Cedera tumpul disebabkan oleh KLL, jatuh, cedera olahraga, dan serangan.
Ginjal dan atau struktur hilar langsung hancur sebagai akibatnya. Lebih
jarang, deselerasi mendadak dapat menyebabkan cedera avulsi yang
mempengaruhi struktur vaskular hilum atau ureteropelvic junction (UPJ).
Luka tembus disebabkan oleh luka tusukan dan tembakan. Mereka
cenderung lebih parah dan kurang dapat diprediksi daripada trauma
tumpul. Prevalensi lebih tinggi di lokasi perkotaan. Cedera penetrasi
menghasilkan gangguan jaringan langsung pada parenkim, pedikel vaskular,
atau sistem pengumpulan. Peluru atau fragmen berkecepatan tinggi
memiliki potensi untuk penghancuran parenkim terbesar dan paling sering
dikaitkan dengan cedera organ multipel.
Ruptur Uretra Posterior
Ruptura uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang
pelvis. Fraktur yang mengenai ramus dan simfisis pubis dan menimbulkan
kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostate-
membranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di
dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius
sehingga ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat beserta buli-
buli akan terangkat ke kranial.
3. Faktor Risiko
Trauma ginjal
Trauma ginjal terjadi sekitar 1-5% dari kejadian seluruh trauma dan sekitar
10% pasien mengalami tarauma abdomen (Indradiputra & Hartono, 2016).
Organ ginjal merupakan organ saluran kemih yang paling sering terkena
cedera pada kasus trauma. Trauma ginjal terjadi pada 0,3-3,25% pasien
trauma dan 71-95% trauma ginjal disebabkan karena trauma tumpul.
Trauma ginjal tumpul paling banyak diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas,
jatuh dan cedera akibat olahraga. Kecelakaan lalu lintas merupakan
penyebab tersering dari trauma ginjal tumpul sedangkan pada anak-anak,
kecelakaan lalu lintas dan jatuh merupakan penyebab tersering dari trauma
ginjal tumpul (Dangle, et al., 2016). Faktor risiko trauma ginjal tumpul pada
orang dewasa yaitu riwayat kelainan ginjal sebelumnya, usia, jenis kelamin
dan jenis aktivitas. Laki-laki usia produktif banyak ditemukan mengalami
trauma ginjal tumpul dari kalangan penderita dewasa (Erlich & Kitrey,
2018).
Berdasarkan penelitian oleh Bjurlin pada tahun 2011 di Amerika Serikat,
ditemukan 16.585 kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan 2%
diantaranya mengalami trauma urologi. Hammad mencatat 1008 kasus
kecelakaan lalu lintas di saudi arabia pada tahun 2006 ± 2007 dan 2,3%
diantaranya mengalami trauma urologi. Organ yang terlibat dalam trauma
urologi adalah ginjal, ureter, buli-buli, urethra, genitalia dan dari beberapa
organ tersebut yang paling sering terkena trauma adalah ginjal. Trauma
ginjal terjadi 1 ± 5% dari seluruh kasus trauma dan 10% dari seluruh kasus
trauma abdomen.
4. Manifestasi Klinis
Trauma Ginjal
Klasifikasi trauma ginjal membantu penentuan terapi dan memperkirakan
prognosis. Kira-kira terdapat 26 klasifikasi trauma ginjal. Terdapat kriteria
yang digunakan sebagai dasar penyusunan klasifikasi ginjal antara lain:
Patogenesis (trauma tumpul atau tajam)
Morfologi (tipe dan derajat kerusakan)
Keadaan klinis (gejala yang ditemui)
5. Patofisiologi
Trauma ginjal
Mekanisme terjadinya trauma ginjal dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu
trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma tumpul biasanya diakibatkan
karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pada olah raga, dan lain-lain.
Kecelakaan merupakan penyebab trauma tumpul pada ginjal. Laserasi
ginjal dan trauma pada vaskuler ginjal kira-kira 10-15% dari trauma tumpul
ginjal. Oklusi arteri renal berhunbungan dengan trauma deselerasi secara
tiba-tiba. Posisi ginjal berubah yang menyebabkan tarikan pada vaskuler
ginjal. Hal tersebut menyebabkan injuri pada intima dan dapat memicu
terjadinya trombosis. Kompresi arteri renal yang disebabkan desakan
antara vertebra dan dinding anterior abdomen dapat menyebabkan
trombosis pada arteri renal sebelah kanan.
Luka tembak dan luka tusuk merupakan penyebab utama trauma tajam
pada ginjal. Akibat trauma ginjal lebih parah dari pada akibat dari trauma
tumpul. Trauma dari peluru dapat mengakibatkan trauma yang lebih parah
pada parenkim ginjal akibat dari gaya kinetiknya yang besar. Trauma
dengan kekuatan yang lebih kecil mengakibatkan kerusakan jaringan yang
lebih luas lagi akibat dari efek ledakan. Pada trauma dengan kekuatan yang
lebih besar kerusakan jaringa yang luas disertai dengan kerusakan organ
yang lain. Trauma ginjal paling sering terjadi diantara organ urogenital yang
lain, biasanya disertai dengan trauma abdomen dan kejadian nefrektomi
masih tinggi antara 25-30%.
6. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Ruptur VU
Setelah mengalami cedera pada abdomen sebelah bawah, pasien
mengeluh nyeri di daerah suprasimfisis, miksi bercampur, darah atau
mungkin pasien tidak dapat miksi. Gambaran klinis yang lain tergantung
pada etiologi trauma, bagian buli-buli yang mengalami cedera yaitu
intra/ekstraperitoneal, adanya organ lain yang mengalami cedera, serta
penyulit yang terjadi akibat trauma. Umumnya fraktur tulang pelvis disertai
perdarahan hebat sehingga tidak jarang penderita datang dalam keadaan
anemia bahkan syok.
Pada abdomen bagian bawah tampak jejas atau hematom dan terdapat
nyeri tekan didaerah suprapubik di tempat hematom. Pada ruptur buli-buli
intraperitoneal, urin masuk ke rongga peritoneum sehingga memberi tanda
cairan intraabdomen dan rangsang peritoneum. Lesi ekstraperitoneal
memberikan gejala dan tanda infiltrate urin di rongga peritoneal yang
sering menyebabkan septisemia. Penderita mengeluh tidak bisa buang air
kecil. Kadang keluar darah dari uretra.
Diagnosis ditentukan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta hematuria.
Pada foto pelvis atau foto polos perut terlihat fraktur tulang pelvis.
Pemeriksaan radiologik lain untuk menunjang diagnosis adalah sistogram,
yang dapat memberi keterangan ada tidaknya ruptur kandung kemih, dan
lokasi ruptur apakah intra atau ekstraperitoneal. Pemeriksaan pencitraan
dengan sistogram, yaitu dengan memasukkan kontras ke dalam buli-buli
sebanyak 300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-
uretram. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu foto pada saat buli-buli
terisi kontras dalam posisi AP, pada posisi oblik dan wash out film yaitu foto
setelah kontras dikeluarkan dari buli-buli. Jika terdapat robekan pada buli-
buli, terlihat ekstravasasi kontras di dalam rongga perivesikal yang
merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras
yang berada di sela-sela usus berarti robekan buli-buli intraperitoneal.
Pada perforasi yang kecil seringkali tidak tampak adanya ekstravasasi
(negatif palsu) terutama jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250 ml.
Jika tidak dijumpai ekstravasasi, diagnosisnya adalah kontusio buli-buli.
Pemeriksaan Fisik
Trauma ginjal
Kecurigaan trauma ginjal diawali dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Trauma deselerasi cepat atau trauma langsung di area pinggang (flank)
adalah indikator kecurigaan trauma ginjal. Pasien memiliki riwayat trauma
langsung pada pinggang kirinya saat terjatuh. Keluhan nyeri serta jejas
minimal di area pinggang yang diperkuat dengan total gross hematuria
(hematuria makroskopis di seluruh fase miksi) merupakan indikator yang
meningkatkan kecurigaan trauma ginjal. Tanda lain seperti abrasi area
pinggang, fraktur tulang iga, dan distensi dapat meningkatkan kecurigaan
pada trauma organ ginjal, namun tidak ditemu kan pada pasien ini. Dari
anamnesis, pasien tidak memiliki riwayat masalah ginjal sebelumnya. Hal
ini perlu mengingat pertimbangan khusus pada pasien dengan masalah
ginjal sebelumnya, contoh pada kasus ginjal soliter. Abnormalitas ginjal
sebelum kejadian (hidronefrosis, batu ginjal, kista, tumor) dapat
menimbulkan komplikasi pada trauma ginjal minor.
Anamnesa dapat diperoleh dari pasien yang telah stabil, atau dari saksi
kejadian kecelakaan, dari personel medis. Indikasi terjadinya trauma pada
ginjal apabila terjadi deselerasi secara tiba-tiba dan trauma langsung pada
daerah flank. Pada trauma tembus, perlu diketahui ukuran dari pisau atau
kaliber atau jenis dari senjata. Perlu juga diketahui kondisi ginjal sebelum
terjadinya trauma, seperti hidronefrosi, kista, atau batu ginjal. Pemeriksaan
fisik adalah dasar dari assessment pada setiap pasien dengan trauma.
Stabilitas hemodinamik merupakan kriteria utama pada penanganan
semua trauma ginjal. Pemeriksaan fisik pada trauma tajam ginjal sangat
penting, dimana dapat diketahui luka tusuk atau luka masuk dan keluar
dari peluru yang dapat ditemukan di punggung atau abdomen. Trauma
tumpul pada flank, abdomenm atau thorax bagian bawah dapat
menyebabkan terjadinya trauma ginjal. Temuan berikut pada pemeriksaan
fisik dapat menendakan terjadinya traum ginjal: Hematuria, Nyeri flank,
Ekimosis flank, Abrasi flank, Fraktur costa, Distensi abdomen, Massa
abdomen, dan Abdominal tenderness
Guidelines Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Stabilitas hemodinamik perlu dipastikan pada saat kedatangan
penderita
Anamnesa diperoleh dari pasien dengan kondisi stabil, saksi
kejadian, atau petugas medis tentang waktu kejadian
Keadaan ginjal sebelum kejadian trauma
Pemeriksaa fisik dari thorax, abdomen, flanks, punggung
Temuan pada saat pemeriksaan fisik seperti hematuria ekimosis
dan abrasi flank, fraktur costa, massa atau distensi abdomen
kemungkinan terjadinya kerusakan ginjal
Ruptur Ureter
Komplikasi akut yang paling umum adalah kebocoran kemih yang
berkepanjangan dari anastomosis. Hal ini dapat bermanifestasi menjadi
urinoma, abses, atau peritonitis dan dapat dicegah dengan penempatan
drainase intraoperatif di retroperitoneum, sehingga memungkinkan baik
drainase urin dan pengenalan dini kebocoran urin dari anastomosis. Jika
volume cairan drainase banyak, maka cairan harus diperiksa kadar
kreatinin. Pengenalan pada kebocoran urin yang terlambat berkaitan
dengan peristiwa terjadinya sepsis dan rekonstruksi yang lebih rumit
sehingga pasien akan di rawat dalam jangka waktu yang lebih lama.
Komplikasi lain yang umumnya terjadi dari semua tindakan adalah
kemungkinan untuk terjadinya striktur, hidronefrosis, abses, pembentukan
fistula, dan infeksi. Kuncinya adalah untuk mendiagnosa masalah awal dan
untuk pengobatan yang sesuai.
8. Tatalaksana
Trauma ginjal
Tatalaksana awal pasien trauma ginjal mengikuti standar tatalaksana
pasien trauma umum berdasarkan Advance Trauma Life Support (ATLS).
Tatalaksana non-operatif telah menjadi standar pada pasien trauma ginjal
dengan hemodinamik stabil, khususnya pada trauma derajat I – III
klasifikasi AAST. Pasien trauma ginjal derajat IV dan V lebih sering
memerlukan eksplorasi bedah, tetapi beberapa sumber menyebutkan
bahwa tatalaksana konservatif dapat menjadi pilihan dalam situasi
hemodinamik stabil. Pasien trauma ginjal berat (derajat III hingga V) yang
ditatalaksana non-operatif harus diobservasi ketat serta dilakukan
pemeriksaan hematokrit serial. Tirah baring total diindikasikan hingga
hematuria pulih. Pada pasien dengan ekstravasasi urin atau parenkim non-
viable dapat dipertimbangkan pencitraan periodik, namun beberapa
sumber menyebutkan tidak perlu bila tidak ditemukan tanda perberatan
gejala (demam, nyeri memberat, penurunan hematokrit). Meskipun
sebagian trauma ginjal derajat II hingga IV dapat pulih tanpa komplikasi,
perdarahan ginjal tertunda dapat terjadi hingga 25% yang dapat dideteksi
dengan pencitraan serial. Apabila perdarahan menetap atau terjadi
perdarahan ginjal tertunda, tindakan angiografi dan embolisasi selektif
dapat menjadi pilihan.
Tatalaksana non-operatif memerlukan observasi ketat di rumah sakit dan
tirah baring total. Saat tanda gross hematuria hilang, mobilisasi mulai
dapat dilakukan, akan tetapi tirah baring harus diperpanjang bila
hematuria berulang. Pasien yang telah mobilisasi tanpa penyulit dapat
dipertimbangkan untuk keluar rumah sakit dengan kontrol ketat. Pasien
juga perlu diedukasi terhadap kemungkinan penyulit seperti hipertensi
pasca-trauma dan perdarahan ginjal tertunda (delayed bleeding).
Ginjal yang mengalami trauma tumpul dapat pulih secara baik dengan
tatalaksana konservatif; bahkan pada kondisi trauma disertai ekstravasasi
urin dan adanya jaringan non-viable, 98% dapat ditatalaksana secara
konservatif. Pada 6 kasus cedera ginjal derajat V dengan hemodinamik
stabil, 4 dari 6 (66%) ginjal menunjukkan fungsi memuaskan setelah
tatalaksana konservatif. Pencitraan serial pasien ini menunjukkan tidak ada
perburukan kondisi atau penyulit, disertai hasil laboratorium fungsi ginjal
yang baik dan tidak ditemukan penurunan hematokrit atau hemoglobin
selama masa observasi. Kondisi klinis pasien juga membaik dengan nyeri
terkontrol disertai hemodinamik stabil. Pasien tetap direkomendasikan
untuk evaluasi lebih lanjut. Kasus ini menunjukkan terapi konservatif non-
operatif dapat dipertimbangkan pada tatalaksana pasien trauma tumpul
ginjal derajat IV dengan status hemodinamik stabil.
Perawatan pasca operasi dan komplikasi
Setelah operasi penderita istirahat di tempat tidur sampai hematuri tidak
ada lagi. Setelah itu penderita melakukan mobilisasi secar bertahap. Drain
dipertahankan selama 5-7 hari dan dilepas setelah produksinya minimal.
Produksi urine dimonitornya kebocoran setiap jam, kadar kreatinin dalam
serum diperiksa setiap hari dan kontrol foto setelah 3 hari. Apabila leakage
uein tetap terjadi setelah 5-7 hari, dilakukan pemeriksaan IVP untuk
mengetahui adanya kebocoran atau sumbatan pada collecting system atau
ureter
Monitor tekanan darah dilakukan secara berkala untuk mengetahui
timbulnya renovascular hypertension paska trauma ginjal, baik setelah
operasi maupun yang dirawat secara konservatif. Renovascular konstruksi
hypertension terjadi pada 5% penderita paska rekonstruksi ginjal, yang
disebabkan karena stenosis arteri renalis atau infark parsial parenkim
ginjal. Hipertensi ini dapat timbul pada pasien yang sebelumnya tidak
didiagnosa adanya trauma ginjal atau ocult trauma. Hipertensi ini biasanya
sampai timbul setelah 2 minggu sampai 8 bulan paska trauma ginjal.
Ruptur Ureter
Pada setiap trauma tajam harus dilakukan tindakan eksplorasi untuk
menilai ada tidaknya cedera ureter serta cedera ikutan lain. Yang paling
penting adalah melakukan penyaliran urin yang ekstravasasi dan
menghilangkan obstruksi. Tindakan yang dilakukan terhadap cedera ureter
tergantung pada saat cedera ureter terdiagnosis, keadaan umum pasien,
dan letak serta derajat lesi ureter.
Tindakan yang dikerjakan mungkin:
1. Ureter saling sambung (anastomosis end to end). Teknik ini dipilih jika
kedua ujung distal dan proksimal dapat didekatkan tanpa tegangan
(tension).
2. Inplantasi ureter ke buli-buli (neoimplantasi ureter pada buli-buli, flap
Boari, atau psoas hitch). Cedera ureter distal yang tidak memungkinkan
untuk dilakukan anastomosis end to end, atau implantasi ureter ke
buli-buli disebabkan tidak cukup bagian ureter distal. Bagian ureter
distal dapat diganti dengan bagian buli-buli yang dibentuk suatu
tabung mirip ureter.