Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

GENERAL TETANUS
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Disusun Oleh :

Pembimbing
dr. Amukti Wahana, Sp.B. FINACS, FICS

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


LABORATORIUM ILMU BEDAH UMUM
RSUD KANJURUHAN KEPANJEN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya, sholawat serta salam yang kami junjungkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah menuntuk kita menuju jalan kebenaran sehinggga dalam penyelesaian tugas ini
kami dapat memilah antara yang baik dan buruk. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing pada Laboratorium Ilmu Bedah Umum, yaitu dr. Amukti Wahana, Sp.B. FINACS,
FICS yang memberikan bimbingan dalam menempuh pendidikan ini. Tidak lupa pula kamu
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga dalam penyusunan laporan kasus in
dapat terselesaikan.

Penyusun menyadari dalam laporan kasus ini belum sempurna secara keseluruhan oleh
karena itu kami dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan yang membangun sehingga
dapat membantu dalam penyempurnaan dan pengembangan penyelesaian laporan selanjutnya.

Semoga Laporan Kasus ini bermanfaat bagi penyusun, pembaca serta rekan-rekan lain
yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kepanjen, 02 September 2022

Penyusun

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin
yang merupakan eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Ditandai dengan
spasme tonik persisten disertai dengan serangan yang jelas dan keras, biasanya
berhubungan dengan kerja eksotoksin (tetanospasmin) pada sinaps ganglion sambungan
sumsum tulang belakang, sambungan neuromuscular (neuro muscular junction) dan saraf
otonom. Clostriduim tetani terdapat di lingkungan bebas, di tanah, benda berkarat,
ataupun peralatan operasi yang tidak steril.1
Tetanus merupakan penyakit serius yang mengancam nyawa yang menjadi
masalah kesehatan dunia terutama di negara yang berkembang dengan angka kejadian
1.000.000 pasien setiap tahunnya di dunia. Di Indonesia, insidensi berkisar 0.2/100.000
populasi. Berdasarkan data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC),
angka kejadian tetanus telah menurun melebihi 95% dibandingkan sejak pertama kali
penyakit ini ditemukan pada tahun 1947, dan angka kematian telah menurun 99%.
Hingga saat ini, Tetanus masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan di
negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk. Program vaksinasi
tetanus menurunkan angka kejadian tetanus pada negara-negara berkembang. Namun,
angka kematian akibat tetanus mencapai 50% pada pasien berusia diatas 60 tahun dimana
jarang mendapatkan vaksinasi tetanus.2
Clostriduim tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora
berkembang pada keadaan anaerobik (oksigen rendah). Clostriduim tetani dapat
menghasilkan dua jenis eksotoksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Efek tetanolisin
masih belum diketahui pasti. Tetanospasmin merupakan neurotoksin penyebab
manifestasi klinis infeksi tetanus. Dosis letal tetanospasmin pada manusia ialah 2,5
ng/kgBB. Toksin yang dihasilkan dapat menyebar melalui pembuluh darah dan saluran
limfatik. Selain itu, toksin dapat diabsorpsi di tautan saraf otot yang kemudian bermigrasi
melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat (SSP).3
Masih banyaknya kematian yang disebabkan oleh tetanus harus menjadi perhatian
bagi pihak pemerintah maupun kalangan medis. Oleh karena itu pemahaman yang baik

1
tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis dari penyakit
tetanus merupakan bagian kunci dalam membuat diagnosis dini dan penatalaksanaan
yang sesuai.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana definisi, etiologi, petogenesis, manifestasi klinis, penegakan diagnosa, terapi,
serta prognosis tetanus?
1.3 Tujuan
Mengetahui definisi, etiologi, petogenesis, manifestasi klinis, penegakan diagnosa, terapi,
serta prognosis tetanus.
1.4 Manfaat
1. Mahasiswa dapat melakukan pembelajaran tentang penyakit tetanus dan mengetahui
cara penegakan diagnosis serta penatalaksanaanya.
2. Memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik di bagian Laboratorium Ilmu Bedah
Umum RSUD Kanjuruhan Kepanjen.

2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. D
Umur : 75 tahun
Pekerjaan : Pedagang
Pendidikan : SD
Alamat : Jl. Dukuh Lesti RT 24 RW 05, Dawuhan, Poncokusumo, Kab.
Malang
Suku : Jawa
Tanggal MRS : 15 Juli 2022
No.Registrasi : 326***
2.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Badan kaku
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Tn. D usia 75 tahun datang rujukan dari Puskesmas Wajak ke rumah sakit dengan
keluhan seluruh badan kaku sejak ± 1 minggu yang lalu sebelum MRS. Keluarga
pasien mengatakan awalnya pasien mengeluhkan badan meriang dan demam selama
2 hari sebelum kaku seluruh badan. Kemudian pasien mengeluhkan kaku badan
secara bertahap yang diawali pada kaki, perut, punggung, leher, tangan dan seluruh
tubuh sejak 1 minggu sebelum MRS. Kaku badan terus menerus, semakin
memburuk sampai tidak bisa berjalan dan kesulitan makan. Tidak ada yang
memperberat dan memperingan. Riwayat kejang disangkal. Sebelum meriang dan
demam keluarga pasien mengatakan 1 hari sebelumnya pasien mengalami luka
tertusuk paku pada telapak kaki kanan. Luka hanya dialiri air tanpa diinjeksi anti
tetanus. Tidak terdapat riwayat trauma leher atau gigitan/cakaran binatang.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit DM : disangkal
Riwayat maag : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat trauma/terjatuh : pernah kecelakan motor pada tahun 2017
Riwayat tumor : disangkal
Riwayat operasi : disangkal

