PENDAHULUAN
kelahiran, tahun 2003 sebanyak 20 per 1000 kelahiran, tahun 2007 sebanyak
19 per 1000 kelahiran dan tahun 2012 sebanyak 19 per 1000 kelahiran. Tahun
1990-an menunjukkan perkembangan tetap dalam penurunan angka kematian
bayi baru lahir. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, penurunan angka
Desember 2013.
Tujuan Khusus.
1. Untuk mengetahui karakteristik asfiksia neonatorum berdasarkan bayi
yang mengalami kematian.
2. Untuk mengetahui karakteristik asfiksia neonatorum berdasarkan jenis
kelamin.
3. Untuk mengetahui karakteristik asfiksia neonatorum berdasarkan faktor
risiko bayi.
4. Untuk mengetahui karakteristik asfiksia neonatorum berdasarkan faktor
risiko ibu.
5. Untuk mengetahui karakteristik asfiksia neonatorum berdasarkan faktor
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi.
Asfiksia berasal dari istilah yunani sphyzein yang berarti penghentian denyut
nadi kondisi ini disebabkan oleh kurangnya oksigen, hingga menyebabkan
hipoksia dan hiperkapnia.6 Jika keadaan ini terus berlanjut maka akan
menyebabkan hipoksemia yang progresif dan hiperkapnia dengan asidosis
metabolik .7
Asfiksia perinatal adalah suatu stres pada janin atau bayi baru lahir karena
kurang tersedianya oksigen dan atau kurangnya perfusi ke berbagai organ.
Secara klinis tampak bahwa bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Dampak dari asfiksia
tersebut
menyebabkan
jejas
endotel
yang
kemudian
Pernafasan
dan
efisiensi
plasenta,
perkembangan
atau
berbagai
masalah
seperti
kematian
janin
HCG,
serta
dapat
di
pastikan
dengan
pemeriksaan
kehamilan
tunggal,
pada
kembar
monoamniotik
lebih
10
11
12
bentuk
atau
implantasi
plasenta)
dapat
13
14
Efek
paru menurun
dan
steroid
15
dipenuhi
udara
Penjepitan pada tali pusat hipoksia
Mulai bernafas
Peningkatan rangsangan sensoris (dingin)
Mulai bernafas
Udara
memasuki paru meningkatkan Resistensi
pembuluh
darah
Resistensi
yang
rendah
darah
pada
paru,
PO2
arteri
dan
darah
sistemik meningkat.
