Myositis Autoimun
Oleh:
Melati Rahadianingsih
H1A321004
Pembimbing:
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan Laporan
Kasus dengan judul “Myositis Autoimun” sebagai suatu laporan kasus atas hasil
belajar yang berkaitan dengan kegiatan kepanitraan klinik di bagian/SMF
Penyakit Dalam RSUD Provinsi NTB. Rasa terima kasih secara khusus penulis
sampaikan kepada dr. atas bimbingan beliau dalam proses penyusunan,
presentasi dan diskusi hingga revisi laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada para perawat dan tenaga medis lainnya yang telah membantu
dalam proses perawatan dan pengobatan pasien. Penulis juga meminta maaf atas
kekurangan yang ada dalam laporan kasus ini. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca
untuk dapat menyusun laporan kasus yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Myositis autoimun adalah kelompok heterogen gangguan otot yang ditandai dengan
kelemahan otot, peningkatan enzim otot, pola miopati pada elektromiografi, infiltrat inflamasi
pada biopsi otot dan adanya autoantibodi tertentu. 1 Perkiraan prevalensi populasi myositis
autoimun berkisar antara 2,4 hingga 3,8 per 100.000 orang dengan insiden 1,16–19 kasus baru
per juta orang per tahun. Rasio insiden perempuan-ke-laki-laki secara keseluruhan adalah 3:1.
Di Amerika Serikat, rasio insiden Afrika-Amerika terhadap kulit putih 4:1. Di Eropa, prevalensi
meningkat secara signifikan dari utara ke selatan, dan ini mungkin karena alasan lingkungan atau
genetik.2
Berdasarkan fitur klinikopatologis yang unik, miopati inflamasi dapat diklasifikasikan
menjadi lima subtipe utama: dermatomiositis (DM), polimiositis (PM ), inklusi miositis tubuh
(IBM), myositis yang berkaitan dengan sindrom anisintetis (ASS), dan miopati nekrotikans yang
dimediasi imun (IMNM). Kehadiran autoantibodi dan infiltrasi inflamasi pada otot menunjukkan
bahwa myositis inflamasi idiopatik adalah kondisi autoimun, tetapi autoantigen target belum
diidentifikasi. Myositis autoimun adalah proses yang dimediasi kekebalan yang dipicu oleh
faktor lingkungan pada orang yang rentan secara genetik. Faktor risiko lingkungan yang paling
dikenal adalah obat-obatan, infeksi, sinar ultraviolet (UV), kekurangan vitamin D, dan merokok.
Sedangkan faktor genetik bersifat kompleks karena gen human leukocyte antigen (HLA) yang
terkait dengan myositis autoimun bervariasi pada populasi yang berbeda di seluruh dunia.2
Diagnosis myositis autoimun tetap menantang karena fitur klinis yang tumpang tindih
dan temuan biopsi yang heterogen. Selanjutnya, penyakit otot non-inflamasi lainnya, seperti
endokrinopati, miopati yang dimediasi toksin dan yang dimediasi obat, distrofi otot, miopati
mitokondria dan penyakit neuromuskular lainnya, dapat memiliki presentasi klinis yang serupa
dan kadang-kadang menunjukkan infiltrat inflamasi pada biopsi otot. Diagnosis yang benar dari
myositis autoimun membutuhkan sintesis yang cermat dari data klinis, serologis, pencitraan dan
histologis dan sangat penting dalam memandu terapi yang tepat. 3
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. BC
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 18 November 1986
Usia : 35 Tahun
Alamat : Terong Tawah, Lombok Barat
Agama : Islam
Suku : Sasak
Pekerjaan : Pegawai swasta
No. RM : 194790
MRS : 9 Juni 2021
Tanggal pemeriksaan 12 Juni 2021
B. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Lemas kedua kaki
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli interna RSUD Provinsi NTB dengan keluhan lemas
kedua kaki yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Pasien mengatakan keluhan
lemas ini dirasakan tiba-tiba yang diawali dengan kaku dan nyeri pada kedua
pahanya saat duduk bertumpu, lalu sekitar 2 minggu kemudian kakinya terasa
lemas. Keluhan lemas dirasakan pertama kali saat pasien kesulitan jongkok di
kamar mandi. Sejak saat itu, kakinya juga terasa berat untuk diangkat sehingga
pasien merasa kesulitan untuk berjalan. Setelah itu sekitar awal Mei, pasien juga
merasakan kelemahan pada kedua tangannya. Kelemahan pada tangan dirasakan
pada bagian bahu, sehingga pasien tidak bisa mengangkat kedua lengannya
namun dapat menekuk sikunya.
