Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ASFIKSIA

MAKALAH

(disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak dengan dosen
pengajar Ira Rahmawati, M.Kep.,Sp.Kep.An)

Disusun oleh

KELOMPOK 2 / KELAS A 2017

Annisa Kusuma Wardhani 172310101035

Dinda Angelina Hariyono 172310101043

Geldine Raudina Freshta Delendra 172310101049

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan Karunia-Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Pada Klien Dengan Asfiksia” dengan baik. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Anak di Fakultas
Keperawatan Universitas Jember.

Dalam penyusunan makalah ini penyusun banyak mengalami hambatan,


akan tetapi dalam bantuan berbagai pihak, penyusun dapat mengatasi semua
hambatan yang dialami dan dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu,
penyusun mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ns. Ira Rahmawati ,M.Kep.,Sp.Kep.An selaku dosen penanggung


jawab mata kuliah keperawatan anak
2. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah
ini.

Penyusun berharap semoga makalah ini dapat menjadi wawasan,


khususnya untuk mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Jember.
Apabila makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Sehingga kami
menerima kritik dan saran dari pembaca agar dapat menyusun makalah ini
menjadi lebih baik di waktu mendatang. Terima kasih.

Jember, 8 September 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang: epidemologi penyakit

Kematian yang dialami pada bayi adalah kematian yang sering terjadi
antara setelah bayi lahir sampai bayi belum genap berusia 1 tahun. Terdapat
beberapa factor yang menyebabkan kematian bayi. Jika dilihat dari sisi
penyebabnya terdapat dua macam yang dapat menyebabkan kematian bayi
diantaranya adalah endogen dan eksogen. Yang di maksud dari endogen ita
kematian bayi yang disebabkan oleh kematian neonatal. Pada kematian
neonatal terjadi pada bulan pertama saat bayi dilahirkan dan pada umumnya
disebabkan oleh beberapa factor yang dibawa bayi sejak lahir dan di dapat
saat bayi berada di dalam kandungan. Sedangkan yang di maksud dari
eksogen atau kematian post neonatal adalah kematian bayi yang terjadi
setelah bayi berusia 1 bulan sampai menjelah usia 1 tahun yang disebabkan
oleh beberapa factor yang berkaitan dengan pengaruh lingkungan dari luar
(Rahma, dkk., 2014).

AKB atau Angka Kematian Bayi adalah salah satu indicator untuk
mengetahui derajat kesehatan di suatu Negara dan untuk mengukur suatu
kemajuan bangsa. Sebanyak 33,6% bayi mengalami kematian yang
disebabkan oleh asfiksia dan banyak factor yang mempengaruhi kejadian
asfiksia (Yuliana, dkk., 2018). Asfiksia pada bayi baru lahir atau asfiksia
neonatorum merupakan suatu keaadan bayi baru lahir yang gagal bernafas
spontan dan teratur. Asfiksia pada bayi baru lahir ini dapat menyebabkan
kematian dan dapat menimbulkan berbagai dampak bagi bayi baru lahir.
Factor risiko kejadian asfiksia pada bayi baru kahir sangat beragam dan
banyak hal yang mempengaruhinya. Hasil dari beberapa penelitian
mengatakan bahwa Asfiksia neonatorum merupakan sebagai factor resiko
terjadinya gagal ginjal akutm gangguan pendengaran, dan gangguan multi
organ (Rahma, dkk., 2014).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien bayi dengan Asfiksia
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan definisi Asfiksia
2. Menjelaskan klasifikasi Asfiksia
3. Menjelaskan etiologi Asfiksia
4. Menjelaskan manifestasi klinis Asfiksia
5. Menjelaskan patofisiologi Asfiksia
6. Menjelaskan penatalaksanaan Asfiksia

1.3 Manfaat
1.3.1 Untuk mahasiswa
Meningkatkan wawasan tentang konsep penyakit dan asuhan
keperawatan pada kasus klien dengan Asfiksia
1.3.2 Untuk pembaca
Mengetahui tentang Asfiksia dan cara penanganannya.
BAB II
STUDI LITERATUR (KONSEP PENYAKIT)

