Myelopati Kompresi ec
Metastase Spine
Oleh :
Dhila Thasliyah
H1A321051
PEMBIMBING :
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karenaatas berkat-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya. Laporan kasus dengan
judul “Myelopati kompresi ec metastase spine” disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan
Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Provinsi NTB.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yangsebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingandan dukungan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini belum sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk
perbaikan karya tulis ini. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan
pengetahuan, khususnya kepada penulis dan pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari.
Terima kasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Pasien datang dibawa oleh keluarganya ke IGD RSUD Provinsi NTB karena keluhan utama
kelemahan kedua kaki. Kelemahan kedua kaki dirasakan sejak 3 minggu SMRS. Kelemahan
kedua kaki bersifat progresif, memberat daripada saat awal muncul. Kelemahan kedua kaki
dirasakan semakin memberat hingga pasien tidak bisa berjalan saat 5 hari SMRS. Kelemahan
kedua kaki dirasakan pertama kali dimulai dari bagian telapak kaki menjalar hingga ke pinggang.
Awalnya pasien merasakan dingin dan kesemutan pada kaki sebelum akhirnya terjadi kelemahan
pada kedua kaki. Tidak ada yang memperberat maupun memperingan keluhan yang dialami
pasien. Keluhan penyerta lainnya, yaitu nyeri bagian punggung, sulit berkemih dan buang air
besar. Nyeri pada bagian punggung pasien muncul sebelum keluhan lemah kedua kaki
dirasakan. Nyeri dirasakan terlokalisir hanya bagian punggung dan tidak menjalar. Sulit
berkemih dan buang air besar dirasakan sejak 5 hari SMRS. Selama 5 hari tersebut, pasien
sama sekali tidak berkemih dan buang air besar. Pasien didiagnosis dengan Ca Paru
berdasarkan hasil biopsi pada tanggal 11 agustus 2022 yang lalu dan direncanakan untuk
menjalani kemoterapi. Namun pasien belum sempat menjalani kemoterapi tersebut akibat
keluhan kelemahan kedua kaki nya semakin memberat setelah biopsi dilaksanankan.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga mengatakan bahwa pasien sejak bulan mei lalu mengeluhkan batuk yang tidak
kunjung sembuh selama ±1 bulan sehingga dicurigai TB. Setelah dilakukan pemeriksaan
secara komprehensif pasien dinyatakan negatif TB dan ditegakkan diagnosis Ca Paru setelah
dilakukan biopsi tanggal 11 agustus 2022 yang lalu. Riwayat trauma, riwayat penyakit
seperti hipertensi, diabetes melitus, dan stroke juga disangkal oleh keluarga pasien.
Pasien merupakan seorang pedagang. Sebelum sakit, pasien beraktifitas seperti biasa. Pasien
tinggal satu rumah terdiri dari 5 orang anggota keluarga. Terdapat anggota keluarga dalam
satu rumah yang merokok. Ventilasi dan pencahayaan dirumah dirasa cukup.
