Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“ASFIKSIA NEONATRUM”

DOSEN PENGAMPUH :

LINDA, SKM, M.KES

KELOMPOK 15

SRI ANGGRIANI ( PO7124120035 )

ASTI SUNDARI ( PO7124120056 )


Kata Pengantar
Puji dan syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan karuniaNya saya dan teman saya masih di beri kesempatan untuk
bekerja menyelesaikan makalah ini. Dimana makalah ini merupakah salah satu dari
tugas mata kuliah , yaitu “ASKEB NEONATUS”. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih
kepada dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan untuk menyelesaikan
makalah ini.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak


kekurangan, oleh sebab itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembacanya.

Palu 4 April 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang………………………………………………………………
B. Tujuan penulisan……………………………………………………………
C. Rumusan masalah…………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian asfiksia neonatrum……………………………………………..
B. Penyebab asfiksia neonatrum ……………………..……………….……………………………….
C. Gejala asfiksia neonatrum ……………………………………………….
D. Penanganan asfiksia neonatrum …………………………………….
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………
B. Saran……………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang mengalami
gangguan tidak segera bernafas atau gagal bernapas secara spontan dan teratur setelah
lahir (Herdman & Kamitsuru, 2015). Menurut (Price & Wilson, 2006), gagal napas terjadi
apabila paru tidak dapat memenuhi fungsi primernya dalam pertukaran gas, yaitu
oksigenasi darah arteri dan pembuangan karbon dioksida. Penyebab utama kematian
bayi dan balita terjadi pada masa neonatal karena pada masa ini bayi melakukan banyak
penyesuaian fisiologis yang diperlukan untuk kehidupan ekstrauteri yang dimulai saat
bayi baru lahir sampai usia 28 hari (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000). Menurut Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Badan Pusat Statistik (2013), kematian
bayi pada masa neonatal mencapai 60% dan penyebab utama kematian neonatal
tersebut adalah asfiksia neonatorum. Berdasarkan data (World Health Organization
(WHO) dalam Damayanti, 2014), setiap tahunnya 3,6 juta bayi (3%) dari 120 juta bayi
baru lahir mengalami asfiksia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Pangemanan,
Wantania, & Wagey (2016) di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado didapatkan 1,273
(41,9%) bayi asfiksia dari 3,038 kelahiran.

Menurut penelitian Meena, Meena, & Gunawat (2017) tentang “Correlation of


APGAR Score and Cord Blood pH with Severity of Birth Asphyxia and Short-term
Outcome” menyatakan bahwa dari 50 bayi asfiksia mengalami penurunan PaO2 dengan
rerata PaO2 63.52 mmHg dan peningkatan PaCO2 dengan rerata PaCO2 46.72 mmHg
serta penurunan pH dengan rerata pH umbilikus sebesar 7.18. Menurut penelitian
Angkawijaya, Wilar, Rompis, Tangkilisan, & Tatura (2015) dengan judul penelitian
“Hubungan antara pH Darah dengan Kadar Laktat Dehidrogenase pada Asfiksia
Neonatorum”, ditemukan bahwa dari 44 bayi asfiksia, ditemukan 45% bayi yang
mengalami asfiksia mengalami penurunan pH darah dengan rerata pH darah 7,03.
Peningkatan PaCO2, penurunan PaO2 serta penurunan pH darah yang terjadi pada
asfiksia neonatorum merupakan akibat dari terganggunya pertukaran gas dalam tubuh.
Gangguan pertukaran gas merupakan salah satu masalah yang terjadi pada asfiksia
neonatorum (Nurarif & Kusuma, 2015). Gangguan pertukaran gas adalah suatu kondisi
dimana terjadinya kelebihan atau kekurangan gas, baik oksigen maupun karbondioksida
pada membran alveolus-kapiler (PPNI, 2017).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Manoe & Amir (2003) tentang “Gangguan
Fungsi Multi Organ Pada Bayi Asfiksia Berat” dikatakan bahwa terjadi gangguan fungsi
berbagai organ pada bayi asfiksia tergantung pada lamanya asfiksia neonatorum terjadi
dan kecepatan penanganan, adapun organ vital yang sering terkena dampak dari asfiksia
neonatorum ini yaitu terjadi kerusakan ginjal (50%), otak (28%), kardiovaskular (25%)
dan paru-paru (23%). Namun menurut Fida & Maya (2012) keadaan hipoksia pada
asfiksia neonatorum menjadi penghambat adaptasi bayi baru lahir sehingga menjadi
penyebab utama mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Menurut survey WHO tahun
2002 dan 2004 hampir satu juta bayi meninggal akibat dari asfiksia. Asfiksia merupakan
penyebab utama kematian neonatal di Indonesia, disamping prematur dan infeksi
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia (2007), AKB (Angka Kematian Bayi) pada tahun 2004 sebanyak 29,4
per 1000 KH (Kelahiran Hidup), tahun 2005 sebanyak 23,7 per 1000 KH dan tahun 2006
sebanyak 25,9 per 1000 KH. Sebanyak 27,97% dari jumlah AKB tahun 2004-2006
disebabkan oleh asfiksia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Bali (2016) data AKB (Angka Kematian Bayi) di
Provinsi Bali menunjukkan angka yang fluktuatif yaitu pada tahun 2014 sebesar 5,9 per
1000 Kelahiran Hidup (KH), tahun 2015 5,7 per 1000 KH dan mengalami peningkatan
pada tahun 2016 menjadi 6,01 per 1000 KH. Tidak hanya AKB di Provinsi Bali yang
mengalami angka yang fluktuatif, AKB Kabupaten Badung juga mengalami angka yang
fluktuatif dan mengalami peningkatan AKB pada tahun 2016. Menurut Dinas Kesehatan
Kabupaten Badung (2016) & Dinas Kesehatan Provinsi Bali (2016) AKB Kabupaten
Badung tahun 2014 sebanyak 4,08 per 1000 KH, 4.87 per 1000 KH pada tahun 2015 dan
mengalami peningkatan pada tahun 2016 menjadi 6.01 per 1000 KH. Menurut Dinas
Kesehatan Kabupaten Badung (2016) asfiksia termasuk 3 besar penyakit yang menjadi
penyebab tingginya AKB di Kabupaten Badung, jika dilihat dari persentasenya pada
tahun 2015 sebesar 25% AKB disebabkan oleh asfiksia dan tahun 2016 sebesar 20%.
Berdasarkan data yang di dapat di RSUD Badung Provinsi Bali, terdapat bayi baru lahir
yang menderita asfiksia neonatorum pada 4 tahun terakhir yaitu pada tahun 2014
sebanyak 58 kasus, tahun 2015 sebanyak 53 kasus, tahun 2016 sebanyak 47 kasus dan
terjadi peningkatan pada tahun 2017 menjadi 84 kasus. Berdasarkan studi pendahuluan
yang dilakukan pada tanggal 29 Januari 2018 di ruang Pendet RSUD Badung, 4 dari 7
pasien asfiksia yang ada mengalami gangguan pertukaran gas.

B. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui hubungan antara riwayat asfiksia dengan perkembangan bayi
usia 6 - 12 bulan
2. Untuk mengetahui penyebab asfiksia pada bayi

C. Rumusan masalah
1. Apa yang di maksud dengan asfiksia neonatrum?
2. Apa factor penyebab asfiksia neonatrum ?
3. Apa saja gejala asfiksia neontrum ?
4. Bagaimana cara penanganan bayi yang terkena asfiksia neonatrum ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian asfiksia neonatrum


Asfiksia neonatrum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat
bernapas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan oksigen dan
semakin meningkatkan kadar karbondioksida yang dapat menimbulkan
akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. Asfiksia neonatorum adalah
kegagalan bayi untuk memulai bernapas segera setelah lahir dan kegagalan
bayi untuk memulai bernapas segera setelah lahir dan mempertahankan
beberapa saat setelah lahir. Asfiksia neonatorum merupakan sebuah
emergensi neonatal yang dapat mengakibatkan hipoksia (rendahnya suplai
oksigen ke otak dan jaringan) dan kemungkinan kerusakan otak atau
kematian apabila tidak ditangani dengan benar.
Asfiksia dikatakan sebagai hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan
asidosis. Apabila proses ini berlangsung lebih jauh dapat mengakibatkan
kerusakan otak atau kematian. Pada bayi yang mengalami kekurangan
oksigen akan terjadi pernapasan yang cepat dalam periode yang singkat.

 Diagnosis Asfiksia Neonatorum


Oxorn dan William menyebutkan bahwa dalam melakukan diagnosis asfiksia
neonatorum ada beberapa cara, yaitu sebagai berikut:

 Antepartum
Adanya pola abnormal (nonreaktif) pada nonstress fetal heart monitoring, serta
terjadi pola deselerasi lanjut pada conctraction stress test.

 Intrapartum
Terjadi bradikardi, yaitu denyutan dibawah 100 per menit antara kontraksi
rahim atau pola yang abnormal, adanya iregularitas denyut jantung janin
yang jelas, terjadi trakikardi yaitu denyutan di atas 160 kali per menit
(terjadi silih berganti dengan bradikardi), pola deselerasi lanjut pada
frekuensi denyut jantung janin dan keluarnya mekonium pada presentasi
kepala.

 Postpartum

Keadaan bayi ditentukan dengan skor Appearance, Pulse, Grimace, Activity,


Respiration (APGAR). APGAR merupakan suatu metode untuk menentukan
tingkatan keadaan bayi baru lahir: angka 0, 1 atau 2 untuk masing-masing
dari lima tanda, yang bergantung pada ada atau tidaknya tanda tersebut.
Penentuan tingkatan ini dilakukan 1 menit setelah lahir dan diulang setelah
5 menit.

Tabel . Scoring APGAR Bayi Baru Lahir

nilai
tanda Angka 0 Angka 1 Angka 2
Frekuensi denyut Tidak ada Di bawah 100 Di atas 100
jantung
Upaya respirasi Tidak ada Lambat, tidak Baik, menangis
teratur kuat
Tonus otot Lumpuh Fleksi Gerak aktif
ekstremitas
Refleks terhadap Tidak ada respon Menyeringai Batuk atau
rangsangan bersin
Warna kulit Biru-putih Badan merah Seluruh tubuh
muda; berwarna merah
ekstremitas biru muda
 Klasifikasi Asfiksia Neonatorum
Menurut Marmi dan Rahardjo, asfiksia di klasifikasikan sebagai berikut :

 Virgorous baby
Skor APGAR 7-10, dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak
memerlukan tindakan resusitasi.
 Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang)
Nilai APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung
lebih dari 100 kali/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis dan
refleks iritabilitas tidak ada.
 Asfiksia berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung
kurang dari 100 kali/menit, tonus otot buruk, sianosis berat yang
kadang-kadang pucat dan refleks iritabilitas tidak ada.

B. Penyebab asfiksia neonatrum

Bila bayi tidak menangis, warna kulitnya kebiruan, dan sulit bernapas setelah dilahirkan,
maka kemungkinan ia mengalami asfiksia. Jika tidak ditangani dengan cepat, asfiksia
bisa merusak otak bayi, atau bahkan merenggut nyawanya.

Asfiksia pada bayi baru lahir dikenal juga dengan asfiksia perinatal atau neonartum.
Kondisi ini terjadi ketika bayi kekurangan oksigen sebelum, selama, dan setelah proses
persalinan. Tanpa asupan oksigen yang cukup, jaringan dan organ tubuh bayi akan
mengalami kerusakan. Bayi yang mengalami asfiksia bisa mengalami sianosis atau
kondisi ketika kuku, biru, dan bibir tampak kebiruan.
C. Gejala asfiksia neonatrum

asfiksia pada bayi baru lahir juga ditandai dengan detak jantung yang lambat, otot dan
refleks yang lemah, kejang, kadar asam dalam darah yang sangat tinggi (asidosis), dan
cairan ketuban yang berubah warna menjadi hijau.

Kondisi ini membutuhkan penanganan medis segera, karena semakin lama bayi tidak
mendapatkan cukup oksigen, akan semakin besar pula risikonya mengalami kerusakan
pada organ, seperti paru-paru, jantung, otak, dan ginjal.

Beberapa penyebab terjadinya asfiksia pada bayi adalah:

 Gangguan pada plasenta, seperti lepasnya plasenta dari dinding rahim sebelum
bayi dilahirkan (solusio plasenta).
 Tekanan darah ibu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah selama mengandung.
 Proses persalinan yang terlalu lama.
 Janin menderita anemia atau gangguan pernapasan ketika berada dalam
kandungan.
 Infeksi, baik pada ibu maupun janin.

D. Penanganan asfiksia neonatrum

Bayi yang lahir dengan asfiksia kemungkinan akan memiliki nilai Apgar di


bawah 3. Jika asfiksia sudah terdeteksi saat bayi masih dalam kandungan,
dokter kandungan kemungkinan besar akan menyarankan persalinan segera
dengan operasi caesar, agar nyawa bayi dapat tertolong.

Bayi yang lahir dengan asfiksia kemungkinan akan memiliki nilai Apgar di


bawah 3. Jika asfiksia sudah terdeteksi saat bayi masih dalam kandungan,
dokter kandungan kemungkinan besar akan menyarankan persalinan segera
dengan operasi caesar, agar nyawa bayi dapat tertolong.
 Penggunaan alat bantu pernapasan untuk mengalirkan udara ke paru-paru bayi.
Sebagian bayi mungkin akan membutuhkan tambahan gas nitric oxide melalui
tabung pernapasan.
 Pemberian obat-obatan untuk mengendalikan tekanan darah dan meredakan
kejang apabila terjadi.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bayi untuk memulai bernapas
segera setelah lahir dan kegagalan bayi untuk memulai bernapas segera
setelah lahir dan mempertahankan beberapa saat setelah lahir. Asfiksia
neonatorum merupakan sebuah emergensi neonatal yang dapat
mengakibatkan hipoksia (rendahnya suplai oksigen ke otak dan jaringan)
dan kemungkinan kerusakan otak atau kematian apabila tidak ditangani
dengan benar.

B. Saran

1. Bagi Institusi
2. Diharapkan agar dapat memberi masukan berupa kritik dan saran yang
bersifat membangun tentang konsep dokumentasi khususnya manfaat
dokumentasi
3. Bagi Mahasiswa DIII Kebidanan Diharapkan agar lebih mengembangkan
wawasan dan ilmu pengetahuan tentang fungsi sistem pernafasan/respirasi
berkaitan dengan fungsi Kardiovaskuler
4. Bagi Pembaca Diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam mebuat sebuah
makalah dengan tema atau judulyang sama dengan lebih baik lagi
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/468/2/Bab%20I.pdf,
https://www.alodokter.com/bunda-waspadai-asfiksia-pada-bayi-baru-
lahir#:~:text=Beberapa%20penyebab%20terjadinya%20asfiksia%20pada,Proses
%20persalinan%20yang%20terlalu%20lama,

Anda mungkin juga menyukai