3
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
f. Riwayat Pengobatan : Tidak ada
g. Riwayat Kebiasaan : Rokok (-), Kopi (+), Jamu (+), Alkohol (-),
Olahraga(-)
h. Riwayat Imunisasi : Tidak Ada
2.3 Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum dan Tanda Vital
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Composmentis (GCS 456)
Tanda Vital : TD: 107/66 mmHg, Nadi: 71x/menit, Suhu: 36 ⁰C, RR:
20x/menit
 Pemeriksaan Status Generalisata
1. Kepala
Bentuk normocephal, rambut putih tidak mudah dicabut, tidak ada luka
maupun benjolan. Kaku pada otot maseter sehingga tidak bisa membuka
mulut.
2. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-), cowong
(-/-), pupil isokor diameter 3 mm, reflek cahaya (+/+), radang (-/-),
eksoftalmus (-/-)
3. Telinga, hidung, tenggorokan
Nafas cuping hidung (-), secret (-/-), epistaksis (-/-), deformitas (-/- ), bibir
pucat (-), bibir kering (-), lidah kotor (+) plak putih, tremor (-), gusi
berdarah (-), gigi berlubang (+), sariawan (-), lidah terasa pahit (-),
mukosa kering (-), Posisi dan bentuk normal, deformitas (-), nyeri tekan
mastoid (-/-), secret (-/-), pendengaran dalam batas normal.
4. Leher
JVP tidak meningkat, trakea di tengah, tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid, lesi pada kulit (-), kaku (+) tidak bisa menoleh ke kanan, kiri, dan
kebawah (head & neck stiffness)
5. Thoraks

4
Normochest, simetris, pernapasan thoracal, retraksi (-).
 Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kiri atas: ICS II para sternal line sinistra
Batas kanan atas: ICS II para sternal line dekstra
Batas kiri bawah: ICS V midclavicular line sinistra
Batas kanan bawah: ICS IV para sternal linea dekstra
Auskultasi : S1 S2 single, reguler, murmur (-), gallop (-)
 Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor / Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
6. Abdomen
Inspeksi : Flat, defans muscular, nodul (-), hiperemi (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Hepatomegali (-) tidak teraba, splenomegali (-) tidak
teraba.
Palpasi : Nyeri tekan (-), keras seperti papan (opistotonus +)
7. Ekstremitas
Ekstremitas Atas: deformitas (-/-), akral hangat (+/+), edema (-/-), ulkus
(-/-)
Bawah: deformitas (-/-), akral hangat (+/+), edema(-/-), ulkus (-/-)
 Pemeriksaan Neurologi
Kesadaran umum
Kesadaran : GCS E4V5M6
 Disatria : (-)
 Afasia Motorik : (-)
 Afasia Sensorik : (-)
Kepala
 Besar : (-)
 Asimetri : (-)

5
 Torticollis : (-)
 Pemeriksaan Khusus
1) Meningeal Sign
- Kaku Kuduk : (-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)
- Brudzinski III : Tidak dievaluasi
- Brudzinski IV : Tidak dievaluasi
- Kernig :Tidak dievaluasi
2) Saraf Kranial
NC.I
Tidak dievaluasi
NC.II
Kanan
Kiri
Visus dBN
Buta warna - -
NC.III, IV.VI
Kanan Kiri
Kedudukan bola mata Ortoforia
Pergerakan bola mata

Eksoftalmus - -
Ptosis - -
Pupil
- Bentuk Bulat Bulat
- Lebar 3 mm 3 mm
- Perbedaan lebar Isokor Isokor
- R. cahaya direct + +
- R. cahaya indirect + +
NC. V
Kanan
Kiri

6
Cabang motorik
- Otot masseter Trismus

Cabang sensorik

- I, II, III dBN


- Refleks kornea Tidak dievaluasi
N. VII
Kanan
Kiri
Waktu diam
- Kerutan dahi dBN
- Tinggai alis dBN
- Sudut mata dBN
- Lipatan mata dBN
- Lipatan nasolibial dBN
Waktu gerak
- Mengerutkan dahi dBN
- Menutup mata dBN
- Mencucu dBN
- Meringis dBN
NC. VIII
Kanan
Kiri
Vestibular
- Vertigo - -
- Nistagmus Tidak dievaluasi
Cochlear Tidak dievaluasi
NC. IX, X
Bagian motoric
- Suara biasa/parau/tidak : suara biasa
- Menelan : sulit
- Kedudukan arcus pharynx : sulit dievaluasi
- Kedudukan uvula : ditengah
- Pergerakan arcus pharynx : sulit dievaluasi

7
Bagian Sensorik Tidak dievaluasi
NC. XI Tidak dievaluasi
NC. XII dBN
3) Motorik
Kekuatan Otot Kanan Kiri
Lengan 4 4
Tungkai 4 4
Tonus Otot (Lengan dan Tungkai)
- Hipotonik - -
- Spastic + +
- Rigid - -
Gerakan Involunter
- Tremor saat istirahat - -
- Tremor saat aktivitas - -
- Chorea - -
- Athetosa - -
- Myoklonik - -
4) Sensorik
Kanan Kiri
Rasa nyeri superficial dBN dBN
Rasa Suhu Tidak dievaluasi
Rasa raba ringan dBN dBN
5) Refleks Fisiologis Tendon Tidak dievaluasi
6) Refleks Patologis Tidak dievaluasi

8
2.4 Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
14 Juli 2022

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal


Hematology
Darah Lengkap
Hemoglobin 14.3 g/dL 11-17.9
Hematocrit (HCT) 43.7 % 40.0-54.0
Leukosit 17.210 Sel/ul 4.000-10.000
Eritrosit 4.590.000 Sel/ul 3.5 jt- 5.5 jt
Trombosit 358.000 mm3 150.000-450.000
Neutrofil 90.2 % 55-70
Lymfosit 5.4 % 15-31
Monosit 4.4 % 3.6-12
Eosinofil 0.0 % 2-8
Basofil 0.0 % 0.3-2
Mcv 95.2 fl 80-100
Mch 31.2 pg 27-32
Mchc 32.8 g/dL 32-36
RDW-CV 14.0 % 11-16
PDW 15.7 % 9-17
Kimia Klinik
Gula Darah Sesaat 135 Mg/dl <200
Imunologi
SARS-CoV 2 Antigen NEGATIF NEGATIF
test

