Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

TUBERKULOSIS ANAK

Disusun Oleh :
Tiar Ramadhan

Pembimbing :
dr. Widyastuti

PROGRAM INTERNSIP
PUSKESMAS UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA
PERIODE MEI – NOVEMBER

2023
LAPORAN KASUS

No. Rekam Medis : 033609**

IDENTITAS PASIEN

1. Nama Pasien : An. A


2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Umur/Tgl lahir : 7 Tahun/26-12-2015
4. Agama : Islam
5. Tanggal berobat : 25-09-2023

ANAMNESIS

1. Keluhan Utama
Batuk
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Puskesmas Umbulharjo 1 diantar ibunya dengan keluhan
utama batuk. Keluhan batuk dirasakan sejak lebih dari 2 minggu yang lalu.
Keluhan dirasakan berdahak, tanpa darah, terjadi terus menerus tanpa
disertai sesak. Ibu pasien mengatakan bahwa di keluarga pasien tidak ada
yang mengalami keluhan serupa. Ibu pasien mengatakan berat badan
anaknya susah naik sejak umur 6 tahun. Selain itu pasien juga tampak lemas
dan nafsu makan menurun. Riwayat asma disangkal. Riwayat pengobatan
TB disangkal. Sebelumnya pasien sempat berobat ke puskesmas pada
tanggal 22 September 2023 dengan keluhan batuk lama, sehingga dilakukan
pemeriksaan penunjang tes mantoux. Saat ini, pasien datang untuk
membacakan hasil tes mantoux yang sudah dilakukan 3 hari yang lalu.
Pasien makan 3 kali sehari, sering mengonsumsi ikan, ayam, dan telur.
Pasien tidak menyukai sayur-sayuran dan hanya menyukai beberapa jenis
buah. Ibu pasien mengatakan berat badan anaknya susah naik. Riwayat
imunisasi dasar pasien lengkap. Riwayat tumbuh kembang sesuai dengan
umurnya. Ibu pasien mengatakan anaknya alergi susu sapi. Riwayat alergi
obat disangkal.
Ibu pasien mengatakan untuk lingkungan rumah mereka tinggal ditempat
yang padat penduduk yang dimana lokasi rumah saling berdempetan dengan
tetangga. Selain itu ibu pasien juga mengatakan jarang membuka jendela di
rumahnya sehingga sirkulasi di rumah kurang baik. Pencahayaan dirumah
baik, anggota keluarga dapat melihat dan membaca dengan pencahayaan
yang ada dirumah.
3. Anamnesis Sistem
- Sistem neurologi : Nyeri kepala (-), demam (-)
- Sistem respirasi : Sesak napas (-), batuk (+)
- Sistem kardiovaskular : Berdebar (-), nyeri dada (-)
- Sistem gastrointestinal : Muntah (-)
- Sistem urogenital : warna kuning, nyeri (-)
- Sistem muskuloskeletal : Nyeri sendi (-), nyeri otot (-)
- Sistem integumentum : Kemerahan (-), gatal (-)
PEMERIKSAAN FISIK
- Keadaan Umum : Sedang
- GCS : E4-V5-M6 (Compos Mentis)
- Berat badan : 19 kg
- Tinggi badan : 125 cm
- BMI : 12.2 kg/m2 (underweight)
- Tanda Vital :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 100 x/menit
Suhu : 36,4 °C
Respirasi : 22 x/menit.
- Kepala Leher : Anemis (-), Ikterik (-), Sianosis (-), Dispneu (-).
- Thoraks :
Cardio :
1. Inspeksi : normochest, ictus cordis tidak terlihat
2. Palpasi : ictus cordis tidak teraba
3. Perkusi
- Batas kanan : Linea Parasternal dextra sela iga III
- Batas kiri : Linea Midklavikularis sinistra sela iga V
- Batas pinggang : Linea Parasternalis sinistra sela iga III
- Batas atas : Linea Parasternalis sinistra sela iga II
4. Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur gallop (-)
Pulmo :
1. Inspeksi : pengembangan dada simetris, retraksi dinding dada (-)
2. Palpasi : fremitus dalam batas normal, pengembangan dada simetris
3. Perkusi : sonor di kedua lapang paru
4. Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Abdomen :
1. Inspeksi : simetris (+), distensi (-), sikatrik (-), rash (-).
2. Auskultasi : bising usus (+) normal.
3. Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut.
4. Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.

