Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah.


Asfiksia neonatorum merupakan masalah pada bayi baru lahir yang
menyebabkan meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas pada bayi baru
lahir (neonatus). Dari tahun 1990-2012, angka kematian neonatal dunia turun
dari 33 per 1000 kelahiran, menjadi 21 per 1000 kelahiran atau terjadi
penurunan kematian neonatal dari 4,6 juta di tahun 1990 menjadi 2,9 juta pada
tahun 2012. Menurut data UNICEF terjadi penurunan angka kematian
neonatal di Asia Selatan yaitu dari 51 per 1000 kelahiran ditahun 1990
menjadi 32 per 1000 kelahiran ditahun 2012, atau mengalami penurunan
sekitar 39%.1 Berdasarkan riskesdas tahun 2007 angka kematian bayi baru
lahir terbanyak disebabkan oleh gangguan pernapasan/respiratory disorders
(35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12.0%).2
Indonesia telah melakukan upaya yang lebih baik dalam menurunkan
angka kematian pada neonatus, Menurut Survei Kesehatan dan Demografi
Indonesia (SKDI) tahun 1991 angka kematian neonatus sebanyak 32 per 1000
kelahiran, tahun 1995

30 per 1000 kelahiran, tahun 1999 26 per 1000

kelahiran, tahun 2003 sebanyak 20 per 1000 kelahiran, tahun 2007 sebanyak
19 per 1000 kelahiran dan tahun 2012 sebanyak 19 per 1000 kelahiran. Tahun
1990-an menunjukkan perkembangan tetap dalam penurunan angka kematian
bayi baru lahir. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, penurunan angka

kematian neonatal tampaknya terhenti. Jika keadaan ini berlanjut, Indonesia


mungkin tidak dapat mencapai target MDGs yaitu penurunan angka kematian
neonatus (AKN) menjadi 14 per 1000 kelahiran hidup yang harus dicapai pada
tahun 2015. Pada tahun 2012 Angka kematian neonatus tertinggi di Indonesia
diduduki oleh Maluku Utara dan Papua Barat dengan jumlah kematian 37 dan
35 neonatus per 1000 kelahiran.3
Angka kejadian asfiksia di Negara maju berkisar antara 1-1,5% dan
berhubungan dengan masa gestasi dan berat lahir. Sedangkan di Negara
berkembang angka kejadian asfiksia lebih tinggi dibandingkan di Negara
maju, karena pelayanan antenatal yang masih kurang memadai. 4 Di Indonesia
angka kejadian asfiksia di Rumah Sakit propinsi Jawa Barat ialah 25,2%, dan
angka kematian karena asfiksia di rumah sakit pusat rujukan propinsi di
Indonesia sebesar 41,94%.5
Melihat kenyataan dalam beberapa tahun belakangan ini, maka hal ini
menjadi dasar bagi penulis untuk menuangkannya dalam karya tulis ilmiah
yang berjudul Karakteristik asfiksia neonatorum di Ruang Perawatan Bayi
Baru Lahir Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura periode Januari 2013Desember 2013.

1.1 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah penelitian adalah sebagai
berikut :
Bagaimana karakteristik asfiksia neonatorum di Ruang Perawatan Bayi
Baru Lahir Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura periode Januari 2013Desember 2013?

1.2 Tujuan Penelitian.


1.2.1 Tujuan Umum.
Untuk mengetahui karakteristik asfiksia neonatorum di Ruang Perawatan Bayi
Baru Lahir Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura periode Januari 20131.2.2

Desember 2013.
Tujuan Khusus.
1. Untuk mengetahui karakteristik asfiksia neonatorum berdasarkan bayi
yang mengalami kematian.
2. Untuk mengetahui karakteristik asfiksia neonatorum berdasarkan jenis
kelamin.
3. Untuk mengetahui karakteristik asfiksia neonatorum berdasarkan faktor
risiko bayi.
4. Untuk mengetahui karakteristik asfiksia neonatorum berdasarkan faktor
risiko ibu.
5. Untuk mengetahui karakteristik asfiksia neonatorum berdasarkan faktor

risiko pada saat persalinan.


1.3 Manfaat Penelitian.
1. Bagi instansi atau lembaga pemerintah, diharapkan dapat dijadikan sebagai
masukan dan bahan pertimbangan dalam upaya penyuluhan sehingga
dapat mengurangi faktor resiko terjadinya asfiksia neonatorum.
2. Bagi masyarakat, diharapkan dapat dijadikan tambahan informasi
khususnya bagi ibu guna menurunkan angka kematian bayi akibat asfiksia
neonatorum.
3. Bagi institusi pendidikan, sebagai tambahan referensi ilmu pendidikan di
fakultas kedokteran Universitas Cenderawasih.
4. Bagi penulis, sebagai tambahan ilmu pengetahuan tentang karakteristik
beserta faktor risiko penyebab terjadinya asfiksia neonatorum serta
menjadikan penulis memiliki kemampuan untuk meneliti.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi.
Asfiksia berasal dari istilah yunani sphyzein yang berarti penghentian denyut
nadi kondisi ini disebabkan oleh kurangnya oksigen, hingga menyebabkan
hipoksia dan hiperkapnia.6 Jika keadaan ini terus berlanjut maka akan
menyebabkan hipoksemia yang progresif dan hiperkapnia dengan asidosis
metabolik .7
Asfiksia perinatal adalah suatu stres pada janin atau bayi baru lahir karena
kurang tersedianya oksigen dan atau kurangnya perfusi ke berbagai organ.
Secara klinis tampak bahwa bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Dampak dari asfiksia

tersebut adalah hipoksia, hiperkarbia dan asidemia yang selanjutnya akan


meningkatkan pemakaian sumber energi dan mengganggu sirkulasi bayi.4
Menurut American Academic of pediatricians (AAP) dan American
College of Obstetricians and Gynaecologist (ACOG) tahun 2004 asfiksia
perinatal pada seorang bayi menunjukan karakteristik sebagai berikut :5,8
1. Asidosis metabolik atau campuran (metabolik dan respiratorik) yang
jelas yaitu pH <7, pada sampel darah yang diambil dari umbilikal.
2. Nilai Apgar 0-3 pada menit ke 5.
3. Manifestasi neorologi yang terjadi segera seperti kejang, hipotonia,
koma atau hipoksis iskemik enselopatia (HIE).
4. Terjadi disfungsi sistim multiorgan.
2.2 Faktor Risiko.
Paru-paru bayi baru lahir mengalami pengembangan pada menit-menit pertama
kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan yang teratur, ada banyak
rangsangan untuk menimbulkan pernafasan pada menit-menit pertama sesudah
kelahiran seperti penurunan PO2 dan pH, serta peningkatan PCO2 akibat adanya
gangguan pada sirkulasi plasenta, redistribusi curah jantung setelah tali pusat di
klem, penurunan suhu tubuh dan berbagai rangsangan taktil. Namun jika terjadi
gangguan pertukaran gas atau perfusi oksigen dari ibu ke janin maka akan
memicu terjadinya asfiksia janin atau neonatus. Gangguan tersebut dapat
timbul pada masa kehamilan, persalinan, atau segera setelah persalinan.8
Kegagalan pernafasan pada bayi yang menyebabkan kekurangan oksigen
yang menyeluruh (hipoksia) disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :8
1. Oksigenasi yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama
anastesi saat persalinan, penyakit jantung sianosis, gagal
pernafasan atau keracunan karbon monoksida.
5

2. Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi, yang dapat


merupakan komplikasi anastesi spinal atau akibat kompresi vena
cava, dan aorta pada uterus gravida.
3. Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta
akibat adanya tetani uterus, yang disebabkan oleh pemberian
oksitosin yang berlebihan.
4. Pemisahan plasenta prematur.
5. Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya
kompresi atau pembentukan simpul pada tali pusat.
6. Insufisiensi plasenta karena beberapa sebab seperti toksemia.
7. Vasokonstriksi pembuluh darah uterus oleh kokain.
Hipoksia yang terjadi sesudah lahir, dapat disebabkan oleh beberapa hal
berikut: 8
1. Anemia yang cukup berat, hingga menurunkan kandungan
oksigen darah ke tingkat kritis akibat perdarahan berat atau
penyakit hemolitik.
2. Syok cukup berat, hingga mengganggu pengangkutan oksigen ke
sel-sel vital, akibat perdarahan intraventrikular, infeksi yang
berlebihan atau kehilangan darah masif.
3. Kurangnya saturasi oksigen arteri disebabkan gagal terjadinya
pernafasan yanng adekuat pasca-lahir, akibat cacat dan jejas pada
otak.
4. Kegagalan oksigenasi sejumlah darah yang adekuat akibat adanya
bentuk penyakit jantung konginetal sianosis atau defisiensi fungsi
paru yang berat.