Pasien juga mengeluhkan bengkak pada kedua tangannya. Keluhan
bengkak dirasakan sejak kurang lebih 3 minggu SMRS. Bengkak pada tangan
dikatakan agak nyeri jika disentuh. Pasien juga mengeluhkan rambutnya banyak
yang rontok sejak 2 bulan yang lalu. Selain itu, pasien juga mengeluhkan berat
badannya agak turun, namun nafsu makannya masih baik. Keluhan demam,
merah-merah pada pipi, serta riwayat jatuh terduduk disangkal pasien.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa disangkal oleh pasien, tidak ditemukan riwayat
penyakit lain seperti hipertensi, diabetes melitus, asma, TBC, serta penyakit
keganasan.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa dikeluarga disangkal pasien. Riwayat DM, hipertensi, asma, TBC,
keganasan, serta riwayat kebotakan pada keluarga juga disangkal oleh pasien.
e. Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan maupun obat disangkal oleh pasien.
f. Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya pernah berobat ke rumah sakit swasta dan dikatakan
menderita autoimun.
g. Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pegawai swasta. Ayah pasien adalah seorang
perokok yang tinggal serumah dengan pasien, riwayat minum alkohol disangkal.
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
1. Keadaan umum : Sedang (tampak lemas)
2. Kesadaran : Compos mentis
3. GCS : E4V5M6
b. Tanda Vital:
1. Tekanan darah : 115/82 mmHg
2. Heart rate : 80 bpm
3. Respiration rate : 16 x / menit
4. Suhu : 36,5⁰C
5. SpO2 : 98%
c. Status Gizi:
1. Berat badan : 45
2. Tinggi badan : 150
3. IMT : 20 kg/m2 (Normal)
D. Pemeriksaan Fisik Umum
a. Kepala
Inspeksi : Normocephali, rambut normal, malar rash (-)
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), cepalhematome (-), hair pull
test (+)
b. Mata
Inspeksi : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), edema
palpebra (-/-), refleks pupil langsung (+/+), refleks pupil
tidak langsung (+/+), isokor 3mm/3mm, fotofobia (-/-).
Palpasi : Nyeri tekan (-/-), edema palpebra (-/-).
c. Telinga
Inspeksi : Bentuk normal, simetris, anatomi lengkap (+/+), deformitas
(-/-).
Palpasi : Nyeri tekan tragus (-/-), massa (-)
d. Hidung
Inspeksi : Bentuk normal, simetris, deviasi septum (-), rhinorrhea (-),
perdarahan (-), mukosa normal, hiperemis (-), napas cuping
hidung (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
e. Mulut
Inspeksi : Simetris, sianosis sentral (-), mukosa bibir lembab, lesi
f. Leher sudut bibir (-), stomatitis (-).
Inspeksi : Deviasi Trakea (-), Massa (-), pelebaran vena jugularis (-),
pengunaan otot bantu pernapasan (-), hipertrofi otot SCM (-
)
Palpasi : Trakea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening (-),
pembesaran tiroid (-), kaku kuduk (-).
g. Thoraks
Inspeksi
1. Bentuk dan ukuran dada : Simetris.
2. Pergerakan dinding dada: Simetris
3. Permukaan dinding dada : scar (-), massa (-), spider naevi (-),
ginekomasti (-)
4. Penggunaan otot bantu napas : otot SCM (-), hipertrofi SCM (-), otot
bantu napas abdomen aktif (-)
5. Tulang iga dan sela iga : Simetris, tidak ada penyempitan dan
pelebaran sela iga
6. Fossa supraclavicula dan infraclavicula : cekung, simetris.
7. Fossa jugularis : Trakea di tengah
8. Frekuensi napas : 20x/menit, regular.
9. Tiper pernapasan : thorakoabdominal
Palpasi:
1. Permukaan anterior dinding dada : nyeri tekan (-), massa (-),deformitas (-)
krepitasi (-), getaran (-), Thrill(-)
2. Pergerakan dinding dada: Simetris
3. Posisi mediastinum: Deviasi trakea(-), Ictus cordis teraba ICS V MCLS
4. Fremitus focal depan dan belakang dalam batas normal
5. Pergerakan nafas pada bagian depan dan belakang dalam batas normal
Perkusi:
1. Perkusi orientasi
Depan
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Belakang
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskultasi:
1. Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
2. Pulmo:
Suara Napas (Depan dan Belakang)
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Rhonki
- -
- -
- -
Wheezing
- -
- -
- -
h. Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), asites (-), massa (-), jejas (+), striae (-),
pelebaran vena (-), darm countour (-), darm steifung (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 12x/menit, metallic sound (-)
Perkusi :
Timpani Timpani
Timpani Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-) abdomen, massa (-), hepatosplenomegali (-),
defans muscular (-), turgor kulit normal, nyeri ketok CVA (-)
i. Ekstremitas
Atas : Akral hangat (+/+), ikterik (-/-), edema (-/-), deformitas(-/-),
sianosis (-/-), CRT <2 detik, clubbing finger (-/-),koilonikia (-/-), reflex
fisiologis bicep (+1/+1), reflex fisiologis tricep (+1/+1), kekuatan motorik
2/2, bengkak (+/+)
Bawah : Akral hangat (+/+), Ikterik (-/-), edema (-/-), deformitas (-/-
), sianosis (-/-), CRT <2 detik, koilonikia (-/-) , reflex fisiologis patella
(+1/+1), kekuatan motorik 2/2, reflex fisiologis tendon achilles (+1/+1),
bengkak (-/-)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 1. Hasil darah lengkap
HEMATOLOGI
Hematokrit 39 45 36-48 %
Fungsi Ginjal
Ureum 30 26 10 – 50 mg/dL
Fungsi Hepar
Diabetes
Elektrolit
Na 141 138 135 – 146 mmol/L
IMUNO-SEROLOGI
HEPATITIS
RHEUMATOID
ANA TEST
URINALISA
SEDIMEN URINE
LUMBAL PUNGSI
G. RESUME
Anamnesis
Wanita, 35 tahun datang ke poli interna RSUD Provinsi NTB dengan keluhan
lemas kedua kaki yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Pasien mengatakan keluhan
lemas ini dirasakan tiba-tiba yang diawali dengan kaku dan nyeri pada kedua pahanya
saat duduk bertumpu, lalu sekitar 2 minggu kemudian kakinya terasa lemas. Keluhan
lemas dirasakan pertama kali saat pasien kesulitan jongkok di kamar mandi. Sejak saat
itu, kakinya juga terasa berat untuk diangkat sehingga pasien merasa kesulitan untuk
berjalan. Setelah itu sekitar awal Mei, pasien juga merasakan kelemahan pada kedua
tangannya. Kelemahan pada tangan dirasakan pada bagian bahu, sehingga pasien tidak
bisa mengangkat kedua lengannya namun dapat menekuk sikunya.