15 Juli 2022

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


SGOT/AST 78.8 U/L <40
SGPT 57.2 <40
Ureum 62.4 Mg/dl 15-40

9
Creatinin 1.0 Mg/dl 0.2-1.2
Elektrolit
Natrium 132.4 mmol/L 136-145
Kalium 4.0 mmol/L 3.5-5.0
Cloride 98.7 mmol/L 96-108
Kalsium 1.01 mmol/L 1.05-1.35
Pemeriksaan Lain
HBs Ag Non reaktif Non reaktif

18 Juli 2022

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin 9.6 g/dL 13.4-17.7
Hematokrit 28.4 % 40-47
Index Eritrosit
MCV 81.8 fL 80-93
MCH 27.7 pg 27-31
MCHC 33.8 g/dL 32-36
Eritrosit 3.47 Juta/cmm 4.0-5.5
Lekosit 18.830 Sel/cmm 4.300-10.300
Trombosit 455.000 Sel/cmm 142.000-424.000
Hitung Jenis Lekosit
Eosinophil 9.5 % 0-4
Basofil 0.2 % 0-1
Neutrofil 78.3 % 51-67
Limfosit 6.4 % 25-33
Monosit 5.6 % 2-5
Kimia Klinik
Albumin 1.94 g/dL 3.5-5.5

2.5 Diagnosis Kerja

10
General Moderate Tetanus
2.6 Diagnosis Banding
Meningitis bakteri
Ensefalitis
Infeksi local
Strychnine poisinig
2.7 Resume
Tn. D usia 75 tahun datang rujukan dari Puskesmas Wajak ke rumah sakit dengan
keluhan seluruh badan kaku sejak ± 1 minggu yang lalu sebelum MRS. Keluarga
pasien mengatakan awalnya pasien mengeluhkan badan meriang dan demam selama
2 hari sebelum kaku seluruh badan. Kemudian pasien mengeluhkan kaku badan
secara bertahap yang diawali pada kaki, perut, punggung, leher, tangan dan seluruh
tubuh sejak 1 minggu sebelum MRS. Kaku badan terus menerus, semakin memburuk
sampai tidak bisa berjalan dan kesulitan makan. Sebelum meriang dan demam
keluarga pasien mengatakan 1 hari sebelumnya pasien mengalami luka tertusuk paku
pada telapak kaki kanan. Luka hanya dialiri air tanpa diinjeksi anti tetanus.
Pemeriksaan fisik didapatkan pasien composmentis, tanda vital, TD: 107/66 mmHg,
N: 71 x/menit, RR: 20x/menit, S: 36⁰C. Pada pemeriksaan thoraks tampak
simetris saat statis maupun dinamis, dengan auskultasi paru vesikular, tidak
terdapat ronki maupun mengi. Tidak terdapat murmur maupun gallop pada
auskultasi. Pemeriksaan head to toe didapatkan trismus, kekakuan pada leher,
perut papan, lidah kotor dan opistototnus. Status neurologis: meningal sign (-),
fungsi luhur dalam batas normal, N. Cranialis tidak ada kelainan, tonus otot
spastik. Tidak ditemukan flasid. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
trombositosis, leukositosis disertai neutrofilia, eosinophilia, monositosis dan
limfositosis.
2.8 Penatalaksanaan
Medikamentosa
- Drip diazepam 50 mg/500 cc RL/8 jam
- Drip MgSO₄ 20ml/500cc D5/12 jam
- IM PPC (Penicillin procaine) 3 x 3 jt IU
- IM Tetagam 1 x 250 250 Iu 5 hari berturut-turut
- IV Metronoidazole 3 x 100 mg
- IV Omperazole 1 x 40 mg

11
- IV Antrain 3 x 1 gr
Non Medikamentosa
- MRS ruang isolasi
- Diet susu 6 x 200 cc (NGT), setelah membaik dapat diberikan bubur halus.
- KIE kondisi  bisa memburuk sewaktu-waktu selama 1 minggu kedepan
akibat dari tetanusnya
2.9 Prognosis
Ad vitam : Dubia Ad Bonam
Ad Functionam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
2.10 Follow Up

16 Juli 2022
S O A P
Tubuh Kaku KU: Lemah Moderate - Drip diazepam
GCS 456 Tetanus 50 mg/500 cc
TD: 126/59 (General RL/8 jam
mmHg Tetanus) - Drip MgSO₄
N: 66x/menit 20ml/500cc
S: 37.1⁰C D5/12 jam
Opistotonus (+) - IM PPC
Trismus (+) (Penicillin
Kaku leher (+) procaine) 3 x 3 jt
Perut papan (+) IU
- IM Tetagam 1 x
250 IU
- IV
Metronoidazole 3
x 100 mg
- IV Omperazole
1 x 40 mg
- IV Antrain 3 x 1
gr
- Diet susu 6 x

12
200 cc (NGT)
17 Juli 2022
S O A P
Tubuh Kaku KU: sedikit Moderate - Drip diazepam
lemah Tetanus 50 mg/500 cc
GCS 456 (General RL/8 jam
TD: 129/66 Tetanus) - Drip MgSO₄
mmHg 20ml/500cc
N: 61x/menit D5/12 jam
S: 37.4⁰C - IM PPC
Opistotonus (+) (Penicillin
Trismus (+) procaine) 3 x 3 jt
Kaku leher (+) IU
Perut papan (+) - IM Tetagam 1 x
250 IU
- IV
Metronoidazole 3
x 100 mg
- IV Omperazole
1 x 40 mg
- IV Antrain 3 x 1
gr
- Diet susu 6 x
200 cc (NGT)
18 Juli 2022
S O A P
Kaku mulai KU: cukup General Tetanus - Drip diazepam
berkurang GCS 456 (Moderate) 50 mg/500 cc
TD: 153/79 RL/8 jam
mmHg - Drip MgSO₄
N: 65x/menit 20ml/500cc
S: 36.2⁰C D5/12 jam
RR: 20x/menit - IM PPC
(Penicillin