Tekanan darah
110/80 mmHg
Frekuensi nadi
77x/menit
Frekuensi napas
26x/menit
Suhu
36,6o C
Saturasi
97%
o Kepala
o Bentuk : Normocephali
2. Pemeriksaan Psikiatri
a. Emosi dan Afek : Baik, afek selaras
b. Proses Berpikir : Baik
c. Kecerdasan : Baik
d. Penyerapan : Baik
e. Kemauan : Baik
f. Psikomotor : Baik
3. Pemeriksaan Neurologi
a. GCS : E4V5M6
b. Fungsi Luhur
o Reaksi Emosi : Baik
o Intelegensia : Baik
o Fungsi Bicara : Baik
o Fungsi Psikomotor : Baik
o Fungsi Psikosensorik : Baik
c. Tanda Rangsang Meningeal
o Kaku Kuduk : Tidak ada
o Kernig : Tidak ada
o Brudzinski I : Tidak ada
o Brudzinski II : Tidak ada
o Brudzinski III : Tidak ada
o Brudzinski IV : Tidak ada
d. Pemeriksaan Nervus Cranialis
o N. I (olfaktorius) : Normal
o N. II (optikus)
OD OS
Ketajaman Penglihatan >2/60 (Bedsite) >2/60 (Bedsite)
Lapang Pandang Normal Normal
Funduskopi Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi
o N. III, IV dan VI
• Celah Kelopak Mata
- Ptosis : Tidak ada
- Exophthalmus : Tidak ada
• Posisi Bola Mata : Normal
• Pupil
- Ukuran/Bentuk : 3mm/3mm bentuk bulat
- Isokor/Anisokor : Isokor
- Refleks Cahaya : RCL (+/+), RCTL (+/+)
• Gerakan Bola Mata
- Paresis : Tidak ada paresis
- Nistagmus : Tidak ada nistagmus
o N. V (Trigeminus)
• Sensibilitas
- N. V1 : Dalam batas normal
- N. V2 : Dalam batas normal
- N. V3 : Dalam batas normal
• Motorik
• Inspeksi/Palpasi (istrahat/menggigit) : Dalam batas normal
• Refleks Dagu/Masseter: Dalam batas normal
• Refleks Kornea : Dalam batas normal
o N. VII (Fasialis)
Motorik M. Frontalis M. Orbicularis Okuli M. Orbicularis Oris
Istirahat Normal pada Normal pada kedua Normal pada kedua
kedua sisi Sisi Sisi
Gerakan Simestris pada Simestris pada Simestris pada kedua
mimik kedua sisi kedua sisi Sisi
Pengecapan 2/3 lidah bagian depan: tidak dievaluasi
o N. VIII (Auditorius)
• Pendengaran : Tidak dievaluasi
• Tes Rinne/Weber : Tidak dievaluasi
• Fungsi Vestibularis : Tidak dievaluasi
o N. IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
• Posisi Arkus Faring : Di tengah
Refleks Menelan/Muntah : Tidak dievaluasi
• Pengecap 1/3 Lidah
Bagian Posterior : Tidak dievaluasi
• Suara : Serak
• Takikardia/Bradikardia : Tidak ada
o N. XI (Accecorius)
• Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan : Dalam batas normal
• Mengangkat Bahu : Dalam batas normal
o N. XII (Hypoglosus)
• Deviasi lidah : Tidak ada
• Fasikulasi : Tidak ada
• Atrofi : Tidak ada
• Tremor : Tidak ada
• Ataksia : Tidak ada
e. Motorik
Superior Inferior
Motorik
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Pergerakan Aktif Aktif Pasif Pasif
Kekuatan +5 +5 +1 +1
Tonus Otot Baik Baik Flaccid Flaccid
Bentuk Otot Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
• Otot yang Terganggu : Tidak ada
• Klonus
- Lutut : Tidak ada
- Kaki : Tidak ada
• Pergerakan abnormal spontan : Tidak ada
• Gait : Tidak dievaluasi
f. Sensorik
• Eksteroseptif
- Nyeri : Hipoalgesia setinggi T6 – T7 hingga S1
- Suhu : Tidak dievaluasi
- Raba Halus : Hipoestesia setinggi T6 – T7 hingga S1
• Proprioseptif
- Rasa Sikap : Dalam batas normal
- Nyeri Dalam : Dalam batas normal
• Fungsi Kortikal
- Diskriminasi : Tidak dievaluasi
- Stereognosis : Tidak dievaluasi
g. Reflek
Refleks Fisiologis : Normal
• Biceps :+2 / +2
• Triceps : +2 / +2
• Patella :+2 / +2
• Achilles : +2 / +2
Refleks Patologis
• Hoffman : -/-
• Trommer : -/-
• Babinsky : +/+
• Chadock : -/-
• Gordon : -/-
• Schaefer : -/-
• Oppenheim : -/-
• Gonda : -/-
h. Cerebellum
Gangguan Koordinasi
• Tes Jari Hidung : Normal
• Tes Pronasi-Supinasi : Normal
• Tes Tumit : Tidak dievaluasi
• Tes Pegang Jari : Tidak dievaluasi
Gangguan Keseimbangan
j. Fungsi Otonom
Miksi : Oliguria
Defekasi : Konstipasi
2.5 Diagnosis
a. Klinis : Pasien perempuan usia 63 tahun datang dibawa oleh keluarganya ke
IGD RSUD Provinsi NTB karena keluhan progressive chronic
paraparese. Terdapat nyeri punggung, sulit berkemih dan buang air
besar. Ditemukan hipoalegsia dan hipoestesia. Riwayat Ca Paru dan
biopsy 1 bulan yang lalu.
