Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

TRAUMA TRAKTUS URINARIUS

Oleh:
Hanindia Ayu Kinasih 030.11.121
Nancy Edison030.11.208

Pembimbing:
dr. Achmad Rizky Herda, Sp.U

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti


Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Karawang
Karawang, Periode 23 November 2015 – 30 Januari 2016
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma tumpul merupakan penyebab utama cedera saluran kemih.1Namun, dapat juga
berupa trauma tajam ataupun cedera iatrogenik akibat tindakan dokter pada saat operasi atau
petugas medik yang lain. Pada trauma tajam, baik berupa trauma tusuk maupun trauma
tembus oleh peluru, harus dipikirkan untuk kemungkinan melakukan eksplorasi, sedangkan
trauma tumpul sebagian besar hampir tidak diperlukan tindakan operasi.2 Kejadian trauma
tumpul pada ginjal yang bisa bersifat langsung maupun tidak langsung, kira-kira 80-90%.1
Secara anatomis sebagian besar organ urogenitalia terletak di rongga ekstraperitoneal
(kecuali genitalia eksterna), dan terlindung oleh otot-otot dan organ-organ lain. Oleh karena
itu jika didapatkan cedera organ urogenitalia, harus diperhitungkan pula kemungkinan adanya
kerusakan organ lain yang mengelilinginya. Sebagian besar cedera organ urogenitalia bukan
cedera yang mengancam jiwa, kecuali cedera berat pada ginjal yang menyebabkan kerusakan
parenkim ginjal yang cukup luas dan kerusakan atau terputusnya pembuluh darah ginjal.2
Cedera pada ureter karena trauma eksternal jarang terjadi, hal ini dikarenakan ureter
terlindungi dengan baik di retroperitoneum oleh tulang panggul, otot psoas, dan tulang
belakang. Kerusakan pada ureter biasanya dihasilkan oleh suatu trauma yang signifikan dan
hampir selalu terjadi kerusakan pada organ lain di abdomen.3
Beratnya cedera pada kandung kemih tergantung dari seberapa penuhnya kandung
kemih dan bagaimana mekanisme traumanya.Trauma pada kandung kemih jarang terjadi
dikarenakan letak kandung kemih di dalam struktur tulang panggul.Cedera pada kandung
kemih biasanya dikarenakan trauma yang cukup berat pada panggung yang menyebabkan
fraktur dan terdapat fragmen tulang yang menembus dinding kandung kemih. Trauma pada
kandung kemih atau uretra dapat menyebabkan urin masuk ke dalam rongga peritoneum yang
dapat menyebabkan peritonitis, biasanya disebabkan oleh trauma pada buli yang dalam
keadaan penuh.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Trauma Ginjal
Ginjal merupakan cedera organ solid pada abdomen paling umum ketiga akibat trauma
tumpul.5 Ginjal terletak di rongga retroperitoneum dan terlindungi oleh otot punggung di
sebelah posterior dan oleh organ intraperitoneal di sebelah anteriornya; karena itu cedera
ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera organ yang mengitarinya. Trauma ginjal merupakan
trauma terbanyak pada sistem urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma pada abdomen
mencederai ginjal.2
Cedera ginjal dapat terjadi secara langsung akibat benturan yang mengenai daerah
pinggang atau tidak langsung yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal
secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitoneum.Jenis cedera yang mengenai ginjal dapat
merupakan cedera tumpul, luka tusuk, atau luka tembak.Goncangan ginjal di dalam rongga
retroperitoneum menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan
tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah
yang selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya.2
Kerusakan ginjal spontan jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada ginjal yang
abnormal, seperti hidronefrosis, tumor, atau ginjal polikistik.Trauma tajam, seperti tikaman
atau tembakan, merupakan 10-20% penyebab trauma pada ginjal. Baik luka tikam atau tusuk
pada perut bagian atas atau pinggang maupun luka tembak pada abdomen yang disertai
hematuria merupakan tanda pasti cedera pada ginjal.1
Secara patologis, trauma pada ginjal dapat dibagi atas kontusio, laserasi, dan cedera
pedikel.Kontusio ginjal terdapat pada sekitar 80% trauma tumpul ginjal.Terdapat perdarahan
di parenkim ginjal tanpa adanya kerusakan kapsul, kematian jaringan maupun kerusakan
kaliks. Laserasi ginjal terjadi karena adanya robekan parenkim, mulai dari kapsul ginjal
berlanjut sampai pelviokaliks.Cedera pedikel ginjal dapat berupa cedera pada arteri maupun
vena utama ginjal ataupun cabang segmentalnya. Laserasi yang mengenai pelvis biasnya
disertai hematuria.1
The American Association for the Surgery of Trauma (AAST) membagi trauma ginjal
menjadi lima derajat sesuai dengan tingkat keparahan cedera. Skala ini telah di validasi dan
berhubungan langsung dengan kebutuhan manajemen bedah pada pasien dengan trauma
ginjal.6

2
Tabel 1. Penderajatan Trauma Ginjal6

Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan
menjadi cedera minor, cedera major dan cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal.
Sebagian besar (85%) trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15%
termasuk cedera major (derajat III dan IV), dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.

