Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Trauma didefinisikan sebagai cedera fisik atau luka pada jaringan hidup
yang disebabkan oleh agen ekstrinsik atau faktor luar. Trauma merupakan
penyebab keenam yang menyebabkan kematian di seluruh dunia, kira- kira 10 %
dari semua mortalitas. Trauma menyumbangkan sekitar 5 juta kematian setiap
tahun di seluruh dunia dan menyebabkan jutaan lebih kecacatan Secara anatomis
sebagian besar organ urogenitalia terletak di rongga ekstraperitoneal (kecuali
genitalia eksterna), dan terlindung oleh otot-otot dan organ-organ lain. Oleh karena
itu jika didapatkan cedera organ urogenitalia, harus diperhitungkan pula
kemungkinan adanya kerusakan organ lain yang mengelilinginya. Sebagian besar
cedera organ genitourinaria bukan cedera yang mengancam jiwa kecuali cedera
berat pada ginjal yang menyebabkan kerusakan parenkim ginjal yang cukup luas
dan kerusakan pembuluh darah ginjal.
Cedera yang mengenai organ urogenitalia bisa merupakan cedera dari luar
berupa trauma tumpul maupun trauma tajam, dan cedera iatrogenik akibat tindakan
dokter pada saat operasi atau petugas medik yang lain. Pada trauma tajam, baik
berupa trauma tusuk maupun trauma tembus oleh peluru, harus dipikirkan untuk
kemungkinan melakukan eksplorasi; sedangkan trauma tumpul sebagian besar
hampir tidak diperlukan tindakan operasi.

Trauma ginjal merupakan trauma pada sistem urologi yang paling sering
terjadi. Kejadian penyakit ini sekitar 8-10% dengan trauma tumpul atau trauma
abdominal. Pada banyak kasus, trauma ginjal selalu dibarengi dengan trauma organ
penting ainnya. Pada trauma ginjal akan menimbulkan ruptur berupa perubahan
organik pada jaringannya. Sekitar 85-90% trauma ginjal terjadi akibat trauma
tumpul yang biasanya diakibatkan oleh kecelakaan lalulintas. Walaupun ginjal

1
mendapat proteksi dari otot lumbar, thoraks, badan vertebra dan viscera, ginjal
mempunyai mobilitas yang besar yang bisa mengakibatkan kerusakan parenchymal
dan kecederaan vaskular dengan mudah. Trauma sering kali disebabkan karena
jatuh, kecelakaan lalu lintas, luka tusuk, dan luka tembak.. Trauma ginjal bisa
diklasifikasikan kepada trauma tumpul dan tajam maupun dengan tahap kecederaan
yaitu cedera major ataupun minor.

1.2.Rumusan Masalah
- Bagaimana epidemiologi dari trauma ginjal?
- Apa saja etiologi dari trauma ginjal?
- Bagaimana patofisiologi dari trauma ginjal?
- Bagaimana klasifikasi dari trauma ginjal?
- Bagaimana penegakan diagnosis dari trauma ginjal?
- Bagaimana penatalaksanaan dari trauma ginjal?

1.3.Tujuan
- Mengetahui dan memahami epidemiologi dari trauma ginjal
- Mengetahui dan memahami etiologi dari trauma ginjal
- Mengetahui dan memahami patofisiologi dari trauma ginjal
- Mengetahui dan memahami klasifikasi dari trauma ginjal
- Mengetahui dan memahami penegakan diagnosis dari trauma ginjal
- Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari trauma ginjal

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Ginjal


Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekung
menghadap medial, sisi ini merupakan bagian hilus ginjal yang merupakan tempat
keluar masuknya pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf serta ureter pada ginjal.

2.2. Strukur di sekitar Ginjal


Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan mengkilat yang disebut kapsula
fibrosa (true capsule) ginjal, yang melekat pada parenkim ginjal. Di luar kapsul fibrosa
terdapat jaringan lemak yang di sebelah luarnya dibatasi oleh oleh fasia gerota. Di
antara kapsula fibrosa ginjal dengan kapsula gerota terdapat rongga perineal.

Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal atau
disebut juga kelenjar suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama-
sama ginjal dan jaringan lemak perineal dibungkus oleh fasia gerota. Fasia ini berfungsi
sebagai barrier yang menghambat meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal serta
mencegah ekstravasasi urine pada saat terjadi trauma ginjal,. Selain itu fasia gerota
dapat pula berfungsi sebagai barier dalam menghambat penyebaran infeksi atau
menghambat metastasis tumor ginjal ke organ di sekitarnya. Di luar fasia gerota
terdapat jaringan lemak retroperitoneal yang terbungkus oleh peritoneum posterior.
Rongga di antara kapsula gerota dan peritoneum ini disebut rongga pararenal.

Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh berbagai otot punggung yang tebal
serta tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan di sebelah anterior dilindungi oleh organ
intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, duodenum; sedangkan
ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pancreas,jejeunum,dan kolon.

2.3. Struktur Ginjal

3
Secara anatomis, ginjal terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan medula
ginjal. Di dalam korteksi terdapat banyak nefron yang berfungsi dalam filtrasi ginjal,
sementara pada medula terdapat duktuli ginjal sebagai sistem penyalur hasil filtrasi
yang juga berperan dalam reabsorpsi dan ekskresi untuk menentukan kadar zat dalam
urin.1

2.4. Epidemiology

Meskipun posisi ginjal terletak di retroperitoneal yang relatif terlindungi, ginjal


adalah organ sistem genitourinari yang paling sering terluka selama trauma. Trauma
ginjal dapat berupa cedera yang terjadi sendiri, tetapi pada 80-95% kasus cedera ginjal
terjadi bersamaan dengan trauma lainnya. Trauma ginjal mempengaruhi sebagian besar
pria sekitar 72-93% kasus dan lebih sering terjadi pada populasi muda dengan kisaran
usia rata-rata 31 hingga 38 tahun. Sedangkan pada trauma tajam terjadi pada usia rata-
rata 27-28 tahun bahkan lebih muda. Prevalensi trauma ginjal berkisar antara 0,3%
hingga 3,25% diantara pasien trauma. Mekanisme yang paling umum untuk cedera
ginjal adalah trauma tumpul. Trauma tumpul menyumbang 71-95% dari kasus trauma
ginjal.

2.5. Etiologi dan Patofisiologi dari Trauma Tumpul

Dalam tinjauan sistematis yang dilakukan oleh Voelzke dan Leddy, trauma
tumpul pada orang dewasa terutama disebabkan oleh Motor vehicle Accidents (MVA)
(63%), Falls (43%), Sports (11%) dan pedestrian Accidents (4%). Sementara trauma
tumpul pada anak disebabkan oleh jatuh (27%) dan kecelakaan pejalan kaki (13%) dan
lebih sedikit MVA (30%). Patofisiologi trauma tumpul tidak sepenuhnya dipahami
tetapi elemen utama yang menyebabkan trauma adalah Deselerasi dan akselerasi.
Ginjal ditutupi oleh lemak dan Gerota fascia di retroperitoneum, pedikel ginjal dan
ureteropelvic junction (UPJ) adalah elemen perlekatan utama. Oleh karena itu,adanya
Deselerasi pada elemen-elemen ini dapat menyebabkan cedera ginjal seperti Ruptur
atau thrombosis. Acceleration dapat menyebabkan tumbukan ginjal pada elemen-
elemen di sekitarnya, seperti tulang rusuk dan tulang belakang, dan menyebabkan

4
cedera parenkim dan pembuluh darah. Ginjal abnormal yang ditemukan pada 7%
pasien dengan trauma ginjal tumpul sering terluka oleh dampak Low-Velocity. Namun
demikian, studi kontras harus diindikasikan, karena penatalaksanaan ginjal abnormal
yang disingkap oleh trauma sangat tergantung pada jenis patologi. Schmidlin dan
rekannya menemukan bahwa kelainan ginjal yang sudah ada termasuk hidronefrosis
(38%), kista (17%), tumor (7%), ginjal ektopik (7%) dan lain-lain (31%).

2.6 Etiologi dan Patofisiologi dari Trauma Tembus

Kebanyakan trauma tembus ginjal terjadi lebih parah dan kurang dapat
diprediksi daripada trauma tumpul. Trauma tembus disebabkan oleh senjata api (83-
86%) dan luka tusuk (14-17%). Selain itu berbagai jenis fragmen (mis. improvisasi alat
peledak dan pecahan peluru lainnya) juga menyebabkan penetrasi trauma ginjal.

