Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asfiksia adalah keadaan neonatus yang gagal bernapas secara sepontan dan teratur saat
lahir atau beberapa saat setelah lahir sehingga mengakibatkan kurangnya oksigen atau
perfusi jaringan ditandai dengan hipoksia, hiperkarbi, dan asidosis (Sarosa et al., 2011).
Keadaan asfiksia mengakibatkan kerusakan pada beberapa jaringan dan organ dalam
tubuh, yaitu: ginjal (50%), sistem saraf pusat (28%), sistem kardiovaskuler (25%) dan paru-
paru (23%) (Radityo et al., 2007). Kerusakan pada sistem saraf pusat pada bayi dengan
riwayat asfiksi sedang sampai berat dapat mengakibatkan perlambatan
perkembangan bayi (Hutahean, 2007).
Deteksi dini dan tindakan evaluasi sangat penting untuk menilai keterlambatan
perkembangan karena akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya (Tjandrajani et al.,
2012). Ada beberapa alat untuk mendeteksi tumbuh kembang bayi disebut Prescreening
Developmental Questionnaire (PDQ) yang dikembangkan dari Skrining Denver
Developmental Screening Test (DDST) adalah KPSP (Kuesioner Pra Skrening
Perkembangan) yaitu suatu alat yang digunakan untuk mendeteksi tumbuh kembang bayi
yang paling mudah, sederhana, dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa bantuan dari dokter
spesialis bayi dan dapat dilakukan dalam waktu 5 menit untuk menilai gangguan
perkembangan bayi.
B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari asfiksia?
2. Apa saja klasifikasi dari asfiksia?
3. Apa saja etiologi dari asfiksia?
4. Bagaimana patofisiologi dari asfiksia?
5. Bagaimana APGAR score?
6. Apa saja penatalaksanaan dari asfiksia?
C. Tujuan.
Adapun tujuan dari disusunnya makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Pembaca bisa memahami dengan apa yang dimaksud dengan asfiksia.
2. Mampu memahami tentang klasifikasi dari asfiksia.
3. Mengerti serta memahami dari etiologic dari asfiksia.
4. Memahami dan mengerti tentang apa itu APGAR score.
5. Mengetahui tentang apa saja tatalaksana dari asfiksia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Asfiksia neonatorum adalah keadaan gawat bayi yang tidak dapat bernafas spontan
dan teratur, sehingga dapat meurunkan oksigen dan makin meningkatkan karbon dioksida
yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 2007).
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas yang terjadi secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia
janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan
bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna.
Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul
(Manuaba, 2007).Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa asfiksia
adalah bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas secara spontan sehingga dibutuhkan
penanganan segera setelah bayi lahir agar tidak menimbulkan akibat buruk dalam
kelangsungan hidupnya.
B. Klasifikasi Afiksia.
1. Asfiksia Neonatorum Ringan.
Skor APGAR 7-10. Bayi dianggap sehat, dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
2. Asfiksia Neonatorum Sedang.
Skor APGAR 4-6. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi tentang lebih dari
100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
3. Asfiksia Neonatorum Berat.
Skor APGAR 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari
100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas
tidak ada, pada asfiksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus menghilang
tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung menghilang
postpartum pemeriksaan fisik sama asfiksia berat.
C. Etiologi Asfiksia.
Adapun etiologi dari Afiksia itu adalah hipoksia janin yang menyebabkan
gangguan pada pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke janin. Hal ini akan
menimbulkan gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan
ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi atau kelainan ibu selama hamil
(seperti; gizi buruk, anemia, hipertensi, penyakit jantung dan lain-lain), atau secara
mendadak karena hal–hal yang diderita ibu dalam persalinan (Indah & Apriliana, 2016).
Ada 3 faktor yang menyebabkan terjadinya asfiksia, yang terdiri dari:
1. Faktor Ibu.
Di antaranya preeklamsia dan eklamsia, perdarahan abnormal (plasenta previa atau
solusio plasenta), partus lama atau partus macet, demam selama persalinan, infeksi
berat (malaria, sifilis, TBC, HIV), kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu
kehamilan), penyakit ibu.
2. Factor Tali Pusat.
Yaitu lilitan tali pusat, talipusat pendek, simpul tali pusat dan prolapsus tali pusat.
3. Factor Bayi.
Dalam factor ini maka ada beberapa hal yang mempengaruhi diantaranya bayi
prematur, persalinan dengan tindakan, kelainan bawaan dan air ketuban bercampur
meconium (Indah & Apriliana, 2016).
Adapun tanda dan gejala dari afiksia, meliputi:
1. Tidak bernafas atau bernafas megap –megap.
2. warna kulit kebiruan, kejang dan penurunan kesadaran.
3. Gejala asfiksia diklasifikasikan berdasarkan:
a) Apperance (colour = warna kulit).
b) Pulse (heart rate = denyut nadi).
c) Grimace (refleks terhadap rangsangan).
d) Activity (tonus otot).
e) Respiration (usaha bernapas) atau sering disebut APGAR.
Asfiksia diklasifikaikan menjadi tiga jenis yaitu asfiksia berat (nilai APGAR 0-
3) asfiksia ringan-sedang (nilai APGAR 4-6) dan bayi normal (nilai APGAR 7-
10). Skor APGAR dinilai pada menit pertama, menit kelima, dan menit
kesepuluh setelah bayi lahir, untuk mengetahui perkembangan keadaan bayi
tersebut. Dalam keadaan tertentu, skor APGAR juga dinilai pada menit ke
sepuluh, kelima belas, dan kedua puluh, hingga total skor sepuluh.
D. Patofisiologi
Pembuluh darah arteriol yang ada di paru-paru bayi masih dalam keadaan kontriksi
dan hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru-paru sehingga darah
dialirkan melalui duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta namun suplai oksigen melalui
plasenta ini terputus ketika bayi memasuki kehidupan ekstrauteri (Masruroh, 2016).
Hilangnya suplai oksigen melalui plasenta pada masa ekstrauteri menyebabkan fungsi paru
neonatus diaktifkan dan terjadi perubahan pada alveolus yang awalnya berisi cairan
kemudian digantikan oleh oksigen.
Proses penggantian cairan tersebut terjadi akibat adanya kompresi dada (toraks)
bayi pada saat persalinan kala II dimana saat pengeluaran kepala, menyebabkan badan
khususnya dada (toraks) berada tekanan cairan pada dinding alveoli membuat pernapasan
yang terjadi segera setelah alveoli terbuka relatif lemah, namun karena inspirasi pertama
neonatus normal sangat kuat sehingga mampu menimbulkan tekanan yang lebih besar ke
dalam intrapleura sehingga semua cairan alveoli dapat dikeluarkan. Selain itu, pernapasan
pertama bayi timbul karena ada rangsangan-rangsangan seperti penurunan PO2 dan pH,
serta peningkatan PCO2 akibat adanya gangguan pada sirkulasi plasenta, redistribusi curah
jantung sesudah talipusat diklem, penurunan suhu tubuh dan berbagai rangsangan taktil.
Namun apabila terjadi gangguan pada proses transisi ini, dimana bayi tidak berhasil
melakukan pernapasan pertamanya maka arteriol akan tetap dalam vasokontriksi dan
alveoli akan tetap terisi cairan.
Keadaan dimana bayi baru lahir mengalami kegagalan bernapas secara spontan dan
teratur segera setelah dilahirkan disebut dengan asfiksia neonatorum. gagal napas terjadi
apabila paru tidak dapat memenuhi fungsi primernya dalam pertukaran gas, yaitu
oksigenasi darah arteri dan pembuangan karbon dioksida. Proses pertukaran gas terganggu
apabila terjadi masalah pada difusi gas pada alveoli. Difusi gas merupakan pertukaran
antara oksigen dengan kapiler paru dan CO2 kapiler dengan alveoli. Proses difusi gas pada
alveoli dipengaruhi oleh luas permukaan paru, tebal membran respirasi/permeabelitas
membran, perbedaan tekanan dan konsentrasi oksigen dan afinitas gas.
E. APGAR SCORE
1. Dengan Menilai Apgar Skor
Cara yang digunakan untuk menentukan derajat asfiksia yaitu dengan penilaian
Apgar Skor. Apgar mengambil batas waktu 1 menit karena dari hasil penyelidikan
sebagian besar bayi baru lahir mempunyai Apgar terendah pada umur tersebut dan perlu
dipertimbangkan untuk melakukan tindakan resusitasi aktif. Sedangkan nilai Apgar lima
menit untuk menentukan prognosa dan berhubungan dengan kemungkinan terjadinya
gangguan neurologik di kemudian hari. Ada lima tanda (sign) yang dinilai oleh Apgar,
yaitu :
4. Activity Lemah, tidak ada Lengan dan kaki dalam Bergerak aktif dan
(tonus otot) gerakan posisi fleksi dengan spontan
sedikit gerakan
Dari kelima tanda diatas yang paling penting bagi jantung karena peninggian
frekuensi jantung menandakan prognosis yang peka. Keadaan akan memburuk bila
frekuensi tidak bertambah atau melemah walaupun paru-paru telah berkembang. Dalam
hal ini pijatan jantung harus dilakukan. Usaha nafas adalah nomor dua. Bila apnea
berlangsung lama dan ventilasi yang dilakukan tidak berhasil maka bayi menderita
depresi hebat yang diikuti asidosis metabolik yang hebat. Sedang ketiga tanda lain
tergantung dari dua tanda penting tersebut.
Ada 3 derajat Asfiksia dari hasil Apgar Skor diatas yaitu :
a) Nilai Apgar 7-10, Vigorous baby atau asfiksia ringan.
Bayi dalam keadaan merintih, adanya retraksi sela iga, dengan nafas
takipnea ( >60x/menit), bayi tampak sianosis, adanya pernafasan cupping hidung,
bayi kurang aktifitas, pada pemeriksaan auskultasi terdapat .ronchi, rales, dan
wheezing.
b) Nilai Apgar 4-6 Mild Moderat atau asfiksia sedang.
Pada pemeriksaan fisik akan dilihat frekuensi jantung menurun menjadi (60
– 80x/menit), usaha nafas lambat, tonus otot baik, bayi masih bereaksi terhadap
rangsangan, bayi sianosis, tidak terjadi kekurangan O2 yang bermakna selama
proses persalinan.
c) Nilai Apgar 0-3, asfiksia berat
Pada pemeriksaan ditemukan frekuensi jantung kecil ( <40x/menit),tidak
ada usaha nafas, tonus otot lemah bahkan hampir tidak ada, bayi tidak dapat
memberikan reaksi jika diberikan rangsangan, bayi pucat, terjadi kekurangan O2
yang berlanjut sebelum atau sesudah persalinan.
F. Penatalaksanaan.
1. Pelaksanaan Resusitasi
Segera setelah bayi baru lahir perlu diidentifikasi atau dikenal secara cepat supaya
bisa dibedakan antara bayi yang perlu diresusitasi atau tidak. Tindakan ini merupakan
langkah awal resusitas bayi baru lahir. Tujuannya supaya intervensi yang diberikan bisa
dilaksanakan secara tepat dan cepat (tidak terlambat).
a) Membuka Jalan Nafas.
Tujuan : Untuk memastikan terbuka tidaknya jalan nafas.
Langkah-langkah:
1) Meletakkan bayi pada posisi yang benar.
Letakkan bayi secara terlentang atau miring dengan leher agak ekstensi/ tengadah.
Perhatikan leher bayi agar tidak mengalami ekstensi yang berlebihan atau kurang.
Ekstensi karena keduanya akan menyebabkan udara yang masuk ke paru-paru
terhalangi.
2) Letakkan selimut atau handuk yang digulung dibawah bahu sehingga terangkat 2-
3 cm diatas matras.
3) Apabila cairan/lendir terdapat bar dalam mulut, sebaiknya kepala bayi
dimiringkan supaya lendir berkumpul di mulut (tidak berkumpul di farings bagian
belakang) sehingga mudah disingkirkan.
b) Membersihkan Jalan Nafas.
1) Apabila air ketuban tidak bercampur mekonium, hisap cairan dari mulut dan
hidung, mulut dilakukan terlebih dahulu kemudian hidung.
2) Apabila air ketuban tercampur mekonium, hanya hisap cairan dari trakea,
sebaiknya menggunakan alat pipa endotrakel (pipa ET).
3) Urutan kedua metode membuka jalan nafas ini bisa dibalik, penghisapan terlebih
dahulu baru meletakkan bayi dalam posisi yang benar, pembersihan jalan nafas
pada semua bayi yang sudah mengeluarkan mekoneum, segera setelah lahir
(sebelum baru dilahirkan) dilakukan dengan menggunakan keteter penghisap no
10 F atau lebih. Cara pembersihannya dengan menghisap mulut, farings dan
hidung.
DAFTAR PUSTAKA