Pasien juga mengeluhkan bengkak pada kedua tangannya. Keluhan bengkak
dirasakan sejak kurang lebih 3 minggu SMRS. Bengkak pada tangan dikatakan agak
nyeri jika disentuh. Pasien juga mengeluhkan rambutnya banyak yang rontok sejak 2
bulan yang lalu. Selain itu, pasien juga mengeluhkan berat badannya agak turun.
Pemeriksaan Fisik
Hair pull test (+), tetraplegia tipe LMN, edema non pitting pada kedua ekstremitas
atas.
Laboratorium
Leukositosis, transaminitis, ANA IF >1:1000, dan defisiensi vitamin D
H. ASSESMENT
• Myositis autoimun
• GBS
• Defisiensi Vitamin D
I. PLANNING
a. Planning Diagnostik
1. CK enzyme
2. Lactate dehidrogenase
3. Elektromiografi
4. Biopsi otot
b. Planning Terapi
Terapi Farmakologi:
1. Inj. Metilprednisolone 125 mg /8jam
2. IVIG Gramaraas 4 vial
3. CaCO3 3x1 tab PO
4. Curcuma 3x1 tab PO
5. Vit D 5000 1x1 tab PO
Terapi Non Farmakologi:
1. IVFD Ringer lactate 20 tpm
2. Fisioterapi
c. Planning Monitoring
1. Keluhan
2. Evaluasi enzim transaminase
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.2 Etiologi
Miopati autoimun adalah proses yang dimediasi kekebalan yang dipicu oleh faktor
lingkungan pada orang yang rentan secara genetik. Faktor risiko lingkungan yang paling terkenal
adalah obat-obatan, infeksi, sinar ultraviolet (UV), kekurangan vitamin D, dan merokok.
Beberapa kasus miositis yang menyerupai polimiositis dan dermatomiositis (PM/DM) telah
dilaporkan setelah pengobatan dengan penicillamine, interferon (IFN)-alpha, dan inhibitor anti-
tumor necrosis factor (TNF). Selain faktor lingkungan, myositis autoimun juga dipengaruhi oleh
keterlibatan genetik. Terjadinya myositis pada kembar monozigot dan kerabat tingkat pertama
dari individu yang terkena menunjukkan peran faktor genetik dalam mengembangkan myositis
autoimun. Faktor genetiknya kompleks karena gen human leukocyte antigen (HLA) yang terkait
dengan myositis autoimun bervariasi pada populasi yang berbeda di seluruh dunia. Faktor risiko
terkuat yang diketahui adalah HLA DRB1 *0301 dan DQA1 *0501 terkait. 2
3.3 Patofisiologi
Berikut ini adalah mekanisme patogenetik yang diusulkan:3,4
Efek langsung dari infiltrat sel inflamasi, yang meliputi sel T CD4+ dan CD8+, Sel B,
makrofag, dan sel dendritic
Efek tidak langsung dari sitokin yang meliputi interleukin, faktor nekrosis tumor, dan
interferon
Keterlibatan mikrovaskular termasuk peningkatan penebalan sel endotel, baik kapiler maupun
venula, yang dicatat pada miositis. Hal ini bersama dengan peningkatan ekspresi molekul
adhesi, dapat meningkatkan infiltrasi sel inflamasi ke jaringan otot. Pengamatan klinis
serpihan kuku dan pengamatan histologis penurunan kapiler di jaringan otot mendukung
mekanisme patogen ini
Mekanisme humoral disarankan berdasarkan adanya autoantibodi dalam serum dan
komplemen dan imunoglobulin dalam spesimen biopsi otot
Gambar 1. a) Atrofi Quadrisep. b) Atrofi otot fleksor lengan bawah yang asimetris, dengan
kelemahan asimetris pada fleksor jari dalam (termasuk fleksor polisis longus) > fleksor jari
superfisial (pasien diminta untuk menekuk jari dan ibu jarinya)
3.6 Tatalaksana
Sayangnya, tidak ada bukti Kelas I yang mendukung penggunaan terapi tertentu untuk
pasien dengan miopati autoimun. Namun, sebagian besar ahli setuju bahwa penyakit ini
merespons sistem imun, terapi nosupresif dan kortikosteroid dosis tinggi harus menjadi
pengobatan lini pertama pada sebagian besar pasien. Terapi awal biasanya meliputi prednison
oral dengan dosis 1 mg/kg/hari; pada pasien yang terkena dampak parah, ini dapat didahului
dengan 3 hari metilprednisolon IV dengan dosis 1 g/hari. Seperti semua pasien pada terapi
steroid dosis tinggi kronis, pasien ini harus menerima profilaksis yang tepat untuk pneumonia
Pneumocystis jirovecii dan osteoporosis.5
Pada pasien yang hanya memiliki penyakit ringan, banyak dokter berpengalaman sering
menambahkan agen lain, seperti methotrexate, azathioprine, atau mycophenolate mofetil, pada
saat diagnosis. Pada mereka yang mengalami kelemahan yang sangat parah atau tidak
menanggapi kombinasi awal obat setelah 6 sampai 8 minggu, imunoglobulin IV (IVIg) atau agen
lain, seperti rituximab, dapat ditambahkan. 6,13
Meskipun ada sedikit bukti untuk menggunakan satu obat di atas yang lain, beberapa
rekomendasi khusus dapat diberikan. Mengingat methotrexate dapat menyebabkan toksisitas
paru-paru, azathioprine sering dianggap pertama pada pasien dengan penyakit paru interstisial.
