Anda di halaman 1dari 20

BAB I

KONSEP DASAR

A. KONSEP DASAR MEDIS


1. Definisi
Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam trauma
baik tumpul maupun tajam denga manifestasinya manifestasi memar, laserasi, atau
kerusakan padastruktur. Trauma ginjal merupakan trauma yang terbanyak pada sistem
urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma pada abdomen mencederai ginjal (Purnomo,
2011; Muttaqin, 2011).

2. Klasifikasi
1. Cedera minor :
- kontusio ginjal
- laserasi parenkim superficial
2. cedera mayor :
- laserasi korteks dan medulla tanpa ektravasasi urina
- laserasi korteks dan medulla dengan ekstravasasi urina
- cedera vaskuler
- avulasi
- thrombosis
Trauma tumpul pada umumnya lebih sering dijumpai dari pada trauma tajam
(Soelarto,).

3. Etiologi
Mekanisme cidera yang dapat menyebabkan injuri pada ginjal adalah sebagai berikut :
1. Trauma penetrasi (misalnya : luka tembak, luka tusuk)
2. Trauma tumpul (misalnya: kecelakaan kendaraan bermotor, olahraga, jatuh)
3. Latrogenik (misalnya : prosedur endourologi, ESWL, biopsy ginjal, prosedur
perkutaneus pada ginjal)
4. Intraoperatif (misalnya: diagnostic peritoneal lavage)
5. Lainnya (misalnya : penolakan transplantasi ginjal, melahirkan [dapat
menyebabkan laserasi spontan ginjal) (Muttaqin, 2011)
Terdapat 3 penyebab utama dari trauma ginjal:
a. Trauma tumpul
Trauma tumpul biasanya terjadi karena kecelakaan kenderaan bermotor, dan
jatuh. Trauma tumpul dari tabrakan kendaraan bermotor, jatuh dan tabrakan
pribadi adalah penyebab utama trauma ginja.
b. Trauma iatrogenik
Trauma iatrogenik dapat hasil dari operasi, retrograde pyelography, percutaneous
nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan
trauma ginjal.
c. Trauma tajam
Trauma tajam adalah seperti tikaman atau luka tembak pada daerah abdomen
bagian atas ataupun pinggang (Lusaya, 2015).
4. Manifestasi Klinis
1. Nyeri kolik renal (akibat bekuan darah/fragmen dari system duktus kolektikus yang
terobstruksi). Nyeri mungkin terlokalisasi pada satu daerah panggul atau di atas
perut.
2. Hematuria: Hematuria merupakan manifestasi yang umum terjadi. Oleh karena itu,
adanya darah dalam urin setelah suatu cedera menunjukkan kemungkinan cedera
ginjal. Namun demikian, hematuria mungkin tidak akan muncul atau terdeteksi
hanya melalui pemeriksaan mikroskopik.
3. Massa di rongga panggul mungkin merupakan retroperitoneal besar hematoma atau
kemungkinan ekstravasasi kemih.
4. Tanda-tanda hipovolemia dan syok disertai hemoragi yang signifikan. (Smeltzer &
Bare, 2001; Summerton et al., 2014).
5. Ekimosis pada daerah panggul atau kuadran atas perut.
6. Laserasi (luka) di abdomen lateral dan rongga panggul (Summerton et al., 2014).