Trauma penetrasi dikelompokkan berdasarkan kecepatan: kecepatan tinggi atau


high-velocity (mis. Senapan), kecepatan sedang atau medium velocity (mis. Pistol) dan
kecepatan rendah atau low-velocity (mis. Pisau tusukan). Senjata berkecepatan tinggi
menimbulkan kerusakan yang lebih besar karena peluru mengirimkan energi dalam
jumlah besar ke jaringan kemudian membentuk kavitasi dan menciptakan gaya geser
dan kehancuran di area yang jauh lebih besar daripada saluran proyektil itu sendiri.
Pembentukan cavitas tersebut mengganggu jaringan, menghancurkan pembuluh darah
dan saraf, serta dapat mematahkan tulang. Pada cedera kecepatan rendah, kerusakan
biasanya terbatas pada jalur proyektil. Posisi luka tusuk mempengaruhi manajemennya.
Luka tusuk pada perut anterior dapat melukai struktur ginjal vital seperti pelvis ginjal
dan pedikel vaskular, sedangkan luka tusuk di posterior garis aksila anterior akan
melukai parenkim tetapi kemungkinan kecil untuk bagian vital ginjal terkena.

2.7. Klasifikasi dan keparahan cedera (injury severity)

Klasifikasi trauma ginjal yang paling umum adalah the American Association
for the Surgery of Trauma (AAST) classification, sebuah deskripsi anatomi, diskalakan
dari 1 hingga 5, mewakili cedera paling ringan hingga paling berat. Grading AAST dari

5
cedera ginjal, keparahan cedera keseluruhan pasien, dan kebutuhan transfusi darah
adalah faktor utama dalam menentukan kebutuhan pasien untuk nefrektomi dan
outcomenya.

6
2.8. Initial Evaluation: Riwayat pasien, pemeriksaan fisik, Pemeriksaan
Laboratorium

Saat ini Advanced Trauma Life Support adalah bahasa umum perawatan
trauma. mendefinisikan dua fase dalam manajemen awal pasien dengan trauma:
Primary survey, yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengobati cedera yang
membahayakan nyawa pasien; dan secondary survey, yang berupaya mendeteksi
semua cedera dan memulai perawatan definitif.

Primary Survey
Selama survei utama, kondisi yang mengancam jiwa diidentifikasi dengan
cepat dan pengobatan yang menyelamatkan jiwa segera dilakukan. Upaya
resusitasi terjadi bersamaan dengan primary survey dan berlanjut sepanjang fase
perawatan selanjutnya. Selama fase primer penilaian airway, breathing,
circulation, disability dan exposure/environtment. Penyebab terbesar kematian
yang bisa dicegah adalah pendarahan dini dalam enam jam pertama setelah
mengalami cedera. Secondary survey dimulai setelah primary survey.
Secondary Survey
Survei sekunder terjadi setelah semua cedera yang mengancam jiwa dari
survei primer telah diidentifikasi dan diobati, memungkinkan penyelidikan lebih
lanjut. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi semua cedera yang diderita,
melibatkan pemeriksaan head-to-toe yang menyeluruh, termasuk pemeriksaan
neurologis dan tulang belakang penuh, mencatat pemeriksaan rektal digital.
Anamnesis
Riwayat pasien dan perincian peristiwa yang menyebabkan cedera mungkin
tidak memungkinkan pada pasien yang secara hemodinamik tidak stabil, tetapi ketika
pasien stabil, data ini sangat relevan untuk membuat keputusan perawatan yang tepat.
Memahami mekanisme cedera dan kekuatan yang terlibat termasuk penting karena
dalam kasus deselerasi tinggi atau kekuatan akselerasi ada risiko cedera ginjal yang
tinggi, dan pencitraan lebih lanjut harus dilakukan.

7
Indikator yang memungkinkan untuk terjadinya trauma ginjal meliputi
mekanisme deselerasi yang cepat seperti pada; jatuh dari ketinggian atau kecelakaan
bermotor dengan kecepatan tinggi, serta trauma langsung pada regio flank. Pada kasus
trauma tembus, informasi yang diperlukan meliputi jenis benda tajam atau kaliber
peluru pada kasus luka tembak.

Riwayat penyakit sebelumnya juga perlu digali, adakah kemungkinan adanya


disfungsi organ sebelum terjadinya trauma. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya dapat memperberat trauma minor.
Hidronefrosis, batu ginjal, kista maupun tumor telah dilaporkan dapat menimbulkan
komplikasi yang lebih berat.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik membantu menentukan lokasi, luas dan beratnya cedera.
Trauma tumpul ke panggul, punggung, dada bagian bawah, dan perut bagian atas dapat
membahayakan ginjal. Dokter harus mencari luka masuk dan keluar, abdominal
peritoneal sign (misalnya tanda penjaga, nyeri tekan), dan tanda-tanda yang dapat
menunjukkan trauma ginjal, seperti hematuria yang terlihat, hematoma flank / perut
bagian atas, massa yang teraba, ekimosis atau abrasi, dan patah tulang rusuk.