- Ekstremitas : Akral hangat + +


+ +

Oedem - -
- -

Interpretasi Pemeriksaan Fisik : BB kurang, pemeriksaan fisik dalam batas normal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil test Mantoux (25/9/2023)
 Positif (indurasi >10 mm)
Darah Rutin (25/9/2023)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 12,8 g/dL L: 14-18
P: 12-16
Leukosit 9.800 /mm3 5.000-10.000
Neutrofil 50 % 5-55
Limfosit 36 % 45-94
Mxd 14 % 1-20
Trombosit 392.000 /mm3 150.000-450.000
Hematokrit 37 % P: 37-45
L: 36-48
Eritrosit 4,7 Juta/mm3 P: 4,0-5,0
L: 4,5-5,5
GDS 75 <140

DIAGNOSIS
1. Tuberkulosis fase aktif dengan status gizi kurang
PLANNING
1. Planning terapi
a. Non-farmakologi
- Diet tinggi kalori tinggi protein
- Kontrol tiap bulan sebelum obat habis
b. Farmakologi
• OAT Kategori Anak 1 dd IV tab no. CXII
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan
Sampai saat ini tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah
kesehatan yang penting di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia
termasuk dalam 5 negara dengan jumlah kasus TB terbanyak di dunia.
Tuberkulosis pada anak merupakan komponen penting dalam pengendalian
TB oleh karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40 – 50%
dari jumlah seluruh populasi dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia
menderita TB tiap tahun. Di Indonesia proporsi kasus TB anak di antara
semua kasus TB yang ternotifikasi dalam program TB hanya 9% dari yang
diperkirakan 10 – 15%, dan pada tingkat kabupaten/kota menunjukkan
variasi proporsi yang cukup lebar yaitu antara 1,2 – 17,3% di tahun 2015.
Strategi nasional 2015 – 2019 terdapat 6 indikator utama dan 10 indikator
operasional program pengendalian TB, 2 diantaranya adalah cakupan
penemuan kasus TB anak sebesar 80% dan cakupan anak <5 tahun yang
mendapat pengobatan PP INH sebesar 50% pada tahun 2019.1

Salah satu permasalahan TB anak di Indonesia adalah penegakan


diagnosis. Sejak tahun 2005 sistem skoring TB anak disosialisasikan dan
direkomendasikan sebagai pendekatan diagnosis. Permasalahannya, tidak
semya fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di Indonesia mempunyai
fasilitas uji tuberkulin dan pemeriksaan foto thoraks yang merupakan 2
parameter yang ada di sistem skoring. Akibatnya, di fasyankes dengan akses
dan fasilitas terbatas banyak dijumpai underdiagnosis TB anak.1

