Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH KELOMPOK 5

"ASFIKSIA PADA NEONATUS"

Disusun Oleh :

Rauzatul Jinani (P00824520022)

Origa Nasha (P00824520017)

Dosen Pembimbing :

Rayana Iswani S.Pd,M.Kes

POLTEKKES KEMENKES ACEH

PRODI KEBIDANAN ACEH UTARA

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat karuniaNyalah, makalah
yang berjudul “Asfiksia Pada Bayi Bari Lahir ”ini bisa diselesaikan. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah askep kebidanan. Tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk
menambah pengetahuan tentang asfiksia pada bayi baru lahir dan penanganannya agar dapat
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada neonatus,sehingga dengan mengetahui
penanganannya yang benar, seorang tenaga kesehatan dapat segera mengambil tindakan sehingga
dapat meningkatkan pelayanan kesehatan neonatus yang optimal.Penulis juga menyampaikan rasa
terima kasih kepada Dosen yang telah memberikan tugas untuk menulis makalah ini, serta kepada
siapa saja yang telah terlibat dalam proses penulisannya, yang senantiasa memotivasi.Akhirnya,
harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Penulis telah berusaha sebisa
mungkin untuk menyelesaikan makalah ini, namun penulis menyadari makalah inibelumlah
sempurna.Oleh karena itu, penulis mengharapakan kritik dan saran yang sifatnya membangun
guna menyempurnakan makalah ini.

Matang Tunong,10 okt 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar belakang

B.Rumusan masalah

C.Tujuan penulisan

D.Manfaat penulisan

BAB ll PEMBAHASAN

A.Pengertian Asfiksia

B.Diaknosis

C.Klasifikasi Asfiksia

D.Penyebab Terjadinya Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir

E.Patofisiologi Asfiksia

BAB lll PENUTUP

Kesimpulan

Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB l
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Asfiksia neonatorum didefinisikan sebagai kegagalan bayi untuk memulai bernafas segera setelah lahir
dan mempertahankan beberapa saat setelah lahir (WHO, 2012). Asfiksia neunatorum adalah bayi tidak
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir atau beberapa saat setelah lahir (kemenkes RI,
2015). Asfiksia yang terjadi segera setelah bayi lahir apabila tidak ditangani dapat menyebabkan
berbagai komplikasi pada bayi diantaranya terjadi hipoksia iskemik ensefalopi, edema serebri, kecacatan
cerebral palsy pada otak; hipertensi pulmonal presisten pada neonatus, perdarahan paru dan edema
paru pada jantung dan paru-paru;enterokolitisnektrotikana pada gestasional; tubular nekrosis akut,
Syndrome of Inapropiate Antidiuretic Hormone (siadh) pada ginjal; dan Disseminataed Intravascular
Coagulation (DIC) pada system hematologi (Maryunani, 2016).

Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 angka kematian bayi turun 31
persen dari 35 kematian per 1.000 kelahiran hidup menjadi 24 kematian per 1.000 kelahiran hidup
(SDKI, 2017), Data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2012 menyatakan bahwa
penyebab terbesar kematian bayi baru lahir adalah asfiksia yaitu sebesar 37% , dan diikuti oleh prematur
sebesar 34% serta sepsis sebesar 12% ( Profil keshatan RI, 2012 dalam muthia 2017).

B.Rumusan Masalah

1. Pengertian ASFIKSIA pada bayi baru lahir


2. Penyebab dan patofisiologi pada bayi ASFIKSIA

C.Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian ASFIKSIA


2. Untuk mengetahui penyebab dan patofisiologi ASFIKSIA

D.Manfaat

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang fisiologis ASFIKSIA pada BBL

BAB ll

TINJAUAN PUSTAKA

A.PENGERTIAN ASFIKSIA
Asfiksia neonatrum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidakdapat bernapas spontan dan teratur,
sehingga dapat menurunkan oksigen dan semakin meningkatkan kadar karbondioksida yang
dapatmenimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. Asfiksia neonatorum merupakan sebuah
emergensi neonatal yang dapat mengakibatkan hipoksia(rendahnya suplai oksigen ke otak dan jaringan)
dan kemungkinan kerusakan otak atau kematian apabila tidak ditangani dengan benar.

Asfiksia dikatakan sebagai hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Apabila proses ini
berlangsung lebih jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Pada bayi yang mengalami
kekurangan oksigen akan terjadi pernapasan yang cepat dalam periode yang singkat.

Gejala dan Tanda-tanda Asfiksia :

 Tidak bernafas atau nafas mega-megap


 Warna kulit kebiruan
 Kejang
 Penurunan kesadaran
 DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur
 Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala

B.DIAGNOSA ASFIKSIA

Oxorn dan William menyebutkan bahwa dalam melakukan diagnosis asfiksia neonatorum ada beberapa
cara, yaitu sebagai berikut:

1. Antepartum
Adanya pola abnormal (nonreaktif) pada nonstress fetal heartmonitoring, serta terjadi pola
deselerasi lanjut pada conctraction stresstest.
2. Intrapartum
Terjadi bradikardi, yaitu denyutan dibawah 100 per menit antara kontraksi rahim atau pola yang
abnormal, adanya iregularitas denyut jantung janin yang jelas, terjadi trakikardi yaitu denyutan
di atas 160 kali per menit (terjadi silih berganti dengan bradikardi), poladeselerasi lanjut pada
frekuensi denyut jantung janin dan keluarnya mekonium pada presentasi kepala.
3. Postpartum
Keadaan bayi ditentukan dengan skor Appearance, Pulse, Grimace,Activity, Respiration (APGAR).
APGAR merupakan suatu metodeuntuk menentukan tingkatan keadaan bayi baru lahir: angka 0,
1 atau 2 untuk masing-masing dari lima tanda, yang bergantung pada ada atau tidaknya tanda
tersebut. Penentuan tingkatan ini dilakukan 1 menit setelah lahir dan diulang setelah 5 menit.

C.KLASIFIKASI ASFIKSIA
Menurut Marmi dan Rahardjo, asfiksia di klasifikasikan sebagaiberikut :

a) Virgorous baby
Skor APGAR 7-10, dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidakmemerlukan tindakan resusitasi.

b) Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang)


Nilai APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensijantung lebih dari 100 kali/menit, tonus
otot kurang baik atau baik,sianosis dan refleks iritabilitas tidak ada.

c) Asfiksia berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensijantung kurang dari 100 kali/menit, tonus
otot buruk, sianosis beratyang kadang-kadang pucat dan refleks iritabilitas tidak ada.

D.PENYEBAB TERJADINYA ASFIKSIA

Faktor risiko yang dapat menyebabkan asfiksia yaitu faktor antepartum meliputi paritas, usia ibu,
hipertensi dalam kehamilan, kadar haemoglobin, dan perdarahan antepartum. Faktor intrapartum
meliputi lama persalinan, KPD, dan jenis persalinan. Faktor janin yaitu prematuritas dan berat bayi lahir
rendah.

a) Faktor Antepartum
1) Paritas
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita (BKKBN, 2006). Menurut
Manuaba (2008),paritas adalah wanita yang pernah melahirkan bayi aterm. Paritas yang rendah (paritas
satu) menunjukkan ketidaksiapan ibu dalam menangani komplikasi yang terjadi dalam kehamilan,
persalinan dan nifas. Paritas 1 berisiko karena ibu belum siap secara medis maupun secara mental.
Paritas yang tinggi memungkinkan terjadinya penyulit kehamilan dan persalinan yang dapat
menyebabkan asfiksia yang dapat dinilai dari APGAR Scrore menit pertama setelah lahir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa primiparity merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan kuat
terhadap mortalitas asfiksia, sedangkan paritas 4, secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk
menjalani kehamilan. Keadaan tersebut memberikan pengaruh untuk terjadi perdarahan, plasenta
previa, ruptur uteri, solutio plasenta yang dapat berakhir dengan terjadinya asfiksia bayi baru lahir.

Klasifikasi paritas antara lain:


Primipara

 Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak,yang cukup mampu untuk hidup.
 Multipara
Multipara adalah wanita yang sudah melahirkan bayi aterm sebanyak lebih dari satu kali.

 Grandemultipara
Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan biasanya
mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan antara paritas dengan asfiksia
neonatorum dengan OR = 1,74,yang berarti bahwa ibu yang paritas dalam kategori beresiko
akan mengalami 1,74 kali mengalami afiksia neonatorum dibandingkan dengan ibu yang
paritasnya tidak beresiko.20 Dalam penelitian lain dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara paritas ibu dengan kejadian asfiksia neonatorum.

2) Usia Ibu

Sistem reproduksi yang matang dan siap digunakan adalah pada usia 20-35 tahun, sedangkan usia
reproduksi tidak sehat yaitu <20 tahun atau >35 tahun, yang dapat menimbulkan akibat buruk bagi
kesehatan ibu dan bayi yang akan dilahirkan. Pada usia ibu kurang dari 20 tahun, alat reproduksi belum
matang sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Hal
ini disebabkan karena ibu sedang dalam masa pertumbuhan ditambah faktor psikologis ibu yang belum
matang atau belum siap untuk menerima kehamilan. Pada usia lebih dari 35 tahun organ reproduksi
sudah mulai menurun fungsinya, masalah kesehatan seperti anemia dan penyakit kronis sering terjadi
pada usia tersebut.

Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara usia ibu dengan
kejadian asfiksia neonatorum karena usia ibu tidak secara langsung berpengaruh terhadap kejadian
asfiksia neonatorum, namun demikian telah lama diketahui bahwa usia berpengaruh terhadap rposes
reproduksi. Usia yang dianggap optimal untuk kehamilan adalah antara 20-30 tahun. Sedangkan
dibawah atau diatas usia tersebut akan meningkatkan risiko kehamilan maupun persalinan.Penelitian
lain menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara peningkatan usia ibu dengan kejadian
asfiksia. Usia di atas 30 tahun berisiko melahirkan bayi yang mengalami asfiksia sebanyak 1,4
kali.Sedangkan penelitian lain menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia ibu
dengan kejadian asfiksia neonatorum.

3).Hipertensi dalam Kehamilan


Hipertensi dalam kehamilan adalah kenaikan tekanan darah yang terjadi saat kehamilan berlangsung
dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan atau lebih seyelah 20 minggu usia kehamilan pada wanita
yang sebelumnya normotensif, tekaan darah mencapai nilai 140/90 mmHg atau kenaikan tekanan
sistolik 30 mmHg dan tekanan diastolik 15 mmHg diatas nilai normal.
Terdapat lima jenis penyakit hipertensi, antara lain:
a)) Hipertensi gestasional (dahulu hipertensi yang dipicu oleh kehamilan atau hipertensi transien).
b)) Preeklamsia
c)) Eklamsia
d)) Preeklamsia yang terjadi pada pengidap hipertensi kronik (superimposed)

e)) Hipertensi kronik.


Hipertensi dalam kehamilan didiagnosis apabila tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih
dengan menggunakan fase V Korotkoff untuk menentukan tekanan diastolik. Edema tidak lagi digunakan
sebagai kriteria diagnostik karena kelainan ini terjadi pada banyak wanita hamil normal sehingga tidak
lagi dapat digunakan sebagai faktor pembeda.

4) Kadar Haemoglobin
Kadar haemoglobin merupakan jumlah molekul di dalam eritrosit (sel darah merah) yang bertugas untuk
mengangkut oksigen ke otak dan seluruh tubuh. Apabila terjadi gangguan pengangkutan oksigen dari
ibu ke janin, maka dapat mengakibatkan asfiksia neonatorum yang menyebabkan kematian pada bayi.
Jika Hb berkurang, jaringan tubuh kekurangan oksigen.

D.PATOFISIOLOGI

Menurut Anik & Eka (2013:298), patofisiologi asfiksia neonatorum, dapat dijelaskan dalam dua tahap
yaitu dengan mengetahui cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir, dan dengan
mengetahui reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal, yang dijelaskan sebagai
berikut :

1) Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir :

a)Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan
karbondioksida.

 Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan
oksigen (pO2) parsial rendah.
 Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh
darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu
duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.

b) Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama oksigen.

 Cairan yang mengisi alveoli akan diserap kedalam jaringan paru, dan alveoli akan berisi
udara.
 Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir kedalam pembuluh
darah disekitar alveoli.
c) Arteri dan vena umbikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan
meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli,
pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah berkurang.

d) Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah


sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik
sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun.

 Oksigen yang diabsorbsi dialveoli oleh pembuluh darah divena pulmonalis dan darah yang
banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan keseluruh
tubuh bayi baru lahir.
 Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi
pembuluh darah paru.
 Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus
mulai menyempit.
 Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil
banyak oksigen untuk dialirkan keseluruh jaringan tubuh.

e) Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paru-parunya untuk
mendapatkan oksigen.

 Tangisan pertama dan tarikan nafas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan nafasnya.
 Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.
 Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari
abu-abu/biru menjadi kemerahan.

2) Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal :


a) Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara kedalam paru-parunya.

 Hal ini mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan insterstitial di paru esehingga
oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi.
 Jika keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan
dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen.

b) Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi kontriksi arteriol pada organ seperti usus, ginjal,
otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk
mempertahankan pasokan oksigen.

 Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital.
 Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi kegagalan
peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah, yang mengakibatkan aliran darah ke
seluruh organ berkurang.
 Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan menimbulkan
kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian.

1. Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis :
2. Tanda-tanda tonus otot tersebut seperti :

 Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain: depresi pernafasan
karena otak kekurangan oksigen.
 Brakikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot jantung atau
sel otak.
 Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau
kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan.
 Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru dan sianosis karena
kekurangan oksigen didalam darah.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Asfiksia yang terjadi segera setelah bayi lahir apabila tidak ditangani dapat menyebabkan berbagai
komplikasi pada bayi diantaranya terjadi hipoksia iskemik ensefalopi, edema serebri, kecacatan cerebral
palsy pada otak; hipertensi pulmonal presisten pada neonatus, perdarahan paru dan edema paru pada
jantung dan paru-paru;enterokolitisnektrotikana pada gestasional; tubular nekrosis akut, Syndrome of
Inapropiate Antidiuretic Hormone (siadh) pada ginjal; dan Disseminataed Intravascular Coagulation (DIC)
pada system hematologi (Maryunani, 2016).

Preeklamsia dapat menyebabkan asfiksia neonatorum baik secara langsung akibat perubahan patologis
ibu selama mengalami preeklamsia, atau akibat komplikasi janin yang merupakan dampak dari
preeklamsia itu sendiri, seperti IUGR, BBLR, dan BPD yang merupakan faktor risiko asfiksia neonatorum.
Karena pada prinsipnya preeklamsia menyebabkan aliran darah menuju fetoplasenta berkurang,
sehingga memengaruhi kondisi janin yang dikandung.

Saran
Bidan diharapkan dapat lebih proaktif dalam bekerja sama dengan instansi kesehatan, sehingga apabila
terdapat pasien yang perlu segera dirujuk dapat dilakukan rujukan secara cepat dan tepat dengan
harapan pasien dapat segera ditangani.

DAFTAR PUSTAKA

Helen, V. 200. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Edisi IV. Cetakan I. Jakarta. EGC
Hidayat,A.A. 200. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. http://one.indoskripsi.com.

Mansur, A. 2010. Penanganan Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir.

http://ummukautsar.wordpress.com.

Muchtar, R. 1998. Synopsis Obstetrik. Edisi II. Cetakan I. Jakarta. EGC.

Nusantara, J.W. 2010. All Problem Nursing Care. http://medlinux.blogspot.com,

Saifuddin, A.B. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta. YBP

Anda mungkin juga menyukai