Dosen Pembimbing:
Oleh Kelompok 2:
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
2
KATA PENGANTAR
Assalam’ualaikum Wr.Wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya.
Dan kami juga berterimakasih kepada dr. Dewi Martha Indria, M.Kes., IBCLC selaku
dosen pembimbing dalam tugas makalah terstruktur dengan judul “Penyakit Akibat Kerja
pada Sistem Integumen (Kulit)”. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam
rangka menambah wawasan serta pengetahuan.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
dari perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami maupun orang yang
membacanya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Penyusun
Kelompok 2
3
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
BAB 1 PENDAHULUAN
2.2 Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Penyakit Kulit Akibat Kerja
(PKAK) ................................................................................................................... 7
2.3 Jenis pekerjaan yang dapat menyebabkan Penyakit Kulit Akibat Kerja (PKAK).... 9
2.4 Macam-macam Penyakit Kulit Akibat Kerja (PKAK) dan tatalaksana yang diberikan
kepada pekerja Penyakit Kulit Akibat Kerja (PKAK) ............................................. 11
2.5 Pencegahan pada kasus Penyakit Kulit Akibat Kerja (PKAK) ................................ 18
2.6 Pelayanan pada pekerja yang mengalami Penyakit Akibat Kerja (PAK) ................ 19
PENDAHULUAN
Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja (Permennaker No. Per. 01/Men/1981). Berat ringannya
penyakit dan cacat tergantung dari jenis dan tingkat sakit, namun karena telatnya
penanganan dan kesadaran akan PAK membuatnya sering kali menyebabkan cacat yang
berat sehingga penanganan segera dan pencegahan mengenai PAK sangat diperlukan.
Penyebab dari PAK sendiri diakibatkan oleh berbagai faktor dalam pekerjaan, namun
seiring dengan perkembangan zaman, adanya kemajuan di bidang industri juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya penyakit akibat kerja (PAK) atau Occupational Diseases.
PAK sangat perlu untuk diperharikan karena orang yang mengalami PAK akan sangat
berdampak pada dirinya sendiri yakni munurunnya produktifitas individu tersebut,
dimana tidak hanya menyebabkan penurunan kualitas individu tapi juga dapat
menyebabkan penurunan produktifitas perusahaan (Anies, 2005).
Salah satu jenis penyakit akibat kerja (PAK) terbanyak adalah penyakit kulit
akibat kerja (PKAK). Penyakit kulit akibat kerja (PKAK) merupakan suatu peradangan
kulit yang diakibatkan oleh pekerjaan sesorang, dimana penyakit akibat kerja ini biasanya
terdapat di daerah industri, pertanian dan perkebunan. dengan prevalensi kasus tertinggi
yaitu sebesar 50% adalah dermatitis kontak yang bersifat nonalergi atau iritan ).
Gangguan kesehatan ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada para pekerja yang
dapat mempengaruhi produktivitas kerja sehingga dapat mempengaruhi produktivitas
industri secara keseluruhan. Berdasarkan uraian diatas, pembahasan mengenai kesehatan
dan keselamatan kerja perlu menjadi fokus perhatian saat ini. Hal ini diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan terhadap penyakit kulit akibat kerja
(PKAK) (Djuanda, 2007 dan Kosasih, 2004).
5
1.2. Rumusan Masalah
2.3 Jenis Pekerjaan yang Berisiko Menyebabkan Penyakit Kulit Akibat Kerja
2.3.1 Berdasarkan Jenis Paparan
Berdasarkan jenis paparan (Wahyudi, 2005).
Artis Acrylic, vinyl acrylic resins, epoxy dan Produk kosmetik, hair spray
polyester resins, benzene, toluene, rambut
astone, turpentine, nikel, cromium, clay,
plester
2.4 Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja dan Tatalaksana Penyakit Kulit Akibat Kerja
Dermatitis kontak alergi adalah hipersensitivitas tipe lambat, hasil dari kontak
kulit dengan alergen yang spesifik pada orang-orang yang mempunyai sensitivitas yang
spesifik terhadap alergen tersebut. Reaksi alergi tersebut menyebabkan inflamasi pada
kulit yang bermanifestasi eritema, edema, dan vesikel (Hogan D.J, 2011).
