Anda di halaman 1dari 23

SISTEM PERKEMIHAN

ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA GINJAL

Herman. M. Kep., Ners.


Disusun oleh Kelompok 3 :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Hany Luqianie:I1032141004
Suci Ramadhanty : I1032141005
Deska Kurnia S : I1032141018
Irenius Efferen : I1032141019
Teguh Ayatullah : I103214124
Agung Triputra : I1032141028
Destura : I1032141030

8. Yolanda Yuniati : I1032141035


10. Ananda Maharani P: I1032141037
11. Siti Annisa NH:I1032141041
12. Eka Putri F: I1032141042
13. Delima Ritonga : I1032141044
14. Eni Sartika:I1032141047
15. Riri Fitri Sari : I1032141048

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURAPONTIANAK
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah
memberikan rahmat dan karunia Nya, sehingga kami dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Makalah Asuhan Keperawatan Trauma Ginjal Sistem Perkemihan ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Perkemihan kelompok 3 PSIK APK
mahasiswa keperawatan UNTAN. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Herman M.Kep., Ners. selaku dosen mata kuliah sistem perkemihan yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan demi terselesaikannya makalah
ini.
2. Rekan rekan dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
makalah ini.
Namun, kami menyadari bahwa kekurangan dalam penyusunan makalah ini pasti
ada. Oleh karena itu, masukan berupa kritik dan saran yang bersifat membangun
senantiasa kami harapan demi perbaikan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca baik itu mahasiswa maupun
masyarakat dan dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan yang berguna untuk kita
semua. Akhir kata penyusun ucapkan terimakasih.

Pontianak, 11 Oktober 2016

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Trauma ginjal merupakan trauma pada sistem urologi yang paling
sering terjadi. Kejadian penyakit ini sekitar 8-10% dengan trauma tumpul atau
trauma abdominal. Pada banyak kasus, trauma ginjal selalu dibarengi dengan
trauma organ penting lainnya. Pada trauma ginjal akan menimbulkan ruptur
berupa perubahan organik pada jaringannya. Sekitar 85-90% trauma ginjal
terjadi akibat trauma tumpul yang biasanya diakibatkan oleh kecelakaan
lalulintas. Trauma ginjal biasanya terjadi akibat kecelakaan lalulintas atau
jatuh. Trauma ini biasanya juga disertai dengan fraktur pada vertebra thorakal
11-12. Jika terdapat hematuria kausa trauma harus dapat diketahui. Laserasi
ginjal dapat menyebabkan perdarahan dalam rongga peritoneum.
Frekuensi cedera ginjal tergantung pada populasi pasien yang
dipertimbangkan. Trauma ginjal menyumbang sekitar 3% dari seluruh
penerimaan trauma dan sebanyak 10 % dari pasien yang mempertahankan
trauma abdomen. Dengan menggunakan Nasional

Trauma Data Bank,

Grimsby et al. mengulas data cedera ginjal anak untuk menentukan


mekanisme cedera dan kelas, demografi, perawatan, dan pengaturan
perawatan. Sebagian besar trauma ginjal pada anak-anak ditemukan pada
kelas rendah (79%) dan ditemukan trauma tumpul (>90%). Cedera usia ratarata adalah 13.7 tahun, yaitu 94% dari pasien adalah berusia 5 sampai 18
tahun. Hanya 12% dari pasien dirawat di rumah sakit anak. Meskipun
sebagian besar anak-anak dirawat secara konservatif di rumah sakit
dewasa, tingkat nefrektomi tiga kali lebih tinggi dibandingkan pasien dirawat
di rumah sakit anak (Grimsby et al, 2014).
Tujuan dari penanganan trauma ginjal adalah untuk resusitasi pasien,
mendiagnosis trauma dan memutuskan penanganan terapi secepat mungkin.
Penanganan yang efisien dengan tehnik resusitasi dan pemeriksaan radiologi
yang akurat dibutuhkan untuk menjelaskan manajemen klinik yang tepat. Para
radiologis memainkan peranan yang sangat penting dalam mencapai hal
tersebut, memainkan bagian yang besar dalam diagnosis dan stadium trauma.

