Pembimbing :
dr. Ahmad Rizky Herda, Sp. U
Disusun oleh :
Harlina Konoras (03014081)
Noferly Gina Jessica Go (03014142)
Sheilla Ayu P W (03015181)
Trauma tumpul merupakan penyebab utama cedera saluran kemih.1 Namun, dapat juga
berupa trauma tajam ataupun cedera iatrogenik akibat tindakan dokter pada saat operasi atau
petugas medik yang lain. Pada trauma tajam, baik berupa trauma tusuk maupun trauma tembus
oleh peluru, harus dipikirkan untuk kemungkinan melakukan eksplorasi, sedangkan trauma
tumpul sebagian besar hampir tidak diperlukan tindakan operasi.2 Kejadian trauma tumpul
pada ginjal yang bisa bersifat langsung maupun tidak langsung, kira-kira 80-90%.1
Secara anatomis sebagian besar organ urogenitalia terletak di rongga ekstraperitoneal
(kecuali genitalia eksterna), dan terlindung oleh otot-otot dan organ-organ lain. Oleh karena itu
jika didapatkan cedera organ urogenitalia, harus diperhitungkan pula kemungkinan adanya
kerusakan organ lain yang mengelilinginya. Sebagian besar cedera organ urogenitalia bukan
cedera yang mengancam jiwa, kecuali cedera berat pada ginjal yang menyebabkan kerusakan
parenkim ginjal yang cukup luas dan kerusakan atau terputusnya pembuluh darah ginjal.2
Cedera pada ureter karena trauma eksternal jarang terjadi, hal ini dikarenakan ureter
terlindungi dengan baik di retroperitoneum oleh tulang panggul, otot psoas, dan tulang
belakang. Kerusakan pada ureter biasanya dihasilkan oleh suatu trauma yang signifikan dan
hampir selalu terjadi kerusakan pada organ lain di abdomen.3
Beratnya cedera pada kandung kemih tergantung dari seberapa penuhnya kandung kemih
dan bagaimana mekanisme traumanya. Trauma pada kandung kemih jarang terjadi dikarenakan
letak kandung kemih di dalam struktur tulang panggul. Cedera pada kandung kemih biasanya
dikarenakan trauma yang cukup berat pada panggung yang menyebabkan fraktur dan terdapat
fragmen tulang yang menembus dinding kandung kemih. Trauma pada kandung kemih atau
uretra dapat menyebabkan urin masuk ke dalam rongga peritoneum yang dapat menyebabkan
peritonitis, biasanya disebabkan oleh trauma pada buli yang dalam keadaan penuh.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Trauma Ginjal
Ginjal merupakan cedera organ solid pada abdomen paling umum ketiga akibat trauma
tumpul.5 Ginjal terletak di rongga retroperitoneum dan terlindungi oleh otot punggung di
sebelah posterior dan oleh organ intraperitoneal di sebelah anteriornya; karena itu cedera ginjal
tidak jarang diikuti oleh cedera organ yang mengitarinya. Trauma ginjal merupakan trauma
terbanyak pada sistem urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma pada abdomen mencederai
ginjal.2
Cedera ginjal dapat terjadi secara langsung akibat benturan yang mengenai daerah
pinggang atau tidak langsung yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal
secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitoneum. Jenis cedera yang mengenai ginjal dapat
merupakan cedera tumpul, luka tusuk, atau luka tembak. Goncangan ginjal di dalam rongga
retroperitoneum menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika
intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang
selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya.2
Kerusakan ginjal spontan jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada ginjal yang
abnormal, seperti hidronefrosis, tumor, atau ginjal polikistik. Trauma tajam, seperti tikaman
atau tembakan, merupakan 10-20% penyebab trauma pada ginjal. Baik luka tikam atau tusuk
pada perut bagian atas atau pinggang maupun luka tembak pada abdomen yang disertai
hematuria merupakan tanda pasti cedera pada ginjal.1
Secara patologis, trauma pada ginjal dapat dibagi atas kontusio, laserasi, dan cedera
pedikel. Kontusio ginjal terdapat pada sekitar 80% trauma tumpul ginjal. Terdapat perdarahan
di parenkim ginjal tanpa adanya kerusakan kapsul, kematian jaringan maupun kerusakan
kaliks. Laserasi ginjal terjadi karena adanya robekan parenkim, mulai dari kapsul ginjal
berlanjut sampai pelviokaliks. Cedera pedikel ginjal dapat berupa cedera pada arteri maupun
vena utama ginjal ataupun cabang segmentalnya. Laserasi yang mengenai pelvis biasnya
disertai hematuria.1
The American Association for the Surgery of Trauma (AAST) membagi trauma ginjal
menjadi lima derajat sesuai dengan tingkat keparahan cedera. Skala ini telah di validasi dan
berhubungan langsung dengan kebutuhan manajemen bedah pada pasien dengan trauma
ginjal.6
Tabel 1. Penderajatan Trauma Ginjal6
Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan menjadi
cedera minor, cedera major dan cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal. Sebagian
besar (85%) trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15% termasuk cedera
major (derajat III dan IV), dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.
