Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

INFEKSI SALURAN KEMIH

Pembimbing :
dr. Ahmad Rizky Herda, Sp. U

Disusun oleh :
Harlina Konoras (03014081)
Noferly Gina Jessica Go (03014142)
Sheilla Ayu P W (03015181)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
PERIODE 23 SEPTEMBER – 30 NOVEMBER 2019
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma tumpul merupakan penyebab utama cedera saluran kemih.1 Namun, dapat juga
berupa trauma tajam ataupun cedera iatrogenik akibat tindakan dokter pada saat operasi atau
petugas medik yang lain. Pada trauma tajam, baik berupa trauma tusuk maupun trauma tembus
oleh peluru, harus dipikirkan untuk kemungkinan melakukan eksplorasi, sedangkan trauma
tumpul sebagian besar hampir tidak diperlukan tindakan operasi.2 Kejadian trauma tumpul
pada ginjal yang bisa bersifat langsung maupun tidak langsung, kira-kira 80-90%.1
Secara anatomis sebagian besar organ urogenitalia terletak di rongga ekstraperitoneal
(kecuali genitalia eksterna), dan terlindung oleh otot-otot dan organ-organ lain. Oleh karena itu
jika didapatkan cedera organ urogenitalia, harus diperhitungkan pula kemungkinan adanya
kerusakan organ lain yang mengelilinginya. Sebagian besar cedera organ urogenitalia bukan
cedera yang mengancam jiwa, kecuali cedera berat pada ginjal yang menyebabkan kerusakan
parenkim ginjal yang cukup luas dan kerusakan atau terputusnya pembuluh darah ginjal.2
Cedera pada ureter karena trauma eksternal jarang terjadi, hal ini dikarenakan ureter
terlindungi dengan baik di retroperitoneum oleh tulang panggul, otot psoas, dan tulang
belakang. Kerusakan pada ureter biasanya dihasilkan oleh suatu trauma yang signifikan dan
hampir selalu terjadi kerusakan pada organ lain di abdomen.3
Beratnya cedera pada kandung kemih tergantung dari seberapa penuhnya kandung kemih
dan bagaimana mekanisme traumanya. Trauma pada kandung kemih jarang terjadi dikarenakan
letak kandung kemih di dalam struktur tulang panggul. Cedera pada kandung kemih biasanya
dikarenakan trauma yang cukup berat pada panggung yang menyebabkan fraktur dan terdapat
fragmen tulang yang menembus dinding kandung kemih. Trauma pada kandung kemih atau
uretra dapat menyebabkan urin masuk ke dalam rongga peritoneum yang dapat menyebabkan
peritonitis, biasanya disebabkan oleh trauma pada buli yang dalam keadaan penuh.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Trauma Ginjal
Ginjal merupakan cedera organ solid pada abdomen paling umum ketiga akibat trauma
tumpul.5 Ginjal terletak di rongga retroperitoneum dan terlindungi oleh otot punggung di
sebelah posterior dan oleh organ intraperitoneal di sebelah anteriornya; karena itu cedera ginjal
tidak jarang diikuti oleh cedera organ yang mengitarinya. Trauma ginjal merupakan trauma
terbanyak pada sistem urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma pada abdomen mencederai
ginjal.2
Cedera ginjal dapat terjadi secara langsung akibat benturan yang mengenai daerah
pinggang atau tidak langsung yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal
secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitoneum. Jenis cedera yang mengenai ginjal dapat
merupakan cedera tumpul, luka tusuk, atau luka tembak. Goncangan ginjal di dalam rongga
retroperitoneum menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika
intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang
selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya.2
Kerusakan ginjal spontan jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada ginjal yang
abnormal, seperti hidronefrosis, tumor, atau ginjal polikistik. Trauma tajam, seperti tikaman
atau tembakan, merupakan 10-20% penyebab trauma pada ginjal. Baik luka tikam atau tusuk
pada perut bagian atas atau pinggang maupun luka tembak pada abdomen yang disertai
hematuria merupakan tanda pasti cedera pada ginjal.1
Secara patologis, trauma pada ginjal dapat dibagi atas kontusio, laserasi, dan cedera
pedikel. Kontusio ginjal terdapat pada sekitar 80% trauma tumpul ginjal. Terdapat perdarahan
di parenkim ginjal tanpa adanya kerusakan kapsul, kematian jaringan maupun kerusakan
kaliks. Laserasi ginjal terjadi karena adanya robekan parenkim, mulai dari kapsul ginjal
berlanjut sampai pelviokaliks. Cedera pedikel ginjal dapat berupa cedera pada arteri maupun
vena utama ginjal ataupun cabang segmentalnya. Laserasi yang mengenai pelvis biasnya
disertai hematuria.1
The American Association for the Surgery of Trauma (AAST) membagi trauma ginjal
menjadi lima derajat sesuai dengan tingkat keparahan cedera. Skala ini telah di validasi dan
berhubungan langsung dengan kebutuhan manajemen bedah pada pasien dengan trauma
ginjal.6
Tabel 1. Penderajatan Trauma Ginjal6

Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan menjadi
cedera minor, cedera major dan cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal. Sebagian
besar (85%) trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15% termasuk cedera
major (derajat III dan IV), dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.