Lebih jauh, campur tangan dari radiologis menolong penanganan trauma


arterial dengan menggunakan angiografi dengan transkateter embolisasi.
Sebagai bagian yang penting dar trauma, radiologi harus menyediakan
konsultasi emergensi, keterampilan para ahli dalam penggunaan alat-alat
radiologis digunakan dalam evaluasi trauma, dan biasanya disertai trauma
tumpul pada daerah abdominal.
1.2.

Rumusan Masalah
Bagaimana konsep teori trauma ginjal serta asuhan keperawatan yang
komprehensif yang tepat pada klien trauma ginjal

1.3.

Tujuan
1. Untuk mengetahui serta memahami konsep teori trauma ginjal.
2. Untuk mengetahui serta memahami asuhan keperawatan yang komprehensif
pada trauma ginjal

BAB II TINJAUAN TEORI


2.1.

Definisi
Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam
trauma baik tumpul maupun tajam denga manifestasinya manifestasi memar,
laserasi, atau kerusakan padastruktur. Trauma ginjal merupakan trauma yang

terbanyak pada sistem urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma pada
abdomen mencederai ginjal (Purnomo, 2011; Muttaqin, 2011).
2.2.

Klasifikasi
1. Cedera minor :
- kontusio ginjal
- laserasi parenkim superficial
2. cedera mayor :
- laserasi korteks dan medulla tanpa ektravasasi urina
- laserasi korteks dan medulla dengan ekstravasasi urina
- cedera vaskuler
- avulasi
- thrombosis
Trauma tumpul pada umumnya lebih sering dijumpai dari pada trauma
tajam (Soelarto,).

2.3.

Etiologi
Mekanisme cidera yang dapat menyebabkan injuri pada ginjal adalah sebagai
berikut :
1. Trauma penetrasi (misalnya : luka tembak, luka tusuk)
2. Trauma tumpul (misalnya: kecelakaan kendaraan bermotor, olahraga,
jatuh)
3. Latrogenik (misalnya : prosedur endourologi, ESWL, biopsy ginjal,
prosedur perkutaneus pada ginjal)
4. Intraoperatif (misalnya: diagnostic peritoneal lavage)
5. Lainnya (misalnya : penolakan transplantasi ginjal, melahirkan [dapat
menyebabkan laserasi spontan ginjal) (Muttaqin, 2011)
Terdapat 3 penyebab utama dari trauma ginjal:
a. Trauma tumpul
Trauma tumpul biasanya terjadi karena kecelakaan kenderaan bermotor,
dan jatuh. Trauma tumpul dari tabrakan kendaraan bermotor, jatuh dan
tabrakan pribadi adalah penyebab utama trauma ginja.
b. Trauma iatrogenik
Trauma iatrogenik dapat hasil dari operasi, retrograde pyelography,
percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Biopsi ginjal
juga dapat menyebabkan trauma ginjal.
c. Trauma tajam

Trauma tajam adalah seperti tikaman atau luka tembak pada daerah
abdomen bagian atas ataupun pinggang (Lusaya, 2015).
2.4.

Manifestasi Klinis
1. Nyeri kolik renal (akibat bekuan darah/fragmen dari system duktus
kolektikus yang terobstruksi). Nyeri mungkin terlokalisasi pada satu daerah
panggul atau di atas perut.
2. Hematuria: Hematuria merupakan manifestasi yang umum terjadi. Oleh
karena itu, adanya darah dalam urin setelah suatu cedera menunjukkan
kemungkinan cedera ginjal. Namun demikian, hematuria mungkin tidak
akan muncul atau terdeteksi hanya melalui pemeriksaan mikroskopik.
3. Massa di rongga panggul mungkin merupakan retroperitoneal besar
hematoma atau kemungkinan ekstravasasi kemih.
4. Tanda-tanda hipovolemia dan syok disertai hemoragi yang signifikan.
(Smeltzer & Bare, 2001; Summerton et al., 2014).
5. Ekimosis pada daerah panggul atau kuadran atas perut.
6. Laserasi (luka) di abdomen lateral dan rongga panggul (Summerton et al.,
2014).

2.5.

