Anda di halaman 1dari 10

A.

TRAUMA GINJAL
Trauma ginjal adalah kecederaan yang paling sering pada sistem urinari. Walaupun ginjal
mendapat proteksi dari otot lumbar, thoraks, badan vertebra dan viscera, ginjal mempunyai
mobiliti yang besar yang bisa mengakibatkan kerusakan parenchymal dan kecederaan vaskular
dengan mudah. Trauma sering kali disebabkan kerana jatuh, kecelakaan lalu lintas, luka tusuk,
dan luka tembak.
Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam rudapaksa
baik tumpul maupun tajam.
Klasifikasi trauma ginjal:
Grade I
Lesi meliputi :
1)

Kontusio ginjal

2)

Minor laserasi korteks dan medulla tanpa gangguan pada sistem pelviocalices

3)

Hematom minor dari subcapsular atau perinefron (kadang kadang)


75 80 % dari keseluruhan trauma ginjal
Grade II
Lesi meliputi :

1)

Laserasi parenkim yang berhubungan dengan tubulus kolektivus sehingga terjadi extravasasi
urine

2)

Sering terjadi hematom perinefron

3)

Luka yang terjadi biasanya dalam dan meluas sampai ke medulla


10 15 % dari keseluruhan trauma ginjal
Grade III
Lesi meliputi :

1)

Ginjal yang hancur

2)

Trauma pada vaskularisasi pedikel ginjal


5 % dari keseluruhan trauma ginjal
Grade IV
Meliputi lesi yang jarang terjadi yaitu

1)

Avulsi pada ureteropelvic junction

2)

Laserasi dari pelvis renal

B.
1.

ETIOLOGI
Trauma Tumpul
Trauma tumpul sering menyebabkan luka pada ginjal, misalnya karena kecelakaan
kendaraan bermotor, terjatuh atau trauma pada saat berolahraga. Luka tusuk pada ginjal dapat
karena tembakan atau tikaman.
Trauma tumpul dibedakan menjadi :

a.

Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau
perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ
lain.

b.

Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal
secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel
ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis.

2.

Trauma Iatrogenik
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi
intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy,
dan percutaneous lithotripsy.

3.

Trauma Tajam
Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh tusukan benda tajam misalnya tusukan
pisau.

Luka karena senjata api dan pisau merupakan luka tembus terbanyak yang mengenai
ginjal sehingga bila terdapat luka pada pinggang harus dipikirkan trauma ginjal sampai terbukti
sebaliknya. Pada luka tembus ginjal, 80% berhubungan dengan trauma viscera abdomen.
C. MANIFESTASI KLINIS
Kecurigaan terhadap adanya cedera ginjal jika terdapat:
1. Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut bagian atas
dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu.
2. Hematuria.
3. Fraktur costa sebelah bawah (T8-T12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra.
4. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang.
5. Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas.
Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat bervariasi tergantung
pada derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ lain yang menyertainya. Perlu
ditanyakan mekanisme cedera untuk memperkirakan luas kerusakan yang terjadi.
Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri di daerah pinggang, terlihat
jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopik ataupun mikroskopik. Pada trauma
mayor atau ruptur pedikel seringkali pasien dating dalam keadaan syok berat dan terdapat
hematom di daerah pinggang yang makin lama makin membesar. Dalam keadaan ini mungkin
pasien tidak sempat menjalani pemeriksaan PIV karena usaha untuk memperbaiki hemodinamik
seringkali tidak membuahkan hasil akibat perdarahan yang keluar dari ginjal cukup deras. Untuk
itu perlu segera dilakukan eksplorasi laparotomi untuk menghentikan perdarahan.
D.

