Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kematian neonatus di Indonesia masih cukup tinggi yaitu sebesar 19

kematian per 1.000 (SDKI, 2007). Sebagian besar penyebab kematian bayi dan

balita adalah masalah yang terjadi pada bayi baru lahir / neonatal (umur 0-28 hari)

dan setiap 6 menit terdapat bayi baru lahir meninggal. World Health Organization

(WHO) mengungkapkan bahwa dari 8 juta kematian bayi di dunia, 48 % adalah

kematian neonatal dan 60% bayi yang meninggal pada satu minggu pertama

disebabkan oleh gangguan perinatal yang salah satunya adalah asfiksia (Saifuddin,

2003).

Asfiksia merupakan penyebab kematian paling tinggi, yang menyumbang

kurang lebih 23% dari sekitar 4 juta kematian neonatus di seluruh dunia setiap

tahunnya (Lancet dalam American Academy of Pediatrics dan American Heart

Association, 2011) dengan insidensi pada menit 1= 47/1000 lahir hidup dan pada

menit 5= 15,7/1000 lahir hidup. Di Indonesia, asfiksia merupakan penyebab

kematian paling tinggi yaitu 27 % dari seluruh kematian neonatal (Depkes, 2009).

Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernapas dengan

spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan kadar O2 dan meningkatkan kadar

CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (Ristica OD,

2014) yang dapat terjadi selama masa antepartum, intrapartum, maupun postpartum

(Dewi, 2014).

1
Menurut AAP asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh

kurangnya O2 pada udara respirasi, yang ditandai dengan asidosis (pH <7,0) pada

darah arteri umbilikalis, nilai APGAR setelah menit ke-5 bertahan pada nilai 0-3,

ditemukan manifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksik iskemia

ensefalopati), hingga adanya gangguan multiorgan sistem (Priambudi, 2013).

Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis

dimana hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia merupakan faktor terpenting

yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir (BBL) terhadap kehidupan uterin

(Grabiel Duc, 1971).

Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis

dimana bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan

otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya.

Pada bayi yang mengalami kekurangan oksigen akan terjadi pernapasan yang cepat

dalam periode yang singkat. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan

berhenti, denyut jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuskular

berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apnea yang dikenal

sebagai apnea primer.Depkes RI (2009) mengungkapkan bahwa diperkirakan 1 juta

anak yang bertahan setelah mengalam asfiksisa dengan morbiditas jangka panjang

seperti cereblal palsy,, retardarsi mental, dan gangguan kesukaraan belajar.

Banyak bayi baru lahir dengan asfiksia yang tidak mendapat pertolongan

resusitasi yang memadai segera setelah lahir (Dewi, 2014). Hanya sekitar 10% BBL

membutuhkan bantuan untuk mulai bernapas saat lahir, dan kurang dari 1%

membutuhkan tindakan resusitasi ekstensif untuk selamat (American Academy of

Pediatrics dan American Heart Association, 2011) namun walaupun demikian dan
walaupun telah mengetahui berbagai faktor risiko akan asfiksia, sebagai petugas

kesehatan harus selalu siap melakukan tindakan resusitasi, karena ada beberapa

bayi yang tidak memiliki faktor risiko sekalipun ternyata membutuhkan resusitasi

(Dewi, 2014).

Berdasarkan penjelasan diatas dan mengingat akan berbagai dampak dari

asfiksia yang juga dapat meningkatkan angka mortalitas atau kematian dan

morbiditas, maka penting bagi tenaga kesehatan termasuk perawat mengetahui

penatalaksanaan resusitasi dan kegawatdarutatan asfiksia untuk mengurangi

dampak tersebut.

1.2 Tinjauan Instruksi

1.2.1 Tinjauan instruksi umum

Dengan adanya materi mengenai asuhan keperawatan kegawatdaruratan

mengenai asfiksia neonatoruum, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman akan

asfiksia neonatorum dan penatalaksanaan asuhan keperawatan kegawatdaruratan

mengenai asfiksia neonatorum.

1.2.2 Tinjauan instruksi khusus

Adapun tinjauan instruksi khusus dalam penulisan makalah ini, yaitu:

1.2.2.1 Mahasiswa/I mengetahui akan definisi asfiksia neonatorum

1.2.2.2 Mahasiswa/I mengetahui akan etiologi asfiksia neonatorum

1.2.2.3 Mahasiswa/I mengetahui akan manifestasi klinis pada asfiksia

neonatorum

1.2.2.4 Mahasiswa/I mengetahui akan klasifikasi asfiksia neonatorum

1.2.2.5 Mahasiswa/I mengetahui akan mekanisme asfiksia neonatorum


1.2.2.6 Mahasiswa/I mengetahui akan pengkajian klinis asfiksia neonatorum

1.2.2.7 Mahasiswa/I mengetahui akan pemeriksaan penunjang asfiksia

neonatorum

1.2.2.8 Mahasiswa/I mengetahui akan penatalaksanaan dan algoritma

asfiksia neonatorum

1.2.2.9 Mahasiswa/I mengetahui akan komplikasi asfiksia neontaorum

1.2.2.10 Mahasiswa/I mengetahui akan konsep asuhan keperawatan dengan

asfiksia neonatorum
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asfiksia Neonatorum