13
Opistotonus (+) procaine) 3 x 3 jt
Trismus (+) IU
Kaku leher (+) - IM Tetagam 1 x
Perut papan (+) 250 IU
- IV
Metronoidazole 3
x 100 mg
- IV Omperazole
1 x 40 mg
- IV Antrain 3 x 1
gr
- Diet susu 6 x
200 cc (NGT)
19 Juli 2022
S O A P
Kaku mulai KU: cukup General Tetanus - Drip diazepam
berkurang TD: 153/79 (Moderate) 30 mg/500 cc
mmHg RL/8 jam
N: 65x/menit - Drip MgSO₄
S: 36⁰C 20ml/500cc
Opistotonus (+) D5/12 jam
 membaik - IM PPC
Trismus (+)  (Penicillin
membaik procaine) 3 x 3 jt
Kaku leher (+)  IU
membaik - IM Tetagam 1 x
Perut papan (+) 250 IU
- IV
Metronoidazole 3
x 100 mg
- IV Omperazole
1 x 40 mg
- IV Antrain 3 x 1

14
gr
- Diet bubur halus
20 Juli 2022
S O A P
Kaku berkurang KU: cukup General tetanus - Drip diazepam
TD: 100/63⁰C (Moderate) 30 mg/500 cc
N: 63x/menit RL/8 jam
S: 36.5⁰C - Drip MgSO₄
RR: 20x/menit 20ml/500cc
Perut papan (+) D5/12 jam
- IM PPC
(Penicillin
procaine) 3 x 3.5
jt IU
-IV
Metronoidazole 3
x 500 mg
- IV Omperazole
1 x 40 mg
- IV Antrain 3 x 1
gr
-Diet bubur halus
-Latihan ngemil
21 Juli 2022
S O A P
Kaku berkurang KU: cukup General tetanus - Drip diazepam
TD: 121/67 (Moderate) 30 mg/500 cc
mmHg RL/8 jam
N: 60x/menit - Drip MgSO₄
S: 36⁰C 20ml/500cc
Perut papan (+) D5/12 jam
- IM PPC
(Penicillin
procaine) 3 x 3.5

15
jt IU
-IV
Metronoidazole 3
x 500 mg
- IV Ranitidin
2x50mg
- Diet bubur
- Latihan ngemil

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Tetanus
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
eksotoksin yang dihasilkan bakteri Clostridium tetani, ditandai dengan
peningkatan kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka. Tetanus
biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin. Pada tahun 1890, ditemukan toksin seperti strichnine,
kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah
anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi
derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus.4
3.2 Epidemiologi Tetanus
Tetanus merupakan penyakit dominan negara-negara belum
berkembang, di negara-negara tanpa program imunisasi yang
komprehensif. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi,
tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia.
Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian
pada semua kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus
neonatorum sebanyak 180.000 (85%). Tetanus neonatorum
menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20%
kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan
dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian
tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada
kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10
tahun, dan sisanya pada bayi.5 Tetanus dapat pula berkaitan dengan
ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi otitis media, penyakit
gigi dan mulut, tindik telinga, pembedahan, aborsi, dan persalinan.
Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua.1
3.3 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yang bersifat anaerob
murni. Spora C.tetani dapat bertahan sampai bertahun-tahun bila tidak
kena sinar matahari. Spora ini terdapat ditanah atau debu, tahan
terhadap antiseptic, pemanasan 100⁰C, dan bahkan pada otoklaf 120 ⁰
selama 15-20 menit. Dari berbagai studi yang berbeda, spora ini tidak

17
jarang ditemukan pada feses manusia dan feses binatang (kuda, anjing,
dan kucing). Toksin diproduksi oleh bentuk vegetatifnya.6 Bentuk
vegetatif C.tetani adalah basil, Gram positif, tidak berkapsul, motil,
dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan terhadap efek
bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan kimiawi, dan
antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan
tetanus.7

Gambar 1. Pewarnaan Gram C.tetani


Keterangan: Bakteri tersebut bersifat Gram positif tetapi memiliki
kecenderungan variabilitas dalam pewarnaan Gram. Bentuk vegetatifnya
berupa basil. Endosporadibentuk secara intraseluler pada ujung sporangium
dan memberikan bentuk yang khas yaitu menyerupai stik drum.8

Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai


untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan
menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin
adalah neurotoksin poten yang bertanggung jawab terhadap
manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek
klinis dan mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup
yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang
memungkinkan multiplikasi bakteri. 9
3.4 Patofisiologi
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah
menjadi bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan
tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk
metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah
tetanospasmin yang mempengaruhi interaksi endplate motorik saraf
dan otot, menyebabkan kekakuan, kejang otot, dan ketidakstabilan

18
otonom. Sedangkan, tetanolysin dapat merusak jaringan.10 Toksin dari
tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat
ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi,
kemudian ke kornu anterior medulla spinalis, akhirnya menyebar ke
SSP.
Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi
presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi
yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan
spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot
masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke medulla spinalis terjadi
kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada
dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai
korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang
spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh,
sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme,
hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan
neuromuskular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama jantung,
hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf
otonom.6
Masa inkubasi dapat berlangsung dari satu hingga 60 hari.
Tetapi, rata-rata 7 hingga 10 hari. Tingkat keparahan gejala tergantung
pada jarak toksin dari SSP dan terkait dengan gejala yang parah dan
periode inkubasi yang pendek. Ketika toksin memasuki batang otak
maka akan terjadi disfungsi otonom. Hilangnya kontrol otonom
menyebabkan tekanan darah dan detak jantung yang tidak stabil,
diaforesis, bradiaritmia, dan henti jantung. Gejala dapat berlangsung
selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan dengan angka
kematian 10% pada mereka yang terinfeksi, bahkan lebih tinggi pada
mereka yang tidak divaksinasi sebelumnya.