Patofisiologi
Secara anatomis ginjal dilindungi oleh susunan tulang iga, otot punggung
posterior, lapisan dinding abdomen serta visera anterior. Oleh karena itu, cidera
ginjal tidak jarang diikuti oleh cidera organ-organ yang mengitarinya. Adanya
cidera traumatic, menyebabkan ginjal dapat tertusuk oleh iga paling bawah
sehingga terjadi kontusi dan rupture. Fraktur iga atau fraktur procesus
transverses lumbal vertebra atas dapat dihubungkan dengan kontusi renal atau
laserasi. Cedera dapat tumpul (kecelakaan lalulintas, cidera atletik, akibat
pukulan) atau penetrasi (luka tembak, luka tikam).
Ketidakdisiplinan dalam menggunakan sabuk pengaman atau akan
memberikan reaksi guncangan ginjal didalam rongga retroperitonium dan
menyebabkan reganggan pedikel gingal sehingga menimbulkan robekan tunika
intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan
darah yang selanjutnya dapat menimbulkan trombisis arteri renalis beserta

cabang-cabangnya. Kondisi adanya penyakit pada ginjal seperti hidronefrosis,


kista ginjal atau tumor ginjal akan memperberat suatu trauma pada kerusakan
sturktur ginjal.
Cidera ginjal akan memberikan manifestasi kontusi, laserasi, rupture dan
cidera pedikel renal, atau laserasi interna kecil pada ginjal. Secara fisiologis
ginjal menerima setengah dari aliran darah aorta abdominal, oleh karena itu
meskipun hanya terdapat laserasi renal yang kecil, namun hal ini dapat
menyebabkan perdarahan yang banyak. Cidera ginjal akan memberikan
berbagai manifetasi masalah keperawatan (Muttaqin, 2011).
2.6. Penatalaksanaan
2.6.1. Penatalaksanaan Medis
Operasi dan Rekontruksi
Operasi ditujukan pada trauma ginjal mayor dengan tujuan untuk
segera menghentikan perdarahan. Selanjutnya mungkin perlu
dilakukan

debriment

reparasi

ginjal

(berupa

renorafi

atau

penyambungan vaskuler) atau tidak jarang harus dilakukan


nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena kerusakan ginjal
yang sangat berat. Semakin banyak pihak menganut pendekatan
konservatif untuk pasien trauma ginjal (Hammer dan Santucci, 2003).
Secara keseluruhan, 13 % pasien trauma ginjal yang membutuhkan
nefrektomi pada saat eksplorasi, umumnya nefrektomi dilakukan
pada pasien dengan riwayat syok, hemodinamik tidak stabil, dan skor
trauma yang berat (Davis et al., 2006).
Pada luka tembak, rekonstruksi mungkin susah dilakukan sehingga
dibutuhkan nefrektomi. Secara keseluruhan, perbaikan berhasil
dicapai pada 89 % dari unit ginjal dieksplorasi. Prinsip-prinsip
manajemen operasi yang sukses termasuk control vaskular awal dan
berbagai teknik bedah.
Manajemen Non- Operatif / Konservatif
Perbedaan dalam pengelolaan trauma tumpul dan penetrasi adalah
hasil dari ketidakstabilan yang lebih besar dari pasien setelah trauma

tembus dan kemungkinan lebih tinggi dari cedera tumpul parah


setelah senjata api dan luka tusuk.
Manajemen non-operatif semakin banyak dipertimbangkan oleh
pasien trauma ginjal. Pada pasien yang stabil, melakukan perawatan
suportif yaitu dengan istirahat dan observasi. Semua kasus trauma
ginjal derajat 1 dan 2 dapat dirawat secara konservatif baik pada
trauma tumpul ataupun trauma tembus. Tetapi pada trauma ginjal
derajat 3 telah menjadi kontroversi selama bertahuntahun (Alsikafi
dan Rosenstein, 2006). Mayoritas pasien dengan trauma ginjal derajat
4 dan 5 datang dengantrauma penyerta dan akhirnya menjalani
eksplorasi dan tingginya angka untuk melakukan nefrektomi. Pada
pasien trauma ginjal derajat 4 dan 5 dapat dirawat secara konservatif
dengan syarat kondisi haemodinamik stabil. Pendekatan klinis yang
sistematis adalah berdasarkan pada temuan klinis,laboratorium, dan
pemeriksaan penunjang radiologis.
Penetrasi trauma ginjal
Selektif oleh manajemen non-operatif untuk luka tusuk perut
umumnya diterima untuk meningkatkan proporsi pusat trauma
Perdarahan terus-menerus merupakan indikasi utama untuk eksplorasi
dan rekonstruksi. Dalam semua kasus cedera parah, manajemen nonoperatif harus mengambil langkah hanya setelah pementasan ginjal
lengkap pada pasien hemodinamik stabil Jaringan kerusakan dari
cedera tembak kecepatan tinggi bisa lebih luas dan nefrektomi
diperlukan lebih sering. Pada pasien hemodinamik stabil tanpa
peritonitis mampu menjalani pemeriksaan klinis serial, cedera organ
padat bukan kontra - indikasi untuk manajemen non - operatif. Dalam
pengaturan yang sesuai, manajemen non - operatif cedera organ padat
setelah tembak melukai dikaitkan dengan tingkat keberhasilan yang
tinggi dan penyelamatan organ (DuBose et al., 2007).
2.6.2. Penatalaksanaan keperawatan

Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan


ini dilakukan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi, suhu tubuh),
kemungkinan adanya penambahan masa di pinggang, adanya pembesaran
lingkar perut, penurunan kadar hemoglombin dan perubahan warna urin
pada pemeriksaan urin serial (Purnomo, 2003). Trauma ginjal minor 85%
dengan hematuri akan berhenti dan sembuh secara spontan. Bed rest
dilakukan sampai hematuri berhenti (McAninch, 2000).
2.7.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Urinalisa, darah rutin

dan

kreatinin

merupakan

pemeriksaan

laboratorium yang penting. Urinalisa merupakan pemeriksaan penting untuk


mengetahui adanya cedera pada ginjal. Hematuria mikroskopis atau gross,
sering terlihat tetapi tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan
apakah suatu trauma minor atau mayor Tambahan pula, untuk trauma ginjal
yang berat seperti robeknya ureteropelvic junction, trauma pedikel ginjal,
atau trombosis arteri dapat tampil tanpa disertai dengan hematuria
(Purnomo, 2011).
Hematokrit serial dan vital sign merupakan pemeriksaan yang
digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma. Penurunan hematokrit dan
kebutuhan untuk transfusi darah merupakan tanda kehilangan darah dan
respon terhadap resusitasi akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan
keputusan. Peningkatan kreatinin dapat dikatakan sebagai tanda patologis
pada ginjal (Purnomo, 2011).
b. Pemeriksaan Radiologi (Pencitraan)
Indikasi untuk melakukan pemeriksaan radiologi pada trauma ginjal
adalah gross hematuria, hematuria mikroskopik yang disertai syok, atau
cedera pada organ lain. Pada luka tembus, setiap kecurigaan adalah luka
yang mengarah pada ginjal maka perlu melakukan pemeriksaan radiologi
tanpa memperhatikan derajat hematuria.

Pemeriksaan Intravenous Urografi (IVU) atau disebut sebagai Pielografi


Intra Vena (PIV) atau Intravenous Pyelografi (IVP). Pemeriksaan IVP
adalah foto yang dapat mengambarkan keadaan sistem urinaria melalui
bahan kontras( dengan menyuntikkan bahan kontras dosis tinggi
2ml/kgBB) digunakan untuk menilai tingkat kerusakan ginjal dan
menilai keadaan ginjal kontralateral. Pemeriksaan IVU dilakukan
apabila diduga terdapat :
- Luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal.
- Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria
-

makroskopik.
Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria

mikroskopik dan disertai syok (Purnomo, 2011).


Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) dilakukan sebagai pemeriksaan
penunjang apabila diduga cedera tumpul pada ginjal yang menunjukkan
tanda hematuria mikroskopik tanpa disertai syok. Pemeriksaan USG ini
dapat menemukan adanya kontusio parenkim ginjal atau hematoma
subkapsuler. Dengan pemeriksaanini dapat juga diperlihatkan ada atau
tidak

robekan

kapsul

ginjal.

Pemeriksaan

USG

pada

ginjal

dipergunakan:
- Untuk mendeteksi keberadaan dan keadaan ginjal (hidronefrosis,
kista, massa, atau pengkerutan ginjal) yang menunjukkan non

visualized pada pemeriksaan IVU.