b. Topis : Medulla spinalis setinggi T6 – T7
c. Etiologis : Metastasis medula spinalis
d. Sekunder : Ca Paru
2.6 Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah Lengkap
Jenis Pemeriksaan
02/09/2022 Nilai Normal
(Hematologi & Hitung Jenis)
Hemoglobin (g/dL) 14.2 12.0-16.0
Hematokrit (%) 45 36-48
Eritrosit (juta/uL) 4.95 3.50-5.00
Leukosit (/uL) 9613 4.000-10.000
Trombosit (/uL) 254.100 150.000- 400.000
MCV (fL) 90.4 80-100
MCH (pg) 28.7 26-34
MCHC (g/dL) 31.7 32-36
Basofil (%) 1.0 0.0-1.0
Eosinofil (%) 1.3 1.0-26.0
Neutrofil (%) 73.4 50.0-70.0
Limfosit (%) 15.0 20.0-40.0
Monosit (%) 9.3 2.0 – 8.0
Fungsi Ginjal
Fungsi Hati
Elektrolit
2. Urin :-
3. Cairan Serebrospinal :-
4. Pemeriksaan Serologis : -
2.7 Pemeriksaan Radiologi dan Lain-Lain
a. Pemeriksaan MRI throcalumbal tanpa kontras media (06/09/2022)
Interpretasi : Lesi hipointens corpus vertebrae thoracal 6 dan VTh 12, dengan
kompresi corpus vertebrae Vth 6 mengarah bone metastasis yang tampak meluas ke
lamina dan prosesus transversus sinsitra Vth 6 serta meluas ke posterior dan
menyebabkan stenosis berat canalis spinalis dan indentasi aspek anterior thecal sac
setingi VTh 6.
Spondylosis lumbales dan tampak bulging disc level 4-5 yang tampak mild canal
stenosis dan tampak penekanan struktur radikuler dibelakangnya (bilateral).
2.8 Terapi
Farmakologis (3-09-2022)
2.9 Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
2.10 Anjuran
• Edukasi pasien dan keluarga mengenai tumor metastasis pada medulla spinalis,
faktor risiko, dan komplikasi selama perawatan.
• Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai prognosis, pola hidup dan pencegahan
rekurensi.
• Edukasi tentang perawatan di rumah.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi
Epidemiologi myelopati bervariasi di dunia dan berbeda-beda tergantung perbedaan
ras dan lingkungan tempat dilakukan penelitian. Mielopati kompresi sendiri merupakan salah
satu bentuk kerusakan sumsum tulang belakang yang sering terjadi pada orang dewasa yang
berakibat papda kecacatan dan penurunan kualitas hidup (Badhiwala et al, 2020). Insidensi
dan prevalensi dari mielopati kompresi pada tulang servikal diperkirakan pada rentang 4,1
hingga 60,5 penderita per 100.000 jiwa penduduk dan diperkirakan akan terus meningkat
seiring dengan peningkatan populasi lansia dan trend pembedahan yang semakin canggih di
masa depan (Gibson et al, 2018). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hirai et al
(2021) menunjukkan bahwa sebanyak 25% pasien dibawah usia 40 tahun dan 60% dari
pasien yang berusia diatas 40 tahun mengalami mielopati kompresi yang bersifat
asimptomatis (tanpa gejala).
