Anda di halaman 1dari 13

TUTOR SKENARIO 4 PERTEMUAN 2

DD: Trauma ginjal, Ruptur traktus urinarius (Uretra, VU, Ureter)

1. Definisi dan Epidemiologi


Trauma Ginjal
Definisi dari trauma adalah suatu keadaan yang menyebabkan kerusakan
tubuh atau organ tubuh dimana faktor penyebab berasal dari luar tubuh.
Salah satu trauma yang dapat terjadi pada organ tubuh adalah ginjal.
Trauma ginjal terjadi rata-rata 1-5% dari semua trauma. Ginjal paling sering
terkena trauma, dengan rasio kejadian 3:1 antara laki-laki dan wanita.
Trauma ginjal dapat mengacam jiwa, namun kebanyakan trauma ginjal
dapat dikelola secara konservatif. Dengan kemajuan di bidang diagnostik
dan terapi telah menurunkan angka intervensi bedah pada penanganan
trauma ginjal dan meningkatkan preservasi ginjal.
Trauma ginjal terjadi 1 sampai 5 % dari keseluruhan kasus trauma, 10 %
dari keseluruhan kasus trauma abdomen. Perbandingan trauma ginjal
antara laki-laki dan perempuan adalah tiga banding satu. Mekanisme
trauma adalah tumpul sebanyak 90 sampai 95 persen dengan trauma
tajam sebanyak 20 persen. Penatalaksanaan trauma ginjal mayoritas
dilakukan manajemen konservatif (non operatif menejemen).
Trauma ginjal muncul hingga 5% dari semua kasus trauma. Ini paling umum
pada laki-laki muda dan memiliki insiden populasi keseluruhan 4,9 per
100.000. Sebagian besar cedera dapat dikelola secara non-operasi dengan
preservasi organ yang berhasil
Ruptur traktus urinarius
2. Etiologi
Trauma ginjal
Trauma ginjal dapat terjadi:
- Secara langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang
- Tidak langsung merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal
secara tiba-tiba

Cedera tumpul disebabkan oleh KLL, jatuh, cedera olahraga, dan serangan.
Ginjal dan atau struktur hilar langsung hancur sebagai akibatnya. Lebih
jarang, deselerasi mendadak dapat menyebabkan cedera avulsi yang
mempengaruhi struktur vaskular hilum atau ureteropelvic junction (UPJ).
Luka tembus disebabkan oleh luka tusukan dan tembakan. Mereka
cenderung lebih parah dan kurang dapat diprediksi daripada trauma
tumpul. Prevalensi lebih tinggi di lokasi perkotaan. Cedera penetrasi
menghasilkan gangguan jaringan langsung pada parenkim, pedikel vaskular,
atau sistem pengumpulan. Peluru atau fragmen berkecepatan tinggi
memiliki potensi untuk penghancuran parenkim terbesar dan paling sering
dikaitkan dengan cedera organ multipel.
Ruptur Uretra Posterior
Ruptura uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang
pelvis. Fraktur yang mengenai ramus dan simfisis pubis dan menimbulkan
kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostate-
membranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di
dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius
sehingga ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat beserta buli-
buli akan terangkat ke kranial.
3. Faktor Risiko
Trauma ginjal
Trauma ginjal terjadi sekitar 1-5% dari kejadian seluruh trauma dan sekitar
10% pasien mengalami tarauma abdomen (Indradiputra & Hartono, 2016).
Organ ginjal merupakan organ saluran kemih yang paling sering terkena
cedera pada kasus trauma. Trauma ginjal terjadi pada 0,3-3,25% pasien
trauma dan 71-95% trauma ginjal disebabkan karena trauma tumpul.
Trauma ginjal tumpul paling banyak diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas,
jatuh dan cedera akibat olahraga. Kecelakaan lalu lintas merupakan
penyebab tersering dari trauma ginjal tumpul sedangkan pada anak-anak,
kecelakaan lalu lintas dan jatuh merupakan penyebab tersering dari trauma
ginjal tumpul (Dangle, et al., 2016). Faktor risiko trauma ginjal tumpul pada
orang dewasa yaitu riwayat kelainan ginjal sebelumnya, usia, jenis kelamin
dan jenis aktivitas. Laki-laki usia produktif banyak ditemukan mengalami
trauma ginjal tumpul dari kalangan penderita dewasa (Erlich & Kitrey,
2018).
Berdasarkan penelitian oleh Bjurlin pada tahun 2011 di Amerika Serikat,
ditemukan 16.585 kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan 2%
diantaranya mengalami trauma urologi. Hammad mencatat 1008 kasus
kecelakaan lalu lintas di saudi arabia pada tahun 2006 ± 2007 dan 2,3%
diantaranya mengalami trauma urologi. Organ yang terlibat dalam trauma
urologi adalah ginjal, ureter, buli-buli, urethra, genitalia dan dari beberapa
organ tersebut yang paling sering terkena trauma adalah ginjal. Trauma
ginjal terjadi 1 ± 5% dari seluruh kasus trauma dan 10% dari seluruh kasus
trauma abdomen.
4. Manifestasi Klinis
Trauma Ginjal
Klasifikasi trauma ginjal membantu penentuan terapi dan memperkirakan
prognosis. Kira-kira terdapat 26 klasifikasi trauma ginjal. Terdapat kriteria
yang digunakan sebagai dasar penyusunan klasifikasi ginjal antara lain:
 Patogenesis (trauma tumpul atau tajam)
 Morfologi (tipe dan derajat kerusakan)
 Keadaan klinis (gejala yang ditemui)