Asfiksia neonatorum adalah suatu stress pada janin atau bayi baru lahir karena

kurang tersedianya oksigen dan atau kurangnya aliran darah (perfusi) ke berbagai

organ. Secara klinis tamapak bahwa bayi tidak dapat bernapas spontan dan teratur

segera setelah lahir. Dampak dari keadaan asfiksia adalah hipoksia, hiperkarbia, dan

asidema yang akan meningkatkan pemakaian sumber energy dan mengganggu

sirkulasi bayi (Angkawijaya et al., 2015)

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia , Asfiksia neonatorum adalah kegagalan

napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir

yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis. Asfiksia dapat

bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan ensefalopati hipoksik-

iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksia-iskemi

yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan

disfungsi otak sebagai pertimbangan utama (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2008)

2.2 Etiologi dan Faktor resiko Asfiksia Neonatorum

Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan

dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada

pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa

sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal maupun plasental hampir selalu akan

menyebabkan asfiksia.
Lee, dkk.(2008) melakukan penelitian terhadap faktor risiko antepartum,

intrapartum dan faktor risiko janin pada asfiksia neonatorum. Didapatkan bahwa

gejala-gejala penyakit maternal yang dilaporkan 7 hari sebelum kelahiran memiliki

hubungan yang bermakna terhadap peningkatan risiko kematian akibat asfiksia

neonatorum. Gejala-gejala tersebut adalah demam selama kehamilan, perdarahan

pervaginam, pembengkakan tangan,wajah atau kaki, kejang, kehamilan ganda juga

berhubungan kuat dengan mortalitas asfiksia neonatorum. Bayi yang lahir dari

wanita primipara memiliki risiko mortalitas asfiksia neonatorum yang lebih tinggi

sedangkan adanya riwayat kematian bayi sebelumnya tidak bermakna dalam

memperkirakan kematian akibat asfiksia neonatorum. Partus lama dan ketuban

pecah dini, juga meningkatkan risiko asfiksia neonatorum secara bermakna. Pada

penelitiannya, Lee tidak mendapatkan bahwa pewarnaan mekoneum pada air

ketuban memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya asfiksia neonatorum (Manoe

and Amir, 2010).

Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian akibat asfiksia

neonatorum. Risiko tersebut meningkat 1.61 kali lipat pada usia kehamilan 34-37

minggu dan meningkat 14.33 kali lipat pada usia kehamilan < 34 minggu.4

Kortikosteroid perlu diberikan 7 hari sebelum kelahiran hingga paling lambat 24 jam

sebelum bayi lahir untuk meningkatkan maturasi paru fetus. Pada suatu studi kohort

dikatakan bahwa penggunaan kortikosteroid antenatal adalah faktor protektif

terhadap sindroma distres respirasi. Dikatakan pula bahwa kemungkinan seorang

neonatus pada populasi studi dari ibu yang tidak melakukan pemeriksaan antenatal

untuk meninggal di rumah sakit adalah 1.98 kali lebih tinggi daripada anak dari ibu

yang melakukan pemeriksan antenatal empat kali atau lebih.


Hasil studi kasus-kontrol yang dilakukan secara retrospektif oleh Oswyn G,

dkk. (2000) menyatakan bahwa riwayat lahir-mati berhubungan kuat dengan

terjadinya asfiksia neonatorum. Bayi preterm dan posterm ditemukan lebih banyak

pada kelompok kasus daripada kontrol. Usia terlalu muda (<20 tahun) dan terlalu tua

(> 40 tahun), anemia (Hb< 8 g/dL), perdarahan antepartum dan demam selama

kehamilan berhubungan kuat dengan asfiksia neonatorum. Tanda-tanda gawat janin

seperti denyut jantung janin abnormal, pewarnaan mekoneum dan partus lama juga

memiliki hubungan yang kuat dengan timbulnya asfiksia neonatorum.

Berglund, dkk.(2008) melakukan studi deskriptif terhadap 177 kasus asfiksia

berat yang berhubungan dengan kelahiran dan diduga akibat malpraktik. Dari 177

kasus tersebut, terjadi pengabaian pemantauan kesejahteraan janin pada 98%

kehamilan. Pada 71% kehamilan, staf tidak bertindak tepat pada waktunya dalam

menangani hasil kardiotokografi yang abnormal. Seratus lima puluh tujuh orang

mendapatkan infus oksitosin (89%), 28% penggunaannya tanpa indikasi dan 39%

diberikan overdosis tanpa pengawasan kardiotokografi yang sesuai. Penggunaan

oksitosin tersebut menstimulasi kontraksi uterus dan meningkatkan risiko skor

Apgar rendah. Pada 126 kelahiran, sejak ditemukan kelainan KTG hingga kelahiran

membutuhkan waktu lebih dari 45 menit, menandakan tenaga obstetri tidak

bertindak tepat waktu dalam menangani tanda-tanda asfiksia fetal. Terdapat 92

kejadian malpraktik seputar kelahiran, 48 subyek pada kejadian malpraktik tersebut

melahirkan pervaginam dengan rekaman kardiotokografi patologis atau sulit

diinterpretasi sedangkan 44 lainnya lahir dengan bantuan instrument.