Dermatitis kontak alergi dapat terjadi bila bahan seperti lateks dan nikel, sebagai
hapten berikatan dengan protein pembawa di kulit dan menimbulkan dermatitis kontak
alergi Tipe IV. Hapten bergabung dengan protein pembawa menjadi alergen lengkap.
Alergen lengkap difagosit oleh makrofag dan merangsang limfosit yang ada di kulit yang
mengeluarkan limfosit aktivasi faktor (LAF). Sel limfosit kemudian berdiferensiasi
membentuk subset sel limfosit T memori (sel Tdh) dan sel limfosit T helper dan sel T
suppresor. Sel T memori ini bila menerima informasi alergen yang sudah dikenal masuk
ke dalam kulit, maka sel Tdh akan mengeluarkan limfokin (faktor sitotoksis, faktor
inhibisi migrasi, faktor kemotaktik dan faktor aktivasi makrofag. Dengan dilepaskannya
berbagai faktor ini maka akan terjadi pengaliran sel mast dan sel basofil ke arah lesi dan
timbullah proses radang yang merupakan manifestasi reaksi dermatitis kontak alergi
(Siregar, 1996).
Dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) paling sering, yakni sekitar 90%,
menyerang tangan. Ini berpengaruh pada gejala dan perasaan seseorang. Misalnya, rasa
gatal dan sakit pada waktu melaksanaan pekerjaan, serta rasa kurang nyaman pada waktu
melayani seseorang ketika menggunakan tangan (Sularsito dan Djuanda, 2007).
Gejala yang biasanya timbul pada dermatitis yaitu gatal, eritema edema dan
terkadang terjadi eksudasi. Pada penderita biasanya ada riwayat kontak dengan bahan-
bahan yang berhubungan dengan riwayat pekerjaan seperti nikel, kromat dll. Pada pasien
tertentu kadang ditemukan riwayat dermatitis atopik atau riwayat atopi pada diri dan
keluarga.
12
Pemeriksaan Fisik didapatkan pada lokasi dan pola kelainan kulit sesuai pekerjaan
atau paparan seseorang terhadap suatu bahan yang bersifat alergen misalnya pada pekerja
yang mengharuskan memakai jam tangan lesi hanya pada area tersebut.
Pemeriksaan penunjang jika diperlukan bisa dilakukan patch test atau Uji tempel,
digunakan untuk mengetahui hipersensitivitas terhadap suatu bahan yang kontak dengan
kulit. Menurut American Academy of Allergy, Asthma, And Immunology bahwa uji
tempel ini merupakan golden standart untuk identifikasi dermatitis kontak. Melaksanaan
uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang), setelah 3 minggu. Tempat
melakukan uji tempel biasanya di punggung, dapat pula di bagian luar lengan atas. Bahan
uji diletakkan pada sepotong kain atau kertas, ditempelkan pada kulit yang utuh, ditutup
dengan bahan impermeable, kemudian direkat dengan plester. Setelah 48 jam dibuka.
Reaksi dibaca setelah 48 jam (pada waktu dibuka).
Hasil positif dapat berupa eritema dengan urtika sampai vesikel atau bula. Penting
dibedakan, apakah reaksi karena alergi kontak atau karena iritasi, sehubungan dengan
konsentrasi bahan uji terlalu tinggi. Bila oleh karena iritasi reaksi akan menurun setelah
48 jam (reaksi tipe decrescendo), sedangkan reaksi alergi kontak makin meningkat
(reaksi tipe crescendo).Hasil dapat berupa: tidak ada reaksi (0),eritema (+), eritema dan
papul (++), eritema, papula dan vesikula (+++), edema yang jelas dan vesikula (++++).