The American Association for the Surgery of Trauma (AAST) telah


menyusun klasifikasi trauma ginjal. Klasifikasi ini membagi derajat trauma
ginjal dari 1-5. CT scan abdomen atau temuan pada saat eksplorasi dapat
memastikan derajat klasifikasi lebih tepat. Klasifikasi dari AAST pada saat
ini paling banyak digunakan dan dapat menentukan perlu tidaknya
tindakan operasi pada trauma ginjal. AAST Renal Injury Grading Scale:
 Contusion or non expanding subcapsular haematome  No
laceration
 Non expanding perirenal haematome  Cortical laceration < 1 cm
deep without extravasation
 Cortical laceration > 1 cm without urinary extravasation
 Laceration: though corticomedullary junction into collecting system
Vascular: segmental renal artery or vein injury with contained
haematome
 Laceration: shattered kidney
Vascular: renal injury or avulsion

Cedera minor: derajat 1-2


- Nyeri pinggang, ekimosis, hematuria yang dapat dilihat secara
mikroskopik dan makroskopik
Cedera mayor: derajat 3-5
- Syok berat, hematom pada pinggang yang lama kelamaan semakin
membesar
Ruptur ureter
Kecurigaan adanya cedera ureter pada trauma dari luar adalah adanya
hematuria pasca trauma, sedangkan kecurigaan adanya cedera ureter
iatrogenik bisa diketemukan pada saat operasi atau setelah pembedahan.
Jika diduga terdapat kebocoran urine melalui pipa drainase pasca bedah,
pemberian zat warna yang diekskresikan lewat urine, memberikan warna
pada cairan di dalam pipa drainase atau pada luka operasi. Selain itu
pemeriksaan kreatinin atau ureum cairan yang diambil dari pipa drainase
kadarnya sama dengan yang berada di dalam urin.
Pada umumnya tanda dan gejala klinis tidak spesifik. Hematuria
menunjukkan cedera pada saluran kemih. Bila terjadi ekstravasasi urin,
dapat timbul urinoma pada pinggang atau abdomen, fistel ureterokutan
melalui luka atau tanda rangsang peritoneum bila urin masuk ke rongga
intraperiteneal. Pada trauma tumpul, gejalanya sering kurang jelas
sehingga diagnosis sering tertunda. Pada cedera ureter bilateral ditemukan
anuria.1
Pada pemeriksaan IVU tampak ekstravasasi kontras atau kontras berhenti
di daerah lesi atau terdapat deviasi ureter ke lateral karena hematoma atau
urinoma. Pada cedera yang lama mungkin didapatkan hidroureteronefrosis
sampai pada daerah sumbatan. Cedera ureter dari luar seringkali
diketemukan pada saat melakukan eksplorasi laparotomi dari suatu cedera
organ intraabdominal.
Ruptur Uretra Posterior
Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum (1976) membagi
derajat cedera uretra dalam 3 jenis:
- Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching
(peregangan). Foto uretrogram tidak menunjukkan adanya
ekstravasasi, dan uretra hanya tampak memanjang.
- Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea,
sedangkan diafragma urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram
menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih terbatas di atas
diafragma urogenitalis.
- Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa
sebelah proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan
ekstravasasi kontras meluas hingga di bawah diafragma urogenitalia
sampai ke perineum.

