Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

CARCINOMA COLLI SUSPECT CARCINOMA


NASOFARING

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Pembimbing
dr. Amukti Wahana, SpB

Disusun Oleh
Nadira Iswarini Hapsari Adi, S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


LABORATORIUM ILMU BEDAH
RSUD KANJURUHAN KEPANJEN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
kasih karunia-Nya penulis dapat menyusun laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas pada kegiatan kepaniteraan klinik
madya (KKM) semester genap tahun akademik 2019. Laporan kasus ini berjudul
“CARCINOMA COLLI SUSPECT CARCINOMA NASOFARING” sesuai judul
yang diberikan oleh dokter pembimbing.
Penulis berharap agar laporan kasus ini dapat dimanfaatkan dan dipahami baik
oleh penulis maupun pembaca. Segala kritikan dan saran yang membangun sangat
dibutuhkan untuk pengembangan ilmu kedokteran yang dibahas dalam laporan kasus
ini.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih, kususnya kepada dokter
pembimbing, dr. Amukti Wahana, SpB yang telah memberikan waktu, tenaga dan
ilmu kepada penulis, serta teman sejawat yang telah mendukung penyusunan laporan
kasus ini.

Kepanjen, Desember 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Karsinoma nasofaring adalah karsinoma yang bertumbuh (berawal) dari
mukosa nasofaring, dimana terdapat bukti adanya differensiasi skuamosa baik
secara mikroskopik atau ultrastruktural (WHO, 2005)
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
di antara tumor ganan THT di Indonesia. Karsinoma nasofaring termasuk dalam 5
besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi bersama dengan tumor ganas
serviks, tumor payudara, tumor getah bening, dan tumor kulit. Di daerah kepala
leher karsinoma nasofaring merupakan keganasan paling sering ditemukan (60%)
diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal, laring, dan tumor ganas rongga
mulut, tonsil, dan hipofaring (Adham, 2007) .
Secara global, pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 65.000 kasus baru dan
38.000 kematian yang diakibatkan oleh kanker nasofaring (WHO, 2005).
Sedangkan di Indonesia, frekusensi pasien hampir merata di setiap daerah. Di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus
setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus,
Palembang 25 kasus, dan 11 kasus di Padang dan Bukit Tinggi (Adham, 2007)
Pada tulisan ini akan dijabarkan mengenai kasus suspect karsinoma
nasofaring di Poliklinik THT RSU Mataram yang didapatkan pada tanggal 14
November 2011.

1.2.Rumusan Masalah
1. Apa definisi Karsinoma Nasofaring?
2. Apa Etiologi Karsinoma Nasofaring?
3. Bagaimana Patofisiologi Karsinoma Nasofaring?
4. Apa Manifestasi Klinis Karsinoma Nasofaring?
5. Bagaimana Penegakan Diagnosis Karsinoma Nasofaring?
6. Bagaimana Tatalaksana Karsinoma Nasofaring?
7. Bagaimana Prognosis Karsinoma Nasofaring?

1.3.Tujuan
1. Mengetahui dan Memahami definisi Karsinoma Nasofaring
2. Mengetahui dan Memahami Etiologi Karsinoma Nasofaring
3. Mengetahui dan Memahami Patofisiologi Karsinoma Nasofaring
4. Mengetahui dan Memahami Manifestasi Klinis Karsinoma Nasofaring
5. Mengetahui dan Memahami Penegakan Diagnosis Karsinoma
Nasofaring
6. Mengetahui dan Memahami Tatalaksana Karsinoma Nasofaring
7. Mengetahui dan Memahami Prognosis Karsinoma Nasofaring
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. L
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pabrik rokok
Agama : Islam
Alamat : Bululawang
Status perkawinan : Menikah
Suku : Jawa
Pendidikan : SMA
Tanggal MRS : 30/11/2019
Nomor register : 481794

2.2. Anamnesis
1. Keluhan Utama:
Benjolan di Leher Kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli Bedah RSUD Kanjuruhan pukul 13.30 WIB dengan
keluhan terdapat benjolan pada leher kanan. Benjolan tersebut sudah
dirasakan pasien sejak 2 tahun yang lalu. Pasien menjelaskan bahwa
benjolan tersebut telah ada di leher pasien sejal 2 tahun yang lalu dan secara
progresif membesar dan diikuti dengan gejala-gejala lain berupa perubahan
suara, rasa seperti ada yang mengganjal saat menelan, sakit kepala, mimisan,
mata kabur serta penurunan berat badan. Pasien tidak merasakan adanya
penurunan pendengaran.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat penyakit serupa : disangkal
b. Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit paru : disangkal
e. Riwayat Hipertensi : disangkal
f. Riwayat alergi obat : disangkal
g. Riwayat alergi makanan : disangkal
h. Riwayat penyakit lain : disangkal
4. Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak memberikan pengobatan apapun, hanya membebat kaki kanan
menggunakan kain dengan kencang sesaat setelah tergigit ular.
5. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluhan serupa
6. Riwayat Alergi : Tidak ada
7. Riwayat Kebiasaan :
 Pasien makan 3x/sehari (kualitas & kuantitas cukup)
 Olahraga jarang
 Merokok (-)
 Alkhohol (-)
 Konsumsi kopi (-)