Cedera ureter sangat jarang dijumpai dan merupakan 1% dari seluruh cedera traktus
urogenitalia.2 Cedera ureter agak jarang ditemukan karena ureter merupakan struktur fleksibel
yang mudah bergerak di daerah retroperitoneal dengan ukuran kecil serta terlindung dengan
baik oleh tulang dan otot.1 Trauma ureter ini dapat terjadi karena trauma dari luar, yaitu trauma
tumpul maupun trauma tajam, atau trauma iatrogenik. Biasanya trauma ureter lebih sering
terjadi karena trauma tajam dibandingkan dengan trauma tumpul. Trauma tumpul sering
dikaitkan dengan fraktur pada tulang pelvis.7 Cedera pada ureter umumnya tidak berdiri
sendiri; sering disertai cedera organ lain, seperti duodenum, kolon, pembuluh darah besar, atau
organ intraabdomen lainnya.1
Operasi endouroligi transureter (ureteroskopi atau ureterorenoskopi, ekstraksi batu
dengan Dormia, atau litotripsi batu ureter) dan operasi di daerah pelvis (diantaranya adalah
operasi ginekologi, bedah digestif, atau vaskuler) dapat menyebabkan terjadinya cedera ureter
iatrogenik. Cedera yang terjadi pada ureter akibat tindakan operasi terbuka dapat berupa ureter
terikat, crushing karena terjepit oleh klem, putus (robek), atau devaskularisasi karena terlalu
banyak jaringan vaskuler yang dibersihkan.2
The American Association for the Surgery of Trauma (AAST) telah mengklasifikasikan
cedera ureter menjadi 5 derajat. Berikut ini adalah skala cedera ureter yang meliputi kelas
cedera, jenis cedera, dan deskripsi dari cedera:3
Cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau terkangkang sehingga uretra
terjepit antara objek yang keras, seperti batu, kayu, atau palang sepeda, dengan tulang simfisis.
Cedera uretra anterior, selain oleh cedera kangkang, juga dapat disebabkan oleh instrumentasi
urologik, seperti pemasangan kateter, businasi, dan bedah endoskopi.
Berikut klasifikasi cedera uretra menurut The European Association of Urology (EAU)
Guidelines Group for Urological Trauma yang dibagi menjadi 5 derajat:9
b. Trauma ureter
Cedera ureter sangat jarang dijumpai dan merupakan 1% dari seluruh cedera
traktusurogenitalia. Cedera ureter agak jarang ditemukan karena ureter merupakan
struktur fleksibel yang mudah bergerak di daerah retroperitoneal dengan ukuran
kecil serta terlindung dengan baik oleh tulang dan otot. Trauma ureter ini dapat
terjadi karena trauma dari luar, yaitu trauma tumpul maupun trauma tajam, atau
trauma iatrogenic. Biasanya trauma ureter lebih sering terjadi karena trauma tajam
dibandingkan dengan trauma tumpul. Trauma tumpul sering dikaitkan dengan
fraktur pada tulang pelvis. Cedera pada ureter umumnya tidak berdiri sendiri:
sering disertai cedera organ lain, seperti duodenum, kolon, pembuluh darah besar,
atau organ intraabdomen lainnya.1
c. Trauma buli
Trauma buli merupakan keadaan darurat bedah yang memerlukan
penatalaksanaan segera. Bila tidak ditanggulangi dengan segera, dapat
menimbulkan komplikasi, seperti peritonitis dan sepsis. Pada waktu lahir hingga
usia anak, buli terletak di rongga abdomen. Namun semakin bertambah usia,
tempatnya turun dan terlindung di dalam kavum pelvis: sehingga kemungkinan
mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi. Trauma kandung kemih terbanyak
karena kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja yang menyebabkan fragmen
tulang pelvis mencederai buli. Kurang lebih 90% trauma tumpul buli adalah akibat
fraktur pelvis.