Gambar 1. Derajat Trauma Ginjal


Gambaran Klinis
Patut dicurigai adanya cedera pada ginjal jika terdapat:2
1. Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah dan perut bagian atas
dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu.
2. Hematuria
3. Fraktur kosta sebelah bawah (T8-12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra.
4. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang.
5. Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu
lintas.
Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat bervariasi tergantung
pada derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ lain yang menyertainya. Perlu
ditanyakan mekanisme cedera untuk memperkirakan luas kerusakan yang terjadi. Pada trauma
derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri di daerah pinggang, terlihat jejas berupa
ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopik ataupun mikroskopik. Pada trauma major atau
ruptur pedikel seringkali pasien datang dalam keadaan syok berat dan terdapat hematoma di
daerah pinggang yang makin lama makin membesar. Dalam keadaan ini mungkin pasien tidak
sempat menjalani pemeriksaan IVU karena usaha untuk memperbaiki hemodinamik seringkali
tidak membuahkan hasil akibat perdarahan yang keluar dari ginjal cukup deras. Untuk itu harus
segera dilakukan eksplorasi laparatomi untuk menghentikan perdarahan.2
Pada trauma tumpul dapat ditemukan jejas di daerah lumbal, sedangkan pada trauma
tajam tampak luka. Riwayat trauma daerah kostovetebra dan disertai nyeri serta jejas daerah
kostovetebra merupakan gejala tersering yang membuat kita harus waspada. Syok harus segera
diatasi. Bila syok tidak teratasi atau berulang, suspek penderita cedera intraabdomen
memerlukan laparatomi segera.1
Bila terdapat fasilitas, dapat dilakukan pembuatan single shot IVP, kontras disuntikkan
selama resusitasi dan dilakukan pengambilan foto satu kali pada 10 menit setelah penyuntikan
di meja operasi. Tindakan ini dapat menghindari eksplorasi ginjal yang tidak perlu pada 32%
pasien.1
Pada palpasi didapatkan nyeri tekan dan ketegangan otot pinggang, sedangkan massa
jarang teraba. Massa yang cepat meluas disertai tanda kehilangan darah banyak merupakan
tanda cedera vaskuler. Nyeri abdomen umumnya ditemukan pada daerah pinggang atau perut
bagian atas, dengan intensitas nyeri yang bervariasi. Bila disertai cedera hepar atau limpa dapat
ditemukan tanda perdarahan di dalam perut. Bila terjadi cedera pada sistem saluran cerna
mungkin ditemukan rangsang peritoneum. Terabanya massa retroperitoneal dapat merupakan
petunjuk adanya hematom dan urinoma. Imbibisi darah ke intraperitoneal dapat menimbulkan
gejala rangsang peritoneum.1
Fraktur tulang iga terbawah sering menyertai cedera ginjal. Bila hal ini ditemukan
sebaiknya diperhatikan juga keadaan paru apakah hematotoraks atau pneumotoraks dan
kemungkinan ruptur limpa. Hematuria makroskopik atau mikroskopik merupakan tanda utama
cedera saluran kemih. Hematuria merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan
untuk tindakan selanjutnya. Pada trauma tumpul, hematuria mikroskopik tanpa adanya syok
tidak memerlukan pencitraan apapun kecuali terdapat trauma penyerta (intraabdominal atau
trauma deselerasi cepat) yang memungkinkan terjadinya cedera vaskuler. Pada trauma tajam
semua hematuria (gross atau mikroskopik) memerlukan pencitraan. Derajat hematuria tidak
berbanding langsung dengan tingkat kerusakan ginjal. Perlu diperhatikan bahwa bila tidak ada
hematuria, kemungkian cedera berat, seperti putusnya pedikel dari ginjal atau ureter dari pelvis
ginjal tetap.1

2.2 Trauma Ureter

Gambar 2. Anatomi Traktus Urinarius

Cedera ureter sangat jarang dijumpai dan merupakan 1% dari seluruh cedera traktus
urogenitalia.2 Cedera ureter agak jarang ditemukan karena ureter merupakan struktur fleksibel
yang mudah bergerak di daerah retroperitoneal dengan ukuran kecil serta terlindung dengan
baik oleh tulang dan otot.1 Trauma ureter ini dapat terjadi karena trauma dari luar, yaitu trauma
tumpul maupun trauma tajam, atau trauma iatrogenik. Biasanya trauma ureter lebih sering
terjadi karena trauma tajam dibandingkan dengan trauma tumpul. Trauma tumpul sering
dikaitkan dengan fraktur pada tulang pelvis.7 Cedera pada ureter umumnya tidak berdiri
sendiri; sering disertai cedera organ lain, seperti duodenum, kolon, pembuluh darah besar, atau
organ intraabdomen lainnya.1
Operasi endouroligi transureter (ureteroskopi atau ureterorenoskopi, ekstraksi batu
dengan Dormia, atau litotripsi batu ureter) dan operasi di daerah pelvis (diantaranya adalah
operasi ginekologi, bedah digestif, atau vaskuler) dapat menyebabkan terjadinya cedera ureter
iatrogenik. Cedera yang terjadi pada ureter akibat tindakan operasi terbuka dapat berupa ureter
terikat, crushing karena terjepit oleh klem, putus (robek), atau devaskularisasi karena terlalu
banyak jaringan vaskuler yang dibersihkan.2
The American Association for the Surgery of Trauma (AAST) telah mengklasifikasikan
cedera ureter menjadi 5 derajat. Berikut ini adalah skala cedera ureter yang meliputi kelas
cedera, jenis cedera, dan deskripsi dari cedera:3