Tabel 2.1. Faktor risiko asfiksia neonatorum (Depkes RI, 2008)
Faktor risiko Faktor risiko Faktor risiko janin
antepartum intrapartum
Primipara Malpresentasi Prematuritas BBLR
Penyakit pada ibu: Partus lama Pertumbuhan janin
1. Demam saat kehamilan Persalinan yang sulit dan terhambat
2. Hipertensi dalam traumatic Kelainan kongenital
kehamilan Mekoneum dalam
3. Anemia ketuban
4. Diabetes mellitus Ketuban pecah dini
5. Penyakit hati dan ginjal Induksi Oksitosin
6. Penyakit kolagen dan Prolaps tali pusat
pembuluh darah
Perdarahan antepartum
Riwayat kematian
neonatus sebelumnya
Penggunaan sedasi,
anelgesi atau anestesi

2.3Manifestasi klinik Asfiksia Neonatorum


Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-

tanda klinis pada janin atau bayi berikut ini :

a. DJJ < 100x/menit dan tidak teratur

b. Bayi nampak lemas (flaccid).

c. Didapatkan cairan ketuban ibu bercampur meconium pada presentasi janin

letak kepala atau sisa mekonium pada tubuh bayi.

d. Bayi tidak bernafas atau menangis sesaat setelah lahir.

e. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen.


f. Takipnoe (pernafasan cepat, singkat, dan tidak teratur) karena kegagalan

absorbsi cairan paru-paru atau kekurangan oksigen sehingga nafas tidak teratur

alias megap-megap.

g. Tonus otot menurun sangat lemah hingga lumpuh karena kekurangan oksigen

pada otak, otot, dan organ lain.

h. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada

otot-otot jantung atau sel-sel otak.

i. Hipotensi (TD menurun) karena kekurangan oksigen pada otot jantung,

kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta

sebelum dan selama proses persalinan

j. Sianosis karena kekurangan oksigen didalam darah

k. Pucat

l. Penurunan kesadaran dan reflex terhadap stimulus

(Depkes RI, 2007)

2.4 Klasifikasi Asfiksia Neonatorum

Tabel 2. 1 APGAR Score


Berdasarkan nilai APGAR score, asfiksia diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:

1. Asfiksia ringan atau normal (vigorous baby): bila nilai apgar 7-10, dalam hal

ini bayi dianggap sehat

2. Asfiksia sedang (mild-moderate asphyxia): bila nilai apgar 4-6. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung >100x/menit, tonus otot kurang

baik atau baik, sianosis pada ekstremitas, dan reflex terhadap rangsang

menurun.

3. Asfiksia berat: bila nilai apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi

jantung <100x/menit hingga tak teraba, tonus otot sangat lemah hingga lumpuh,

sianosis berat, pucat, tidak ada reflex terhadap rangsang, dan biasanya disertai

dengan henti jantung.

2.5 Mekanisme Asfiksia Neonatorum

Menurut AAP asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh kurangnya

O2 pada udara respirasi, yang ditandai dengan

1. Asidosis (pH <7,0) pada darah arteri umbilikalis

2. Nilai APGAR setelah menit ke-5 tetep 0-3

3. Menifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksik iskemia

ensefalopati)

4. Gangguan multiorgan sistem.

Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis.

Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia merupakan faktor terpenting yang
dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir (BBL) terhadap kehidupan uterin

(Grabiel Duc, 1971).

Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila

proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau

kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. Pada bayi

yang mengalami kekurangan oksigen akan terjadi pernapasan yang cepat dalam

periode yang singkat. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti,

denyut jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular berkurang

secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apnea yang dikenal sebagai

apnea primer. Perlu diketahui bahwa kondisi pernafasan megap-megap dan tonus

otot yang turun juga dapat terjadi akibat obat-obat yang diberikan kepada ibunya.

Biasanya pemberian perangsangan dan oksigen selama periode apnea primer dapat

merangsang terjadinya pernafasan spontan. Apabila asfiksia berlanjut, bayi akan

menunjukkan pernafasan megap-megap yang dalam, denyut jantung terus menurun,

tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas (flaccid).

Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apnea yang

disebut apnea sekunder (Saifuddin, 2009).

Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera

setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan

mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan

keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan

(Depkes RI, 2009). Dengan demikian asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak

dapat segera bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin

sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini
erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau

masalah yang mempengarui kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan.

Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi pada

saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat dipotong. Hal ini

diikuti oleh serangkaian kejadian yang dapat diperkirakan ketika asfiksia bertambah

berat.

a. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan untuk

mengembangkan paru, tetapi bila paru mengembang saat kepala dijalan lahir

atau bila paru tidak mengembang karena suatu hal, aktivitas singkat ini akan

diikuti oleh henti nafas komplit yang disebut apnea primer.

b. Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis karena

dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai –usaha bernafas otomatis dimulai. Hal

ini hanya akan membantu dalam waktu singkat, kemudian jika paru tidak

mengembang, secara bertahap terjadi penurunan kekuatan dan frekuensi

pernafasan. Selanjutnya bayi akan memasuki periode apnea terminal. Kecuali

jika dilakukan resusitasi yang tepat, pemulihan dari keadaan terminal ini tidak

akan terjadi.

c. Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun di bawah

100 kali/menit. Frekuensi jantung mungkin sedikit meningkat saat bayi bernafas

terengah-engah tetapi bersama dengan menurun dan hentinya nafas terengah-

engah bayi, frekuensi jantung terus berkurang. Keadaan asam-basa semakin

memburuk, metabolisme selular gagal, jantungpun berhenti. Keadaan ini akan

terjadi dalam waktu cukup lama.


d. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan pelepasan

ketokolamin dan zat kimia stress lainnya. Walupun demikian, tekanan darah

yang terkait erat dengan frekuensi jantung, mengalami penurunan tajam selama

apnea terminal.

e. Terjadi penurunan pH yang hamper linier sejak awitan asfiksia. Apnea primer

dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat dibedakan. Pada umumnya

bradikardi berat dan kondisi syok memburuk apnea terminal.