Gambar 1. Derajat Trauma Ginjal


Gambaran Klinis
Patut dicurigai adanya cedera pada ginjal jika terdapat:2
1. Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah dan perut bagian
atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu.

3
2. Hematuria
3. Fraktur kosta sebelah bawah (T8-12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra.
4. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang.
5. Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu
lintas.
Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat bervariasi
tergantung pada derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ lain yang
menyertainya. Perlu ditanyakan mekanisme cedera untuk memperkirakan luas kerusakan
yang terjadi.Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri di daerah pinggang,
terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopik ataupun
mikroskopik.Pada trauma major atau ruptur pedikel seringkali pasien datang dalam keadaan
syok berat dan terdapat hematoma di daerah pinggang yang makin lama makin
membesar.Dalam keadaan ini mungkin pasien tidak sempat menjalani pemeriksaan IVU
karena usaha untuk memperbaiki hemodinamik seringkali tidak membuahkan hasil akibat
perdarahan yang keluar dari ginjal cukup deras. Untuk itu harus segera dilakukan eksplorasi
laparatomi untuk menghentikan perdarahan.2
Pada trauma tumpul dapat ditemukan jejas di daerah lumbal, sedangkan pada trauma
tajam tampak luka.Riwayat trauma daerah kostovetebra dan disertai nyeri serta jejas daerah
kostovetebra merupakan gejala tersering yang membuat kita harus waspada.Syok harus
segera diatasi. Bila syok tidak teratasi atau berulang, suspek penderita cedera intraabdomen
memerlukan laparatomi segera.1
Bila terdapat fasilitas, dapat dilakukan pembuatan single shot IVP, kontras disuntikkan
selama resusitasi dan dilakukan pengambilan foto satu kali pada 10 menit setelah
penyuntikan di meja operasi. Tindakan ini dapat menghindari eksplorasi ginjal yang tidak
perlu pada 32% pasien.1
Pada palpasi didapatkan nyeri tekan dan ketegangan otot pinggang, sedangkan massa
jarang teraba. Massa yang cepat meluas disertai tanda kehilangan darah banyak merupakan
tanda cedera vaskuler.Nyeri abdomen umumnya ditemukan pada daerah pinggang atau perut
bagian atas, dengan intensitas nyeri yang bervariasi.Bila disertai cedera hepar atau limpa
dapat ditemukan tanda perdarahan di dalam perut.Bila terjadi cedera pada sistem saluran
cerna mungkin ditemukan rangsang peritoneum. Terabanya massa retroperitoneal dapat
merupakan petunjuk adanya hematom dan urinoma. Imbibisi darah ke intraperitoneal dapat
menimbulkan gejala rangsang peritoneum.1