Fraktur tulang panggul dapat menim$ulkan kontusio atau ruptur kandung
kemih- pada kontusio buli hanya terjadi memar pada dinding buli dengan hematuria
tanpa ekstravasasi urin. Ruptur kandung kemih dapat bersifat intraperitoneal
(membutuhkan eksplorasi dan perbaikan buli) atau ekstraperitoneal (biasanya
hanya ditangani dengan memasang drainase buli. Ruptur kandung kemih
ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk fragmen fraktur tulang pelvis pada
dinding depan kandung kemih yang penuh. Pada kejadian ini terjadi ekstravasasi
urin di rongga perivesikal.1
Fiksasi buli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis
sangat kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada
arah berlawanan, dapat merobek buli Robeknya buli karena fraktur pelvis bisa pula
akibat fragmen tulang pelvis merobek dindingnya. Dalam keadaan penuh terisi
urine, buli mudah sekali robek jika mendapatkan tekanan dari luar berupa benturan
pada perut sebelah bawah. Buli akan robek pada daerah fundus dan menyebabkan
ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum.2
Trauma tumpul dapat menyebabkan ruptur buli, terutama bila kandung kemih
penuh atau terdapat kelainan patologik, seperti tuberkulosis, tumor, atau obstruksi
sehingga trauma kecil sudah menyebabkan ruptur. Trauma tajam akibat luka tusuk
atau tembak lebih jarang ditemukan. Luka dapat melalui daerah suprapubik ataupun
transperineal. Penyebab lain adalah instrumentasi urologic.1
d. Trauma uretra
Trauma uretra dapat disebabkan trauma tumpul, trauma tajam, atau trauma
iatrogenik. Pada 20% kasus fraktur penis juga dapat ditemukan ruptur uretra,
terutama uretra bagian pendulosa. Trauma tajam paling sering disebabkan oleh luka
tembak dan luka tusuk. Tercatat 75% kasus fraktur pelvis disertai ruptur uretra.
Trauma iatrogenik tersering pada instrumentasi endoskopi dan pemasangan kateter
uretra. Penyebab trauma uretra lainnya adalah perilaku seksual, fraktur penis, dan
stimulasi intralumen uretra.
Trauma dengan fraktur pelvis sebagian besar disertai trauma uretra posterior.
Pada kasus trauma uretra posterior, uretra pars membranasea atau pars prostatika
merupakan bagian prostat yang ruptur. Fraktur pelvis menembus lantai pelvis dan
sfingter volunter, dan robekan ligamen puboprostatik akan merobek uretra
membranosa dari apeks prostat. Kemudian akan terbentuk hematoma di retropubis
dan perivesika. Pada kasus straddle injury terjadi trauma tumpul daerah perineum,
bagian uretra yang ruptur adalah uretra pars bulbosa, karena tekanan objek dari luar
menyebabkan kompresi uretra bulbosa dengan simfisis pubis sehingga terjadi
kontusio atau laserasi dinding uretra.11
- Trauma uretra
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena udem
atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan demam.
Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh, tergantung fascia
yang ikut rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat yang disebut infiltrat
urin yang mengakibatkan selulitis dan septikemia, bila terjadi infeksi.
Jika terjadi ruptur uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar dari
uretratetapi masih terbatas pada fascia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma
yang terbatas pada penis. Namun jika fascia Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan
darah hanya dibatasi oleh fascia colles sehingga darah dapat menjalar hingga
skrotum atau dinding abdomen. Oleh karena itu, robekan ini memberikan gambaran
seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-
kupu.13
Pada ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah
suprapubik dan abd!men bagian bawah, dijumpai jejas hematom, dan nyeri tekan.
Bila disertai rupture kandung kemih, bisa dijumpai tanda rangsangan peritoneum.