PATOFISIOLOGI
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya
pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat kecelakaan
lalu lintas juga semakin meningkat. Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak
langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau
perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ
lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal
secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum.
Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri
renalis yang menimbulkan trombosis. Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneal bagian

atas hanya terfiksasi oleh pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara masa ginjal melayang
bebas dalam bantalan lemak yang berada dalam fascia Gerota. Fascia Gerota sendiri yang efektif
dalam mengatasi sejumlah kecil hematom , tidak sempurna dalam perkembangannnya. Kantong
fascia ini meluas kebawah sepanjang ureter ,meskipun menyatu pada dinding anterior aorta serta
vena cava inferior, namun mudah untuk sobek oleh adanya perdarahan hebat sehingga
perdarahan melewati garis tengah dan mengisi rongga retroperitoneal. Karena miskinnya fiksasi,
ginjal mudah mengalami dislokasi oleh adanya akselerasi maupun deselerasi mendadak, yang
bisa menyebabkan trauma seperti avulsi collecting system atau sobekan pada intima arteri renalis
sehingga terjadi oklusi parsial maupun komplet pembuluh darah. Sejumlah darah besar dapat
terperangkap didalam rongga retroperitoneal sebelum dilakukan stabilisasi. Keadaan ekstrem ini
sering terjadi pada pasien yang datang di ruang gawat darurat dengan kondisi stabil sementara
terdapat perdarahan retroperitoneal. Korteks ginjal ditutupi kapsul tipis yang cukup kuat. Trauma
yang menyebabkan robekan kapsul sehingga menimbulkan perdarahan pada kantong gerota perlu
lebih mendapat perhatian dibanding trauma yang tidak menyebabkan robekan pada kapsul. Vena
renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrans didaerah ini bisa menyebabkan trauma
pada kedua struktur. Karena letaknya yang berdekatan antara pankreas dan pole atas ginjal kiri
serta duodenum dengan tepi medial ginjal kanan bisa menyebabkan trauma kombinasi pada
pankreas, duodenum dan ginjal.. Anatomi ginjal yang mengalami kelainan seperti hidronefrosis
atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur hanya oleh adanya trauma ringan.
E.
1.

PENATALAKSANAAN
Konservatif
Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan ini dilakukan observasi
tanda-tanda vital (tensi, nadi, suhu tubuh), kemungkinan adanya penambahan masa di pinggang,
adanya pembesaran lingkar perut, penurunan kadar hemoglombin dan perubahan warna urin
pada pemeriksaan urin. Trauma ginjal minor 85% dengan hematuri akan berhenti dan sembuh
secara spontan. Bed rest dilakukan sampai hematuri berhenti.

2.

Eksplorasi

a.

Indikasi Absolut
Indikasi absolut adalah adanya perdarahan ginjal persisten yang ditandai oleh adanya
hematom retroperitoneal yang meluas dan berdenyut. Tanda lain adalah adanya avulsi vasa
renalis utama pada pemeriksaan CT scan atau arteriografi.

b.

Indikasi Relatif

1)

Jaringan Nonviable
Parenkim ginjal yang nekrosis lebih dari 25% adalah indikasi relatif untuk dilakukan eksplorasi.

2)

Ekstravasasi Urin
Ekstravasasi urin menandakan adanya cedera ginjal mayor. Bila ekstravasasi menetap maka
membutuhkan intervensi bedah.

3)

Incomplete Staging
Penatalaksanaan nonoperatif dimungkinkan apabila telah dilakukan pemeriksaan imaging untuk
menilai derajat trauma ginjal. Adanya incomplete staging memerlukan pemeriksaan imaging
dahulu atau eksplorasi /rekonstruksi ginjal. Pada pasien dengan kondisi tidak stabil yang
memerlukan tindakan laparotomi segera, pemeriksaan imaging yang bisa dilakukan hanyalah one
shot IVU di meja operasi. Bila hasil IVU abnormal atau tidak jelas atau adanya perdarahan
persisten pada ginjal harus dilakukan eksplorasi ginjal.

4)

Trombosis Arteri
Trombosis arteri renalis bilateral komplit atau adanya ginjal soliter dibutuhkan eksplorasi segera
dan revaskularisasi.

5)

Trauma Tembus
Pada trauma tembus indikasi absolut dilakukan eksplorasi adalah perdarahan arteri
persisten. Hampir semua trauma tembus renal dilakukan tindakan bedah. Perkecualian adalah
trauma ginjal tanpa adanya penetrasi peluru intraperitoneum Luka tusuk sebelah posterior linea
aksilaris posterior relatif tidak melibatkan cedera organ lain.

B. TRAUMA URETRHA
Trauma tumpul merupakan penyebab dari sebagian besar cedera pada uretra pars
posterior. Menurut sejarahnya, banyak cedera semacam ini yang berhubungan dengan
kecelakaan di pabrik atau pertambangan. Akan tetapi, karena perbaikan dalam hal
keselamatan pekerja pabrik telah menggeser penyebab cedera ini dan menyebabkan
peningkatan pada cedera yang berhubungan kecelakaan lalu lintas. Gangguan pada
uretra terjadi sekitar 10% dari fraktur pelvis tetapi hampir semua gangguan pada uretra
membranasea yang berhubungan dengan trauma tumpul terjadi bersamaan fraktur
pelvis.Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan

pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostato-membranasea. Fraktur


pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di dalam kavum pelvis menyebabkan
hematoma yang luas di kavum retzius sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut
terobek, prostat berada buli-buli akan terangkat ke kranial.
Ruptur uretra adalah ruptur pada uretra yang terjadi langsung akibat trauma dan
kebanyakan disertai fraktur tulang panggul, khususnya os pubis (simpiolisis).
Fraktur pelvis yang menyebabkan gangguan uretra biasanya penyebab sekunder
karena kecelakaan kendaraan bermotor (68%-84%) atau jauh dari ketinggian dan tulang
pelvis hancur (6%-25%). Pejalan kaki lebih beresiko, mengalami cedera uretra karena
fraktur pelvis pada kecelakaan bermotor dari pada pengendara.
Cedera uretra terjadi sebagai akibat dari adanya

gaya

geser

pada prostatomembranosa junction sehingga prostat terlepas dari fiksasi pada diafragma
urogenitalia. Dengan adanya pergeseran prostat, maka uretra pars membranasea teregang
dengan cepat dan kuat. Uretra posterior difiksasi pada dua tempat yaitu fiksasi uretra
pars membranasea pada ramus ischiopubis oleh diafragma urogenitalia dan uretra pars
prostatika ke simphisis oleh ligamentum puboprostatikum.
Ruptur uretra dibagi menjadi 2 macam:
1. Ruptur uretra anterior :
Paling sering pada bulbosa disebut Straddle Injury, dimana robekan uretra terjadi
antara ramus inferior os pubis dan benda yang menyebabkannya. Terdapat daerah memar
atau hematoma pada penis dan scrotum (kemungkinan ekstravasasi urine)
Penyebab tersering : straddle injury ( cedera selangkangan ).
2. Ruptur uretra posterior : Paling sering pada membranacea.
- Ruptur utertra pars prostato-membranasea
- Terdapat tanda patah tulang pelvis.
- Terbanyak disebabkan oleh fraktur tulang pelvis.
- Robeknya ligamen pubo-prostatikum.
- Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai jejas, hematom
dan nyeri tekan.
- Bila disertai ruptur kandung kemih bisa ditemukan tanda rangsangan
peritoneum.
PATOFISIOLOGI
Ruptur uretra sering terjadi bila seorang penderita patah tulang panggul karena
jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Ruptur uretra dibagi menjadi 2 yaitu ; rupture uretra
posterior dan anterior.

Ruptur uretran posterior hampir selalu disertai fraktur pelvis. Akibat fraktur
tulang pelvis terjadi robekan pars membranaseae karena prostat dan uretra prostatika
tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur. Sedangkan uretra membranaseae terikat di
diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada
rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek,
sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke cranial.
Rupture uretra anterior atau cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk
atau terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras seperti batu, kayu atau
palang sepeda dengan tulang simpisis. Cedera uretra anterior selain oleh cedera
kangkang juga dapat di sebabkan oleh instrumentasi urologic seperti pemasangan
kateter, businasi dan bedah endoskopi. Akibatnya dapat terjadi kontusio dan laserasi
uretra karena straddle injury yang berat dan menyebabkan robeknya uretra dan terjadi
ekstravasasi urine yang biasa meluas ke skrotum, sepanjang penis dan ke dinding
abdomen yang bila tidak ditangani dengan baik terjadi infeksi atau sepsis.
MANIFESTASI KLINIS
Pada ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah
suprapubik dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas hematom, dan nyeri tekan. Bila
disertai ruptur kandung kemih, bisa dijumpai tanda rangsangan peritoneum. Pasien
biasanya mengeluh tidak bisa kencing dan sakit pada daerah perut bagian bawah.
Kemungkinan terjadinya cedera uretra posterior harus segera dicurigai pada
pasien yang telah didiagnosis fraktur pelvis. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, beberapa jenis fraktur pelvis lebih sering berhubungan dengan cedera uretra
posterior dan terlihat pada 87% sampai 93% kasus. Akan tetapi, banyaknya darah pada
meatus uretra tidak berhubungan dengan beratnya cedera. Teraba buli-buli yang
cembung (distended), urin tidak bisa keluar dari kandung kemih atau memar pada
perineum atau ekimosis perineal merupakan tanda tambahan yang merujuk pada
gangguan uretra. Trias diagnostik dari gangguan uretra prostatomembranosa adalah
fraktur pelvis, darah pada meatus dan urin tidak bisa keluar dari kandung kemih.
Keluarnya darah dari ostium uretra eksterna merupakan tanda yang paling penting
dari kerusakan uretra. Pada kerusakan uretra tidak diperbolehkan melakukan
pemasangan kateter, karena dapat menyebabkan infeksi pada periprostatik dan
perivesical dan konversi dari incomplete laserasi menjadi complete laserasi. Cedera

uretra karena pemasangan kateter dapat menyebabkan obstuksi karena edema dan
bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan demam. Ekstravasasi
urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh tergantung fascia yang rusak. Pada
ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia,
bila terjadi infeksi. Adanya darah pada ostium uretra eksterna mengindikasikan
pentingnya uretrografi untuk menegakkan diagnosis.
Pada pemeriksaan rektum bisa didapatkan hematoma pada pelvis dengan
pengeseran

prostat

ke

superior.

Bagaimanapun

pemeriksaan

rektum

dapat

diinprestasikan salah, karena hematoma pelvis bisa mirip denagan prostat pada palpasi.
Pergeseran prostat ke superior tidak ditemukan jika ligament puboprostikum tetap utuh.
Disrupsi parsial dari uretra membranasea tidak disertai oleh pergeseran prostat.
Prostat dan buli-buli terpisah dengan uretra pars membranasea dan terdorong ke
atas oleh penyebaran dari hematoma pada pelvis. High riding prostat merupakan tanda
klasik yang biasa ditemukan pada ruptur uretra posterior. Hematoma pada pelvis,
ditambah dengan fraktur pelvis kadang-kadang menghalangi palpasi yang adekuat pada
prostat yang ukurannya kecil. Sebaliknya terkadang apa yang dipikirkan sebagai prostat
yang normal mungkin adalah hematoma pada pelvis. Pemeriksaan rektal lebih penting
untuk mengetahui ada tidaknya jejas pada rektal yang dapat dihubungkan dengan fraktur
pelvis. Darah yang ditemukan pada jari pemeriksa menunjukkan adanya suatu jejas pada
lokasi yang diperiksa.
PENATALAKSANAAN
A. EMERGENCY
Syok dan pendarahan harus diatasi, serta pemberian antibiotik dan obat-obat analgesik.
Pasien dengan kontusio atau laserasi dan masih dapat kencing, tidak perlu menggunakan alat-alat
atau manipulasi tapi jika tidak bisa kencing dan tidak ada ekstravasasi pada uretrosistogram,
pemasangan kateter harus dilakukan dengan lubrikan yang adekuat.
Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera intraabdomen dan organ lain, cukup
dilakukan sistotomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan
anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu.
B. PEMBEDAHAN
Ekstravasasi pada uretrosistogram mengindikasikan pembedahan. Kateter uretra harus dihindari.
1.

Immediate management

Penanganan awal terdiri dari sistostomi suprapubik untuk drainase urin. Insisi midline
pada abdomen bagian bawah dibuat untuk menghindari pendarahan yang banyak pada pelvis.
Buli-buli dan prostat biasanya elevasi kearah superior oleh pendarahan yang luas pada
periprostatik dan perivesikal. Buli-buli sering distensi oleh akumulasi volume urin yang banyak
selama periode resusitasi dan persiapan operasi. Urin sering bersih dan bebas dari darah, tetapi
mungkin terdapat grosshematuria. Buli-buli harus dibuka pada garis midline dan diinspeksi
untuk laserasi dan jika ada, laserasi harus ditutup dengan benang yang dapat diabsorpsi dan
pemasangan tube sistotomi untuk drainase urin. Sistotomi suprapubik dipertahankan selama 3
bulan. Pemasangan ini membolehkan resolusi dari hematoma pada pelvis, dan prostat & buli-buli
akan kembali secara perlahan ke posisi anatominya.
Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2- 3 hari
kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir (railroading).
2.

Delayed urethral reconstruction


Rekonstruksi uretra setelah disposisi prostat dapat dikerjakan dalam 3 bulan, diduga pada
saat ini tidak ada abses pelvis atau bukti lain dari infeksi pelvis. Sebelum rekonstuksi, dilakukan
kombinasi sistogram dan uretrogram untuk menentukan panjang sebenarnya dari striktur uretra.
Panjang striktur biasanya 1-2 cm dan lokasinya dibelakang dari tulang pubis. Metode yang
dipilih adalah single-stage reconstruction pada ruptur uretra dengan eksisi langsung pada
daerah striktur dan anastomosis uretra pars bulbosa ke apeks prostat lalu dipasang kateter uretra
ukuran 16 F melalui sistotomi suprapubik. Kira-kira 1 bulan setelah rekonstuksi, kateter uretra
dapat dilepas. Sebelumnya dilakukan sistogram, jika sistogram memperlihatkan uretra utuh dan
tidak ada ekstravasasi, kateter suprapubik dapat dilepas. Jika masih ada ekstravasasi atau striktur,
kateter suprapubik harus dipertahankan. Uretrogram dilakukan kembali dalam 2 bulan untuk
melihat perkembangan striktur.

3.

Immediate urethral realignment


Beberapa ahli bedah lebih suka untuk langsung memperbaiki uretra. Perdarahan dan
hematoma sekitar ruptur merupakan masalah teknis. Timbulnya striktur, impotensi, dan
inkotinensia lebih tinggi dari immediate cystotomy dandelayed reconstruction. Walaupun
demikian beberapa penulis melaporkan keberhasilan dengan immediate urethral realignment.
DAFTAR PUSTAKA

Daller M, Carpinto G. Genitourinary trauma and emergencies. In : Siroky MB, Oates RD, Babayan
RK, editors. Handbook of urology diagnosis and therapy. 3 rd Edition. Philadelpia : Lippincott
William & Wilkins; 2004. p. 165-82
Purnomo B. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta : Sagung Seto; 2003. p.97-9
Sjamsuhidajat R, Jong WM. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2005.

Anda mungkin juga menyukai