Patofisiologi
Kadar air dari diskus intervertebralis dan anulus fibrosus mengalami penurunan secara
progresif seiring dengan usia lanjut. Secara bersamaan, terjadi perubahan degeneratif pada
diskus (Di Lela et al, 2022). Ruang intervertebralis menyempit dan dapat menghilang, dan
anulus fibrosus menjorok pada kanalis spinalis. Osteofit pada pinggiran korpus vertebra,
berkumpul di anulus protrusi, dan dapat mengubahnya menjadi sebuah tonjolan tulang.
Tonjolan ini dapat memanjang secara lateral ke foramen intervertebralis. Semua perubahan
ini mempersempit kanalis spinalis, sebuah proses yang dapat diperburuk oleh fibrosis dan
hipertrofi dari ligamentum flavum (Vimalakannan, 2020).
Spondilosis dapat membentuk indentasi yang dalam pada permukaan ventral sumsum
tulang belakang. Pada beberapa tingkat lesi, ada degenerasi substansia grisea, kadang-kadang
dengan nekrosis dan kavitasi. Di atas kompresi terjadi degenerasi kolumna posterior. Di
bawah kompresi, saluran kortikospinalis mengalami demyelinisasi (Akter et al, 2020).
Penulangan pada ligamentum longitudinal posterior adalah varian dari spondilosis
servikal yang juga dapat menyebabkan myelopati progresif. Kondisi ini dapat bersifat fokal
atau difus dan merupakan yang paling umum pada orang dari Asia (Baucher et al, 2021).
Tatalaksana
a. Tatalaksana Konservatif
Pada sebagian besar pasien bergejala umumnya akan dirujuk ke dokter spesialis bedah
sumsum tulang belakang untuk dilakukan tindakan dekompresi yang bertujuan untuk
mengatasi agen penyebab yang berkontribusi dalam menyebabkan kompresi mekanis
sumsum tulang belakang. Meskipun salah satu tujuan utama pembedahan adalah
mencegah perkembangan gejala, data terbaru menunjukkan bahwa pasien biasanya akan
mengalami setidaknya beberapa derajat perbaikan fungsional setelah dekompresi untuk
mielopati serviks (Zhang et al, 2022).
Terdapat beberapa pendekatan operatif yang dapat dilakukan untuk meringankan
kompresi tulang belakang berdasarkan patologi individu (pasien). Operasi anterior
meliputi diskektomi serviks anterior dan fusi serta artroplasti diskus serviks. Sedangkan
pendekatan posterior meliputi laminoplasti, laminektomi dengan fusi, serta skip
laminectomy. Pendekatan gabungan antara anterior dan posterior dapat dilakukan apabila
terdapat kifosis (terutama kifosis post-laminektomi) serta ketika terdapat patologi
ekstensif yang membutuhkan dekompresi serviks anterior multilevel yang memerlukan
fusi tambahan posterior (Choi & Kang, 2020).
Adapun pertimbangan utama dalam perencanaan pembedahan adalah penentuan
lokasi patologi untuk mendapatkan dekompresi sumsum tulang belakang yang memadai.
Selain itu, faktor pasien tertentu juga dapat menentukan pendekatan pembedahan yang
akan dikerjakan. Beberapa pasien tertentu dapat menjadi kandidiat ideal untuk prosedur
yang mempertahankan gerakan seperti artroplasti diskus atau laminoplasti. Sementara
pasien dengan usia lanjut (lansia) umumnya lebih rentan menghadapi komplikasi pasca
operasi berupa disfagia, sehingga pendekatan anterior tidak cocok dilakukan demi
menghindari terjadinya komplikasi potensial tersebut. Cedera sebelumnya pada pita suara
atau kerongkongan serta riwayat pengobatan radiasi serviks juga merupakan
kontraindikasi pendekatan anterior. Keadaan anatomi tertentu yang dimilliki pasien juga
dapat mempersulit akses ke vertebra melalui pendekatan anterior (Zhang et al, 2022).