Pasien biasanya mengeluh tidak bisa kencing dan sakit pada daerah perut bagian
bawah.2
Kemungkinan terjadinya cedera uretra posterior harus segera dicurigai pada
pasien yang telah didiagnosis fraktur pelvis, seperti yang telah dikemukakan
sebeumnya, bebeerapa jenis fraktur pelvis lebih sering berhubungan dengan cedera
uretra posterior dan terilihat pada 87-93 % kasus. Akan tetapi, banyaknya darah
pada meatus uretra tidak berhubungan dengan beratnya cedera. Teraba buli yang
cembung -distended., urin tidak bisa keluar dari kandung kemih atau memar pada
perineum atau ekimosis perineal merupakan tanda tambahan yangmerujuk pada
gangguan uretra. Trias diagnostik dari gangguan uretra prostat membranosa adalah
fraktur penis, darah pada meatus dan urin tidak bisa keluar dari kandung kemih.
Keluarnya darah dari ostium uretra eksterna merupakan tanda yang paling
penting dari kerusakan uretra. Pada kerusakan uretra tidak diperbolehkan
melakukan pemasangan kateter,karena dapat menyebabkan infeksi pada
periprostatik dan perivesikal dan konversi dari inkomplet laserasi menjadi komplet
laserasi. Cedera uretra karena pemasangan kateter dapat menyebabkan obstruksi
karena edema dan bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan
demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh tergantung
fascia yang rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat urin yang
mengakibatkan selulitis dan septikemia, jika terjadi infeksi. Adanya darah pada
ostium uretra eksterna mengindikasikan pentingnya uretrogrfi untuk menegakkan
diagnosis.13
Pada pemeriksaan rektum bisa didapatkan hematoma pada pelvis dengan
pengeseran prostat ke superior. Bagaimanapun pemeriksaan rektum dapat
diinprestasikan salah, karena hematoma pelvis bisa mirip denagan prostat pada
palpasi. Pergeseran prostat ke superior tidak ditemukan jika ligament
puboprostikum tetap utuh. Disrupsi parsial dari uretra membranasea tidak disertai
oleh pergeseran prostat. Prostat dan buli terpisah dengan uretra pars membranosa
dan terdorong ke atas oleh penyebaran dari hematoma pada pelvis.
High riding prostat merupakan tanda klasik yang biasa ditemukan pada ruptur
uretra posterior. Hematoma pada pelvis, ditambah dengan fraktur penis kadang-
kadang menghalangi palpasi yang adekuat pada prostat yang ukurannya kecil.
Sebaliknya terkadang apa yang dipikirkan sebagai prostat yang normal mungkin
adalah hematoma pada pelvis. Pemeriksaan rektal lebih penting untuk mengetahui
ada tidaknya jejas pada rektal yang dapat dihubungkan dengan frsktur prlvis. Darah
yang ditemukan pada dari pemeriksa menunjukkan adanya suatu jejas pada lokasi
yang diperiksa.
Gejala klinis trauma uretra diantaranya ialah nyeri daerah perineum, nyeri
abdomen bawah, nyeri berkemih atau ketidakmampuan berkemih. Tanda klinis
trauma uretra diantaranya ialah:
Adanya darah di meatus di temukan 37-93 % pada pasien dengan trauma
uretra posterior dan 75 % pasien dengan trauma uretra anterior.
Adanya darah di introitus vagina di temukan lebih dari 80 % pasien wanita
dengan trauma pelvis dan bersamaan dengan trauma uretra.
Hematuria, jumlah perdarahan uretra berkaitan dengan tingkat keparahan
trauma.
Hematoma atau pembengkakan, pada trauma uretra pola haematom dapat
digunakan dalam identifikasi batasan anatominya. Ekstravasasi darah atau
urin dalam suatu distribusi sleeve sepanjang batang penis mengindikasikan
bahwa trauma terbatas pada fascia Buck’s. Gangguan fascia Buck’s
mengakibatkan suatu pola ekstravasasi dibatasi hanya oleh fascia colles,
meluas hingga fascia coracoclavicular superior dan fascia lata inverior.
Keadaan ini mengakibatkan luka memar pola khas kupu-kupu pada
perineum. Pada pasien wanita dengan fraktur penis yang berat, adanya
pembengkakan labia dapat sebagai indikator adanya trauma uretra. Hal ini
disebabkan oleh ekstravasasi urin dari suatu fistula dan memerlukan
perhatian dengan segera.
High riding prostat, merupakan temuan yang relatif tidak di percaya pada
fase akut karena haematom pada pelvis terkait dengan fraktur pelvis sering
menghalangi palpasi adekuat dari prostat yang kecil terutama pada pria
muda.
