Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

ASFIKSIA NEONATORUS
DI RUANG NEONATUS RSD dr. HARYOTO LUMAJANG

Oleh:
KELOMPOK ANAK

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER
2017

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Asfiksia Neonatorum merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang

paling tinggi pada kasus gawat nafas yang terjadi pada neonatus. Kata asfiksia itu
sendiri berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses
asfiksia ini berlangsung terlalu lama dan tidak mendapatkan penanganan segera
dapat mengakibatkan kerusakan otak, serta dapat mempengaruhi fungsi organ fital
lainnya sehingga dapat mengakibatkan kematian pada bayi (Maryunani, 2009).
Berdasarkan uraian masalah diatas, menurut laporan Oragnisasi Kesehatan
Dunia (WHO) diperkirakan sekitar 23% dari seluruh angka kematian neonatus
disebabkan oleh asfiksia neonatorum (Lawn, J, et al WHO, 2005). Menurut data
WHO didapatkan bahwa sejak tahun 2000 2003 asfiksia menempati urutan ke
6, yaitu sebanyak 8% sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah
pneumonia, malaria, sepsis neonatal dan kelahiran prematur. Berdasarkan data
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, menyebutkan penyebab kematian
bayi baru lahir di Indonesia diantaranya kasus asfiksia sebanyak 27%. Sementara
itu, menurut Departemen Kesehatan RI pada tahun 2004 menyatakan data
distribusi pasien meninggal di Rumah Sakit yang bermula pada masa perinatal di
Indonesia sebanyak 23,3% disebabkan karena hipoksia intrauterus dan asfiksia
pada saat lahir (Depkes RI, 2004).
Dari hasil studi pendahuluan pada bulan januari sampai maret 2014 di
ruang Neonatus Rumah Sakit Daerah Dr. Haryoto Lumajang, bayi yang
mengalami asfiksia didapatkan 20,3% dari seluruh pasien yang berada di Ruang
Neonatus, sementara angka kejadian kiriman yang mengalami asfiksia sebanyak
29,9% dari seluruh pasien rujukan di Ruang Neonatus. Sedangkan prosentase
kematian neonatus dengan asfiksia sebesar 8% (Data register Ruang Neonatus
RSD Dr. Haryoto Lumajang, 2014).
Berdasarkan skala diatas, asfiksia neonatorum dapat disebabkan karena
Ibu yang mengalami hipoksia serta terdapat gangguan darah pada uterus, selain
bisa disebabkan dari ibu bisa juga disebabkan karena terjadi gangguan pertukaran
gas dari ibu ke janin. Sedangkan dari faktor bayi itu sendiri bisa disebabkan oleh
pemakaian anestesi yang berlebih pada ibu, trauma yang terjadi selama persalinan,
maupun kelainan kongenital pada bayi. Berdasarkan penyebab masalah tersebut,
ada beberapa tanda dan gejala bahwa bayi tersebut mengalami asfiksia