Menilai faktor risiko terjadi asfiksia sangatlah penting agar persiapan


resusitasi dapat dipersiapkan sebelumnya. Faktor risiko terjadinya asfiksia
terbagi menjadi faktor risiko antepartum dan faktor risiko intrapartum.
1. Faktor risiko antepartum : Diabetes pada ibu, hipertensi dalam
kehamilan, hipertensi kronik, anemia janin, riwayat kematian
janin, perdarahan pada trimester ke-2 dan ke-3, infeksi ibu, ibu
dengan penyakit (jantung, paru, ginjal, tiroid, atau kelainan
neurologi), polihidroamnion, oligohidroamnion, ketuban pecah
dini, kehamilan lewat waktu, kehamilan ganda, berat janin tidak
sesuai masa kehamilan, ibu penguna obat bius, malformasi atau
anomali janin, tanpa pemeriksaan antenatal, usia ibu <20 atau
>35tahun.5
a. Pre-eklamsia.
Pre-eklamsia yaitu sindrom khusus kehamilan yang dapat
mengenai setiap sistem organ. Pre-eklamsia dengan tekanan
darah 140mmHg (sistole) dan 90mmHg (diastole) di sertai
dengan proteinuria >300mg dalam 24jam, kreatinin urin 0,3
atau terdapatnya protein sebanyak 3mg/dl dalam sampel acak
urin secara menetap.9 Berbagai penyebab terjadinya preeklamsia merupakan gabungan dari berbagai faktor seperti
faktor ibu, plasenta maupun janin seperti invasi trofoblast
yang abnormal, gangguan keseimbangan adaptasi imunologis
antara ibu, ayah dan janin, serta faktor genetik juga
memperngaruhi kejadian pre-eklamsia. Beberapa penyebab

tersebut

menyebabkan

jejas

endotel

yang

kemudian

menimbulkan tidak seimbangnya kadar vasokonstriktor


(endotelin, tromboksan, angiotensin, dll), kadar vasodilator
(nitrikoksida, prostaksiklin, dll) dan faktor pembekuan darah,
yang dapat menyebabkan vasospasme arteriol. Vasospasme
menyebabkan berbagai macam perubahan dalam berbagai
organ seperti kardivaskuler (hipertensi), nekrosis plasenta
yang menyebabkan hambatan pertumbuhan janin, gawat janin
dan solutio plasenta. Menurut Ness dan Roberts (1996) ada 2
tahap untuk menjelaskan terjadinya pre-eklamsia yaitu pada
tahap-1 (tahap pre-klinik) kegagalan invasi trofoblas sehingga
terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis atau arteri uterina
yang menyebabkan vasospasme dan hipoksia. Tahap-2 disebut
dengan tahap klinik yang disebabkan oleh stres oksidatif dan
pelepasan faktor plasenta kedalam sirkulasi darah ibu yang
menyebabkan respon sistemik dan aktivasi endotel.12
b. Ketuban pecah dini.
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum
waktunya tanpa disertai tanda inpartu dan setelah satu jam
tetap tidak diikuti dengan proses inpartu sebagaimana
mestinya. ketuban pecah dini selain dapat menyebabkan
infeksi juga dapat mempengaruhi terjadinya asfiksia akibat
terjadinya prolapsus funiculli yaitu tali pusat tertekan diantara
kepala bayi dan panggul sehingga terjadi kompresi yang

menyebabkan ancaman penghentian perfusi fetoplasenta.


Infeksi, atonia uteri, perdarahan post partum, asfiksia dan
Intra Uterine Fetal Dead (IUFD) merupakan ancaman apabila
ketuban pecah dini tidak segera ditangani.

Pernafasan

spontan BBL tergantung pada kondisi janin pada masa


kehamilan dan persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran
gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan atau persalinan
akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan
mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan
menyebabkan kematian.11
c. Berat janin tidak sesuai dengan masa kehamilan.
Berat badan lahir kurang dari berat badan seharusnya untuk
masa kehamilan dapat disebabkan oleh terjadinya retardasi
intrauterin / Intrauterine Growth Retardation / IUGR). IUGR
dihubungkan dengan keadaan medis yang menggagu seperti
sirkulasi

dan

efisiensi

plasenta,

perkembangan

atau

pertumbuhan janin, kesehatan umum dan nutrisi ibu. IUGR


juga merupakan respon janin normal terhadap hilangnya
nutrisi atau oksigenasi yang kurang adekuat. Bayi IUGR dapat
mengalami

berbagai

masalah

seperti

kematian

janin

intrauterin, asfiksia perinatal, dan hipoglikemi.8


d. Kehamilan ganda.
Kehamilan ganda dapat didiagnosa dengan ukuran uterus
yang lebih besar dari usia kehamilan, terdengar dua jantung
janin, dan kenaikan kadar -feto-protein serum ibu atau kadar

HCG,

serta

dapat

di

pastikan

dengan

pemeriksaan

ultrasonografi. Sebagian besar kembar dilahirkan prematur,


dan komplikasi pada ibu akibat kehamilan ini lebih sering dari
pada

kehamilan

tunggal,

pada

kembar

monoamniotik

memiliki kemungkinan lebih tinggi terjerat tali pusat yang


dapat menyebabkan asfiksia. Secara teoritis kembaran yang
kedua lebih sering mengalami hipoksia dari pada yang
pertama dikarenakan plasenta dapat terlepas sesudah kelahiran
pertama dan sebelum kelahiran kedua, kemudian kelahiran
bayi kedua bisa sangat sukar dikarenakan presentasi yang
abnormal, tonus uterus yang menurun, atau serviks mulai
menutup pasca kelahiran kembar pertama.8
e. Usia ibu <20tahun atau >35tahun.
Usia ibu <20 tahun atau >35 tahun merupakan usia ibu dengan
faktor resiko tinggi berperan dalam meningkatnya angka
kejadian asfiksia neonatorum dikarenakan, ibu yang baru
melahirkan pertama kalinya dengan usia <20tahun

lebih

sering ditemukan mengalami komplikasi selama kehamilan


seperti toksemia gravidarum yang nantinya akan berefek
kepada kondisi bayi saat dilahirkan. Sedangkan ibu dengan
usia >35tahun berkemungkinan mengalami penyulit seperti
his lemah, persalinan yang berlangsung lama, dan penurunan
kondisi uterus yang menyebabkan timbulnya kelainan

10

plasenta, semua ini juga nantinya akan berpengaruh kepada


keadaan bayi yang dilahirkan.12
f. Paritas.
Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahrkan oleh
seorang wanita baik hidup maupun meninggal. Paritas yang
tinggi memungkinkan terjadinya penyulit kehamilan dan
persalinan yang dapat menyebabkan terganggunya transport
O2 dari ibu ke janin yang akan menyebabkan asfiksia pada
bayi baru lahir.13
2. Faktor risiko intrapartum : seksio sesaria darurat, kelainan dengan
ektrasi forcep atau fakum, presentasi abnormal, kelahiran kurang
bulan, partus presipitatus, khorioamnionitis, ketuban pecah lama,
partus lama, kala dua lama >2jam, makrosomia, frekuansi jantung
janin tidak beraturan, penggunaan anastesi umum, hiperstimulasi
uterus, air ketuban bercampur mekonium, prolaps tali pusat,
solutio plasenta, plasenta previa dan perdarahan intrapartum.5
a. Presentasi janin abnormal.
Presentasi ialah apa yang menjadi bagian terendah anak yang
dapat diraba melalui pemeriksaan dalam. Presentasi abnormal
terdiri dari letak lintang, letak bokong (sungsang), dan letak
muka. Pada letak sungsang setelah pusat lahir kepala anak
mulai masuk ke dalam rongga panggul sehingga tali pusat
tertekan antara kepala dan dinding panggul, pada saat ini
kepala (after coming head) harus lahir dalam 8 menit karena
akan menyebabkan hipoksia janin. Sedangkan pada letak

11

lintang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya asfiksia


adalah sering terjadinya tali pusat menumbung serta trauma
akibat versi dan ekstrasi saat persalinan.10
b. Kelahiran kurang bulan.
Kelahiran kurang bulan atau kelahiran prematur yaitu bayi
lahir hidup yang dilahirkan sebelum 37 minggu dari hari
pertama haid terakhir. Kelahiran prematur yang memiliki
berat badan sesuai masa kehamilan bisa disebabkan karena
adanya ketidakmampuan uterus untuk mempertahankan
kehamilan, pelepasan plasenta prematur, dan berbagai
rangsangan yang menyebabkan timbulnya kontraksi uterus
sebelum mencapai umur cukup bulan. Sedangkan kelahiran
prematur dengan berat badan lebih rendah dari masa
kehamilan dapat disebabkan oleh IUGR.8 kadang kala bayi
prematur sulit untuk beradaptasi ketika lahir, bila terjadi
kegagalan adaptasi pada kehidupan ekstra uterin maka akan
terjadi gawat neonatus yang dapat berdampak kematian atau
kecacatan. Bayi prematur mempunyai banyak risiko atau
masalah akibat kurang matangnya fungsi organ antara lain
Penyakit membran hialin, asfiksia, perdarahan intrakranial,
gangguan neurologik, hipotermia, gangguan metabolik dan
kecenderungan untuk terjadinya infeksi neonatal.14
c. Kelainan plasenta.
Plasenta sangat penting bagi pertumbuhan dan kehidupan
janin. Plasenta berfungsi sebagai transport makanan, transport