5. Patofisiologi
Secara anatomis ginjal dilindungi oleh susunan tulang iga, otot punggung
posterior, lapisan dinding abdomen serta visera anterior. Oleh karena itu, cidera ginjal
tidak jarang diikuti oleh cidera organ-organ yang mengitarinya. Adanya cidera
traumatic, menyebabkan ginjal dapat tertusuk oleh iga paling bawah sehingga terjadi
kontusi dan rupture. Fraktur iga atau fraktur procesus transverses lumbal vertebra atas
dapat dihubungkan dengan kontusi renal atau laserasi. Cedera dapat tumpul (kecelakaan
lalulintas, cidera atletik, akibat pukulan) atau penetrasi (luka tembak, luka tikam).
Ketidakdisiplinan dalam menggunakan sabuk pengaman atau akan memberikan
reaksi guncangan ginjal didalam rongga retroperitonium dan menyebabkan reganggan
pedikel gingal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini
akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan
trombisis arteri renalis beserta cabang-cabangnya. Kondisi adanya penyakit pada ginjal
seperti hidronefrosis, kista ginjal atau tumor ginjal akan memperberat suatu trauma
pada kerusakan sturktur ginjal.
Cidera ginjal akan memberikan manifestasi kontusi, laserasi, rupture dan cidera
pedikel renal, atau laserasi interna kecil pada ginjal. Secara fisiologis ginjal menerima
setengah dari aliran darah aorta abdominal, oleh karena itu meskipun hanya terdapat
laserasi renal yang kecil, namun hal ini dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.
Cidera ginjal akan memberikan berbagai manifetasi masalah keperawatan (Muttaqin,
2011).
6. Penatalaksanaan
2.6.1. Penatalaksanaan Medis
 Operasi dan Rekontruksi
Operasi ditujukan pada trauma ginjal mayor dengan tujuan untuk segera
menghentikan perdarahan. Selanjutnya mungkin perlu dilakukan debriment
reparasi ginjal (berupa renorafi atau penyambungan vaskuler) atau tidak
jarang harus dilakukan nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena
kerusakan ginjal yang sangat berat. Semakin banyak pihak menganut
pendekatan konservatif untuk pasien trauma ginjal (Hammer dan Santucci,
2003). Secara keseluruhan, 13 % pasien trauma ginjal yang membutuhkan
nefrektomi pada saat eksplorasi, umumnya nefrektomi dilakukan pada pasien
dengan riwayat syok, hemodinamik tidak stabil, dan skor trauma yang berat
(Davis et al., 2006).
Pada luka tembak, rekonstruksi mungkin susah dilakukan sehingga
dibutuhkan nefrektomi. Secara keseluruhan, perbaikan berhasil dicapai pada
89 % dari unit ginjal dieksplorasi. Prinsip-prinsip manajemen operasi yang
sukses termasuk control vaskular awal dan berbagai teknik bedah.
 Manajemen Non- Operatif / Konservatif
Perbedaan dalam pengelolaan trauma tumpul dan penetrasi adalah hasil dari
ketidakstabilan yang lebih besar dari pasien setelah trauma tembus dan
kemungkinan lebih tinggi dari cedera tumpul parah setelah senjata api dan
luka tusuk.
 Manajemen non-operatif semakin banyak dipertimbangkan oleh pasien
trauma ginjal. Pada pasien yang stabil, melakukan perawatan suportif yaitu
dengan istirahat dan observasi. Semua kasus trauma ginjal derajat 1 dan 2
dapat dirawat secara konservatif baik pada trauma tumpul ataupun trauma
tembus. Tetapi pada trauma ginjal derajat 3 telah menjadi kontroversi selama
bertahuntahun (Alsikafi dan Rosenstein, 2006). Mayoritas pasien dengan
trauma ginjal derajat 4 dan 5 datang dengantrauma penyerta dan akhirnya
menjalani eksplorasi dan tingginya angka untuk melakukan nefrektomi. Pada
pasien trauma ginjal derajat 4 dan 5 dapat dirawat secara konservatif dengan
syarat kondisi haemodinamik stabil. Pendekatan klinis yang sistematis adalah
berdasarkan pada temuan klinis,laboratorium, dan pemeriksaan penunjang
radiologis.
 Penetrasi trauma ginjal
Selektif oleh manajemen non-operatif untuk luka tusuk perut umumnya
diterima untuk meningkatkan proporsi pusat trauma Perdarahan terus-
menerus merupakan indikasi utama untuk eksplorasi dan rekonstruksi. Dalam
semua kasus cedera parah, manajemen non-operatif harus mengambil
langkah hanya setelah pementasan ginjal lengkap pada pasien hemodinamik
stabil Jaringan kerusakan dari cedera tembak kecepatan tinggi bisa lebih luas
dan nefrektomi diperlukan lebih sering. Pada pasien hemodinamik stabil
tanpa peritonitis mampu menjalani pemeriksaan klinis serial, cedera organ
padat bukan kontra - indikasi untuk manajemen non - operatif. Dalam
pengaturan yang sesuai, manajemen non - operatif cedera organ padat setelah
tembak melukai dikaitkan dengan tingkat keberhasilan yang tinggi dan
penyelamatan organ (DuBose et al., 2007).
2.6.2. Penatalaksanaan keperawatan
Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan ini
dilakukan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi, suhu tubuh), kemungkinan
adanya penambahan masa di pinggang, adanya pembesaran lingkar perut,
penurunan kadar hemoglombin dan perubahan warna urin pada pemeriksaan urin
serial (Purnomo, 2003). Trauma ginjal minor 85% dengan hematuri akan berhenti
dan sembuh secara spontan. Bed rest dilakukan sampai hematuri berhenti
(McAninch, 2000).

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Urinalisa, darah rutin dan kreatinin merupakan pemeriksaan laboratorium yang
penting. Urinalisa merupakan pemeriksaan penting untuk mengetahui adanya cedera
pada ginjal. Hematuria mikroskopis atau gross, sering terlihat tetapi tidak cukup
sensitif dan spesifik untuk membedakan apakah suatu trauma minor atau mayor
Tambahan pula, untuk trauma ginjal yang berat seperti robeknya ureteropelvic
junction, trauma pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat tampil tanpa disertai
dengan hematuria (Purnomo, 2011).
Hematokrit serial dan vital sign merupakan pemeriksaan yang digunakan
untuk mengevaluasi pasien trauma. Penurunan hematokrit dan kebutuhan untuk
transfusi darah merupakan tanda kehilangan darah dan respon terhadap resusitasi
akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Peningkatan kreatinin
dapat dikatakan sebagai tanda patologis pada ginjal (Purnomo, 2011).
b. Pemeriksaan Radiologi (Pencitraan)
Indikasi untuk melakukan pemeriksaan radiologi pada trauma ginjal adalah
gross hematuria, hematuria mikroskopik yang disertai syok, atau cedera pada organ
lain. Pada luka tembus, setiap kecurigaan adalah luka yang mengarah pada ginjal
maka perlu melakukan pemeriksaan radiologi tanpa memperhatikan derajat
hematuria.
 Pemeriksaan Intravenous Urografi (IVU) atau disebut sebagai Pielografi Intra
Vena (PIV) atau Intravenous Pyelografi (IVP). Pemeriksaan IVP adalah foto
yang dapat mengambarkan keadaan sistem urinaria melalui bahan
kontras( dengan menyuntikkan bahan kontras dosis tinggi ±2ml/kgBB)
digunakan untuk menilai tingkat kerusakan ginjal dan menilai keadaan ginjal
kontralateral. Pemeriksaan IVU dilakukan apabila diduga terdapat :
- Luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal.
- Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria
makroskopik.
- Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria mikroskopik
dan disertai syok (Purnomo, 2011).
 Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang
apabila diduga cedera tumpul pada ginjal yang menunjukkan tanda hematuria
mikroskopik tanpa disertai syok. Pemeriksaan USG ini dapat menemukan
adanya kontusio parenkim ginjal atau hematoma subkapsuler. Dengan
pemeriksaanini dapat juga diperlihatkan ada atau tidak robekan kapsul ginjal.
Pemeriksaan USG pada ginjal dipergunakan:
- Untuk mendeteksi keberadaan dan keadaan ginjal (hidronefrosis, kista,
massa, atau pengkerutan ginjal) yang menunjukkan non visualized pada
pemeriksaan IVU.
- Sebagai penuntun pada saat melakukan pungsi ginjal, atau nefrostomi
perkutan (Purnomo, 2011).
 Pemeriksaan Computed Tomography (CT) adalah teknik pencitraan non
invasive, yang lebih superior daripada USG. Pemeriksaan CT scan ini dilakukan
untuk menerangkan kelainan pada ginjal, arteri dan vena renalis, vena kava, dan
massa di retroperitoneal. Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan adanya