Foramen ovale menutup secara
fungsional
Perfusi darah yang kaya oksigen pada duktus Duktus arteriosus menutup
arteriosus
2.3.2
perfusi
oksigen
dan
oksigenasi
jaringan,
akan
17
18
Bradikardi / apneu
20
0
Tidak ada
Tidak ada
Lumpuh
<100
100
Lambat
Menangis kuat
Ektremitas sedikit Gerakan aktif
21
Refleks
Tidak
Warna Kulit
respon
Biru/Pucat
fleksi
ada Gerakan sedikit
Reaksi melawan
seluruh tubuh
extremitas biru
Sumber : Roy M, Simon N.16
tubuh
kemerahan
Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa nilai Apgar tidak dipakai
untuk menentukan kapan dimulainya resusitasi atau untuk keputusan
mengenai jalannya resusitasi namun, penilaian untuk dilakukannya
resusitasi segera semata-mata ditentukan oleh 3 tanda yang penting yaitu
pernafasan, denyut jantung, dan warna bayi.19
2.6 Tatalaksana.
Resusitasi bayi baru lahir ialah prosedur yang diaplikasikan pada bayi baru
lahir yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur pada saat lahir atau
beberapa saat sesuadah lahir.5 Tujuan resusitasi pada neonatus adalah
mencegah morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan jejas jaringan
hipoksia-iskemik (otak, jantung, dan ginjal) dan guna mengembalikan
pernafasan yang spontan dan curah jantung yang adekuat.8
Keadaan resiko tinggi harus diantisipasi dengan riwayat kehamilan,
kelahiran, dan persalinan, serta dengan mengidentifikasi tanda-tanda adanya
kegawatan janin. Walaupun skor Apgar pada menit pertama membantu dalam
mengevaluasi bayi yang membutuhkan resusitasi, namun resusitasi harus
segera dilakukan sebelum 1menit penilaian menggunakan Apgar. Upaya
resusitasi yang cepat dan tepat dapat meningkatkan usaha pencegahan cedera
otak dan mendapatkan hasil yang memuaskan.8
22
23
apnea, nadi tidak teraba, sianosis, dan lemah dengan tanda-tanda adanya
kegawatan janin.8
Obat-obatan diberikan jika frekuensi jantung kurang dari 80x/menit pascakombinasi ventilasi dan kompresi dada selama 30 detik. Biasanya vena
umbilikalis dapat dengan mudah dikanulasi utuk memberikan obat-obatan,
glukosa dan volume expander (salin normal, ringger laktat). Epineprin 0,1-0,3
ml/kg larutan 1:10.000 intravena atau intratrakea diberikan selama asistol atau
saat gagal memberikan respon terhadap resusitasi kombinasi 30 detik dosis
dapat diulang setiap 5 menit. Jika tidak ada respon beberapa pakar
menganjurkan untuk menggunakan 5-10x dosis epineprin baku 10-20 ml/kg
volume expander harus diberikan pada bayi yang hipovolemi, pucat, nadi
lemah dengan frekuensi jantung normal, kehilangan darah,di curigai
sepsis,hipotensi dan memberikan respon yang buruk terhadap resusitasi.
Natrium bikarbonat 1-2 mEq/ml larutan 4,2% harus diberikan perlahan-lahan
jika dijumpai adanya asidosis metabolik dan dan resusitasinya lama. Natrium
bikarbonat harus diberikan sesudah ventilasi efektif dicapai karena terapi
demikian dapat meningkatkan CO2 darah, dan menimbulkan asidosis
respiratorik.8
24
25
Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali, dan
putuskan untuk melanjutkan ke langkah berikutnya. Keputusan untuk
melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan dengan
penilaian 3 tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan
warna kulit):5
1. Pernapasan
Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat, frekuensi
dan dalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang taktil.
Pernapasan yang megap-megap adalah pernapasan yang tidak efektif
dan memerlukan intervensi lanjutan.
2. Frekuensi jantung.
Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit.
3. Warna kulit
Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh tubuh.
Setelah frekuensi jantung normal dan ventilasi baik, tidak boleh ada
sianosis sentral yang menandakan hipoksemia. Warna kulit bayi yang
berubah dari biru menjadi kemerahan adalah petanda yang paling cepat
akan adanya pernapasan dan sirkulasi yang adekuat. Sianosis akral
tanpa sianosis sentral belum tentu menandakan kadar oksigen rendah
sehingga tidak perlu diberikan terapi oksigen. Hanya sianosis sentral
yang memerlukan intervensi.
2.7 Komplikasi.
Gambaran klinis komplikasi yang terlihat pada berbagai organ tubuh sangat
bervariasi tergantung pada beratnya hipoksia, waktu hipoksia akut terjadi, masa
gestasi bayi, riwayat perawatan perinatal, serta faktor lingkungan penderita
termasuk faktor sosial ekonomi. Beberapa penelitian melaporkan, organ yang
26
paling sering mengalami gangguan adalah susunan saraf pusat. Pada asfiksia
neonatus, gangguan fungsi susunan saraf pusat hampir selalu disertai dengan
gangguan fungsi beberapa organ lain (multiorgan failure). Kelainan susunan
saraf pusat yang tidak disertai gangguan fungsi organ lain, hampir pasti
penyebabnya bukan asfiksia perinatal.8
Berikut adalah tabel gambaran klinis komplikasi yang terlihat pada
berbagai organ tubuh:8
Tabel 2.7 tabel organ-organ yang dapat mengalami komplikasi
Sistem
Sistem saraf pusat
Pengaruh
HIE, infrak, perdarahan intrakranial, kejang,
Kardiovaskuler
Pulmonal
Ginjal
Adrenal
Saluran cerna
Metabolik
27
lebih lanjut dan berlanjut pada keadaan HIE. HIE muncul pada 1-2
kasus pada setiap 1000 kelahiran. Bayi yang dilahirkan setelah
hipoksia intrapartum memiliki gambaran yang khas. Bayi menjadi
bradikardi, pucat, lemas, dan apneu, dan mengalami asidosis
metabolik yang parah, yang telah terakumulasi selama periode
glikolisis anaerob. Keadaan ini memerlukan tindakan resusitasi
segera. Berdasarkan berat ringannya HIE dibedakan menjadi :8
Tabel 2.7.1 penentuan stadium HIE menurut sarnat.