2.7 Diagnosis
- Trauma ginjal
Kecurigaan trauma ginjal diawali dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Trauma deselerasi cepat atau trauma langsung di area pinggang (flank) adalah
indikator kecurigaan trauma ginjal. Hematuria makroskopis di seluruh fase miksi
merupakan indikator yang meningkatkan kecurigaan trauma ginjal.15 Tanda lain seperti
abrasi area pinggang, fraktur tulang iga, dan distensi dapat meningkatkan kecurigaan
pada trauma organ ginjal. Abnormalitas ginjal sebelum kejadian (hidronefrosis, batu
ginjal, kista, tumor) dapat menimbulkan komplikasi pada trauma ginjal minor.
Hematuria baik mikroskopik maupun gross/makroskopik sering ditemukan pada
kondisi trauma ginjal, namun tidak sensitif ataupun spesifik untuk membedakan
trauma minor atau mayor. Trauma renal mayor seperti trauma pedikel ginjal, trombosis
arteri segmental dapat muncul tanpa hematuria.12
Pemeriksaan hematokrit serial disertai pemeriksaan hemoglobin berperan untuk
mengetahui tanda perdarahan aktif yang dicurigai apabila terjadi penurunan kadarnya.
Pemeriksaan serum kreatinin berperan untuk evaluasi kerusakan ginjal, di samping
untuk evaluasi sebelum pemberian kontras pada pen citraan. Namun, peningkatan
kadar serum kreatinin pada satu jam pertama biasanya merefleksikan masalah ginjal
sebelum trauma, sehingga direkomendasikan pemeriksaan serial. Penentuan jenis
pencitraan diagnostik pada kasus kecurigaan trauma ginjal didasarkan temuan klinis
dan mekanisme trauma. Sebagian pasien pasca-trauma tumpul tidak memerlukan
evaluasi radiografi. Indikasi evaluasi radiologis adalah adanya gross hematuria,
hematuria mikroskopik, dan tanda syok, atau adanya kecurigaan trauma mayor organ
lain. Pada riwayat trauma deselerasi cepat perlu pemeriksaan pencitraan segera untuk
menyingkirkan risiko avulsi ureter atau cedera pedikel ginjal. Beberapa modalitas
pencitraan yang dapat digunakan antara lain Ultrasonography (USG), yang dapat
memberikan informasi cepat, non-invasif, dan murah untuk deteksi cairan peritoneal
(contoh hemoperitoneum) tanpa terpapar radiasi, namun hasilnya sangat ter gantung
operator. Intravenous Pyelography (IVP) hanya direkomendasikan pada center di
mana IVP menjadi modalitas satu-satunya. One Shot Intra Operative IVP (bolus
intravena 2 mL/kgBB kontras diikuti foto polos abdomen dalam 10 menit)
direkomendasikan hanya pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil yang
membutuhkan intervensi operatif segera, untuk memberikan informasi mengenai
ginjal yang mengalami trauma dan evaluasi fungsi ginjal kontralateral.12
Computed Tomography Scan (CT scan) adalah metode standar baku emas
untuk penilaian radiologis pasien trauma ginjal yang stabil. CT scan lebih sensitif dan
spesifik daripada IVP, ultrasonografi, dan angiografi serta lebih akurat untuk mendefi
nisikan detail anatomi, mencakup kedalaman dan lokasi laserasi ginjal, trauma organ
abdomen lain, serta keadaan dan lokasi ginjal kontralateral.1 Kontras intravena
memberikan informasi lebih akurat terutama pada pasien dengan fungsi ginjal baik.
Kurangnya enhancement kontras pada ginjal yang mengalami trauma merupakan tanda
trauma pedikel ginjal, juga dapat dicurigai apabila ditemukan hematoma sentral
parahilar dengan enhancement kontras. Pada kasus dengan kecurigaan trauma ginjal,
scan/pencitraan ulang ginjal perlu dilakukan 10-15 menit pasca-injeksi kontras, karena
sebagian besar cedera tumpul ureter dan cedera ureteropelvic junction dapat
diidentifikasi dengan delayed excretory CT scan.12
- Trauma ureter
Pada umumnya tanda dan gejala klinis tidak spesifik. Hematuria menunjukkan
cedera pada saluran kemih. Bila ter.adi ekstravasasi urin, dapat timbul urinoma pada
pinggang atau abdomen, fistel ureterokutan melalui luka atau tanda rangsang
peritoneum bila urin masuk kerongga intraperiteneal. Pada trauma tumpul, gejalanya
sering kurang jelas sehingga diagnosis sering tertunda. Pada cedera ureter bilateral
ditemukan anuria.