Tabel 2. Klasifikasi trauma ureter

2.3 Trauma Buli-buli


Trauma buli-buli merupakan keadaan darurat bedah yang memerlukan penatalaksanaan
segera. Bila tidak ditanggulangi dengan segera, dapat menimbulkan komplikasi, seperti
peritonitis dan sepsis. Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga abdomen.
Namun semakin bertambah usia, tempatnya turun dan terlindung di dalam kavum pelvis;
sehingga kemungkinan mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi. Trauma kandung kemih
terbanyak karena kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja yang menyebabkan fragmen
tulang pelvis mencederai buli-buli. Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat
fraktur pelvis.1,2
Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan kontusio atau ruptur kandung kemih. Pada
kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada dinding buli-buli dengan hematuria tanpa
ekstravasasi urin. Ruptur kandung kemih dapat bersifat intraperitoneal (membutuhkan
eksplorasi dan perbaikan buli) atau ekstraperitoneal (biasanya hanya ditangani dengan
memasang drainase buli). Ruptur kandung kemih ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk
fragmen fraktur tulang pelvis pada dinding depan kandung kemih yang penuh. Pada kejadian
ini terjadi ekstravasasi urin di rongga perivesikal.1,8
Fiksasi buli-buli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis sangat
kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah berlawanan,
dapat merobek buli-buli. Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pula akibat fragmen
tulang pelvis merobek dindingnya. Dalam keadaan penuh terisi urine, buli-buli mudah sekali
robek jika mendapatkan tekanan dari luar berupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli-buli
akan robek pada daerah fundus dan menyebabkan ekstravasasi urine ke rongga
intraperitoneum.2
Trauma tumpul dapat menyebabkan ruptur buli-buli, terutama bila kandung kemih penuh
atau terdapat kelainan patologik, seperti tuberkulosis, tumor, atau obstruksi sehingga trauma
kecil sudah menyebabkan ruptur. Trauma tajam akibat luka tusuk atau tembak lebih jarang
ditemukan. Luka dapat melalui daerah suprapubik ataupun transperineal. Penyebab lain adalah
instrumentasi urologik.1
Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenik antara lain pada
reseksi buli-buli transurethral atau pada litotripsi. Demikian pula partus kasep atau tindakan
operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenik pada buli-buli. Rupture buli-
buli dapat pula terjadi secara spontan, hal ini biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat kelainan
pada dinding buli-buli. Infeksi tuberkulosis, tumor buli-buli, atau obstruksi infravesikal kronis
menyebabkan perubahan struktur otot buli-buli yang melemahkan dinding buli-buli. Pada
keadaan itu bisa terjadi rupture buli-buli spontanea.2
Secara klinis cedera buli-buli dibedakan menjadi kontusio buli-buli, cedera buli-buli
ekstraperitoneal, dan cedera intraperitoneal. Pada kontusio buli-buli hanya terdapat memar
pada dindingnya, mungkin didapatkan hematoma perivesikal, tetapi tidak didapatkan
ekstravasasi urine ke luar buli-buli. Cedera intraperitoneal merupakan 25-45% dari seluruh
trauma buli-buli, sedangkan kejadian cedera buli-buli ekstraperitoneal kurang lebih 45-60%
dari seluruh trauma buli-buli. Tidak jarang cedera buli-buli intraperitoneal terjadi bersama
dengan cedera ekstraperitoneal (2-12%).2
Pada cedera buli-buli intraperitoneal terjadi pengaliran urine kerongga peritoneal
sehingga menyebabkan inflamasi bahkan infeksi (peritonitis). Oleh karena itu jika tidak segera
dilakukan tindakan pembedahan, 10-20% cedera buli-buli berakibat kematian karena sepsis.2
The American Association for the Surgery of Trauma (AAST) telah mengklasifikasikan cedera
buli-buli menjadi 5 derajat, sebagai berikut:8
Tabel 4. Klasifikasi cedera buli-buli

2.4 Trauma Uretra


Berdasarkan anatomi, ruptur uretra dibagi atas ruptur uretra posterior yang terletak
proksimal diafragma urogenital dan ruptur uretra anterior yang terletak distal diafragma
urogenital. Cedera menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik
parsial atau total. Ruptur uretra posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat
fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranasea karena prostat bersama uretra
prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat
di diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada ruptur
total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan
prostat terlepas ke kranial.1
Gambar 3. Cedera Uretra (paling atas:memar dinding atau terlepasnya mukosa,
tengah:ruptur dinding parsial, paling bawah:putus atau ruptur total)

Cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau terkangkang sehingga uretra
terjepit antara objek yang keras, seperti batu, kayu, atau palang sepeda, dengan tulang simfisis.
Cedera uretra anterior, selain oleh cedera kangkang, juga dapat disebabkan oleh instrumentasi
urologik, seperti pemasangan kateter, businasi, dan bedah endoskopi.
Berikut klasifikasi cedera uretra menurut The European Association of Urology (EAU)
Guidelines Group for Urological Trauma yang dibagi menjadi 5 derajat:9

Tabel 5. Klasifikasi cedera uretra


2.5 Patofisiologi
a. Trauma ginjal
Cedera ginjal dapat terjadi secara langsung akibat benturan yang mengenai
daerah pinggang atau tidak langsung yaitu merupakan cedera deselerasi akibat
pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitoneum. Jenis cedera
yang mengenai ginjal dapat merupakan cedera tumpul, luka tusuk, atau luka
tembak. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum menyebabkan
regangan pedikel gin.al sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis.
Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya
dapat menimbulkan trom$osis arteri renalis beserta cabang-cabangnya.
Kerusakan ginjal spontan jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada
ginjal yang abnormal, seperti hidronefrosis, tumor, atau ginjal polikistik. Trauma
tajam, seperti tikaman atau tembakan, merupakan 10-20% penyebab trauma pada
ginjal. Baik luka tikam atau tusuk pada perut bagian atas atau pinggang maupun
luka tembak pada abdomen yang disertai hematuria merupakan tanda pasti cedera
pada ginjal.2
Secara patologis, trauma pada ginjal dapat dibagi atas kontusio, laserasi, dan
cedera pedikel. Kontusio ginjal terdapat pada sekitar 80% trauma tumpul ginjal.
Terdapat perdarahan di parenkim ginjal tanpa adanya kerusakan kapsul, kematian
jaringan maupun kerusakan kaliks. Laserasi ginjal terjadi karena adanya robekan
parenkim, mulai dari kapsul ginjal berlanjut sampai pelviokaliks. Cedera pedikel
ginal dapat berupa cedera pada arteri maupun vena utama ginjal ataupun cabang
segmentalnya. Laserasi yang mengenai pelvis biasnya disertai hematuria.1
The American Association for the Surgery of Trauma (AAST) membagi
trauma ginjal menjadi lima derajat sesuai dengan tingkat keparahan cedera. Skala
ini telah di validasi dan berhubungan langsung dengan kebutuhan manajemen
bedah pada pasien dengan trauma ginjal.10
Tabel 6. Derajat cedera ginjal menurut American Association for the
Surgery of Trauma (AAST)

Gambar 4. Ilustrasi klasifi kasi trauma ginjal derajat I hingga V dari


American Association for the Surgery of Trauma (AAST)

b. Trauma ureter
Cedera ureter sangat jarang dijumpai dan merupakan 1% dari seluruh cedera
traktusurogenitalia. Cedera ureter agak jarang ditemukan karena ureter merupakan
struktur fleksibel yang mudah bergerak di daerah retroperitoneal dengan ukuran
kecil serta terlindung dengan baik oleh tulang dan otot. Trauma ureter ini dapat
terjadi karena trauma dari luar, yaitu trauma tumpul maupun trauma tajam, atau
trauma iatrogenic. Biasanya trauma ureter lebih sering terjadi karena trauma tajam
dibandingkan dengan trauma tumpul. Trauma tumpul sering dikaitkan dengan
fraktur pada tulang pelvis. Cedera pada ureter umumnya tidak berdiri sendiri:
sering disertai cedera organ lain, seperti duodenum, kolon, pembuluh darah besar,
atau organ intraabdomen lainnya.1