8. Riwayat Sosial Ekonomi :


Termasuk golongan ekonomi menengah
2.3. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : baik
2. Kesadaran : Compos mentis (GCS 456)
3. Tanda Vital : Tensi : 117/70 mmHg Nadi : 88 x/ menit
RR : 21 x/ menit Suhu : 37o C
Berat badan : 48 kg
4. Kulit : Warna normal (coklat), turgor <2 detik, ikterik (-).
pucat (-), gatal (-)
5. Kepala : Bentuk simetris, luka (-), rambut tidak mudah dicabut,
makula (-), papula (-), nodul (-), deformitas (-)
6. Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), reflek
cahaya (+/+), mata cowong (-/-), pupil isokor (diameter pupil ±3mm/±3mm),
hiperemis (-/-)
7. Hidung : Nafas cuping (-), sekret (+/-), epistaksis (-/-),
deformitas (-/-)
8. Mulut : Bibir pucat (-), kering (-), lidah kotor (-), gusi berdarah
(-), tonsil (T0/T0), trismus (-)
9. Telinga : Nyeri tekan mastoid (-/-), sekret (-/-), pendengaran
berkurang (-/-)
10. Leher : Massa di regio colli dextra, Ukuran 5cmx4cm, batas
tegas, konsistensi kenyal padat, immobile terhadap jaringan dibawah dan
sekitarnya. Pembesaran kelenjar tiroid (-), KGB (+/-), nyeri telan (+)

Gambar Regio Colli Dextra

11. Toraks : Bentuk simetris, retraksi supraklavikula dan intercostal


(-)
 Cor : Inspeki : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi :
- Batas kiri atas : ICS II parasternal line sinistra
- Batas kanan atas : ICS II parasternal line dekstra
- Batas kiri bawah : ICS V mid clavicula line sinisra
- Batas kanan bawah : ICS IV parasternal line dekstra
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)
 Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada simetris, benjolan (-), luka
(-)
Palpasi : Fremitus taktil kanan sama dengan kiri, nyeri
tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler di semua lapang paru,
wheezing (-/-), rhonki (-/-)
12. Abdomen : (status lokalis)
Inspeksi : Bentuk simetris, caput medusa (-).
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani (+)
13. Ekstremitas :
Atas : tumor (-/-), Akral hangat (+/+), edema (-/-), nyeri (-/-), luka (-/-),
nadi (+/+) Bula (-/-)
Bawah : tumor (-/-), Akral hangat (+/+), edema (+/-), nyeri (+/-), luka (+/-
), nadi (+/+) Bula (-/-)

2.4. Pemeriksaan Penunjang


a. USG COLLI
Kesimpulan: Multiple Solid Massa pada regio colli bilateral kesan lymphoma

b. Foto Thorax

Kesimpulan Foto Thorax PA: Emphysema Pulmonum


Kesimpulan Foto Cervical AP/Lateral: Soft Tissue mass pada regio colli-
submandibula dextra
c. FNAB
Makroskopis: Dilakukan 2x puncture pada massa lobulated colli dextra
ukuran 1-4cm, batas jelas padat kenyal, fixed
Mikroskopis: Hapusan terdiri dari sebaran dan kelompok sel bulat oval,
hingga spindle,pleomorfik, hiperkromatik. Latar belakang eritrosit
Kesimpulan: Colli dextra FNAB, Kesan Metastasis Undifferentiated
Carcinoma
d. CT SCAN Colli

Kesimpulan: Menyokong Carsinoma Nasopharynx dextra yang


mendestruksi os sphenoid, menginfiltrasi sinus sphenoid bilateral dan sinus
ethmoidalis dextra, meluas ke oropharynx, dan nasopharyngeal space sampai
regio colli dextra, menempel pada a. carotis dan v. jugularis disertai
lymphadenopati multiple pada regio colli bilateral (dominant dextra) dengan
ukuran 4,5x3, 1x3, 6cm