4
Fraktur tulang iga terbawah sering menyertai cedera ginjal.Bila hal ini ditemukan
sebaiknya diperhatikan juga keadaan paru apakah hematotoraks atau pneumotoraks dan
kemungkinan ruptur limpa.Hematuria makroskopik atau mikroskopik merupakan tanda
utama cedera saluran kemih.Hematuria merupakan salah satu faktor yang perlu
dipertimbangkan untuk tindakan selanjutnya.Pada trauma tumpul, hematuria mikroskopik
tanpa adanya syok tidak memerlukan pencitraan apapun kecuali terdapat trauma penyerta
(intraabdominal atau trauma deselerasi cepat) yang memungkinkan terjadinya cedera
vaskuler.Pada trauma tajam semua hematuria (gross atau mikroskopik) memerlukan
pencitraan.Derajat hematuria tidak berbanding langsung dengan tingkat kerusakan ginjal.
Perlu diperhatikan bahwa bila tidak ada hematuria, kemungkian cedera berat, seperti
putusnya pedikel dari ginjal atau ureter dari pelvis ginjal tetap.1
Pencintraan
Pemeriksaan pencitraan dimulai dari IVU (dengan menyuntikkan bahan kontras dosis
tinggi 2 ml/KgBB) guna menilai tingkat kerusakan ginjal dan melihat keadaan ginjal
kontralateral. Pembuatan IVU dikerjakan jika diduga ada luka tusuk atau luka tembak yang
mengenai ginjal, cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria makroskopik,
dan cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria mikroskopik dengan
disertai syok.2
Pada dugaan cedera tumpul pada ginjal yang menunjukkan tanda hematuria
mikroskopik tanda disertai syok melakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebagai
pemeriksaan penyaring.Pemeriksaan USG ini diharapkan dapat menemukan adanya kontusio
parenkim ginjal atau hematoma subkapsuler. Dengan pemeriksaan ini dapat pula
diperlihatkan adanya robekan kapsul ginjal.2
Jika IVU belum dapat menerangkan keadaan ginjal (misalkan pada ginjal non
visualized) perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan atau arteriografi. Pemeriksaan IVU pada
kontusio renis sering menunjukkan gambaran sistem pelvikalises normal. Dalam keadaan ini
pemerikasaan USG abdomen dapat menunjukkan adanya hematoma parenkim ginjal terbatas
pada subkapsuler dan dengan kapsul ginjal yang masih utuh. Kadang kala kontusiorenis yang
cukup luas menyebabkan hematoma dan edema parenkim yang hebat sehingga memberikan
gambaran sistem pelvikalises yang spastik atau bahkan tak tampak (non visualized). Sistem
pelvikalises yang tak tampak pada IVU dapat pula terjadi pada rupture pedikel atau pasien
yang berada dalam keadaan syok berat pada saat menjalani pemeriksaan IVU.2
Pada derajat IV tampak adanya ekstravasasi kontras, hal ini karena terobeknya sistem
pelvikalises ginjal. Ekstravasasi ini akan tampak semakin luas pada ginjal yang mengalami
5
fragmentasi (terbelah) pada cedera derajat V. Penentuan derajat trauma ginjal mulai
digantikan oleh CT-scan. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya robekan jaringan
ginjal, ekstravasasi kontras yang luas, dan adanya nekrosis jaringan ginjal. Selain itu
pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya trauma pada organ lain.2
Pemeriksaan IVP merupakan pilihan pertama saat ini karena ketersediaan yang relatif
luas. Adanya trauma ginjal akan terlihat pada IVP berupa ekskresi kontras berkurang
(bandingkan dengan kontralateral), garis psoas atau kontur ginjal yang menghilang karena
tertutup oleh ekstravasasi urin atau hematoma, scoliosis yang menjauhi sisi yang terkena
trauma karena kontraksi otot psoas serta gambaran ekstravasasi kontras. Gambaran IVP yang
normal menunjukkan trauma ginjal yang ringan.Adanya bagian ginjal yang sulit atau terlihat
menandakan adanya laserasi dalam, avulsi ataupun oklusi pembuluh darah.Tidak adanya
kontras pada IVP dapat disebabkan oleh avulsi pembuluh darah, robekan intima yang disertai
dengan trombosis dan kadang-kadang dapat pula karena spasme. Setengah dari kasus
nonvisualisedginjal disebabkan oleh cedera pedikel ginjal.1
Pengelolaan
Seperti semua kasus trauma, pendekatan sistematis mengikuti prinsip-prinsip Advanced
Trauma Life Support (ATLS) harus diterapkan.Pertama-tama pastikan bahwa saluran napas,
pernapasan, dan disfungsi sirkulasi dinilai dan diobati dengan tepat.Ketidakstabilan
hemodinamik yang tidak dikoreksi dengan kristaloid dan produk darah harus diwaspadai oleh
ahli bedah bahwa terdapat perdarahan visceral yang sedang berlangsung yang membutuhkan
intervensi. CT scan tetap merupakan Gold Standard untuk investigasi trauma ginjal di mana
stabilitas pasien memungkinkan. Angiografi dapat berguna dalam melokalisasi cedera
pembuluh darah dan dengan demikian membantu untuk menargetkan intervensi.6
Derajat I dan II pada trauma ginjal selalu di tangani secara konservatif.6 pada keadaan
ini dilakukan observasi tanda vital (tensi, nadi dan suhu tubuh), kemungkinan adanya
penambahan massa di pinggang, adanya pembesaran lingkaran perut, penurunan kadar
hemoglobin darah, dan perubahan warna urine pada pemeriksaan urine serial dan pemberian
antibiotik yang tepat. Jika selama observasi didapatkan adanya tanda-tanda perdarahan atau
kebocoran urine yang menimbulkan infeksi, harus segera dilakukan tindakan operasi.1,6

6
OBSERVASI

Tanda Vital turun Suhu tubuh meningkat


massa di pinggang menambah massa di pinggang
menambah
Hb turun
urine > pekat

merupakan tanda dari


kebocoran urine
merupakan tanda perdarahan > hebat

drainase urine segera


segera eksplorasi untuk menghentikan
perdarahan

Gambar 2. Tatalaksana tindakan selama observasi trauma ginjal


Secara historis , manajemen bedah pada trauma ginjal derajat III masih kontroversial,
namun bukti saat ini menggunakan pendekatan non-bedah.Pada sebuah studi observasional
multisenter baru-baru ini menunjukkan bahwa manajemen konservatif pada trauma ginjal
derajat IV pada sebagian besar kasus dapat mempertahankan fungsi ginjal yang diukur
dengan dimercaptosuccinic acid renal scintigraphy.6
Pada trauma ginjal derajat V, didapatkan hasil yang buruk dalah hal fungsi
ginjal.Trauma ginjal derajat V selain membutuhkan tranfusi produk darah juga membutuhkan
transfusi trombosit dan kebutuhan cairan untuk intervensi darurat.6 Operasi ditujukan pada
trauma ginjal major dengan tujuab untuk segera menghentikan perdarahan. Selanjutnya
mungkin perlu dilakukan debridement, reparasi ginjal (berupa renorafi atau penyambungan
vaskuler) atau tidak jarang harus dilakukan nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena
kerusakan ginjal yang sangat berat.1
Komplikasi
Komplikasi dini adalah penyulit yang terjadi empat minggu pertama setelah trauma,
seperti perdarahan, ekstravasasi urin, abses, sepsis, fistel urin, dan hipertensi. Komplikasi
lanjut adalah hipertensi, fistel arteriovena, hidronefrosis, urolithiasis, dan pielonefritis
kronik.1 Jika tidak mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat, trauma major dan trauma
pedikel sering menimbulkan perdarahan yang hebat dan berakhir dengan kematian. Selain itu
kebocoran sistem kaliks dapat menimbulkan ekstravasasi urine hingga menimbulkan
7
urinoma, abses perirenal, urosepsis, dan kadang menimbulkan fistula reno-kutan.
Dikemudian hari pasca cedera ginjal dapat menimbulkan penyulit berupa hipertensi,
hidronefrosis, urolitiasis, atau pielonefritis kronis.2

