukan palpasi abdomen sehingga perut terkesan kaku. Pada
ekstremitas atas sinistra digiti 4 terdapat bekas terkena tusukan bambu dan sedikit
nyeri.

2.6 DIFFERENTIAL DIAGNOSA


Rabies
Tonsilitis
Meningitis

2.8 DIAGNOSIS
Moderate Tetanus

2.9 PENATALAKSANAAN
1. Non operatif
a. Non medikamentosa
 MRS
 Bed rest di ruangan khusus yang tenang dan teratur cahaya yang masuk
 Menjelaskan pada keluarga terkait kondisi pasien dan terapi yang akan
dijalankan
b. Medikamentosa
 IVFD NS 20 tpm
 Drip diazepam 30 mg / RL 500 cc / 9 jam setelah hari ke 5 MRS dosis
diturunkan menjadi 20 mg / RL 500 cc / 8 jam selama 2 hari
lalu 10 mg / 8 jam
 Inj Penisilin Procain 3 x 3 juta IU (im)
 Inj Tetagram 1 x 250 IU (im)
 Inj Metronidazole 3 x 1000 mg (iv)
 Inj Esomeprerazole 2 x 40 mg (iv)
 Inj Antrain 3 x 1 g (iv)

9
c. Diet
 Diet bubur halus ekstra susu, tanggal 12 Desember 2019 diganti bubur
kasar lauk cincang

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI TETANUS


Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang
dihasilkan bakteri Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan
umum dan kejang-kejang otot rangka. Tetanus biasanya akut dan menimbulkan
paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan
neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga dengan
"Sevenday Disease". Pada tahun 1890, ditemukan toksin seperti strichnine,
kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang
mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut
menghasilkan pencegahan dari tetanus (Wibowo, T dan Anggraeni, A, 2012).

3.2 ETIOLOGI TETANUS


Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat
obligat anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai
lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Bentuk
spora terdapat pada tanah, rumput, kayu, kotoran hewan dan manusia. Bakteri
tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka
tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus,
mungkin tidak ditemukan tempat masuknya (Predy, 2018).
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki dua
bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C.tetani adalah basil,
gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif
rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan kimiawi dan
antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan tetanus (Predy,
2018).
Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar,
infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis,
persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang
sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan
toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten

11
yang bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan
tetanolysin sedikit memiliki efek klinis (Taylor AM, 2006).

Gambar 1. Pewarnaan Gram C.tetani.


Keterangan: Bakteri tersebut bersifat Gram positif tetapi memiliki kecenderungan
variabilitas dalam pewarnaan Gram. Bentuk vegetatifnya berupa basil. Endosporadibentuk secara
intraseluler pada ujung sporangium dan memberikan bentuk yang khas yaitu menyerupai stik drum
(Taylor AM, 2006).

Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk
vegetatif C.tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan
potensiasi infeksi tetapi perannya dalam patogenesis tetanus belum jelas.
Tetanospasmin berperan penting dalam patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau
toksin tetanus merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring pertumbuhan
C.tetani pada tempat infeksi (Taylor AM, 2006).

3.3 EPIDEMIOLOGI TETANUS

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non
imun, individu dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan
imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat
dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di
seluruh dunia (Alwi I et al, 2006).
Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian pada
semua kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak
180.000 (85%). Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan
menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di

12
perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian
tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-
9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada
bayi (Alwi I et al, 2006).
3.4 PATOFISIOLOGI TETANUS
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk
vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan
yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang
terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai
dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta
saraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah
masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi,
kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP
(Hassel, 2013).
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap
susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi
presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA
dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai
pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus). Pada saat toxin
masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang makin berat pada
extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana
toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum
yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh,
sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika,
hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx,
hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan
penyulit akibat gangguan saraf otonom (Hassel, 2013).
Tetanosapsmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin
mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida
rantai ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat
(100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang
sensitif terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan

13
jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari
rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan
masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk
mencegah pelepasan neurotransmiter dari neuon yang dipengaruhi. Tetanoplasmin
yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada
gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika toksin yang
dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk
terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar
ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal (Hassel, 2013).
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan
saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan
akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron
inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor
intraneuronal retroged lebih jauh terjadi dengan meliputi transfer melewati celah
sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak jelas (Laksmi, 2014).
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang
menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan
rantai ringan. Efek toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya
neurotransmiter. Sinaptobrevin merupakan protein membran yang diperlukan
untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neurotransmiter. Rantai
ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah
sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegah perlepasan
neurotransmiter (Hassel, 2013).
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah
toksin menyebrangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade
perlepasan neurotransmiter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA).
Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali
dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu
(karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung
lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi
dengan cara yang sama dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler
dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang

14
mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus efek disinhibitori
neuron motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung
neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi.
Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian hewan. Efek
prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua
spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus
sefalik, myopati yang terjadi setelah pemulihan (Hassel, 2013).
Aliran efek yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak
akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai
konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-
otot agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah
nyeri dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan
kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh
dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif
jarang terlibat (Hassel, 2013).
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat
terganggunya kontrol otonomik dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan kadar
katekolamin plasma yang berlebihan. Terikatnya toksin pada neuron bersifat
ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang
menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama. Pada tetanus lokal, hanya saraf-
saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang terlibat. Tetanus
generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki aliran
limfe dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: sawar darah
otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat.
Jika diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf,
serabut saraf yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang:
hal ini menjelaskan urutan keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan
ekstremitas pada tetanus generalisata (Hassel, 2013).

15
Gambar 2. Sintesis toxin tetanus

3.5 MANIFESTASI KLINIS TETANUS


Tetanus biasanya mengikuti luka tembus dalam di mana pertumbuhan bakteri
anaerobik difasilitasi. Portal infeksi yang paling umum adalah luka pada
ekstremitas bawah, infeksi postpartum, suntikan intramuskular non-steril dan
fraktur (Farra et al, 2000). Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-21 hari dan
umumnya terjadi dalam 8 hari. Masa inkubasi yang lebih pendek terkait dengan
kemungkinan kematian yang lebih tinggi. Pada tetanus neonatal, gejala biasanya
muncul dari 4 hingga 14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari. Berdasarkan
gambaran klinisnya, tetanus dibagi menjadi 4 bentuk yaitu (Center for Disease
Control and Prevention Tetanus, 2015):

1. Tetanus lokal adalah bentuk penyakit yang tidak umum, di mana pasien
memiliki kontraksi otot yang terus-menerus di daerah anatomis yang sama
dengan cedera. Kontraksi ini dapat bertahan selama beberapa minggu dan
secara bertahap mereda. Tetanus lokal dapat mendahului onset tetanus umum

16
tetapi umumnya lebih ringan. Hanya sekitar 1% dari kasus yang berakibat
fatal.

Gambar 3. Gambaran tetanus lokal

2. Tetanus Cephalic adalah bentuk langka dari penyakit ini. Terjadinya


bentuk ini bila luka mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, otitis
media kronis dan jarang akibat tonsilektomi. Gejala berupa disfungsi saraf
kranial antara lain n. III, IV, VII, IX, X, XI dan menyebabkan gangguan
motorik dari serabut saraf tersebut. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan
sendiri–sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan
berbulan–bulan. Cephalic Tetanus dapat berkembang menjadi tetanus umum.
Pada umumnya prognosis bentuk cephalic tetanus jelek.

Gambar 4. Gambaran tetanus cephalic

3. Tetanus Umum, merupakan tipe yang paling umum (80% kasus tetanus).
Gejala yang pertama terlihat dan dirasakan pasien adalah kaku otot masseter
yang mengakibatkan gangguan membuka mulut (trismus) sehingga penyakit