Pada pembedahan dengan menggunakan pendekatan posterior umumnya dilakukan
pembelahan otot sehingga dapat menimbulkan lebih banyak nyeri pasca operasi yang
berakibat pada perpanjangan masa pemulihan pasca operasi. Namun, umumnya prinsip
utama dekompresi sumsum tulang belakang harus dilakukan untuk meringankan atau
menghentikan perburukan gejala pasien (Fagbohun et al, 2020).
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan teori, delapan puluh persen pasien kompresi medulla spinalis akibat
metastase mengeluhkan kelemahan motorik hingga kelumpuhan. Adanya paraparesis atau
paraplegia saat diagnosis menunjukkan gejala yang lanjut, dan biasanya kelemahan motorik
ini bersifat simetris bilateral. Sebanyak 51-80% pasien mengeluhkan defisit fungsi sensoris,
misalnya kesemutan pada ekstremitas dan batang tubuh (Sinambela & Ramli, 2018).
Gambaran ini didapatkan serupa pada pasien, dimana pasien mengeluhkan paraparesis yang
bersifat simteris bilateral dengan adanya defisit fungsi sensoris. Paresis adalah bentuk
parsial dari paralisis/ plegia yang berarti hilangnya fungsi motorik. Berdasarkan
pemeriksaan klinis dan studi fisiologis dikenal 2 tipe paresis atau paralisis/ plegia, yaitu
akibat keterlibatan lower motor neuron (LMN), dan akibat keterlibatan upper motor neuron
(UMN). Kelemahan UMN pada kedua anggota gerak bawah adalah akibat dari gangguan
pada medula spinalis, sementara tipe LMN disebabkan lesi pada kauda equina. Sindrom
UMN mempunyai gejala lumpuh, hipertoni, hiperrefleksi dan klonus, serta refleks
patologis. Paraparesis subkronik-kronis sering disebabkan oleh spondilitis tuberkulosa,
abses epidural, dan tumor spinal baik primer maupun metastasis (Bambang Priyanto et al.,
2019). Seperti pada pasien ini ditemukan refleks patologis, dan spastic. Dari onset yang
berjalan kronik maka kemungkinan penyebabnya ialah adanya metastasis akibat pasien
sebelumnya telah didiagnosis dengan Ca Paru. Selain itu, pasien mengeluhkan nyeri
punggung sebelum adanya kelemahan kedua kaki. Pada tumor yang berasal dari
ekstramedula, sering dijumpai nyeri. Adapun tumor sekunder (metastasis) disebabkan oleh
sel-sel kanker yang menyebar dari bagian tubuh lain melalui aliran darah yang selanjutnya
menembus dinding pembuluh darah, melekat pada jaringan medula spinalis yang normal
dan membentuk jaringan tumor baru di daerah tersebut. Tumor ekstradural cenderung
tumbuh dengan cepat, seringkali ditemukan manifestasi kompresi korda spinalis progresif
yang berat berupa paresis spastik pada bagian tubuh yang suplai fungsinya oleh korda
spinalis di tingkat bawah dari lesi dan kemudian berkembang menjadi disfungsi kandung
kemih dan usus (Bambang Priyanto et al., 2019). Seperti pada pasien ini yang mengalami
keluhan sulit berkemih dan buang air besar. Pada tumor yang berada pada bagian dorsal
biasanya akan menyebabkan gangguan sensoris. Hal ini ditemukan pada pasien ini yang
mengalami hipoestesia dan hipealgesia.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diagnosis pasien mengarah ke
metastasis medulla spinalis et causa Ca Paru. Untuk menegakkan diagnosis tersebut, maka
perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut. Pada pasien dilakukan pemeriksaan
MRI. Hasil pemeriksaan MRI menunjukkan kompresi corpus vertebrae Vth 6 mengarah
bone metastasis. Menurut National Institute for Health and Care Excellence (NICE)
guidance, apabila ditemukan pasien dengan MRI positif mengarah ke metastase medulla
spinalis akibat kompresi, maka selanjutnya dapat diberikan pengobatan dexamethasone
sebanyak 8 mg secara oral dan pemberian proton pump inhibitor (PPI) kecuali terdapat
kontra indikasi (Robson, 2014).