c. Trauma buli
Trauma buli merupakan keadaan darurat bedah yang memerlukan
penatalaksanaan segera. Bila tidak ditanggulangi dengan segera, dapat
menimbulkan komplikasi, seperti peritonitis dan sepsis. Pada waktu lahir hingga
usia anak, buli terletak di rongga abdomen. Namun semakin bertambah usia,
tempatnya turun dan terlindung di dalam kavum pelvis: sehingga kemungkinan
mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi. Trauma kandung kemih terbanyak
karena kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja yang menyebabkan fragmen
tulang pelvis mencederai buli. Kurang lebih 90% trauma tumpul buli adalah akibat
fraktur pelvis.
Fraktur tulang panggul dapat menim$ulkan kontusio atau ruptur kandung
kemih- pada kontusio buli hanya terjadi memar pada dinding buli dengan hematuria
tanpa ekstravasasi urin. Ruptur kandung kemih dapat bersifat intraperitoneal
(membutuhkan eksplorasi dan perbaikan buli) atau ekstraperitoneal (biasanya
hanya ditangani dengan memasang drainase buli. Ruptur kandung kemih
ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk fragmen fraktur tulang pelvis pada
dinding depan kandung kemih yang penuh. Pada kejadian ini terjadi ekstravasasi
urin di rongga perivesikal.1
Fiksasi buli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis
sangat kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada
arah berlawanan, dapat merobek buli Robeknya buli karena fraktur pelvis bisa pula
akibat fragmen tulang pelvis merobek dindingnya. Dalam keadaan penuh terisi
urine, buli mudah sekali robek jika mendapatkan tekanan dari luar berupa benturan
pada perut sebelah bawah. Buli akan robek pada daerah fundus dan menyebabkan
ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum.2
Trauma tumpul dapat menyebabkan ruptur buli, terutama bila kandung kemih
penuh atau terdapat kelainan patologik, seperti tuberkulosis, tumor, atau obstruksi
sehingga trauma kecil sudah menyebabkan ruptur. Trauma tajam akibat luka tusuk
atau tembak lebih jarang ditemukan. Luka dapat melalui daerah suprapubik ataupun
transperineal. Penyebab lain adalah instrumentasi urologic.1

d. Trauma uretra
Trauma uretra dapat disebabkan trauma tumpul, trauma tajam, atau trauma
iatrogenik. Pada 20% kasus fraktur penis juga dapat ditemukan ruptur uretra,
terutama uretra bagian pendulosa. Trauma tajam paling sering disebabkan oleh luka
tembak dan luka tusuk. Tercatat 75% kasus fraktur pelvis disertai ruptur uretra.
Trauma iatrogenik tersering pada instrumentasi endoskopi dan pemasangan kateter
uretra. Penyebab trauma uretra lainnya adalah perilaku seksual, fraktur penis, dan
stimulasi intralumen uretra.
Trauma dengan fraktur pelvis sebagian besar disertai trauma uretra posterior.
Pada kasus trauma uretra posterior, uretra pars membranasea atau pars prostatika
merupakan bagian prostat yang ruptur. Fraktur pelvis menembus lantai pelvis dan
sfingter volunter, dan robekan ligamen puboprostatik akan merobek uretra
membranosa dari apeks prostat. Kemudian akan terbentuk hematoma di retropubis
dan perivesika. Pada kasus straddle injury terjadi trauma tumpul daerah perineum,
bagian uretra yang ruptur adalah uretra pars bulbosa, karena tekanan objek dari luar
menyebabkan kompresi uretra bulbosa dengan simfisis pubis sehingga terjadi
kontusio atau laserasi dinding uretra.11

2.6 Manifestasi Klinis


- Trauma ginjal:
Tanda-tanda dan gejala trauma ginjal adalah :
a. Hematuria : Hematuria merupakan manifestasi yang umum terjadi. Oleh
karena itu, adanya darah dalam urin setelah suatu cedera menunjukkan
kemungkinan cedera ginjal. Namun demikian, hematuria mungkin tidak akan
muncul atau terdeteksi hanya melalui pemeriksaan mikroskopik.
b. Nyeri mungkin terlokalisasi pada satu daerah panggul atau di atas perut.
c. Syok atau tanda-tanda kehilangan darah.
d. Ekimosis pada daerah panggul atau kuadran atas perut. e) Sebuah massa teraba
mungkin merupakan retroperitoneal besar hematoma atau kemungkinan
ekstravasasi kemih. f) Laserasi (luka) di abdomen lateral dan rongga panggul12
- Trauma ureter:
Trauma ureter biasanya menyertai cedera perut dan panggul yang parah.
Trauma penetrasi biasanya dikaitkan dengan cedera vaskular dan usus, sedangkan
trauma tumpul dikaitkan dengan kerusakan tulang panggul dan tulang belakang
lumbosakral. Adnya hematuria bukan merupakan indiikator adanya trauma pada
ureter. Cedera iatrogenik mungkin terlihat selama prosedur primer, saat pewarna
intravena (mis. Indigo carmine) dapat disuntikkan untuk menyingkirkan cedera
ureter. Mungkin juga diperhatikan kemudian, ketika biasanya ditemukan dengan
bukti obstruksi saluran atas, pembentukan fistula urin atau sepsis. Berikut klinisnya
tanda-tanda adalah karakteristik dari keterlambatan diagnosis: nyeri panggul,
inkontinensia urin, kebocoran urin atau vagina, hematuria, demam, uremia atau
urinoma. Ketika diagnosis terpenuhi, tingkat komplikasi meningkat. Obstruksi
ureter yang berkepanjangan (> 2 minggu) merupakan faktor predisposisi yang
menyebabkan pasien menderita nyeri dan risiko infeksi yang mening yang
menyebabkan kerusakan ginjal yang tidak dapat diperbaiki, dan hampir dua kali
lipat risiko hipertensi.12
- Trauma buli
Secara klinis cedera buli dibedakan menjadi kontusio buli, cedera buli
ekstraperitoneal, dan cedera intraperitoneal. Pada kontusio buli, hanya terdapat
memar pada dindingnya, mungkin didapatkan hematoma perivesikal, tetapi tidak
didapatkanekstravasasi urine ke luar buli. Cedera intraperitoneal merupakan 25-
45% dari seluruh trauma buli, sedangkan kejadian cedera buli ekstraperitoneal
kurang lebih 45-60% dari seluruh trauma buli. Tidak jarang cedera buli
intraperitoneal terjadi bersama dengan cedera ekstraperitoneal (2-12%).2
Pada cedera buli intraperitoneal terjadi pengaliran urine ke rongga peritoneal
sehingga menyebabkan inflamasi bahkan infeksi (peritonitis), oleh karena itu .ika
tidak segera dilakukan tindakan pembedahan, 10-20% cedera buli berakibat
kematian karena sepsis. The American Association for the Surgery of Trauma
(AAST) telah mengklasifikasikan cedera buli menjadi 5 derajat, sebagai berikut:8
Tabel 7. Skoring trauma buli dari AAST