2.1 Definisi
Asfiksia pada bayi baru lahir menurut IDAI (Ikatan Dokter Anak
Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur saat bayi
dilahirkan atau beberapa saat setelah bayi lahir. Asfiksia neonatorum
merupakan kondisi gawat darurat dimana bayi mengalami kegagalan dalam
bernafas secara spontan sehingga dapat menurunkan oksigen dan semakin
meningkatkan karbondioksida, jika tidak segera ditangani akan menyebabkan
kematian. Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, apabila proses tersebut
terus berlangsung dapat mengakibatkan kerusakan otak, denyut jantung akan
mengalami penurunan sedangkan tonus neuromuscular berkurang secara
berangsur-angsur hingga terjadi apnea (henti nafas). Selain itu juga
mempengaruhi fungsi organ vital seperti jantung, paru-paru, lambung, dan
lainnya (Legawati, 2018).
2.2 Klasifikasi Asfiksia
Menurut Dwienda dkk (2014 ) Jenis jenis asfiksia tebagi menjadi tiga
tingkatan yaitu :
A. Asfiksia Ringan
1. Nilai APGAR 7 – 10
2. Takipnea dengan nafas >60x/menit
3. Bayi tampak sianosis
4. Adanya retraksi sela iga
5. Bayi merintih ( grunting )
6. Adanya pernafasan cuping hidung
7. Bayi kurang aktifitas
8. Dalam pemeriksaan auskultasi terdapat wheezing
B. Asfiksia Sedang
1. Nilai APGAR 4-6
2. Frekuensi jantung menurun ( 60-80x/ menit )
3. Usaha nafas lambat
4. Tonus otot biasanya dalam keadaan baik
5. Bayi masih bereaksi terhadap rangsangan yang diberikan
6. Bayi tampak sianosis
7. Tidak terjadi kekurangan O2 yang berlanjut selama proses persalinan
C. Asfiksia Berat
1. Nilai APGAR 0-3
2. Frekuensi jantung kecil ( <40x/ menit )
3. Tidak ada usaha nafas
4. Tonus otot lemah, bahkan hampir tidak ada
5. Bayi tidak memberikan reaksi jika diberikan rangsangan
6. Bayi tampak pucat hingga berwarna kelabu
7. Kekurangan O2 yang berlanjut sebelum atau sesudah persalinan

2.3 Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir
yaitu : ( Dwienda dkk, 2014)
1.Gangguan pada lilitan tali pusat
Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang panjang
memungkinkan terjadinya lilitan tali pusat pada leher sangat berbahaya,
apalagi bila lilitan terjadi beberapa kali dimana dapat diperkirakan dengan
makin masuknya kepala janin ke dasar panggul maka makin erat pula
lilitan pada leher janin yang mengakibatkan makin terganggunya aliran
darah ibu ke janin.
2. Ketuban bercampur dengan mekonium
Jika janin mengalami kekurangan O2 dan C02 bertambah akan
menimbulkan rangsangan pada nervus vagus sehingga denyut jantung
janin menjadi lambat. Jika terus berlanjut maka rangsangan dari nervus
simpatikus akan timbul dimana denyut jantung janin menjadi lebih cepat
yang akhirnya janin akan mengadakan pernafasan intrauterine sehingga
mekonium banyak dikeluarkan dalam air ketuban pada paru paru. Hal ini
menyebabkan denyut jantung bayi menurun dan tidak menunjukan
pernafasan secara spontan.
3. Faktor Umur Kehamilan
Persalinan preterm merupakan persalinan dengan masa gestasi
kurang dari 259 hari atau kurang dari 37 minggu. Kesulitan utama dalam
persalinan preterm adalah perawatan bayinya. Semakin muda usia
kehamilan maka semakin besar morbiditas dan mortalitasnya. Persalinan
preterm akan menghasilkan bayi premature dengan kondisi paru yang
belum siap dan sebagai organ pertukaran gas yang efektif, hal ini
merupakan faktor dapat terjadinya asfiksia. (Fajarriyanti, 2017)
4. Pengaruh tindakan ketika proses persalinan
Persalinan dengan tindakan yaitu penggunaan alat pada tindakan
vakum ekstraksi dan adanya penggunaan obat bius dalam tindakan seksio
sesarea. Hal ini dapat menimbulkan pengurangan cairan paru dan
penekanan pada thoraks sehingga mengalami paru paru basah yang lebih
persisten. Sehingga mengakibatkan takipnea sementara pada bayi baru
lahir. persalinan dengan tindakan mempunyai risiko 5,471 kali lebih besar
terhadap kejadian asfiksia neonatorum dibandingkan dengan persalinan
normal (Syaiful dkk, 2016)
5. Faktor Ibu
a. Gangguan His : Tetania uteri-hipertoni
b. Turunnya tekanan darah secara mendadak
Perdarahan pada plasenta previa dan salutio plasenta, sehingga
menyebabkan gangguan pertukaran gas antara oksigen dan zat asam
arang. Setelah itu, menurunnya tekanan secara mendadak lalu bayi
akan mengalami sulit dalam bernafas.
c. Hipertensi
Hipertensi dalam kehamilan berarti wanita telah menderita
hipertensi sebelum hamil yang biasa disebut juga dengan preeklamsia
tidak murni. Prognosis bagi janin kurang baik karena adanya
insufisiensi plasenta.
d. Gangguan pertukaran nutrisi/O2 : solution plasenta
e. Melahirkan di umur kehamilan masih muda.
Semakin muda umur kehamilan fungsi organ tubuh semakin kurang
sempurna, prognosis juga semakin buruk karena masih belum
sempurna seperti sistem pernafasan. ( Syaiful dkk, 2016)