Pada pemeriksaan IVU tampak ekstravasasi kontras atau kontras berhenti di
daerah lesi atau terdapat deviasi ureter ke lateral karena hematoma atau urinoma. Pada
cedera yang lama mungkin didapatkan hidroureterone/rosis sampai pada daerah
sumbatan. cedera ureter dari luar seringkali ditemukan pada saat melakukan eksplorasi
laparotomi dari suatu cederaorgan intraabdominal.2
- Trauma buli
Gambaran klinis yang lain tergantung pada etiologi trauma, bagian buli yang
mengalami cedera yaitu intra dan ekstraperitoneal, adanya organ lain yang mengalami
cedera, serta penyulit yang terjadi akibat trauma. Umumnya fraktur tulang pelvis
disertai perdarahan hebat sehingga tidak jarang penderita datang dalam keadaan anemia
bahkan syok.
Pada abdomen bagian bawah tampak jelas atau hematom dan terdapat nyeri
tekan didaerah suprapubik di tempat hematom. Pada ruptur buli intraperitoneal, urin
masuk kerongga peritoneum sehingga memberi tanda cairan intraabdomen dan
rangsang peritoneum . Lesi ekstraperitoneal memberikan gejala dan tanda infiltrat urin
di rongga peritoneal yang sering menyebabkan septicemia. Penderita mengeluh tidak
bisa buang air kecil. Kadang keluar darah dari uretra.
Diagnosis ditentukan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta hematuria. Pada
foto pelvis atau foto polos perut terlihat fraktur tulang pelvis. Pemeriksaan radiologik
lain untuk menunjang diagnosis adalah sistogram, yang dapat memberi keterangan ada
tidaknya ruptur kandung kemih, dan lokasi ruptur apakah intra atau ekstraperitoneal.
Pemeriksaan pencitraan dengan sistogram, yaitu dengan memasukkan kontras
ke dalam buli sebanyak 300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter
periuretram. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu foto pada saat buli terisi kontras
dalam posisi AP, pada posisi oblik dan washout film yaitu foto setelah kontras
dikeluarkan dari buli. Jika terdapat robekan pada buli, terlihat ekstravasasi kontras di
dalam rongga perivesikal yang merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika
terdapat kontras yang berada di sela-sela usus berarti robekan Buli intraperitoneal. Pada
perforasi yang kecil seringkali tidak tampak adanya ekstravasasi (negatif palsu)
terutama jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250 ml. Jika tidak dijumpai
ekstravasasi, diagnosisnya adalah kontusio buli.
Sebelum melakukan pemasangan kateter uretra, harus diyakinkan dahulu bahwa
tidak ada perdarahan yang keluar dari muara uretra. Keluarnya darah dari muara uretra
merupakantanda dari cedera uretra. Jika di samping cedera pada buli juga diduga
terdapat cedera pada saluran kemih bagian atas, pencitraan buli dapat diperoleh melalui
fase sistografi pada foto IVU.2
- Trauma uretra
Evaluasi lanjutan untuk mencari cedera uretra dianjurkan pada semua pasien
trauma multipel, terutama yang jika ada darah di meatus, hematom/ekimosis
penis/perineal, retensi urin, distensi kandung kemih, dan riwayat trauma (straddle
injury). Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah pemeriksaan colok dubur;
selain untuk menemukan prostat letak tinggi yang menandakan adanya ruptur uretra,
juga dapat menyingkirkan cedera rektal. Pemeriksaan radiologis uretrografi retrograd
(RUG) direkomendasikan karena dapat menunjukkan derajat ruptur uretra, parsial atau
komplit, serta lokasinya, baik anterior maupun posterior, sehingga dapat menentukan
pilihan tatalaksana akut drainase kandung kemih. Pemeriksaan RUG merupakan
pemeriksaan awal, dilakukan dengan injeksi 20-30 mL materi kontras sambil menahan
meatus tetap tertutup, kemudian balon kateter dikembangkan pada fosa navikularis.