- Trauma uretra
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena udem
atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan demam.
Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh, tergantung fascia
yang ikut rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat yang disebut infiltrat
urin yang mengakibatkan selulitis dan septikemia, bila terjadi infeksi.
Jika terjadi ruptur uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar dari
uretratetapi masih terbatas pada fascia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma
yang terbatas pada penis. Namun jika fascia Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan
darah hanya dibatasi oleh fascia colles sehingga darah dapat menjalar hingga
skrotum atau dinding abdomen. Oleh karena itu, robekan ini memberikan gambaran
seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-
kupu.13
Pada ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah
suprapubik dan abd!men bagian bawah, dijumpai jejas hematom, dan nyeri tekan.
Bila disertai rupture kandung kemih, bisa dijumpai tanda rangsangan peritoneum.
Pasien biasanya mengeluh tidak bisa kencing dan sakit pada daerah perut bagian
bawah.2
Kemungkinan terjadinya cedera uretra posterior harus segera dicurigai pada
pasien yang telah didiagnosis fraktur pelvis, seperti yang telah dikemukakan
sebeumnya, bebeerapa jenis fraktur pelvis lebih sering berhubungan dengan cedera
uretra posterior dan terilihat pada 87-93 % kasus. Akan tetapi, banyaknya darah
pada meatus uretra tidak berhubungan dengan beratnya cedera. Teraba buli yang
cembung -distended., urin tidak bisa keluar dari kandung kemih atau memar pada
perineum atau ekimosis perineal merupakan tanda tambahan yangmerujuk pada
gangguan uretra. Trias diagnostik dari gangguan uretra prostat membranosa adalah
fraktur penis, darah pada meatus dan urin tidak bisa keluar dari kandung kemih.
Keluarnya darah dari ostium uretra eksterna merupakan tanda yang paling
penting dari kerusakan uretra. Pada kerusakan uretra tidak diperbolehkan
melakukan pemasangan kateter,karena dapat menyebabkan infeksi pada
periprostatik dan perivesikal dan konversi dari inkomplet laserasi menjadi komplet
laserasi. Cedera uretra karena pemasangan kateter dapat menyebabkan obstruksi
karena edema dan bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan
demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh tergantung
fascia yang rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat urin yang
mengakibatkan selulitis dan septikemia, jika terjadi infeksi. Adanya darah pada
ostium uretra eksterna mengindikasikan pentingnya uretrogrfi untuk menegakkan
diagnosis.13
Pada pemeriksaan rektum bisa didapatkan hematoma pada pelvis dengan
pengeseran prostat ke superior. Bagaimanapun pemeriksaan rektum dapat
diinprestasikan salah, karena hematoma pelvis bisa mirip denagan prostat pada
palpasi. Pergeseran prostat ke superior tidak ditemukan jika ligament
puboprostikum tetap utuh. Disrupsi parsial dari uretra membranasea tidak disertai
oleh pergeseran prostat. Prostat dan buli terpisah dengan uretra pars membranosa
dan terdorong ke atas oleh penyebaran dari hematoma pada pelvis.
High riding prostat merupakan tanda klasik yang biasa ditemukan pada ruptur
uretra posterior. Hematoma pada pelvis, ditambah dengan fraktur penis kadang-
kadang menghalangi palpasi yang adekuat pada prostat yang ukurannya kecil.
Sebaliknya terkadang apa yang dipikirkan sebagai prostat yang normal mungkin
adalah hematoma pada pelvis. Pemeriksaan rektal lebih penting untuk mengetahui
ada tidaknya jejas pada rektal yang dapat dihubungkan dengan frsktur prlvis. Darah
yang ditemukan pada dari pemeriksa menunjukkan adanya suatu jejas pada lokasi
yang diperiksa.
Gejala klinis trauma uretra diantaranya ialah nyeri daerah perineum, nyeri
abdomen bawah, nyeri berkemih atau ketidakmampuan berkemih. Tanda klinis
trauma uretra diantaranya ialah:
 Adanya darah di meatus di temukan 37-93 % pada pasien dengan trauma
uretra posterior dan 75 % pasien dengan trauma uretra anterior.
 Adanya darah di introitus vagina di temukan lebih dari 80 % pasien wanita
dengan trauma pelvis dan bersamaan dengan trauma uretra.
 Hematuria, jumlah perdarahan uretra berkaitan dengan tingkat keparahan
trauma.
 Hematoma atau pembengkakan, pada trauma uretra pola haematom dapat
digunakan dalam identifikasi batasan anatominya. Ekstravasasi darah atau
urin dalam suatu distribusi sleeve sepanjang batang penis mengindikasikan
bahwa trauma terbatas pada fascia Buck’s. Gangguan fascia Buck’s
mengakibatkan suatu pola ekstravasasi dibatasi hanya oleh fascia colles,
meluas hingga fascia coracoclavicular superior dan fascia lata inverior.
Keadaan ini mengakibatkan luka memar pola khas kupu-kupu pada
perineum. Pada pasien wanita dengan fraktur penis yang berat, adanya
pembengkakan labia dapat sebagai indikator adanya trauma uretra. Hal ini
disebabkan oleh ekstravasasi urin dari suatu fistula dan memerlukan
perhatian dengan segera.
 High riding prostat, merupakan temuan yang relatif tidak di percaya pada
fase akut karena haematom pada pelvis terkait dengan fraktur pelvis sering
menghalangi palpasi adekuat dari prostat yang kecil terutama pada pria
muda.