Beberapa bukti dari serangkaian kasus menunjukkan bahwa IVIg mungkin efektif, bahkan
sebagai monoterapi, pada pasien dengan miopati reduktase anti-HMG-CoA terkait statin. Pasien
dengan anti-SRP refrakter mungkin responsif terhadap rituximab; memang, beberapa dokter
berpengalaman menggunakan obat ini pada saat diagnosis awal pada pasien dengan bentuk
miopati autoimun yang sangat parah ini.13
Rituximab, antibodi monoklonal anti-CD 20, efektif dalam mengobati miositis dan
penyakit paru interstisial terkait miositis. Rituximab lebih disukai daripada siklofosfamid oleh
banyak dokter karena toleransinya yang lebih baik dan profil efek sampingnya. Meskipun
beberapa pasien mungkin menanggapi agen anti-TNF, studi tentang etanercept dan infliximab
telah menunjukkan hasil yang bertentangan. Beberapa kasus melaporkan tocilizumab (antibodi
anti-IL-6), anakinra (antibodi satu anti-IL), alemtuzumab (anti-CD-52), tofacitinib, dan
ruxolitinib (JAK-inhibitors) sebagai agen yang efektif dalam mengobati myositis autoimun.
Namun, tidak ada studi konfirmasi, dan obat ini hanya digunakan pada kasus yang resisten. 3,5
Setelah kekuatan otot kembali normal atau stabil dalam konteks tingkat CK normal,
steroid biasanya diturunkan untuk mengurangi terjadinya komplikasi seperti osteoporosis,
penambahan berat badan, dan infeksi oportunistik. Untuk meminimalkan risiko kekambuhan
penyakit, dapa direkomendasikan jadwal tapering yang lambat, mengurangi dosis prednison
sebesar 10 mg/hari setiap 3 hingga 4 minggu hingga mencapai dosis 20 mg/hari. Pengurangan
lebih lanjut sebesar 5 mg/hari dapat dipertimbangkan setiap 4 minggu selama penyakit tidak
kambuh. Setelah pasien mencapai dosis 10 mg/hari, pengurangan dilakukan, sesuai toleransi,
dalam peningkatan 2,5 mg/hari setiap 4 minggu. 6,13
Pada pasien yang tidak memiliki bukti penyakit aktif selama 6 sampai 12 bulan setelah
steroid dihentikan, pertimbangan dapat diberikan untuk mengurangi obat lain yang mungkin
digunakan pasien. Seperti halnya steroid, ini harus dilakukan perlahan-lahan, seringkali selama
satu tahun, selama waktu itu pasien harus menjalani pemantauan yang cermat terhadap kekuatan
dan kadar CK. Pada tanda pertama kekambuhan penyakit, pengobatan yang lebih agresif harus
diberikan kembali. 6,13
Sebagai catatan, beberapa pasien yang dirawat pulih dengan kekuatan penuh meskipun
kadar CK tetap tinggi, menunjukkan bahwa beberapa aktivitas penyakit yang mendasarinya
masih ada. Ini mungkin benar terutama pada pasien dengan miopati reduktase anti-HMG-CoA.