Tata laksana :
a. Non Farmakologi :
Yang perlu diperhatikan pada pengobatan DKA adalah upaya pencegahan pajanan
ulang dengan alergen penyebab sangat penting. Pada umumnya kelainan kulit akan
mereda dalam beberapa hari (Menaldi, 2017).
b. Farmakologi :
Kortikosteroid jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada dermatitis kontak
alergi akut, misalnya dengan pemberian prednison 30mg/hari. Untuk topikal cukup
dikompres dengan larutan garam faal atau larutan asam salisilat (Menaldi, 2017).
Dermatitis kontak iritan merupakan kelainan sebagai akibat pajanan dengan bahan
toksik non-spesifik yang merusak epidermis dan atau dermis. DKI terjadi karena
kerusakan organ kulit secara langsung (bukan suatu proses imunologis) akibat efek toksik
13
bahan yang bersifat kimiawi ataupun fisik yang menempel pada permukaan kulit. DKI
kronis terjadi karena iritan relatif, seperti sabun, pelarut, air, deterjen, minyak sintetis,
kerosen, formalin, merkuri anorganik, terpentin, dan lain-lain yang menempel pada kulit
dalam jangka waktu panjang dan berulang. Seringkali baru timbul bila ada faktor fisik
berupa abrasi, trauma kecil dan maserasi. Oleh karena itu sering disebut traumatic
dermatitis. Kelainan yang ditimbulkan adalah dalam beberapa hari bahkan sampai
beberapa bulan setelah terkena bahan penyebab, berupa hiperpigmentasi, hiperkeratosis,
likenifikasi, fisur dan kadang-kadang eritem serta vesikel. Kulit terasa gatal, tampak
kering, kasar, bersisik halus, kemerahan, menebal, kadang kulit pecah-pecah. Dermatitis
kontak oleh karena iritan absolut biasanya timbul seketika setelah berkontak dengan
iritan, dan semua orang akan terkena. Bahan iritan absolut seperti asam kuat, basa kuat,
garam logam berat dengan konsentrasi kuat (Sularsito dan Djuanda, 2007).
Pada kondisi tertentu di tempat kerja, yakni udara panas dan pengap, atau suhu
ruang yang amat dingin dan lain-lain dapat meningkatkan kepekaan kulit atau
memudahkan kulit pekerja terkena DKI. DKI itu sendiri adalah penyakit kulit yang
terjadi akibat menempelnya sesuatu bahan atau unsur yang disebut sensitizer pada
permukaan kulit. Untuk mengantisipasi hal ini perlu pembersih kulit yang tidak bersifat
iritatif atau melukai permukaan kulit. Untuk pencegahannya, perlu alat pelindung yang
tepat di tempat kerja, setelah dilakukan pengamatan oleh petugas yang berkompeten
(Sularsito dan Djuanda, 2007).
1. DKI akut:
a. Bahan iritan kuat : larutan asam sulfat (H2SO4) atau asam klorida (HCl), termasuk
luka bakar oleh bahan kimia.
b. Lesi berupa: eritema, edema, bula, kadang disertai nekrosis, berbatas tegas.
3. DKI kronis:
a. Penyebabnya adalah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor fisis :
gesekan, trauma minor, kelembaban rendah, panas atau dingin, faktor kimia seperti
deterjen, sabun, pelarut, tanah dan bahkan air).
b. Kelainan baru muncul setelah kontak dengan bahan iritan berminggu-minggu atau
bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian sehingga waktu dan rentetan kontak
merupakan faktor penting.
c. Kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang
mengalami kontak terus-menerus dengan deterjen
Tata laksana :
a. Non Farmakologi :
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan,
baik yang bersifat mekanik, fisik atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang
memperberat. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka
yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan (Menaldi, 2017).
b. Farmakologi :
Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid
topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali
dengan kortikosteroid dengan potensi kuat (Menaldi, 2017).
Salah satu bentuk vitiligo yang khas dan telah diklasifikasikan adalah vitiligo
akibat pekerjaan atau vitiligo kontak. Bentuk dari vitiligo ini unik awal mulanya ia
bermunculan memiliki korelasi yang lurus terhadap paparan zat kimia tertentu di tempat
bekerja dengan lingkungan, seperti aromatik atau turunan alifatik dari fenol dan ketekol.