Terapi yang digunakan pada pasien ini antara lain adalah ceftriaxone 2x1 gram
(IV), ketorolac 3x30 mg (IV), Furamin 1 x1 ampul (1 ampul = 10 ml), citicoline 2x250
mg (IV), metilprednisolon 2x125 mg (IV), Gabapentin 1x100 mg tab (PO), Codein 3x10
mg tab (PO), neurobion drip 1x1 ampul (1 ampul = 1 ml), Dulcolax 2x1 supposutoria, dan
kemoterapi. Dalam kasus metastase medulla spinalis, kortikosteroid adalah lini pertama
dalam pengobatan. Kortikosteroid dapat mengurangi angioedema dan meredakan inflamasi
di area metastasis (Nowak et al., 2022).
Ketorolac termasuk ke dalam analgesik non-opioid yang digunakan untuk penanganan
jangka pendek nyeri sedang hingga berat. Dosis awal, 10 mg, kemudian 10-30 mg setiap 4-6
jam apabila diperlukan. Dosis maksimum 90 mg sehari. Dosis ini sesuai dengan pemberian
pada kasus pasien. Nyeri neuropatik sekunder akibat keterlibatan pleksus lebih efektif dikendalikan
dengan antikonvulsan, seperti pada pasien ini diberikan gabapentin. Dosis gabapentin yang
diberikan pada nyeri neuropatik adalah 300 mg pada hari ke-1, kemudian 300 mg 2 kali sehari
pada hari ke-2, 300 mg 3 kali sehari (kira-kira setiap 8 jam) pada hari ke-3, kemudian
ditingkatkan sesuai respons bertahap 300 mg per hari (dalam dosis terbagi 3) sampai maksimal
1,8 g sehari. Citicoline merupakan obat neuroprotektan yang dapat diberikan sebanyak 500-
1000 mg dalam sehari (Mims, 2022). Furamin merupakan obat yang digunakan untuk
mengatasi defisiensi vitamin B1 seperti pada kondisi neuritis. Dosis yang dapat diberikan
adalah 10-20 ml secara intervena atau 1-2 ampul dalam sehari.
BAB V
SIMPULAN
Pasien perempuan usia 63 tahun dibawa ke IGD RSUD Provinsi NTB karena keluhan
progressive chronic paraparese. Sebelum keluhan tersebut muncul, pasien sebelumnya
mengalami nyeri punggung. Keluhan lain yang dirasakan yakni hipoestesia setinggi T6 serta
sulit berkemih dan buang air besar. Pasien didiagnosis Ca paru pada tanggal 11 agustus 2022
berdasarkan hasil biopsi. Pasien belum pernah menjalani kemoterapi.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan paraparese setinggi T6 dan refleks patologis
babinsky positif. Hasil MRI menunjukkan terdapat kompresi corpus vertebrae Vth 6
mengarah bone metastasis. Pasien ini diberikan terapi simtomatik dan kemoterapi untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Akter, F., Yu, X., Qin, X., Yao, S., Nikrouz, P., Syed, Y. A., & Kotter, M. (2020). The
pathophysiology of degenerative cervical myelopathy and the physiology of recovery following
decompression. Frontiers in neuroscience, 14, 138.
Akyuva, Y., Karadag, N. & Onal, C., 2018. A rarely seen pathology "intramedullary spinal
metastasis"; clinical series of five patients in a single institution. Journal of Academic Research
in Medicine, 8(3), pp.138–146.