19
Gambar 2. Patofisiologi Tetanus
Keterangan: Bakteri tersebut bersifat Gram positif tetapi memiliki
kecenderungan variabilitas dalam pewarnaan Gram. Bentuk vegetatifnya
berupa basil. Endosporadibentuk secara intraseluler pada ujung sporangium
dan memberikan bentuk yang khas yaitu menyerupai stik drum.

3.5 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi tetanus


Tetanus biasanya mengikuti luka tembus dalam di mana
pertumbuhan bakteri anaerobik difasilitasi. Portal infeksi yang paling
umum adalah luka pada ekstremitas bawah, infeksi postpartum,
suntikan intramuskular non-steril, dan fraktur. Masa inkubasi tetanus
umumnya antara 3-21 hari, dan umumnya terjadi dalam 8 hari. Masa
inkubasi yang lebih pendek terkait dengan kemungkinan kematian
yang lebih tinggi. Pada tetanus neonatal, gejala biasanya muncul dari 4
hingga 14 hari setelah lahir, ratarata sekitar 7 hari.
Berdasarkan gambaran klinisnya, tetanus dibagi menjadi 4 bentuk
yaitu:
a. Local Tetanus
Bentuk yang paling jinak. Gejala awal adalah kekakuan, sesak, dan
nyeri di otot-otot sekitar luka, diikuti oleh twitchings dan kejang
singkat dari otot yang terkena. Tetanus lokal terjadi paling sering
dalam kaitannya dengan luka tangan atau lengan bawah, jarang di
perut atau otot paravertebral. Bisa terjadi sedikit trismus yang berguna

20
untuk menegakkan diagnosis. Gejala dapat bertahan dalam beberapa
minggu atau bulan. Secara bertahap kejang menjadi kurang dan
akhirnya menghilang tanpa residu. Prognosis tetanus ini baik 11,13

Gambar 3. Tetanus Lokal


b. Cephalic tetanus
Bentuk tetanus lokal pada luka pada wajah dan kepala. Masa inkubasi
pendek, 1 atau 2 hari. Otot yang terkena (paling sering wajah) menjadi
lemah atau lumpuh. Bisa terjadi kejang wajah, lidah dan tenggorokan,
dengan disartria, disfonia, dan disfagia. Banyak kasus fatal.11

Gambar 4. Tetanus Cephalic


c. Generalized Tetanus
Bentuk tetanus paling umum. Mungkin dimulai sebagai tetanus
lokal yang menjadi umum setelah beberapa hari, atau mungkin
menyebar dari awal. Trismus sering merupakan manifestasi pertama.
Dalam beberapa kasus didahului oleh rasa kaku pada rahang atau leher,
demam, dan gejala umum infeksi. Kekakuan otot lokal dan kejang

21
menyebar dengan cepat ke otot bulbar, leher, batang tubuh, dan
anggota badan. Timbul gejala kekakuan pada semua bagian seperti
trismus, risus sardonicus (dahi mengkerut, mata agak tertutup, sudut
mulut tertarik ke luar dan ke bawah), mulut mencucu, opistotonus
(kekakuan yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher,
otot badan, trunk muscle), perut seperti papan. Bila kekakuan semakin
berat, akan timbul kejang yang terjadi secara spontan atau direspon
terhadap stimulus eksternal. Pada tetanus yang berat terjadi kejang
terus menerus atau kekuan pada otot laring yang menimbulkan apnea
atau mati lemas. Pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan
gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh
darah). Kematian biasanya disebabkan oleh asfiksia dari
laringospasme, gagal jantung, atau shock, yang dihasilkan dari toksin
6,11
pada hipotalamus dan sistem saraf simpatik. Terdapat trias klinis
berupa rigiditas, spasme otot dan apabila berat disfungsiotonomik.

d. Neonatorum Tetanus

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya


infeksi tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang
aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala
yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk meminum ASI,
kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh
klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan
opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan
ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada,
pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah
hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari
kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia,
kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.

22
Gambar 5. Nenatorum Tetanus

Klasifikasi tetanus berdasarkan derajat penyakit menurut modifikasi


dari klasifikasi Ablett’s dapat dibagi menjadi empat diantaranya, yaitu:

a. Derajat 1 (ringan): trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum:


kaku kuduk, opistotonus, perut papan, tidak dijumpai disfagia atau
ringan, tidak dijumpai kejang, tidak dijumpai gangguan respirasi.

b. Derajat II (sedang): trismus sedang, rigiditas/kekakuan yang tampak


jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan
sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30 x/ menit disfagia
ringan.

c. Derajat III (berat): trismus berat, spastisitas generalisata: otot spastis,


kejang spontan, spasme refleks berkepanjangan frekuensi pernafasan
lebih dari 40x/ menit, serangan apneu disfagia berat dan takikardia
lebih dari 120.

d. Derajat IV (sangat berat): derajat III ditambah dengan gangguan


otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat
dengan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia,
salah satunya dapat menetap.