2.6 Pengkajian Klinis Asfiksia

Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal

(2010) pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk melakukan resusitasi semata-

mata ditentukan oleh tiga hal penting, yaitu :

a. Pernafasan

Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat. Lakukan

auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan abnormal, seperti pergerakan dada

asimetris, nafas tersengal, atau mendengkur. Tentukan apakah pernafasannya

adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat (lambat dan tidak teratur), atau

tidak sama sekali.

b. Denyut jantung

Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks atau merasakan

denyutan umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali per menit. Angka

ini merupakan titik batas yang mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang

signifikan.
c. Warna

Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis perifer

(akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam pertama bahkan hari.

Bayi pucat mungkin mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi

berwarna merah muda, biru, atau pucat.

Ketiga observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar. Dua komponen

lainnya adalah tonus dan respons terhadap rangsangan menggambarkan depresi

SSP pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia kecuali jika ditemukan kelainan

neuromuscular yang tidak berhubungan.

Tabel 1. Skor Apgar


Skor 0 1 2
Frekuensi Tidak ada <100x/menit >100x/menit
jantung
Usaha Tidak ada Tidak teratur, Teratur,
pernafasan lambat menangis
Tonus otot Lemah Beberapa Semua tungkai
tungkai fleksi fleksi
Iritabilitas reflex Tidak ada Menyeringai Batuk/menangis
Warna kulit Pucat Biru Merah muda
Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit sesudah

bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera sesudah bayi lahir.

Apabila bayi memerlukan intervensi berdasarkan penilaian pernafasan, denyut

jantung atau warna bayi, maka penilaian ini harus dilakukan segera. Intervensi yang

harus dilakukan jangan sampai terlambat karena menunggu hasil penilaian Apgar 1

menit. Kelambatan tindakan akan membahayakan terutama pada bayi yang

mengalami depresi berat.

Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan keputusan pada awal

resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian

efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit.
Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih diperlukan yaitu

tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian menunjukkan nilai 8

dan lebih (Saifuddin, 2009).

2.7 Pemeriksaan Penunjanng

Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis

pada darah tali pusat:

PaO2 < 50 mm H2O

PaCO2 > 55 mm H2

pH < 7,30

Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan

penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa :

1. Darah perifer lengkap

2. Pemeriksaan radiologi/foto dada

3. Analisis gas darah sesudah lahir

4. Pemeriksaan radiologi/foto abdomen tiga posisi

5. Gula darah sewaktu

6. Pemeriksaan USG Kepala

7. Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)

8. Pemeriksaan EEG

9. Ureum kreatinin

10. CT scan kepala

11. Laktat
2.8 Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum dan Algoritma

Penatalaksanaan bayi baru lahir dengan asfiksia menurut Wiknjosastro (2005)

adalah sebagai berikut :

1. Tindakan umum

a. Pengawasan suhu

Bayi baru lahir secara relatif kehilangan panas yang diikuti oleh penurunan

suhu tubuh, sehingga dapat mempertinggi metabolisme sel jaringan sehingga

kebutuhan oksigen meningkat, perlu diperhatikan untuk menjaga kehangatan

suhu BBL dengan :

1. Mengeringkan bayi dari cairan ketuban dan lemak.

2. Menggunakan sinar lampu untuk pemanasan luar.

3. Bungkus bayi dengan kain kering.

b. Pembersihan jalan nafas

Saluran nafas bagian atas segera dibersihkan dari lendir dan cairan amnion,

kepala bayi harus posisi lebih rendah sehingga memudahkan keluarnya lender.

c. Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan

Rangsangan nyeri pada bayi dapat ditimbulkan dengan memukul kedua

telapak kaki bayi, menekan tendon achilles atau memberikan suntikan vitamin

K. Hal ini berfungsi memperbaiki ventilasi.

2. Tindakan khusus

a. Asfiksia berat (nilai apgar 0-3)

Resusitasi aktif dalam hal ini harus segera dilakukan yaitu dengan :

a) Memperbaiki ventilasi paru-paru dengan memberikan O2 secara langsung

dan berulang atau dengan melakukan intubasi endotracheal dan


O2 dimasukkan dengan tekanan tidak lebih dari 30 ml. Hal ini mencegah

terjadinya iritasi paru berlebihan sehingga dapat terjadi ruptur aveoli.rang

Tekanan positif ini dilakukan dengan meniupkan udara ke dalam kateter

dari mulut ke pipa atau ventilasi kantong ke pipa.

b) Memberikan natrikus bikarbonat dengan dosis 2-4 mEQ/kg BB

c) Masase jantung dikerjakan dengan melakukan penekanan diatas tulang dada

secara teratur 80-100 x/mnt. Tindakan ini berselingan dengan nafas buatan,

yaitu setiap 5 x masase diikuti 1x pemberian nafas. Hal ini bertujuan untuk

menghindarkan kemungkinan timbulnya komplikasi pneumotoracks

jika tindakan ini dilakukan bersamaan.

d) Memberikan obat-obatan 1/10.000 andrelin dengan dosis 0,5- 1 cc secara

intravena (sebegai obat inotropik) dan kalsium glukonat 50-100 mm/kg BB

secara intravena, untuk meningkatkan frekuensi jantung.

b. Asfiksia sedang (Nilai Apgar 4-6)

Dilakukan rangsangan untuk menimbulkan reflek pernafasan dengan :

1. Melakukan rangsangan 30-60 detik setelah penilaian APGAR 1 menit.

2. Melakukan nafas buatan dengan memasukkan pipa ke dalam hidung,

O2 dialirkan dengan kecepatan 1-2 liter/menit. Bayi diletakkan dengan kepala

dalam dorsofleksi, dilakukan dengan membuka dan menutup lubang hidung

dan mulut disertai dengan menggerakkan dagu ke atas dan kebawah dalam

frekuensi 20 x/ menit.

3. Melakukan pernafasan mulut ke mulut yag seharusnya dalam mulut bayi

dimasukkan pharingeal airway yang berfungsi mendorong pangkal lidah ke depan,


sebelum mulut penolong diisi O2 sebelum peniupan, peniupan dilakukan secara

teratur dengan frekuensi 20-30 x/menit.

2. Tindakan lain dalam resusitasi

a. Pengisapan cairan lambung dilakukan pada bayi-bayi tertentu yaitu pada bayi

prematur, sebelumnya bayi mengalami gawat janin, pada ibu yang mendapatkan

anastesia dalam persalinan.

b. Penggunaan obat Nalorphin diberikan pada bayi yang disebabkan oleh

penekanan pernafasan akibat morfin atau petidin yang diberikan selama proses

persalinan.

Sedangkan menurut Hidayat (2005), Cara pelaksanaan resusitasi sesuai

tingkatan asfiksia, antara lain :

1. Asfiksi Ringan (Apgar score 7-10)

a. Bayi dibungkus dengan kain hangat

b.Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada hidung kemudian

mulut.

c. Bersihkan badan dan tali pusat.

d.Lakukan observasi tanda vital dan apgar score dan masukan ke dalam

inkubator.

2. Asfiksia sedang (Apgar score 4-6)

a. Bersihkan jalan napas.

b. Berikan oksigen 2 liter per menit.

c. Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki apabila belu ada

reaksi,bantu pernapasan dengan melalui masker (ambubag).


d. Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan natrium

bikarbonat 7,5%sebanyak 6cc.Dextrosa 40% sebanyak 4cc disuntikan

melalui vena umbilikus secara perlahan-lahan, untuk mencegah tekanan

intra kranial meningkat.

3. Asfiksia berat (Apgar skor 0-3)

a. Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui lambubag.

b. Berikan oksigen 4-5 liter per menit.

c. Bila tidak berhasil lakukan ETT (Endotracheal Tube).

d. Bersihkan jalan napas melalui ETT (Endotracheal Tube).

e. Apabila bayi sudah mulai benapas tetapi masih sianosis berikan natrium

bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc. Dextrosa 40% sebanyak 4cc.

Adapun Algoritma Penatalaksanaan Resusitasi Asfiksia Neonatorum, dapat

dilihat pada bagan 2.1 dan pada bagan 2.2

Bagan 2.1 Algoritma Resusitasi Neonatal


Sumber: New algorithm for 6th.edition (Prambudi, 2013).

Bagan 2.2 Algoritma Resusitasi Neonatal


Sumber : RSUD Dr. Soetomo Surabaya
2.9 Pencegahan Asfiksia Neonatorum

Pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan, persalinan

dan beberapa saat setelah persalinan. Pencegahan berupa :

1. Melakukan pemeriksaan antenatal rutin minimal 4 kali kunjungan.

2. Melakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap

pada kehamilan yang diduga berisiko bayinya lahir dengan asfiksia

neonatorum.

3. Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk persalinan pada usia

kehamilan kurang dari 37 minggu.

4. Melakukan pemantauan yang baik terhadap kesejahteraan janin dan deteksi

dini terhadap tanda-tanda asfiksia fetal selama persalinan dengan

kardiotokografi.

5. Meningkatkan ketrampilan tenaga obstetri dalam penanganan asfiksia

neonatorum di masing-masing tingkat pelayanan kesehatan.

6. Meningkatkan kerjasama tenaga obstetri dalam pemantauan dan

penanganan persalinan.

7. Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari :

a. Persalinan yang bersih dan aman.

b. Stabilisasi suhu.

c. Inisiasi pernapasan spontan.

d. Inisiasi menyusu dini.

e. Pencegahan infeksi serta pemberian imunisasi.


2.10 Komplikasi Asfiksia Neonatorum

Kelainan yang terjadi akibat hipoksia dapat timbul pada stadium akut dan dapat

pula terlihat beberapa waktu setelah hipoksia berlangsung. Pada keadaan hipoksia

akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ vital seperti otak, jantung,

dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran yang lebih banyak dibandingkan

organ lain seperti kulit, jaringan muskuloskeletal serta organ-organ rongga

abdomen dan rongga toraks lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus

gastrointestinal dan adanya aktivitas kemoreseptor yang diikuti pelepasan

vasopresin. Redistribusi aliran darah pada penderita hipoksia tidak hanya terlihat

pada aliran sistemik tetapi juga terjadi saat darah mencapai suatu organ tertentu.

Hal ini dapat terlihat pada aliran darah otak yang ditemukan lebih banyak mengalir

ke batang otak dan berkurang ke serebrum, pleksus khoroid, dan masa putih.

Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan

energi bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis anerobik.

Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan piruvat) menimbulkan

peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH darah sehingga

terjadilah asidosis metabolik. Perubahan sirkulasi dan metabolisme ini secara

bersama-sama akan menyebabkan kerusakan sel baik sementara ataupun menetap.

Pada bayi kurang bulan, proses hipoksia yang terjadi akan lebih berat dibandingkan

dengan bayi cukup bulan akibat kurang optimalnya faktor redistribusi aliran darah

terutama aliran darah otak, sehingga risiko terjadinya gangguan hipoksik iskemik

dan perdarahan periventrikular lebih tinggi. Demikian pula disfungsi jantung akibat

proses hipoksik iskemik ini sering berakhir dengan payah jantung. Karena itu

tidaklah
mengherankan apabila pada hipoksia berat, angka kernatian bayi kurang bulan,

terutama bayi berat lahir sangat rendah yang mengalami hipoksia berat dapat

mencapai 43-58%.

Komplikasi pada berbagai organ yakni meliputi :

1. Otak : Hipokstik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis.

2. Jantung dan paru: Hipertensi pulmonal persisten pada neonatorum, perdarahan

paru, edema paru.

3. Gastrointestinal: enterokolitis, nekrotikans.

4. Ginjal: tubular nekrosis akut.

5. Hematologi.

Perawatan terhadap Komplikasi

Hampir 90 % bayi yang memerlukan resusitasi akan membaik setelah

diberikan VTP yang adekuat, sementara 10 % bayi memerlukan kompresi dada

dan obat-obatan, atau meninggal. Pada sebagian bayi yang tetap tidak membaik

walau telah dilakukan resusitasi mungkin mengalami komplikasi kelahiran atau

komplikasi resusitasi.

Bayi yang memerlukan VTP berkepanjangan, intubasi dan atau kompresi dada

sangat mungkin mengalami stress berat dan berisiko mengalami kerusakan fungsi

organ multipel yang tidak segera tampak. Bila diperlukan resusitasi lebih lanjut,

bayi dirawat di ruang rawat lanjutan, dengan pemantauan suhu, tanda vital, dan

antisipasi terhadap komplikasi. Bayi juga memerlukan nutrisi baik dengan cara

pemberian oral atau parenteral tergantung kondisinya. Bila bayi menderita asfiksia

berat dapat diberikan nutrisi parenteral dengan dextrosa 10%. Pemantauan

terhadap saturasi oksigen, dan pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin, kadar
gula darah, elektrolit dan analisa gas

darah juga perlu dilakukan.

Tabel 2.2 Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi yang

dilakukan

Sistem Organ Komplikasi yang mungkin Tindakan pasca

terjadi resusitasi

Otak Apnu Pemantauan apnu

Kejang Bantuan ventilasi kalau

perlu

Pemantauan gula darah,

elektrolit

Pencegahan hipotermia

Pertimbangkan terapi

anti kejang

Paru-paru Hipertensi pulmoner Pertahankan ventilasi

Pneumonia dan oksigenasi

Pneumotoraks Pertimbangkan

Takipnu transien antibiotika

Sindrom aspirasi Foto toraks bila sesak

mekonium napas

Defisiensi surfaktan Pemberian oksigen alir

bebas

Tunda minum bila sesak


Pertimbangkan

pemberian surfaktan

Kardiovaskuler Hipotensi Pemantauan tekanan

darah dan

frekuensi jantung

Pertimbangkan

inotropik(misal

dopamin) dan/atau

cairan penambah

volume darah

Ginjal Nekrosis tubuler akut Pemantauan produksi

urin

Batasi masukan cairan

bila ada

oliguria dan volume

vaskuler adekuat

Pemantauan kadar

elektrolit

Gastrointestinal Ileus Tunda pemberian

Enterokolitis minum

nekrotikans Berikan cairan intravena

Pertimbangkan nutrisi

parenteral
Metabolik/hematoogik Hipoglikemia Pemantauan gula darah

Hipokalsemia, Pemantauan elektrolit

hiponatremia Pemantauan hematokrit

Anemia Pemantauan trombosit

Trombositopenia

Sumber: American Academy of Pediatrics dan American Heart Association.

Buku panduan

resusitasi neonatus. Edisi ke-5, 2006.

2.11 Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Primary survey :
1) Airway
Pada airway, ada obstruksi pada jalan napas sehingga menghambat
udara masuk ke dalam paru berupa cairan atau benda asing seperti
mekonium dari alveolus atau tidak.
2) Breathing
Sesak, frekuensi pernapasan dalam/dangkal/regular/ireguler. Irama
pernapasan cepat atau lambat, nilai apgar pada menit ke-1 dan menit
ke-5 dengan score <7
3) Circulation
Pada sirkulasi, frekuensi nadi cepat atau tidak, teratur atau tidak.
Akral hangat atau dingin, capillary refill > 3 detik, pucat, sianosis,
kemerahan.
4) Disability
Pada pasien asfiksia berat, akan mengalami penurunan kesadaran.
Ini diakibatkan transport oksigen ke otak yang kurang/tidak
mencukupi (hipoksia) yang akhirnya darah akan sulit mencapai
jaringan otak.
5) Exposure
Pada exposure, ditemukan hipotensi.
b. Secondary survey
1.) Keluhan yang terjadi selama kehamilan, Gangguan/kesulitan waktu
lahir, lahir tidak bernafas/menangis.
2.) Pengukuran hasil nilai Apgar
3.) Pantau tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, pernapasan)
4.) Lakukan pemeriksaan AGD
5.) Lakukan pemasangan ETT
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan
mukus yang berlebihan
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi
c. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
dan ketidakseimbangan ventilasi.
d. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
e. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
No. Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
1. D005 0415 Status Airway suction
Pola nafas tidak pernafasan 1. Pertahankan jalan nafas
efektif berhubungan - 041501 yang paten
dengan hiperventilasi Frekuensi pernafasan. 2. Observasi adanya tanda
- 041502 tanda hipoventilasi
Definisi: Inspirasi Irama pernafasan. 3. Monitor adanya
atau ekspirasi yang - 041503 kecemasan pasien
tidak memberi Kedalaman inspirasi. terhadap oksigenasi
ventilasi adekuat - 041522 4. Monitor vital sign
Suara nafas tambahan. Posisikan pasien untuk
- 041528 memaksimalkan ventilasi
Pernafasan cuping 5. Pasang mayo bila perlu
hidung. 6. Auskultasi suara nafas,
- 041508 catat adanya suara
Saturasi oksigen. tambahan
- 041513 7. Monitor respirasi dan
Sianosis. status O2
0410 Status 8. Bersihkan mulut, hidung
pernafasan: dan secret trakea
Ketatenan jalan nafas. 9. Informasikan pada pasien
- 041020 dan keluarga tentang
Akumulasi sputum. tehnik relaksasi untuk
- 041012 memperbaiki pola nafas.
Kemampuan untuk 10. Monitor pola nafas .
mengeluarkan secret
- 0604 Monitor asam basa
Keparahan respirasi 1. Ambil specimen yang
asidosis akut. diminta untuk
- 060401 pemeriksaan
Penurunan pH laboratorium
plasma darah. kesimbangan asam basa
- 060405 Hipoksia. (misal BGA, urin, dan
- 060408 Peningkatan Serum).
frekuensi 2. Catat apakah nilai
pernafasan. PaCO2 menunjukkan
0802 Tanda-tanda asidosis respiratorik,
vital alkalosis respiratorik
- 080204 Tingkat atau normal.
pernafasan.
- 080211 Kedalaman
pernafasan.
- 080209 Tekanan
nadi.
- 080205 Tekanan
darah sistolik.
- 080206 Tekanan
darah diastolic
- 080211 Kedalaman
Inspirasi
2. D 001 0415 Airway suction
Status
Bersihan jalan nafas Pernafasan 1. Berikan oksigen sesuai
tidak efektif - 041501 Frekuensi indikasi
berhubungan dengan pernafasan 2. Posisikan pasien untuk
penumpukan mukus - 041504 Suara memaksimalkan ventilasi
yang berlebihan auskultasi nafas 3. Keluarkan sekret dengan
- 041508 Saturasi batuk atau suction
Definisi : oksigen 4. Auskultasi suara nafas,
Ketidakmampuan - 041520 Akumulasi catat adanya suara
membersihkan Sputum. tambahan
sekresi atau obstruksi - 041513 Sianosis. 5. Kolaborasi pemberian
dari saluran napas obat-obatan
untuk 0802 Tanda-tanda bronkodilator
mempertahankan vital 6. Monitor status
bersihan jalan napas - 080204 Tingkat hemodinamik
pernafasan. 7. Berikan pelembab udara
- 080211 Kedalaman Kassa basah NaCl
pernafasan. Lembab
- 080209 Tekanan
nadi.
- 080205 Tekanan 8. Atur intake untuk cairan
darah sistolik. mengoptimalkan
- 080206 Tekanan keseimbangan.
darah diastolik 9. Monitor respirasi dan
status O2
10. Pertahankan hidrasi
yang adekuat untuk
mengencerkan sekret
11. Jelaskan pada pasien
dan keluarga tentang
fungsi penggunaan
peralatan : O2, Suction,
Inhalasi.

3. D003 0415 Status Airway management


Gangguan pernafasan 1. buka jalan nafas ,
pertukaran gas - 041501 Frekuensi gunakan tehnik chin lift
berhubungan dengan pernafasan. atau jaw trust bila perlu
gangguan suplai - 041502 Irama 2. Indentifikasi klien perlu
oksigen dan pernafasan. dipasang jalan nafas
ketidakseimbangan - 041503 Kedalaman buatan
ventilasi. inspirasi. 3. Auskultasi suara nafas,
- 041522 Suara nafas catat adanya suara
Definisi: Kelebihan tambahan. tambahan
atau deficit - 041528 Pernafasan 4. Monitor respirasi dan
oksigenasi dan atau cuping hidung. status O2
eliminasi CO2 pada - 041508 Saturasi 5. Catat pergerakan
membrane alveolar oksigen. dada,amati kesimetrisan,
kapiler - 041513 Sianosis. penggunaan otot
0802 Tanda-tanda vital tambahan, retraksi otot
- 080204 Tingkat supraclavicular dan
pernafasan. intercostal
- 080211 Kedalaman 6. Monitor suara nafas,
pernafasan. seperti dengkur
- 080209 Tekanan 7. Monitor pola nafas :
nadi. bradipena, takipenia,
- 080205 Tekanan kussmaul,
darah sistolik. hiperventilasi, cheyne
- 080206 Tekanan stokes, biot
darah diastolik 8. Auskultasi suara nafas,
catat area penurunan /
tidak adanya ventilasi
dan suara tambahan
9. Monitor TTV, AGD,
elektrolit dan ststus
mental
10. Observasi sianosis
khususnya membran
mukosa
11. Auskultasi bunyi
jantung, jumlah, irama
jantung

EVALUASI

1.Bersihan jalan nafas kembali efektif, pasien terbebas dari obsruksi secret
2.Ventilasi paru maksimal, pola nafas efektif
3.Pernapasan pasien kembali normal, dengan frekuensi pernapasan berkisar 30-
40x/mnit
4.Pertukaran gas adekuat
5.Tidak terjadi penurunan kesadaran.
BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernapas dengan

spontan dan teratur yang dapat menurunkan kadar O2 dan meningkatkan kadar CO2

yang dapat menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut baik pada

kerusakan otak, gangguan multiorgan sistem, penurunan kemampuan

neuromuskular, hingga menyebabkan kematian pada bayi.

Asfiksia neonatorum terjadi selama masa antepartum, intrapartum, maupun

postpartum yang dapat berasal dari faktor ibu, faktor tali pusar, ataupun bayi.

Evaluasi perkembangan dan penatalaksanan pada asfiksia neonatorum dapat dinilai

dari penilaian APGAR score yang meliputi : warna kulit, denyut jantung, refleks

tonus otot, dan pernapasan yang dinilai pada menit pertama, ke lima dan ke sepuluh.

Nilai APGAR score yang menunjukkan nilai >7 dinyatakan sebagai asfiksia ringan,

4-6 asfiksia sedang, 0-3 asfiksia berat.

Penatalaksanaan asfiksia dengan segera dan benar sangat diperlukan untuk

mengurangi berbagai dampak yang mungkin dapat ditimbulkan dan mengurangi

angka kematian, maka dari itu setiap perawat harus memahami konsep akan asfiksia

dan penatalaksanaannya.

3.2 Saran

Perawat harus dapat lebih memahami akan konsep secara mendalam

mengenai asfiksia seperti: pengertian, manifestasi klinis, faktor risiko, etiologi

dan sebagainya hingga dapat mengaplikasikan penanganan yang tepat akan


penatalaksanaan kegawatdaruratan asfiksia sehingga dapat mengurangi berbagai

komplikasi, dampak dan gejala sisa hingga mengurangi angka kematian bayi

karena asfiksia.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, Carol Vestal. 1998. Memahami Proses Keperawatan. Jakarta : EGC.

Aliyah Anna, dkk.1997. Resusitasi Neonatal. Jakarta: Perkumpulan perinatologi


Indonesia (Perinasia).

Aminullah, Asril.1994. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Angkawijaya, L. et al. (2015) ‘Hubungan antara pH Darah dengan Kadar Laktat


Dehidrogenase pada Asfiksia Neonatorum’, 17(2), pp. 141–144.

Brownes . 1980 . Antenatal Care . The English and Language Book Society and J&
A Churcill
Carpenito. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta : EGC

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2008) ‘Pencegahan dan


Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum’, Pencegahan dan Penatalaksanaan
Asfiksia Neonatorum.

Doenges, EM. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Dr. Rusepno Hassan Dkk.1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :
Infomedika

Manoe, V. M. and Amir, I. (2010) ‘Gangguan Fungsi Multi Organ pada Bayi
Asfiksia Berat’, American Journal of Obstetrics and Gynecology, 5(2), pp.
72–78.

Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga Jilid I. Jakarta :
Media Aesculapius FKUI.

Price, SA. 1996. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit Volume 1. Jakarta :
EGC

Prof. Dr. Hanifa Winkjosastro, SpOG.2007. Ilmu Kebidanan Edisi Ke 3. Jakarta :


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo.

Setiawan S.Kep.1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga


Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
Smeltzer, SC., Bare B.G. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Alih Bahasa : Monica Ester. Jakarta : EGC

Seomantri Irman, 2008. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
pernapasan. Salemba Medika, Jakarta.

YBP-Sarwono prawirohardjo, 2001. Pelayanan Kesehatan Maternal Dan


Neonatal, Edisi 1. Tridasa printer. Jakarta.

Ns. Paula Krisanty,dkk, 2009. Asuhan Keperawatn Gawat Darurat, Jakarta: CV


Trans Info Media

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia, 2007 . Ilmu Kesehatan Anak . Jakarta. Infomedika

Anda mungkin juga menyukai