Sebagai penuntun pada saat melakukan pungsi ginjal, atau

nefrostomi perkutan (Purnomo, 2011).


Pemeriksaan Computed Tomography (CT) adalah teknik pencitraan non
invasive, yang lebih superior daripada USG. Pemeriksaan CT scan ini
dilakukan untuk menerangkan kelainan pada ginjal, arteri dan vena
renalis, vena kava, dan massa di retroperitoneal. Pemeriksaan CT scan
dapat menunjukkan adanya robekan jaringan ginjal, ekstravasasi kontras
yang luas, dan adanya nekrosis jaringan ginjal. Selain itu, pemeriksaan
CT scan juga dapat mendeteksi adanya trauma pada organ yang lain. Alat

CT scan ini dapat mendeteksi kelainan dalam waktu cepat (< 30 detik),
sehingga dapat dipakai untuk menilai penyebab kolik ureter atau ginjal.
Pemeriksaan CT scan merupakan pemeriksaan radiologi yang utama bagi
pasien trauma ginjal dengan hemodinamik stabil (Purnomo, 2011).

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

3.1.

Pengkajian
1. Anamnesa
Identitas klien
Identitas klien terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa,
agama, pendidikan, pekerjaan, status, alamat, tanggal masuk, no regeister,
dan diagnosis medis.
Riwayat Kesehatan
Keluhan utama: Klien mengeluh nyeri pada daerah abdomen.
Riwayat Kesehatan Sekarang: Klien mengeluh nyeri pada abdomen,

hematuria, dan mengalami pendarahan.


Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat penyakit sebelumnya harus digali, apakah adanya disfungsi
organ sebelum terjadinya trauma dan adanya riwayat penyakit ginjal
sebelumya yang dapat memperberat trauma, Hidronefrosis, batu ginjal,
kista, atau tumor telah dilaporkan dapat menimbulkan komplikasi yang

berat
Riwayat Kesehatn Keluarga: Dalam keluarga klien tidak ada yang
mempunyai riwayat penyakit seperti yang di alami klien, keluarga
klien juga tidak mengalami penyakit hipertensi, jantung, ginjal, DM

dan penyakit menular atau penyakit menurun lainnya.


2. Pola Pengkajian pola kesehatan
1) Pola persepsi kesehatan: Biasanya klien dengan trauma akan langsung
memeriksakan keadaannya ke dokter berhubungan dengan keadaan yang
di rasakan setelah trauma.
2) Pola Nutrisi Metabolik: Biasanya klien mengalami kurang napsu makan,
berat badan menurun.
3) Pola eliminasi: Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.

4) Pola sensori dan kognitif: Pada pola sensori klien tidak mengalami
gangguan penglihatan dan pendengaran. Pada pola kognitif daya ingat
klien masih baik.
5) Pola aktivitas dan latihan: Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan, dan nyeri.
6) Pola tidur dan istirahat: Klien mengalami kesukaran untuk istirahat
karena kejang otot/ nyeri otot.
7) Pola persepsi dan konsep diri: Klien merasa tidak berdaya,dan merasa
bersalah pada keluarga karena merasa merepotkan keluarganya.
8) Pola hubungan dan peran: Adanya perubahan hubungan dan peran karena
klien mengalami kesukaran untuk beraktivitas.
9) Pola Intoleransi dan Stres: Klien merasa cemasa dan khawatir dengan
kondisi klien saat ini.
10) Pola kesehatan reproduksi: Adanya perubahan libido dalam melakukan
aktivitas seksual.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan: Klien biasanya jarang melakukan ibadah
karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan/ kelumpuhan pada salah
satu sisi tubuh (Doenges, 2000).
3.2.