Adanya tanda-tanda ini meningkatkan kecurigaan klinis adanya trauma ginjal.


Namun, Flank symptomp dapat terjadi pada cedera hepar atau lien dan hematuria dapat

8
menandakan kerusakan pada bagian mana pun dari sistem urinaria. Hal ini membuat
diagnosis trauma ginjal menjadi sulit terutama pada pasien-pasien dengan poli trauma.
Tidak ada gejalayang secara konsisten terjadi pada cedera ginjal. Mekanisme trauma
yang lebih besar tidak dapat diandalkan memprediksi cedera yang serius.

Pemeriksaan fisik merupakan dasar pemeriksaan pada setiap pasien trauma.


Stabilitas hemodinamik merupakan kriteria utama dalam penatalaksanaan semua
trauma ginjal. Shok dapat diartikan sebagai tekanan sistole yang <90 mmHg pada saat
pasien dievaluasi. Vital sign harus dicatat untuk mengevaluasi pasien.

Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul atau tembus pada regio
flank, lower thorax dan upper abdomen. Pada luka tembus, panjangnya luka tidak
secara kurat mengambarkan dalamnya penetrasi. Penemuan berupa; hematuri, jejas dan
nyeri pada pinggang, patah tulang iga bawah, atau distensi abdomen dapat dicurigai
adanya trauma pada ginjal.

Pemeriksaan Laboratorium
Urinalisa, hematokrit, dan kadar kreatinin adalah tes yang diperlukan untuk
mendiagnosis hematuria mikroskopis, status kehilangan darah saat ini, dan fungsi
ginjal. Evaluasi laboratorium tambahan harus mencakup hitung darah lengkap, gas
darah dan kimia lengkap, termasuk glukosa, elektrolit, tes fungsi hati, amilase dan
lipase untuk mengevaluasi kemungkinan cedera organ perut lainnya. Hematuria,
visible atau non-visible, adalah tanda yang sangat umum dari trauma ginjal. Non-
visible, juga dikenal sebagai hematuria mikroskopis, didefinisikan sebagai tiga atau
lebih sel darah merah (RBC) / medan daya tinggi (HPF) untuk dewasa dan lebih dari
50 RBC / HPF untuk anak. Visible Hematuria terjadi hanya ada pada 35-77% kasus
trauma ginjal. Tidak ada hubungan absolut antara jenis atau derajat hematuria dan jenis
dan tingkat keparahan ginjal yang terluka.
Hematuria merupakan poin disgnostik penting untuk trauma ginjal.
Namun tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan apakah suatu trauma

9
minor ataukah mayor. Perlu diingat beratnya hematuria tidak berkorelasi lurus
dengan beratnya trauma ginjal. Bahkan untuk trauma ginjal yang berat, seperti;
robeknya ureteropelvic junction, trauma pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat
tampil tanpa disertai dengan hematuria

2.9. Imaging

Computed Tomography (CT)


Computed tomography (CT) dengan kontras-medium saat ini adalah metode
pencitraan golden standard untuk pasien dengan hemodinamik yang stabil dengan
trauma ginjal tumpul dan tembus. CT tersedia secara luas dan dapat dengan cepat dan
akurat menemukan cedera organ ginjal dan cedera lainnya dengan informasi anatomi
dan fungsional yang penting untuk penentuan stadium yang akurat. CT untuk trauma
ginjal harus mencakup empat fase: precontrast, postcontrast arterial (35 detik post
intravena), postcontrast nephrogenic / portal vena (75 detik pasca injeksi intravena) dan
delayed (5-10 menit pasca injeksi intravena). Fase prekontras dapat mengidentifikasi
batu ginjal yang mempengaruhi manajemen, perdarahan aktif atau hematoma
intraparenchymal. Fase post-kontras mengidentifikasi kerusakan parenkim dan
vaskular, termasuk adanya ekstravasasi, kerusakan organ padat lainnya (mis. Hati dan
pankreas) dan varian fisiologis yang dapat memengaruhi manajemen. Fase delayed
dapat memvisualisasikan collecting system dan kemungkinan cedera ureter.
CT scan merupakan standar baku pemeriksaan radiologi pada pasien trauma
ginjal dengan hemodinamik stabil. Pada banyak penelitian CT scan lebih unggul
dibandingkan pencitraan lain seperti IVP, USG atau angiografi. CT scan lebih akurat
untuk menilai lokasi trauma, mendeteksi kontusio dengan jelas, memberikan gambaran
retroperitoneum dan hematom, dan secara simultan memberikan gambaran abdomen
dan pelvis. CT scan juga memberikan keunggulan dalam gambaran detail anatomi,
yang mencakup; laserasi ginjal, ada tidaknya trauma penyerta, dan gambaran ginjal
kontralateral. Luasnya hematom yang tampak pada CT scan dapat dijadikan dasar
evaluasi pada kasus trauma tumpul dan penentuan terapi lebih lanjut.

