Anda di halaman 1dari 8

DISKUSI TUTORIAL BLOK 6.

3 SKENARIO 1 PERTEMUAN 1

BAYIKU

Seorang ibu G2P1Ao berusia 25 tahun dengan usia kehamilan 37 minggu


melahirkan seorang bayi perempuan secara spontan dengan berat 2800 gram,
panjang 48 cm, ketuban berwarna keruh, tidak ada mekoneum.

Saat bayi lahir didapatkan bayi tidak bernafas, tonus otot lemah. Setelah
dilakukan resusitasi neonatus sampai dengan pemberian ventilasi tekanan positif
didapatkan bayi bernapas spontan, menangis kuat, tidak ada retraksi, denyut
jantung 120 ×/ menit. Skor Apgar 5 -7-10.

Dari anamnesis riwayat kehamilan didapatkan ANC ke bidan namun tidak


teratur, ketuban pecah 24 jam, tidak ada demam sebelum melahirkan. Catatan
kesehatan ibu menunjukkan bahwa tanda vital ibu dalam batas normal,
pemeriksaan TORCH negatif, HbsAg negatif, gula darah normal. Selanjutnya bayi
dan ibunya dibawa ke ruang perawatan untuk dirawat gabung dan diberikan ASI
oleh ibu.

Kata Sulit:

1. G2P1A0:
G (gravid)  sedang hamil kedua kalinya
P (partus)  sudah pernah melahirkan sekali
A (abortus)  tidak ada riwayat abortus
2. Mekoneum: feses yang pertama kali dikeluarkan oleh bayi setelah lahir,
biasanya berwarna hijau tua, memiliki tekstur kental, lengket, dan
berwarna hijau gelap, umunya dikeluarkan dalam 24-48 jam pertama
setelah dilahirkan.
3. Resusisitasi: upaya untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan pernafasan
yang sangat bermanfaat bagi penyelamatan hidup dengan memberikan
asupan oksigen dan sirkulasi darah ke organ tubuh yang sensitif terhadap
kekurangan oksigen, seperti otak dan jantung
4. Neonatus: bayi yang baru saja lahir dihitung dari hari pertama kehidupan
sampai 28 hari kedepan.
5. Resusitasi neonatus: suatu prosedur yang diaplikasikan untuk neonatus
yang gagal bernapas secara spontan dan adekuat. Serangkaian upaya yang
sistematis dan terkoordinir untuk mengembalikan usaha nafas dan sirkulasi
bayi baru lahir sehingga
6. Retraksi: suatu kondisi dimana saat bernafas memerlukan bantuan otot-
otot pernafasan karena tubuh mengalami kekurangan oksigen
7. ANC: pemeriksaan kehamilan yang bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan fisik dan mental pada ibu hamil secara optimal, hingga mampu
menghadapi masa persalinan, nifas, menghadapi persiapan pemberian ASI
secara eksklusif , serta kembalinya alat reproduksi seperti semula
8. HbsAg: kompleks antigen yang ditemukan pada permukaan VHB, dahulu
disebut dengan Australia(Au) antigen atau hepatitis associated antigen
(HAA).
9. ASI: makanan alami pertama untuk bayi dan menyediakan semua vitamin,
nutrisi dan mineral yang diperlukan bayi untuk pertumbuhan enam bulan
pertama, tidak ada cairan atau makanan lain yang diperlukan. ASI terus
tersedia hingga setengah atau lebih dari kebutuhan gizi anak pada tahun
pertama dan sampai tahun kedua kehidupan. Selain itu, ASI mengandung
antibodi dari ibu yang membantu memerangi penyakit.

Rumusan Masalah:

1. Apa yang menyebabkan bayi tidak bernapas saat baru lahir?


Asfiksia terjadi karena gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari ibu
ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam
menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun
akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara
mendadak karena hal-hal yang diderita ibu dalam persalinan. Sehingga saat
persalinan O2 tidak cukup dalam darah disebut hipoksia dan CO2
tertimbun dalam darah disebut hiperapnea. Akibatnya dapat menyebabkan
asidosis tipe respiratorik atau campuran dengan asidosis metabolik karena
mengalami metabolisme yang anaerob serta juga dapat terjadi
hipoglikemia. Bayi dengan asfiksia, hipoksia dan asidosis akan
mempertahankan pola sirkulasi janin dengan menurunnya peredaran
darah paru-paru

Faktor yang menyebabkan asfiksia neonatorum antara lain:


- Faktor keadaan ibu  kejadian asfiksia yang disebabkan oleh penyakit
ibu di antaranya preeklamsia dan eklamsi sebesar (24%), anemia
(10%), infeksi berat (11%),
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tika (2011) bahwa
hipertensi pada kehamilan dapat mengakibatkan neonatal mengalami
asfiksia, hal ini sesuai penelitian Ambarwati (2006) menunjukkan
bahwa preeklamsi ringan dapat menyebabkan komplikasi asfiksia pada
bayi yang dilahirkan. Menurut Ravindran, S Gietha (2011) yang
menyatakan bahwa preeklamsi ringan dapat mengakibatkan asfiksia
pada neonatal. Menurut penelitian yang dilakukan Raras (2010) bahwa
preeklamsi berat dapat mengakibatkan komplikasi pada neonatal lahir
dengan apgar di bawah delapan yang artinya terjadi asfiksia ringan
sampai berat pada neonatal, dan kematian janin.

Preeklamsi ringan dapat menyebabkan komplikasi asfiksia pada bayi


yang dilahirkan dan preeklamsi berat dapat mengakibatkan komplikasi
pada neonatal lahir dengan apgar di bawah delapan yang artinya
terjadi asfiksia ringan sampai berat pada neonatal, dan kematian janin.
Preeklampsi dan eklampsi dapat mengakibatkan keterlambatan
pertumbuhan janin dalam kandungan atau intra uterine growth
restriction (IUGR) dan kelahiran mati. Dikarenakan preeklampsi dan
eklampsi pada ibu menyebabkan perkapuran didaerah plasenta,
sedangkan bayi memperoleh makanan dan oksigen dari plasenta,
sehingga suplai makanan dan oksigen yang masuk ke janin berkurang.

Penyakit hipertensi yang diderita ibu akan mempengaruhi janin karena


meningkatnya tekanan darah yang disebabkan oleh meningkatnya
hambatan pembuluh darah perifer sehingga mengakibatkan sirkulasi
uteri plasenta kurang baik, keadaan ini menimbulkan gangguan lebih
berat terhadap insufiensi plasenta dan berpengaruh pada gangguan
pertumbuhan janin, gangguan pernafasan. Vasokonstriksi pembuluh
darah mengakibatkan kurangnya suplai darah ke plasenta sehingga
terjadi hipoksia janin. Akibat lanjut dari hipoksia janin adalah gangguan
pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida sehingga terjadi
asfiksia neonatorum.

Penyakit anemia pada ibu dapat menyebabkan aliran darah menuju


plasenta akan berkurang sehingga O2 dan nutrisi semakin tidak
seimbang untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya. Kemampuan
transportasi O2 semakin menurun sehingga O2 pada janin tidak
terpenuhi, dan metabolisme janin sebagian menuju metabolisme
anaerob sehingga terjadi timbunan asam laktat dan piruvat, serta
menimbulkan asidosis metabolik. Semuanya memberikan kontribusi
pada penurunan konsentrasi O2 dan nutrisi dalam darah menuju
plasenta sehingga O2 dan nutrisi janin semakin menurun, sehingga
mengakibatkan bayi mengalami sindrom gawat nafas dan asfiksia.
- Faktor keadaan bayi
Kehamilan preterm berisiko menyebabkan terjadinya asfiksia. Hal ini
disebabkan sistem organ bayi yang belum matang, yang ditandai
dengan masih lemahnya otot pernapasan sehingga bayi prematur
sering mengalami asfiksia berat, penyakit membran hialin, dan apnu.
Kehamilan posterm dapat menyebabkan terjadinya asfiksia, sebagai
akibat penurunan fungsi respirasi dan nutrisi pada plasenta yang
bertambah umurnya. Namun, Pada beberapa kasus meskipun usia
kehamilan melebihi 42 minggu, fungsi plasenta tetap baik sehingga
terjadi anak besar (> 4000 gram) yang dapat menyulitkan persalinan
dan berakhir dengan persalinan tidak spontan. Berat bayi lahir rendah
(BBLR) berkaitan dengan tingkat maturitas janin. Pada bayi prematur
ditandai dengan sistem organ pernapasan yang belum matang,
sehingga bayi akan sulit beradaptasi dengan lingkungan ektra uterin
yang berakibat terjadinya asfiksia saat persalinan.

Gemeli menjadi faktor risiko terjadinya asfiksia pada bayi yang lahir
spontan. Secara fisiologis gemeli pada janin menyebabkan janin
mendapatkan oksigen yang berasal dari ibu harus dibagi, keadaan ini
yang berisiko menyebabkan asfiksia (Cunningham, 2008). Partus lama
berisiko menyebabkan asfiksia. Pada ibu yang mengalami partus lama,
kontraksi uterus berlangsung lebih lama dari pada ibu yang bersalin
normal. Hal ini mengakibatkan peredaran darah yang membawa
oksigen ke janin terhenti lebih lama, proses ini membuat janin
kekurangan suplai oksigen yang berakibat pada kejadian asfiksia.
- Faktor plasenta  Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi
oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia janin dapat terjadi bila terdapat
gangguan mendadak pada plasenta, misalnya: plasenta tipis, plasenta
kecil, plasenta tak menempel, dan perdarahan plasenta.
- Faktor persalinan  meliputi partus lama atau macet sebesar (2,8-
4,9%), persalinan dengan penyulit (seperti letak sungsang, kembar,
distosia bahu, vakum ekstraksi, forsep sebesar (3-4%),
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Surjono (2005) bahwa jenis
persalinan sectio caesarea (SC) perabdominam dapat mengakibatkan
komplikasi asfiksia pada neonatal, hal ini sesuai dengan penelitian
Neneng (2011) di RSUD dr M Soewandhie Surabaya menyatakan bahwa
sectio caesarea (SC) perabdominam dapat mengakibatkan kejadian
asfiksia neonatorum. Penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Dewi (2013) bahwa jenis persalinan normal dan sectio
caesare (SC) dapat mengakibatkan bayi mengalami asfiksia.
Persalinan dengan tindakan seksio sesarea mengakibatkan komplikasi
berupa asfiksia karena penggunaan obat analgesik maupun anestesi
pada ibu sehingga terjadi depresi pusat pernapasan pada janin
(Aminullah, 2006). Selain akibat penggunaan obat analgesik maupun
anestesi, tidak adanya kompresi yang terjadi pada persalinan tidak
spontan kemungkinan menyebabkan asfiksia (Cunningham, 2008).
Persalinan menggunakan forseps dapat berdampak buruk bagi bayi
baru lahir, tekanan dari forseps dapat menyebabkan perdarahan
intrakranial, edema intrakranial serta kerusakan medula oblongata
sebagai pusat pernapasan, hal inilah yang menyebabkan bayi
mengalami asfiksia. Pada persalinan menggunakan vakum asfiksia
dapat terjadi akibat edema jaringan saraf pusat ataupun perdarahan.
2. Mengapa dilakukan resusitasi neonatus?
- Dilakukan pada bayi baru lahir yang mengalami sumbatan jalan napas
- Dilakukan pada bayi yang mengalami kesulitan bernapas atau tidak
bernapas
- Dilakukan pada bayi baru lahir yang mengalami henti jantung.
- Diberikan ventilasi positip bila pernapasan tersengal atau apnue,
denyut jantung < 100 x/mnt, sianosis sentral menetap meskipun telah
diberikan oksigen
- Dilakukan pijatan jantung luar bila denyut jantung < 60 x/mnt
3. Bagaimana cara melakukan resusitasi neonatus?
4. Mengapa dilakukan pemberian VTP, apa indikasinya?
Bayi lahir apnea atau LDJ < 100/menit
5. Bagaimana cara melakukan pemberian VTP?
Kecepatan VTP 40-60 kali/menit
Efektif ditandai dnegan:
- Dada mengembang
- Laju denyut jantung membaik/meningkat
- Saturasi oksigen membaik/meningkat

Jika 2 kali pemberian VTP dada tampak tidak mengembang


- S  Perlekatan sungkup
- R  Reposisi bayi agar posisi menghidu
- I  Isap lendir
- B Buka mulut (singkirkan semua obstruksi)
- T Tekanan pastikan cukup (sebaiknya tidak lebih dari 40 cmH2O)
- A Alternative Air Way (Intubasi/pemasangan sungkup laring)
6. Bagaimana interpretasi pemeriksaannya?
Penilaian awal VTP (setelah 15 detik)
- Jika LDJ naik, dada mengembang (VTP efektif), lanjutkan VTP 15 detik
lagi.
- Jika LDJ tidak naik, dada mengembang, lanjutkan VTP 15 detik lagi.
- Jika LDJ tidak naik, dada tidak mengembang, evaluasi sungkup,
reposisi, isap, buka mulut, tekanan dinaikan, alternatif jalan napas
(pikirkan intubasi) (MRSOPA) sampai dada mengembang, lanjutkan VTP
ini sampai 30 detik.

Penilaian kedua VTP


- Jika LDJ > 100 kali per menit napas adekuat stop VTP dan berikan
oksigen nasal atau
- Jika LDJ 60-99 kali per menit, evaluasi ventilasi lanjutkan
- Jika LDJ < 60 per menit, evaluasi ventilasi, pertimbangkan intubasi. Jika
VTP sudah menggunakan fraksi oksigen 100%, dan LDJ masih kurang
dari 60 x per menit
- Lakukan kompresi dada. Kompresi dada dilakukan setelah bayi
terintubasi. Observasi LDJ dan usaha napas setiap 60 detik.
- Jika setelah intubasi dan kompresi dada LDJ masih kurang dari 60 kali
per menit maka pertimbangkan pemberian obat dan cairan intravena
7. Mengapa dilakukan pemeriksaan TORCH, apa saja indikasinya?
8. Mengapa dilakukan pemeriksaan HbsAg?
HBsAg merupakan salah satu jenis antigen yang terdapat pada bagian
pembungkus dari virus Hepatitis B yang dapat dideteksi pada cairan tubuh
yang terinfeksi. Pemeriksaan HBsAg dapat dilakukan dengan berbagai cara,
yaitu: dengan metode RIA (Radio Immuno Assay), ELISA (Enzym Linked
Immuno Sorbent Assay), RPHA (Reverse Passive Hemagglutination), dan
Immuno-chromatografi. Upaya dari berkembangnya virus dan pengobatan
awal yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian imunisasi hepatitis B
yang dilakukan 3 kali, yakni dasar, 1 bulan dan 6 bulan kemudian.
9. Mengapa dilakukan pemeriksaan gula darah?
10. Apa edukasi dokter kepada pasien?
11. Di skenario disebutkan bahwa pasien ANC tidak teratur, apa gunanya ANC
dan seharusnya ANC teratur dilakukan berapa kali?
Tujuan ANC:
- Menciptakan hubungan kepercayaan dengan ibu
- Deteksi dini masalah dan penyakit pada ibu hamil, sehingga dapat
dilakukan intervensi yang adekuat
- Menekan komplikasi yang dapat disebabkan oleh penyakit dalam
kehamilan
- Mempersiapkan kelahiran dan memberikan pendidikan
kesehatan )terkait proses bersalin, edukasi post natal care, menyusui,
dan imunisasi)
- Memantau kemajuan proses kehamilan demi memastikan kesehatan
pada ibu serta tumbuh kembang janin yang ada di dalamnya
- Mengetahui adanya komplikasi kehamilan yang mungkin saja terjadi
saat kehamilan sejak dini, termasuk adanya riwayat penyakit dan
tindak pembedahan. 
- Meningkatkan serta mempertahankan kesehatan ibu dan bayi.
- Mempersiapkan proses persalinan sehingga dapat melahirkan bayi
dengan selamat serta meminimalkan trauma yang dimungkinkan
terjadi pada masa persalinan.
- Menurunkan jumlah kematian dan angka kesakitan pada ibu.
- Mempersiapkan peran sang ibu dan keluarga untuk menerima
kelahiran anak agar mengalami tumbuh kembang dengan normal.
- Mempersiapkan ibu untuk melewati masa nifas dengan baik
serta dapat memberikan ASI eksklusif pada bayinya.

Pemeriksaan kehamilan dilakukan minimal 4 (empat) kali selama


masa kehamilan, yaitu 1 kali pemeriksaan pada trimester pertama, 1
kali pemeriksaan pada trimester kedua, dan 2 kali pemeriksaan pada
trimester ketiga.

Kunjungan minimal yang direkomendasikan WHO:


- Kunjungan I pada TM 1 (<12 minggu, tidak lebih dari 16 minggu)
- Kunjungan II saat UK 24-28 minggu
- Kunjungan III saat UK 32 minggu
- Kunjungan IV saat UK 36 minggu

Jika terdapat masalah/potensi masalah yang ditemukan pada saat


kunjungan mka frekuensi kunjungan dapat ditingkatkan sesuai kondisi
masing-masing pasien:
- Setiap 4 minggu s/d UK 28 minggu
- Setiap 2 minggu s/s UK 36 minggu
- Selebihnya setiap minggu

WHO juga merekomendasikan 8 kali kunjungan:


- TM 1  1 kali
- TM 2  2 kali
- TM 3  5 kali

Kunjungan pertama (8-12 minggu)


- Konfirmasi usia kehamilan
- Anamnesa terarah
- Pemeriksaan fisik menyeluruh
- Pemeriksaan laboratorium meliputi darah rutin , HIV , HbSAg , VDRL ,
sicling test dan bacteriuria
- USG : viabilitas dan jumlah janin , Usia kehamilan dan kelainan
konginetal yang dapat didiagnosis pada TM 1
- Pemberian TT dan as folat
- Edukasi terkait kebutuhan nutrisi , istirahat yang cukup dan tanda
bahaya dalam kehamilan

Kunjungan kedua (24-26 minggu)


- Anamnesa spesifik terkait keluhan pasien
- Pemeriksaan fisik , screning anemia dan hipertensi dalam kehamilan
- Pemeriksaan laboratorium meliputi : bacteriuria , protienuri (pada
kasus tekanan darah tinggi ), screning diabetes (pada pasien dengan
faktor resiko )
- USG : fokus pada tubuh kembang janin
- Pemberian TT dan as folat , zat besi
- Edukasi terkait kebutuhan nutrisi , istirahat yang cukup dan tanda
bahaya dalam kehamilan

Kunjungan ketiga (32 minggu)


- Anamnesa terarah
- Pemeriksaan fisik secara menyeluruh
- Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatannya
- Penapisan pre eklamsia, gemelli, infeksi alat reproduksi dan saluran
perkemihan
- Pemberian TT dan zat besi
- Edukasi terkait kebutuhan nutrisi , istirahat yang cukup dan tanda
bahaya dalam kehamilan dan perencanaan persalinan

Kunjungan keempat (36-38 minggu)


- Sama seperti kegiatan kunjungan II dan III
- Mengenali adanya kelainan letak dan presentasi
- Memantapkan rencana Persalinan
- Mengenali tanda-tanda persalinan
12. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan ANC?

Anda mungkin juga menyukai