12

CO2 dan O2, pengeluraran zat-zat racun seperti ureum yang


dihasilkan oleh plasenta dan merupakan organ penghasil
enzim dan hormon yang digunakan selama proses kehamilan.
Jika terjadi insufisiensi plasenta atau gangguan pada plasenta
(kelainan

bentuk

atau

implantasi

plasenta)

dapat

menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin, hipoksia


dan asidosis pada janin serta berkurangnya hormon yang
disekresikan oleh plasenta.12
d. Sindrom Aspirasi Mekoneum (SAM).
Cairan amnion yang terwarnai mekonium dapat ditemukan
pada bayi cukup bulan maupun lewat bulan. Didalam uterus
atau lebih sering pada pernafasan pertama, mekoneum yang
kental teraspirasi kedalam paru, mengakibatkan obstruksi
jalan nafas kecil yang dapat menimbulkan kegawatan
pernafasan dalam beberapa jam pertama dengan gejala
takipneu, retraksi, mendengkur, dan sianosis pada bayi yang
terkena.8
2.3 Patofisiologi.
2.3.1 Perubahan fisiologik pada transisi janin-neonatal.
Sebelum lahir paru terisi oleh cairan dan oksigen yang di pasok oleh
plasenta, sehingga paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen
atau jalan untuk mengeluarkan karbondioksida seperti fungsi paru
dewasa pada umunya.15 Pembuluh darah yang mengaliri paru
mengalami kontriksi (resistensi vaskular pulmonal tinggi) sehingga
menyebabkan tekanan oksigen parsial rendah, sehingga sebagian besar
darah dari sisi jantung kanan tidak dapat melalui paru karena

13

konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui


pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus
kemudian masuk ke aorta.2
Sesaat sebelum lahir dan selama persalinan, produksi cairan paru
berkurang. Selama menuruni jalan lahir kompresi intermiten thoraks
mempermudah pengeluaran cairan dari paru-paru dan sejumlah cairan
akan kelaur dari trakea.15 Surfaktan dalam cairan memperbesar
pengisian udara (aerasi) pada paru yang bebas gas dengan mengurangi
tegangan permukaan, sehingga dapat menurunkan tekanan yang
diperlukan untuk membuka alveolus. Meskipun demikian tekanan
yang digunakan untuk mengambangkan paru yang tidak mengandung
udara lebih tinggi dari pada tekanan yang diperlukan pada setiap masa
kehidupan yang lain, tekanan ini berkisar dari 10-50cm H 2O selama
interval 0,5-1,0 detik dibandingkan dengan sekitar 4cm untuk
pernafasan normal bayi cukup bulan dan orang dewasa. Kebanyakan
bayi memerlukan kisaran tekanan pembukaan yang lebih rendah.
Tekanan yang lebih tinggi diperlukan untuk memulai pernafasan
dalam mengatasi gaya perlawanan tegangan permukaan (terutama
pada jalan nafas kecil) serta viskositas cairan yang tetap berada dalam
jalan nafas, guna memasukan sekitaln 50ml udara kedalam paru
dimana, 20-30ml dari volume tersebut menetap sesudah pernafasan
pertama dan menjadi Functional Residual Capacity (FRC). Sebagian
besar cairan di dalam paru diambil oleh sirkulasi paru, yang
bertambah berapa kali lipat pada saat lahir karena semua curah

14

ventrikel kanan menyebar ke bantalan vaskular paru. Sisa cairan


dikeluarkan melalui saluran limfe paru, dihembuskan oleh bayi,
ditelan atau diaspirasi dari orofaring. Pengeluaran cairan paru ini
dapat terganggu pada keadaan pasca-sectio cessarea. Ada banyak
rangsangan untuk menimbulkan pernafasan pertama seperti penurunan
PO2 dan pH, serta peningkatan PCO2 akibat adanya gangguan pada
sirkulasi plasenta, redistribusi curah jantung setelah tali pusat di klem,
penurunan suhu tubuh dan berbagai rangsangan taktil. 8 Kemudian
kadar kortisol, Antidiuretic Hormone (ADH), Thyroid-stimulating
Hormone (TSH) dan katekolamin serum meningkat dengan cepat.
Tarikan nafas pertama biasanya terjadi dalam beberapa detik setelah
lahir. Pengisian udara kedalam paru disertai dengan peningkatan
tegangan oksigen arterial, aliran darah arteri pulmonalis meningkat
dan resistensi vaskuler pulmonal menurun. Penjepitan tali pusat
menghilangkan sirkulasi plasenta yang memiliki resistensi rendah,
keadaan ini menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler di periver
dan peningkatan tekanan darah sitemik. Terdapat penutupan secara
fungsional ductus arteriosus, akibat penurunan resistensi vaskular
pulmonal dan peningkam,tan resistensi vaskular sistemik.15
Berikut adalah tabel ringkasan terjadinya peristiwa fisiologis saat
kelahiran.16
Tabel 2.3.1 Peristiwa fisiologis saat kelahiran.
Fenomena
Stres kelahiran pelepasan katekolamin dan Cairan

Efek
paru menurun

dan

pelepasan surfaktan meningkat.

steroid
15

Kontraksi uterus penurunan aliran darah Gas darah janin memburuk.


plasenta
Kompresi pada thoraks pada jalan lahir
Daya rekoil paru setelah melalui jalan lahir

Eksplusi cairan paru


Saluran pernafasan

dipenuhi

udara
Penjepitan pada tali pusat hipoksia
Mulai bernafas
Peningkatan rangsangan sensoris (dingin)
Mulai bernafas
Udara
memasuki paru meningkatkan Resistensi
pembuluh

menurun peningkatan aliran

oksigen pada jaringan paru.

darah
Resistensi

yang

rendah

darah

pada

paru,

PO2

arteri

pengisian atrium kiri.


sirkulasi Resistensi
pembuluh

plasenta yang terhenti.


Perbedaan tekanan arteri

dan
darah

sistemik meningkat.
Foramen ovale menutup secara

fungsional
Perfusi darah yang kaya oksigen pada duktus Duktus arteriosus menutup
arteriosus
2.3.2

Sumber :Roy M,Simon N.16


Transisi abnormal dari kehidupan janin-neonatal.
Transisi abnormal dari janin ke neonatal, dapat terganggu oleh
beberapa peristiwa pada saat antepartum atau pun intrapartum yang
menyebabkan depresi kardiorespirasi, asfiksia ataupun keduanya.16
Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin.
Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan
dengan jalan nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan
cairan atau benda asing seperti mekonium dari alveolus, sehingga
akan menghambat udara masuk ke dalam paru mengakibatkan
hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan menghambat
peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu kekurangan
oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan
mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi
16

penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan.


Pada beberapa kasus, arteriol di paru-paru gagal untuk berelaksasi
walaupun paru-paru sudah terisi dengan udara atau oksigen yang
2.3.3

disebut dengan hipertensi pulmonal persisten.17


Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi.
Pernafasan pertama pada bayi menyebabkan udara masuk kedalam
paru-paru dan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan intertistitial
di paru sehingga sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol
pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini
terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap
terisi cairan dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat
oksigen.8
Pada saat terjadi hipoksia, hipotensi, curah jantung menurun dan
asidosis metabolik serta respiratorik pada janin, respon awal sirkulasi
janin adalah menambah aliran melalui duktus venosus, duktus
arteriosus, dan foramen ovale dengan mengutamakan perfusi ke otak,
jantung, dan adrenal dari pada paru, hati, ginjal, dan usus karena
terjadi kontriksi arterol pada organ tersebut.8 Penyesuaian distribusi
aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital.
Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka
terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan
curah jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran
darah ke seluruh organ akan berkurang. Sebagai akibat dari
kekurangan

perfusi

oksigen

dan

oksigenasi

jaringan,

akan

menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan

17

organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan


akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus
otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain
seperti depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen,
bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen
pada otot jantung atau sel otak, tekanan darah rendah karena
kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau
kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan
selama proses persalinan, takipnu (pernapasan cepat) karena
kegagalan absorbsi cairan paru-paru, dan sianosis karena kekurangan
oksigen di dalam darah.17
Bayi dengan asfiksia yang menetap dan berat akan meningkatkan
usaha pernafasan (pernafasan cepat) dan kemudian di ikuti oleh
periode apnea primer. Selama apnea primer denyut jantung menurun
namun tekanan darah tetap dapat terjaga.15 Rangsangan seperti
mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan menimbulkan
pernapasan namun jika kekurangan oksigen terus berlanjut, bayi akan
mulai sesak dan denyut jantung menurun. Setelah beberapa menit dan
setelah sesak terakhir terjadilah apnea sekunder. Bayi dapat berada
pada fase antara apnu primer dan apnu dan seringkali keadaan yang
membahayakan ini dimulai sebelum atau selama persalinan.
Akibatnya saat lahir, sulit untuk menilai berapa lama bayi telah berada
dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan fisik tidak dapat
membedakan antara apnu primer dan sekunder, namun respon

18

pernapasan yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan mulai


terjadi keadaan yang membahayakan itu. Untuk mengembalikan
keadaan semula rangsangan saja tidak cukup namun memerlukan
ventilasi tekanan positif .17

Gambar 2.3.3 Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah selama


apnea. Sumber: Departemen kesehatan Republik Indonesia.17
2.4 Diagnosis.
1. Anamnesa.
Anamnesa diarahkan untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya
asfiksia neonatorum
2. Pemeriksaan fisik.
Bayi tidak bernafas atau menangis, denyut jantung kurang dari
100x/menit, tonus otot menurun, bisa didapatkan cairan ketuban ibu
bercampur mekonium, atau sisa mekonium pada tubuh bayi.
3. Pemeriksaan penunjang.
Laboratorium: Hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil
asidosis pada darah tali pusat PaO2 <50 mm H2O, PaCO2 >55 mmHg dan
pH <7,30. Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif,
pemeriksaan penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi. 17
Tanda hipoksia pada janin biasanya ditemukan beberapa menit sampai
beberapa hari sebelum persalinan. Intra Uterine Growth Restriction (IUGR)
19

dengan kenaikan tahanan vaskuler merupakan petunjuk pertama hipoksia janin.