3.6 Penegakan Diagnosis Tetanus


 Anamnesis
Diagnosis cukup dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis.
Anamnesis tentang adanya kelainan yang dapat menjadi tempat
masuknya kuman tetanus, trismus, risus sardonikus, kaku kuduk,

23
opistotonus, perut keras seperti papan atau kejang tanpa gangguan
kesadaran. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
1. Tetanus lokal
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa
sakit pada otot disekitar atau proksimal luka.
2. Tetanus sefalik
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1- 2
hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media
kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan
disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat
berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
3. Tetanus umum/generalisata
Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, irritable, kekakuan leher,
susah menelan, kekakuan dada dan perut (opistotonus), rasa sakit dan
kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan
rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran
yang tetap baik. 4. Tetanus neonatorum Tetanus yang terjadi pada bayi
baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat. Gejala yang sering
timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable,
diikuti oleh kekakuan dan spasme.
 Pemeriksaan Fisik1
a) Trismus yaitu kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga
sukar membuka mulut. Pada neonatus kekakuan ini menyebabkan
mulut mencucut seperti mulut ikan, sehingga bayi tidak dapat
menyusui. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar
membuka mulut diukur setiap hari.
b) Rhisus sardonicus terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik,
sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut
tertarik keluar dan ke bawah
c) Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot
punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang
sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur
d) Perut papan

24
e) Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang
awalnya hanya terjadi setelah dirangsang, misalnya dicubit, digerakkan
secara kasar atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun masa istirahat
kejang semakin pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.
f) Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan sebagai
akibat kejang yang terus-menerus atau oleh kekakuan otot laring yang
dapat menimbulkan anoksia dan kematian. Pengaruh toksin pada saraf
autonom menyebabkan gangguan sirkulasi dan dapat pula
menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak.
Kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio alvi,
retentio urinae, atau spasme laring. Patah tulang panjang dan kompresi
tulang belakang.
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan adalah uji spatula. Tes ini
menggunakan spatula yang disentuhkan ke dinding faring posterior.
Hasil yang muncul pada pasien tetanus adalah spasme otot masseter
dan menggigit yang normalnya adalah reflek muntah yang terjadi. Uji
spatula ini memiliki spesifitas dan sensitivitas yang tinggi pada pasien
tetanus. Tidak ada tes laboratorium khusus untuk menentukan
diagnosis tetanus. Diagnosis secara klinis didasarkan pada adanya
trismus, disfagia, kekakuan otot umum, kejang, atau kombinasinya.
3.7 Diagnosis Banding
Bila gambaran klinis tetanus sudah jelas, biasanya diagnosis pasti
mudah dutegakkan. Pada fase awal, kadang keraguan dapat timbul.
Infeksi local daerah mulut juga sering disertai trismus. Kemungkinan
lainnya adalah meningitis atau ensefalitis .6
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, dapat dinilai
dari pemeriksaan fisik, tes laboratorium (dimana cairan serebrospinal
dan pemeriksaan darah rutin normal, sedangkan SGOT, CPK (tes
kreatinin fosfokinase) dan serum aldolase dapat meninggi karena
kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang lengkap atau
tidak lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), rhisus sardonicus dan
kesadaran yang tetap normal. Diagnosis banding yang dapat terjadi
antara lain :

25
a. Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya
menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi,
dimana adanya kelainan cairan serebrospinal yaitu jumlah sel
meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.
b. Poliomyelitis Didapatkan adanya paralisis flasid dengan tidak
dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan cairan serebrospinalis
menunjukan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan
pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.
c. Rabies Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain.
Trismus jarang ditemukan, kejang bersifat klonik.
d. Tetani Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana
kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk
spasme otot ialah karpopedal spasme dan biasanya diikuti dengan
laringospasme, jarang dijumpai trismus.
3.8 Pencegahan Tetanus
Mengingat banyaknya masalah dalam penanggulangan tetanus
serta masih tingginya angka kematian (30 - 60%), tindakan pencegahan
merupakan usaha yang sangat penting untuk menurunkan morbiditas
dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara pencegahan tetanus, yaitu
perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif serta pasif. Imunisasi
aktif didapat dari penyuntikan toksoid tetanus untuk merangsang tubuh
membentuk antibodi. Manfaat imunisasi aktif ini sudah banyak
dibuktikan. Imunisasi pasif diperoleh dari pemberian serum yang
mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau antitoksin homolog
(imunoglobulin antitetanus).6
Berdasarkan riwayat imunitas dan jenis luka, baru ditentukan
pemberian antitetanus serum atau toksoid. Indikasi pemberian
imunisasi tetanus bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Indikasi Pemberian Imunisasi Tetanus

Imunisasi Luka Bersih Luka Kotor


sebelumnya Toksoid ATS Toksoid ATS
Tidak Ya* Tidak Ya* Tidak

26
ada/tidak
pasti
1 x DT atau
Ya* Tidak Ya* Tidak
DPT
3 x DT/DPT
Tidak + Tidak Tidak++ Tidak
atau lebih
* :Seri imunisasinya harus lengkap
+ :kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih
++ :kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih
Cara pemberian melalu IM (ATS 1.500 IU/ Imunuglobulin 250 IU)
DT : vaksin difteri-tetanus
DPT: vaksin difteri-tetanus-pertussis

3.9 Tatalaksana Tetanus


a. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani,
menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan
memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut
dapat diperinci sebagai berikut : 12
1) Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan
nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan
H202, dalam hal ini penatalaksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan
1-2 jam setelah penyuntikan ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar
luka disuntik ATS.
2) Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung
kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan
dapat diberikan personde atau parenteral.
3) Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya dan
tindakan terhadap penderita
4) Oksigen, pernafasan buatan bila perlu.
5) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
b. Khusus (Obat- obatan)
1) Antibiotika Diberikan parenteral Penicilin 1,2 juta unit/ hari selama
10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline

27
dosis 50.000 Unit/ kgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10
hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan
preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30- 40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi
dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4
dosis). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan
dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari
C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya
komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
Tetrasiklin, eritromisin dan metronidazole dapat diberikan terutama
bila penderita alergi penisilin. Dosis yang diberikan :
a. Tertasiklin : 30-50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis
b. Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
c. Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5
mg/KgBB tiap 6 jam
2) Anti Tetanus Toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk :
a. Toksin bebas dalam darah
b. Toksin bergabung dengan jaringan saraf
Toksin yang dapat dinertalisir adalah toksin yang bebas dalam
darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak
dapat dinetralisir oleh antioksidan. Sebelum pemberian antitoksin
harus dilakukan adalah anamnesa apakah ada riwayat alergi, tes kulit
dan mata, dan harus sedia adrenalin 1:1000. Ini dilakukan karena
antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat heterolog sehingga
mungkin terjadi syok anafilaktik.
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Berhrmann
(1987) dan Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000-100.000 U
yang diberikan setengah lewat i.v. dan setengahnya i.m. pemberian
lewat i.v.diberikan selama 1-2 jam.
3) Antitoksin lainnya
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin
(TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM
tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti

28
complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi alergi yang serius.

4) Tetanus toksoid

Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan


bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda
dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M.
Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai.

5) Antikonvulsan

Obat yang biasanya digunakan ialah :

a. Diazepam.

Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5
mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali
diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam
peroral (sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgbb/kali sehari diberikan 6
kali.

b. Dosis maksimal diazepam 240mg/hari.

Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat), harus dilanjutkan


dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat di tingkatkan
sampai 480mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik. Dapat pula
dipertimbangkan penggunaan magnesium sulfat, dila ada gangguan
saraf otonom.

c. Fenobarbital.

Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m. Dilanjutkan


dengan dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis.

3.10 Komplikasi Tetanus


Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia,
bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya

29
gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring
yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan
otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi
pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler
berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi,
hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau
kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli,
pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut,
dehidrasi dan asidosis metabolic.11
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien tetanus antara lain: 11
a. Saluran pernapasan
Oleh karena spasme dapat terjadi pada otot-otot pernapasan dan
spasme otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadinya
asfiksia. Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat
obstruksi oleh sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema
biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
b. Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain
berupa takiardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan
miokardium.
c. Tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis
akibat kejang yang terusmenerus terutama pada anak dan orang
dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis
ossifikans sirkumskripta.
d. Komplikasi lain
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring
dalam satu posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau
toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.

3.11 Prognosis Tetanus

30
Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus yaitu klasifikasi menurut
cole dan spooner, dakar score, Ablett skor, severity score dan Philips
skor. Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa
inkubasi, periode awal pengobatan, imunisasi, lokasi fokus infeksi,
penyakit lain yang menyertai, beratnya penyakit, dan penyulit yang
timbul. Masa inkubasi dan periode awitan merupakan faktor yang
menentukan dalam klasifikasi Cole dan Spooner.11
Tabel 2. Klasifikasi Prognostik Cole-Spooner11

Kelompok Periode Awal Masa Inkubasi


Prognostik
I < 36 jam ± 6 hari
II > 36 jam > 6 hari
III Tidak diketahui Tidak diketahui

Berdasarkan tabel di atas dapat ditentukan bahwa angka kematian


pasien termasuk dalam kelompok prognostik I lebih tinggi daripada
kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan angka kematian
akibat gagal napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu pemberian
nutrisi yang cukup ternyata juga manurunkan angka kematian.
Selain itu, skor yang bisa digunakan untuk menentukan prognosis
pasien tetanus yaitu Dakar Score. Dakar score menggunakan variabel
masa inkubasi, periode onset, jalan masuk kuman, adanya spasme,
suhu badan, dan takikardia sebagai faktor-faktor risiko yang dapat
berpengaruh pada kematian penderita tetanus.13

Gambar 6. Dakar Score


Interpretasi:

31
0-1 : severitas ringan, mortalitas 10%
2-3 : severitas sedang, mortalitas 10-20%
4 : severitas berat, mortalitas 20-40%
5-6 : severitas sangat berat, mortalitas > 50%
Maksud dari masa inkubasi adalah waktu saat terjadi infeksi
sampai terjadi gejala awal (trismus). Tentunya semakin pendek masa
inkubasinya, semakin buruk prognosisnya. Periode onset adalah waktu
saat gejala awal (trismus) sampai terjadinya kejang umum.
Selanjutnya yaitu Ablett skor. Kriteria Ablett banyak dipakai oleh
klinisi yang ingin menilai prognosis penyakit dari pasiennya karena
variabel yang digunakan adalah gejala dan tanda klinis tanpa data
demografik, seperti trismus, frekuensi napas, dll.

Gambar 7. Ablett Score

Sistem skoring philips skoring ini memasukkan kriteria periode


inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi neurologis dan
kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien.
Phillips score, severitas berat.

Tabel 3. Philips score

Faktor Nilai
Kurang dari 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa Inkubasi 6-10 hari 3
11-14 2

32
Lebih dari 14 hari 1
Internal/umbilikal 5
Leher, kepala, body wall 4
Lokasi Infeksi Ekstremitas proksimal 3
Ekstremitas distal 2
Tidak diketahui 1
Tidak ada 10
Mungkin ada 8
Imunisasi Lebih 10 tahun yang lalu 4
Kurang 10 tahun 2
Proteksi lengkap 0
Penyakit atau trauma yang 10
membahayakan jiwa
Faktor yang Keadaan yang tidak langsung 8
memperberat membahayakan jiwa
Keadaan yang tidak 4
membahayakan jiwa
Trauma atau penyakit ringan 2
ASA. ** derajat 1
** Sistem penilaian untuk menentukan risiko penyulit (American Society
of Anesthesiologist)

Sebagaimana Phillips score, TSS menyertakan derajat keparahan


penyakit menurut ASA 1963. Selain itu suhu dan jalan masuk kuman
juga masuk ke variabel scoring sistem tersebut. Adanya riwayat sesak
napas saat masuk RS mungkin sangat berpengaruh karena rata-rata
penderita tetanus yang meninggal karena komplikasi sistem
pernapasan.

33
Gambar 8. Tetanus Severity Score
Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas
pengobatan yang tersedia. Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari
60% dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas yang baik, angka
mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya sedikit penelitian jangka
panjang pada pasien yang berhasil selamat. Pemulihan tetanus
cenderung lambat namun sering sembuh sempurna, beberapa pasien
mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang menetap dan
gangguan keseimbangan, berbicara, dan memori. Dukungan psikologis
sebaiknya tidak dilupakan.

34
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Dasar Diagnosis


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Kriteria diagnosis pada pasien ini adalah kekakuan otot seluruh tubuh
yang jelas dan sulit menelan, pemeriksaan fisik didapatkan trismus,
opistotonus dan kekakuan leher serta tidak ada tanda defisit neurologis.
Hal ini menunjukkan gejala tetanus general, dimana toksin menyebar ke
susunan saraf pusat melalui transport retrograde sepanjang jalur aksonal.
Kemudian toksin berikatan dengan reseptor presinaps di dalam otot
menuju cornu anterior medulla spinalis. Toksin menghambat pelepasan
neurotransmitter inhibisi pada saraf motorik dan otonom.

4.2 Tatalaksana

Terapi yang diberikan berupa farmakologi dan non farmakologi.


Terapi farmakologinya, yaitu:

 Inj. Omeprazole 1x1 amp: merupakan obat golongan PPI yang berperan
dalam menurunkan produksi asam lambung di sel parietal lambung.
 PPC 1X3jt IU IM skin: merupakan antibiotik golongan penisilin yang
bekerja dengan cara menghambat sintesis peptidoglikan dan mengganggu
tekanan osmotik dari dinding sel, sehingga terjadi lisis dinding sel bakteri.
 Drip diazepam 50 mg/500 cc RL: obat golongan benzodiazepine bekerja
dengan cara menghambat reseptor antagonis endogen GABAA dan
menghilangkan efek toksin tetanus serta dapat mencegah atau mengontrol
kejang.
 Drip MgSO₄ 20ml/500cc D5: menhgambat presinaps neuromuscular,
pelepasan katekolamin dari saraf dan medulla adrenal serta mengurangi
respon reseptor terhadap katekolamin. Obat ini dapat digunakan untuk
mengontrol spasme dan fungsi otonom.

35
 IM Tetagam : merupakan tetanus immune globulin (TIG) sebagai antibody
spesifik terhadap toksin yang diproduksi oleh bakteri C. tetani.
 IV Metronidazole : obat antibiotik lini kedua untuk membunuh C.tetani
yang efektif untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas.
 IV Antrain : merupakan antipiretik dan analgetik.

Terapi non farmakologi diet susu dan bubur halus untuk memudahkan pasien
dalam menelan makanan sehingga asupan nutrisi pasien terjaga.

36
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoksin
tetanospasmin yang dihasilkan bakteri Clostridium tetani, ditandai dengan
peningkatan kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka. Tetanus
dapat berkaitan dengan usia, trauma, infeksi, tindik telinga, dan
pembedahan. Masa inkubasi dapat berlangsung dari satu hingga 60 hari.
Tetapi, rata-rata 7 hingga 10 hari. C. tetani menyebar kedalam sel saraf
tepi, kemudian ke kornu anterior medulla spinalis, akhirnya menyebar ke
SSP. Penyebaran toksin menyebabkan gangguan terhadap inhibisi
presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu
GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme.
Gejala klinis yang ditemukan adalah trismus, rhisus sardonicus,
opistotonus, kejang wajah, lidah dan tenggorokan, dengan disartria,
disfonia, dan disfagia, jika mengenai SSP bisa terjadi kejang. Penegakan
diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Terapi tetanus
dapat berupa non farmakologi dan farmakologi. Terapi non
farmakologinya, seperti memperbaiki keadaan umum pasien,
membersihkan luka, dan isolasi. Sedangkan terapi farmakologinya, yaitu
antibiotik penisilin atau tetrasiklin, pemberian ATS, antikonvulsan jika
terjadi kejang. Untuk mencegah terjadinya tetanus bisa dilakukan
imunisasi. Prognosis tetanus berdasarkan klasifikasi menurut cole dan
spooner, dakar score, Ablett skor, severity score dan Philips skor.

37
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2015
2. WHO. Tetanus. Diakses pada 20 Juni 2022.
http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/
surveill ance_type/passive/tetanus/en/
3. Ismanoe G. in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata K, Setiati S, Interna Publishing,
Jakarta, 2009, vol. 1, p.1799-1807.
4. Ritarwan K. Tetanus. Diunduh dari ©2004 Digitized by USU digital
library 10. 2004. Diakses tanggal 20 Juni 2022.
5. Sudoyo BS & Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (2 ed., Vol. III).
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam. 2006.
6. Sjamsuhidajat R, De Jong W, Editors. Buku Ajar Ilmu Bedah
Sjamsuhidajat-De Jong. Sistem Organ dan Tindak Bedahnya (1). 4th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2017
7. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4
8. Todar K. The Microbiological World: Tetanus. 2007.
http://textbookofbacteriology.net/themicrobialworld/Tetanus.html.
Diakses 20 Juni 2022.
9. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, editors. Oh’s intensive care
manual. 6th ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009. p.
593- 597.
10. Hassel B. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of
Using Botulinum Toxin Against Tetanus-induced Rigidity and Spasms.
Toxins. 2013; 5(1): 73–83. https://doi.org/10.3390/toxins5010073.

38
11. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatric,
17th Edition, Elsevier Science, Philadelphia, 633. 2004
12. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurol India.2002;50:398-
407.
13. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during
humanitarian emergencies. WHO Tech Note. [Internet]. 2010 [cited 2011
June 20]. Available
at:http://www.whqlibdoc.who.int/hq/2010/WHO_HSE_GAR_DCE_201
0.2_eng.pdf

39

Anda mungkin juga menyukai