Apakah terapi harus ditingkatkan dalam situasi ini belum ditetapkan. Pasien lain mengalami
kelemahan otot yang menetap bahkan setelah kadar enzim otot menjadi normal. Hal ini dapat
terjadi pada pasien dengan proses penyakit aktif di mana tidak ada nekrosis otot dan, oleh karena
itu, tidak ada pelepasan enzim otot ke dalam aliran darah (sering pada mereka yang menderita
dermatomiositis). Hal ini juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami penggantian lemak
jaringan otot karena proses miopati kronis atau sangat parah. MRI otot dapat memverifikasi
kerusakan otot permanen yang luas yang, dengan tidak adanya edema aktif, harus mencegah
eskalasi terapi imunosupresif yang sia-sia.4
Program latihan fisik yang disesuaikan dan rehabilitasi di bawah ahli fisioterapi atau
terapis fisik terbukti meningkatkan kekuatan otot dan mengurangi kecacatan bahkan pada pasien
dengan miopati inflamasi akut. Pengobatan suportif untuk PM/DM meliputi penghindaran sinar
matahari, penggunaan tabir surya pada DM, dan tindakan pencegahan aspirasi pada pasien
dengan miopati orofaringeal.5
3.7 Prognosis
Studi observasional menunjukkan bahwa 20 sampai 40% pasien dengan DM dan PM
akan mencapai remisi jangka panjang (kekuatan yang meningkat dan stabil, enzim otot serum
normal, dan tidak adanya keterlibatan sistem organ lain) dari terapi farmakologis. Untuk sisa
pasien, perjalanan penyakit akan menjadi kronis terus menerus atau polisiklik, dengan
kekambuhan setelah periode diam. Kekambuhan selama terapi tapering sering terjadi, tetapi
kekambuhan gejala juga dapat terjadi bertahun-tahun setelah penghentian terapi sehingga tindak
lanjut yang berkelanjutan adalah penting. Banyak pasien dengan perjalanan penyakit kronis terus
menerus dapat kembali dan mempertahankan kekuatan normal, tetapi memerlukan perawatan
berkelanjutan. Bahkan di antara pasien dengan kekuatan otot normal, persepsi kecacatan yang
berkelanjutan adalah umum dan pasien sering melaporkan penurunan kualitas hidup. Pasien
dengan IBM akan mengalami perkembangan kelemahan yang lambat tetapi terus-menerus
sepanjang perjalanan penyakit mereka, yang mengarah pada penggunaan tongkat rata-rata 10
tahun dan penggunaan kursi roda rata-rata 15 tahun setelah onset penyakit. Pasien dengan onset
penyakit setelah usia 55 sampai 60 tahun telah terbukti membutuhkan alat bantu berjalan setelah
periode waktu yang jauh lebih singkat daripada pasien yang lebih muda.6,14
Antibodi dapat memprediksi prognosis pasien dengan lebih baik daripada histologi
yang terlihat pada patologi otot, lebih lanjut menyoroti keterbatasan skema klasifikasi historis
miopati inflamasi. Sebagai contoh, 16 dari 100 pasien dengan miopati anti-SRP dalam satu
kohort memiliki biopsi otot inflamasi daripada miopati nekrotikans yang khas; perbedaan ini
pada biopsi tidak memprediksi hasil klinis. Antibodi anti-Jo-1 telah dikaitkan dengan penurunan
risiko remisi dari terapi farmakologis. Pasien dengan antibodi SRP atau HMGCR telah terbukti
memiliki tingkat respons lengkap yang rendah terhadap terapi. Dalam kohort Jepang pasien
dengan antibodi SRP atau HMGCR, kurang dari 20% pasien menjadi bebas dari gejala atau
kecacatan pada 2 tahun. Dalam kohort pasien dari Amerika Serikat, 48% pasien miopati anti-
SRP mencapai kekuatan penuh atau hampir penuh setelah 4 tahun pengobatan dan 44% dari 50
pasien miopati anti-HMGCR mencapai kekuatan penuh setelah 2 tahun pengobatan. Baik pasien
miopati anti-SRP dan anti-HMGCR dengan onset usia yang lebih muda telah terbukti secara
signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk kembali ke kekuatan penuh dibandingkan pasien
yang lebih tua. Sebaliknya, pasien miopati anti-HMGCR yang terpapar statin telah terbukti lebih
responsif terhadap pengobatan. Hingga 12% dari pasien miopati anti-SRP dan anti-HMGCR
yang dilaporkan dengan tindak lanjut longitudinal mencapai remisi dari imunosupresif
seluruhnya, membuat beberapa ahli merekomendasikan bahwa agen lini kedua tidak boleh
dikurangi atau dihentikan sampai pasien memiliki setidaknya 2 tahun penyakit terkontrol dengan
baik atau steroid minimal atau tanpa steroid.14,15
Meskipun kelangsungan hidup telah meningkat dari waktu ke waktu untuk pasien
myositis, penelitian telah memperkirakan risiko kematian dua sampai tiga kali lipat lebih tinggi
daripada populasi umum. Kanker, keterlibatan jantung, komplikasi paru-paru, dan infeksi
disebut-sebut sebagai penyebab kematian paling umum. Menariknya, meta-analisis 2014
termasuk 27 studi 3487 pasien gagal untuk mengidentifikasi perbedaan yang signifikan dalam
kematian antara autoantibodi apapun meskipun presentasi klinis mereka sering berbeda. Pasien
dengan IBM telah terbukti memiliki harapan hidup normal, tetapi komplikasi penyakit disfagia
yang menyebabkan aspirasi dan pneumonia dan kelemahan parah yang menyebabkan jatuh,
misalnya dapat menyebabkan kematian pada beberapa pasien.14,15
BAB IV
PEMBAHASAN
Myositis autoimun adalah suatu kelainan otot heterogen yang didapat, dengan gambaran
klinis berupa kelemahan otot bagian proksimal yang simetris, kadar serum enzyme otot yang
meningkat, dan peradangan non supuratif dari otot skeletal. 1 Myositis autoimun adalah penyakit
yang relatif jarang terjadi, dengan insiden berkisar 0,5-8,4 kasus per juta penduduk. Five years
survival rates telah diperkirakan lebih dari 80%. Penyebab kematian termasuk kelemahan otot
yang parah, keterlibatan paru, keterlibatan jantung, terkait keganasan, dan komplikasi terapi
imunosupresif, terutama infeksi.2
Diagnostik dari myositis harus dicurigai pada orang dewasa dengan mulainya subakut
atau onset mendadak dari kelemahan otot proksimal simetris. Semua myositis autoimun memiliki
manifestasi klinis berupa kelemahan otot proksimal dan simetris yang membahayakan, yang
secara perlahan-lahan meningkat dari minggu sampai beberapa bulan. Penderita kesulitan dalam
melakukan aktifitas yang simpel yang membutuhkan penggunaan otot- otot bagian proksimal
seperti mengangkat sesuatu, menyisir rambut, menaiki tangga. Diagnosis dari myositis didukung
oleh tanda laboratorium miopati seperti peningkatan CK serum atau lactate dehydrogenase
(LDH), perubahan miopati EMG atau biopsi otot dengan tanda miopati. Diagnosis pasti dapat
dibuat bila terdapat perubahan histopatologi pada biopsi otot. Perubahan ini meliputi infiltrat sel
inflamatori mononuklear, regenerasi dan degenerasi serat otot. Penerapan kriteria ini
mengasumsikan bahwa infeksi, toksik, metabolik, miopati endokrin atau dystrophic telah
dikeluarkan dengan evaluasi yang tepat.4
Pada kasus ini keluhan utama pasien adalah lemas kedua kaki yang dirasakan sejak 2
bulan yang lalu dirasakan pertama kali saat pasien kesulitan jongkok di kamar mandi. Keluhan
lemas ini dirasakan tiba-tiba yang diawali dengan kaku dan nyeri pada kedua pahanya saat duduk
bertumpu, lalu sekitar 2 minggu kemudian kakinya terasa lemas. Sejak saat itu, kakinya juga
terasa berat untuk diangkat sehingga pasien merasa kesulitan untuk berjalan. Setelah itu sekitar
awal Mei, pasien juga merasakan kelemahan pada kedua tangannya. Kelemahan pada tangan
dirasakan pada bagian bahu, sehingga pasien tidak bisa mengangkat kedua lengannya namun
dapat menekuk sikunya. Pasien juga mengeluhkan bengkak pada kedua tangannya. Keluhan
bengkak dirasakan sejak kurang lebih 3 minggu SMRS. Bengkak pada tangan dikatakan agak
nyeri jika disentuh. Pasien juga mengeluhkan rambutnya banyak yang rontok sejak 2 bulan yang
lalu. Pemeriksaan fisik didapatkan hair pull test (+), tetraplegia tipe LMN, edema non pitting
pada kedua ekstremitas atas. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis,
transaminitis, ANA IF >1:1000, dan defisiensi vitamin D.
Untuk membantu penegakan diagnosis myositis pada pasien harus dilakukan pemeriksaan
CK serum atau lactate dehydrogenase (LDH), EMG atau biopsi otot. Diagnosis pasti dapat
dibuat bila terdapat perubahan histopatologi pada biopsi otot. Creatine kinase,
laktatedehidrogenase (LD), aldolase, aspartate aminotransferase (AST), dan alanine
aminotransferase (ALT) merupakan enzim otot yang rutin diperiksa pada evaluasi myopati. Pada
myositis terdapat kerusakan myosit sehingga terjadi pelepaskan enzim-enzim spesifik intra
myosit ke dalam darah yang ditunjukkan dengan peningkatan enzim CK, LDH, serta
transaminase. Hampir semua pasien dengan myositis mengalami peningkatan setidaknya satu
enzim otot, sebagian besar dapat memiliki peningkatan semua enzim otot tersebut. Creatine
kinase tidak spesifik untuk myositis dan dapat terdapat pada kondisi lain. 10-20% pasien dapat
memiliki nilai CK dalam rentang normal.9
EMG adalah bagian dari prosedur diagnostik. Perubahan miopatik termasuk perubahan
potensi unit motor miopatik dengan atau tanpa discharge dan fibrilasi. Suatu EMG normal tidak
menyingkirkan diagnosis myositis. Sensitivitas terhadap perubahan EMG tidak jelas, sehingga
EMG tidak dianjurkan sebagai penilaian hasil pengobatan. 9,10
Biopsi otot penting untuk mengkonfirmasi perubahan inflamasi dan untuk membedakan
antara PM dan IBM, serta menyingkirkan miopati lainnya. Jarum biopsi otot menunjukkan
nekrosis dan regenerasi serat dalam hubungannya dengan infiltrat sel inflamasi dengan limfosit
di sekitar pembuluh darah dan di antara serat otot. Biopsi otot yang positif diperlukan untuk
diagnosis definitif dari myositis.9
Miopati autoimun adalah proses yang dimediasi kekebalan yang dipicu oleh faktor
lingkungan pada orang yang rentan secara genetik. Faktor risiko lingkungan yang paling terkenal
adalah obat-obatan, infeksi, sinar ultraviolet (UV), kekurangan vitamin D, dan merokok.2
Defisiensi vitamin D yang dialami oleh pasien dapat menjadi salah satu faktor yang mendukung
berkembangnya penyakit ini pada pasien.
Manifestasi klinis ekstramuskuloskeletal dapat menyertai dan harus juga ditanyakan pada
pasien-pasien yang dicurigai myositis.16
1. Gejala sistemik seperti demam, malaise, penurunan berat badan, arthralgia, dan fenomena
Raynaud, terutama ketika inflamasi miopati terkait dengan gangguan jaringan ikat. Pada
pasien ini terdapat malaise dan artralgia. Demam dan fenomena Raynaud tidak ditemukan
2. Disfagia, odinofagia, dan nasal regurgitation dapat terjadi karena keterlibatan otot lurik
orofaringeal dan kerongkongan bagian atas. Pada pasien ini tidak ditemukan keluhan
gastrointestinal.
3. Gangguan jantung, termasuk cacat konduksi atrioventrikular, takiaritmia, kardiomiopati
dilatasi, fraksi ejeksi yang rendah, dan gagal jantung kongestif, jarang dapat terjadi. Hal
ini terjadi baik dari penyakit itu sendiri atau dari hipertensi yang berhubungan dengan
penggunaan jangka panjang glukokortikoid. Pada pasien ini, baik anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta EKG semuanya dalam batas normal.
4. Disfungsi paru, karena kelemahan otot dada, penyakit paru interstisial, atau pneumonitis
yang diinduksi obat (misalnya, dari metotreksat), yang dapat menyebabkan dispnea,
batuk produktif, dan aspirasi pneumonia. Pada pasien ini tidak didapatkan keluhan
pernafasan serta pemeriksaan fisik paru dalam batas normal, namun observasi
kemungkinan perburukan respirasi tetap diperlukan secara ketat.
5. Artralgia, sinovitis, atau bentuk artropati dengan subluksasi pada sendi interfalangealis
dapat terjadi pada beberapa pasien dengan DM dan PM yang memiliki antibodi Jo-1.
Pasien ini terdapat artralgia saja yang tidak terlalu nyeri. Antibodi Jo-1 belum sempat
diperiksa pada pasien ini.
Rheumatoid factor pada pasien ini negatif sehingga kemungkinan adanya rheumatoid arthritis
diperkecil. Pasien myositis dapat memiliki RF positif namun terjadi hanya sekitar 5-10% pasien.
Pasien diperiksa penanda Anti Nuclear Antibody (ANA) untuk membuktikan penyebab autoimun
pada kondisi myositis pasien. ANA positif merupakan komponen esensial untuk kondisi
autoimun sistemik seperti systemic lupus erythematosus (SLE) dan juga dapat ditemukan pada
myositis. Sensitivitas ANA pada SLE dapat mencapai 93%, skleroderma 85%, dan pada myositis
61%.6 Dengan ANA positif pada pasien ini dikonfirmasi penyebabnya adalah mekanisme
autoimun, bukan karena myositis infeksi ataupun myositis yang diinduksi obat. Anti-dsDNA
pasien dalam batas normal. Anti- dsDNA relatif spesifik (97%) uuntuk SLE sehingga kondisi
SLE pada pasien dapat disingkirkan. Beberapa autoantibodi spesifik pada myositis saat ini telah
ditemukan dan dapat digunakan untuk mengkonfirmasi kondisi myositis. Pasien ini belum
dilakukan pemeriksaan autoantibodi spesifik myositis.
Kortikosteroid merupakan obat lini pertama untuk myositis autoimun. Terapi glukokortikoid
untuk pasien diawali dengan prednison dengan dosis 1 mg/kgBB per hari sampai enam minggu
pertama terapi, dengan penilaian yang berkelanjutan dari respon klinis. Dosis prednison 1
mg/kgBB per hari tidak boleh bertahan lebih enam minggu karena potensi terjadinya miopati
glukokortikoid. Setelah empat sampai enam minggu dengan dosis awal, tappering prednison
harus dimulai. Tidak ada standar tappering untuk myositis autoimun, tetapi tappering yang
dijelaskan di bawah ini sering digunakan.
Bila pada minggu ke-6 setelah steroid diberikan tidak menunjukkan perbaikan yang
diharapkan, maka dapat ditambahkan azatioprin dengan dosis 2-3 mg/kgBB, dimulai dengan
dosis 50 mg 1 kali sehari. Bila setelah 3 minggu tidak ada perbaikan dosis azatioprin dinaikkan
hingga 100 mg per hari dan dapat dinaikkan lagi hingga mencapai dosis maksimal 150 mg/hari.
Selama pemberian azatioprin harus hati-hati terhadap kemungkinan efek samping penekanan
sumsum tulang dan gangguan fungsi hati. 13
Metotreksat juga dapat diberikan pada myositis autoimun dengan dosis awal 7,5 mg/minggu
dan dapat dinaikkan sampai 15 mg/minggu bila setelah 4-6 minggu tidak didapatkan perbaikan
yang diharapkan. Siklofosfamid dan siklosporin A jarang diberikan pada myositis walaupun
mungkin dapat memberikan efek yang baik. Siklosforin A memberikan hasil yang baik pada
myositis dengan anti-Jo-1 positif dan polymyositis refrakter. Dosis siklosforin A untuk miositis
adalah 2,5-5 mg/kgBB/hari. 6
Terapi imunoglobulin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus yang resisten terhadap
dermatomyositis di RCT dan juga pada polymyositis dan sindrom tumpang tindih. Namun
karena terbatasnya ketersediaan dan mahal, terapi ini umumnya disediakan untuk pengobatan
kasus yang parah, khususnya mereka dengan kelemahan otot bulbar atau otot pernafasan yang
tidak respon dengan glukokortikoid.
Pada pasien denga disfagia berat yang menghalangi asupan gizi yang memadai, terapi
intravenous immunoglobulin (IVIG) dapat menyebabkan peningkatan dramatasi dalam menelan
dan dapat menghindari kebutuhan untuk gastrostomi perkutan. Terapi imunoglobulin juga
merupakan terapi pilihan pada pasien dengan myositis dengan imunodefisiensi.6,9
Rehabilitasi dan terapi fisik sangat penting dalam pengelolaan myositis. Latihan fisik
sekarang direkomendasikan sebagai terapi kombinasi dengan pengobatan imunosupresif
bersamaan. Menggabungkan latihan dengan terapi imunosupresif adalah aman dan memiliki efek
menguntungkan yang jelas pada fungsi otot. Variabel yang paling penting pada pasien dengan
myositis adalah fungsi fisik. Evaluasi kinerja otot harus melibatkan pengukuran kekuatan otot
dan daya tahan otot. Pada pasien direncanakan dilakukan fisioterapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bohan A, Peter JB. Polymyositis and dermatomyositis (first of two parts). N Engl J
Med. 2017 Feb 13;292(7):344-7.
2. Ghirardello A, Borella E, Beggio M, Franceschini F, Fredi M, Doria A. Myositis
autoantibodies and clinical phenotypes. Auto Immun Highlights. 2018 Dec;5(3):69-75.
3. Cox NH, Lawrence CM, Langtry JA, Ive FA. Dermatomyositis. Disease associations and
an evaluation of screening investigations for malignancy. Arch Dermatol. 2019
Jan;126(1):61-5.
4. Pipitone N, Salvarani C. Treatment of inflammatory myopathies. Expert Rev Clin
Immunol. 2018 Jul;14(7):607-621
5. Dalakas MC. Inflammatory muscle diseases. N Engl J Med. 2017;372:1734–1747.
6. McGrath ER, Doughty CT, Amato AA. Autoimmune Myopathies: Updates on Evaluation
and Treatment. Neurotherapeutics. 2018 Oct;15(4):976-994
7. Lundberg IE, Tjärnlund A, Bottai M, et al. 2017 European League Against
Rheumatism/American College of Rheumatology classi- fication criteria for adult and
juvenile idiopathic inflammatory myopathies and their major subgroups. Annals of the
rheumatic diseases. 2017;76:1955–1964.
8. Mammen AL. Autoimmune Myopathies. Continuum (Minneapolis, Minn). 2018;22:1852–
1870.
9. Suzuki S, Nishikawa A, Kuwana M, et al. Inflammatory myopa- thy with anti-signal
recognition particle antibodies: case series of 100 patients. Orphanet journal of rare
diseases. 2018;10:61.
10. Dimachkie MM, Barohn RJ, Amato A. Idiopathic Inflammatory Myopathies. Neurol Clin.
2018;32:595–628.
11. Mammen A. Autoimmune muscle disease. Handbook of clinical neurology.
2017;133:467–484.
12. Joffe MM, Love La, Ph D Leff RL. Drug Therapy of the Idiopathic Inflammatory
Myopathies : Predictors of Response to Prednisone , Azathioprine , and. The American
Journal of Medicine. 2017;94: 379–387.
13. Miller FW. New approaches to the assessment and treatment of the idiopathic
inflammatory myopathies. Annals of the rheumatic dis- eases. 2017;71:i82-i85.
14. Distad BJ, Amato AA, Weiss MD. Inflammatory myopathies. Curr Treat Options Neurol.
2019;13:119–130.
15. Ponyi A, Borgulya G, Constantin T, et al. Functional outcome and quality of life in adult
patients with idiopathic inflammatory myo- sitis. Rheumatology. 2018;44:83–88.
16. Limaye V, Hakendorf P, Woodman RJ, Blumbergs P, Roberts- Thomson P. Mortality and
its predominant causes in a large cohort of patients with biopsy-determined inflammatory
myositis. Intern Med J. 2017;42:191–198.
17. Johnson C, Pinal-Fernandez I, Parikh R, et al. Assessment of Mortality in Autoimmune
Myositis With and Without Associated Interstitial Lung Disease. Lung. 2018;194:733–
737.