2.7 Diagnosis
- Trauma ginjal
Kecurigaan trauma ginjal diawali dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Trauma deselerasi cepat atau trauma langsung di area pinggang (flank) adalah
indikator kecurigaan trauma ginjal. Hematuria makroskopis di seluruh fase miksi
merupakan indikator yang meningkatkan kecurigaan trauma ginjal.15 Tanda lain seperti
abrasi area pinggang, fraktur tulang iga, dan distensi dapat meningkatkan kecurigaan
pada trauma organ ginjal. Abnormalitas ginjal sebelum kejadian (hidronefrosis, batu
ginjal, kista, tumor) dapat menimbulkan komplikasi pada trauma ginjal minor.
Hematuria baik mikroskopik maupun gross/makroskopik sering ditemukan pada
kondisi trauma ginjal, namun tidak sensitif ataupun spesifik untuk membedakan
trauma minor atau mayor. Trauma renal mayor seperti trauma pedikel ginjal, trombosis
arteri segmental dapat muncul tanpa hematuria.12
Pemeriksaan hematokrit serial disertai pemeriksaan hemoglobin berperan untuk
mengetahui tanda perdarahan aktif yang dicurigai apabila terjadi penurunan kadarnya.
Pemeriksaan serum kreatinin berperan untuk evaluasi kerusakan ginjal, di samping
untuk evaluasi sebelum pemberian kontras pada pen citraan. Namun, peningkatan
kadar serum kreatinin pada satu jam pertama biasanya merefleksikan masalah ginjal
sebelum trauma, sehingga direkomendasikan pemeriksaan serial. Penentuan jenis
pencitraan diagnostik pada kasus kecurigaan trauma ginjal didasarkan temuan klinis
dan mekanisme trauma. Sebagian pasien pasca-trauma tumpul tidak memerlukan
evaluasi radiografi. Indikasi evaluasi radiologis adalah adanya gross hematuria,
hematuria mikroskopik, dan tanda syok, atau adanya kecurigaan trauma mayor organ
lain. Pada riwayat trauma deselerasi cepat perlu pemeriksaan pencitraan segera untuk
menyingkirkan risiko avulsi ureter atau cedera pedikel ginjal. Beberapa modalitas
pencitraan yang dapat digunakan antara lain Ultrasonography (USG), yang dapat
memberikan informasi cepat, non-invasif, dan murah untuk deteksi cairan peritoneal
(contoh hemoperitoneum) tanpa terpapar radiasi, namun hasilnya sangat ter gantung
operator. Intravenous Pyelography (IVP) hanya direkomendasikan pada center di
mana IVP menjadi modalitas satu-satunya. One Shot Intra Operative IVP (bolus
intravena 2 mL/kgBB kontras diikuti foto polos abdomen dalam 10 menit)
direkomendasikan hanya pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil yang
membutuhkan intervensi operatif segera, untuk memberikan informasi mengenai
ginjal yang mengalami trauma dan evaluasi fungsi ginjal kontralateral.12
Computed Tomography Scan (CT scan) adalah metode standar baku emas
untuk penilaian radiologis pasien trauma ginjal yang stabil. CT scan lebih sensitif dan
spesifik daripada IVP, ultrasonografi, dan angiografi serta lebih akurat untuk mendefi
nisikan detail anatomi, mencakup kedalaman dan lokasi laserasi ginjal, trauma organ
abdomen lain, serta keadaan dan lokasi ginjal kontralateral.1 Kontras intravena
memberikan informasi lebih akurat terutama pada pasien dengan fungsi ginjal baik.
Kurangnya enhancement kontras pada ginjal yang mengalami trauma merupakan tanda
trauma pedikel ginjal, juga dapat dicurigai apabila ditemukan hematoma sentral
parahilar dengan enhancement kontras. Pada kasus dengan kecurigaan trauma ginjal,
scan/pencitraan ulang ginjal perlu dilakukan 10-15 menit pasca-injeksi kontras, karena
sebagian besar cedera tumpul ureter dan cedera ureteropelvic junction dapat
diidentifikasi dengan delayed excretory CT scan.12

- Trauma ureter
Pada umumnya tanda dan gejala klinis tidak spesifik. Hematuria menunjukkan
cedera pada saluran kemih. Bila ter.adi ekstravasasi urin, dapat timbul urinoma pada
pinggang atau abdomen, fistel ureterokutan melalui luka atau tanda rangsang
peritoneum bila urin masuk kerongga intraperiteneal. Pada trauma tumpul, gejalanya
sering kurang jelas sehingga diagnosis sering tertunda. Pada cedera ureter bilateral
ditemukan anuria.
Pada pemeriksaan IVU tampak ekstravasasi kontras atau kontras berhenti di
daerah lesi atau terdapat deviasi ureter ke lateral karena hematoma atau urinoma. Pada
cedera yang lama mungkin didapatkan hidroureterone/rosis sampai pada daerah
sumbatan. cedera ureter dari luar seringkali ditemukan pada saat melakukan eksplorasi
laparotomi dari suatu cederaorgan intraabdominal.2

- Trauma buli
Gambaran klinis yang lain tergantung pada etiologi trauma, bagian buli yang
mengalami cedera yaitu intra dan ekstraperitoneal, adanya organ lain yang mengalami
cedera, serta penyulit yang terjadi akibat trauma. Umumnya fraktur tulang pelvis
disertai perdarahan hebat sehingga tidak jarang penderita datang dalam keadaan anemia
bahkan syok.
Pada abdomen bagian bawah tampak jelas atau hematom dan terdapat nyeri
tekan didaerah suprapubik di tempat hematom. Pada ruptur buli intraperitoneal, urin
masuk kerongga peritoneum sehingga memberi tanda cairan intraabdomen dan
rangsang peritoneum . Lesi ekstraperitoneal memberikan gejala dan tanda infiltrat urin
di rongga peritoneal yang sering menyebabkan septicemia. Penderita mengeluh tidak
bisa buang air kecil. Kadang keluar darah dari uretra.
Diagnosis ditentukan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta hematuria. Pada
foto pelvis atau foto polos perut terlihat fraktur tulang pelvis. Pemeriksaan radiologik
lain untuk menunjang diagnosis adalah sistogram, yang dapat memberi keterangan ada
tidaknya ruptur kandung kemih, dan lokasi ruptur apakah intra atau ekstraperitoneal.
Pemeriksaan pencitraan dengan sistogram, yaitu dengan memasukkan kontras
ke dalam buli sebanyak 300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter
periuretram. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu foto pada saat buli terisi kontras
dalam posisi AP, pada posisi oblik dan washout film yaitu foto setelah kontras
dikeluarkan dari buli. Jika terdapat robekan pada buli, terlihat ekstravasasi kontras di
dalam rongga perivesikal yang merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika
terdapat kontras yang berada di sela-sela usus berarti robekan Buli intraperitoneal. Pada
perforasi yang kecil seringkali tidak tampak adanya ekstravasasi (negatif palsu)
terutama jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250 ml. Jika tidak dijumpai
ekstravasasi, diagnosisnya adalah kontusio buli.
Sebelum melakukan pemasangan kateter uretra, harus diyakinkan dahulu bahwa
tidak ada perdarahan yang keluar dari muara uretra. Keluarnya darah dari muara uretra
merupakantanda dari cedera uretra. Jika di samping cedera pada buli juga diduga
terdapat cedera pada saluran kemih bagian atas, pencitraan buli dapat diperoleh melalui
fase sistografi pada foto IVU.2

- Trauma uretra
Evaluasi lanjutan untuk mencari cedera uretra dianjurkan pada semua pasien
trauma multipel, terutama yang jika ada darah di meatus, hematom/ekimosis
penis/perineal, retensi urin, distensi kandung kemih, dan riwayat trauma (straddle
injury). Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah pemeriksaan colok dubur;
selain untuk menemukan prostat letak tinggi yang menandakan adanya ruptur uretra,
juga dapat menyingkirkan cedera rektal. Pemeriksaan radiologis uretrografi retrograd
(RUG) direkomendasikan karena dapat menunjukkan derajat ruptur uretra, parsial atau
komplit, serta lokasinya, baik anterior maupun posterior, sehingga dapat menentukan
pilihan tatalaksana akut drainase kandung kemih. Pemeriksaan RUG merupakan
pemeriksaan awal, dilakukan dengan injeksi 20-30 mL materi kontras sambil menahan
meatus tetap tertutup, kemudian balon kateter dikembangkan pada fosa navikularis.
RUG dapat mengidentifikasi lokasi cedera. Ruptur inkomplit ditandai ekstravasasi
uretra saat buli terisi penuh, sedangkan ruptur komplit ditandai ekstravasasi masif
tanpa pengisian buli. Ekstravasasi dapat terlihat hanya di badan korpus jika fasia
Buck’s masih intak, dan akan terlihat hingga ke skrotum, perineum, dan abdomen
anterior jika fasia Buck’s telah robek. Uretroskopi juga dapat menjadi pilihan yang
baik karena berfungsi diagnostik ataupun terapeutik pada cedera uretra akut.
Uretroskopi menjadi pilihan pemeriksaan pertama pada kasus fraktur penis dan pada
pasien perempuan.11
2.8 Penatalaksanaan
 Penatalaksanaan awal:
- derajat dan lokasi trauma, dan keadaan hemodinamik pasien dan trauma daerah
lainnya.
- Langkah awal adalah resusitasi dan stabilisasi kondisi pasien
- Langkah berikutnya adalah diversi urin dari buli-buli.
- Ekstravasasi urin dari uretra dapat menimbulkan reaksi peradangan yang dapat
berkembang menjadi abses  debridement
- Kontusio : Observasi 4-6 bulan, kemudian uretrografi ulang
- Ruptur :
o Sistostomi 1 bulan
o 3 bulan uroflowmetri (pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran
urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya
proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik
dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga
normal menandakan ada obstruksi)
o Striktura: lakukan sachse ( memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau
sachse)
 Indikasi Operasi
Operasi segera disarankan pada keadaan :
- Tujuan debridement
- Luka terbuka
- Fraktur penis-trauma korpus cavernosa
- Terjadi trauma lain yang berhubungan
- Fraktur dan penanganannya (perdarahan, trauma saluran kemih
 Penatalaksanaan Trauma Uretra Posterior
Emergency
Syok dan pendarahan harus diatasi, serta pemberian antibiotik dan obat-obat
analgesik. Pasien dengan kontusio atau laserasi dan masih dapat kencing, tidak perlu
menggunakan alat-alat atau manipulasi tapi jika tidak bisa kencing dan tidak ada
ekstravasasi pada uretrosistogram, pemasangan kateter harus dilakukan dengan
lubrikan yang adekuat.
Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera intraabdomen dan organ lain,
cukup dilakukan sistotomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan
melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silicon selama 3
minggu.
Pembedahan
Ekstravasasi pada uretrosistogram mengindikasikan pembedahan. Kateter
uretra harus dihindari.
1. Immediate management
Penanganan awal terdiri dari sistostomi suprapubik untuk drainase urin. Insisi
midline pada abdomen bagian bawah dibuat untuk menghindari pendarahan yang
banyak pada pelvis. Buli-buli dan prostat biasanya elevasi kearah superior oleh
pendarahan yang luas pada periprostatik dan perivesikal. Buli-buli sering distensi
oleh akumulasi volume urin yang banyak selama periode resusitasi dan persiapan
operasi. Urin sering bersih dan bebas dari darah, tetapi mungkin terdapat gross
hematuria. Buli-buli harus dibuka pada garis midline dan diinspeksi untuk laserasi
dan jika ada, laserasi harus ditutup dengan benang yang dapat diabsorpsi dan
pemasangan tube sistotomi untuk drainase urin. Sistotomi suprapubik
dipertahankan selama 3 bulan. Pemasangan ini membolehkan resolusi dari
hematoma pada pelvis, dan prostat & buli-buli akan kembali secara perlahan ke
posisi anatominya.
Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2- 3
hari kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir (railroading).

2. Delayed urethral reconstruction


Rekonstruksi uretra setelah disposisi prostat dapat dikerjakan dalam 3
bulan, diduga pada saat ini tidak ada abses pelvis atau bukti lain dari infeksi pelvis.
Sebelum rekonstuksi, dilakukan kombinasi sistogram dan uretrogram untuk
menentukan panjang sebenarnya dari striktur uretra. Panjang striktur biasanya 1-2
cm dan lokasinya dibelakang dari tulang pubis. Metode yang dipilih adalah “single-
stage reconstruction” pada ruptur uretra dengan eksisi langsung pada daerah
striktur dan anastomosis uretra pars bulbosa ke apeks prostat lalu dipasang kateter
uretra ukuran 16 F melalui sistotomi suprapubik. Kira-kira 1 bulan setelah
rekonstuksi, kateter uretra dapat dilepas. Sebelumnya dilakukan sistogram, jika
sistogram memperlihatkan uretra utuh dan tidak ada ekstravasasi, kateter
suprapubik dapat dilepas. Jika masih ada ekstravasasi atau striktur, kateter
suprapubik harus dipertahankan. Uretrogram dilakukan kembali dalam 2 bulan
untuk melihat perkembangan striktur.

3. Immediate urethral realignment


Beberapa ahli bedah lebih suka untuk langsung memperbaiki uretra. Perdarahan
dan hematoma sekitar ruptur merupakan masalah teknis. Timbulnya striktur,
impotensi, dan inkotinensia lebih tinggi dari immediate cystotomydan delayed
reconstruction. Walaupun demikian beberapa penulis melaporkan keberhasilan
dengan immediate urethral realignment.

2.9 Komplikasi
Striktur, impotensi, dan inkotinensia urin merupakan komplikasi rupture
prostatomembranosa paling berat yang disebabkan trauma pada sistem urinaria. Striktur yang
mengikuti perbaikan primer dan anastomosis terjadi sekitar 50% dari kasus. Jika dilakukan
sistotomi suprapubik, dengan pendekatan “delayed repair” maka insidens striktur dapat
dikurangi sampai sekitar 5%. Insidens impotensi setelah “primary repair”, sekitar 30-80%
(rata-rata sekitar 50%). Hal ini dapat dikurangi hingga 30-35% dengan drainase suprapubik
pada rekontruksi uretra tertunda. Jumlah pasien yang mengalami inkotinensia urin <2 %
biasanya bersamaan dengan fraktur tulang sakrum yang berat dan cedera nervus S2-4.

2.10 Prognosis
Jika komplikasinya dapat dihindari, prognosisnya sangat baik. Infeksi saluran kemih
akan teratasi dengan penatalaksaan yang sesuai.
BAB III

KESIMPULAN

Trauma traktus urinaris terdiri dari trauma ginjal,trauma ureter, trauma vesica urinaria
dan trauma uretra. Secara anatomis sebagian besar organ traktus urinarius terletak di rongga
ekstraperitoneal, dan terlindung oleh otot-otot dan organ-organ lain. Oleh karena itu jika
didapatkan cedera traktus urinarius, harus diperhitungkan pula kemungkinan adanya kerusakan
organ lain yang mengelilinginya. Sebagian besar cedera traktus urinarius bukan cedera yang
mengancam jiwa, kecuali cedera berat pada ginjal yang menyebabkan kerusakan parenkim
ginjal yang cukup luas dan kerusakan atau terputusnya pembuluh darah ginjal.
Cedera yang mengenai traktus urinarius merupakan cedera dari luar berupa trauma
tumpul maupun trauma tajam, dan cedera iatrogenic akibat tindakan dokter pada saat operasi
atau petugas medic yang lain. Pada trauma tajam, baik berupa trauma tusuk maupun trauma
tembus oleh peluru, harus dipikirkan untuk kemungkinan melakukan eksplorasi; sedangkan
trauma tumpul sebagian besar hampir tidak diperlukan tindakan operasi. Trauma ginjal
merupakan trauma terbanyak pada system traktus urinarius.
DAFTAR PUSTAKA

1. Umbas R, Manuputty D, Sukasah CL, Swantari NM, Achmad IA, Bowolaksono, et al.
Saluran kemih dan alat kelamin laki-laki.In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W,
Prasetyono TOH, Rudiman R, Editors. Buku ajar ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta:Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2012.p.879-88.
2. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. 3rd ed. Jakarta:Sagung seto;2012.p.175-92.
3. Santucci RA. Ureteral Trauma. Medscape 2014. Available from
www.emedicine.medscape.com (Accessed on Dec 14,2015)
4. Miller S. Traumatic injury of the bladder and urethra. Medline Plus 2014. Available from
www.nlm.nih.gov (Accessed on Dec 14,2015)
5. Harper K, Shah KH. Renal trauma after blunt abdominal injury. The Journal of Emergency
Medicine 2013;45:400-04. Available from www.jem-journal.com (Accessed on Dec
14,2015)
6. Tait CD, Somani BK. Renal trauma: case reports and overview. Hindawi Publishing
Corporation 2012;DOI:10.115/2012/207872. Available from www.hindawi.com
(Accessed on Dec 14,2015)
7. Siram SM, Gerald SZ, Greene WR, Hughes K, Oyetunji TA, Chroser K. Ureteral trauma:
patterns and mechanisms of injury of an uncommon condition. Am J Surg 2010;199:566-
70. Available from www.ncbi.nim.mih.gov (Accessed on Dec 14,2015)
8. Santucci RA, Mcanich JW. Bladder injuries:evaluation and management. Brazilian
Journal of Urology 2000;26:408-14.
9. Pineiro LM, Djakovic N, Plas E, Mor Y, Santucci RA, Serafetinidis E, et al. EAU
Guideline on urethral trauma. European Urology 2010;57:791-803.
10. The American Association for the Surgery of Trauma. Kidney injury scoring scale
[Internet]. 2015 [cited 2019 Occtober 24] Available from:
http://www.aast.org/library/traumatools/ injuryscoringscales.aspx#kidney
11. Kusumajaya C. Diagnosis dan Tatalaksana Ruptur Uretra. CDK-264;45(5).2018
12. Summerton DJ, Djakovic N, Kitrey ND, Kuehhas FE, Lumen E, Serafitiinidis E, Sharma
DM. Guidelines of Urological Trauma. European Association of Urology. 2014.
13. Sjamsuhidajat R, Jong WM. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2005. P. 770-2.
14. Daller M, Carpinto G. Genitourinary trauma and emergencies. In Siroky MB, Oates RD,
Babayan RK, editors. Handbook of urology diagnosis and therapy. 3rd Edition.
Philadelphia: Lippincott william wilkins. 2006. p. 165-82
15. McAninch JW. Injuries to genitourinary tract. In: McAninch JW, Lue TF, editors. Smith
and Tanagho’s general urology. 18th ed. Singapore: Mc Graw Hill Medical; 2013. p.280-
7.

Anda mungkin juga menyukai