robekan jaringan ginjal, ekstravasasi kontras yang luas, dan adanya nekrosis
jaringan ginjal. Selain itu, pemeriksaan CT scan juga dapat mendeteksi adanya
trauma pada organ yang lain. Alat CT scan ini dapat mendeteksi kelainan dalam
waktu cepat (< 30 detik), sehingga dapat dipakai untuk menilai penyebab kolik
ureter atau ginjal. Pemeriksaan CT scan merupakan pemeriksaan radiologi yang
utama bagi pasien trauma ginjal dengan hemodinamik stabil (Purnomo, 2011).
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesa
 Identitas klien
Identitas klien terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama,
pendidikan, pekerjaan, status, alamat, tanggal masuk, no regeister, dan diagnosis
medis.
 Riwayat Kesehatan
 Keluhan utama: Klien mengeluh nyeri pada  daerah abdomen.
 Riwayat Kesehatan Sekarang: Klien mengeluh nyeri pada abdomen,
hematuria, dan mengalami pendarahan.
 Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat penyakit sebelumnya harus digali, apakah adanya disfungsi organ
sebelum terjadinya trauma dan adanya riwayat penyakit ginjal sebelumya yang
dapat memperberat trauma, Hidronefrosis, batu ginjal, kista, atau tumor telah
dilaporkan dapat menimbulkan komplikasi yang berat
 Riwayat Kesehatn Keluarga: Dalam keluarga klien tidak ada yang mempunyai
riwayat penyakit seperti yang di alami klien, keluarga klien juga tidak
mengalami penyakit hipertensi, jantung, ginjal, DM dan penyakit menular atau
penyakit menurun lainnya.
b. Pola Pengkajian pola kesehatan
1) Pola persepsi kesehatan: Biasanya klien dengan trauma akan langsung
memeriksakan keadaannya ke dokter berhubungan dengan keadaan yang di
rasakan setelah trauma.
2) Pola Nutrisi Metabolik: Biasanya klien mengalami kurang napsu makan, berat
badan menurun.
3) Pola eliminasi: Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola defekasi
biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
4) Pola sensori dan kognitif: Pada pola sensori klien tidak mengalami gangguan
penglihatan dan pendengaran. Pada pola kognitif daya ingat klien masih baik.
5) Pola aktivitas dan latihan: Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan, dan nyeri.
6) Pola tidur dan istirahat: Klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena kejang
otot/ nyeri otot.
7) Pola persepsi dan konsep diri: Klien merasa tidak berdaya,dan merasa bersalah
pada keluarga karena merasa merepotkan keluarganya.
8) Pola hubungan dan peran: Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien
mengalami kesukaran untuk beraktivitas.
9) Pola Intoleransi dan Stres: Klien merasa cemasa dan khawatir dengan kondisi
klien saat ini.
10) Pola kesehatan reproduksi: Adanya perubahan libido dalam melakukan aktivitas
seksual.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan: Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena
tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan/ kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh
(Doenges, 2000).
2. PENYIMPANGAN KDM

kecelakaan tembakan senjata


tindakan medis
(Operasi, ESWL,Biopsi
ginjal

Goncangan Mencederai abdomen


rongga perut pinggang/punggung

mencederai
peningkatan tekanan ginjal
subcortical Menembus ginjal

Ruptur TRAUMA TUMPUL


GINJAL

deselerasi

Robekan intima arteri


renalis

pembentukan bekuan daran

pendarahan di dalam
retroperitonium

DIstensi abdomen merasa cemas Merasa lemas trauma

Nausea Ancaman konsep diri nyeri pada bagian


dispnea saat/setelah
pinggang
beraktivitas

Anoreksia Ansietas

Intoleransi nyeri akut


aktivitas
Resiko defisit
nutrisi
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a) Nyeri akut b.d Agen pencedera fisik


b) Resiko defisit Nutrisi d.d Ketidakmampuan mencerna makanan
c) Ansietas b.d Ancaman terhadap konsep diri
d) Intoleransi Aktivitas b.d kelemahan

4. INTERVENSI KEPERAWATAN

No DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN KEPERAWATAN INTERVENSI


1 Nyeri akut b.d Agen pencedera Setelah dilakukan Intervensi Manajemen nyeri
fisik d.d : keperawatan selama 8 jam Observasi
Data Subjektif : maka tingkat nyeri menurun - Identifikasi lokasi,
- mengeluh nyeri dengan kriteria hasil : karakteristik,
Data Objektif : - Keluhan nyeri durasi, frekuensi,
- Tampak meringis - Meringis kualitas, intensitas
- Bersikap protektif (mis. - Sikap protektif nyeri
waspada posisi - Gelisah - Identifikasi skala
menghindari nyeri ) - Kesulitan tidur nyeri
- Gelisah Frekuensi nadi - Identifikasi respon
- Frekuensi nadi meningkat nyeri non variable
- sulit tidur - Identifikasi factor
yang memperberat
dan meringankan
nyeri
- Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan tentang
nyeri
- Identifikasi
pengaruh budaya
terhadap respon
nyeri
- Identifikasi
pengaruh nyeri
pada kualitas
hidup
- Monitor
keberhasilan
terapi
komplementer
yang sudah
diberikan
- Monitor efek
samping
penggunaan
analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri (mis.
TENS, hiponosis,
akupresur, terapi
music,
biofeedback,
terapi pijat,
aromaterapi,
teknik imajinasi
terbimbing,
kompres
hangat/dingin,
terapi bermain
- Control
lingkungan yang
mempercepat rasa
nyeri (mis. Suhu,
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan
- Fasilitasi istrahat
dan tidur
- Pertimbangan
jenis dan sumber
nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan
penyebab,
periode, dan
pemicu nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan
memonitor nyeri
secara mandiri
- Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
- Kolaboras
- Kolaborai
pemberian
analgetik, jika
perlu
2. Resiko Defisit Nutrisi d.d Setelah di lakukan Manajemen nutrisi
Ketidakmampuan mencerna intervensi keperawatan Observasi
makanan selama 8 jam, maka status - identifikasi status
nutrisi membaik dengan nutrisi
kriteria hasil - identifikasi alergi
- porsi makan yang di dan intoleransi
habiskan makanan
- berat badan - identifikasi
- indeks masa tubuh makanan yang
IMT disukai
- identifikasi
kebutuhan kalori
dan jenis nutrient
- identifikasi
perlunya
penggunaan NGT
- monitor asupan
mkanan
- monitor berat
badan
- monitor hasil
pemeriksaan lab
Terapeutik
- lakukan oral
hygene sebelum
makan, jika perlu
- fasilitasi
menentukan
pedoman diet
- sajikan makanan
secara menarik
dan suhu yang
sesuai
- berikan makanan
tinggi serat untuk
mencegah
konstipasi
- berikan makanan
tinggi kalori dan
tinggi protein
- berikan sulemen
makanan jika
perlu
- hentikan
pemberian
makanan melalui
selang NGT jika
asupan oral dapat
di toleransi
Edukasi
- anjurkan posisi
duduk jika
mampu
- ajarkan diet yang
diprogramkan
kolaborasi
- kolaborasi
pemberian
medikasi sebelum
makan
- kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk
menentukan
jumlah kalori dan
jenis nutrient
yang di butuhkan
jika perlu

3 Ansietas b.d dengan Acaman Setelah dilakukan tidakan Terapi Relaksasi


keperawatan selama 8 jam
terhadap konsep dri d.d maka tingkat ansietas Observasi
DS : merasa khawatir dengan menurun. - Identifikasi
akibat dari kondisi yang Dengan kriteria hasil: penurunan
dihadapi 1. Verbalisasi tingkat
DS : - kebingungan energy,ketidak
DO : - Frekuensi meningkat menurun mampuan,berko
-Tekanan darah 2. Verbalisasi nsentrasi,atau
meningkat khawatir akibat gejala lain yang
kondisi yang menggangu
dihadapi menurun kemampuan
3. Perilaku gelisah kognitif
menurun - Identifikasi
4. perilaku tegang teknik relaksasi
menurun yang pernah
5. Konsentrasi efektif
menurun digunakan
pola tidur menurun - periksa
ketegangan
otot,frekunsi
nadi,tekanan
darah,dan suhu
sebelum dan
sesudah latihan
- monitor respons
terhadap terapi
relaksasi

Teraupetik
- ciptakan
lingkungan
tenang dan
tanpa
gangguan
dengan
pencahayaan
dan suhu
ruang
nyaman,jika
perlu
- Berikan
informasi
tertulis
tentang
persiapan dan
prosedur
teknik
relaksasi
- Gunakan
nada suara
lembut
dengan irama
lambat dan
berirama

Edukasi
- Jelaskan
tujuan,manfaa
t,batasan,,bata
san,dan jenis
relaksasi,yang
tersedia(mis,
musik,medita
si,napas
dalam,relaksa
si,otot
progresif.
- anjurkan dan
merasakan
sensasi
relaksasi
- Anjurkan
sering
mengulangi
atau melatih
teknik yang
dipilih.

4 Intoleransi aktivitas b.d Setelah di lakukan tindakan Terapi Aktivitas


kelemahan d.d keperawatan selama 8 jam Observasi
DS : Mengeluh Lelah maka toleransi aktivitas Terapi Aktivitas
DO : Frekuensi jantung meningkat dengan kriteria observasi.
meningkat hasil : - Identifikasidefi
Membutuhkan bantuan - keluhan lelah sit tingkat
- dispnea saat aktivitas.
beraktivitas - Aplikasi
- dispnea setelah kemampuan
aktivitas berpartisipasi
- frekuensi nadi dalam aktivitas
tertentu.
- Identifikasi
sumber daya
untuk aktivitas
yang
diinginkan.
- Identifikasi
strategi
meningkatkan
partisipasi
dalam
aktivitas.
- Identifikasi
makna
aktivitas rutin.
- Monitor respon
emosional fisik
sosial dan
spiritual
terhadap
aktivitas.

Terapeutik.
- Fasilitas fokus
pada
kemampuan
bukan defisit
yang dialami.
- Sepakati
komitmen
untuk
meningkatkan
frekuensi dan
rentang
aktivitas.
- Fasilitas
memilih
aktivitas dan
tetapkan tujuan
aktivitas yang
konsisten
sesuai
kemampuan
fisik psikologis
dan sosial.
- Koordinasikan
pemilihan
aktivitas sesuai
usia.
- Fasilitas
makna
aktivitas yang
dipilih.
- Fasilitasi
transportasi
untuk
menghindari
aktivitas.
- fasilitasi pasien
dan keluarga
dalam
menyesuaikan
lingkungan
untuk
mengakomoda
si aktivitas
yang dipilih.
- Fasilitasi
aktivitas rutin.
- Fasilitasi
aktivitas
motorik untuk
merelaksasi
otot.
- Libatkan
keluarga dalam
aktivitas.

Edukasi
- Jelaskan
metode
aktivitas fisik
sehari-hari.
- Anjurkan
melakukan
aktivitas fisik
sosial spiritual
dan kognitif
dalam menjaga
fungsi dan
kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai