Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN

KLIEN NEONATUS KRITIS DENGAN ASFIKSIA

OLEH

NAMA : 1. FESTY TRISNIA NDUN


NIM: 211112007
2. TRESHINTA P.I. ROMAN
NIM: 211112014
KELAS : ALIH JENJANG
SEMESTER : II (DUA)

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS CITRA BANGSA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan bimbinganNya, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik dan tepat pada waktunya. Kami juga mengucapkan banyak terimakasih
kepada dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukkan untuk
penyelesaian makalah ini. Makalah ini menjelaskan tentang Konsep dan Asuhan
Keperawatan Klien Neonatus dengan Asfiksia.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca sekalian, demi penyempurnaan makalah ini.

Kupang, April 2022


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asfiksia neonatorum merupakan keadaan dimana bayi tidak bernapas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir, keadaan tersebut dapat disertai
dengan adanya hipoksia, hiperkapnea dan sampai ke asidosis (Hidayat, 2008).
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur
segera setelah  lahir dengan nilai APGAR <7.
Angka kejadian asfiksia pada masing-masing negara sangat beragam.
WHO melaporkan insidens asfiksia bervariasi antara 2 - 27 per 1000
kelahiran, tergantung pada lokasi, periode, dan kriteria definisi asfiksia yang
digunakan. Asfiksia dilaporkan terjadi pada 1- - 10 - 4 per 1000 kelahiran
hidup di negara maju dan 4 - 9 per 1000 kelahiran hidup di negara
berkembang. Keadaan ini diperkirakan menyebabkan 21% kematian bayi,
terutama di negara berkembang.
Asfiksia merupakan penyebab utama kematian neonatal di Indonesia, di
samping prematur dan infeksi. Oleh karenanya, setiap penolong persalinan
harus mampu mendeteksi faktor risiko bayi akan lahir dengan asfiksia dan
manajemen asfiksia dengan melakukan resusitasi bayi baru lahir. Angka
kematian bayi (AKB) di Indonesia masih terbilang tinggi dibandingkan
dengan negara- negara ASEAN lainnya. Menurut World Health Organization
(WHO) tahun 2015, AKB di Indonesia adalah 27 per 1000 kelahiran hidup,
lebih tinggi dibandingkan Singapura yaitu 3 per 1000 kelahiran hidup,
Malaysia 5,5 per 1000 kelahiran hidup, Thailand 17 per 1000 kelahiran hidup
dan Vietnam 18 per 1000 kelahiran hidup (WHO, 2015).
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017
angka kematian bayi turun 31 persen dari 35 kematian per 1.000 kelahiran
hidup menjadi 24 kematian per 1.000 kelahiran hidup (SDKI, 2017), Data dari
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2012 menyatakan bahwa
penyebab terbesar kematian bayi baru lahir adalah asfiksia yaitu sebesar 37% ,
dan diikuti oleh prematur sebesar 34% serta sepsis sebesar 12% (Profil
kesehatan RI, 2012 dalam muthia 2017).
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan konsep teori asfiksia
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan konsep asuhan
keperawatan klien neonatus dengan asfiksia
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian asfiksia
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi dan faktor
resiko asfiksia
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan WOC asfiksia
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan
neonatus dengan asfiksia
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan terapi diet pada
neonatus dengan asfiksia
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan komplikasi neonatus
dengan asfiksia
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengkajian (primary
survey dan secondary survey)
8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan diagnosa keperawatan
neonatus dengan asfiksia
9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan intervensi
keperawatan neonatus dengan asfiksia
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Teori Asfiksia
2.1.1 Pengertian Asfiksia
Asfiksia merupakan suatu keadaan di mana bayi tidak bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir (Kemenkes RI, 2015) sehingga
dapat menurunkan oksigen dan semakin meningkatkan kadar
karbondioksida yang dapat menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan
lebih lanjut. Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bayi untuk memulai
bernapas segera setelah lahir dan kegagalan bayi untuk memulai bernapas
segera setelah lahir dan mempertahankan beberapa saat setelah lahir.
Asfiksia neonatorum merupakan sebuah emergensi neonatal yang dapat
mengakibatkan hipoksia (rendahnya suplai oksigen ke otak dan jaringan)
dan kemungkinan kerusakan otak atau kematian apabila tidak ditangani
dengan benar.
a. WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir.
b. American College of Obstetric and Gynaecology (ACOG) dan
American Academy of Paediatrics (AAP)
Asfiksia merupakan kondisi terganggunya pertukaran gas darah yang
menyebabkan hipoksemia progresif dan hiperkapnia dengan asidosis
metabolik signifikan.
c. Standar pelayanan medis ilmu kesehatan anak, Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI 2004)
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bayi bernapas spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai
dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis.
2.1.2 Etiologi Asfiksia
Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan, atau
sesaat segera setelah lahir. Beberapa faktor risiko yang diperkirakan
meningkatkan risiko asfiksia meliputi faktor ibu (antepartum atau
intrapartum) dan faktor janin (antenatal atau pascanatal) Asfiksia pada
BBL dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor ibu, faktor
plasenta dan tali pusat, serta faktor bayi.
a. Faktor Ibu
Pre-eklampsia dan eklampsia, Perdarahan antepartum abnormal
(plasenta pervia/ solusio plasenta), Partus lama/partus macet, Demam
sebelum dan selama persalinan, Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC,
HIV) dan Kehamilan post matur (≥ 42 minggu kehamilan).
b. Faktor Plasenta dan Tali Pusat
Lilitan tali pusat, Tali pusat pendek, simpul tali pusat, Prolaps tali
pusat, Hematom plasenta, dan Infark plasenta.
c. Faktor Bayi
Adanya gawat janin: lahir bayi prematur (< 37 minggu kehamilan),
Persalinan sulit (sungsang, kembar, distosia bahu, VE, forceps), dan
Kelainan kongenital.
2.1.3 Klasifikasi Asfiksia
Klasifikasi Asfiksia Neonatorum Menurut Marmi dan Rahardjo, asfiksia di
klasifikasikan sebagai berikut:
a. Virgorous baby
Skor APGAR 7-10, dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak
memerlukan tindakan resusitasi.
b. Asfiksia sedang
Nilai APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi
jantung lebih dari 100 kali/menit, tonus otot kurang baik ataubaik,
sianosis dan refleks iritabilitas tidak ada.
c. Asfiksia berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung
kurang dari 100 kali/menit, tonus otot buruk, sianosis berat yang
kadang-kadang pucat dan refleks iritabilitas tidak ada.
2.1.4 Patofisiologi dan WOC Asfiksia
Asfiksia neonatorum dimulai saat bayi kekurangan oksigen akibat
gangguan aliran oksigen dari plasenta ke janin saat kehamilan, persalinan,
ataupun segera setelah lahir karena kegagalan adaptasi di masa transisi.
Saat keadaan hipoksia akut, darah cenderung mengalir ke organ vital
seperti batang otak dan jantung, dibandingkan ke serebrum, pleksus
koroid, substansia alba, kelenjar adrenal, kulit, jaringan muskuloskeletal,
organ-organ rongga toraks dan abdomen lainnya seperti paru, hati, ginjal,
dan traktus gastrointestinal. Perubahan dan redistribusi aliran darah
tersebut disebabkan oleh penurunan resistensi vaskular pembuluh darah
otak dan jantung serta peningkatan resistensi vaskular perifer. Keadaan ini
ditunjang hasil pemeriksaan ultrasonografi Doppler yang menunjukkan
kaitan erat antara peningkatan endotelin-1 (ET-1) saat hipoksia dengan
penurunan kecepatan aliran darah dan peningkatan resistensi arteri ginjal
dan mesenterika superior. Hipoksia yang tidak mengalami perbaikan akan
berlanjut ke kondisi hipoksik-iskemik pada organ vital Proses hipoksik-
iskemik otak dibagi menjadi fase primer (primary energy failure) dan
sekunder (secondary energy failure). Pada fase primer, kadar oksigen
rendah memicu proses glikolisis anaerob yang menghasilkan produk
seperti asam laktat dan piruvat, menimbulkan penurunan pH darah
(asidosis metabolik). Hal ini menyebabkan penurunan ATP sehingga
terjadi akumulasi natrium-kalium intrasel dan pelepasan neurotrasmiter
eksitatorik akibat gangguan sistem pompa Na-K-ATP-ase dan glial-ATP-
ase. Akumulasi natrium intrasel berkembang menjadi edema sitotoksik
yang memperburuk distribusi oksigen dan glukosa, sedangkan interaksi
glutamat dengan reseptor mengakumulasi kalsium intrasel, mengaktivasi
fosfolipase, nitrit oksida (NO), dan enzim degradatif hingga berakhir
dengan kematian sel. Fase primer ini berakhir dengan kematian neuron
primer atau resolusi fungsi otak (periode laten).
Reperfusi yang terjadi setelah fase primer akan mengembalikan
sebagian fungsi metabolisme, namun apabila cedera otak pada fase primer
cukup berat, kerusakan neuron akan kembali tejadi setelah 6 – 48 jam (fase
sekunder). Fase sekunder ditandai dengan penurunan ATP, aktivasi
kaskade neurotoksik, dan pelepasan radikal bebas tanpa disertai asidosis
akibat disfungsi mitokondria. Selain itu, cedera hipoksik-iskemik otak juga
memicu produksi sitokin proinflamasi yang semakin memperburuk cedera
jaringan. Keseluruhan proses ini memicu terjadinya apoptosis sel
(secondary energy failure). Beberapa studi memperlihatkan bahwa sel otak
akan mengalami fase regenerasi setelah fase sekunder berakhir. Namun
pada sebagian bayi yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI),
proses berupa gangguan neurogenesis, sinaptogenesis serta - 14 -
gangguan perkembangan akson diikuti peningkatan inflamasi dan
apoptosis tetap berlangsung. Mekanisme yang belum diketahui dengan
sempurna ini memberikan gambaran bahwa kerusakan sel otak masih
dapat berlanjut hingga beberapa waktu ke depan dan memengaruhi luaran
bayi EHI secara signifikan. Beratnya kerusakan otak pada masa perinatal
juga tergantung pada lokasi dan tingkat maturitas otak bayi. Hipoksia pada
bayi kurang bulan cenderung lebih berat dibandingkan dengan bayi cukup
bulan karena redistribusi aliran darah bayi prematur kurang optimal,
terutama aliran darah ke otak, sehingga meningkatkan risiko gangguan
hipoksik-iskemik, dan perdarahan periventrikular. Selain itu, imaturitas
otak berkaitan dengan kurangnya ketersediaan antioksidan yang
diperlukan untuk mendetoksifikasi akumulasi radikal bebas.
Asfiksia menyebabkan gangguan sistemik ke berbagai organ tubuh.
62% gangguan terjadi pada sistem saraf pusat, 16% kelainan sistemik
tanpa gangguan neurologik dan sekitar 20% kasus tidak memperlihatkan
kelainan. Gangguan fungsi susunan saraf pusat akibat asfiksia hampir
selalu disertai dengan gangguan fungsi beberapa organ lain (multiple
organ failure). Gangguan sistemik secara berurutan dari yang terbanyak,
yaitu melibatkan sistem hepatik, respirasi, ginjal, kardiovaskular. Kelainan
susunan saraf pusat tanpa disertai gangguan fungsi organ lain umumnya
tidak disebabkan oleh asfiksia perinatal. Berikut ini penjelasan mengenai
komplikasi asfiksia pada masing-masing organ:
1. Sistem susunan saraf pusat
Gangguan akibat hipoksia otak pada masa perinatal yang paling sering
ditemukan adalah EHI. Kerusakan otak akibat EHI merupakan proses
yang dimulai sejak terjadi hipoksia dan dapat berlanjut selama hingga
setelah periode resusitasi. Kerusakan ini diawali dengan kegagalan
pembentukan energi akibat hipoksia dan iskemia, yang diperberat
dengan terbentuknya radikal bebas pada tahap lanjut. Cedera otak
akibat EHI ini menimbulkan area infark pada otak yang dikelilingi
oleh area penumbra. Area penumbra dapat mengalami nekrosis atau
apoptosis neuron yang berlanjut setelah hipoksia berakhir. Tata
laksana suportif dalam periode 48 jam pertama pasca-asfiksia dapat
mengurangi kerusakan neuron di area penumbra ini. Perdarahan peri
intraventrikular dapat terjadi setelah periode hipoksia. Area
periventrikular merupakan bagian yang memiliki vaskularisasi
terbanyak. Pada saat hipoksia berakhir, daerah yang memperoleh
banyak aliran darah ini akan mengalami perubahan tekanan arterial
paling besar. Keadaan ini menimbulkan pengaruh yang signifikan pada
pleksus koroid yang cenderung tipis dan rapuh dengan sedikit struktur
penunjang. Peningkatan tekanan vena juga terjadi pada bagian yang
sama dengan akibat stasis aliran darah, kongesti pembuluh darah, serta
risiko ruptur dan perdarahan. Kondisi tersebut dikenal sebagai cedera
reperfusi (reperfusion injury).
2. Sistem respirasi
Penelitian melaporkan sekitar 26% bayi asfiksia mengalami gangguan
sistem pernapasan. Kelainan sistem pernapasan yang dapat ditemukan
antara lain peningkatan persisten tekanan pembuluh darah paru
(persistent pulmonary hypertension of the newborn / PPHN),
perdarahan paru, edema paru akibat disfungsi jantung, sindrom gawat
napas (respiratory distress syndrome / RDS) sekunder akibat kegagalan
produksi surfaktan, serta aspirasi mekonium. Bayi dinyatakan
mengalami gangguan pernapasan akibat asfiksia apabila bayi
memerlukan bantuan ventilasi atau penggunaan ventilator dengan
kebutuhan FiO2 >40% minimal selama 4 jam pertama setelah lahir.
Mekanisme gagal napas pada bayi asfiksia dapat disebabkan oleh
hipoksia, iskemia, aspirasi mekonium, disfungsi ventrikel kiri, defek
sistem koagulasi, toksisitas oksigen, dan efek ventilasi mekanik. Selain
itu, kombinasi asfiksia dan aspirasi mekonium dapat memperberat
rasio resistensi pulmonar dan sistemik.
3. Sistem kardiovaskular
Diperkirakan 29% bayi asfiksia mengalami gangguan sistem
kardiovaskular, yang meliputi transient myocardial ischaemia (TMI),
transient mitral regurgitation (TMR), transient tricuspid regurgitation
(TTR), persistent pulmonary hypertension of the newborn (PPHN).
Bayi dianggap mengalami disfungsi sistem kardiovaskular terkait
asfiksia apabila terdapat ketergantungan terhadap obat inotropik untuk
mengatasi hipotensi dan mempertahankan tekanan darah normal
selama lebih dari 24 jam atau ditemukan gambaran TMI pada
pemeriksaan elektrokardiografi.
4. Sistem urogenital
Salah satu gangguan ginjal yang disebabkan oleh hipoksia berat adalah
hypoxic-ischemic acute tubular necrosis. Bayi dapat dinyatakan
mengalami gagal ginjal bila memenuhi 3 dari 4 kriteria sebagai
berikut: pengeluaran urin 40 mg/dL, kadar kreatinin serum >1 mg/dL,
serta hematuria atau proteinuria signifikan dalam 3 hari pertama
kehidupan. Pada penelitian sebelumnya dikemukakan bahwa 42% bayi
asfiksia mengalami gangguan sistem ginjal. Data ini didukung oleh
penelitian Gupta BD dkk. (2009) yang menemukan 47,1% bayi
asfiksia mengalami gagal ginjal dengan 78% kasus di antaranya
merupakan tipe nonoliguria dan 22% lainnya merupakan tipe oliguria.
5. Sistem gastrointestinal
Keterlibatan sistem gastrointestinal pada bayi asfiksia mencapai 29%
kasus. Hipoksia berakibat pada pengalihan aliran darah dari usus yang
meningkatkan risiko enterokolitis nekrotikan / EKN. Selain itu,
hipoksia dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Kriteria disfungsi
sistem hepatik antara lain nilai aspartat aminotransferase >100 IU/l
atau alanin transferase >100 IU/l pada minggu pertama setelah
kelahiran.
6. Sistem audiovisual
Retinopati pada neonatus tidak hanya terjadi akibat toksisitas oksigen,
tetapi dapat pula ditemukan pada beberapa penderita yang mengalami
hipoksemia menetap. Autoregulasi aliran darah serebral pada hipoksia,
selain menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, juga
meningkatkan tekanan aliran balik vena. Selain itu, hipoksia dapat
menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh sehingga meningkatkan
risiko terjadi perdarahan. Penelitian melaporkan insidens perdarahan
retina pada bayi cukup bulan dengan asfiksia neonatal dan / atau EHI
lebih tinggi (29,3%) dibandingkankan bayi cukup bulan tanpa asfiksia
dan / atau EHI (15,7%). Leukomalasia periventrikular merupakan
tahap akhir cedera pada EHI, yang terjadi pada sekitar 32% bayi
prematur pada usia gestasi 24-34 minggu. Keadaan ini dapat
menyebabkan penurunan ketajaman visus, penyempitan lapangan
pandang bagian inferior, gangguan visual kognitif, gangguan
pergerakan bola mata, dan diplegia spastik. Suatu studi retrospektif
mencatat 24% bayi memperlihatkan gambaran diskus optikus (optic
disc) yang normal, 50% bayi mengalami hipoplasia saraf optik dengan
beberapa derajat atrofi, dan 26% bayi dengan atrofi optik terisolasi
(isolated optic atrophy). Insidens gangguan pendengaran pada bayi
prematur dengan asfiksia mencapai 25%. Kelainan pendengaran ini
disebabkan oleh kerusakan nukleus koklearis dan jaras pendengaran.
Suatu studi melaporkan kelainan brainstem auditory evoked responses
(BAER) pada 40,5% bayi pascaasfiksia yang mengalami gangguan
perkembangan otak dan 12,2% bayi tanpa gangguan perkembangan
otak.

Lilitan tali pusat, tali pusat Bayi: Kelainan kongenital,


pendek, hematom plasenta prematur, perslinan sulit

Hipoksia

Pola napas tdk


ASFIKSIA RESUSITASI
adekuat

Janin (-) O2 & Paru-paru terisi


CO2 meningkat cairan

Takipnea Suplai O2 dlm Suplai O2 ke Bersihan Jalan Gangguan metabolisme


darah menurun paru2 menurun Napas Tdk Efektif & perubahan asam basa
Pola nafas tdk
efektif Kerusakan otak Asidosis respiratorik

Apnea Kematian bayi Gangguan ventilasi


perfusi

Janin tdk bereaksi Gangguan pertukaran


thdp rangsangan gas
2.1.5 Tanda Dan Gejala Asfiksia
Gejala klinis:
 RR> 60 x/mnt atau < 30 x/mnt
 Bradikardia
 tonus otot berkurang
 DJJ lebih dari 1OOx/mnt/kurang dari lOOx/menit tidak teratur
 Takikardi
 Apnea
 Pucat
 Sianosis
 penurunan terhadap stimulus
 Nafas cepat, nafas cuping hidung

Gejala lanjut pada asfiksia :


 Pernafasan megap-megap yang dalam
 Denyut jantung terus menurun
 Tekanan darah mulai menurun
 Bayi terlihat lemas (flaccid)
 Menurunnya tekanan O2 anaerob (PaO2)
 Meningginya tekanan CO2 darah (PaO2)
 Menurunnya PH (akibat acidosis respoiraktorik dan metabolic)
 Dipakainya sumber glikogen tubuh anak metabolisme anaerob
 Terjadinya perubahan sistem kardivaskuler
2.1.6 Penatalaksanaan Asfiksia
Segera setelah bayi baru lahir perlu diidentifikasi atau dikenal
secara cepat supaya bisa dibedakan antara bayi yang perlu diresusitasi atau
tidak. Tindakan ini merupakan langkah awal resusitas bayi baru lahir.
Tujuannya supaya intervensi yang diberikan bisa dilaksanakan secara tepat
dan cepat (tidak terlambat).
1. Membuka Jalan Nafas
Tujuan : Untuk memastikan terbuka tidaknya jalan nafas.
Metode :
a. Meletakkan bayi pada posisi yang benar.
Letakkan bayi secara terlentang atau miring dengan leher agak
ekstensi/ tengadah. Perhatikan leher bayi agar tidak mengalami
ekstensi yang berlebihan atau kurang. Ekstensi karena keduanya
akan menyebabkan udara yang masuk ke paru-paru terhalangi.
Letakkan selimut atau handuk yang digulung dibawah bahu
sehingga terangkat 2-3 cm diatas matras.
Apabila cairan/lendir terdapat bar dalam mulut, sebaiknya kepala
bayi dimiringkan supaya lendir berkumpul di mulut (tidak
berkumpul di farings bagian belakang) sehingga mudah
disingkirkan.
b. Membersihkan Jalan Nafas
Apabila air ketuban tidak bercampur mekonium, hisap cairan dari
mulut dan hidung, mulut dilakukan terlebih dahulu kemudian
hidung.
Apabila air ketuban tercampur mekonium, hanya hisap cairan dari
trakea, sebaiknya menggunakan alat pipa endotrakel (pipa ET).
Urutan kedua metode membuka jalan nafas ini bisa dibalik,
penghisapan terlebih dahulu baru meletakkan bayi dalam posisi
yang benar, pembersihan jalan nafas pada semua bayi yang sudah
mengeluarkan mekoneum, segera setelah lahir (sebelum baru
dilahirkan) dilakukan dengan menggunakan keteter penghisap no 10
F atau lebih. Cara pembersihannya dengan menghisap mulut, farings
dan hidung.
2. Mencegah Kehilangan Suhu Tubuh / Panas
Tujuan : Mencegah komplikasi metabolisme akibat kehilangan panas.
Metode :
Meletakkan bayi terlentang dibawah pemancar panas (Infant warmer)
dengan temperatur untuk bayi aterm 34°C, untuk bayi preterm 35°C.
Tubuh dan kepala bayi dikeringkan dengan menggunakan handuk dan
selimut hangat, keuntungannya bayi bersih dari air ketuban, mencegah
kehilangan suhu tubuh melalui evaporosi serta dapat pula sebagai
pemberian rangsangan taktik yang dapat menimbulkan atau
mempertahankan pernafasan. Untuk bayi sangat kecil (berat badan kurang
dari 1500 gram) atau apabila suhu ruangan sangat dingin dianjurkan
menutup bayi dengan sehelai plastik tipis yang tembus pandang.
3. Pemberian Tindakan VTP (Ventilasi Tekanan Positif)
Tujuan : untuk membantu bayi baru lahir memulai pernafasan.
Metode :
Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar.
Agar VTP efektif kecepatan memompa (Kecepatan Ventilasi dan tekanan)
ventilasi harus sesuai, kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60 kali/menit.
Tekanan ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut :
 Nafas pertama setelah lahir membutuhkan 30-40 cm H2O.
 Setelah nafas pertama membutuhkan 15-20 cm H2O.
 Bayi dengan kondisi / penyakit paru-paru yang berakibat turunnya
compliance membutuhkan 20-40 cm H2O.
 Tekanan ventilasi hanya dapat diukur apabila digunakan balon yang
mempunyai pengukur tekanan.
4. Observasi gerak dada bayi
Adanya gerakan dada bayi naik turun merupakan bukti bahwa sungkup
terpasang dengan baik dan paru-paru mengembang. Bayi seperti menarik
nafas dangkal. Apabila dada bergerak maksimum, bayi seperti menarik
nafas panjang, menunjukkan paru-paru terlalu mengembang, yang berarti
tekanan diberikan terlalu tinggi. Hal ini dapat menyebabkan
pneumotoraks.
5. Observasi gerak perut bayi
Gerak perut tidak dapat dipakai sebagai pedoman ventilasi yang efektif.
Gerak perut mungkin disebabkan masuknya udara kedalam lambung.
6. Penilaian suara nafas bilateral
Suara nafas didengar dengan menggunakan stetoskop. Adanya suara nafas
di kedua paru-paru merupakan indikasi bahwa bayi mendapat ventilasi
yang benar.
7. Observasi pengembangan dada bayi
Apabila dada terlalu berkembang, kurangi tekanan dengan mengurangi
meremas balon. Apabila dada kurang berkembang, mungkin disebabkan
oleh salah satu sebab berikut yakni perlekatan sungkup kurang sempurna,
arus udara terhambat, atau tidak cukup tekanan.
8. Pemberian Obat-Obatan Penunjang
Obat-obatan diperlukan apabila frekuensi jantung bayi tetap 80 per menit
walaupun telah dilakukan ventilasi adekuat (dengan oksigen 100%) dan
kompresi dada untuk paling sedikit 30 detik atau frekuensi jantung nol.
Obat-obatan yang diperlukan pada bayi asfiksia :
a. Beri adrenalin (larutan 1 : 10.000) dengan dosis 0,1-0,3 ml/kg berat
badan, apabila bayi mengalami bradikardia menetap diberikan
sublingual atau diberikan intravena, sementara NaHCO3 tetap
diberikan, disertai pernafasan buatan.
b. Natrium bicarbonat (NaHCO3) diberikan dengan dosis 2 ml/kg
berat badan (cairan 7,5%) dilarutkan dengan Dextrose 10% dalam
perbandingan 1:1 disuntikkan perlahan-lahan kedalam Vena
umbilikus dalam waktu 5 menit.
c. Infus NaCl 0,9% atau Ringer laktat 10 ml/kg berat badan.
9. Penatalaksanaan Berdasarkan Penilaian Apgar Skor
a. Apgar skor menit I : 0-3
 Jaga agar bayi tidak kedinginan, sebab dapat menimbulkan
hipotermis dengan segala akibatnya. Jangan diberi rangsangan
taktil, jangan diberi obat perangsang nafas lekukan resusitasi.
 Lakukan segera intubasi dan lakukan mouth ke tube atau
pulmanator to tube ventilasi. Bila intubasi tidak dapat, lakukan
mouth to mouth respiration kemudian dibawa ke ICU.
 Ventilasi Biokemial
 Dengan melakukan pemeriksaan blood gas, kalau perlu dikoreksi
dengan Natrium Bicarbonat. Bila fasilitas Blood gas tidak ada,
berikan Natrium Bicarbonat pada asfiksia berat dengan dosis 2-4
mcg/kg BB, maksimum 8 meg/kg BB / 24 jam. Ventilasi tetap
dilakukan. Pada detik jantung kurang dari 100/menit lakukan pijat
jantung 120/menit, ventilasi diteruskan 40 x menit. Cara 3-4x pijat
jantung disusul 1x ventilasi.
b. Apgar skor menit I : 4-6
 Seperti yang diatas, jangan dimandikan, keringkan seperti diatas.
 Beri rangsangan taktil dengan tepukan pada telapak kaki,
maksimum 15-30 detik.
 Bila belum berhasil, beri O2 dengan atau tanpa corong (lebih baik
O2 yang dihangatkan).
 Skor apgar 4-6 dengan detik jantung kurang dari 100 kali permenit
lakukan bag dan mask ventilation dan pijat jantung.
c. Apgar skor menit I : 7-10
 Bersihkan jalan nafas dengan kateter dari lubang hidung dahulu
(karena bayi adalah bernafas dengan hidung) sambil melihat
adakah atresia choane, kemudian mulut, jangan terlalu dalam
hanya sampai fasofaring. Kecuali pada bayi asfiksia dengan
ketuban mengandung mekonium, suction dilakukan dari mulut
kemudian hidung karena untuk menghindari aspirasi paru.
 Bayi dibersihkan (boleh dimandikan) kemudian dikeringkan,
termasuk rambut kepala, karena kehilangan panas paling besar
terutama daerah kepala.
 Observasi tanda vital sampai stabil, biasanya 2 jam sampai 4 jam.
2.1.7 Komplikasi Asfiksia
Asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir dapat menimbulkan komplikasi
pada berbagai organ, yaitu:
a. Otak: hipoksia iskemik ensefalopati, edema serebri, kecacatan cerebral
palsy.
b. Jantung dan paru-paru: hipertensi pulmonal presisten pada neonatus,
perdarahan paru dan edema paru.
c. Fastrointestinal: enterokolitisnekrotikan
d. Ginjal: tubular nekrosis akut, SIADH
e. Hematologi: DIC

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Asfiksia


2.2.1 Pengkajian Keperawatan
 Identitas
Biodata: Kejadian pada bayi lahir dengan asfiksia semakin beresiko
pada kehamilan beresiko tinggi yang mengarah kepada kegawatan
bayi. Pada kasus asfiksia terjadi dengan penyebab terbanyak antara lain
faktor keadaan bayi, faktor keadaan ibu, faktor plasenta, ketuban pecah
dini dan faktor pesalinan. Faktor pesalinan meliputi partus lama atau
macet. (Adriana dkk, 2015).
 Keluhan utama
Sebagian besar keluhan utama pada pasien dengan asfiksia dapat
dilihat dengan riwayat apgar skor dengan nilai apgar 4 – 6 yang disebut
asfiksia sedang, nilai 0-3 disebut dengan asfiksia berat. Penilaian
pernafasan pada bayi post asfiksia dapat dilihat dengan nilai down skor
yang muncul diantaranya jika skor kurang dari 3 maka termasuk gawat
nafas ringan, nilai 4 – 6 gawat nafas sedang, sedangkan pada down
skor nilai lebih dari 6 termasuk gawat nafas berat.
 Riwayat kesehatan dahulu
Terjadi riwayat kehamilan atau persalinan (prenatal, misalnya lilitan
tali pusat, presentase janin abnormal, hipoksia ibu, eklampsia: natal,
misalnya terdapat gangguan neonatal, misalnya trauma persalinan,
perdarahan rongga tengkorak, kelainan bawaan hernia diafragmatik
atresia atau stenosisi jalan nafas)
 Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga apakah dalam keluarga pernah mengalami
riwayat asfiksia. Ibu hamil yang mengalami (hipoksia, eklampsi,
toksemia, hipotensi karena pendarahan, diabetes militus, kelainan
jantung atau gagal ginjal) faktor plasenta (gangguan pertukaran gas
antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta,
misalnya solusi plasenta atau plasenta previa) faktor pencetus (janin
terlilit tali pusat, tali pusat menumbung dan lain lain) dan faktor
persalinan (partus lama, kelahiran sungsang, kembar, sekso sesarea,
dan proses persalinan abnormal lainya) (Latifa, 2018).
 Riwayat Kesehatan
Umur Kehamilan: Umur kehamilan yang kurang bulan (35 tahun,
kehamilan lebih atau kurang bulan, dan persalinan yang abnormal)
 Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum  Keadaan umum adalah penilai pertama untuk
mengukur skala neurologis menggunakan riwayat apgar score,
kesulitan bernafas akibat bersihan jalan nafas atau hipoksia janin
akibat otot pernafasan yang kurang optimal dan penilaian
menggunakan nilai dwon skor dengan nilai skor kurang dari 3
maka termasuk gawat nafas ringan, nilai 4 – 6 tgawat nafas sedang,
sedangkan pada down skor nilai lebih dari 6 termasuk gawat nafas
berat.
2) TTV (Tanda Tanda Vital)  Pengukuran tanda tanda vital pada
bayi baru lahir dengan pernafasan lambat (Sembiring, 2019)
menyebutkan bahwa bayi dengan kontak kulit biasanya suhu tubuh
normal dipertahankan pada 36,5°C – 37°C (aksilla). Nilai heart rate
normal pada bayi baru lahir adalah 100-160x/menit (Thomas,
2012) sedangkan menurut (Sidarta, 2013) respiratory normal
adalah 60x/menit.
3) Kebutuhan dasar Sirkulasi  nadi apical dapat berfluktasi dari 110
sampai 180x/menit. Tekanan darah sistolik 60/40 – 80/45 mmHg,
bunyi jantung, murmur biasa terjadi selama beberapa jam pertama
kehidupan, tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan
1 vena
4) Makanan/minuman  pada usai neonatus tidak mendapatkan
makan kecuali ASI, neonatus post asfiksia mendapatkan ASI yang
cukup untuk mencegah hipoglikemi dan menggunakan OGT.
5) Neurosensori  tonus otot (fleksi hipertonik dari semua
ekstremitas) sadar dan aktif mendemonstrasikan reflek menghisap
selama 30 menit pertama setelah melahirkaan, menangis kuat,
sehat, nada sedang)
6) Pernafasan  Nilai down skor 4-5 gawat nafas sedang, nilai lebih
dari 6 gawat nafas berat, RR rentang dari 30 – 60 permenit, pola
periodic dapat terlihat, bunyi nafas bilateral, kadang kadang krekles
umum pada awalnya silindrik thorak (kartilago xifoid menonjol
umum terjadi)
7) Reflek  Reflek moro lemah karena usia gestasinya kurang dari
37 minggu sehingga otot otot pada wajah juga belum sempurna,
kegawatan nafas juga menyebabkan melemahnya otot otot pada
wajah bayi sehingga berpengaruh pada reflek menghisap karena
bayi premature kurang berkembang (Sharon, 2011).

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Ketidakefektifan Bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi
mukus banyak.
2. Ketidakefektifan pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
hipoventilasi atau hiperventilasi
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
perfusi ventilasi.
2.2.3 Intervensi Keperawatan
No SDKI SLKI SIKI
1 (D.0001) Bersihan Jalan Napas Manajemen Jalan Nafas (I.
Ketidakefektifan Meningkat (L.01001) 01011)
Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan tindakan
berhubungan dengan keperawatan selama ....x24 1. Observasi
produksi mukus jam bersihan jalan napas  Monitor pola napas
banyak. pasien efektif dengan (frekuensi, kedalaman,
kriteria hasil: usaha napas)
1. Dispnea menurun  Monitor bunyi napas
2. Gelisah menurun tambahan (mis.
3. Frekuensi napas Gurgling, mengi,
membaik weezing, ronkhi
4. Pola napas membaik kering)
 Monitor sputum
(jumlah, warna,
aroma)
2. Terapeutik
 Pertahankan
kepatenan jalan napas
 Posisikan semi-Fowler
atau Fowler
 Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
 Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum
 Berikan oksigen, jika
perlu
3. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.

Pemantauan Respirasi (I.01014)

1. Observasi
 Monitor frekuensi,
irama, kedalaman, dan
upaya napas
 Monitor pola napas
(seperti bradipnea,
takipnea,
hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-
Stokes, Biot, ataksik)
 Monitor kemampuan
batuk efektif
 Monitor adanya
produksi sputum
 Monitor adanya
sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
 Auskultasi bunyi
napas
 Monitor saturasi
oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-
ray toraks
2. Terapeutik
 Atur interval waktu
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil
pemantauan
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

2 Ketidakefektifan pola POLA NAFAS PEMANTAUAN RESPIRASI


napas berhubungan MEMBAIK (L.01004) (I.01014)
dengan hipoventilasi Setelah dilakukan tindakan
atau hiperventilasi keperawatan selama ....x24 1. Observasi
jam pola napas pasien  Monitor frekuensi,
membaik dengan kriteria irama, kedalaman, dan
hasil: upaya napas
1. Ventilasi semenit  Monitor pola napas
cukup meningkat (seperti bradipnea,
2. Dispnea cukup takipnea,
menurun hiperventilasi, Kussma
3. Penggunaan otot bantu ul, Cheyne-Stokes,
napas cukup menurun Biot, ataksik0
4. Pernapasan cuping  Monitor kemampuan
hidung cukup batuk efektif
menurun  Monitor adanya
produksi sputum
 Monitor adanya
sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
 Auskultasi bunyi
napas
 Monitor saturasi
oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-
ray toraks
2. Terapeutik
 Atur interval waktu
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil
pemantauan
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu

MENEJEMEN JALAN NAPAS


(I. 01011)

1. Observasi
 Monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
 Monitor bunyi napas
tambahan (mis.
Gurgling, mengi,
weezing, ronkhi
kering)
 Monitor sputum
(jumlah, warna,
aroma)
2. Terapeutik
 Pertahankan
kepatenan jalan napas
dengan head-tilt dan
chin-lift (jaw-thrust
jika curiga trauma
cervical)
 Posisikan semi-Fowler
atau Fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
 Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum
 Penghisapan
endotrakeal
 Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsepMcGill
 Berikan oksigen, jika
perlu
3. Edukasi
 Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi.
 Ajarkan teknik batuk
efektif
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.

3 Gangguan pertukaran Pertukaran gas (L.01003) PEMANTAUAN RESPIRASI


gas berhubungan Setelah dilakukan tindakan (I.01014)
dengan keperawatan selama ....x24
ketidakseimbangan jam pertukaran gas pasien 1. Observasi
perfusi ventilasi. membaik dengan kriteria  Monitor frekuensi,
hasil: irama, kedalaman, dan
1. Dispnea menurun upaya napas
2. Bunyi napas tambahan  Monitor pola napas
menurun (seperti bradipnea,
3. Napas cuping hidung takipnea,
menurun hiperventilasi,
4. Takikardia membaik Kussmaul, Cheyne-
5. pH arteri membaik Stokes, Biot, ataksik0
6. sianosis membaik  Monitor kemampuan
7. pola napas membaik batuk efektif
8. warna kulit membaik  Monitor adanya
produksi sputum
 Monitor adanya
sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
 Auskultasi bunyi
napas
 Monitor saturasi
oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-
ray toraks
2. Terapeutik
 Atur interval waktu
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil
pemantauan
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

 TERAPI OKSIGEN (I.01026)

1. Observasi
 Monitor kecepatan
aliran oksigen
 Monitor posisi alat
terapi oksigen
 Monitor aliran oksigen
secara periodic dan
pastikan fraksi yang
diberikan cukup
 Monitor efektifitas
terapi oksigen (mis.
oksimetri, analisa gas
darah ), jika perlu
 Monitor kemampuan
melepaskan oksigen
saat makan
 Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
 Monitor tanda dan
gejala toksikasi
oksigen dan
atelektasis
 Monitor tingkat
kecemasan akibat
terapi oksigen
 Monitor integritas
mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen
2. Terapeutik
 Bersihkan secret pada
mulut, hidung dan
trachea, jika perlu
 Pertahankan
kepatenan jalan nafas
 Berikan oksigen
tambahan, jika perlu
 Tetap berikan oksigen
saat pasien
ditransportasi
 Gunakan perangkat
oksigen yang sesuai
dengat tingkat
mobilisasi pasien
3. Edukasi
 Ajarkan pasien dan
keluarga cara
menggunakan oksigen
dirumah
4. Kolaborasi
 Kolaborasi penentuan
dosis oksigen
 Kolaborasi
penggunaan oksigen
saat aktivitas dan/atau
tidur

2.2.4
BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Pada dasarnya penyebab asfiksia dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut yaitu perdarahan, infeksi, kelahiran preterm/bayi berat lahir rendah,
asfiksia, hipotermi, perlukaan kelahiran dan lain-lain. Bahwa 50% kematian
bayi terjadi dalam periode neonatal yaitu dalam bulan pertama kehidupan,
kurang baiknya penanganan bayi baru lahir yang lahir sehat akan
menyebabkan kelainan-kelainan yang dapat mengakibatkan cacat seumur
hidup bahkan kematian.
Umur ibu pada waktu hamil sangat berpengaruh pada kesiapan ibu
sehingga kualitas sumber daya manusia makin meningkat dan kesiapan untuk
menyehatkan generasi penerus dapat terjamin. Kehamilan di usia
muda/remaja (dibawah usia 20 tahun) akan mengakibatkan rasa takut
terhadap kehamilan dan persalinan, hal ini dikarenakan pada usia tersebut ibu
mungkin belum siap untuk mempunyai anak dan alat-alat reproduksi ibu
belum siap untuk hamil. Begitu juga kehamilan di usia tua (diatas 35 tahun)
akan menimbulkan kecemasan terhadap kehamilan dan persalinannya serta
alat-alat reproduksi ibu terlalu tua untuk hamil.
1.2 Saran
Jika dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan dan kesalahan, kami
mohon maaf. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun agar kami dapat memperbaiki dengan sebaik mungkin dan
menjadikan contoh untuk makalah yang akan datang.
1.3
DAFTAR PUSTAKA
Subekthi Nike Budhi. 2019. Buku Saku Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir:
Panduan Untuk Dokter, Perawat dan Bidan. Jakarta: ECG
Setiani Astuti, Esyuananik & Sukesi. 2016. Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi,
Balita dan Anak Pra Sekolah. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan
Muchtar Asmujeni, dkk. 2015. Buku Ajar Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta
Selatan: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 53 Tahun 2014. Pelayanan
Kesehatan Neonatal Esensial.
https://dinkes.jatimprov.go.id/userfile/dokumen/PMK%20No.
%2053%20ttg%20Pelayanan%20Kesehatan%20Neonatal%20Esensial.pdf
diakses tanggal 7 April 2022

Anda mungkin juga menyukai