15
Penggunaan atau pemakaian atau pemajanan terhadap parabutilfenol, para amil fenol,
hidrokuinon atau eter monobenzil atau monobutil (Hoesin,2011).
Diagnosis vitiligo didasarkan pada manifestasi klinis (Lotti dkk., 2008; Yaghoobi
dkk., 2011). Diagnosis vitiligo dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan lampu Wood 365
nm, dengan penampakan lesi yang semakin jelas (Halder dan Taliaferro, 2008).
Tata laksana :
a. Non Farmakologi :
• Obat salep dioleskan secara rutin sesuai anjuran.
• Menjaga higienitas
b. Farmakologi :
16
1. Kortikosteroid
a) clobetasol propionate 0,05% untuk 1-2bulan
b) hidrokortison krim 0,1% (menunjukkan daerah repigmentasi melanosit muncul
dendritik dan DOPA-positif)
2. Calcineurin inhibitor
a) salep tacrolimus 0,3%-0,1% (pertumbuhan melanosit)
b) Calcipotriol seconline
c) UV-B
d) PUVA
e) Surgical : grafting,melanocyte transplant
Gejala yang timbul yaitu karakteristik luka bakar bergantung pada kedalamannya.
Luka bakar superfisial menyebabkan nyeri selama dua atau tiga hari, yang dilanjutkan
dengan pengelupasan kulit selama beberapa hari berikutnya. Individu yang menderita
luka bakar berat mungkin menunjukkan perasaan tidak nyaman atau mengeluhkan adanya
tekanan dibandingkan nyeri. Luka bakar yang mengenai seluruh lapisan kulit mungkin
sepenuhnya tidak sensitif terhadap sentuhan ringan atau tusukan Luka bakar superfisial
biasanya berwarna merah, sedangkan luka bakar berat bisa berwarna merah muda, putih
atau hitam
17
Luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman, mekanisme cedera,
luasan dan cedera lain yang diakibatkan oleh luka bakar tersebut. Klasifikasi yang paling
umum digunakan adalah yang berdasarkan kedalaman luka bakar
Usia muda atau tua < 5% Usia muda atau tua >10%
Usia muda atau tua 5-10% LPB
LPB LPB
<2% luka bakar yang 2-5% luka bakar yang mengenai >5% luka bakar yang
mengenai seluruh mengenai
seluruh lapisan kulit lapisan kulit seluruh lapisan kulit
Penatalaksanaan pasien luka bakar sesuai dengan kondisi dari pasien, mencakup
penanganan awal (ditempat kejadian), penanganan pertama di unit gawat darurat,
penanganan diruang intensif atau bangsal. Tindakan yang diberikan antara lain adalah
terapi cairan, fisioterapi dan psikiatri. Pasien dengan luka bakar memerlukan obat-obatan
topikal. Pemberian obat-obatan topikal anti mikrobial bertujuan tidak untuk mensterilkan
luka akan tetapi akan menekan pertumbuhan mikroorganisme dan mengurangi
kolonisasi, dengan memberikan obat-obatan topikal secara tepat dan efektif dapat
mengurangi terjadinya infeksi luka dan mencegah sepsis.
2.4.5 Kanker Kulit
Kanker kulit adalah jenis kanker yang tumbuh di jaringan kulit. Kondisi ini
ditandai dengan perubahan pada kulit, seperti munculnya benjolan, bercak, atau tahi lalat
dengan bentuk dan ukuran yang tidak normal. Ada tiga jenis kanker kulit yang paling
sering terjadi, yaitu:
18
1. Karsinoma sel basal, yaitu kanker kulit yang berasal dari sel di bagian terdalam dari
lapisan
2. Karsinoma sel skuamosa, yaitu kanker kulit yang berasal dari sel di bagian tengah dan
terluar dari epidermis.