RUG dapat mengidentifikasi lokasi cedera. Ruptur inkomplit ditandai ekstravasasi
uretra saat buli terisi penuh, sedangkan ruptur komplit ditandai ekstravasasi masif
tanpa pengisian buli. Ekstravasasi dapat terlihat hanya di badan korpus jika fasia
Buck’s masih intak, dan akan terlihat hingga ke skrotum, perineum, dan abdomen
anterior jika fasia Buck’s telah robek. Uretroskopi juga dapat menjadi pilihan yang
baik karena berfungsi diagnostik ataupun terapeutik pada cedera uretra akut.
Uretroskopi menjadi pilihan pemeriksaan pertama pada kasus fraktur penis dan pada
pasien perempuan.11
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal:
- derajat dan lokasi trauma, dan keadaan hemodinamik pasien dan trauma daerah
lainnya.
- Langkah awal adalah resusitasi dan stabilisasi kondisi pasien
- Langkah berikutnya adalah diversi urin dari buli-buli.
- Ekstravasasi urin dari uretra dapat menimbulkan reaksi peradangan yang dapat
berkembang menjadi abses debridement
- Kontusio : Observasi 4-6 bulan, kemudian uretrografi ulang
- Ruptur :
o Sistostomi 1 bulan
o 3 bulan uroflowmetri (pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran
urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya
proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik
dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga
normal menandakan ada obstruksi)
o Striktura: lakukan sachse ( memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau
sachse)
Indikasi Operasi
Operasi segera disarankan pada keadaan :
- Tujuan debridement
- Luka terbuka
- Fraktur penis-trauma korpus cavernosa
- Terjadi trauma lain yang berhubungan
- Fraktur dan penanganannya (perdarahan, trauma saluran kemih
Penatalaksanaan Trauma Uretra Posterior
Emergency
Syok dan pendarahan harus diatasi, serta pemberian antibiotik dan obat-obat
analgesik. Pasien dengan kontusio atau laserasi dan masih dapat kencing, tidak perlu
menggunakan alat-alat atau manipulasi tapi jika tidak bisa kencing dan tidak ada
ekstravasasi pada uretrosistogram, pemasangan kateter harus dilakukan dengan
lubrikan yang adekuat.
Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera intraabdomen dan organ lain,
cukup dilakukan sistotomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan
melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silicon selama 3
minggu.
Pembedahan
Ekstravasasi pada uretrosistogram mengindikasikan pembedahan. Kateter
uretra harus dihindari.
1. Immediate management
Penanganan awal terdiri dari sistostomi suprapubik untuk drainase urin. Insisi
midline pada abdomen bagian bawah dibuat untuk menghindari pendarahan yang
banyak pada pelvis. Buli-buli dan prostat biasanya elevasi kearah superior oleh
pendarahan yang luas pada periprostatik dan perivesikal. Buli-buli sering distensi
oleh akumulasi volume urin yang banyak selama periode resusitasi dan persiapan
operasi. Urin sering bersih dan bebas dari darah, tetapi mungkin terdapat gross
hematuria. Buli-buli harus dibuka pada garis midline dan diinspeksi untuk laserasi
dan jika ada, laserasi harus ditutup dengan benang yang dapat diabsorpsi dan
pemasangan tube sistotomi untuk drainase urin. Sistotomi suprapubik
dipertahankan selama 3 bulan. Pemasangan ini membolehkan resolusi dari
hematoma pada pelvis, dan prostat & buli-buli akan kembali secara perlahan ke
posisi anatominya.
Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2- 3
hari kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir (railroading).
2.9 Komplikasi
Striktur, impotensi, dan inkotinensia urin merupakan komplikasi rupture
prostatomembranosa paling berat yang disebabkan trauma pada sistem urinaria. Striktur yang
mengikuti perbaikan primer dan anastomosis terjadi sekitar 50% dari kasus. Jika dilakukan
sistotomi suprapubik, dengan pendekatan “delayed repair” maka insidens striktur dapat
dikurangi sampai sekitar 5%. Insidens impotensi setelah “primary repair”, sekitar 30-80%
(rata-rata sekitar 50%). Hal ini dapat dikurangi hingga 30-35% dengan drainase suprapubik
pada rekontruksi uretra tertunda. Jumlah pasien yang mengalami inkotinensia urin <2 %
biasanya bersamaan dengan fraktur tulang sakrum yang berat dan cedera nervus S2-4.
2.10 Prognosis
Jika komplikasinya dapat dihindari, prognosisnya sangat baik. Infeksi saluran kemih
akan teratasi dengan penatalaksaan yang sesuai.