Analisa Data

Data

o
1

DS:

- Klien
kencing

nya

terdapat darah
Klien
mengatakan
pada
terlihat
merah

Masalah

Hipovolemi

keperawatan
Resiko Syok
Hipovolemik

mengatakan jika

Etilogi

kulitnya
bercak

DO :
-

Nadi : 130 X /

menit
RR : 30 x /

menit
Suhu : 40oC
TD : 80 / 50

mmHg
Pada

klien

ditemukan
hemoragi
subkutan

dan

hematoma
Pada
klien
terlihat
perubahan
tingkat
kesadaran

1. DS:
- Pasien

Cedera fisik

mengatakan
selera
-

makan

menurun
Pasien mengeluh
nyeri pada perut

DO :
-

TD

80/50 mmHg
Pasien tampak
meringis

berubah

Nyeri akut

Pasien
melaporkan
nyeri

secara

verbal
2. DS: -

Prosedur invasif

Resiko infeksi

Ketidakmampuan mencerna

Ketidakseimbangan

makanan

nutrisi kurang dari

DO :
-

Leukosit lebih
dari rentang

normal
Ditemukan
tanda-tanda
infeksi: daerah
luka terdapt pus,
lamanya
pengeringan
luka, bau

3. DS:
- Klien
mengatakan

kebutuhan tubuh

nyeri di daerah
-

perut
Klien
mengatakan
kehilangan nafsu
makan

DO:
-

Berat
menurun

badan
20%

atau

lebih

bawah

di

berat

badan ideal
Peristaltik

menurun
Klien
tampak
kurang

minat

pada makanan
3.3.
1.
2.
3.
4.

Diagnosa Keperawatan
Risiko syok hipovolemik berhubungan dengan faktor resiko hipovolemi
Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera: fisik
Resiko infeksi berhubungan dengan faktor resiko prosedur invasif
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk mencerna makanan adekuat.

3.4.
No
1

Intervensi
NOC
Diagnosa
NIC
Risiko
syok Syok prevention
Observasi
Kriteria Hasil : Setelah 1. Monitor status sirkulasi BP,
hipovolemik
berhubungan
dengan

faktor

resiko hipovolemi

diberikan intervensi,

warna kulit, suhu kulit,

klien manunjukan

denyut jantung, HR, dan

fungsi menghindari

ritme, nadi perifer dan

terjadinya syok
Syok management
Kriteria Hasil : Setelah
diberikan intervensi,
syok klien berkurang
hingga tidak terjadi.

kapillary revil
2. Monitor status cairan (input
dan output)
3. Pantau nilai lab : Hb, Ht,
AGD, dan Elektrolit, fungsi
renal ( BUN dan Cr level)
4. Monitor tanda syok
5. Menggambarkan gas darah
arteri dan monitor jaringan

oksigenasi
Nursing Treatment
6. Tempatkan klien pasien pada
posisi supine, kaki elevasi
untuk meningkatkan preload
dengan tepat
Edukasi
7. Ajarkan keluarga dan pasien
tentang tanda dan gejala
datangnya syok
8. Ajarkan keluarga dan pasien
tentang langkah mengatasi
gejala syok
Collaboration
9. Berikan cairan IV maupun
oral yang tepat
10. Berikan vasodilator yang
2

tepat
Akut Pain level
Observasi
Kriteria Hasil: Setelah 1. Lakukan
berhubungan
secara
dilakukan intervensi,
dengan
agen
Nyeri

cidera: fisik

nyeri klien berkurang


atau hilang.
Pain Control
Kriteria Hasil : Setelah

pengkajian

nyeri

komprehensif

termasuk

lokasi,

karakteristik,

durasi,

frekuensi, kualitas dan faktor

presipitasi.
intervensi, 2. Observasi reaksi nonverbal
klien
mampu
dari ketidaknyamanan.
3. Kaji tipe dan sumber nyeri
mengontrol nyeri
Comfort Level
untuk memberikan intervensi
Kriteria Hasil: Setelah
yang tepat
diberikan
intervensi, 4. Monitor vital sign sebelum
klien menyatakan rasa
dan
sesudah
pemberian
diberikan

nyaman setelah nyeri

analgesik pertama kali

berkurang

Nursing Treatment
5. Bantu Klien dan keluarga
untuk

mencari

menemukan

tindakan

kenyamanan
yang

dan

yang

pernah

efektif

dilakukan,

seperti distraksi, relaksasi,


atau kompres hangat/dingin.
6. Kendalikan
faktor
lingkungan

yang

dapat

mempengaruhi nyeri seperti


suhu ruangan, pencahayaan
dan kebisingan
7. Kurangi faktor

presipitasi

nyeri
8. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi: napas dalam,
relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
Edukasi
9. Berikan informasi

tentang

nyeri seperti penyebab nyeri,


berapa

lama

berkurang

nyeri

akan

dan

antisipasi

ketidaknyamanan

dari

prosedur
Colaboration
10. Kolaborasikan dengan dokter
dalam pemberian analgetik
untuk mengurangi nyeri
3

Resiko

infeksi Immune Status

Observasi

Kriteria Hasil :
1. Monitor tanda dan gejala infeksi
Knowledge : Infection
sistemik dan lokal
faktor
resiko
2.
Monitor hitung granulosit dan
Control
prosedur invasif
Kriteria hasil:
WBC
- Jumlah
leukosit 3. Monitor kerentanan terhadap
berhubungan dengan

dalam batas normal


- Menunjukkan
kemampuan untuk

infeksi

kulit

dan

membran

mukosa terhadap kemerahan,

panas, dan drainase


mencegah infeksi
4. Infeksi kondisi luka/insisi bedah
Risk Control
Kriteria hasil: Klien
Nursing Treatment
bebas dari tanda dan
gejala infeksi

5. Bersihkan lingkungan setelah


dipakai pasien lain
6. Pertahankan teknik isolasi
7. Instruksikan
pengunjug
mencuci tangan saat dan setelah
berkunjung
8. Pertahankan lingkungan aseptik
selama pemasangan alat.
9. Dorong masukkan nutrisi dan
cairan yang cukup
Edukasi
10. Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
11. Ajarkan
cara
menghindari
infeksi
Collaboration

12. Berikan terapi antibiotik pada


klien
4

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan

tubuh

Nutritional
Food and Fluid

status: Observasi
1.Kaji kemampuan klien untuk
mendapatkan

nutrisi

yang

berhubungan
-

dengan

peningkatan

ketidakmampuan
untuk

fungsi

dibutuhkan
2.Monitor
mual muntah
dan
3.Monitor kulit kering

pengecapan

mencerna

makanan adekuat.

Kriteria hasil :
Menunjukkan

menelan
Mampu
mengidentifikasi

dan

perubahan pigmentasi
4.Monitor kadar albumin, total

protein, Hb dan Ht
kebutuhan nutrisi
Nutritional
status: Nursing Treatment
5.Tentukan status gizi pasien dan
Nutrient intake
Kriteria hasil: Adanya
kemampuan pasien untuk
peningkatan

berat

badan sesuai dengan

memenuhi gizi
6.Identifikasi adanya alergi atau

intoleransi makanan yang


tujuan
Weight Control
dimiliki pasien
Kriteria hasil:
Edukasi
- Tidak ada tandaCollaboration
tanda malnutrisi
- Tidak
terjadi 7.Tentukan jumlah kalori dan jenis
penurunan
-

berat

badan yang berarti


Berat badan ideal
sesuai dengan tinggi
badan

3.5.

Evaluasi

BAB IV PENUTUP

nutrisi yang dibutuhkan untuk


memenuhi persyaratan gizi

4.1.
4.2.

Kesimpulan
Saran

DAFTAR PUSTAKA

Alsikafi, N.F., Rosenstein, D.I., 2006. Stagging, Evaluation, and Nonoperative


Management of Renal injuries. Urologic Clinics of North America.
DuBose, J., Inaba, K., Teixeira, P.G., et al., 2007. Selective Non-Operative
Management of Solid Organ Injury Following Abdominal Gunshot Wounds.
Injury 38(9).
Doengoes, Marylinn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Ed: 3. Jakarta: EGC
Grimsby et al. 2014. Demographics of Pediatric Renal Trauma. Journal Urology,
192(5), pp. 1498-502.
Hammer, C.C., Santucci, R.A., 2003. Effect of an Institutional Policy of
Nonoperative Treatment of Grades I to IV Renal Injuries. Journal Urology,
169.
Lusaya. 2015. Renal Trauma. Medscape.
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.
Purnomo, B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto.
Smeltzer & Bare. 2001. Buku

Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and

Suddart. Jakarta: EGC.


Summerton et al. 2014. Guidelines on Urological Trauma. European Association of
Urology.

Anda mungkin juga menyukai