3. Melanoma, yaitu kanker kulit yang berasal dari sel penghasil pigmen kulit (melanosit)
Pada penyakit akibat kerja penyebab dari kanker kulit adalah radiasi atau paparan
terhadap zat zat kimia yang berbahaya dan karsinogenik seperti arsen dan Policylic
Aromatic Hydrocarbons.
Gejala atau tanda kanker kulit umumnya muncul pada bagian tubuh yang sering
terpapar bahan seperti wajah, telinga, leher, lengan, atau tungkai. Dalam mendiagnosis
kanker kulit, dokter akan melakukan pemeriksaan kulit untuk melihat kelainan yang
terjadi. Pemeriksaan dilakukan terhadap bentuk, ukuran, warna, hingga tekstur kulit.
Melalui pemeriksaan ini, dokter dapat menentukan apakah perubahan tersebut
disebabkan oleh kanker atau penyakit lain.
Untuk memastikan diagnosis, dilakukan biopsi kulit. Biopsi dilakukan dengan
mengangkat sampel jaringan kulit, kemudian diperiksa di laboratorium. Bila kelainan
kulit yang terjadi adalah akibat kanker akan ditentukan tingkat keparahan atau stadium
kanker kulit yang dialami penderita. Dapat dilakukan pemeriksaan lain, seperti CT scan,
MRI, atau biopsi kelenjar getah bening, untuk melihat penyebaran sel kanker.
Terapi pada kanker kulit terdiri dari terapi pembedahan dan non pembedahan.
Terapi pembedahan terdiri dari pembedahan dengan eksisi, pembedahan dengan
menggunakan teknik Mohs Micrographic Surgery (MMS), kuretase, cautery,
cryosurgery.
BAB III
3.1. Kesimpulan
Industrialisasi yang menunjang pembangunan memiliki dampak positif dan negatif,
salah satu dampak negatif ialah penyakit kulit akibat kerja. Penyakit kulit akibat kerja ini
dapat mengganggu kualitas personal/pekerja hingga dapat berdampak pada produksi
suatu industri.
21
Penyakit kulit akibat kerja dapat dipicu oleh faktor internal yang meliputi segala hal
yang berkaitan dengan personal/pekerja itu sendiri, dan juga faktor eksternal seperti zat-
zat dan lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap para pekerja. Pekerjaan yang
berisiko menyebabkan penyakit kulit akibat kerja dibedakan berdasarkan jenis paparan
dan allergennya.
Dermatitis kontak alergi, dermatitis kontak iritan, vitiligo akibat kerja, dan dermatitis
radiasi merupakan penyakit kulit akibat kerja yang biasanya muncul. Terapi non
farmakologi pada kasus-kasus tersebut memfokuskan tindakan yang dapat meminimalisir
terjadinya kontak antara personal dan pencetus. Sedangkan terapi farmakologi
difokuskan untuk meredakan gejala-gejala yang ada.
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara memperhatikan beberapa aspek seperti
kesehatan pekerja, APD, dan juga bahan-bahan yang membuat resiko terjadinya penyakit
kulit. Dalam memaksimalkan pecegahan, pendidikan dan penyuluhan tentang K3 juga
sangat penting untuk dilakukan.
3.2. Saran
Pada saat pembuatan makalah Penulis menyadari bahwa banyak sekali kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. Dengan sebuah pedoman yang bisa dipertanggungjawabkan
dari banyaknya sumber penulis akan memperbaiki makalah tersebut . Oleh sebab itu,
penulis harapkan kritik serta sarannya mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan
di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, A. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Fatma, et al,. 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak pada
Pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. FKM UI. Depok.
22
Ferdian, R. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak
Pada Pekerja Pembuat Tahu Di Wilayah Kecamatan Ciputat Dan Ciputat Timur
Tahun 2012. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Jeyaratnam, J. 2009. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Penerbit Buku Kedokteran : EGC.
Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2016 Penyelenggara
Pelayanan Penyakit Akibat Kerja. Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun
2016.
Retnoningsih, A. 2017. Analisis Faktor-Faktor Kejadian Dermatitis Kontak Pada Nelayan.
Skripsi. Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.