2.5. Resume
Pasien datang ke Poli Bedah RSUD Kanjuruhan pukul 13.30 WIB dengan
keluhan terdapat benjolan pada leher kanan. Pasien menjelaskan bahwa
benjolan tersebut telah ada di leher pasien sejal 2 tahun yang lalu dan secara
progresif membesar dan diikuti dengan gejala-gejala lain berupa perubahan
suara, rasa seperti ada yang mengganjal saat menelan, sakit kepala, mimisan,
mata kabur serta penurunan berat badan. Pasien tidak merasakan adanya
penurunan pendengaran. Dari pemeriksaan fisik status lokalis didapatkan
Massa di regio colli dextra, Ukuran 5cmx4cm, batas tegas, konsistensi kenyal
padat, immobile terhadap jaringan dibawah dan sekitarnya. KGB (+/-), nyeri
telan (+). Dari pemeriksaan USG colli didapatkan Multiple Solid Massa pada
regio colli bilateral kesan lymphoma. Foto Thorax AP dan Cervical
AP/Lateral didapatkan Emphysema Pulmonum dan Soft Tissue mass pada
regio colli-submandibula dextra. Hasil FNAB didapatkan Kesan Metastasis
Undifferentiated Carcinoma. Ct Scan Neck didapatkan Menyokong
Carsinoma Nasopharynx dextra yang mendestruksi os sphenoid,
menginfiltrasi sinus sphenoid bilateral dan sinus ethmoidalis dextra, meluas
ke oropharynx, dan nasopharyngeal space sampai regio colli dextra,
menempel pada a. carotis dan v. jugularis disertai lymphadenopati multiple
pada regio colli bilateral (dominant dextra) dengan ukuran 4,5x3, 1x3, 6cm

2.6. Diagnosa Kerja


Carcinoma Colli Suspect Carcinoma Nasopharyng

2.7. Diagnosis Banding


- Lymphoma
- TB Kelenjar
- Carcinoma Laring

2.8. Penatalaksanaan
1. MRS
2. Medikamentosa (Simtomatik)
a. Injeksi Ketorolac 3x30mg IV
b. Injeksi Methylprednisolonw 2x62,5mg IV
c. Drip Tramadol 100mg dalam RL 500cc/24jam
d. P.O. Sucralfate 3x5mL
2.9. Prognosis
Dubia ad Malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Faring


Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring,
orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian
atas faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring
terdapat pada bagian tengan faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan
lingual epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila
lingualis pada dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang
menunjukkan daerah saluran napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian
atas (Adams, 1997).

3.2. Anatomi Nasofaring


Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral.
Di sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os.
Oksipital, sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh
vertebra servikalis, dan di sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring.
Orifisium tuba Eustachius terletak pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung
posterior konka inferior. Di sebelah atas belakang orifisium tuba Eustachius terdapat
satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago Eustachius ( Ballenger, 1997).
Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting (Adams
dalam Adams et al, 1997):
 Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.
 Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang
dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
 Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi
tuba eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke
dinding lateral nasofaring di atas perlekatan palatum mole.
 Koana posterior rongga hidung.
 Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan
penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus
glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang
dilalui nervus hipoglosus.
 Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus
petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari
oksipital dan arteri faringeal asenden.
 Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat
dengan bagian lateral atap nasofaring.
 Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
Batas-batas nasofaring:
 Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
 Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke
posterior, batas ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.
 Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra oleh
os vomer
 Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari
mukosa bagian atas
 Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior,
muara tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller
Nasofaring diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksterna, yaitu faringeal
asenden dan desenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina. Darah vena
dari pembuluh darah balik faring pada permukaan luar dinding muskuler
menuju pleksus pterigoid dan vena jugularis interna. Daerah nasofaring
dipersarafi oleh saraf sensoris yang terdiri dari nervus glossofaringeus (N.IX)
dan cabang maksila dari saraf trigeminus (N.V2), yang menuju ke anterior
nasofaring. Sistem limfatik daerah nasofaring terdiri dari pembuluh getah
bening yang saling menyilang dibagian tengah dan menuju ke kelenjar
Rouviere yang terletak pada bagian lateral ruang retrofaring, selanjutnya
menuju ke kelenjar limfa disepanjang vena jugularis dan kelenjar limfa yang
terletak dipermukaan superfisial.