5. Patofisiologi
Trauma ginjal
Mekanisme terjadinya trauma ginjal dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu
trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma tumpul biasanya diakibatkan
karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pada olah raga, dan lain-lain.
Kecelakaan merupakan penyebab trauma tumpul pada ginjal. Laserasi
ginjal dan trauma pada vaskuler ginjal kira-kira 10-15% dari trauma tumpul
ginjal. Oklusi arteri renal berhunbungan dengan trauma deselerasi secara
tiba-tiba. Posisi ginjal berubah yang menyebabkan tarikan pada vaskuler
ginjal. Hal tersebut menyebabkan injuri pada intima dan dapat memicu
terjadinya trombosis. Kompresi arteri renal yang disebabkan desakan
antara vertebra dan dinding anterior abdomen dapat menyebabkan
trombosis pada arteri renal sebelah kanan.
Luka tembak dan luka tusuk merupakan penyebab utama trauma tajam
pada ginjal. Akibat trauma ginjal lebih parah dari pada akibat dari trauma
tumpul. Trauma dari peluru dapat mengakibatkan trauma yang lebih parah
pada parenkim ginjal akibat dari gaya kinetiknya yang besar. Trauma
dengan kekuatan yang lebih kecil mengakibatkan kerusakan jaringan yang
lebih luas lagi akibat dari efek ledakan. Pada trauma dengan kekuatan yang
lebih besar kerusakan jaringa yang luas disertai dengan kerusakan organ
yang lain. Trauma ginjal paling sering terjadi diantara organ urogenital yang
lain, biasanya disertai dengan trauma abdomen dan kejadian nefrektomi
masih tinggi antara 25-30%.
6. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Ruptur VU
Setelah mengalami cedera pada abdomen sebelah bawah, pasien
mengeluh nyeri di daerah suprasimfisis, miksi bercampur, darah atau
mungkin pasien tidak dapat miksi. Gambaran klinis yang lain tergantung
pada etiologi trauma, bagian buli-buli yang mengalami cedera yaitu
intra/ekstraperitoneal, adanya organ lain yang mengalami cedera, serta
penyulit yang terjadi akibat trauma. Umumnya fraktur tulang pelvis disertai
perdarahan hebat sehingga tidak jarang penderita datang dalam keadaan
anemia bahkan syok.
Pada abdomen bagian bawah tampak jejas atau hematom dan terdapat
nyeri tekan didaerah suprapubik di tempat hematom. Pada ruptur buli-buli
intraperitoneal, urin masuk ke rongga peritoneum sehingga memberi tanda
cairan intraabdomen dan rangsang peritoneum. Lesi ekstraperitoneal
memberikan gejala dan tanda infiltrate urin di rongga peritoneal yang
sering menyebabkan septisemia. Penderita mengeluh tidak bisa buang air
kecil. Kadang keluar darah dari uretra.
Diagnosis ditentukan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta hematuria.
Pada foto pelvis atau foto polos perut terlihat fraktur tulang pelvis.
Pemeriksaan radiologik lain untuk menunjang diagnosis adalah sistogram,
yang dapat memberi keterangan ada tidaknya ruptur kandung kemih, dan
lokasi ruptur apakah intra atau ekstraperitoneal. Pemeriksaan pencitraan
dengan sistogram, yaitu dengan memasukkan kontras ke dalam buli-buli
sebanyak 300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-
uretram. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu foto pada saat buli-buli
terisi kontras dalam posisi AP, pada posisi oblik dan wash out film yaitu foto
setelah kontras dikeluarkan dari buli-buli. Jika terdapat robekan pada buli-
buli, terlihat ekstravasasi kontras di dalam rongga perivesikal yang
merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras
yang berada di sela-sela usus berarti robekan buli-buli intraperitoneal.
Pada perforasi yang kecil seringkali tidak tampak adanya ekstravasasi
(negatif palsu) terutama jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250 ml.
Jika tidak dijumpai ekstravasasi, diagnosisnya adalah kontusio buli-buli.
Pemeriksaan Fisik
Trauma ginjal
Kecurigaan trauma ginjal diawali dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Trauma deselerasi cepat atau trauma langsung di area pinggang (flank)
adalah indikator kecurigaan trauma ginjal. Pasien memiliki riwayat trauma
langsung pada pinggang kirinya saat terjatuh. Keluhan nyeri serta jejas
minimal di area pinggang yang diperkuat dengan total gross hematuria
(hematuria makroskopis di seluruh fase miksi) merupakan indikator yang
meningkatkan kecurigaan trauma ginjal. Tanda lain seperti abrasi area
pinggang, fraktur tulang iga, dan distensi dapat meningkatkan kecurigaan
pada trauma organ ginjal, namun tidak ditemu kan pada pasien ini. Dari
anamnesis, pasien tidak memiliki riwayat masalah ginjal sebelumnya. Hal
ini perlu mengingat pertimbangan khusus pada pasien dengan masalah
ginjal sebelumnya, contoh pada kasus ginjal soliter. Abnormalitas ginjal
sebelum kejadian (hidronefrosis, batu ginjal, kista, tumor) dapat
menimbulkan komplikasi pada trauma ginjal minor.
Anamnesa dapat diperoleh dari pasien yang telah stabil, atau dari saksi
kejadian kecelakaan, dari personel medis. Indikasi terjadinya trauma pada
ginjal apabila terjadi deselerasi secara tiba-tiba dan trauma langsung pada
daerah flank. Pada trauma tembus, perlu diketahui ukuran dari pisau atau
kaliber atau jenis dari senjata. Perlu juga diketahui kondisi ginjal sebelum
terjadinya trauma, seperti hidronefrosi, kista, atau batu ginjal. Pemeriksaan
fisik adalah dasar dari assessment pada setiap pasien dengan trauma.
Stabilitas hemodinamik merupakan kriteria utama pada penanganan
semua trauma ginjal. Pemeriksaan fisik pada trauma tajam ginjal sangat
penting, dimana dapat diketahui luka tusuk atau luka masuk dan keluar
dari peluru yang dapat ditemukan di punggung atau abdomen. Trauma
tumpul pada flank, abdomenm atau thorax bagian bawah dapat
menyebabkan terjadinya trauma ginjal. Temuan berikut pada pemeriksaan
fisik dapat menendakan terjadinya traum ginjal: Hematuria, Nyeri flank,
Ekimosis flank, Abrasi flank, Fraktur costa, Distensi abdomen, Massa
abdomen, dan Abdominal tenderness
Guidelines Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
 Stabilitas hemodinamik perlu dipastikan pada saat kedatangan
penderita
 Anamnesa diperoleh dari pasien dengan kondisi stabil, saksi
kejadian, atau petugas medis tentang waktu kejadian
 Keadaan ginjal sebelum kejadian trauma
 Pemeriksaa fisik dari thorax, abdomen, flanks, punggung
 Temuan pada saat pemeriksaan fisik seperti hematuria ekimosis
dan abrasi flank, fraktur costa, massa atau distensi abdomen
kemungkinan terjadinya kerusakan ginjal

Guidelines Pemeriksaan Laboratorium


 Urine dari pasien dengan kecurigaan trauma ginjal diperiksa secara
makros atau menggunakan dipstick
 Pemeriksaan hematokrit serial bila dicurigai blood loss, namun
tidak dapat dipastikan karena trauma ginjal atau karena trauma
penyerta yang lain
 Pemeriksaan kreatinin dapat menandakan penurunan fungsi ginjal
akibat dari trauma Guidelines Pemeriksaan Radiografi
 Pasien trauma tumpul ginjal dengan hematuri makros maupun
mikroskopik (5 eritrosit/lapangan pandang) disertai hipotensi
(tekanan sistolik < 90 mmHg) harus menjalani pemeriksaan
radiografi
 Pemeriksaan radiologi direkomendasikan pada pasien dengan
riwayat trauma deselerasi
 Semua pasien dengan hematuri karena trauma tumpul atau
trauma tembus perlu dilakukan imaging pada ginjal
 USG dapat dilakukan pada evalusai primer
 CT scan dengan kontras merupakan pemeriksaan paling baik untuk
diagnosa dan staging trauma ginjal pada pasien dengan
hemodinamik stabil
 Pasien dengan hemodinamik tidak stabil yang memerlukan
tindakan bedah harus diperiksa one shot IVP - IVP, MRI,
scintigraphy merupakan alternatif apabila CT Scan tidak tersedia
 Angiography dapat digunakan sebagai diagnostik dan embolisasi
pada pembuluh darah yang mengalami perdarahan
Guidelines Management Trauma Ginjal
 Pasien stabil, trauma tumpul, grade 1-4, ditangani secara
konservatif; bed rest, antibiotik, dan monitoring vital sign
 Pasien stabil, trauma tajam, grade 1-3, ditangani secara elektif
 Rekonstruksi ginjal perlu dilakukan apabila bertujuan untuk
mengontrol perdarahan dan jumlah parenkim yang viable
mencukupi
 Indikasi operasi:
o Hemodinamik tidak stabil
o Ekplorasi trauma penyerta
o Hematome yang meluas atau pulsatif yang ditemukan
pada saat eksplorasi
o Trauma grade V
o Keadaan ginjal pre-trauma yang memerlukan tindakan
bedah
Periksaan Penunjang
Trauma ginjal
Penentuan jenis pencitraan diagnostik pada kasus kecurigaan trauma ginjal
didasarkan temuan klinis dan mekanisme trauma. Sebagian pasien pasca-
trauma tumpul tidak memerlukan evaluasi radiografis. Indikasi evaluasi
radiologis adalah adanya gross hematuria, hematuria mikroskopik, dan
tanda syok, atau adanya kecurigaan trauma mayor organ lain. Pada riwayat
trauma deselerasi cepat perlu pemeriksaan pencitraan segera untuk
menyingkirkan risiko avulsi ureter atau cedera pedikel ginjal. Beberapa
modalitas pencitraan yang dapat digunakan antara lain Ultrasonography
(USG), yang dapat memberikan informasi cepat, non-invasif, dan murah
untuk deteksi cairan peritoneal (contoh hemoperitoneum) tanpa terpapar
radiasi, namun hasilnya sangat ter gantung operator. Intravenous
Pyelography (IVP) hanya direkomendasikan pada center di mana IVP
menjadi modalitas satu-satunya. One Shot Intra Operative IVP (bolus
intravena 2 mL/kgBB kontras diikuti foto polos abdomen dalam 10 menit)
direkomendasikan hanya pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil
yang membutuhkan intervensi operatif segera, untuk memberikan
informasi mengenai ginjal yang mengalami trauma dan evaluasi fungsi
ginjal kontralateral.
Diperlukan urinalisis, hematokrit, dan kadar kreatinin awal. Hematuria
(terlihat atau tidak terlihat) adalah temuan utama. Namun cedera besar
seperti gangguan UPJ, cedera pedikel, trombosis arteri segmental dan luka
tusuk mungkin tidak memiliki hematuria. Hematuria yang tidak sesuai
dengan riwayat trauma mungkin menunjukkan patologi yang sudah ada
sebelumnya. Dipstik urin dengan cepat mengevaluasi untuk hematuria,
tetapi hasil palsu dapat berkisar antara 3 - 10%. Kadar kreatinin yang
meningkat biasanya mencerminkan patologi ginjal yang sudah ada.
7. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi
Trauma ginjal
Trauma ginjal dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik yang segera
(kurang dari sebulan setelah trauma, contohnya perdarahan, infeksi, abses
perinefrik, sepsis, fi stula, hipertensi, ekstravasasi urin, dan urinoma)
ataupun komplikasi tertunda (hidronefrosis, batu saluran kemih,
pielonefritis kronis, fistula arterivena, dan pseudoaneurisma). Risiko
komplikasi pada pasien yang ditatalaksana konservatif meningkat sesuai
derajat trauma. Pencitraan serial dapat menjadi pertimbangan untuk
deteksi komplikasi pada masa observasi. Salah satu sumber menyebutkan
CT Scan serial belum terbukti memberikan keuntungan di atas risiko radiasi
pada pasien trauma ginjal. CT scan serial hanya direkomendasikan pada
pasien dengan demam, penurunan hematokrit yang tak dapat dijelaskan
serta nyeri daerah ginjal atau flank yang signifikan. Pengulangan pencitraan
dapat tidak dilakukan pada trauma ginjal derajat I hingga IV sepanjang
kondisi klinis baik. Pencitraan yang kurang invasif seperti USG dapat
dipertimbangkan untuk pemantauan dini komplikasi, seperti yang
dilakukan pada pasien ini.
Pada penderita yang dirawat konservatif, dapat timbul komplikasi cepat
atau lambat. Komplikasi cepat timbul dalam 4 minggu setelah trauma,
dapat berupa delayed bleeding, abses, ektravasasi urine, sepsis, fistel urine
dan hipertensi. Sedangkan komplikasi lambat dapat berupa hipertensi,
fistel arteriovena, hidronefrosis, pembentukan batu ginjal, pielonefritis
kronis serta nyeri yang bersifat kronis. Penatalaksanaan non-bedah
biasanya memberikan hasil yang baik. Delayed retroperitoneal bleeding
bisa terjadi beberapa minggu setelah trauma atau operasi dan biasanya
fatal, sehingga perlu diantisipasi dan segera dilakukan tindakan bila terjadi.
Abses perinefrik bisa berawal dari hematom atau urinoma dan apabila
terjadi, drainase perkutan lebih disukai daripada operasi karena resiko
kehilangan ginjal lebih sedikit. Arterio-venous fistel dicurigai bila timbul
hematuria yang baru terjadi beberapa hari setelah trauma, dan ini sering
terjadi setelah trauma tajam. Penderita ini dapat dilakukan embolisasi
perkutan atau pembedahan jika fistelnya membesar Pemeriksaan IVP
dilakukan 3 bulan setelah trauma ginjal yang berat untuk mendeteksi
adanya hidronefrosis, atrofi ginjal serta kelainan anatomi yang lain, untuk
menentukan langkah pengobatan berikutnya. Selain itu dilakukannya juga
pemeriksaan fisik, tekanan darah, urinalisis dan kreatinin serum secar
berkala dalam waktu 3 bulan sekali.
Guidelines Management Komplikasi
 Komplikasi setelah trauma ginjal memerlukan pemeriksaan
radiologi
 Pengobatan medikamentosa dan minimal invasive merupakan
pilihan pertama penanganan komplikasi
 Penyelamatan ginjal merupakan tujuan utama apabila diperlukan
tindakan pembedahan

Trauma ginjal dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik yang segera


(misalnya: perdarahan, infeksi, abses perinefrik, sepsis, fistula, hipertensi,
urinoma dan ekstravasasi urin) ataupun komplikasi tertunda (misalnya:
hidronefrosis, batu saluran kemih, pielonefritis kronis, fistula arterivena
dan pseudoaneurysm (Indradiputra & Hartono, 2016). Pseudoaneurysm
yang pecah merupakan kejadian yang menyebabkan perdarahan sekunder
atau hematuria persisten setelah trauma tumpul ginjal. Ginjal ditutupi oleh
lemak dan fasia gerota di retroperitoneum yang biasanya mengandung
perdarahan setelah cedera ginjal dan perdarahan terbatas ini dapat
menyebabkan pseudoaneurysm setelah fibrinolisis dan rekanalisasi
abnormal antara ruang intravaskular dan jaringan perinefrik atau
ekstravaskular (Wesselles, 2013). Pseudoaneurysm adalah komplikasi
vaskular yang jarang terjadi, secara etiologis terkait dengan nefrektomi
parsial, biopsi ginjal, trauma penetrasi, prosedur perkutan dan lebih jarang
trauma tumpul (Roman, Luiz Inacio et al, 2017).

Ruptur Ureter
Komplikasi akut yang paling umum adalah kebocoran kemih yang
berkepanjangan dari anastomosis. Hal ini dapat bermanifestasi menjadi
urinoma, abses, atau peritonitis dan dapat dicegah dengan penempatan
drainase intraoperatif di retroperitoneum, sehingga memungkinkan baik
drainase urin dan pengenalan dini kebocoran urin dari anastomosis. Jika
volume cairan drainase banyak, maka cairan harus diperiksa kadar
kreatinin. Pengenalan pada kebocoran urin yang terlambat berkaitan
dengan peristiwa terjadinya sepsis dan rekonstruksi yang lebih rumit
sehingga pasien akan di rawat dalam jangka waktu yang lebih lama.
Komplikasi lain yang umumnya terjadi dari semua tindakan adalah
kemungkinan untuk terjadinya striktur, hidronefrosis, abses, pembentukan
fistula, dan infeksi. Kuncinya adalah untuk mendiagnosa masalah awal dan
untuk pengobatan yang sesuai.
8. Tatalaksana
Trauma ginjal
Tatalaksana awal pasien trauma ginjal mengikuti standar tatalaksana
pasien trauma umum berdasarkan Advance Trauma Life Support (ATLS).
Tatalaksana non-operatif telah menjadi standar pada pasien trauma ginjal
dengan hemodinamik stabil, khususnya pada trauma derajat I – III
klasifikasi AAST. Pasien trauma ginjal derajat IV dan V lebih sering
memerlukan eksplorasi bedah, tetapi beberapa sumber menyebutkan
bahwa tatalaksana konservatif dapat menjadi pilihan dalam situasi
hemodinamik stabil. Pasien trauma ginjal berat (derajat III hingga V) yang
ditatalaksana non-operatif harus diobservasi ketat serta dilakukan
pemeriksaan hematokrit serial. Tirah baring total diindikasikan hingga
hematuria pulih. Pada pasien dengan ekstravasasi urin atau parenkim non-
viable dapat dipertimbangkan pencitraan periodik, namun beberapa
sumber menyebutkan tidak perlu bila tidak ditemukan tanda perberatan
gejala (demam, nyeri memberat, penurunan hematokrit). Meskipun
sebagian trauma ginjal derajat II hingga IV dapat pulih tanpa komplikasi,
perdarahan ginjal tertunda dapat terjadi hingga 25% yang dapat dideteksi
dengan pencitraan serial. Apabila perdarahan menetap atau terjadi
perdarahan ginjal tertunda, tindakan angiografi dan embolisasi selektif
dapat menjadi pilihan.
Tatalaksana non-operatif memerlukan observasi ketat di rumah sakit dan
tirah baring total. Saat tanda gross hematuria hilang, mobilisasi mulai
dapat dilakukan, akan tetapi tirah baring harus diperpanjang bila
hematuria berulang. Pasien yang telah mobilisasi tanpa penyulit dapat
dipertimbangkan untuk keluar rumah sakit dengan kontrol ketat. Pasien
juga perlu diedukasi terhadap kemungkinan penyulit seperti hipertensi
pasca-trauma dan perdarahan ginjal tertunda (delayed bleeding).
Ginjal yang mengalami trauma tumpul dapat pulih secara baik dengan
tatalaksana konservatif; bahkan pada kondisi trauma disertai ekstravasasi
urin dan adanya jaringan non-viable, 98% dapat ditatalaksana secara
konservatif. Pada 6 kasus cedera ginjal derajat V dengan hemodinamik
stabil, 4 dari 6 (66%) ginjal menunjukkan fungsi memuaskan setelah
tatalaksana konservatif. Pencitraan serial pasien ini menunjukkan tidak ada
perburukan kondisi atau penyulit, disertai hasil laboratorium fungsi ginjal
yang baik dan tidak ditemukan penurunan hematokrit atau hemoglobin
selama masa observasi. Kondisi klinis pasien juga membaik dengan nyeri
terkontrol disertai hemodinamik stabil. Pasien tetap direkomendasikan
untuk evaluasi lebih lanjut. Kasus ini menunjukkan terapi konservatif non-
operatif dapat dipertimbangkan pada tatalaksana pasien trauma tumpul
ginjal derajat IV dengan status hemodinamik stabil.
Perawatan pasca operasi dan komplikasi
Setelah operasi penderita istirahat di tempat tidur sampai hematuri tidak
ada lagi. Setelah itu penderita melakukan mobilisasi secar bertahap. Drain
dipertahankan selama 5-7 hari dan dilepas setelah produksinya minimal.
Produksi urine dimonitornya kebocoran setiap jam, kadar kreatinin dalam
serum diperiksa setiap hari dan kontrol foto setelah 3 hari. Apabila leakage
uein tetap terjadi setelah 5-7 hari, dilakukan pemeriksaan IVP untuk
mengetahui adanya kebocoran atau sumbatan pada collecting system atau
ureter
Monitor tekanan darah dilakukan secara berkala untuk mengetahui
timbulnya renovascular hypertension paska trauma ginjal, baik setelah
operasi maupun yang dirawat secara konservatif. Renovascular konstruksi
hypertension terjadi pada 5% penderita paska rekonstruksi ginjal, yang
disebabkan karena stenosis arteri renalis atau infark parsial parenkim
ginjal. Hipertensi ini dapat timbul pada pasien yang sebelumnya tidak
didiagnosa adanya trauma ginjal atau ocult trauma. Hipertensi ini biasanya
sampai timbul setelah 2 minggu sampai 8 bulan paska trauma ginjal.
Ruptur Ureter
Pada setiap trauma tajam harus dilakukan tindakan eksplorasi untuk
menilai ada tidaknya cedera ureter serta cedera ikutan lain. Yang paling
penting adalah melakukan penyaliran urin yang ekstravasasi dan
menghilangkan obstruksi. Tindakan yang dilakukan terhadap cedera ureter
tergantung pada saat cedera ureter terdiagnosis, keadaan umum pasien,
dan letak serta derajat lesi ureter.
Tindakan yang dikerjakan mungkin:
1. Ureter saling sambung (anastomosis end to end). Teknik ini dipilih jika
kedua ujung distal dan proksimal dapat didekatkan tanpa tegangan
(tension).
2. Inplantasi ureter ke buli-buli (neoimplantasi ureter pada buli-buli, flap
Boari, atau psoas hitch). Cedera ureter distal yang tidak memungkinkan
untuk dilakukan anastomosis end to end, atau implantasi ureter ke
buli-buli disebabkan tidak cukup bagian ureter distal. Bagian ureter
distal dapat diganti dengan bagian buli-buli yang dibentuk suatu
tabung mirip ureter.

3. Uretero-kutaneostomi adalah menghubungkan ujung akhir ureter


dengan dunia luar melalui lubang di kulit (stoma).
4. Transuretero-ureterotomi (menyambung ureter dengan ureter pada
sisi kontralateral). Jika terlalu banyak segmen ureter distal yang rusak
teknik ini dapat dipilih.

5. Nefrostomi sebagai tindakan diversi.


6. Nefrektomi, yaitu pengangkatan ginjal.

Anda mungkin juga menyukai