10
Kontras intravena dapat dilakukan untuk menilai ginjal. Adanya ekstravasasi
kontras pada trauma ginjal menandakan suatu trauma pedicle ginjal. Jika tanpa kontras,
adanya hematom sentral peri-hilum dapat dicurigai sebagai trauma pedicle. Hal ini
harus dipastikan pada kondisi dimana parenkim ginjal tampak normal. Trauma pada
vena renalis merupakan hal yang sulit untuk dideteksi dengan modalitas pencitraan
apapun, namun kita dapat mencurigainya jika didapati hematom yang luas pada sisi
medial ginjal.

Intravenous Pyelography (IVP)


Pielografi intravena (IVP) telah diganti dengan CT yang ditingkatkan kontras,
kecuali sebagai alat intraoperatif untuk mengkonfirmasi keberadaan ginjal yang
berfungsi kontralateral pada pasien yang secara hemodinamik tidak stabil yang tidak
dapat menyelesaikan CT pra operasi. enggunaan IVP intraoperatif mencakup injeksi
bolus one-shot kontras (2 mg / kg), diikuti oleh foto polos yang diambil setelah 10
menit.
Pasien yang tidak stabil merupakan kriteria untuk tindakan operatif (kondisi
tidak stabil sehingga tidak dimukinkan dilakukan CT scan), pada pasien tersebut perlu
dilakukan one shot-IVP di ruang operasi. Tekniknya dengan melakukan injeksi kontras
sebanyak 2 ml/KgBB dan diikuti dengan satu kali pengambilan plain foto tunggal 10
menit setelah injeksi kontras. Pemeriksaan akan memberikan informasi untuk tindakan
laparotomi segera, dan data mengenai normal atau tidaknya fungsi ginjal kontralateral.

Walaupun banyak ahli yang menganjurkan penggunaannya, namun tidak semua


penelitian menunjukkan manfaat dari one shot-IVP. Pada kasus trauma tembus, Patet
et al, menemukan positive predictive value yang hanya 20%, artinya 80% pasien
dengan one shot-IVP yang normal, tidak mampu mendeteksi adanya trauma ginjal pada
pasien tersebut. Sehingga disimpulkan bahwa one-shot IVP tidak memiliki manfaat
yang signifikan untuk menilai pasien dengan trauma tembus ginjal yang akan menjalani
operasi laparotomi

Ultrasound

11
Ultrasonografi (US) digunakan untuk mendefinisikan cairan bebas pada
trauma, tetapi sensitivitasnya lebih rendah daripada CT dalam resolusi dan kemampuan
untuk secara akurat menggambarkan cedera ginjal. Pemeriksaan ini tidak dapat
membedakan darah segar dari ekstravasasi urin, dan tidak dapat mengidentifikasi
cedera pedikel vaskular dan infark segmental. tidak adanya radiasi, yang merupakan
salah satu keunggulan utama ultrasound, yang mana hal ini sangat relevan untuk pasien
anak.
USG merupakan modalitas pencitraan yang populer untuk penilaian awal suatu
trauma abdomen. USG dapat dilakukan dengan cepat, tidak invasif, biaya murah, dan
dapat menilai adannya cairan bebas tanpa paparan radiasi atau zat kontras. Namun
penggunaan USG pada trauma ginjal cukup banyak dipertanyakan, disamping
pemakainaya sangat bergantung pada operator.

USG dapat mendeteksi adanya laserasi pada ginjal, namun tidak mampu secara
tepat memastikan seberapa dalam dan luas laserasi yang terjadi, dan tidak mampu
menampilkan data yang mendukung untuk menilai ekskresi ginjal dan ada tidaknya
kebocoran urin. USG doppler dapat digunakan untuk menilai aliran darah yang menuju
ke ginjal. Pada USG dengan kontras, pencitraan dengan baik dapat dilihat pada posisi
pasien supine atau dekubitus kontralateral.

Karena penggunaanya yang relatif cepat, USG dapat digunakan pada saat
penilaian awal trauma. Pada saat evaluasi, USG lebih sensitif dan spesifik
dibandingkan IVP standar untuk kasus trauma minor. Pada penelitian lain yang
membandingkan USG dan IVP, sensitifitas USG akan makin berkurang berbanding
lurus dengan beratnya derajat trauma, sementara sensitifitas IVP sama tingginya pada
semua derajat trauma ginjal.

USG dapat digunakan untuk mengevaluasi resolusi urinoma dan hematom


retroperitoneal pada kasus pasien trauma ginjal yang stabil. USG juga dapat digunakan
pada pasien yang hamil dan berguna untuk follow-up rutin dalam menilai lesi parenkim
atau hematom pada pasien yang dirawat di ruang intensive care unit (ICU).
Kesimpulannya, USG berguna pada saat triase pasien dengan trauma tumpul abdomen,

12
dan membantu untuk menentukan modalitas diagnostik yang lebih agresif. USG
abdomen tidak memberikan data yang akurat untuk menilai derajat trauma ginjal
Magnetic Resonance Imaging
Walaupun MRI tidak banyak digunakan pada sebagian besar kasus trauma
ginjal, namun beberapa penelitian telah menunjukkan beberapa manfaat MRI. MRI
(1,0 tesla) dapat dengan akurat mangambarkan hematom perirenal, viabilitas fragmen
ginjal, dan mendeteksi kelainan ginjal sebelumnya, namun gagal memvisualisasikan
ekstravasasi urin pada pemeriksaan awal. Namun demikian MRI bukan pilihan
diagnostik pertama pada pasien trauma karena waktu pemeriksaannya yang lama dan
biayanya yang mahal.

2.10. Indikasi Pencitraan Awal

Tujuan pencitraan awal adalah untuk menilai cedera ginjal, menunjukkan


keadaan ginjal kontralateral dan kelainan ginjal yang sudah ada sebelumnya, dan
mengidentifikasi cederaorgan lain yang didasarkan pada aspek klinis dan mekanisme
cedera. Indikasi untuk dilakukannya pemeriksaan radiologis pada trauma ginjal antara
lain adalah gross hematuri, hematuri mikroskopik yang disertai shok, atau adanya
trauma multi organ. Pada luka tembus, setiap kecurigaan adanya luka yang mengarah
pada ginjal maka perlu dilakukan pemeriksaan radiologis tanpa memandang derajat
hematuri.

2.11. Indikasi Re-Imaging


Tujuan reimaging adalah untuk mendiagnosis kemungkinan komplikasi dan untuk
mengevaluasi penurunan klinis. Pedoman saat ini merekomendasikan reimaginguntuk
pasien dengan cedera tingkat tinggi setelah 2-4 hari.

2.12. Management

Satu jam pertama setelah trauma merupakan masa terpenting dan membutuhkan
penilaian yang cepat, melakukan resusistasi berdasarkan prioritas yang telah ditetapkan
oleh American College of Surgeons Acute Trauma Life Support Program meliputi; A,

13
airway dengan proteksi servikal collar; B, Breathing; C, Circulation dan mengontrol
pendarahan; D, disability atau status neurologis; dan E, exposure and environment.

Tujuan utama dari manajemen pasien trauma ginjal adalah meminimalisir


morbiditas dan mengamankan fungsi ginjal. Oleh karena itu eksplorasi ginjal harus
dipastikan dengan sangat selektif. Derajat trauma ginjal, kondisi pasien secara
keseluruhan, dan kebutuhan akan transfusi merupakan faktor prognosis untuk
nefrektomi dan hasil akhir secara keseluruhan.

Hemodynamically unstable
Manajemen awal melibatkan resusitasi dasar sesuai dengan ATLS.
Ketidakstabilan hemodinamik atau perdarahan yang berkelanjutan adalah indikasi
utama untuk itervensi, dan jika hemostasis tidak dapat dicapai maka pasien akan
memerlukan intervensi bedah atau radiologis untuk mendapatkan kontrol langsung
perdarahan. Hemodinamik yang tidak stabil yang disebabkan oleh pendarahan ginjal
merupakan indikasi mutlak untuk dilakukannya eksplorasi ginjal, baik pada trauma
tumpul maupun trauma tembus. Indikasi lain untuk dilakukannya eksplorasi adalah
hematom perirenal yang pulsatile dan ekspanding (berdenyut dan meluas). Pada situasi
ini one shot-IVP dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Visualisasi yang tidak
baik pada ginjal yang mengalami trauma termasuk indikasi eksplorasi. Pasien trauma
ginjal grade 5 juga merupakan indikasi mutlak untuk dilakukannya eksplorasi.

Hemodynamically stable: Blunt renal Injury


Telah ada perubahan selama dua decade terakhir menuju manajemen
konservatif, yang membentuk perawatan utama dan telah dilaporkan di semua tingkat
cedera. Manajemen konservatif terdiri dari bedrest dengan pemantauan ketat. Ginjal
yang rapuh rentan terhadap gangguan lebih lanjut oleh kekuatan mekanik pada periode
awal. Harus ada pemeriksaan klinis rutin dan pemeriksaan dua kali sehari untuk
penurunan hematokrit dan fungsi ginjal. Resusitasi dengan cairan intravena dan
transfusi darah harus diberikan jika diperlukan dan perawatan kritis dilakukan pada
tahap awal. Cedera grade1-3 di bawah manajemen konservatif mengembangkan
setengah tingkat komplikasi dari mereka yang menjalani operasi. Luka grade 4 dan 5

14
yang dikelola secara konservatif memiliki lama rawat yang lebih pendek dan
komplikasi yang lebih sedikit daripada terapi bedah. Kebanyakan komplikasi muncul
dalam 24 jam. Istirahat di tempat tidur disarankan sampai stabilitas klinis dan resolusi
hematuria tercapai. Risiko tromboemboli vena ada dan profilaksis harus diberikan.
Pada saat dipulangkan, pasien harus menghindari aktivitas apa pun yang menempatkan
mereka pada risiko cedera ginjal lebih lanjut untuk waktu yang lama. Faktor-faktor
yang memprediksi kegagalan manajemen nonoperatif termasuk meningkatnya keadaan
asidosis, kebutuhan transfusi yang berkelanjutan, cedera organ non-ginjal dan tingkat
cedera ginjal yang tinggi. Angiografi dan embolisasi telah berkembang pesat untuk
memberikan kontrol perdarahan pada laserasi arteri, avulsi, perdarahan, fistula
vaskular, dan pseudoaneurisme. Embolisasi mampu mengurangi komplikasi dan
kebutuhan untuk nephrectomy dibandingkan dengan operasi terbuka di semua grade
AAST.

15
Hemodinamically stable: Penetrating injury
Ada sedikit penelitian tentang penetrasi luka saja. Mereka kurang berhasil
dikelola secara konservatif atau dengan embolisasi dan ada kecenderungan yang lebih
besar terhadap eksplorasi bedah, terutama pada cedera tingkat tinggi. Cidera tingkat
rendah diperlakukan sama dengan trauma tumpul dan sebagian besar pasien yang
secara hemodinamik stabil dapat ditangani secara konservatif.

2.13. Indikasi untuk Renal intervention


Indikasi absolut: menurut pedoman saat ini, indikasi absolut untuk intervensi
ginjal adalah ketidakstabilan hemodinamik dan tidak responsive terhadap resusitasi
agresif karena perdarahan ginjal, cedera pembuluh darah derajat 5 dan hematom
perirenal yang meluas atau pulsatile yang ditemukan selama laparotomi yang dilakukan
untuk cedera terkait.

16
Indikasi relatif. Subkomite trauma ginjal merangkum indikasi relatif untuk
eksplorasi ginjal. Termasuk didalamnya laserasi Pelvis renal yang besar, avulsi UPJ,
cedera usus atau pankreas yang terjadi bersamaan, kebocoran urin yang persisten, dan
postinjury urinoma atau abses perinefrik dengan manajemen perkutaneus atau
endoskopi yang gagal. Indikasi tambahan adalah intraoperatif IVP one-shot yang
abnormal, segmen parenkim devitalized dengan kebocoran urin yang terkait, trombosis
arteri renalis lengkap dari kedua ginjal atau ginjal soliter, dan cedera pembuluh darah
ginjal setelah manajemen angiografi gagal.

Secara keseluruhan eksplorasi dilakukan pada <10% kasus trauma ginjal dan
akan makin berkurang pada masa yang akan datang karena semakin banyaknya pihak
yang menganut pendekatan konservatif pada kasus trauma ginjal. Tujuan utama
eksplorasi adalah untuk mengontrol pendarahan dan menyelamatkan ginjal. Mayoritas
ahli menganjurkan pendekatan transperitoneal (laporatomi). Akses pada pedikel ginjal
lebih baik dilakukan dengan pendekatan peritoneum parietal poterior, dengan insisi di
atas aorta, medial dari vasa mesenterica inferior.

Secara keseluruhan 13% pasien mengalami nefrektomi pada saat eksplorasi,


umumnya nefrektomi dilakukan pada pasien dengan riwayat syok dan score trauma
yang berat. Pada kasus luka tembak, rekonstruksi mungkin sulit dilakukan sehingga
dibutuhkan nefrektomi. Renorafi merupakan teknik rekonstruksi yang umum
dilakukan. Nefrektomi parsial dapat dipertimbangkan jika ditemui jaringan yang non-
viable. Penutupan defek kolekting sistem dilakukan dengan penjahitan yang kedap-air,
beberapa ahli menganjurkan menutup defek kolekting sistem dengan parenkim ginjal
untuk hasil yang lebih baik. Jika kapsul ginjal tidak dapat dipreservasi maka dapat
dilakukan omental pedicle flap sebagai penutup defek. Pada semua kasus,
direkomendasikan penggunaan drainase retroperitoneal untuk mengalirkan kebocoran
urin.

Semua trauma tembus harus dieksplorasi melalui pendekatan transabdominal,


agar dapat mengeksplorasi ginjal kontralateral dan mengontrol trauma abdomen
lainnya. Ginjal dieksplorasi dengan membuka fascia gerota dan dinilai ada tidaknya

17
pendarahan aktif, hamtom perirenal yang meluas, atau kebocoran urin. Lakukan
penilaian pada hillum dan ureter bagian proksimal. Trauma tusuk dengan derajat 3 akan
mangalami perjalanan penyakit yang sulit untuk diprediksi dan dapat mengalami
komplikasi lambat dan operasi yang tertunda. Banyaknya jaringan ginjal yang
nonviable merupakan indikasi relatif untuk dilakukan eksplorasi. Trauma pada organ
vaskular ginjal jarang terjadi, biasanya kasus ini berhubungan dengan trauma penyerta
yang luas dan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas. Pada kasus trauma ginjal
bilateral dipertimbangkan untuk melakukan repair, pada kasus soliter dapat dilakukan
nefrektomi. Arteriografi dengan embolisasi untuk mengontrol pendarahan merupakan
alternatif untuk laparotomi. Banyak yang melaporkan angka keberhasilan tindakan ini
baik pada kasus trauma tumpul atau trauma tembus.

2.14. Komplikasi
Komplikasi awal termasuk perdarahan, infeksi, abses perinefrik, sepsis, fistula
urin, hipertensi, ekstravasasi urin, dan urinoma. Delayed komplikasi meliputi
perdarahan, hidronefrosis, pembentukan kalkulus, pielonefritis kronis, hipertensi,
fistula arteriovenosa, hidronefrosis dan pseudoaneurisma. Sebagian besar komplikasi
dapat diobati secara non operatif, perkutan dan endourologis. Trauma ginjal jarang
mengakibatkan hipertensi dan diperkirakan kejadiannya kurang dari 5%.

.3

18
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Cidera ginjal terjadi pada 8% -10% trauma tumpul atau penetrasi perut, dalam
beberapa kasus situasi yang mengancam jiwa. Sistem penilaian dan perawatan yang
terorganisir dapat dengan aman mengurangi kebutuhan nefrektomi dalam
kebanyakan kasus. Cidera ginjal AAST harus diperbarui untuk membawa
konsensus antara spesialis dan meningkatkan manajemen pasien. Kebanyakan
cedera ginjal pada pasien dengan hemodinamik yang stabil dapat ditangani dengan
aman secara konservatif. AE adalah perawatan yang efektif, dalam beberapa kasus
tertentu. Karena teknik pencitraan dan sistem pendekatan yang dioptimalkan telah
meningkat selama beberapa dekade terakhir, insiden perbaikan bedah cedera ginjal
secara bertahap menurun, dan operasi hemat nefron harus menjadi pilihan bila
memungkinkan.

3.2. Saran

Sebagai dokter, sebaiknya memiliki pemahaman yang baik mengenai trauma


urologi agar mampu mendiagnosis dan memberikan penatalaksanaan yang tepat
dan baik sehingga mampu menurunkan angka kematian akibat trauma. Edukasi
keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam pencegahan dan penanganan penyakit
trauma ginjal, sehingga mampu membantu kesembuhan dan mencegah komplikasi
yang mengancam jiwa. Perlu dilakukannya literature review yang mendalam
sehingga journal reading ini dapat menyajikan informasi yang lebih komprehensif
dan dapat menjadi tambahan wawasan bagi pembaca dan penulis.

19

Anda mungkin juga menyukai