Badhiwala, J. H., Ahuja, C. S., Akbar, M. A., Witiw, C. D., Nassiri, F., Furlan, J. C., ... &
Fehlings, M. G. (2020). Degenerative cervical myelopathy—update and future directions. Nature
Reviews Neurology, 16(2), 108-124.
Bambang Priyanto, Rohadi & Bayu Fidaus Siradz, 2019. Tumor spinal Intradural Ekstramedula.
Unram Medical Journal, 8(1), p.25.
Baucher, G., Taskovic, J., Troude, L., Molliqaj, G., Nouri, A., & Tessitore, E. (2021). Risk
factors for the development of degenerative cervical myelopathy: a review of the
literature. Neurosurgical Review, 1-15.
Chaturvedi, A., Klionsky, N. B., Nadarajah, U., Chaturvedi, A., & Meyers, S. P. (2018).
Malformed vertebrae: a clinical and imaging review. Insights into imaging, 9(3), 343-355.
Choi, S. H., & Kang, C. N. (2020). Degenerative cervical myelopathy: pathophysiology and
current treatment strategies. Asian spine journal, 14(5), 710.
Di Lella, G. M., Costantini, A. M., Monelli, E., Guerri, G., Leone, A., & Colosimo, C. (2022).
Diagnostic Imaging in the Degenerative Diseases of the Cervical Spine. In Cervical Spine (pp.
33-61). Springer, Cham.
Fagbohun, O., Towobola, O., & Akintimeyin, O. (2022). Anaesthetic Considerations for
Laminectomy and Spinal Decompression in a Patient with Cervical Myelopathy: A Case
Report. Sch Int J Tradit Complement Med, 5(6), 109-113.
Gibson, J., Nouri, A., Krueger, B., Lakomkin, N., Nasser, R., Gimbel, D., & Cheng, J. (2018).
Focus: sensory biology and pain: degenerative cervical myelopathy: a clinical review. The Yale
Journal of Biology and Medicine, 91(1), 43.
Hirai, T., Otani, K., Sekiguchi, M., Kikuchi, S. I., & Konno, S. I. (2021). Epidemiological study
of cervical cord compression and its clinical symptoms in community-dwelling residents. PloS
one, 16(8), e0256732.
Jacobson, R., & Osen, A. (2020). Spinal Cord Disease. In Hankey's Clinical Neurology (pp. 717-
748). CRC Press.
Nanda, A., Renjith, K. R., Mallepally, A., Prasath, C. V., & Shetty, A. P. (2019). The spine
clinics–Cervical spondylotic myelopathy–Clinical scenarios. Indian Spine Journal, 2(1), 68.
Nowak, H. et al., 2022. Holistic approach to the diagnosis and treatment of patients with tumor
metastases to the spine. Cancers, 14(14), p.3480.
PINTO, E. M., TEIXEIRA, A., FRADA, R., ATILANO, P., OLIVEIRA, F., & MIRANDA, A.
(2020). Degenerative cervical myelopathy: a review of current concepts. Coluna/Columna, 19,
302-307.
Rahman, D.R. & Laksmidewi, P., 2021. Karakteristik metastasis tulang belakang di Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah. Intisari Sains Medis, 12(3), pp.1002–1006.
Robson, P., 2014. Metastatic spinal cord compression: A rare but important complication of
cancer. Clinical Medicine, 14(5), pp.542–545.
Sinambela, A. & Ramli, I., 2018. Kompresi medulla spinalis akibat metastasis. Radioterapi &
Onkologi Indonesia, 9(1).
Team, C.by M.I.M.S.O., Citicoline. Citicoline: Indication, Dosage, Side Effect, Precaution |
MIMS Indonesia. Available at: https://www.mims.com/indonesia/drug/info/citicoline?
mtype=generic [Accessed September 22, 2022].
Zhang, A. S., Myers, C., McDonald, C. L., Alsoof, D., Anderson, G., & Daniels, A. H. (2022).
Cervical myelopathy: Diagnosis, contemporary treatment, and outcomes. The American Journal
of Medicine, 135(4), 435-443.