3.3. Etiologi Karsinoma Nasofaring


Karsinoma nasofaring terjadi akibat gabungan dari faktor predisposisi genetik,
faktor lingkungan, dan infeksi virus Ebstein-Barr (Adham, 2009 & Wolden, 2001).
a. Kerentanan genetik
Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan terhadap kanker
nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol ras yang banyak sekali
menderitanya adalah bangsa China dan memiliki fenomena agregasi familial. Anggota
keluarga yang menderita karsinoma nasofaring cendrung juga menderita karsinoma
nasofaring. Penyebab karsinoma nasofaring ini belum diketahui apakah karsinoma
nasofaring dikarenakan oleh gen yang diwariskan. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi ( seperti diet makanan yang sama atau tinggal di lingkungan yang
sama), atau beberapa kombinasi diantarnya juga ikut mendukung timbulnya karsinoma
nasofaring. Analisis korelasi menunjukkan gen (Human Leukocyte Antigen) HLA dan
gen pengode enzime sitokorm p4502E (CYP2EI) kemungkinan adalah gen kerentanan
terhadap kanker nasofaring, Mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar kanker
nasofaring. Tahun 2002, RS Kanker Universitas Zhongshan memakai 382 buah
petanda mikrosatelit polimorfisme 22 helai autosom genom manusia. Dengan
melakukan pemeriksaan genom total terhadap keluarga insiden tinggi kanker
nasofaring berdialek Guangzhou di propinsi Guangdong, gen kerentanan nasofaring
ditetapkan berlokasi di 4p1511-q12. Analisis genetik pada populasi endemik
menunjukkan orang-orang dengan kelemahan pada gen HLA memiliki resiko dua kali
lebih tinggi untuk menderita karsinoma nasofaring.
b. Epstein-Barr Virus
EBV adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya karsinoma
nasofaring. Virus ini memiliki protein, yang diperkirakan memengaruhi DNA sel
sehingga mengalami mutasi, khususnya protooncogen menjadi oncogen11.
c. Faktor ligkungan dan diet
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, termasuk
asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak
tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar
nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring,
sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas. Tingginya kadar
nitrosamin diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin yang ada di dalam
kandungan ikan asin Guangzhou juga berhubungan.
Orang-orang yang tinggal di Asia, Afrika bagian Utara, dan wilayah Artik
dengan karsinoma nasofairng mempunyai kebiasaan makan makanan seperti ikan dan
daging yang tinggi kadar garamnya. Sebaliknya, beberapa studi menyatakan bahwa
diet tinggi buah dan sayur mungkin menurunkan resiko karsinoma nasofaring.
Penelitian-penelitian menunjukkan konsumsi makanan yang mengandung
volatile nitrosamine (misalnya ikan asin), paparan formaldehide, akumulasi debu
kapas, asam, caustic, proses pewarnaan kain, merokok, nikel, alkohol, dan infeksi
jamur pada cavum nasi meningkatkan resiko terjadinya karsinoma nasofaring.
d. Faktor pekerjaan
Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak berhubungan
dengan debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau penggergajian kayu), atau
pekerjaan pembuat sepatu. Atau zat yang sering kontak dengan zat yang dianggap
karsinogen adalah antara lain: Benzopyrene, Bensoanthracene, gas kimia, asap industri,
dan asap kayu.
e. Radang kronis daerah nasofaring
Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan
terhadap karsinogen lingkungan.

3.4. Patologi
Patologi pada KNF dapat ditinjau secara makroskopis dan mikroskopis. Makroskopis
Secara makroskopis, pertumbuhan KNF dibedakan menjadi 3 bentuk:
a. Ulseratif
Biasanya berupa lesi kecil disertai jaringan nekrotik. Terbanyak dijumpai di dinding
posterior nasofaring atau fossa Rossenmuller yang lebih dalam dan sebagian kecil
dinding lateral. Tipe ini sering tumbuh progresif infiltatif, meluas pada bagian lateral,
atap nasofaring dan tulang basis kranium. Lesi ini juga sering merusak foramen
laserum dan meluas pada fossa serebralis media melibatkan beberapa saraf kranial
(II.III,IV,V,VI) yang menimbulkan kelainan neurologik.

b. Nodular
Biasanya berbentuk anggur atau polipoid tanpa adanya ulserasi tetapi kadang-kadang
terjadi ulserasi kecil. Lesi terbanyak muncul di area tuba eustachius sehingga
menyebabkan sumbatan tuba. Tumor dapat meluas pada retrospenoidal dan tumbuh
disekitar saraf kranial namun tidak menimbulkan gangguan neurologik. Pada stadium
lanjut tumor dapat meluas pada fossa serebralis media dan merusak basis kranium atau
meluas ke daerah orbita melalui fossa orbitalis inferior dan dapat menginvasi sinus
maksilaris melalui tulang ethmoid.
c. Eksofitik
Biasanya non-ulseratif, tumbuh pada satu sisi nasofaring, kadang-kadang bertangkai
dan permukaan licin. Tumor muncul dari bagian atap, mengisi kavum nasi dan
menimbulkan penyumbatan hidung. Tumor ini mudah nekrosis dan berdarah sehingga
menyebabkan epistaksis. Tumor bentuk ini cepat mencapai sinus maksilaris dan rongga
orbita sehingga menyebabkan eksoftalmus unilateral. Tipe ini jarang melibatkan saraf
kranial.

2. Mikroskopis
a. Perubahan pra keganasan
Perubahan ini merupakan sebagai kondisi dari jaringan atau organ yang tumbuh
menjadi ganas secara perlahan. Penelitian yang dilakukan Teoh (1957) mendapatkan
bahwa metaplasia skuamosa merupakan keadaan yang paling bermakna untuk
terjadinya KNF. Dari penelitian Li dan Chen (1976) ditemukan juga adanya hiperplasia
dari sel-sel nasofaring yang berkembang kearah keganasan. Dari berbagai penelitian
diatas menyokong bahwa metaplasia dan hyperplasia nasofaring merupakan perubahan
pra keganasan dari karsinoma nasofaring.
b. Perubahan patologik pada mukosa nasofaring
 Reaksi radang
Radang akut dan kronis sering dijumpai pada mukosa nasofaring. Bentuk
perubahan ini biasanya dihubungkan dengan tukak mukosa yang mengandung
sejumlah leukosit PMN, sel plasma dan eosinofil. Pada peradangan kronis akan
dijumpai limfosit dan jaringan fibrosis. Ada anggapan yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara proses regenerasi pada ulserasi epitel nasofaring
dengan perubahan metaplasia dan displasia dari epitel tersebut.
 Hiperplasia
Hiperplasia yang sering terlihat pada lapisan sel mukosa kelenjar dan salurannya
maupun pada jaringan limfoid. Hiperplasia kelenjar sering dihubungkan dengan
proses radang. Sedang hiperplasia jaringan limfoid dapat terjadi dengan atau
tanpa proses radang.
 Metaplasia
Sering terlihat metaplasia pada epitel kolumnar nasofaring berupa perubahan
kearah epitel skuamosa bertingkat.
 Neoplasia
Liang (1962) menemukan bahwa neoplasia mulai tumbuh di bagian basal
lapisan sel epitel. Lapisan basal ini yang mulanya sangat kecil akan
bertambahbesar, jumlah sel bertambah banyak dan bentuknya akan menjadi
bulat atau pleomorfik.

Nasofaring berhubungan dengan beberapa struktur. Ke anterior nasofaring


berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, sehingga sumbatan hidung
merupakan gangguan yang sering timbul. Penyebaran tumor ke lateral akan
menyumbat muara tuba Eustachius sehingga akan menimbulkan gangguan
pendengaran dan penumpukan cairan di telinga tengah. Di bagian posterior dinding
nasofaring melengkung ke atas dan kedepan, terletak di bawah korpus os sphenoid dan
bagian basilar os oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin timbul di tempat-
tempat tersebut. Di supero-posterior torus tubarius terdapat resesus faring atau fossa
Rosenmuleri dan tepat di ujung posterosuperiornya terdapat foramen laserum. Tumor
dapat menjalar ke arah intracranial dalam dua arah, yang masing-masing menimbulkan
gejala neurologis yang khas. Perluasan langsung melalui foramen laserum ke sinus
kavernosus dan fossa cranii media menyebabkan gangguan pada N.III, N.IV, N.VI, dan
kadang N.II. Penyebaran ke kelenjar faring lateral dan di sekitar selubung
karotis/jugularis pada ruang retroparotis akan menyebabkan gangguan pada N.IX, N.X,
N.XI, dan N.XII. Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir
ke lateral dan bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere) (Ballenger,
1997).

3.5. Histopatologi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa (KSS) berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma) Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Nonkeratinizing Carcinoma) Pada tipe ini dijumpai
adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel.
Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma)
Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak
terlihat dengan jelas. Terdapat kesamaan antara tipe II dan III sehingga selanjutnya
disarankan pembagian stadium KNF terbaru hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu:
1. KSS berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).
Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi.

3.6. Histologi Nasofaring


Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak
jaringan limfosid, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara
epitel dengan jaringan limfosid ini sangat erat, sehingga sering disebut ”Limfoepitel ”,
Bloom dan Fawcett membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :
1. Epitel selapis torak bersilia ” Simple Columnar Cilated Epithelium ”
2. Epitel torak berlapis “ Stratified Columnar Epithelium“.
3. Epitel torak berlapis bersilia “Stratified Columnar Ciliated Epithelium“.
4. Epitel torak berlapis semu bersilia “ Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated Epithelium”
Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para ahli.
60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng “ Stratified
Squamous Epithelium “, dan 80 % dari dinding posterior nasofaring dilapisi oleh epitel
ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang
merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng
dan torak bersilia.
Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang
dalam. Dipandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam
epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma. Di sekitar koana
dan atap terdiri dari epitel torak bersilia, sedangkan dinding lateral diliputi oleh epitel
skuamosa dan epitel torak bersilia. Jaringan limfoid terdapat didinding lateral, terutama
disekitar muara tuba eustachius, dinding posterior dan atap nasofaring. Jaringan
limfoid di nasofaring ini merupakan lengkung atas cincin Waldeyer.

3.7. Manifestasi Klinis


 Gejala Dini
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan
pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala
dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring.
Gejala telinga :
1. Sumbatan tuba eutachius / kataralis. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa
berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini
merupakan gejala yang sangat dini.
2. Radang telinga tengah sampai perforasi membrane timpani. Keadaan ini merupakan
kelainan lanjutan yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga
tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga
akhirnya terjadi perforasi membran timpani dengan akibat gangguan pendengaran.
Gejala Hidung:
1. Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi
perdarahan hidung atau epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang,
jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna
kemerahan.
2. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga
hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai
dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini
bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada
infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lainlainnya. Epistaksis juga sering
terjadi pada anak yang sedang menderita radang. Hal ini menyebabkan keganasan
nasofaring sering tidak terdeteksi pada stadium dini.
 Gejala lanjut
1. Pembesaran kelenjar limfe leher.
Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika timbulnya
di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan
biasanya berada di level II-III dan tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan
oleh pasien. Sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai
otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan
ini merupakan gejala yang lebih lanjut. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan
gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.

2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar


Karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi , seperti penjalaran tumor
melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat juga
mengenai saraf otak ke-V, sehingga dapat terjadi penglihatan ganda (diplopia).
Proses karsinoma nasofaring yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI,
dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh
dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah
mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat juga disertai dengan
destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya
buruk.
3. Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikut bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang
letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah
pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi menandakan suatu stadium dengan prognosis
sangat buruk.

3.8. Stadium
Klasifikasi berdasarkan TNM (AJCC, 7th ed, 2010), dapat ditentukan dengan
menilai karakteristik tumor, kelenjar getah bening yang terlibat, dan metastasis ke
organ lain.
T : tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar, dan perluasannya
Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai T0
Tidak terdapat tumor primer Tis Karsinoma in situ
T1 : Tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring dan atau
rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal
T2 : Tumor denga perluasan ke parafaringeal
T3 : Tumor melibatkan struktur tulang dari basis cranii dan atau sinus paranasal
T4 : Tumor dengan oerluasan intracranial dan atau keterlibatan saraf kranial,
hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/masticator space

N : nodul, menggambarkan kedaan kelenjar limfe regional


Nx : KGB regional tidak dapat dinilai
N0 : Tidak terdapat metastasis ke KGB regional
N1 : Metastasis unilateral di KGB, 6cm atau kurang di atas fossa supraklavikula
N2 : Metastasis bilateral di KGB, 6cm atau kurang dalam dimensi terbesar di atas
fossa supraklavikular.
N3 : Metastasis di KGB, ukuran >6cm
N3a Ukuran >6cm
N3b Perluasa ke fossa supraklavikular

M : metastasis, menggambarkan keberadaan metastasis jauh


MX : Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 : tidak terdapat metastasis jauh
M1 : terdapat metastasis jauh

Berdasarkan TNM tersebut, stadium dapat dibagi menjadi:

3.9. Diagnosis
Beberapa cara yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
karsinoma nasofaring:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)

2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop

3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditentukan dengan diagnosis klinik
ditunjang dengan diagnosis histologis dan sitologis. Materi biopsi yang diperiksa
adalah hasil biopsi cucian, aspirasi, atau sikatan (brush). Biopsi nasofaring
dilakukan dengan anestesi topikal melalui 2 jalur, yaitu melalui hidung dan mulut:
 Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy). Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri
konka media ke nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsi.
 Biopsi melalui mulut dilakukan dengan bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang merada dalam mulut
ditaik dan diklem bersama dengan ujung kateter di hidung, sehingga
palatum molle tertarik ke atas. Daerah nasofaring dilihat dengan kaca
laring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut.
Tumor akan terlihat lebih jelas menggunakan nasofaringoskop. Bila
dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret di daerah lateral nasofaring dalam
keadaan narkosis. (Wolden, 2001)
4. Pemeriksaan patologi anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO sebelum
tahun 1991 terbagi menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi, yang terbagi lagi menjadi tipe
diferensiasi baik, sedang, dan buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi. Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, dan
pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak terdiferensiasi. Pada tipe ini sel tumor secara individual
memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli
yang prominen. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
Tipe tanpa keratinisasi dan tanpa diferensiasi bersifat radiosensitif,
sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak terlalu sensitif dengan radioterapi.
Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO pada
tahun 1991 hanya terbagi menjadi 2 tipe, yaitu:
1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi
2. Karsinoma non-keratinisasi
Kedua tipe ini dibagi lagi menjadi tipe terdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi
(WHO, 2005).
4. Pemeriksaan radiologi
Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah unutk memberikan diagnosis
yang lebih pasti pada kecurigaan tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi
tumor yang lebih tepat, mencari dan menentukan luasnya penyebaran tumor ke
jaringan sekitar.
 Foto polos
Karsinoma yang dapat dideteksi secara jelas denga foto polos pada
umumnya adalah tumor eksofitik yang cukup besar, sedangkan bula kecil
mungkin tidak terdeteksi. Perluasan tumor yang terjadi pada submukosa,
atau penyebaran yang belum terlalu luas tidak akan terdeteksi melalui foto
polos.
Beberapa posisi foto polos perlu dibuat untuk mencari kemungkian
tumor pada daerah nasofaring, yaitu: (Wolden, 2001)
o Posisi lateral dengan teknik foto jaringan lunak
o Posisi basis cranii atau submentoforteks
o Tomogram lateral daerah nasofaring
o Tomogram anteroposterior daerah nasofaring
 CT-Scan
Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos adalah
kemampuan untuk membedakan berbagai densitas pada daerah nasofaring.
CT Scan mampu membedakan berbagai densitas pada jaringan lunak
maupun perubahan-perubahan pada tulang. Dapat dinilai lebih akurat
mengenai perluasan tumor ke jaringan sekitar, destruksi tulang, dan
penyebaran intracranial (Wolden, 2001).
 Scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis
jauh.
 Pemeriksaan serologi, berupa pemeriksaan titer antibodi terhadap
virus Epstein-Barr ( EBV ) yaitu lg A anti VCA (Viral Capsid Antigen) dan lg
A anti EA.(Early Antigen)
 Pemeriksaan aspirasi jarum halus (FNAB), bila tumor primer di
nasofaring belum jelas dengan pembesaran kelenjar leher yang diduga akibat
metastasis karsinoma nasofaring.
 Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi adanya
metastasis.

3.10. Tatalaksana
1. Radioterapi(8)
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk
karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
 Definisi Terapi Radiasi :

Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang


dapat menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma

 Persyaratan Terapi Radiasi

Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila


hanya menggunakan terapi radiasi harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :

- Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi


- Tipe tumor yang radiosensitif
- Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya
- Dosis yang optimal.
- Jangka waktu radiasi tepat
- Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek
samping radiasi.

Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya


sebelum kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba
diberikan radiasi sebesar 5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara
2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis
7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5 minggu. Alat yang
biasanya dipakai ialah “cobalt 60”, “megavoltage”orthovoltage”.

 Sifat Terapi Radiasi

Terapi radiasi sendiri sifatnya adalah :

- Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional


- Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa
mendestrukasi sel tumor
- Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel
tumor.
- Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor.
- Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan
ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya..
- Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari
tumornya.
- Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat
mengakibatkan defek imun secara general.

 Jenis Pemberian Terapi Radiasi

Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai :

1. Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi.


2. Radiasi interna ( brachytherapy ) yang bisa berupa permanen
implan atau intracavitary barchytherapy.
1. Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai :

- pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar


getah bening
- pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening
- Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi
- Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck
dissection
1. Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk :

- Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk


menghindari terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi.
- Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor
- Pengobatan kasus kambuh.

2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut
atau pada keadaan kambuh.

 Definisi Kemoterapi

Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat


menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker.

Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal


(active single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat
lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu
sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap
obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek
samping menurun.

 Obat-Obat Sitostatika yang direkomendasi FDA untuk Kanker


Kepala Leher

Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA


(Amerika) untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala
dan leher yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-fluorouracil,
Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel,
Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan
penggunaan Gemcitabine untuk keganasan didaerah kepala dan leher.

 Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring

Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring


WHO I dan sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara
umum karsinoma nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik
sebaliknya karsinoma nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis
paling buruk.

Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan


pembelahan (division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut
siklus sel (cell cycle) merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika.
Hampir semua sitostatika mempengaruhi proses yang berhubungan
dengan sel aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA. Sel yang sedang
dalam keadaan membelah pada umumnya lebih sensitif daripada sel
dalam keadaan istirahat.

Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua


siklus (Cell Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus
pertumbuhan sel bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi
yang hanya bisa bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle
phase spesific ).

Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu


pada siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat
menghambat pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut
cell cycle nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific
antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti
metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase
S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain
Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA
sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2),
Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine
(fase S, M).

Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah


timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara
kerjanya tidak sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu
kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang diberikan, dikarenakan
sasaran kerja pada siklus sel berbeda.

 Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi

Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat,


agaknya bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan
esensial untuk sintesis dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan
mekanisme cara kerja obat , zat yang berguna pada tumor kepala leher
dibagi sebagai berikut :

1. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin.


Sebagai contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang
dibutuhkan untuk sintesis timidin.
2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil
seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan
demikian menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti
dactinomycin dan doxorubicin mengikat dan menyelip diantara
rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan demikian menghambat
produksi mRNA.

3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan


vinblastine, menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen
mikro pada kumparan mitosis.

 Cara Pemberian Kemoterapi

Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu :

1. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului


pembedahan dan radiasi.
2. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan
radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut.
3. Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska
pembedahan dan atau radiasi
4. Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan
terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis
hematologi (leukemia dan limfoma).
Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi
menjadi dua yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/
komplementer/ profilaksis). Terapi utama dapat diberikan secara
mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat mandiri, artinya terapi
adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya. Tujuannya adalah
membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna.
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki
indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal
ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif


- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti
secara makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya
resiko kekambuhan dan metastasis jauh).
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas
kepala leher dibagi menjadi :

o neoadjuvant atau induction chemotherapy


o concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy
o post definitive chemotherapy.

3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat
bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologik dan serologi.(5) Nasofaringektomi merupakan
suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau
adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara
lain.(1)

4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring
dapat diberikan imunoterapi.
Prosedur follow up
tidak sepert keganasan kepala leher lainnya , KNF mempunyai resiko terjadinya
rekurensi, sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekeambuhan tersering
terjadi kurang dari 5 tahun, 5 – 15 % kekambuhan sering kali terjadi antara 5-10 tahun.
Sehingga pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi. Jadwal
follow up yang dianjurkan sebagai berikut :
- Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan
- Dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan
- Setelah 5 tahun : setiap setahun sekali untuk seumur hidup

3.11. Prognosis
Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil
pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan
hasil pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien
yang baik pula. Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %.
Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :

- Stadium yang lebih lanjut.


- Usia lebih dari 40 tahun
- Laki-laki dari pada perempuan
- Ras Cina dari pada ras kulit putih
- Adanya pembesaran kelenjar leher
- Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
- Adanya metastasis jauh

3.12. Pencegahan
- Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus
Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di
daerah dengan resiko tinggi.
- Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat
lainnya.
- Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya.
- Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan
keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.
- Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di
masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma
nasofaring secara lebih dini.
BAB IV

PENUTUP
4.1. Kesimpulan

Karsinoma nasofaring banyak ditemukan di Indonesia. Seperti pada keganasan yang


lain, penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan sehingga pencegahannya relatif
sulit. Yang perlu ditekankan adalah usaha menuju diagnosis dini, dimana diagnosis dini
sulit untuk ditegakkan. Yang terutama menjadi masalah adalah keterlambatan pasien
untuk berobat. Sebagian besar datang ketika sudah dalam stadium lanjut, dengan
demikian kanker sudah meluas ke jaringan sekitar atau kelenjar leher. Hal ini
merupakan penyukit untuk mendapatkan hasil pengobatan yang sempurna.

Oleh karena itu perlunya meningkatkan kesadaran para dokter serts


memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit ini, supaya
masyarakat mengetahui tanda- tanda stadium awal penyakit dan kemana mereka harus
pergi untuk mendapatkan pertolongan yang tepat dan cepat.

Diagnosis dini harus segera ditegakkan dengan biopsy serta pemeriksaan


patologi, supaya pengobatan tidak terlambat. Diharapkan dengan penemuan kasus dini,
penanggulangan terhadap penyakit ini dapat diperbaiki, sehingga angka kematian dapat
ditekan.

Pada stadium dini pengobatan yang diberikan adalah penyinaran, dan


memberikan angka penyembuhan yang cukup tinggi. Oleh karena itu diharapkan
kesadaran masyarakat untuk segera berobat. Jika terdapat gejala yang mencurigakan,
segera memeriksakan diri ke dokter. Sedangkan pada stadium lanjut, diperlukan
pengobatan tambahan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Farid W, Ramsi L. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Medan : FK USU,
1998.h. 1-20.
2. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.13th Ed.
Jilid 1. Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta : Binarupa
Aksara, 1994.h. 391-6.
3. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill
Livingstone, 1989. h. 495-507.
4. Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 1989.
5. Damayanti Soetjipto. Karsinoma nasofaring.Dalam : Nurbaiti Iskandar
(ed).Tumor telinga-hidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta :
FK UI,1989.h. 71- 84.
6. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology : head and neck surgery. 15th ed.
Philadelphia : Williams & Wilkins, 1996.p. 323-36.
7. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak
PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25.
8. Susworo. Dalam : Kanker Nasofaring Epidemologi dan Pengobatan Mutakhir.
Cermin Dunia Kedokteran. 2004 : 16-20
9. Averdi Roezin, Anida Syafril. Karsinoma nasofaring. Dalam : Efiaty A.
Soepardi (ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ketiga.
Jakarta : FK UI, 1997. h. 149-53.
10. Davidson. Neck Masses : Differential Diagnosis and Evaluation. San Diego :
University of California. Available at :
http://drdavidson.ucsd.edu/Portals/0/CMO/CMO_05.htm. Accessed July 31,
2009.

Anda mungkin juga menyukai