2.2 Trauma Ureter


Cedera ureter sangat jarang dijumpai dan merupakan 1% dari seluruh cedera traktus
urogenitalia.2 Cedera ureter agak jarang ditemukan karena ureter merupakan struktur
fleksibel yang mudah bergerak di daerah retroperitoneal dengan ukuran kecil serta terlindung
dengan baik oleh tulang dan otot.1 Trauma ureter ini dapat terjadi karena trauma dari luar,
yaitu trauma tumpul maupun trauma tajam, atau trauma iatrogenik. Biasanya trauma ureter
lebih sering terjadi karena trauma tajam dibandingkan dengan trauma tumpul. Trauma tumpul
sering dikaitkan dengan fraktur pada tulang pelvis.7Cedera pada ureter umumnya tidak
berdiri sendiri; sering disertai cedera organ lain, seperti duodenum, kolon, pembuluh darah
besar, atau organ intraabdomen lainnya.1
Operasi endouroligi transureter (ureteroskopi atau ureterorenoskopi, ekstraksi batu
dengan Dormia, atau litotripsi batu ureter) dan operasi di daerah pelvis (diantaranya adalah
operasi ginekologi, bedah digestif, atau vaskuler) dapat menyebabkan terjadinya cedera
ureter iatrogenik. Cedera yang terjadi pada ureter akibat tindakan operasi terbuka dapat
berupa ureter terikat, crushing karena terjepit oleh klem, putus (robek), atau devaskularisasi
karena terlalu banyak jaringan vaskuler yang dibersihkan.2
The American Association for the Surgery of Trauma (AAST)telah mengklasifikasikan
cedera ureter menjadi 5 derajat. Berikut ini adalah skala cedera ureter yang meliputi kelas
cedera, jenis cedera, dan deskripsi dari cedera:3
Tabel 2. Klasifikasi trauma ureter

8
Gambaran klinis
Kecurigaan adanya cedera ureter pada trauma dari luar adalah adanya hematuria pasca
trauma, sedangkan kecurigaan adanya cedera ureter iatrogenik bisa diketemukan pada saat
operasi atau setelah pembedahan.Jika diduga terdapat kebocoran urine melalui pipa drainase
pasca bedah, pemberian zat warna yang diekskresikan lewat urine, memberikan warna pada
cairan di dalam pipa drainase atau pada luka operasi. Selain itu pemeriksaan kreatinin atau
ureum cairan yang diambil dari pipa drainase kadarnya sama dengan yang berada di dalam
urin.2
Tabel 3. Kecurigaan Cedera Ureter Iatrogenik2
Lapangan operasi banyak cairan
Saat operasi Hematuria
Anuria/oligouri jika cedera bilateral
Demam
Ileus
Nyeri pinggang akibat obstruksi
Pasca bedah
Sampai beberapa hari cairan drainase jernih dan banyak
Hematuria persisten dan hematoma/urinoma di abdomen
Fistula ureterokutan/fistula ureterovagina

Pada umumnya tanda dan gejala klinis tidak spesifik.Hematuria menunjukkan cedera
pada saluran kemih.Bila terjadi ekstravasasi urin, dapat timbul urinoma pada pinggang atau
abdomen, fistel ureterokutan melalui luka atau tanda rangsang peritoneum bila urin masuk ke
rongga intraperiteneal.Pada trauma tumpul, gejalanya sering kurang jelas sehingga diagnosis
sering tertunda. Pada cedera ureter bilateral ditemukan anuria.1
Pada pemeriksaan IVU tampak ekstravasasi kontras atau kontras berhenti di daerah lesi
atau terdapat deviasi ureter ke lateral karena hematoma atau urinoma. Pada cedera yang lama
mungkin didapatkan hidroureteronefrosis sampai pada daerah sumbatan. Cedera ureter dari
luar seringkali diketemukan pada saat melakukan eksplorasi laparotomi dari suatu cedera
organ intraabdominal.2
Terapi
Pada setiap trauma tajam harus dilakukan tindakan eksplorasi untuk menilai ada
tidaknya cedera ureter serta cedera ikutan lain. Yang paling penting adalah melakukan
penyaliran urin yang ekstravasasi dan menghilangkan obstruksi.1 Tindakan yang dilakukan
9
terhadap cedera ureter tergantung pada saat cedera ureter terdiagnosis, keadaan umum pasien,
dan letak serta derajat lesi ureter. Tindakan yang dikerjakan mungkin:2
1. Ureter saling sambung (anastomosis end to end). Teknik ini dipilih jika kedua
ujung distal dan proksimal dapat didekatkan tanpa tegangan (tension).

Gambar 3. Anastomosis end to end


2. Inplantasi ureter ke buli-buli (neoimplantasi ureter pada buli-buli, flap Boari,
atau psoas hitch). Cedera ureter distal yang tidak memungkinkan untuk
dilakukan anastomosis end to end, atau implantasi ureter ke buli-buli
disebabkan tidak cukup bagian ureter distal. Bagian ureter distal dapat diganti
dengan bagian buli-buli yang dibentuk suatu tabung mirip ureter.

Gambar 4. Flap Boari


3. Uretero-kutaneostomi adalah menghubungkan ujung akhir ureter dengan dunia
luar melalui lubang di kulit (stoma)

10
4. Transuretero-ureterotomi (menyambung ureter dengan ureter pada sisi
kontralateral). Jika terlalu banyak segmen ureter distal yang rusak teknik ini
dapat dipilih.

Gambar 5. Transuretero-ureterotomi
5. Nefrostomi sebagai tindakan diversi.
6. Nefrektomi, yaitu pengangkatan ginjal.
Komplikasi
Komplikasi akut yang paling umum adalah kebocoran kemih yang berkepanjangan dari
anastomosis.Hal ini dapat bermanifestasi menjadi urinoma, abses, atau peritonitis dan dapat
dicegah dengan penempatan drainase intraoperatif di retroperitoneum, sehingga
memungkinkan baik drainase urin dan pengenalan dini kebocoran urin dari anastomosis. Jika
volume cairan drainase banyak, maka cairan harus diperiksa kadar kreatinin. Pengenalan
pada kebocoran urin yang terlambat berkaitan dengan peristiwa terjadinya sepsis dan
rekonstruksi yang lebih rumit sehingga pasien akan di rawat dalam jangka waktu yang lebih
lama.3
Komplikasi lain yang umumnya terjadi dari semua tindakan adalah kemungkinan untuk
terjadinya striktur, hidronefrosis, abses, pembentukan fistula, dan infeksi. Kuncinya adalah
untuk mendiagnosa masalah awal dan untuk pengobatan yang sesuai.3

11
2.3 Trauma Buli-buli
Trauma buli-buli merupakan keadaan darurat bedah yang memerlukan penatalaksanaan
segera.Bila tidak ditanggulangi dengan segera, dapat menimbulkan komplikasi, seperti
peritonitis dan sepsis.Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga
abdomen. Namun semakin bertambah usia, tempatnya turun dan terlindung di dalam kavum
pelvis; sehingga kemungkinan mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi. Trauma kandung
kemih terbanyak karena kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja yang menyebabkan
fragmen tulang pelvis mencederai buli-buli. Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli
adalah akibat fraktur pelvis.1,2
Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan kontusio atau ruptur kandung kemih.Pada
kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada dinding buli-buli dengan hematuria tanpa
ekstravasasi urin.Ruptur kandung kemih dapat bersifat intraperitoneal (membutuhkan
eksplorasi dan perbaikan buli) atau ekstraperitoneal (biasanya hanya ditangani dengan
memasang drainase buli). Ruptur kandung kemih ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk
fragmen fraktur tulang pelvis pada dinding depan kandung kemih yang penuh. Pada kejadian
ini terjadi ekstravasasi urin di rongga perivesikal.1,8
Fiksasi buli-buli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis sangat
kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah
berlawanan, dapat merobek buli-buli.Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pula
akibat fragmen tulang pelvis merobek dindingnya.Dalam keadaan penuh terisi urine, buli-buli
mudah sekali robek jika mendapatkan tekanan dari luar berupa benturan pada perut sebelah
bawah. Buli-buli akan robek pada daerah fundus dan menyebabkan ekstravasasi urine ke
rongga intraperitoneum.2
Trauma tumpul dapat menyebabkan ruptur buli-buli, terutama bila kandung kemih
penuh atau terdapat kelainan patologik, seperti tuberkulosis, tumor, atau obstruksi sehingga
trauma kecil sudah menyebabkan ruptur.Trauma tajam akibat luka tusuk atau tembak lebih
jarang ditemukan.Luka dapat melalui daerah suprapubik ataupun transperineal. Penyebab lain
adalah instrumentasi urologik.1
Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenik antara lain pada
reseksi buli-buli transurethral atau pada litotripsi. Demikian pula partus kasep atau tindakan
operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenik pada buli-buli. Rupture buli-
buli dapat pula terjadi secara spontan, hal ini biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat
kelainan pada dinding buli-buli. Infeksi tuberkulosis, tumor buli-buli, atau obstruksi

12
infravesikal kronis menyebabkan perubahan struktur otot buli-buli yang melemahkan dinding
buli-buli. Pada keadaan itu bisa terjadi rupture buli-buli spontanea.2
Secara klinis cedera buli-buli dibedakan menjadi kontusio buli-buli, cedera buli-buli
ekstraperitoneal, dan cedera intraperitoneal.Pada kontusio buli-buli hanya terdapat memar
pada dindingnya, mungkin didapatkan hematoma perivesikal, tetapi tidak didapatkan
ekstravasasi urine ke luar buli-buli. Cedera intraperitoneal merupakan 25-45% dari seluruh
trauma buli-buli, sedangkan kejadian cedera buli-buli ekstraperitoneal kurang lebih 45-60%
dari seluruh trauma buli-buli. Tidak jarang cedera buli-buli intraperitoneal terjadi bersama
dengan cedera ekstraperitoneal (2-12%).2
Pada cedera buli-buli intraperitoneal terjadi pengaliran urine kerongga peritoneal
sehingga menyebabkan inflamasi bahkan infeksi (peritonitis). Oleh karena itu jika tidak
segera dilakukan tindakan pembedahan, 10-20% cedera buli-buli berakibat kematian karena
sepsis.2The American Association for the Surgery of Trauma (AAST)telah mengklasifikasikan
cedera buli-buli menjadi 5 derajat, sebagai berikut:8
Tabel 4. Klasifikasi cedera buli-buli

Diagnosis
Setelah mengalami cedera pada abdomen sebelah bawah, pasien mengeluh nyeri di
daerah suprasimfisis, miksi bercampur, darah atau mungkin pasien tidak dapat miksi.
Gambaran klinis yang lain tergantung pada etiologi trauma, bagian buli-buli yang mengalami
cedera yaitu intra/ekstraperitoneal, adanya organ lain yang mengalami cedera, serta penyulit
yang terjadi akibat trauma.2 Umumnya fraktur tulang pelvis disertai perdarahan hebat
sehingga tidak jarang penderita datang dalam keadaan anemia bahkan syok.1
Pada abdomen bagian bawah tampak jejas atau hematom dan terdapat nyeri tekan
didaerah suprapubik di tempat hematom.Pada ruptur buli-buli intraperitoneal, urin masuk ke
rongga peritoneum sehingga memberi tanda cairan intraabdomen dan rangsang peritoneum.
Lesi ekstraperitoneal memberikan gejala dan tanda infiltrate urin di rongga peritoneal yang

13
sering menyebabkan septisemia. Penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil. Kadang
keluar darah dari uretra.1
Diagnosis ditentukan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta hematuria.Pada foto
pelvis atau foto polos perut terlihat fraktur tulang pelvis. Pemeriksaan radiologik lain untuk
menunjang diagnosis adalah sistogram, yang dapat memberi keterangan ada tidaknya ruptur
kandung kemih, dan lokasi ruptur apakah intra atau ekstraperitoneal.1 Pemeriksaan pencitraan
dengan sistogram, yaitu dengan memasukkan kontras ke dalam buli-buli sebanyak 300-400
ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram. Kemudian dibuat beberapa
foto, yaitu foto pada saat buli-buli terisi kontras dalam posisi AP, pada posisi oblik dan wash
out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari buli-buli. Jika terdapat robekan pada buli-
buli, terlihat ekstravasasi kontras di dalam rongga perivesikal yang merupakan tanda adanya
robekan ekstraperitoneal.Jika terdapat kontras yang berada di sela-sela usus berarti robekan
buli-buli intraperitoneal. Pada perforasi yang kecil seringkali tidak tampak adanya
ekstravasasi (negatif palsu) terutama jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250 ml. Jika
tidak dijumpai ekstravasasi, diagnosisnya adalah kontusio buli-buli.1,2
Sebelum melakukan pemasangan kateter uretra, harus diyakinkan dahulu bahwa tidak
ada perdarahan yang keluar dari muara uretra.Keluarnya darah dari muara uretra merupakan
tanda dari cedera uretra. Jika di samping cedera pada buli-buli juga diduga terdapat cedera
pada saluran kemih bagian atas, pencitraan buli-buli dapat diperoleh melalui fase sistografi
pada foto IVU.2
Terapi
Bila penderita datang dalam keadaan syok, harus diatasi dengan pemberian cairan
intravena atau darah.Bila sirkulasi telah stabil, baru dilakukan reparasi buli-buli. Prinsip
pemulihan ruptur kandung kemih ialah penyaliran ruang perivesikal, pemulihan dinding,
penyaliran kandung kemih dan perivesikal, dan jaminan arus urin melalui kateter.1 Terapi
cedera buli-buli tergantung pada jenis cedera, diantaranya adalah:2
a.) Pada kontusio buli-buli : cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk
memberikan istirahat pada buli-buli. Dengan cara ini diharapkan buli-buli sembuh
setelah 7-10 hari.
b.) Pada cedera robekan intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparatomi untuk
mencari robekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika
tidak segera dioperasi ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum dapat
menyebabkan peritonitis. Rongga intra peritoneum dicuci, robekan pada buli-buli

14
dijahit 2 lapis, kemudian dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan di luar
sayatan laparatomi.

Gambar 6. Robekan buli-buli dijahit 2 lapis


c.) Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana (ekstravasasi minimal)
dianjurkan untuk memasang kateter selama 7-10 hari, tetapi sebagian ahli lain
menganjurkan untuk melakukan penjahitan buli-buli dengan pemasangan kateter
sistostomi. Tanpa dilakukan pembedahan, kejadian kegagalan penyembuhan luka
± 15%, dan kemungkinan untuk terjadinya infeksi pada rongga perivesika sebesar
12%. Oleh karena itu jika bersamaan dengan ruptur buli-buli terdapat cedera organ
lain yang membutuhkan operasi, sebaiknya dilakukan penjahitan buli-buli dan
pemasangan kateter sistostomi.

Gambar 7. Eksplorasi dan reparasi buli


Jika ahli ortopedi memasang plat untuk memperbaiki fraktur pelvis, mutlak harus
dilakukan penjahitan buli-buli guna menghindari terjadinya pengaliran urine ke fragmen
tulang yang telah dioperasi.Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh, sebelum
15
melepas kateter uretra atau kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
sistografi guna melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi urine.Sistografi dibuat pada
hari ke 10-14 pasca trauma. Jika masih ada ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan
sampai 3 minggu.2

Gambar 8. Algoritma managemen trauma traktus urinarius bawah


Komplikasi
Pada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urine ke rongga pelvis yang
dibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis.Yang lebih berat
lagi adalah robekan buli-buli intraperitoneal, jika tidak segera dilakukan operasi, dapat
menimbulkan peritonitis akibat dari ekstravasasi urine pada rongga intraperitoneum.Kedua
keadaan itu dapat menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa. Kadang-kadang dapat
pula terjadi penyulit berupa keluhan miksi, yaitu frekuensi dan urgensi yang biasanya akan
sembuh sebelum 2 bulan.2

16
2.4 Trauma Uretra
Berdasarkan anatomi, ruptur uretra dibagi atas ruptur uretra posterior yang terletak
proksimal diafragma urogenital dan ruptur uretra anterior yang terletak distal diafragma
urogenital.Cedera menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik
parsial atau total.Ruptur uretra posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat
fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranasea karena prostat bersama uretra
prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat
di diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada ruptur
total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-buli
dan prostat terlepas ke kranial.1

Gambar 9. Cedera Uretra (paling atas:memar dinding atau terlepasnya mukosa,


tengah:ruptur dinding parsial, paling bawah:putus atau ruptur total)
Cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau terkangkang sehingga uretra
terjepit antara objek yang keras, seperti batu, kayu, atau palang sepeda, dengan tulang
simfisis. Cedera uretra anterior, selain oleh cedera kangkang, juga dapat disebabkan oleh
instrumentasi urologik, seperti pemasangan kateter, businasi, dan bedah endoskopi.1

17
Berikut klasifikasi cedera uretra menurut The European Association of Urology (EAU)
Guidelines Group for Urological Trauma yang dibagi menjadi 5 derajat:9

Tabel 5. Klasifikasi cedera uretra

Gambaran Klinis
Kecurigaan adanya trauma uretra adalah jika didapatkan perdarahan peruretra, yaitu
terdapat darah yang keluar dari meatus uretra eksternum setelah mengalami
trauma.Perdarahan peruretra ini harus dibedakan dengan hematuria yaitu urine bercampur
darah.Pada trauma uretra yang berat, seringkali pasien mengalami retensi urine.Pada keadaan
ini tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter, karena tindakan pemasangan kateter
dapat menyebabkan kerusakan uretra yang lebih parah. Diagnosis ditegakkan melalui foto
ureterografi dengan memasukkan kontras melalui uretra, guna mengetahui adanya rupture
uretra.2
Rupture uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit di meatus uretra
disertai patah tulang pelvis. Selain tanda setempat, pada pemeriksaan colok dubur ditemukan
prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada difragma urogenital. Kadang
sama sekali tidak teraba prostat lagi karena pindah ke kranial. Pemeriksaan colok dubur harus
dilakukan dengan hati-hati karena fragmen tulang dapat mencederai organ lain, seperti
rectum. Kecurigaan ruptur uretra anterior timbul bila ada riwayat cedera kangkang atau
instrumentasi dan darah yang menetes dari meatus uretra. Pemeriksaan radiologik dengan
uretrogram retrograde dapat memberi keterangan letak dan tipe ruptur uretra.1
2.4.1 Ruptura uretra posterior
Ruptura uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur
yang mengenai ramus dan simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis,

18
menyebabkan robekan uretra pars prostate-membranasea. Fraktur pelvis dan robekan
pembuluh darah yang berada di dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di
kavum retzius sehingga ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat beserta buli-buli
akan terangkat ke kranial.2
Klasifikasi
Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum (1976) membagi derajat
cedera uretra dalam 3 jenis:2
1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan). Foto
uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan uretra hanya tampak
memanjang.
2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, sedangkan
diafragma urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi
kontras yang masih terbatas di atas diafragma urogenitalis.
3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal
ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras meluas hingga di
bawah diafragma urogenitalia sampai ke perineum.
Diagnosis
Pasien yang menderita cedera uretra posterior seringkali datang dalam keadaan syok
karena terdapat fraktur pelvis/ cedera organ lain yang menimbulkan banyak perdarahan.
Ruptura uretra posterior seringkali memberikan gambaran yang khas berupa perdarahan per-
uretra, retensi urine, dan pada pemeriksaan colok dubur didapatkan adanya floating prostate
di dalam suatu hematom. Pada pemeriksaan uretrografi retrograde mungkin terdapat elongasi
uretra atau ekstravasasi kontras pada pars prostatomembranasea.2
Tindakan
Ruptura uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ lain (abdomen
dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa perdarahan. Oleh karena itu
sebaiknya di bidang urologi tidak perlu melakukan tindakan yang invasive pada uretra.
Tindakan yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya perdarahan yang lebih banyak pada
kavum pelvis dan prostat serta menambah kerusakan uretra dan struktur neurovaskuler
disekitarnya. Kerusakan neurovaskuler menambah kemungkinan terjadinya disfungsi ereksi
dan inkontinensia.2
Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi untuk diversi
urine. Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi melakukan primary
endoscopicrealignment yaitu melakukan pemasangan kateter uretra sebagai splint melalui
19
tuntunan uretroskopi. Dengan cara ini diharapkan kedua ujung uretra yang terpisah dapat
saling didekatkan.Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca ruptura dan kateter uretra
dipertahankan 14 hari. Sebagian ahli lain mengerjakan reparasi uretra setelah 3 bulan pasca
trauma dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra telah stabil dan matang sehingga
tindakan rekonstruksi membuahkan hasil yang lebih baik.2
Penyulit
Penyulit yang terjadi pada ruptura uretra adalah striktura uretra yang seringkali
kambuh, disfungsi ereksi, dan inkontinensia urine.Disfungsi ereksi terjadi pada 13-30% kasus
disebabkan karena kerusakan saraf parasimpatetik atau terjadinya insufisiensi
arteria.Inkontinensia urine lebih jarang terjadi, yaitu 2-4% yang disebabkan karena kerusakan
sfingter uretra eksterna. Setelah rekonstruksi uretra seringkali masih timbul striktura (12-
15%) yang dapat diatasi dengan uretrotomia interna (sache). Meskipun masih bisa kambuh
kembali, striktura ini biasanya tidak memerlukan tindakan uretroplasti ulangan.2
2.4.2 Ruptura uretra anterior
Cedera dari luar sering menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah straddle injury
(cedera selangkangan), yaitu uretra tercepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis
kerusakan uretra yang terjadi berupa kontusio dinding uretra, ruptur parsial, atau ruptur total
dinding uretra.2
Patologi
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis.Korpus spongiosum
bersama dengan korpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia Buck dan fasia Colles.Jika
terjadi ruptur uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapi
masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada
penis.Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urine dan darah hanya dibatasi oleh
fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh
karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly
hematoma.2
Diagnosis
Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretra atau
hematuria.Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada
penis atau hematoma kupu-kupu.Pada keadaan ini sering kali pasien tidak dapat miksi.
Pemeriksaan uretrografi retrograde pada kontusio uretra tidak menunjukkan adanya
ekstravasasi kontras, sedangkan pada ruptur uretra menunjukkan adanya ekstravasasi kontras
di pars bulbosa.2
20
Tindakan
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini dapat
menimbulkan penyulit striktura uretra di kemudian hari, maka setelah 4-6 bulan perlu
dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan.Pada ruptur uretra parsial dengan ekstravasasi
ringan, cukup dilakukan sistostomi untuk mengalihkan aliran urine.Kateter sistostomi
dipertahankan sampai 2 minggu, dan dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan
uretrografi bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktura
uretra.Namun jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau sache.Tidak jarang
ruptur uretra anterior disertai dengan ekstravasasi urine dan hematom yang luas sehingga
diperlukan debridement dan insisi hematoma untuk mencegah infeksi. Reparasi uretra
dilakukan setelah luka menjadi lebih baik.2

21
Gambar 10. Manajemen trauma uretra posterior

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Umbas R, Manuputty D, Sukasah CL, Swantari NM, Achmad IA, Bowolaksono, et al.
Saluran kemih dan alat kelamin laki-laki.In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W,
Prasetyono TOH, Rudiman R, Editors. Buku ajar ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta:Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2012.p.879-88.
2. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. 3rd ed. Jakarta:Sagung seto;2012.p.175-92.
3. Santucci RA. Ureteral Trauma. Medscape 2014. Available from
www.emedicine.medscape.com (Accessed on Dec 14,2015)
4. Miller S. Traumatic injury of the bladder and urethra. Medline Plus 2014. Available from
www.nlm.nih.gov (Accessed on Dec 14,2015)
5. Harper K, Shah KH. Renal trauma after blunt abdominal injury. The Journal of
Emergency Medicine 2013;45:400-04. Available from www.jem-journal.com (Accessed
on Dec 14,2015)
6. Tait CD, Somani BK. Renal trauma: case reports and overview. Hindawi Publishing
Corporation 2012;DOI:10.115/2012/207872. Available from www.hindawi.com
(Accessed on Dec 14,2015)
7. Siram SM, Gerald SZ, Greene WR, Hughes K, Oyetunji TA, Chroser K. Ureteral trauma:
patterns and mechanisms of injury of an uncommon condition. Am J Surg 2010;199:566-
70. Available from www.ncbi.nim.mih.gov (Accessed on Dec 14,2015)
8. Santucci RA, Mcanich JW. Bladder injuries:evaluation and management. Brazilian
Journal of Urology 2000;26:408-14.
9. Pineiro LM, Djakovic N, Plas E, Mor Y, Santucci RA, Serafetinidis E, et al. EAU
Guideline on urethral trauma. European Urology 2010;57:791-803.

23

Anda mungkin juga menyukai