2.4 Manifestasi klinis


Menurut Sunarti (2017) salah satu tanda dan gejala klinis asfiksia pada
janin atau bayi berikut ini :

a. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur.
b. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen.
c. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada
otot-otot jantung atau sel-sel otak.
d. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan.
e. Takipnea (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru
atau nafas tidak teratur/megap-megap.
f. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah.
g. Penurunan terhadap spinkters.
h. Pucat

2.5 Patofisiologi
Pernafasan spontan bayi yang baru lahir tergantung pada kondisi janin
di masa kehamilan dan proses persalinan. Ketika persalinan bayi akan
mengalami asfiksia ringan yang sementara sehingga perlu merangsang
kemoreseptor pusat pernafasan. Bayi setelah dilahirkan akan segera menarik
nafas yang pertama kali (menangis), pada saat ini paru janin mulai berfungsi
untuk respirasi. Alveoli akan mengembang udara akan masuk dan cairan
yang ada di dalam alveoli akan meninggalkan alveoli secara bertahap.
Bersamaan dengan ini arteriol paru akan mengembang dan aliran darah ke
dalam paru meningkat secara memadai.
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah timbullah
rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin)
menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus
tidak dapat dipengaruhi lagi. Maka timbul rangsangan dari nervus simpatikus
sehingga DJJ menjadi lebih cepat dan akhirnya irreguler dan menghilang.
Janin akan mengadakan pernafasan intrauterine dan bila kita periksa
kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus
tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang.
Jika berlanjut, bayi akan menunjukan pernafasan yang dalam, denyut jantung
terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat
lemas. Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode
apneu sekunder. Selama epneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan
kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak dapat
berekasi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukan upaya pernafasan
secara spontan (Sunarti, 2017)

2.6 Penatalaksanaan (termasuk obat-obatan dan farmakologinya)


A. Resusitasi
1. Langkah awal dalam stabilitas:
a. Memberikan kehangatan
bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas atau radiant warmer
dalam keadaan telanjang supaya panas yang dipancarkan dapat
mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh.
b. Memeposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan dalam posisi menghidu dengan leher sedikit
menghadap ke atas supaya faring,laring, dan trakea dalam satu
garis lurus sehingga udara mudah untuk masuk. Posisi ini baik
untuk melakukan ventilasi dengan menggunakan balon dan
sungkup atau pemasangan pipa endotrakeal.
c. Membersihkan jalan napassesuai kebutuhan
Cara yang tepat membersihkan jalan nafas bergantung kepada
keaktifan bayi. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan
kondisi bayi tidak bugar ( bayi mengalami depresi pernafasan,
tonus otot kurang, frekuensi jantung kurang dari 100x/menit)
segera lakukan tindakan penghisapan trakea yang langkah-
langkahnya meliputi pemasangan laringoskop dan selang
endotrakeal ke dalam trakea lalu lakukan pembersihan daerah
mulut, faring, laring, trakea sampai glotis dengan kateter
penghisap.
d. Mengeringkan bayi, merangsang pernafasan dan meletakkan pada
posisi yang benar
Bila posisi bayi sudah benar, penghisapan sekret dan pengeringan,
bayi belum bernafas dengan adekuat maka hal yang dapat
dilakukan yaitu perangsangan taktil yaitu dengan cara menepuk
atau menyentil telapak kaki bisa juga dengan menggosok
punggung, tubuh atau ekstremitas bayi.
Sebelum menerima resusitasi lanjutan yaitu dengan mengecek
tanda-tanda vital bayi yaitu:
a. Pernafasan
Resusitasi berhasil apabila gerakan dada bayi adekuat, frekuensi
dan dalam pernafasan bertambah setelah diberikan rangsangan
taktil. Jika pernafasan bayi masih terengah-engah maka tidak
efektif untuk melakukan intervensi lanjutan.
b. Frekuensi jantung
Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit. Perhitungan bunyi
jantung dapat dilakukan dengan stetoskop selama 6 detik kemudian
dikalikan 10 maka akan didapatkan hasil frekuensi jantung
permenit.
c. Warna kulit
Bayi seharusnya berwarna merah pada bibir dan seluruh tubuh.
Warna kulit bayi dari biru menjadi kemerahan paling cepat untuk
mengetahui bahwa pernafasan dan sirkulasi yang adekuat.
2. Pemberian oksigen
Jika bayi terlihat sianosis sentral, maka dapat diberikan tambahan
oksigen. Pemberian oksige aliran bebas dapat dilakukan dengan
menggunakan sungkup oksigen, sungkup dengan balon tidak
mengembang sendirinya, selang atau pipa oksigen, dan T-piece
resuscitator. Pada bayi cukup bulan dapat diberikan oksigen 100%,
dan sebaliknya apabila bayi tidak cukup bulan maka pemberian
oksigen 100% tidak dianjurkan karena dapat merusak jaringan.
Pemberian oksigen dapat dihentikan secara bertahap apabila bayi tetap
merah dan saturasi oksigen tetap baik.
3. Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
Ventilasi Tekanan Positif atau VTP merupakan tahapan resusitasi
untuk memasukkan sejumlah volume udara ke dalam paru-paru
dengan tekanan positif. Tindakan tersebut dilakukan dengan
memasang sungkup dengan ukuran yang sesuai di wajah bayi sampai
menutup dagu, mulut, dan hidung (Sarninta, 2017)
Ventilasi Tekanan Positif atau VTP dapat dilakukan apabila semua
tindakan diatas tidak dapat membuat bayi bernafas atau frekuensi
jantung kurang dari 100x/menit. Bayi dengan kelainan congenital
seperti hernia diafragmatika harus diintubasi terlebih dahulu sebelum
mendapat VTP. Terdapat beberapa jenis alat yang dapat digunakan
untuk melakukan ventilasi kepada bayi baru lahir. Beberapa alat ini
memiliki cara kerja, keuntungan, dan kerugian masing-masing.

A. Alat-alat VTP
1. Tekno tube and mask

Dari segi harga, tekno tube and mask adalah alat


yang paling terjangkau. Kelemahan dari alat ini yaitu desain
katupnya perlu dimodifikasi, sulit utuk dibersihkan, dan jika
sudah dipakai selama 5 kali prosedur (high level
desinfectans) tidak bisa digunakan kembali.
2. Balon mengembang sendiri ( self inflating bag)
Setelah alat ini dilepaskan dari remasan maka akan terisi
langsung dengan gas ( oksigen atau udara campuran keduanya) ke
dalam balon.
3. Balon tidak mengembang sendiri ( flow inflating bag )

Balon ini disebut juga balon anastesi, terisi hanya bila gas
berasal dari gas bertekanan mengalir ke dalam balon.
4. T-piece resuscitator

Alat ini dapat bekerja hanya apabila dialiri oleh gas yang
berasal dari sumber bertekanan ke dalamnya. Dengan cara
menutup atau membuka lubang pada pipa T dengan jari atau ibu
jari maka gas akan mengalir langsung ke lingkungan sekitar
maupun ke bayi.

B. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat melakukan VTP yaitu:


1. Atur posisi bayi dengan benar
Posisi bayi telentang dengan kepala bayi dekat penolong dan
posisi kepala sedikit ekstensi menggunakan pengganjal bahu (kain)
2. Cek alat VTP ada kebocoran udara atau tidak
3. Pilih ukuran sungkup sesuai dengan ukuran anatomis bayi.
Ukuran 1 untuk bayi berat normal, ukuran 0 untuk bayi berat
lebih rendah (BBLR)
4. Perhatikan pemasangan dan perlekatan sungkup pada bayi dengan
benar. Sungkup harus menutupi dan menempel pada hidung,
mulut dan dagu tidak menekan pada mata serta tidak
menggantung pada dagu. (Kemenkes RI,2010)

C. Cara melakukan VTP :


a. Pasang sungkup sesuai ukuran anatomis bayi dan posisikan
sungkup dengan benar hingga menutupi dagu, mulut dan hidung
b. Melakukan ventilasi dengan tekanan 30 cm H2O air sebanyak 2
kali untuk membuka alveoli paru agar bayi mulai bernafas
c. Melihat respon dada bayi jika tidak mengembang :
 Periksa posisi sungkup dan pastikan tidak ada
udara yang bocor.
 Periksa posisi kepala dan pastikan posisi sudah
menghidu.
 Periksa cairan atau lendir di mulut, bila ada
lakukan penghisapan.
 Lakukan ventilasi 2 kali, jika dada mengembang
lakukan tahap selanjutnya.
d. Remas balon resusitasi sebanyak 20 kali selama 30 detik
dengan tekanan 20 cm air sampai bayi mulai bernapas
spontan atau menangis
e. Pastikan dada mengembang pada saat dilakukan tiupan atau
remasan. Setelah 30 detik lakukan penilaian ulang napas
f. Jika bayi mulai bernapas normal/ tidak megap-megap atau
menangis, maka hentikan ventilasi secara bertahap. Apabila
bayi masih megap-megap, lanjutkan ventilasi. (Sarninta,
2017)
4. Kompresi dada
Hal ini dilakukan apabila frekuensi jantung kurang dari 60
x/menit setelah dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30
detik.Tindakan ini terdiri dari kompresi yang teratur pada tulang dada,
yaitu dengan menekan jantung ke arah tulang belakang, meningkatkan
tekanan intratorakal, dan memperbaiki sirkulasi darah ke seluruh organ
vital tubuh. Dalam melakukan tindakan kompresi dada diperlukan 2
orang untuk melakukannya agar efektif, satu orang menekan dada dan
yang lain melanjutkan ventilasi. Orang kedua juga dapat melakukan
pemantauan frekuensi jantung, suara nafas selama melakukan ventilasi
tekanan positif. Ventilasi tekanan positif dan kompresi dilakukan secara
bergantian. Prinsip dasar kompresi dada:
a. Posisi bayi
Posisi bayi yang baik yaitu dengan topangan keras pada bagian
belakang bayi dengan leher sedikit mengarah ke atas.
b. Kompresi
 Lokasi ibu jari atau dua jari : pada bayi yang baru lahir tekanan
yang diberikan yaitu di 1/3 bawah tulang dada yang terletak antara
processus xiphoideus dan garis khayal yang menghubungkan kedua
puting susu.
Lokasi Kompresri dada
 Kedalaman : dengan memberikan tekanan yang cukup yaitu dengan
menekan tulang dada sedalam kurang lebid 1/3 diameter
anteroposterior dada, kemudian tekanan dilepaskan agar jantung dapat
terisi. Satu kompresi terdiri atas satu tekanan ke bawah dan satu
pelepasan. Lama tekanan ke bawah harus lebih cepat daripada
lamanya pelepasan untuk memberi curah jantung secara maksimal.
Jari yang digunakan dalam metode harus tetap menyentuh dada
selama proses penekanan dan pelepasan.
 Frekuensi : satu ventilasi diberikan tiap selesai tiga kompresi,
frekuensi 30 ventilasi dan 90 kompresi per menit. Satu siklus yaitu 2
detik terdiri dari satu ventilasi dan tiga kompresi.
 Penghentian kompresi : setelah dilakukan selama 30 detik,
menghitung frekueni jantung ventilasi diberhentikan selama 6 detik.
Jika frekuensi jantung diatas 60x/menit, kompresi dada dihentikan.
Namun, diteruskan dengan kecepatan 40-60 x/menit. Jika frekuensi
jantung lebih dari 100x/menit dan bayi dapat bernafas dengan spontan,
maka bayi masih diberikan oksigen alir bebas yang kemudian secara
bertahap dihentikan.
5. Intubasi endotrakeal
Langkah ini dapat dilakukan dalam setiap tahapan resusitasi dalam
beberapa keadaan yaitu:
a. Jika pada bayi terdapat mekoneum dan bayi mengalami depresi
pernafasan, maka langkah pertama sebelum melakukan resusitasi
yang lain dilakukannya inkubasi terlebih dahulu untuk
membersihkan mekoneum dari jalan nafas.
b. Jika dilakukan ventilasi tekanan positif tidak berhasil, maka dapat
dilakukan intubasi.
c. Jika kompresi dada diperlukan, intubasi dapat dilakukan untuk
membantu koordinasi antara kompresi dada dan ventilasi.
d. Jika diperlukan pemberian epinefrin untuk menstimulasi frekuensi
jantung, maka pemberian epinefrin langsung ke trakea melalui pipa
endotrakeal.
e. Pemasangan selang endotrakeal harus dilakukan apabila bayi
dicurigai adanya hernia diafragmatika.

B. Obat-obatan
1. Epinefrin
Epinefrin digunakan apabila frekuensi jantung kurang dari
60x/menit setelah dilakukan ventilasi tekanan positif dan kompres
dada secara terkoordinasi selama 30 detik. Epinefrin tidak boleh
diberikan sebelum melakukan ventilasi karena dapat meningkatkan
beban dan penampungan oksigen otot jantung. Dosis yang diberikan
yaitu 0,1 sampai 0,3 ml/kgBB larutan 1:10.000 dengan cara intravena
atau selang endotrakeal. Jika frekuensi jantung tidak meningkat maka
dosis dapat diulang 3 sampai 5 menit secara intravena. Dosis
maksimal digunakan jika melalui selang endotrakeal.
2. Volume ekspander
Indikasi diberikan volume ekspander yaitu bayi yang baru lahir
dilakukan resusitasi dan mengalami hipovolemia dan tidak ada respon
mengenai resusitasi. Kondisi klinis ditandai dengan pucat, perfusi
buruk, nadi kecil atau lemah. Dosis awal yang diberikan yaitu 10
ml/kg BB selama 5 sampai 10 menit. Jenis cairan yang dapat
diberikan yaitu larutan kristaloid isotonis ( NaCl 0,9% Ringer Laktat).
3. Bikarbonat
Indikasi penggunaannya yaitu asidosis metabolik pada bayi baru
lahir yang mendapat resusitasi dan diberikan jika ventilasi dan
sirkulasi pernafasan sudah baik. Dosis yang digunakan adalah 2
mEq/kg BB atau 4 ml/kg BB BicNat dengan konsentrasi 4,2 %. Bila
hanya ada BicNat 7,4% maka dapat diencerkan dengan aquabides atau
dekstrosa 5% sama banyak. Pemberian secara intravena tidak boleh
melebihi dari 1 mEq/kgBB/menit.
4. Nalokson
Nalokson hidroklorida merupakan antagonis narkotik yang
diberikan dengan indikasi depresi pernafasan pada bayi baru lahir
yang ibunya menggunakan narkotik saat 4 jam sebelum melahirkan.
Cara pemberiannya yaitu dengan intravena atau selang endotrakeal,
bila perfusi baik maka dapat melalui intramuskuler atau subkutan.
Dosis yang diberikan 0,1 mg/kg BB, obat ini tersedia dalam dua
konsentrasi yaitu 0,4 mg/kg BB dan 1 mg/ml.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan proses yang terstruktur dan sistematis, mulai dari


pengumpulan data, verifikasi data, dan komunikasi data tentang klien. Pada
fase pengkajian ini terdapat 2 langkah yaitu pengumpulan data dari klien
(sumber primer) dan keluarga, tenaga kesehatan (sumber sekunder) serta
analisa data untuk diagnosa keperawatan.
1. Identitas
Identitas mengenai seluruhnya tentang pasien dapat berupa nama, alamat,
tempat tanggal lahir, alamat dan lainnya. Sehingga petugas medis dapat
mengetahui lebih jauh dari identitas pasien
2. Keluhan utama
Untuk mengetahui alasan pasien yang dirasakan saat pemeriksaan. Pasien
dengan asfiksia memiliki frekuensi jantung 110 kali/menit, tonus otot
lemah, sianosis/pucat
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat yang saat ini dialami pasien. Bayi lahir secara spontan,
berat badan bayi 2700 gram, di usia kehamilan 37 minggu, ketuban pecah
± 5 jam, warna hijau keruh kental, bau (+). Kemudian bayi langsung di
antar oleh bidan ke ruang bayi, tiba di ruang bayi keadaan umum lemah,
menangis lemah (+), cyanosis (+), hipersalivasi (+). Pada saat pengkajian
bayi tampak lemah, CRT 3 detik
b. Riwayat penyakit dahulu
1. Prenatal care
Melakukan pemeriksaan kehamilan 3 kali, selama hamil mengalami
pusing dan malaise.
2. Natal
Meahirkan dengan normal di rumah sakit, ibu mengalami kesulitan
untuk mengedan sehingga ibu cepat lelah
3. Post natal
Bayi lahir dengan normal dengan berat 2700 gram dengan panjang
badan 39 cm, bayi mengalami nafas lambat, denyut jantung menurun
dan gerakannya tampak melemah dan bayi menunjukkan keadaan
pucat atau sianosis
c. Riwayat penyakit keluarga
Terdapat penyakit penyerta kehamilan misalnya DM, TB, Paru, Tumor
Kandungan, Kista, Hipertensi
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Lemah
b. Kesadaran : Apatis E2 V4 M4
c. Tanda Vital : HR = 145x/menit, RR = 50x/menit, suhu = 36
derajat celcius
d. Antropometri : BBL = 3800 gram, Lila = 11 cm, LD = 32 cm, PB
= 50 cm, LP = 34 cm, LK = 31,5 cm
e. Refleks : morro (+), menggenggam (+), isap (+), reflek
lemah
f. Aktivitas/tonus : aktif, menangis lemah
g. Kepala/leher : frontal anterior lunak, sutura sagitalis tepat, wajah
tampak simetris.
h. Mata : bersih, terdapat reflek cahaya (+), sclera berwarna
putih
i. THT : Telinga normal, palatum normal, hidung bilateral
j. Abdomen : lunak, tali pusat segar, lingkar perut 33 cm , liver
teraba
k. Thorax : simetris, klavikula normal
l. Paru-paru : suara nafas ronchi, adanya mucus, tampak sesak,
RR 60x/menit, terpasang alat bantu O2 Incubator
m. Jantung : tidak terdapat suara murmur, denyut jantung 110x/
menit
n. Extremitas : extremitas bergerak semua dan simetris tidak ada
kelainan
o. Genetalia : perempuan normal tidak ada kelainan
p. Kulit : tampak pucat, sianosis, akral dingin, tidak terdapat
edema

3.2 Diagnosa (NANDA)

Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis atas respon pasien,


keluarga, atau komunitas terhadap kesehatan dan proses kehidupan aktual
atau potensial. Diagnosa keperawatan merupakan dasar atas pemilihan
intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang mana perawat
bertanggung jawab dan bertanggung gugat.
Berikut adalah diagnosa keperawatan pada bayi asfiksia menurut NANDA
(2018)
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi ditandai
dengan pola napas tidak normal, takipnea, dan penurunan tekanan inspirasi
b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mucus
berlebih ditandai dengan suara napas tambahan, sianosis, dan perubahan
pola napas
c. Hipotermi berhubungan dengan Suhu lingkungan rendah ditandai dengan
bayi tampak pucat, dasar kuku sianosia, dan hipoksia.

3.3 Intervensi (NOC, NIC)

Diagnosa Tujuan dan


Intervensi
Keperawat Kriteria Hasil Rasional
N ( NIC )
an ( NOC )
o
Ketidakefek Setelah dilakukan 1. Monitor kecepatan, 1. Untuk
1.
tifan pola tindakan irama, kedalaman mengetahui
napas b.d keperawatan 1 x dan kesulitan irama,
hiperventila 24 jam, bernafas kedalaman
si d.d pola diharapkan pola 2. Posisikan untuk dan
napas tidak nafas dapat meringankan sesak kesulitan
normal, efektif dengan nafas bernafas
takipnea, kriteria hasil 3. Pertahankan klien
dan 1) Kepatenan pertahanan jalan 2. Untuk
penurunan jalan nafas nafas mengurangi
tekanan dipertahankan 4. Ajarkan teknik keadaan
inspirasi pada skala 2 pernapasan dengan sesak napas
(cukup berat) mengerucutkan bibir klien
ditingkatkan dengan tepat 3. Untuk tetap
ke skala 4 menjaga
(ringan). jalan napas
2) Frekuensi klien
pernafasan 4. Untuk
dipertahankan membantu
pada skala 2 klien dalam
(cukup berat) mempertah
ditingkatkan ankan jalan
ke skala 4 napas dan
(ringan). pola nafas
3) Kedalaman menjadi
inspirasi lebih efektif
dipertahankan
pada skala 2
(cukup berat)
ditingkatkan
ke skala 4
(ringan).
Ketidakefek Setelah dilakukan 1. Posisikan pasien 1. Untuk
2.
tifan tindakan untuk memaksima
bersihan keperawatan 1 x memaksimalkan lkan
jalan napas 24 jam, ventilasi ventilasi
b.d mucus diharapkan 2. Suksion sekret dari klien.
berlebih d.d bersihan jalan hidung dan mulut 2. Untuk
suara napas napas tidak dengan penghisap membuang
tambahan, efektif dapat bola karet mucus yang
sianosis, teratasi dengan 3. Gunakan teknik menempel
dan kriteria hasil menyenangkan pada
perubahan 1) Kemampuan untuk memotovasi hidung
pola napas untuk bernafas dalam pada sehingga
mengeluarkan anak-anak (misal : klien dapat
sekret menium gelembung, mudah
dipertahankan meniup kincir, dalam
pada skala 2 peluit, harmonica, bernafas.
(cukup berat) dan balon) 3. Untuk
ditingkatkan 4. Monitor pernafasan mempermu
ke skala 4 5. Mulai ventilasi dah klien
(ringan) tekanan positif pada dalam
2) Suara nafas saat apnea atau bayi meningkatk
tambahan di sulit bernafas. an bersihan
dipertahankan jalan nafas.
pada skala 2 ( 4. Untuk
berat ) memantau
ditingkatkan lebih jauh
ke skala 5 frekuensi
(tidak ada) pernafasan
3) Frekuensi klien.
pernafasan 5. Untuk
dipertahankan mempertah
pada skala 2 ankan dan
(cukup berat) memaksima
ditingkatkan lkan
ke skala 4 keefektifan
(ringan) bersihan
jalan nafas
klien
Hipotermi Setelah dilakukan 1. Monitor warna dan 1. Untuk
3.
b.d Suhu tindakan suhu kulit mengetahui
lingkungan keperawatan 3 x 2. Jaga suhu tubuh perubahan
rendah d.d 24 jam, yang adekuat dari warna dan
bayi diharapkan bayi baru lahir suhu kulit
tampak hipotermi teratasi (misalnya, klien
pucat, dengan kriteria keringkan bayi 2. Untuk
dasar kuku hasil setelah lahir , menjaga
sianosia, 1) Hipotermi membedong bayi kehangatan
dan dipertahanka dalam selimut) klien dan
hipoksia. n pada skala 3. Letakkan bayi baru terhindar
2 (banyak lahir dengan kontak dari suhu
terganggu) kulit ke kulit dengan yang dingin
ditingkatkan orang tua, dengan 3. Untuk
ke skala 4 tepat. mempertah
(sedikit 4. Tingkatkan asupan ankan klien
terganggu) cairan dan nutrisi tetep hangat
2) Napas tidak yang adekuat dan kulit
teratur 5. Hindari dari paparan berubah
dipertahanka dan aliran udara menjadi
n pada skala yang tidak perlu, merah
2 (banyak terlalu panas, atau muda tidak
terganggu) terlalu dingin. kebiruan
ditingkatkan 4. Untuk
ke skala 4 meningkatk
(sedikit an berat
terganggu) badan klien
3) Perubahan sehingga
warna kulit tidak
dipertahanka merasakan
n pada skala hipotermi
2 (cukup 5. Untuk tetap
berat) menjaga
ditingkatkan kehangatan
pada skala 5 klien
(tidak ada) sehingga
suhuu
tubuh klien
menjadi
lebih
hangat.
BAB IV

PATHWAY

Faktor plasenta Faktor proses persalinan


Solusio plasenta Operasi caesar
Lilitan tali pusat Persalinan dibantu alat

Aliran darah berkurang

Transport O2 dan nutrisi tidak cukup

Pembuangan CO2 terganggu

Metabolisme anaerob

Timbunan asam laktat dan piruvat

Asidosis

ASFIKSIA

Pernafasan cepat Rangsangan vagus

Suplai O2 dalam
Takipnea darah menurun DJJ lambat

Syaraf vagus tidak


Pola nafas tidak Bayi tampak pucat dapat
normal mengkompensasi lagi

Akral dingin
Ketidakefektifan pola Rangsangan saraf
nafas simpatikus
Sianosis
DJJ meningkat,
irreguler, dan
Hipotermi
menghilang
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas Janin mengadakan
Pori-pori berisi cairan
pernafasan intrauterin
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Asfiksia neonatorum merupakan kondisi gawat darurat dimana bayi


mengalami kegagalan dalam bernafas secara spontan sehingga dapat
menurunnya oksigen dan semakin meningkatnya karbondioksida. Kondisi
sebelum lahir dapat ditandai dengan DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang
dari 100x/menit tidak teratur dan setelah lahir takipnea (pernafasan cepat)
karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru atau nafas tidak teratur/megap-
megap. Penanganan yang tepat yaitu dengan tindakan resusitasi yaitu dengan
langkah awal lalu ventilasi.

5.2 Rekomendasi isu menarik


Dari Januari hingga April 2019 terhitung 27 bayi meninggal saat baru lahir
akibat terbanyak yaitu kekurangan oksigen atau asfiksia. Tahun 2017 ada 38
kasus asfiksia diantara 109 kasus kematian bayi. Pada tahun 2018 terjadi 23
kasus asfiksia diantara 84 total kasus kematian bayi. Asfiksia disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu preeklampsia, eklampsia, pendarahan abnormal,
kelahiran lama, bayi terlilit oleh tali pusar.
Hal ini dapat terjadi dikarenakan saat diketahui bayi asfiksia tidak ada
penanganan segera sehingga bayi mengalami kejang, paru-parunya
bermasalah hingga kematian. Untuk ibu hamil yang beresiko tinggi sebaiknya
memperhatikan kesehatan saat awal kehamilan dan bila bayi terkena asfiksia
segera ditangani dengan segera. (Ginanjar, 2019)
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochterman, C. M. Wagner. 2013 Nursing


Intervensions Classification (NIC).United Kingdom : Elsevier Inc.
TerjemahanolehNurjannah, I., R. D. Tumanggor, S. Mulyani, M. Perdana,
A. Kasfi, W. Winarti, I. A. Azis, F. Sabrina, H. Yulianingsih, M. S.
Kristantidan S. Warsini. 2016. Yogyakarta: Mocomedia.

Dwienda, O. R., L. Maita., E. M. Saputri, dan R. Yulviana . 2014. Asuhan


Kebidanan Neonatus, Bayi/Balita dan Anak Prasekolah Untuk Bidan.
Edisi Pertama. Yogyakarta : Deepublish.

Fajarriyanti, N.I. 2017. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Asfiksia


Neonatorum Di Rsu Pku Muhammadiyah Bantul. Naskah
Publikasi.Yogyakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
‘Aisyiyah.

Ginanjar, Dhimas. 2019. Di Gresik, 27 Bayi Meninggal dalam Empat Bulan.


Gresik : Jawa Pos.

Herdman, T.H. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses: definitions and

classification 2018-2020. Jakarta: EGC.

Kemenkes RI. 2010. Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir Untuk Bidan. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.

Legawati. 2018. Asuhan Persalinan & Bayi Baru Lahir. Malang : Wineka Media.

Moorhead, S., M. Johnson, M. L. Maas, dan E. Swanson. 2013. Nursing


Outcomes Classification (NOC) ; Measurement of Health Outcomes. United
Kingdom : Elsevier Inc. TerjemahanolehNurjannah, I., R. D. Tumanggor,
M. Perdana, A. Kasfi, I. A. Azis, F. Sabrina, H. Yulianingsih, W. Winarti,
dan A. Fathi. 2016. Pengukuran Outcomes Kesehatan. Yogyakarta:
Mocomedia.
Rahma, A. S., dan A. Mahdinah. 2014. Analisis Faktor Risiko Kejadian Asfiksia
Pada Bayi Baru Lahir Di RSUD Syekh Yusuf Gowa dan RSUP Dr.
Wahidin Sudirohosodo Makasar. Jurnal Kesehatan. 7(1) : 277 – 287

Sarninta. 2017. Hubungan Umur Kehamilan Dengan Kejadian Asfiksia


Neonatorum Di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari Provinsi
Sulawesi Tenggara. Skripsi. Kendari : Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia Politeknik Kesehatan Kendari Jurusan Kebidanan.

Sunarti. 2017. Manajemen asuhan kebidanan pada bayi “s” dengan asfiksia di
rsud haji Makassar. Karya Tulis Ilmiah. Makassar : Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar.

Syaiful, Y dan Khudzaifah U. 2016. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Asfiksia Neonatorum Di Rs Muhammadiyah Gresik. Jounals of Ners
Community. 7 (1) : 55-60.

Yuliana, U. 2018. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Asfiksia


Neonatorum Di RS PKU Muhammadiyah Gamping Sleman. Naskah
Publikasi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai