BAB I
PENDAHULUAN
kematian per 1.000 (SDKI, 2007). Sebagian besar penyebab kematian bayi dan
balita adalah masalah yang terjadi pada bayi baru lahir / neonatal (umur 0-28 hari)
dan setiap 6 menit terdapat bayi baru lahir meninggal. World Health Organization
kematian neonatal dan 60% bayi yang meninggal pada satu minggu pertama
disebabkan oleh gangguan perinatal yang salah satunya adalah asfiksia (Saifuddin,
2003).
kurang lebih 23% dari sekitar 4 juta kematian neonatus di seluruh dunia setiap
Association, 2011) dengan insidensi pada menit 1= 47/1000 lahir hidup dan pada
kematian paling tinggi yaitu 27 % dari seluruh kematian neonatal (Depkes, 2009).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernapas dengan
spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan kadar O2 dan meningkatkan kadar
CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (Ristica OD,
2014) yang dapat terjadi selama masa antepartum, intrapartum, maupun postpartum
(Dewi, 2014).
1
Menurut AAP asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh
kurangnya O2 pada udara respirasi, yang ditandai dengan asidosis (pH <7,0) pada
darah arteri umbilikalis, nilai APGAR setelah menit ke-5 bertahan pada nilai 0-3,
Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis
dimana hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia merupakan faktor terpenting
yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir (BBL) terhadap kehidupan uterin
dimana bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan
otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya.
Pada bayi yang mengalami kekurangan oksigen akan terjadi pernapasan yang cepat
dalam periode yang singkat. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan
berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apnea yang dikenal
anak yang bertahan setelah mengalam asfiksisa dengan morbiditas jangka panjang
Banyak bayi baru lahir dengan asfiksia yang tidak mendapat pertolongan
resusitasi yang memadai segera setelah lahir (Dewi, 2014). Hanya sekitar 10% BBL
membutuhkan bantuan untuk mulai bernapas saat lahir, dan kurang dari 1%
Pediatrics dan American Heart Association, 2011) namun walaupun demikian dan
walaupun telah mengetahui berbagai faktor risiko akan asfiksia, sebagai petugas
kesehatan harus selalu siap melakukan tindakan resusitasi, karena ada beberapa
bayi yang tidak memiliki faktor risiko sekalipun ternyata membutuhkan resusitasi
(Dewi, 2014).
asfiksia yang juga dapat meningkatkan angka mortalitas atau kematian dan
dampak tersebut.
neonatorum
neonatorum
asfiksia neonatorum
asfiksia neonatorum
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Asfiksia neonatorum adalah suatu stress pada janin atau bayi baru lahir karena
kurang tersedianya oksigen dan atau kurangnya aliran darah (perfusi) ke berbagai
organ. Secara klinis tamapak bahwa bayi tidak dapat bernapas spontan dan teratur
segera setelah lahir. Dampak dari keadaan asfiksia adalah hipoksia, hiperkarbia, dan
napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir
yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan
Indonesia, 2008)
dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada
pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa
sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal maupun plasental hampir selalu akan
menyebabkan asfiksia.
Lee, dkk.(2008) melakukan penelitian terhadap faktor risiko antepartum,
intrapartum dan faktor risiko janin pada asfiksia neonatorum. Didapatkan bahwa
berhubungan kuat dengan mortalitas asfiksia neonatorum. Bayi yang lahir dari
wanita primipara memiliki risiko mortalitas asfiksia neonatorum yang lebih tinggi
pecah dini, juga meningkatkan risiko asfiksia neonatorum secara bermakna. Pada
ketuban memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya asfiksia neonatorum (Manoe
Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian akibat asfiksia
neonatorum. Risiko tersebut meningkat 1.61 kali lipat pada usia kehamilan 34-37
minggu dan meningkat 14.33 kali lipat pada usia kehamilan < 34 minggu.4
Kortikosteroid perlu diberikan 7 hari sebelum kelahiran hingga paling lambat 24 jam
sebelum bayi lahir untuk meningkatkan maturasi paru fetus. Pada suatu studi kohort
neonatus pada populasi studi dari ibu yang tidak melakukan pemeriksaan antenatal
untuk meninggal di rumah sakit adalah 1.98 kali lebih tinggi daripada anak dari ibu
terjadinya asfiksia neonatorum. Bayi preterm dan posterm ditemukan lebih banyak
pada kelompok kasus daripada kontrol. Usia terlalu muda (<20 tahun) dan terlalu tua
(> 40 tahun), anemia (Hb< 8 g/dL), perdarahan antepartum dan demam selama
seperti denyut jantung janin abnormal, pewarnaan mekoneum dan partus lama juga
berat yang berhubungan dengan kelahiran dan diduga akibat malpraktik. Dari 177
kehamilan. Pada 71% kehamilan, staf tidak bertindak tepat pada waktunya dalam
menangani hasil kardiotokografi yang abnormal. Seratus lima puluh tujuh orang
mendapatkan infus oksitosin (89%), 28% penggunaannya tanpa indikasi dan 39%
Apgar rendah. Pada 126 kelahiran, sejak ditemukan kelainan KTG hingga kelahiran
absorbsi cairan paru-paru atau kekurangan oksigen sehingga nafas tidak teratur
alias megap-megap.
g. Tonus otot menurun sangat lemah hingga lumpuh karena kekurangan oksigen
k. Pucat
1. Asfiksia ringan atau normal (vigorous baby): bila nilai apgar 7-10, dalam hal
baik atau baik, sianosis pada ekstremitas, dan reflex terhadap rangsang
menurun.
3. Asfiksia berat: bila nilai apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi
jantung <100x/menit hingga tak teraba, tonus otot sangat lemah hingga lumpuh,
sianosis berat, pucat, tidak ada reflex terhadap rangsang, dan biasanya disertai
Menurut AAP asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh kurangnya
ensefalopati)
Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis.
Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia merupakan faktor terpenting yang
dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir (BBL) terhadap kehidupan uterin
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila
proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau
kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. Pada bayi
yang mengalami kekurangan oksigen akan terjadi pernapasan yang cepat dalam
periode yang singkat. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti,
secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apnea yang dikenal sebagai
apnea primer. Perlu diketahui bahwa kondisi pernafasan megap-megap dan tonus
otot yang turun juga dapat terjadi akibat obat-obat yang diberikan kepada ibunya.
Biasanya pemberian perangsangan dan oksigen selama periode apnea primer dapat
tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas (flaccid).
Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apnea yang
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan
keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan
(Depkes RI, 2009). Dengan demikian asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak
dapat segera bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin
sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini
erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau
Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi pada
saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat dipotong. Hal ini
diikuti oleh serangkaian kejadian yang dapat diperkirakan ketika asfiksia bertambah
berat.
a. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan untuk
mengembangkan paru, tetapi bila paru mengembang saat kepala dijalan lahir
atau bila paru tidak mengembang karena suatu hal, aktivitas singkat ini akan
b. Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis karena
dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai –usaha bernafas otomatis dimulai. Hal
ini hanya akan membantu dalam waktu singkat, kemudian jika paru tidak
jika dilakukan resusitasi yang tepat, pemulihan dari keadaan terminal ini tidak
akan terjadi.
c. Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun di bawah
100 kali/menit. Frekuensi jantung mungkin sedikit meningkat saat bayi bernafas
ketokolamin dan zat kimia stress lainnya. Walupun demikian, tekanan darah
yang terkait erat dengan frekuensi jantung, mengalami penurunan tajam selama
apnea terminal.
e. Terjadi penurunan pH yang hamper linier sejak awitan asfiksia. Apnea primer
dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat dibedakan. Pada umumnya
a. Pernafasan
auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan abnormal, seperti pergerakan dada
adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat (lambat dan tidak teratur), atau
b. Denyut jantung
denyutan umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali per menit. Angka
ini merupakan titik batas yang mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang
signifikan.
c. Warna
Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis perifer
(akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam pertama bahkan hari.
Bayi pucat mungkin mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi
Ketiga observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar. Dua komponen
SSP pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia kecuali jika ditemukan kelainan
bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera sesudah bayi lahir.
jantung atau warna bayi, maka penilaian ini harus dilakukan segera. Intervensi yang
harus dilakukan jangan sampai terlambat karena menunggu hasil penilaian Apgar 1
Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan keputusan pada awal
resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian
efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit.
Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih diperlukan yaitu
tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian menunjukkan nilai 8
Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis
PaCO2 > 55 mm H2
pH < 7,30
8. Pemeriksaan EEG
9. Ureum kreatinin
11. Laktat
2.8 Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum dan Algoritma
1. Tindakan umum
a. Pengawasan suhu
Bayi baru lahir secara relatif kehilangan panas yang diikuti oleh penurunan
Saluran nafas bagian atas segera dibersihkan dari lendir dan cairan amnion,
kepala bayi harus posisi lebih rendah sehingga memudahkan keluarnya lender.
telapak kaki bayi, menekan tendon achilles atau memberikan suntikan vitamin
2. Tindakan khusus
Resusitasi aktif dalam hal ini harus segera dilakukan yaitu dengan :
secara teratur 80-100 x/mnt. Tindakan ini berselingan dengan nafas buatan,
yaitu setiap 5 x masase diikuti 1x pemberian nafas. Hal ini bertujuan untuk
dan mulut disertai dengan menggerakkan dagu ke atas dan kebawah dalam
frekuensi 20 x/ menit.
a. Pengisapan cairan lambung dilakukan pada bayi-bayi tertentu yaitu pada bayi
prematur, sebelumnya bayi mengalami gawat janin, pada ibu yang mendapatkan
penekanan pernafasan akibat morfin atau petidin yang diberikan selama proses
persalinan.
mulut.
d.Lakukan observasi tanda vital dan apgar score dan masukan ke dalam
inkubator.
e. Apabila bayi sudah mulai benapas tetapi masih sianosis berikan natrium
neonatorum.
kardiotokografi.
penanganan persalinan.
b. Stabilisasi suhu.
Kelainan yang terjadi akibat hipoksia dapat timbul pada stadium akut dan dapat
pula terlihat beberapa waktu setelah hipoksia berlangsung. Pada keadaan hipoksia
akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ vital seperti otak, jantung,
dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran yang lebih banyak dibandingkan
abdomen dan rongga toraks lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus
vasopresin. Redistribusi aliran darah pada penderita hipoksia tidak hanya terlihat
pada aliran sistemik tetapi juga terjadi saat darah mencapai suatu organ tertentu.
Hal ini dapat terlihat pada aliran darah otak yang ditemukan lebih banyak mengalir
ke batang otak dan berkurang ke serebrum, pleksus khoroid, dan masa putih.
Pada bayi kurang bulan, proses hipoksia yang terjadi akan lebih berat dibandingkan
dengan bayi cukup bulan akibat kurang optimalnya faktor redistribusi aliran darah
terutama aliran darah otak, sehingga risiko terjadinya gangguan hipoksik iskemik
dan perdarahan periventrikular lebih tinggi. Demikian pula disfungsi jantung akibat
proses hipoksik iskemik ini sering berakhir dengan payah jantung. Karena itu
tidaklah
mengherankan apabila pada hipoksia berat, angka kernatian bayi kurang bulan,
terutama bayi berat lahir sangat rendah yang mengalami hipoksia berat dapat
mencapai 43-58%.
5. Hematologi.
dan obat-obatan, atau meninggal. Pada sebagian bayi yang tetap tidak membaik
komplikasi resusitasi.
Bayi yang memerlukan VTP berkepanjangan, intubasi dan atau kompresi dada
sangat mungkin mengalami stress berat dan berisiko mengalami kerusakan fungsi
organ multipel yang tidak segera tampak. Bila diperlukan resusitasi lebih lanjut,
bayi dirawat di ruang rawat lanjutan, dengan pemantauan suhu, tanda vital, dan
antisipasi terhadap komplikasi. Bayi juga memerlukan nutrisi baik dengan cara
pemberian oral atau parenteral tergantung kondisinya. Bila bayi menderita asfiksia
terhadap saturasi oksigen, dan pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin, kadar
gula darah, elektrolit dan analisa gas
Tabel 2.2 Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi yang
dilakukan
terjadi resusitasi
perlu
elektrolit
Pencegahan hipotermia
Pertimbangkan terapi
anti kejang
Pneumotoraks Pertimbangkan
mekonium napas
bebas
pemberian surfaktan
darah dan
frekuensi jantung
Pertimbangkan
inotropik(misal
dopamin) dan/atau
cairan penambah
volume darah
urin
bila ada
vaskuler adekuat
Pemantauan kadar
elektrolit
Enterokolitis minum
Pertimbangkan nutrisi
parenteral
Metabolik/hematoogik Hipoglikemia Pemantauan gula darah
Trombositopenia
Buku panduan
EVALUASI
1.Bersihan jalan nafas kembali efektif, pasien terbebas dari obsruksi secret
2.Ventilasi paru maksimal, pola nafas efektif
3.Pernapasan pasien kembali normal, dengan frekuensi pernapasan berkisar 30-
40x/mnit
4.Pertukaran gas adekuat
5.Tidak terjadi penurunan kesadaran.
BAB 3
3.1 Kesimpulan
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernapas dengan
spontan dan teratur yang dapat menurunkan kadar O2 dan meningkatkan kadar CO2
yang dapat menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut baik pada
postpartum yang dapat berasal dari faktor ibu, faktor tali pusar, ataupun bayi.
dari penilaian APGAR score yang meliputi : warna kulit, denyut jantung, refleks
tonus otot, dan pernapasan yang dinilai pada menit pertama, ke lima dan ke sepuluh.
Nilai APGAR score yang menunjukkan nilai >7 dinyatakan sebagai asfiksia ringan,
angka kematian, maka dari itu setiap perawat harus memahami konsep akan asfiksia
dan penatalaksanaannya.
3.2 Saran
komplikasi, dampak dan gejala sisa hingga mengurangi angka kematian bayi
karena asfiksia.
DAFTAR PUSTAKA
Brownes . 1980 . Antenatal Care . The English and Language Book Society and J&
A Churcill
Carpenito. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta : EGC
Dr. Rusepno Hassan Dkk.1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :
Infomedika
Manoe, V. M. and Amir, I. (2010) ‘Gangguan Fungsi Multi Organ pada Bayi
Asfiksia Berat’, American Journal of Obstetrics and Gynecology, 5(2), pp.
72–78.
Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga Jilid I. Jakarta :
Media Aesculapius FKUI.
Price, SA. 1996. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit Volume 1. Jakarta :
EGC
Seomantri Irman, 2008. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
pernapasan. Salemba Medika, Jakarta.