17
ini juga disebut lock jaw diikuti oleh kekakuan leher, kesulitan menelan dan
kekakuan otot perut. Gejala lain yaitu demam, berkeringat, tekanan darah
tinggi dan peningkatan denyut jantung. Selain kekakuan otot masseter, terjadi
juga kekakuan otot wajah yang lain sehingga muka menyerupai muka
meringis kesakitan yang disebut risus sardonikus (alis tertarik ke atas, sudut
mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi) akibat
kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu
melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kaku kuduk
sampai opisthotonus. Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang
umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal
(rabaan, sinar dan bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi
serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi ekstensi. Kesadaran
penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang
menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme
otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan,
asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme sfingter
kandung kemih. Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi
dapat disertai panas yang tinggi sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi
atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Pada
kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi,
hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan aritmia
jantung. Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar dan berkeringan sering
dijumpai. Pada umumnya ditemukan demam dan peningkatan frekuensi
nafas. Kejang otot yang merupakan kekakuan karena hipertonus dan bukan
bersifat klonus dapat timbul hanya karena rangsangan yang lemah, seperti
bunyi-bunyian dan cahaya. Selama sakit sensorium tidak terganggu, sehingga
hal ini menyebabkan penderitaan bagi pasien karena merasa nyeri akibat kaku
otot. Selanjutnya dapat timbul gangguan pernapasan yang dapat menimbulkan
anoksia dan kematian. Penyebab kematian merupakan kombinasi berbagai
keadaan, seperti kelelahan otot napas, infeksi sekunder di paru yang
menyebabkan kegagalan pernapasan, serta gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit. Spasme dapat sering terjadi dan berlangsung selama beberapa

18
menit. Spasme berlanjut selama 3–4 minggu. Pemulihan lengkap bisa
memakan waktu berbulan-bulan.

Gambar 5. Manifestasi klinis tetanus general

4. Tetanus neonatal didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada


anak yang memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan menangis pada 2
hari pertama kehidupannya, tetapi kehilangan kemampuan ini antara hari ke-3
sampai hari ke-28 serta menjadi kaku dan spasme. Biasanya terjadi melalui
infeksi pada umbilical akibat dipotong dengan instrumen yang tidak steril.
Gejala klinisnya biasa terjadi pada minggu kedua kehidupan, ditandai dengan
kelemahan dan ketidakmampuan menyusu, kadang disertai opistotonus.
Tetanus neonatal banyak terjadi di negara berkembang. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2010, 58.000 bayi baru
lahir meninggal akibat tetanus neonatorum.

19
Gambar 6. Tetanus neonatorum

3.6 PENEGAKAN DIAGNOSIS TETANUS


Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat
penyakit dan temuan saat pemeriksaan dan riwayat imunisasi. Menurut WHO,
apabila didapatkan trismus atau risus sardonicus atau spasme otot yang nyeri dan
didahului riwayat luka cukup untuk menegakkan diagnosis tetanus. Pada
pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan menyentuh
dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril.
Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan
hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki
spesifisitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien
terinfeksi menunjukkan hasil positif). Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal
biasanya normal. Kultur C.tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif ) dan
hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi (Predy, 2018).
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah
pada daerah dengan insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-
negara berkembang dimana tetanus jarang ditemukan. Selain trismus,
pemeriksaan fisik menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam
yang meningkat, kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah dan
sistem saraf sensoris yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara

20
lokal maupun general. Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2
minggu terakhir dan secara umum tidak memilikiriwayat imunisasi tetanus
toksoid yang jelas (Predy, 2018).
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C.tetani pada
hanya sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat
bahwa isolasi C.tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah
menderita tetanus. Frekuensi isolasi C.tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis
dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80°C selama
15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme kompetitor tidak
berspora sebelum media kultur diinokulas (Predy, 2018).

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan


cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot.
Hasil elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak
membantu diagnosis. Pada kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantung
elektrokardiografi dapat menunjukkan inversi gelombang T. Sinus takikardia juga
sering ditemukan. Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien
yang memiliki riwayat dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi.
Spesimen serum harus diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar
antitoksin 0,01 IU/mL dianggap protektif (Predy, 2018).

3.7 DIAGNOSIS BANDING TETANUS


Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, dapat dinilai dari
pemeriksaan fisik, tes laboratorium (dimana cairan serebrospinal normal dan
pemeriksaan darah rutin, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase dapat
meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang lengkap
atau tidak lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardonicus dan kesadaran
yang tetap normal. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain (Attygalle D dan
Rodrigo N, 2004):

a. Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya
menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya

21
kelainan cairan serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat
dan glukosa menurun.

b. Poliomyelitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio diisolasi
dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.

c. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik.

3.8 PENCEGAHAN TETANUS


Mengingat banyaknya masalah dalam penanggulangan tetanus serta masih
tingginya angka kematian (30 - 60%), tindakan pencegahan merupakan usaha
yang sangat penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus.
Ada dua cara pencegahan tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan
imunisasi aktif serta pasif. Imunisasi aktif didapat dari penyuntikan toksoid
tetanus untuk merangsang tubuh membentuk antibodi. Manfaat imunisasi aktif ini
sudah banyak dibuktikan. Imunisasi pasif diperoleh dari pemberian serum yang
mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau antitoksin homolog (imunoglobulin
antitetanus) (Sjamjuhidayat, 2010).
Berdasarkan riwayat imunitas dan jenis luka, baru ditentukan pemberian
antitetanus serum atau toksoid. Indikasi pemberian imunisasi tetanus bisa dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 1 Indikasi pemberian imunisasi tetanus
Imunisasi sebelumnya Luka Bersih Luka Kotor
Toksoid ATS Toksoid ATS
Tidak ada/tidak pasti Ya* Tidak Ya* Ya
1 x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya
2 x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya
3 x DT/DTP atau lebih Tidak + Tidak Tidak ++ Tidak
*
: Seri imunisasinya harus dilengkapi
+ : kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih
++ : kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih

22
Cara pemberian melalui intramuskular (ATS 1.500 IU/ Imunoglobulin 250 IU)
DT : vaksinasi difteri-tetanus
DTP : vaksinasi difteri- tetanus- pertussis
3.9 TATALAKSANA TETANUS

A. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan
sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai berikut (Bhatia et al,
2015):

1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:


Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),
membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202, dalam hal ini
penatalaksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah penyuntikan
ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.

2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan


membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.

3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya dan tindakan
terhadap penderita

4. Oksigen, pernafasan buatan bila perlu.

5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

B. Khusus (Obat- obatan)

1. Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit/ hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit/kgBB/
12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline,
obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30- 40 mg/kgBB/
24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4
dosis). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000

23
unit/kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan
membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya.
Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat
dilakukan. Tetrasiklin, eritromisin dan metronidazole dapat diberikan terutama
bila penderita alergi penisilin. Dosis yang diberikan :
a. Tertasiklin : 30-50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis.
b. Eritromisin : 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
c. Metronidazole loading dose 15 mg/kgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/kgBB tiap 6
jam.

2. Anti Tetanus Toksin


Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:

a. Toksin bebas dalam darah

b. Toksin bergabung dengan jaringan saraf

Toksin yang dapat dinertalisir adalah toksin yang bebas dalam darah.
Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir
oleh antioksidan. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan anamnesa
apakah ada riwayat alergi, tes kulit dan mata, dan harus sedia adrenalin 1:1000.
Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat heterolog
sehingga mungkin terjadi syok anafilaktik.
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Berhrmann (1987) dan
Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000-100.000 U yang diberikan setengah
lewat i.v dan setengahnya i.m pemberian lewat i.v diberikan selama 1-2 jam.

3. Antitoksin lainnya
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan
dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan
secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of
globulin", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi yang serius.

4. Tetanus toksoid

24
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan
pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang
berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan
sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.

5. Antikonvulsan
Obat yang lazim digunakan ialah :

a. Diazepam.
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5
mg/kgBB/kali i.v perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap
kali kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral (sonde lambung)
dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali.

b. Dosis maksimal diazepam 240mg/hari.


Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan
ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat di tingkatkan sampai 480mg/hari dengan
bantuan ventilasi mekanik. Dapat pula dipertimbangkan penggunaan magnesium
sulfat, dila ada gangguan saraf otonom.

c. Fenobarbital.
Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m; 1 tahun 75 mg i.m. Dilanjutkan dengan dosis oral
5-9 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis.

3.10 KOMPLIKASI TETANUS


Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia
dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi
antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan
hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan
aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler
berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan
syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain
yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran
kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik. Komplikasi yang dapat
terjadi pada pasien tetanus antara lain (Dawn MT dan Elisson RT, 2008):

25
a. Saluran pernapasan
Oleh karena spasme dapat terjadi pada otot-otot pernapasan dan spasme otot
laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Dapat terjadi
asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret,
pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya
trakeostomi.

b. Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takiardia,
hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.

c. Tulang dan otot


Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot.
Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang yang terus-
menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan
juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.

d. Komplikasi lain
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam satu
posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar
luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.

3.11 PROGNOSIS TETANUS


Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus yaitu klasifikasi menurut Cole dan
Spooner, Dakar Score, Ablett Score, Severity Score dan Philips skor. Faktor yang
mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode awal
pengobatan, imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai,
beratnya penyakit dan penyulit yang timbul. Masa inkubasi dan periode awitan
merupakan faktor yang menentukan dalam klasifikasi Cole dan Spooner
(Sjamjuhidayat, 2010)
Tabel 2 Klasifikasi Prognostik Cole-Spooner.
Klompok prognostic Periode awal Masa inkubasi
I < 36 jam ± 6 hari
II > 36 jam > 6 hari
III Tidak diketahui Tidak diketahui

26
Berdasarkan tabel di atas dapat ditentukan bahwa angka kematian pasien
termasuk dalam kelompok prognostik I lebih tinggi daripada kelompok II dan III.
Perawatan intensif menurunkan angka kematian akibat gagal napas dan kelelahan
akibat kejang. Selain itu pemberian nutrisi yang cukup ternyata juga manurunkan
angka kematian.
Selain itu, skor yang bisa digunakan untuk menentukan prognosis pasien
tetanus yaitu Dakar Score. Dakar score menggunakan variabel masa inkubasi,
periode onset, jalan masuk kuman, adanya spasme, suhu badan, dan takikardia
sebagai faktor-faktor risiko yang dapat berpengaruh pada kematian penderita
tetanus (WHO, 2010).
Tabel 3 Dakar Score

Interpretasi :
0-1 : severitas ringan, mortalitas 10 %
2-3 : severitas sedang, mortalitas 10-20 %
4 : severitas berat, mortalitas 20-40 %
5-6 : severitas sangat berat, mortalitas >50 %

Maksud dari masa inkubasi adalah waktu saat terjadi infeksi sampai terjadi
gejala awal (trismus). Tentunya semakin pendek masa inkubasinya, semakin
buruk prognosisnya. Periode onset adalah waktu saat gejala awal (trismus) sampai
terjadinya kejang umum.
Selanjutnya yaitu Ablett skor. Kriteria Ablett banyak dipakai oleh klinisi yang
ingin menilai prognosis penyakit dari pasiennya karena variabel yang digunakan
adalah gejala dan tanda klinis tanpa data demografik, seperti trismus, frekuensi
napas, dll.

27
Tabel 4 Ablett skor

Sistem skoring philips skoring ini memasukkan kriteria periode inkubasi dan
periode onset, begitu pula manifestasi neurologis dan kardiak. Phillips score juga
memasukkan status imunisasi pasien. Phillips score <9, severitas ringan; 9-18,
severitas sedang; dan >18, severitas berat. Dakar score 0-1, severitas ringan
dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang dengan mortalitas 10-20%; 4,
severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas sangat berat.

Tabel 5 Philips score

28
Tabel 6 Tetanus Severity Score

Sebagaimana Phillips score, TSS menyertakan derajat keparahan penyakit


menurut ASA 1963. Selain itu suhu dan jalan masuk kuman juga masuk ke
variabel scoring system tersebut. Adanya riwayat sesak napas saat masuk RS
mungkin sangat berpengaruh karena rata-rata penderita tetanus yang meninggal
karena komplikasi sistem pernapasan.

29
Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang
tersedia. Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada
neonatus. Di fasilitas yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya
sedikit penelitian jangka panjang pada pasien yang berhasil selamat. Pemulihan
tetanus cenderung lambat namun sering sembuh sempurna, beberapa pasien
mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang menetap dan gangguan
keseimbangan, berbicara, dan memori.Dukungan psikologis sebaiknya tidak
dilupakan.

30
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan
gangguan neuromuskuler akut berupa trismus, kekauan dan kejang otot
disebabkan oleh eksotoksin spesifik (tetanospasmin) dari kuman anaerob
Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya
tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal. Kuman
Clostridium tetani yang masuk melalui luka pada tubuh walaupun luka itu kecil.
Berat ringannya penyakit ini tergantung dari masa inkubasi, onset, kejang lokal
atau umum dan ada atau tidaknya gangguan autonomik karena hal ini yang
menyebabkan kematian pada tetanus.
Dari hasil studi kasus ini, pasien didiagnosa dengan moderate tetanus.
Penegakan diagnosa pasien ini dengan cara anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan pasien tetanus dilakukan secara
medikamentosa.

4.2 Saran
Sebagai seorang mahasiswa terutama dalam bidang kesehatan, sebaiknya
kita melakukan tindakan anti-septik dalam menangani luka untuk mencegah
terjadinya berbagai macam infeksi.

31

Anda mungkin juga menyukai