BAB III
KESIMPULAN
Trauma traktus urinaris terdiri dari trauma ginjal,trauma ureter, trauma vesica urinaria
dan trauma uretra. Secara anatomis sebagian besar organ traktus urinarius terletak di rongga
ekstraperitoneal, dan terlindung oleh otot-otot dan organ-organ lain. Oleh karena itu jika
didapatkan cedera traktus urinarius, harus diperhitungkan pula kemungkinan adanya kerusakan
organ lain yang mengelilinginya. Sebagian besar cedera traktus urinarius bukan cedera yang
mengancam jiwa, kecuali cedera berat pada ginjal yang menyebabkan kerusakan parenkim
ginjal yang cukup luas dan kerusakan atau terputusnya pembuluh darah ginjal.
Cedera yang mengenai traktus urinarius merupakan cedera dari luar berupa trauma
tumpul maupun trauma tajam, dan cedera iatrogenic akibat tindakan dokter pada saat operasi
atau petugas medic yang lain. Pada trauma tajam, baik berupa trauma tusuk maupun trauma
tembus oleh peluru, harus dipikirkan untuk kemungkinan melakukan eksplorasi; sedangkan
trauma tumpul sebagian besar hampir tidak diperlukan tindakan operasi. Trauma ginjal
merupakan trauma terbanyak pada system traktus urinarius.
DAFTAR PUSTAKA
1. Umbas R, Manuputty D, Sukasah CL, Swantari NM, Achmad IA, Bowolaksono, et al.
Saluran kemih dan alat kelamin laki-laki.In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W,
Prasetyono TOH, Rudiman R, Editors. Buku ajar ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta:Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2012.p.879-88.
2. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. 3rd ed. Jakarta:Sagung seto;2012.p.175-92.
3. Santucci RA. Ureteral Trauma. Medscape 2014. Available from
www.emedicine.medscape.com (Accessed on Dec 14,2015)
4. Miller S. Traumatic injury of the bladder and urethra. Medline Plus 2014. Available from
www.nlm.nih.gov (Accessed on Dec 14,2015)
5. Harper K, Shah KH. Renal trauma after blunt abdominal injury. The Journal of Emergency
Medicine 2013;45:400-04. Available from www.jem-journal.com (Accessed on Dec
14,2015)
6. Tait CD, Somani BK. Renal trauma: case reports and overview. Hindawi Publishing
Corporation 2012;DOI:10.115/2012/207872. Available from www.hindawi.com
(Accessed on Dec 14,2015)
7. Siram SM, Gerald SZ, Greene WR, Hughes K, Oyetunji TA, Chroser K. Ureteral trauma:
patterns and mechanisms of injury of an uncommon condition. Am J Surg 2010;199:566-
70. Available from www.ncbi.nim.mih.gov (Accessed on Dec 14,2015)
8. Santucci RA, Mcanich JW. Bladder injuries:evaluation and management. Brazilian
Journal of Urology 2000;26:408-14.
9. Pineiro LM, Djakovic N, Plas E, Mor Y, Santucci RA, Serafetinidis E, et al. EAU
Guideline on urethral trauma. European Urology 2010;57:791-803.
10. The American Association for the Surgery of Trauma. Kidney injury scoring scale
[Internet]. 2015 [cited 2019 Occtober 24] Available from:
http://www.aast.org/library/traumatools/ injuryscoringscales.aspx#kidney
11. Kusumajaya C. Diagnosis dan Tatalaksana Ruptur Uretra. CDK-264;45(5).2018
12. Summerton DJ, Djakovic N, Kitrey ND, Kuehhas FE, Lumen E, Serafitiinidis E, Sharma
DM. Guidelines of Urological Trauma. European Association of Urology. 2014.
13. Sjamsuhidajat R, Jong WM. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2005. P. 770-2.
14. Daller M, Carpinto G. Genitourinary trauma and emergencies. In Siroky MB, Oates RD,
Babayan RK, editors. Handbook of urology diagnosis and therapy. 3rd Edition.
Philadelphia: Lippincott william wilkins. 2006. p. 165-82
15. McAninch JW. Injuries to genitourinary tract. In: McAninch JW, Lue TF, editors. Smith
and Tanagho’s general urology. 18th ed. Singapore: Mc Graw Hill Medical; 2013. p.280-
7.