Permasalahan lain dalam program penanggulangan TB anak adalah


semakin meningkatnya jumlah kasus TB resistan obat (TB RO) pada
dewasa, yang merupakan sumber penularan bagi anak. Jumlah pasti kasus
TB RO pada anak di Indonesia saat ini belum diketahui, tetapi semakin
meningkat.2
B. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai
hampir semua organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru, sebagai lokasi
infeksi primer yang paling sering ditemui.1
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang sudah sangat lama
dikenal, setua peradaban manusia. Pada awal penemuan obat anti-
tuberkulosis (OAT), timbul harapan penyakit ini akan dapat ditanggulangi.
Namun dengan perjalanan waktu, terbukti penyakit ini tetap menjadi masalah
kesehatan yang sangat serius, baik dari aspek gangguan tumbuh-kembang,
morbiditas, mortalitas, dan kecacatan. Dengan meluasnya kasus HIV-AIDS,
TB mengalami peningkatan bermakna secara global. Laporan World Health
Organization tahun 2009 menunjukkan Indonesia menduduki peringkat
kelima dari jumlah total pasien TB dunia, setelah India, Cina, Nigeria dan
Afrika Selatan. Namun, dari proporsi jumlah pasien dibanding jumlah
penduduk, Indonesia menduduki peringkat pertama. Tuberkulosis anak yang
tidak mendapat pengobatan yang tepat akan menjadi sumber infeksi TB
pada saat dewasa nanti.2
Perlu ditekankan sejak awal, ada perbedaan antara infeksi TB
dengan sakit TB. Infeksi TB dapat diketahui dengan berbagai perangkat
diagnostik infeksi TB, misalnya uji tuberkulin. Namun, seorang anak atau
dewasa yang positif terinfeksi TB, ditandai dengan uji tuberkulin positif,
belum tentu menderita sakit TB. Pasien sakit TB perlu mendapat terapi OAT,
namun seseorang yang mengalami infeksi TB tanpa sakit TB, belum tentu
perlu terapi OAT, kecuali pada kelompok risiko tinggi yang memerlukan
profilaksis.2

C. Epidemiologi
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
menyerang organ tubuh lainnya. TB pada anak terjadi pada anak usia 0 – 14
tahun. Di negara – negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15
tahun adalah 40 – 50% dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat
sekitar 500.000 anak di duia menderita TB setiap tahun.1
Proporsi kasus TB anak diantara semua kasus TB di Indonesia pada
tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011; 8,2%
pada tahun 2012; 7,9% pada tahun 2013; 7,16% pada taun 2014; dan 9% di
tahun 2015. Proporsi tersebut bervariasi antar privinsi, dari 1,2% sampai
17,3%. Variasi proporsi ini mungkin menunjukkan endemisitas yang berbed
antara provinsi, tetapi bisa juga karena perbedaan kualitas diagnosis TB ank
pada level provinsi.3
Faktor risiko penularan TB pada anak sama halnya dengan TB pada
umumnya, tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan, dan daya tahan
tubuh. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negative. Pasien TB
dengan BTA negative masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB.
Tingkat penularan TB dengan BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA
negative dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB
dengan hasil kultur negative dan foto thoraks positif adalah 17%.3

D. Patogenesis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Kuman TB dalam percik nerik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil
(<5µm) akan terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus,
kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis
nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologi spesifik. Akan tetapi,
pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Akan
tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus
berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang
dinamakan focus primer Ghon.1
Dari focus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya
inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar life (linfadenitis) yang
terkena. Jika focus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang terlibat dalah kelenjr limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika focus
primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Gabungan anatar focus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex)1
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses
infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu,
biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut,
kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 10 3-104, yaitu jumlah yang
cukup untuk merangsang respon imunitas seluler.2
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberculin positif. Selama masa inkubasi, uji
tuberculin masih negative. Pasa sebagian besar individudengan system imun
yang berfungsi baik, pada saat system imun seluler berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup
dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler
spesifik (cellular mediated immunity, CMI)2
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru
biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis
atau klasifikasi setelah terjadi nekrosis perkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesepurna fokus primer di jaringan paru –
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun – tahun
dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.3
Komplek primer dapat juga mengalami komplikasi akibat focus di paru
atau di kelenjar limfe regional. Focus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jarinagn paru – paru (kavitas).1
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal
pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,
sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat
tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui
mekanisme ventil (ball-value mechanism). Obstruksi total dapat
menyebabkan atelectasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkejuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobrokial atau membentuk fistula. Massa keju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gabungan pneumonitis dan atelectasis, yang sering disebut lesi segmental
klaps-konsolidasi.3
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer,
atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi
penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menybabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.4
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam
bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread).
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisai baik, paling sering di apeks paru, limfa, dan kelenjar
limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak,
hati, tulang, ginjal, dan lain – lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut
tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses
patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan focus Simon, yang di
kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TBapeks paru saat
dewasa.1
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberculosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberculosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun penjamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita)
terutama dibawah dua tahun.1
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus
perkejuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh,
sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam
darah. Secara klines, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat
dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.1
E. Gejala TB pada anak
Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau
sesuai organ yang tekait. Gejala umum TB pada anak yang paling sering
dijumpai adalah batuk persisten, berat badan turun atau gagal tumbuh,
demam lama serta lesu dan tidak aktif. Gejala – gejala tersebut sering
dianggap tidak khas karena juga ditemukan pada penyakit lain. Namun
demikian, sebenarnya gejala TB bersifat khas, yaitu menetap (lebih dari 2
minggu) walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat (misalnya antibiotika
atau anti malaria untuk demam, antibiotika atau obat asma untuk batuk lama,
dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk masalah berat badan).1
1. Gejala sistemik/umum1
a. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya
atau terjadi gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah
diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam 1-2 bulan.
b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab
yang jelas (bukan demam tifoid, ISK, malaria, dll). Demam
umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan
gejala – gejala sistemik/umum lainnya.
c. Batuk lama ≥2 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak
perna reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan
sebab lain batuk telah dapat disingkirkan. Batuk tidak
membaik setelah pemberian antibiotika atau obat asma
(sesuai indikasi).
d. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
2. Gejala spesifik organ terkait1
Pada TB ekstra paru dapat dijumpai gejala dan tanda klinis
yang khas pada organ yang terkena.
a. Tuberculosis kelenjar
1) Biasanya di daerah leher (region colli)
2) Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidak nyeri,
konsistensi kenyal, multiple, dan kadang saling
melekat (konfluens).
3) Ukuran bsar (>2x2 cm), biasanya pembesaran KGB
terlihat jelas bukan hanya teraba.
4) Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika
5) Bisa terbentuk rongga dan discharge
b. Tuberculosis system saraf pusat1
1) Meningitis TB: Gejala – gejala meningitis dengan sering
kali disertai gejala akibat keterlibatan saraf – saraf otak
yang terkena.
2) Tuberkuloma otak: Gejala – gejala adanya lesi desak
ruang
c. Tuberculosis system skeletal1
1) Tulang belakang (spondolitis): Penonjolan tulang belakang
(gibbus).
2) Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan,
atau tanda peradangan di daerah panggul
3) Tulang lutut (gonitis): pincang dan/atau bengkak pada tulut
tanpa sebab yang jelas.
4) Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
d. Tuberculosis mata1
1) Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)
2) Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
e. Tuberculosis kulit (skrofuloderma)1
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar
tepi ulkus (skin bridge).
f. Tuberculosis organ – organ lainnya, misalnya peritonitis TB,
TB ginjal; dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada
organ – organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai
kecurigaan adannya infeksi TB.1

F. Pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk
menentukan diagnosis TB, baik pada anak maupun dewasa. Pemeriksaan
sputum pada anak terutama dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun,
HIV positif, dan gambaran kelainan paru luas.4
Namun demikian, karena kesulitan pengambilan sputum pada anak
dan sifat pausibasiler pada TB anak, pemeriksaan bakteriologi selama ini
tidak dilakukan secara rutin pada anak yang dicurigai sakit TB. Dengan
semakin meningkatnya kasus TB resisten obat dan TB HIV, saat ni
pemeriksaan bakteriologis pada anak merupakan pemeriksaan yang
seharusnya dilakukan, terutama di fasilitas pelayanna kesehatan yang
mempunyai fasilitas pengambilan sputum dan pemeriksaan bakteriologi.
Cara mendapatkan sputum pada anak:
1. Berdahak4
Pada anak >5 tahun biasanaya sudah dapat mengeluarkan
sputum/dahak secara langsung dengan berdahak
2. Bilas lambung4
Bilas lambung dengan NGT (nasogastric tube) dapat
dilakukan pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak.
Dianjurkan specimen dikumpulkan minimal 2 hari berturut – turut
pada pagi hari.
3. Induksi sputum4
Induksi sputum relative aman dan efektif untuk dikerjakan
pada anak semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi
lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode
ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan
peralatan yang memadai untuk melakukan metode ini.
Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan utuk membantu
menegkkan diagnosis TB pada anak:
1. Uji tuberculin1
Uji tuberkululin bermanfaat untuk membantu menegakkan
diagnosis TB pada anak, khususnya jika riwayat kontak dengan
pasien TB tidak jelas. Uji tuberculin tidak bisa membedakan antara
infeksi dan sakit TB. Hasil uji positif tuberculin menunjukkan adanya
infeksi dan tidak menunjukkan ada tidaknya sakit TB. Sebaliknya,
hasil negative uji tuberculin belum tentu menyingkirkan diagnosis TB.
2. Foto thoraks1
Foto thoraks merupakan pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis TB pada anak. Namun gambaran foto
thoraks pada TB tidak khas kecuali gambaran TB milier. Secara
umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai
berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/atau
tanpa infiltrate (visualisasinya selain dengan foto thoraks AP,
harus disertai foto thorak lateral).
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelectasis
f. Kavitas
g. Klsifikasi dengan infiltrate
h. Tuberkuloma
3. Pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi)1
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma
dengan nekrosis perkejuan di tengahnya dan dapat pula diemukan
gambaran sel datia langhans dana tau kuman TB.
Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau TCM) tetap merupakan
pemeriksaan utama untuk konfirmasi diagnosis TB pada anak. Berbagai upaya
dapat dilakukan untuk memperoleh specimen dahak, diantaranya induksi sputum.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan 2 kali, dan dinyatakan positif jika satu specimen
diperiksa memberikan hasil positif1

Catatan

1. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala


namun tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala
menetap, maka anak dirujuk untuk pemeriksaan lebih lengkap. Pada kondisi
tertentu dimana rujukan tidak memungkinkan, dapat dilakukan penilaian klinis
untuk menentukan diagnosis TB anak.
2. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun
kontak erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain, dan
sebagainya.
3. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan
klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab
lain, misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB
resisten obat maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien.
Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien di rujuk ke RS. Yang dimaksud
dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada
anak tersebut pada saat diagnosis.
G. Pemeriksaan fisik
Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas.
1. Antropometri: gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi badan
pada posisi di daerah bawah atau di bawah P3.
2. Suhu subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien.
Gejala klinis spesifik terkait organ dapat terjadi apabila mengenai
organ ekstrapulmonal, yaitu:
1. Tuberkulosis kelenjar, terbanyak pada regio colli, berupa pembesaran
kelenjar getah bening multipel, diameter > 1 cm, konsistensi kenyal, tidak
nyeri, kadang saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
a. Meningitis TB: terdapat gejala meningitis disertai gejala akibat
keterlibatan nervus kranialis yang terkena.
b. Tuberkuloma otak: gejala akibat lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
a. Spondilitis: berupa penonjolan tulang belakang (gibbus).
b. Koksitis: pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
daerah panggul.
c. Gonitis (pada tulang lutut): pincang dan/atau bengkak pada lutut
tanpa sebab yang jelas.
d. Pada tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilis).
4. Skrofuloderma, ditandai dengan ulkus disertai dengan jembatan kulit
antar tepi ulkus (skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
a. Konjungtivitis fliktenularis, yaitu bintik putih di limbus kornea yang
sangat nyeri..
b. Tuberkel koroid.
6. Pada organ lainnya, antara lain peritonitis TB dan TB ginjal, dicurigai
apabila ditemukan gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab
yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.1
H. Tata laksana
1. Obat yang digunakan pada TB anak
Anak umumnya memiliki jumlah kuman lebih sedikit (pausibasiler)
sehingga rekomendasi pemberian 4 macam obat OAT pada fase intensif
hanya diberikan pada anaak BTA positif, TB berat dan TB tipe dewasa.
Terapi TB pada anak dengan BTA negatif menggunakan paduan INH,
Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan pertama) diikuti
Rifampisin dan INH pada 4 bulan fase lanjutan.1

2. Kombinasi Dosis Tetap (KDT) atau Fixed Dose Combination (FDC)


Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan
keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket
KDT atau FDC. Satu pake dibuat untuk satu pasien untuk satu masa
pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu
Rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg, dan Pirazinamid (Z) 150 mg, serta
obat fase lanjutan yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu pake. Dosis
yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut1 :

3. Pemantauan dan hasil evaluasi TB anak


a. Pemantauan pengobatan pasien TB anak
Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setiap hasri
secara teratur oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Orang tua
merupakan PMO terbaik untuk anak. Pasien TB anak sebaiknya
dipantai setiap 2 minggu selama fase intensif, dan sekali sebulan
pada fase lanjutan. Pada setiap kunjungan dievaluasi respon
pengobatan, kepatuhan, toleransi, dan kemungkinan adanya efek
samping obat.1
Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis
membaik (demam menghilang dan batuk berkurang), nafsu
makan meningkat dan BB meningkat. Jika respon pengobatan
tidak membaik maka pengobatan TB dapat dilanjutkan dan pasien
dirujuk ke sarana yang lebih lengkap untuk menilai kemungkinan
resistensi obat, komplikasi, komorbiditas, atau adanya penyakit
paru lain. pada pasien TB anak dengan hasil BTA positif pada
awal pengobatan, pemantauan pengobatan dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan dahak ulang pada akhir bulan ke 2, 5,
dan 6.1
Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu
yang lama sehingga tidak perlu dilakukan foto thoraks untuk
pemantauan pengobatan, kecuali pada TB milier setelah
pengobatan satu bulan dan efusi pleura setelah pengobatan 2 4
minggu. Demikian pun pemeriksaan uji tuberkulin karena uji
tuberkulin yang positif akan tetap positif.1
Dosis OAT fisesuaikan dengan penambahan BB.
Pemberian OAT dihentikan setelah pengobatan lengkap, dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang
lain seperti foto thoraks (pada TB milier, TB dengan kavitas, efusi
pleura). Meskipun gambaran radiologis tidak munjukan perubahan
yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata,
maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan
selesai. Kepatuhan minum obat dicatat menggunakan kartu
pemantauan pengobatan.1
I. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur

Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab


kegagalan terapi dan meningkatkan risiko terjadinya TB RO.5
1. Jika anak tidak minum obat > 2 minggu di fase intensif atau lebih dari 2
bulan di fase lanjuta dan menunjukan gejala TB, ulangi pengobatan dari
awal.
2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di
fase lanjutan dan menunjukan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan
sampai selesai.

J. Pengobatan ulang TB pada anak


Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali
dengan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut menderita TB.
Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem
scoring. Evaluasi dengan sistem scoring harus lebih cermat dan dilakukan di
fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukan hasil posif,
maka anak diklasifikasikan sebagai kasus kambuh. Pada pasien TB anak
yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji
tuberkulin ulang.5
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan PenyehatanLingkungan.


Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2013.
2. UKK Respirologi PP IDAI. Pedoman NasionalTuberkulosis pada Anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2003.Rahajoe NN, Setyanto DB. Patogenesis
dan perjalanan alamiah. Dalam: Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB,
penyunting. Buku ajar respirologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2008. h. 169–177.
3. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diagnosis tuberkulosis pada anak. Dalam:
Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi
anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 194–213.
4. Jasin MR, Setyanto DB, Hadinegoro SR, Lisnawati, Gayatri P, Kurniati N.
Efficacy of sputum induction from lower respiratory tract in children.
Paediatr Indones. 2015;55:101-8.
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit, 2016

Anda mungkin juga menyukai