Frekuensi denyut jantung janin yang melambat dan variabilitasnya dari denyut
ke denyut menurun, maka dari itu perekaman denyut jantung secara terusmenerus dapat menunjukan pola perlambatan yang bervariasi, dan analisis
darah kulit kepala janin dapat menunjukan pH > 7,2. Asidosis terdiri dari dua
komponen yaitu asidosis metabolik dan asidosis respiratorik. Terutama pada
bayi yang mendekati usia cukup bulan, tanda-tanda ini akan mengakibatkan
pemberian oksigen kadar tinggi pada ibu dan harus dilakukan persalinan segera
untuk menghindari kematian janin atau cedera sistem saraf pusat.8
Pada saat persalinan, adanya mekoneum pada cairan amnion dan berwarna
kuning, merupakan tanda bahwa telah terjadi kegawatan janin. Pada saat lahir
bayi ini seringkali mengalami deppresi, dan gagal bernafas secara spontan,
selang beberapa jam berikutnya bisa terjadi hipotonia bahkan dari hipotonia
bisa menjadi hipotonia extrim atau tonus bisa tampak normal. 8 Berikut adalah
tabel tanda-tanda adanya hipoksia. 16
Tabel 2.4 : Tanda-tanda Hipoksia
Tanda-tanda Hipoksia
Anterpartum
Retardasi pertumbuhan intrauterin
Pergerakan janin berkurang
Aliran darah janin abnormal (Doppler)
Intrapartum
Amnion bercampur mekonium.
Detak jantung janin abnormal (kardiotokograft)
Asidosis metabolik (sampel darah janin)
Postpartum

Bradikardi / apneu

20

Skor apgar rendah


Onset pernafasan yang lambat
Sumber : Roy M, Simon N.16
2.5 Penilaian APGAR score.
Metode yang sering digunakan untuk mengkaji penyesuaian segera bayi baru
lahir terhadap kehidupan extrauterin adalah sistem skoring Apgar.5 Nilai Apgar
dipakai untuk melihat keadaan bayi pada usia 1 menit dan 5 menit, tetapi tidak
untuk menentukan apakah bayi baru lahir memerlukan resusitasi atau tidak.
Nilai apgar pada menit ke 5 dapat digunakan untuk menilai prognosis.18
Nilai ini disebut nilai Apgar sesuai dengan nama orang yang pertama kali
menemukan sistem penilaian ini yaitu dr.Virginia Apgar. Pada tahun 1952
dr.Virginia Apgar mendesain sebuah penilaian cepat untuk menilai keadaan
klinis bayi baru lahir pada usia 1 menit, yang dinilai terdiri atas 5 komponen
yaitu frekuensi jantung, usaha nafas, tonus otot, refleks pada rangsang dan
warna kulit, setiap item diberi skor 0,1 atau 2. 5,15
Nilai Apgar juga memiliki kekurangan. Nilai Apgar merupakan suatu
ekspresi keadaan fisiologis bayi baru lahir dan dibatasi oleh waktu. Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi nilai Apgar antara lain pengaruh obat-obatan,
trauma lahir, kelainan bawaan, infeksi, hipoksia, hipovolemia, dan kelahiran
prematur. Komponen nilai seperti tonus otot, warna kulit, refleks pada
perangsangan, sebagian bergantung pada kematangan bayi. Bayi prematur
tanpa asfiksia bisa saja mendapat nilai Apgar yang rendah.5
Tabel 2.5 : Apgar Score
Tanda
Denyut Jantung
Usaha Bernafas
Tonus Otot

0
Tidak ada
Tidak ada
Lumpuh

<100
100
Lambat
Menangis kuat
Ektremitas sedikit Gerakan aktif

21

Refleks

Tidak

Warna Kulit

respon
Biru/Pucat

fleksi
ada Gerakan sedikit

Reaksi melawan

Tubuh kemerahan, Seluruh

seluruh tubuh
extremitas biru
Sumber : Roy M, Simon N.16

tubuh

kemerahan

Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa nilai Apgar tidak dipakai
untuk menentukan kapan dimulainya resusitasi atau untuk keputusan
mengenai jalannya resusitasi namun, penilaian untuk dilakukannya
resusitasi segera semata-mata ditentukan oleh 3 tanda yang penting yaitu
pernafasan, denyut jantung, dan warna bayi.19
2.6 Tatalaksana.
Resusitasi bayi baru lahir ialah prosedur yang diaplikasikan pada bayi baru
lahir yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur pada saat lahir atau
beberapa saat sesuadah lahir.5 Tujuan resusitasi pada neonatus adalah
mencegah morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan jejas jaringan
hipoksia-iskemik (otak, jantung, dan ginjal) dan guna mengembalikan
pernafasan yang spontan dan curah jantung yang adekuat.8
Keadaan resiko tinggi harus diantisipasi dengan riwayat kehamilan,
kelahiran, dan persalinan, serta dengan mengidentifikasi tanda-tanda adanya
kegawatan janin. Walaupun skor Apgar pada menit pertama membantu dalam
mengevaluasi bayi yang membutuhkan resusitasi, namun resusitasi harus
segera dilakukan sebelum 1menit penilaian menggunakan Apgar. Upaya
resusitasi yang cepat dan tepat dapat meningkatkan usaha pencegahan cedera
otak dan mendapatkan hasil yang memuaskan.8

22

Segera sesudah lahir bayi dengan asfiksia diletakan dibawah pemanas


radian untuk menghindari terjadinya hipotermi, kemudian langkah selanjutnya
mengikuti prinsip ABC resusitasi. A (Airway) mengantisipasi dan menjaga
jalan nafas agar tetap terbuka dengan penghisapan dan bila perlu lakukan
intubasi endotrachea. B (Breathing) dengan rangsangan taktil atau ventilasi
tekanan positif dengan kantong dan masker atau melalui pipa endotrachea. C
(circulation) mempertahankan ventilasi dengan kompresi dada dan obat-obatan
jika diperlukan.

Jika tidak ada pernafasan atau jika frekuensi jantung

<100x/menit , ventilasi positif dengan oksigen 100% diberikan selama 15-30


detik. Walaupun pernafasan pertama memerlukan tekanan serendah 15-20 cm
H2O tekanan setinggi 30-40 cm H2O bisa diperlukan. Pernafasan selanjutnya
diberikan dengan frekuensi 40-60x/menit, dan tekanan 15-20 cm H2O. Paruparu yang kaku dan tidak lentur pada penyakit seperti penyakit membran hialin
dan adanya aspirasi mekonium memerlukan tekanan yang lebih tinggi yaitu 2040 cm H2O. Ventilasi yang berhasil ditentukan oleh pengembangan dada yang
baik, suara nafas simetris, warna tubuh merah muda, frekuensi jantung
meningkat >100x/menit, pernafasan spontan dan tonus membaik.8
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit
setelah dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Tindakan kompresi
dada (cardiac massage) terdiri dari kompresi yang teratur pada tulang dada,
yaitu menekan jantung ke arah tulang belakang, meningkatkan tekanan
intratorakal, dan memperbaiki sirkulasi darah ke seluruh organ vital tubuh.8
Intubasi endotrakeal dilakukan pada setiap bayi yang tidak memberikan
respon terhadap ventilasi kantong dan masker atau yang dilahirkan dengan

23

apnea, nadi tidak teraba, sianosis, dan lemah dengan tanda-tanda adanya
kegawatan janin.8
Obat-obatan diberikan jika frekuensi jantung kurang dari 80x/menit pascakombinasi ventilasi dan kompresi dada selama 30 detik. Biasanya vena
umbilikalis dapat dengan mudah dikanulasi utuk memberikan obat-obatan,
glukosa dan volume expander (salin normal, ringger laktat). Epineprin 0,1-0,3
ml/kg larutan 1:10.000 intravena atau intratrakea diberikan selama asistol atau
saat gagal memberikan respon terhadap resusitasi kombinasi 30 detik dosis
dapat diulang setiap 5 menit. Jika tidak ada respon beberapa pakar
menganjurkan untuk menggunakan 5-10x dosis epineprin baku 10-20 ml/kg
volume expander harus diberikan pada bayi yang hipovolemi, pucat, nadi
lemah dengan frekuensi jantung normal, kehilangan darah,di curigai
sepsis,hipotensi dan memberikan respon yang buruk terhadap resusitasi.
Natrium bikarbonat 1-2 mEq/ml larutan 4,2% harus diberikan perlahan-lahan
jika dijumpai adanya asidosis metabolik dan dan resusitasinya lama. Natrium
bikarbonat harus diberikan sesudah ventilasi efektif dicapai karena terapi
demikian dapat meningkatkan CO2 darah, dan menimbulkan asidosis
respiratorik.8

24

Bagan 2.6 :Gambar Alur Resusitasi Neonatus


Sumber : Nani D.5

25

Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali, dan
putuskan untuk melanjutkan ke langkah berikutnya. Keputusan untuk
melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan dengan
penilaian 3 tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan
warna kulit):5
1. Pernapasan
Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat, frekuensi
dan dalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang taktil.
Pernapasan yang megap-megap adalah pernapasan yang tidak efektif
dan memerlukan intervensi lanjutan.
2. Frekuensi jantung.
Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit.
3. Warna kulit
Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh tubuh.
Setelah frekuensi jantung normal dan ventilasi baik, tidak boleh ada
sianosis sentral yang menandakan hipoksemia. Warna kulit bayi yang
berubah dari biru menjadi kemerahan adalah petanda yang paling cepat
akan adanya pernapasan dan sirkulasi yang adekuat. Sianosis akral
tanpa sianosis sentral belum tentu menandakan kadar oksigen rendah
sehingga tidak perlu diberikan terapi oksigen. Hanya sianosis sentral
yang memerlukan intervensi.
2.7 Komplikasi.
Gambaran klinis komplikasi yang terlihat pada berbagai organ tubuh sangat
bervariasi tergantung pada beratnya hipoksia, waktu hipoksia akut terjadi, masa
gestasi bayi, riwayat perawatan perinatal, serta faktor lingkungan penderita
termasuk faktor sosial ekonomi. Beberapa penelitian melaporkan, organ yang

26

paling sering mengalami gangguan adalah susunan saraf pusat. Pada asfiksia
neonatus, gangguan fungsi susunan saraf pusat hampir selalu disertai dengan
gangguan fungsi beberapa organ lain (multiorgan failure). Kelainan susunan
saraf pusat yang tidak disertai gangguan fungsi organ lain, hampir pasti
penyebabnya bukan asfiksia perinatal.8
Berikut adalah tabel gambaran klinis komplikasi yang terlihat pada
berbagai organ tubuh:8
Tabel 2.7 tabel organ-organ yang dapat mengalami komplikasi
Sistem
Sistem saraf pusat

Pengaruh
HIE, infrak, perdarahan intrakranial, kejang,

Kardiovaskuler

edema otak, hipotonia, hipertonia


Iskemia miokardium, kontraktilitas jelek, bising

Pulmonal

jantung, insufiensi trikuspidalis dan hipotensi


Sirkulasi janin persistens, perdarahan paru,

Ginjal
Adrenal
Saluran cerna
Metabolik

sindrom kegawatan nafas.


Nekrosis tubular akut atau korteks
Perdarahan adrenal
Perforasi, ulserasi, nekrosis
Sekresi ADH yang tidak sesuai, hiponatremia,

hipoglikemia, hipokalsemia, dan mioglobulinemia.


Kulit
Nekrosis lemak subkutan.
Hematologi
Koagulasi intravaskuler tersebar.
Sumber : Richard EB, Robert MK, Ann MA
2.7.1 Sistem susunan saraf pusat.
Hypocix ischemic enshefalophaty (HIE) adalah terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan kelainan neuropatologis dan klinis
yang diperkirakan terjadi pada bayi baru lahir akibat asfiksia. Hypocix
ischemic enshefalophaty (HIE) merupakan kelainan neuropatologis
yang paling sering ditemukan pada bayi yang mengalami asfiksia.4
Asfiksia yang terjadi pada saat kelahiran merupakan konsekuensi
dari hipoksia intrapartum dimana bayi membutuhkan resusitasi yang

27

lebih lanjut dan berlanjut pada keadaan HIE. HIE muncul pada 1-2
kasus pada setiap 1000 kelahiran. Bayi yang dilahirkan setelah
hipoksia intrapartum memiliki gambaran yang khas. Bayi menjadi
bradikardi, pucat, lemas, dan apneu, dan mengalami asidosis
metabolik yang parah, yang telah terakumulasi selama periode
glikolisis anaerob. Keadaan ini memerlukan tindakan resusitasi
segera. Berdasarkan berat ringannya HIE dibedakan menjadi :8
Tabel 2.7.1 penentuan stadium HIE menurut sarnat.

Tingkat kesadaran
Tonus otot

Derajat1 Ringan
Waspada berlebih
Normal/hipertoni

Derajat2 sedang
Letargi
Hipotonia

Derajat3 berat
Koma
Flacid

Refleks tendon

a
Meningkat

Meningkat

Tertekan/tidak

Ada
Tidak ada

Ada
Sering

ada
Tidak ada
Sering

Aktif

Lemah

Tidak ada

Berlebih

Tidak komplet

Tidak ada

Normal-berlebih

Berlebihan

Tidak ada

Normal

Sangat aktif

Berkurang/tida

Mioklonus
Kejang
Refleks kompleks
-

Menghisap
Moro
Menggenggam
Okulosefalik

k ada
Fungsi otonom
-

Pupil
Pernafasan
Denyut jantung
EEG

Prognosis

Dialatasi,reaktif

Konstriksi/reaktif

Bervariasi/terfi

Teratur

Periodik

ksasi

Normal/takikardi

Bradikardi

Ataksik,apneik

Normal

Periodik

Baik
28

voltase Bradikardi

rendah/paroksismal

Priodik/isoelekt

Bervariasi

rik
Mortalitas dan

disabilitas
neurologik
tinggi
2.7.2

Sumber : Richard EB, Robert MK, Ann MA


Sistem kardiovaskular.
Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi
miokardium yang dapat berakhir dengan payah jantung. Disfungsi
miokarduim terjadi karena menurunnya perfusi yang disertai dengan
kerusakan sel miokardium terutama di daerah sub-endokardial dan

2.7.3

otot papilaris di kedua bilik jantung.20


Ginjal.
Asfiksia berat dapat menyebabkan perfusi ginjal menurun, hipoksia
yang berlangsung lama akan menyebabkan iskemia ginjal dan dapat

2.7.4

berlanjut menjadi Gagal Ginjal Akut instrinsik (GGA).20


Pulmonal.
Dampak asfiksia terhadap paru adalah hipertensi pulmonal persiten ini
terjadi karena aliran dari kiri ke kanan melalui duktus arteriosus paten
dan foramen ovale setelah lahir disebabkan oleh tahanan vaskuler
pulmonal yang sangat tinggi. Tahanan vaskuler pulmonal janin
biasanya meningkat relatif terhadap tekanan sistemik atau pulmonal
setelah jalan lahir. Keadaan janin ini memungkinkan aliran darah vena
umbilikalis yang teroksigenasi ke atrium kiri dan otak melalui
voramen ovale dan langsung menuju paru melalui duktus arteriosus ke
aorta desendens. Sesudah lahir tahanan vaskuler pulmonal secara
normal menurun dengan cepat sebagai akibat ,vasodilatasi karena
udara mengisi paru, kenaikan pada PaO 2 , kenaikan pH dan pelepasan

29

bahan-bahan vasoaktif. Kenaikan tahanan vaskuler pulmonal pada


neonatus dapat berupa:8
1. Maladaptive karena jejas akut misalnya ; tidak memperlihatkan
vasodilatasi yang normal pada respons terhadap kenaikan
oksigen dan perubahan lain sesudah lahir.
2. Akibat dari bertambah tebalnya otot tunika media arteri
pulmonalis dan perluasan lapisan otot polos kedalam lapisan
yang biasanya nonmuskular, arteri pulmonalis yang lebih
perifer dalam responnya terhadap hipoksia janin yang kronis.
3. Karena hipoplasia pulmonal.
4. Obstruktif karena polisitemia atau anomali total muara vena
pulmonalis.
2.8 Prognosis.
Hasil akhir asfiksia neonatal berganrung pada apakah komplikasi metabolik
dan kardiopulmonalnya (hipoksia, syok, dan hipoglikemia) dapat diobati. Pada
umur kehamilan bayi prognosis paling jelek yaitu jika bayi preaterm. 8 Dilihat
dari beratnya dampak pada sistem saraf HIE ringan hingga sedang memiliki
prognosis yang baik sedangkan HIE berat memiliki prognosis yang buruk. Jika
terjadi iskemia miokardium, prognosisnya baik fungsi jantung akan kembali
normal dalam tiga minggu.

30

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang di lakukan adalah penelitian deskriptif dengan
pendekatan retrospektif
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian.
3.2.1
Tempat Penelitian.
Penelitian ini dilakukan di Ruang Perawatan Bayi Baru Lahir
RSUD DOK II Jayapura.
Waktu Penelitian.
Penelitian ini di laksanakan mulai dari bulan Juni-Agustus 2014
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian.
3.3.1
Populasi Penelitian.
Populasi penelitian adalah bayi baru lahir dengan asfiksia yang
3.2.2

lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura Periode Januari


3.3.2

2013- Desember 2013, yang berjumlah 23 bayi.


Sampel Penelitian.
Sampel penelitian adalah bayi dengan asfiksia yang memiliki
data rekam medik lengkap, di Rumah Sakit Umum Daerah
Jayapura Periode Januari 2013- Desember 2013, yang berjumlah
22 bayi.

3.4 Variabel.
Variabel yang diambil dalam penelitian ini adalah :
1. Kematian.
2. Jenis kelamin.
3. Faktor risiko bayi.
4. Faktor risiko ibu
5. Faktor risiko persalinan.
3.5 Definisi Operasional.
3.5.1 Kematian.

31

Kematian adalah keadaan yang ditandai dengan tidak adanya tandatanda kehidupan seperti tidak bernafas, tidak bergerak, dan tanpa
3.5.2

3.5.3

adanya bunyi jantung, yang tercatat dalam rekam medis.


Jenis kelamin.
Jenis kelamin adalah jenis kelamin bayi yang dilahirkan yang tercatat
pada rekam medis. Jenis kelamin dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :
1. Laki-laki.
2. Perempuan.
Faktor risiko bayi.
Faktor risiko bayi adalah berbagai kondisi bayi (termasuk plasenta dan
tali pusat) yang dapat mempengaruhi keadaan bayi saat dilahirkan.
Faktor risiko pada bayi meliputi :
1. Berat badan lahir bayi ( BBLR <2500gr, berat bayi normal

3.5.4

2500-4000gr, dan berat bayi lahir lebih >4000gr).


2. Kelainan plasenta (plasenta previa dan solutio plasenta).
3. Lilitan tali pusat.
Faktor risiko ibu.
Faktor risiko pada ibu adalah berbagai kondisi atau keadaan ibu yang
dapat mempengaruhi bayi pada saat dilahirkan. Faktor risiko pada ibu
di kelompokan menjadi :
1. Usia ibu (Ibu risiko tinggi <20th & >35th, ibu risiko rendah 25-

3.5.5

35th).
2. Penyakit penyerta pada ibu (Pre-eklamsia, Anemia,dll)
3. Usia gestasi (aterm 37 minggu dan pre-aterm <37 minggu).
4. Paritas ( primipara, multipara, dan grande multipara).
5. Ketuban pecah dini.
Faktor risiko persalinan.
Faktor risiko persalinan adalah berbagai keadaan saat proses
mengeluarkan bayi dari rahim ibu yang dapat mempengaruhi kondisi
bayi saat dilahirkan. Faktor resiko persalinan meliputi :
1. Cara persalinan (Spontan, sectio cessarea, vakum / forceps).
2. Letak abnormal ( letak lintang, letak sungsang, dll).
3. Aspirasi meconeal.

32

3.6 Instrumen Penelitian.


Instrumen penelitian adalah rekam medik pasien asfiksia neonatorum yang
dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura Periode Januari 2013Desember 2013.
3.7 Sumber Data.
Sumber data yang digunakan yaitu data sekunder yang diambil dari data
rekam medik bayi dengan asfiksia neonatorum di Rumah Sakit Umum
Daerah Jayapura Periode Januari 2013- Desember 2013.
3.8 Cara Pengambilan Data
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diambil dari buku catatan
rekam medik bayi dengan asfiksia neonatorum di Rumah Sakit Umum
Daerah Jayapura Periode Januari 2013- Desember 2013.
3.9 Cara Pengolahan Data.
Teknik pengolahan data dilakukan secara deskriptif dimana data ditampilkan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan prosentasi.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

33

4.1 Hasil
Populasi penelitian adalah semua bayi baru lahir dengan asfiksia di Rumah
Sakit Umum Daerah Jayapura Periode Januari-Desember 2013 yang
berjumlah 23 bayi. Namun analisa hanya dilakukan pada 22 kasus yang
memiliki data rekam medik yang lengkap.
Karakteristik 22 pasien dengan asfiksia neonatorum dalam tabel di
bawah ini :
4.1.1

Karakteristik

asfiksia

neonatorum

berdasarkan

bayi

yang

mengalami kematian.
Tabel 4.1 Karakteristik berdasarkan bayi yang mengalami kematian.
No Keadaan Bayi
Frekuensi
Presentase
1
Hidup
12
54%
2
Mati
10
46%
Jumlah
22
100%
Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan dari 22 bayi 12 bayi lahir hidup dengan
persentase 54% dan 10 bayi dengan persentase 46% mengalami kematian.

4.1.2

Karakteristik bayi baru lahir dengan asfiksia berdasarkan jenis


kelamin.
Tabel 4.2 karakteristik berdasarkan jenis kelamin.

No Jenis Kelamin
1
Perempuan
2
Laki-laki
Jumlah

Frekuensi
13
9
22

34

Presentase
59%
41%
100%

Dalam penelitian ini bayi yang lahir dengan jenis kelamin perempuan
sebanyak 13 bayi dengan persentase 59% dan bayi dengan jenis kelamin
laki-laki sebanyak 9 bayi dengan persentase 41%.
4.1.3

Karakteristik bayi baru lahir dengan asfiksia berdasarkan faktor


risiko bayi.
Faktor risiko penyerta pada bayi dibagi menjadi 4 yaitu Berat lahir
bayi, air ketuban yang bercampur mekoneal, adanya kelainan plasenta
seperti plasenta previa dan adanya lilitan tali pusat.
Tabel 4.3 Karakteristik berdasarkan faktor risiko bayi.

No Faktor Risiko Bayi


1 Berat Lahir
<2500 gr
2500-4000 gr
Jumlah
2
Tanpa kelainan plasenta
Kelainan Plasenta (Plasenta previa)
Jumlah

Frekuensi

Presentase

8
14
22
17
5
22

36%
64%
100%
87%
23%
100%

21
1
22

96%
4%
100%

Tanpa lilitan tali pusat


Lilitan Tali Pusat
Jumlah

Dari hasil penelitian diatas didapatkan bahwa bayi berat lahir <2500gr
sebanyak 8 bayi dengan persentase 36%, jumlah terbanyak yaitu bayi
dengan berat 2500-4000gr sebanyak 14 bayi dengan persentase 64%, dan
tidak ada bayi dengan berat >4000gr.
Kelainan plasenta (plasenta previa) dan lilitan tali pusat juga menjadi
faktor risiko terjadinya asfiksia. Pada penelitian ini bayi dengan kelainan

35

plasenta berjumlah 5 bayi dengan persentase 23%, sedangkan bayi dengan


lilitan tali pusat hanya 1 bayi dari 22 bayi yaitu dengan persentase 4%.
4.1.4

Karakteristik bayi baru lahir dengan asfiksia berdasarkan faktor


risiko ibu.
Tabel 4.4 Klasifikasi berdasarkan faktor risiko ibu

No Faktor Ibu
1
Usia Ibu
Resiko Rendah (20-35th)
Resiko Tinggi (<20 & >35th)
Jumlah
2
Penyakit Penyerta Pada Ibu
Ibu Sehat Tanpa Penyakit Penyerta
Ibu dengan Penyakit Penyerta
- Pre-eklamsi/Eklamsi
Jumlah
3
Usia Gestasi
Bayi Cukup Bulan
Jumlah
4
Paritas
Primipara
Multipara
Grande multipara
Jumlah
5
Ketuban Pecah Dini

Frekuensi

Persentase

16
6
22

73%
27%
100%

19

87%

3
22

14%
100%

22
22

100%
100%

5
13
4
22
2

23%
59%
18%
100%
9%

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan ibu dengan usia < 20 tahun


dan usia >35 tahun (faktor risiko tinggi) jumlahnya lebih sedikit yaitu 6
ibu dengan persentase 27% dibandingkan dengan ibu yang berusia 20-35
tahun (faktor risiko rendah) yang berjumlah 16 ibu dengan persentase
73%.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ibu yang menderita
penyakit penyerta dalam kehamilan sebanyak 3 ibu dari 22 ibu dengan

36

persentase 14%, dan ibu sehat tanpa penyakit penyerta sebanyak 19 ibu
dengan presentase 86%.
Dari hasil penelitian didapatkan ibu primipara berjumlah 5 ibu
dengan persentase 23%, ibu multipara berjumlah 13 ibu dengan presentase
59%, dan ibu grandemultipara sebanyak 4 ibu dengan presentase 18%.
Dalam penelitian ini semua bayi dengan asfiksia lahir dengan usia
cukup bulan.
Faktor risiko saat persalinan lainnya yang dapat meningkatnya
angka kejadian asfiksia yaitu ketuban pecah dini (KPD), pada penelitian
ini di dapatkan 2 ibu mengalami KPD dengan persentase 9%.
4.1.5

Karakteristik bayi baru lahir dengan asfiksia berdasarkan faktor


risiko persalinan.
Faktor risiko saat persalinan terdiri dari cara persalinan, ketuban
pecah dini, dan presentasi abnormal bayi.
Tabel 4.5 Karakteristik berdasarkan faktor risiko persalinan.

No Faktor persalinan
1
Cara Persalinan
Spontan
Sectio cessarea
Jumlah
2
Presentasi Abnormal
Normal
Letak Sungsang
Letak Lintang
3
Tanpa mekoneal
Sindrom aspirasi mekoneum
Jumlah
Jumlah

37

frekuensi

Persentase

11
11
22

50%
50%
100%

19
1
2
19
3
22

87%
4%
9%
86%
14%
100%

22

100%

Berdasarkan

hasil

penelitian

didapatkan

bahwa

ibu

yang

melahirkan spontan dan melahirkan dengan tindakan yaitu sectio cessarea


memiliki jumlah yang sama yaitu masing-masing 11 orang dengan
persentase 50%.
Dalam penelitian ini presentasi janin abnormal juga merupakan
faktor risiko persalinan, terdapat 1 bayi dengan letak sungsang dengan
persentase 4% dan 2 bayi dengan letak lintang dengan persentase 9%.
Faktor lain pada bayi yang dapat menyebabkan asfiksia adalah sindrom
aspirasi mekoneum, dari hasil penelitian ini didapatkan 3 bayi dari 22 bayi
dengan persentase 14%.
4.2 Pembahasan.
4.2.1 Karakteristik asfiksia neonatorum berdasarkan bayi yang
mengalami kematian.
Dari hasil penelitian didapatkan dari 22 bayi 12 bayi lahir hidup dengan
persentasi 54% dan 10 bayi dengan persentasi 46% mengalami kematian.
Karakteristik 10 bayi yang mengalami kematian akibat asfiksia disebabkan
karena adanya faktor risiko penyakit pernyerta pada ibu (pre-eklamsia
berat) pada 3 bayi, adanya sindrom aspirasi mekoneum pada 3 bayi,
adanya kelainan plasenta (plasenta previa) pada 2 bayi serta 2 bayi dengan
ibu usia 23 tahun dan 41 tahun (usia resiko tinggi) .
Bayi yang hidup tergolong banyak ini disebabkan resusitasi yang baik
oleh penolong persalinan, semakin baiknya sarana dan prasarana serta
pelayanan RS guna penanganan khusus bayi baru lahir yang mengalami
masalah. Namun kematian bayi karena asfiksia dapat dikarenakan oleh

38

keterlambatan akses untuk memperoleh tindakan preventif pada ibu yang


memiliki resiko tinggi.21
4.2.2 Karakteristik bayi baru lahir dengan asfiksia berdasarkan jenis
kelamin.
Asfiksia merupakan kasus yang dapat terjadi pada semua bayi,
baik perempuan maupun laki-laki. Dalam penelitian ini bayi yang lahir
dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 13 bayi dengan persentase
59% dan bayi dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 9 bayi dengan
persentase 41%. Hasil yang didapatkan berbeda dengan penelitian yang
dilakukan di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode juli 2010
juli 2012 didapatkan terdapat jumlah bayi laki-laki lebih banyak daripada
bayi perempuan yaitu 66 bayi laki-laki (62,9%) dan 39 perempuan
(37,1%). Penelitian sebelumnya di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin,
Bandung dimana dari 62 bayi berjenis kelamin laki-laki (56%) lebih
banyak dibandingkan dengan perempuan (44%). Berdasarkan teori yang
ada asfiksia neonatorum lebih banyak terjadi pada bayi laki-laki diduga
terkait dengan perbedaan steroid gonad in utero sehingga kemampuan
fetus laki-laki menghadapi stres lebih rendah. 22 Sedangkan pada
penelitian ini terbanyak adalah bayi perempuan yang mengalami asfiksia
dikarenakan rata-rata bayi perempuan pada penelitian ini disertai dengan
penyerta yang berat seperti plasenta previa, ibu PEB, presentasi
abnormal, dan KPD. Kurangnya jumlah sampel akibat pencatatan rekam
medik yang kurang baik juga menjadi penyebab bayi perempuan yang
paling banyak terdata.

39

4.2.3

Karakteristik bayi baru lahir dengan asfiksia berdasarkan faktor


risiko bayi.
a. Berat lahir.
Berat lahir bayi berkaitan dengan masa gestasi makin rendah masa
gestasi dan makin kecil bayi makin tinggi morbiditas dan
mortalitasnya. Makin rendah berat lahir bayi kemungkinan terjadinya
asfiksia dan gangguan pernafasan lebih besar. Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa berat lahir bayi <2500gr sebanyak 8 bayi dengan
persentase 36%, jumlah terbanyak yaitu bayi dengan berat 25004000gr sebanyak 14 bayi dengan persentase 64%, dan tidak ada bayi
dengan berat >4000gr. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini sama
dengan hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum
Kabupaten Purworejo pada tahun 2003 yaitu terbanyak pada bayi
dengan berat lahir >2500 sebanyak 81,6%, dan bayi dengan berat
lahir <2500gr sebanyak 18,4%.23 Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan teori yang ada karena didapatkan bayi dengan berat 25004000gr (resiko rendah) terbanyak

disebabkan seiring berjalannya

waktu semakin meningkatnya kualitas hidup seseorang sehingga


semakin banyak bayi yang lahir dengan berat lahir normal, namun
pada penelitian ini ada faktor risiko lain yang menyertai bayi dengan
berat 2500-4000gr seperti adanya mekoneum dalam air ketuban, kala
II lama, PEB pada ibu, presentasi janin abnormal, dan ketuban pecah
dini. Sedangkan pada bayi dengan berat <2500gr rata-rata ditemukan

40

pada bayi dengan ibu usia <25tahun dan >35tahun (usia risiko
tinggi), bayi dengan kelainan plasenta dan bayi kembar.
b. Kelainan plasenta dan lilitan tali pusat.
Kelainan plasenta (plasenta previa) dan lilitan tali pusat juga menjadi
faktor risiko terjadinya asfiksia. Pada penelitian ini bayi dengan
kelainan plasenta berjumlah 5 bayi dengan persentase 23%,
sedangkan bayi dengan lilitan tali pusat hanya 1 bayi dari 22 bayi
yaitu dengan persentase 4%. Pada penelitian ini 5 bayi dengan
plasenta previa rata-rata terjadi pada ibu multipara, grandemultipara
dan ibu yang menderita pre-eklamsia berat dikarenakan pada
multipara dan grandemultipara vaskularisasi endometrium kurang
baik sehingga mendesak plasenta harus tumbuh meluas untuk
mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang tumbuh meluas nantinya
akan mendekati atau menutupi osteum uteri interna (plasenta
previa).10 Sedangkan lilitan tali pusat menyebabkan sirkulasi darah
melalui tali pusat terhalang dan nantinya menyebabkan hipoksia
janin.8
4.2.4

Karakteristik bayi baru lahir dengan asfiksia berdasarkan faktor


risiko ibu.
a. Usia ibu.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan ibu dengan usia <20 tahun
dan usia >35 tahun (risiko tinggi) jumlahnya lebih sedikit yaitu 6 ibu
dengan persentase 27% dibandingkan dengan ibu yang berusia 20-35
tahun (risiko rendah) yang berjumlah 16 ibu dengan persentase 73%.
Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit

41

Umum Kabupaten Purworejo Tahun 2003 yaitu ibu dengan resiko


tinggi jumlahnya 20,9% lebih kecil jika dibandingkan dengan ibu
dengan resiko rendah yaitu 79,1%.23 Usia ibu terbanyak

pada

penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa ibu
usia <20tahun dan >35tahun merupakan usia

risiko tinggi, pada

penelitian ini ibu terbanyak dengan usia 20-35

tahun karena

kelompok usia ini adalah usia yang subur untuk hamil dan
melahirkan, pada usia ini pula ibu cenderung mengalami penyakit
penyerta PEB, ibu multipara, plasenta previa, BBLR, dan bayi
gemelly.
b. Penyakit penyerta ibu
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ibu yang menderita penyakit
penyerta dalam kehamilan sebanyak 3 dari 22 ibu dengan persentase
14%. Pada penelitian di Rumah Sakit Umum Kabupaten Purworejo
Tahun 2003 menunjukan ibu yang menderita penyakit penyerta dalam
kehamilan hanya 1 dari 79 ibu dengan persentasi 1,3%. 23 Dalam
penelitian ini jenis penyakit penyerta pada ibu yang paling sering
menyertai adalah Pre-eklamsia berat. Pre-eklamsia menyebabkan
asfiksia karena terjadi gangguan sirkulasi retroplasenta yang
menyebabkan spasme arteriol, jika spasme arteriol terjadi secara
berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin.24
Teori ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa bayi dengan ibu
PEB rata-rata mengalami asfiksia dan memiliki berat lahir rendah.
c. Usia gestasi.

42

Usia gestasi pre-aterm dan serotinus lebih berpeluang melahirkan


bayi asfiksia sebesar 2,9 kali dibandingkan dengan yang yang tidak
berisiko (aterm) ini dikarenakan fungsi organ yang belum sempurna
pada bayi pre-aterm dan penuaan plasenta pada bayi serotinus.25
Dalam penelitian ini semua bayi dengan asfiksia lahir dengan usia
cukup bulan. Berbeda dengan penelitian di Rumah Sakit Umum
Kabupaten Purworejo Tahun 2003 menunjukan bahwa bayi dengan
usia kehamilan aterm 37minggu memiliki persentasi terbanyak
yaitu 75%, dan bayi dengan usia < 37 sebanyak 25%. 23 Hasil
penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada dikarenakan adanya
faktor risiko lain yang lebih dominan menyebabkan asfiksia janin
seperti adanya penyakit penyerta pada ibu, kelainan plasenta, air
ketuban bercampur mekoneal, dan jumlah paritas yang tinggi.
d. Paritas.
Dari hasil penelitian didapatkan terbanyak berturut-turut ibu
multipara berjumlah 13 ibu dengan presentase 59%, ibu primipara
berjumlah 5 ibu dengan persentase 23%, dan ibu grandemultipara
sebanyak 4 ibu dengan presentase 18%. Berbeda dengan penelitian
yang dilakukan di Rumah Sakit Islam Surakarta yaitu terbanyak ibu
primipara 53,3%, multipara 30%,dan grandemultipara 16,7%.
Menurut teori yang ada bahwa paritas yang tingi seperti pada
multipara atau grandemultipara memungkinkan terjadinya penyulit
kehamilan dan persalinan yang dapat menyebabkan terganggunya
transport O2 dari ibu ke janin yang akan menyebabkan asfiksia pada

43

bayi baru lahir. Namun pada ibu primipara juga berisiko karena
persalinan akan berlangsung lama karena otot-otot rahim belum
pernah diregangkan sebelumnya, dan kemungkinan besar akan
menyebabkan hipoksia janin.13
e. Ketuban pecah dini.
Faktor risiko saat persalinan lainnya yang dapat meningkatnya angka
kejadian asfiksia yaitu ketuban pecah dini (KPD), pada penelitian ini
didapatkan 2 ibu mengalami KPD dengan persentase 9%. Pada
penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah
Sewirigading tahun 2012, KPD hanya terjadi pada sebagian kecil ibu
yaitu 37,9%.27 Walaupun hanya terjadi pada sebagian kecil ibu namun
KPD menyebabkan prolapsus funiculli yang berujung pada asfiksia.
Ibu yang mengalami KPD 50-75% akan mengalami persalinan secara
spontan dalam waktu 48 jam. 33% akan mengalami sindrom gawat
nafas, dan 1-2% kemungkinan mengalami kematian janin. Semakin
lama KPD terjadi semakin besar kemungkinan komplikasi terjadi,
sehingga meningkatkan risiko asfiksia.27 Penelitian ini sesuai dengan
teori yang ada bahwa 2 ibu yang mengalami KPD melahirkan secara
spontan dan terjadi komplikasi pada bayi yaitu asfiksia.

4.2.5

Karakteristik bayi baru lahir dengan asfiksia berdasarkan faktor


risiko persalinan.
a. Cara persalinan.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa ibu yang melahirkan
spontan dan melahirkan dengan tindakan yaitu sectio cessarea

44

memiliki jumlah yang sama yaitu masing-masing 11 orang dengan


persentase 50%. Dalam penelitian ini ibu yang melahirkan dengan
cara sectio cessarea memang memiliki penyulit yang diindikasikan
untuk persalinan secara sectio cessarea yaitu

2 ibu dengan pre-

eklamsia berat, 5 ibu dengan plasenta previa, 1 ibu dengan bayi


gemelly (letak lintang), 1 ibu dengan bayi besar 4000gr, 2 ibu
primipara yang kemungkinan memiliki panggul sempit yang tidak
memungkinkan untuk kelahiran normal. Pada penelitian di Rumah
Sakit Islam Surakarta menunjukan bahwa persalinan dengan section
cessarea 57%, kemudian diikuti dengan persalinan spontan 33%, dan
dengan vakum atau forceps 10%.13 Berbeda dengan penelitian di
Rumah Sakit Umum Kabupaten Purworejo Tahun 2003 terbanyak
yaitu persalinan spontan 64,6% dan sectio cessarea 35,4%.23 Jadi cara
persalinan tergantung dari indikasi yang menyertai ibu, serta
kecepatan pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan sectio
dan lamanya operasi juga akan mempengaruhi keadaan bayi.
b. Presentasi janin abnormal.
Dalam penelitian ini presentasi janin abnormal juga merupakan faktor
risiko persalinan, terdapat 1 bayi dengan letak sungsang dengan
persentase 4% dan 2 bayi dengan letak lintang dengan persentase 9%.
Kedua bayi dengan letak lintang merupakan bayi gemelly. Walaupun
bayi dengan letak lintang dan sungsang sangat sedikit namun hasil
penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di

45

Rumah Sakit Umum Kabupaten Purworejo tahun 2003 yaitu bayi


dengan letak lintang atau sungsang sebanyak 10,8%.23 Pada letak
sungsang bahaya asfiksia terjadi apabila kepala tidak lahir lebih dari
delapan menit, maupun karena manipulasi berlebihan oleh penolong
persalinan (pada letak lintang) sehingga menyebabkan trauma dan
hipoksia janin.
c. Sindrom aspirasi meconeum (SAM).
Faktor lain pada bayi yang dapat menyebabkan asfiksia adalah
sindrom aspirasi mekoneum, dari hasil penelitian ini didapatkan 3
bayi dari 22 bayi dengan persentase 14%. Air ketuban campur
mekoneal (air ketuban keruh) terjadi pada 8-16% dari seluruh
persalinan, yang menjadi petunjuk adanya gawat janin, namun tidak
semua air ketuban keruh dapat berkembang menjadi sindrom aspirasi
mekoneum hanya 11% saja yang dapat berkembang menjadi SAM. 28
Dalam penelitian ini bayi dengan SAM semuanya mengalami
kematian.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian 22 bayi dengan asfiksia adalah.

46

1. Selama periode Januari-Desember 2013 sebanyak 10 (46%) kasus bayi


2.

meninggal karena asfiksia.


Asfiksia terbanyak pada bayi dengan jenis kelamin perempuan yaitu

sebanyak 13 (59%).
3. Faktor risiko pada bayi :
a. Bayi dengan asfiksia terbanyak lahir dengan berat badan 2500-4000gr
yaitu 14 (64%).
b. Kelainan plasenta (plasenta previa) didapatkan pada 5( 23%) kasus.
c. Lilitan tali pusat didapatkan pada 1 bayi dengan persentasi 4%.
4. Faktor risiko pada ibu :
a. Kelompok usia ibu terbanyak adalah usia 25-35tahun yaitu 12 (54%)
ibu.
b. Ibu dengan penyakit penyerta yaitu PEB sebanyak 3 (14%) ibu.
c. Usia kehamilan pada penelitian ini yaitu semua bayi cukup bulan
100%.
d. Paritas terbanyak yaitu ibu multipara sebanyak 13 (59%).
e. Ibu dengan KPD sebanyak 2 ibu dengan presentasi 9%.
5. Faktor risiko persalinan :
a. Ibu melahirkan dengan cara spontan dan section cessarea jumlahnya
sama yaitu 11 ( 50%) ibu.
b. Presentasi bayi abnormal terbanyak yaitu pada bayi letak lintang 2
(9%) bayi.
c. Air ketuban bercampur meconeal didapatkan pada 3 (14%) kasus.
5.2 Saran.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka saran yang dapat penulis berikan yaitu :
1. Bagi dinas kesehatan, untuk mengadakan Konseling Informasi Edukasi
(KIE) secara rutin terhadap ibu hamil di fasilitas kesehatan primer untuk
mengetahui faktor risiko secara dini.
2. Puskesmas dan rumah sakit perlu lebih aktif melakukan skrining pada ibu
dengan kehamilan berisiko tinggi, agar tindakan preventif dan penanganan
dapat dilakukan secara dini.

47

3. Melakukan pelatihan menejemen perawatan bayi baru lahir dengan


asfiksia guna meningkatkan kinerja petugas kesehatan puskesmas dan
rumah sakit agar pelayanan menjadi lebih baik
4. Melakukan pelatihan dan evaluasi pencatatan serta pelaporan data rekam
medik, terhadap dokter, perawat, dan petugas administrasi guna
kepentingan penelitian selanjutnya.
5. Melakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih banyak untuk

mengetahui karakteristik asfiksia pada bayi baru lahir secara lebih jelas.

48

Anda mungkin juga menyukai