Tingkat kesadaran
Tonus otot
Derajat1 Ringan
Waspada berlebih
Normal/hipertoni
Derajat2 sedang
Letargi
Hipotonia
Derajat3 berat
Koma
Flacid
Refleks tendon
a
Meningkat
Meningkat
Tertekan/tidak
Ada
Tidak ada
Ada
Sering
ada
Tidak ada
Sering
Aktif
Lemah
Tidak ada
Berlebih
Tidak komplet
Tidak ada
Normal-berlebih
Berlebihan
Tidak ada
Normal
Sangat aktif
Berkurang/tida
Mioklonus
Kejang
Refleks kompleks
-
Menghisap
Moro
Menggenggam
Okulosefalik
k ada
Fungsi otonom
-
Pupil
Pernafasan
Denyut jantung
EEG
Prognosis
Dialatasi,reaktif
Konstriksi/reaktif
Bervariasi/terfi
Teratur
Periodik
ksasi
Normal/takikardi
Bradikardi
Ataksik,apneik
Normal
Periodik
Baik
28
voltase Bradikardi
rendah/paroksismal
Priodik/isoelekt
Bervariasi
rik
Mortalitas dan
disabilitas
neurologik
tinggi
2.7.2
2.7.3
2.7.4
29
30
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang di lakukan adalah penelitian deskriptif dengan
pendekatan retrospektif
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian.
3.2.1
Tempat Penelitian.
Penelitian ini dilakukan di Ruang Perawatan Bayi Baru Lahir
RSUD DOK II Jayapura.
Waktu Penelitian.
Penelitian ini di laksanakan mulai dari bulan Juni-Agustus 2014
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian.
3.3.1
Populasi Penelitian.
Populasi penelitian adalah bayi baru lahir dengan asfiksia yang
3.2.2
3.4 Variabel.
Variabel yang diambil dalam penelitian ini adalah :
1. Kematian.
2. Jenis kelamin.
3. Faktor risiko bayi.
4. Faktor risiko ibu
5. Faktor risiko persalinan.
3.5 Definisi Operasional.
3.5.1 Kematian.
31
Kematian adalah keadaan yang ditandai dengan tidak adanya tandatanda kehidupan seperti tidak bernafas, tidak bergerak, dan tanpa
3.5.2
3.5.3
3.5.4
3.5.5
35th).
2. Penyakit penyerta pada ibu (Pre-eklamsia, Anemia,dll)
3. Usia gestasi (aterm 37 minggu dan pre-aterm <37 minggu).
4. Paritas ( primipara, multipara, dan grande multipara).
5. Ketuban pecah dini.
Faktor risiko persalinan.
Faktor risiko persalinan adalah berbagai keadaan saat proses
mengeluarkan bayi dari rahim ibu yang dapat mempengaruhi kondisi
bayi saat dilahirkan. Faktor resiko persalinan meliputi :
1. Cara persalinan (Spontan, sectio cessarea, vakum / forceps).
2. Letak abnormal ( letak lintang, letak sungsang, dll).
3. Aspirasi meconeal.
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
33
4.1 Hasil
Populasi penelitian adalah semua bayi baru lahir dengan asfiksia di Rumah
Sakit Umum Daerah Jayapura Periode Januari-Desember 2013 yang
berjumlah 23 bayi. Namun analisa hanya dilakukan pada 22 kasus yang
memiliki data rekam medik yang lengkap.
Karakteristik 22 pasien dengan asfiksia neonatorum dalam tabel di
bawah ini :
4.1.1
Karakteristik
asfiksia
neonatorum
berdasarkan
bayi
yang
mengalami kematian.
Tabel 4.1 Karakteristik berdasarkan bayi yang mengalami kematian.
No Keadaan Bayi
Frekuensi
Presentase
1
Hidup
12
54%
2
Mati
10
46%
Jumlah
22
100%
Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan dari 22 bayi 12 bayi lahir hidup dengan
persentase 54% dan 10 bayi dengan persentase 46% mengalami kematian.
4.1.2
No Jenis Kelamin
1
Perempuan
2
Laki-laki
Jumlah
Frekuensi
13
9
22
34
Presentase
59%
41%
100%
Dalam penelitian ini bayi yang lahir dengan jenis kelamin perempuan
sebanyak 13 bayi dengan persentase 59% dan bayi dengan jenis kelamin
laki-laki sebanyak 9 bayi dengan persentase 41%.
4.1.3
Frekuensi
Presentase
8
14
22
17
5
22
36%
64%
100%
87%
23%
100%
21
1
22
96%
4%
100%
Dari hasil penelitian diatas didapatkan bahwa bayi berat lahir <2500gr
sebanyak 8 bayi dengan persentase 36%, jumlah terbanyak yaitu bayi
dengan berat 2500-4000gr sebanyak 14 bayi dengan persentase 64%, dan
tidak ada bayi dengan berat >4000gr.
Kelainan plasenta (plasenta previa) dan lilitan tali pusat juga menjadi
faktor risiko terjadinya asfiksia. Pada penelitian ini bayi dengan kelainan
35
No Faktor Ibu
1
Usia Ibu
Resiko Rendah (20-35th)
Resiko Tinggi (<20 & >35th)
Jumlah
2
Penyakit Penyerta Pada Ibu
Ibu Sehat Tanpa Penyakit Penyerta
Ibu dengan Penyakit Penyerta
- Pre-eklamsi/Eklamsi
Jumlah
3
Usia Gestasi
Bayi Cukup Bulan
Jumlah
4
Paritas
Primipara
Multipara
Grande multipara
Jumlah
5
Ketuban Pecah Dini
Frekuensi
Persentase
16
6
22
73%
27%
100%
19
87%
3
22
14%
100%
22
22
100%
100%
5
13
4
22
2
23%
59%
18%
100%
9%
36
persentase 14%, dan ibu sehat tanpa penyakit penyerta sebanyak 19 ibu
dengan presentase 86%.
Dari hasil penelitian didapatkan ibu primipara berjumlah 5 ibu
dengan persentase 23%, ibu multipara berjumlah 13 ibu dengan presentase
59%, dan ibu grandemultipara sebanyak 4 ibu dengan presentase 18%.
Dalam penelitian ini semua bayi dengan asfiksia lahir dengan usia
cukup bulan.
Faktor risiko saat persalinan lainnya yang dapat meningkatnya
angka kejadian asfiksia yaitu ketuban pecah dini (KPD), pada penelitian
ini di dapatkan 2 ibu mengalami KPD dengan persentase 9%.
4.1.5
No Faktor persalinan
1
Cara Persalinan
Spontan
Sectio cessarea
Jumlah
2
Presentasi Abnormal
Normal
Letak Sungsang
Letak Lintang
3
Tanpa mekoneal
Sindrom aspirasi mekoneum
Jumlah
Jumlah
37
frekuensi
Persentase
11
11
22
50%
50%
100%
19
1
2
19
3
22
87%
4%
9%
86%
14%
100%
22
100%
Berdasarkan
hasil
penelitian
didapatkan
bahwa
ibu
yang
38
39
4.2.3
40
pada bayi dengan ibu usia <25tahun dan >35tahun (usia risiko
tinggi), bayi dengan kelainan plasenta dan bayi kembar.
b. Kelainan plasenta dan lilitan tali pusat.
Kelainan plasenta (plasenta previa) dan lilitan tali pusat juga menjadi
faktor risiko terjadinya asfiksia. Pada penelitian ini bayi dengan
kelainan plasenta berjumlah 5 bayi dengan persentase 23%,
sedangkan bayi dengan lilitan tali pusat hanya 1 bayi dari 22 bayi
yaitu dengan persentase 4%. Pada penelitian ini 5 bayi dengan
plasenta previa rata-rata terjadi pada ibu multipara, grandemultipara
dan ibu yang menderita pre-eklamsia berat dikarenakan pada
multipara dan grandemultipara vaskularisasi endometrium kurang
baik sehingga mendesak plasenta harus tumbuh meluas untuk
mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang tumbuh meluas nantinya
akan mendekati atau menutupi osteum uteri interna (plasenta
previa).10 Sedangkan lilitan tali pusat menyebabkan sirkulasi darah
melalui tali pusat terhalang dan nantinya menyebabkan hipoksia
janin.8
4.2.4
41
pada
penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa ibu
usia <20tahun dan >35tahun merupakan usia
tahun karena
kelompok usia ini adalah usia yang subur untuk hamil dan
melahirkan, pada usia ini pula ibu cenderung mengalami penyakit
penyerta PEB, ibu multipara, plasenta previa, BBLR, dan bayi
gemelly.
b. Penyakit penyerta ibu
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ibu yang menderita penyakit
penyerta dalam kehamilan sebanyak 3 dari 22 ibu dengan persentase
14%. Pada penelitian di Rumah Sakit Umum Kabupaten Purworejo
Tahun 2003 menunjukan ibu yang menderita penyakit penyerta dalam
kehamilan hanya 1 dari 79 ibu dengan persentasi 1,3%. 23 Dalam
penelitian ini jenis penyakit penyerta pada ibu yang paling sering
menyertai adalah Pre-eklamsia berat. Pre-eklamsia menyebabkan
asfiksia karena terjadi gangguan sirkulasi retroplasenta yang
menyebabkan spasme arteriol, jika spasme arteriol terjadi secara
berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin.24
Teori ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa bayi dengan ibu
PEB rata-rata mengalami asfiksia dan memiliki berat lahir rendah.
c. Usia gestasi.
42
43
bayi baru lahir. Namun pada ibu primipara juga berisiko karena
persalinan akan berlangsung lama karena otot-otot rahim belum
pernah diregangkan sebelumnya, dan kemungkinan besar akan
menyebabkan hipoksia janin.13
e. Ketuban pecah dini.
Faktor risiko saat persalinan lainnya yang dapat meningkatnya angka
kejadian asfiksia yaitu ketuban pecah dini (KPD), pada penelitian ini
didapatkan 2 ibu mengalami KPD dengan persentase 9%. Pada
penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah
Sewirigading tahun 2012, KPD hanya terjadi pada sebagian kecil ibu
yaitu 37,9%.27 Walaupun hanya terjadi pada sebagian kecil ibu namun
KPD menyebabkan prolapsus funiculli yang berujung pada asfiksia.
Ibu yang mengalami KPD 50-75% akan mengalami persalinan secara
spontan dalam waktu 48 jam. 33% akan mengalami sindrom gawat
nafas, dan 1-2% kemungkinan mengalami kematian janin. Semakin
lama KPD terjadi semakin besar kemungkinan komplikasi terjadi,
sehingga meningkatkan risiko asfiksia.27 Penelitian ini sesuai dengan
teori yang ada bahwa 2 ibu yang mengalami KPD melahirkan secara
spontan dan terjadi komplikasi pada bayi yaitu asfiksia.
4.2.5
44
45
5.1 Kesimpulan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian 22 bayi dengan asfiksia adalah.
46
sebanyak 13 (59%).
3. Faktor risiko pada bayi :
a. Bayi dengan asfiksia terbanyak lahir dengan berat badan 2500-4000gr
yaitu 14 (64%).
b. Kelainan plasenta (plasenta previa) didapatkan pada 5( 23%) kasus.
c. Lilitan tali pusat didapatkan pada 1 bayi dengan persentasi 4%.
4. Faktor risiko pada ibu :
a. Kelompok usia ibu terbanyak adalah usia 25-35tahun yaitu 12 (54%)
ibu.
b. Ibu dengan penyakit penyerta yaitu PEB sebanyak 3 (14%) ibu.
c. Usia kehamilan pada penelitian ini yaitu semua bayi cukup bulan
100%.
d. Paritas terbanyak yaitu ibu multipara sebanyak 13 (59%).
e. Ibu dengan KPD sebanyak 2 ibu dengan presentasi 9%.
5. Faktor risiko persalinan :
a. Ibu melahirkan dengan cara spontan dan section cessarea jumlahnya
sama yaitu 11 ( 50%) ibu.
b. Presentasi bayi abnormal terbanyak yaitu pada bayi letak lintang 2
(9%) bayi.
c. Air ketuban bercampur meconeal didapatkan pada 3 (14%) kasus.
5.2 Saran.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka saran yang dapat penulis berikan yaitu :
1. Bagi dinas kesehatan, untuk mengadakan Konseling Informasi Edukasi
(KIE) secara rutin terhadap ibu hamil di fasilitas kesehatan primer untuk
mengetahui faktor risiko secara dini.
2. Puskesmas dan rumah sakit perlu lebih aktif melakukan skrining pada ibu
dengan kehamilan berisiko tinggi, agar tindakan preventif dan penanganan
dapat dilakukan secara dini.
47
mengetahui karakteristik asfiksia pada bayi baru lahir secara lebih jelas.
48