diantaranya penurunan tonus otot karena kekurangan oksigen pada otak, takipneu
(pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru atau nafas tidak teratur,
pucat, depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen, bradikardi (penurunan
frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot otot jantung atau sel
sel otak (Maryunani, 2009). Berdasarkan tanda dan gejala tersebut dapat muncul
berbagai masalah keperawatan diantaranya ketidakefektifan bersihan jalan nafas,
resiko aspirasi, ketidakefektifan pola menyusui, penurunan curah jantung,
ketakutan (orang tua), kekurangan volume cairan, resiko infeksi, nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh, ketidakefektifan pengaturan suhu, pola nafas tidaefektif
(Wilkinson, 2007).
Untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas dari kasus asfiksia
neonatorum diperlukan pengkajian secara menyeluruh untuk mendapatkan hasil
yang maksimal, sehingga bisa menentukan tindakan yang tepat untuk mengatasi
masalah tersebut baik secara mandiri maupun kolaboratif. Tindakan yang bisa
dilakukan secara umum diantaranya, membersihkan jalan nafas, merangsang
reflek pernafasan dengan cara memukul kedua telapak kaki dan bisa juga dengan
cara mempertahankan suhu tubuh. Untuk tindakan kolaboratif bisa diberikan
terapi oksigen baik secara headbox maupun kanul (Maryunani, 2009). Untuk
mengatasi masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas dapat
dilakukan intervensi keperawatan diantaranya: mengeluarkan sekret dari jalan
napas, mengkaji respiration rate, auskultasi bunyi paru dan memberikan oksigen
yang adekuat. Untuk mengatasi masalah keperawatan resiko aspirasi dapat
dilakukan intervensi keperawatan mengkaji tanda vital, memonitoring perfusi
jaringan tiap 2 4 jam, memposisikan bayi tegak, serta bisa diposisikan berbaring
miring setelah minum. Untuk mengatasi masalah keperawatan penurunan curah
jantung dapat dilakukan intervensi keperawatan dianataranya pemantauan tanda
tanda vital, ubah posisi klien ke posisi datar, dalam tindakan kolaboratif dapat
dilakukan pemberian cairan intra vena. Untuk mengatasi masalah keperawatan
kekurangan volume cairan dapat dilakukan tindakan keperawatan mengobservasi
intake dan output, menghitung status hidrasi dengan tepat, kolaborasi pemberian
cairan intra vena. Untuk mengatasi masalah keperawatan Resiko tinggi terjadi
infeksi dapat dilakukan tindakan keperawatan mengurangi tindakan yang
menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial dengan cara memperhatikan teknik

aseptik. Untuk mengatasi masalah nutrisi kurang dari kebutuhan dapat dilakukan
intervensi keperawatan bantu pemberian ASI, observasi intake dan output,
timbang BB setiap hari. Untuk mengatasi masalah keperawatan ketidak efektifan
pengaturan suhu tubuh dapat dilakukan intervensi keperawatan monitoring tanda
tanda vital, berikan kompres dingin atau hangat, berikan suhu ruangan yang
sesui kondisi bayi. Untuk mengatasi masalah keperawatan pola nafas tidak efektif
dapat dilakukan intervensi keperawatan hitung tanda tanda vital, letakkan bayi
dalam posisi terlentang, untuk intervensi kolaboratif dapat diberikan terapi
oksigen (Wilkinson, 2007).
Berdasarkan uraian diatas, kelompok tertarik untuk meneliti Asuhan
Keperawatan pada Neonatus dengan Asfiksia di Ruang Neonatus RSD Dr.
Haryoto Lumajang 2017.
1.2

Rumusan Masalah Penulisan


Dari penelitian ini peneliti merumuskan masalah sebagai berikut

Bagaimana Pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada bayi dengan Asfiksia Berat


di Ruang Neonatus RSD Dr. Haryoto Lumajang 2017?
1.3
1.3.1

Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi asuhan keperawatan pada

bayi dengan Asfiksia Berat di Ruang Neonatus RSD dr. Haryoto Lumajang 2017.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Melakukan pengkajian pada Bayi dengan Asfiksia berat di Ruang
Neonatus RSD dr. Haryoto Lumajang 2017.
1.3.2.2 Merumuskan diagnosa pada Bayi dengan Asfiksia berat di Ruang
Neonatus RSD dr. Haryoto Lumajang 2017.
1.3.2.3 Menyusun Intervensi pada Bayi dengan Asfiksia berat di Ruang Neonatus
RSD dr. Haryoto Lumajang 2017.
1.3.2.4 Mengimplementasikan rencana pada Bayi dengan Asfiksia berat di Ruang
Neonatus RSD dr. Haryoto Lumajang 2017.
1.3.2.5 Mengidentifikasikan evaluasi pada Bayi dengan Asfiksia berat di Ruang
Neonatus RSD dr. Haryoto Lumajang 2017.
1.4
1.4.1

Manfaat Penulisan
Bagi Klien
Dapat mengatasi masalah keperawatan yang diderita klien dan
meningkatkan kesehatan klien.

1.4.2

Bagi Peneliti
Dapat memperluas pengetahuan dan menambah pengalaman dari
penelitian tentang asuhan keperawatan pada Bayi dengan Asfiksian Berat

1.4.3

1.4.4

di Ruang Neonatus RSD dr. Haryoto Lumajang 2014.


Bagi Perawat
Diharapkan perawat dapat memberikan penanganan yang tepat
pada bayi baru lahir dan bisa meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Bagi RSD Dr. Haryoto Lumajang
Diharapkan

dapat

memberikan

informasi

keperawatan pada neonatus dengan asfiksia berat.

tentang

asuhan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 PENGERTIAN
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini diesbabkan oleh
karena hipolisis janin dalam kandungan yang terjadi pada saat hamil, persalinan
atau segera setelah bayi lahir. Umumnya asfiksia neonatorum merupakan
kelanjutan dari hipoksia atau anoksia janin (Depkes RI, 1995).
Asfiksia Neonatorum didefiniskan sebagai kegagalan bayi untuk bernafas
secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah yang ditandai
dengan keadaan P2O2 didalam darah rendah (hipoksemia), P2CO2 meningkat
(hiperkarbia) dan asidosis (IDAI, 2004).
Asfiksia Neonatorum merupakan suatu keadaan bayi baru lahir yang
mengalami gagal napas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga
bayi tidak dapat memasukkan oksigen dan tidak dapat mengeluarkan zat asam
arang dari tubuhnya (Dewi, 2010).
2.2 KLASIFIKASI
Beberapa literatur mengklasifikasikan atau menggolongkan asfiksia
neonatorum sebagai berikut:
2.2.1

Vigorous Baby atau Asfiksia Ringan (Nilai Apgar 7 - 10), dalam hal
ini bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.

2.2.2

Mild-moderate asphyxia atau Asfiksia Sedang (Nilai Apgar 4 - 6 ),


pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100
x/mnt, tonus otot kurang, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.

2.2.3

Asfiksia berat (Nilai Apgar 0 - 3). Pada pemeriksaan fisik ditemukan


frekuensi jantung kurang dari 100 x/mnt, tonus otot buruk, sianosis
berat dan kadang kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada
(Maryuni, 2009).

2.3 ETIOLOGI
Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit pertama kelahiran
dan kemudian diikuti dengan pernafasan teratur. Asfiksia janin atau neonatus akan
terjadi jika terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan transportasi
oksigen dari ibu ke janin. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan,
persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia bayi baru lahir
merupakan kelanjutan asfiksia janin. Oleh karena itu, evaluasi atau penilaian
keadaan janin selama kehamilan dan persalinan memegang peran penting untuk
keselamatan bayi atau kelangsungan hidup yang sempurna tanpa gejala sisa.
Asfiksia yang mungkin timbul pada masa kehamilan atau antenatal yang adekuat
dan melakukan koreksi sedini mungkin terhadap setiap kelainan yang terjadi.
Apabila kelainan tidak dapat diatasi dan keadaan bayi telah mengizinkan, maka
terminasi kehamilan dapat dipikirkan (Pusponegoro, 2000).
Penggolongan penyebab kegagalan pernapasan pada bayi atau asfiksia
dapat terjadi karena beberapa faktor berikut ini:
2.3.1 Faktor Ibu
Gangguan sirkulasi dari ibu ke janin, diantaranya disebabkan oleh beberapa hal
berikut:
1)

Hipoksia Ibu
Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau

anesthesia. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin.


2)

Gangguan aliran darah uterus


Menguranginya aliran darah pada uterus akan menyebabnya berkurangnya

pengaliran oksigen ke plasenta dan ke janin. Hal ini sering ditemukan pada:
a. Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani uterus
akibat penyakit atau obat.
b. Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan.
c. Hipertensi pada penyakit toksemia, eklampsia, dan lain-lain.
d. Primitua, diabetes mellitus, anemia, iso-imunisasi golongan darah, riwayat
lahir mati, KPD, infeksi dan penyakit jantung.

3) Faktor Plasenta

Pertukaran gas anatar ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi
plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada
plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dll.
4)

Faktor Fetus
Kompresi umbilicus akan mengakibatkan tergangguanya aliran darah

dalam pembuluh darah umbilicus dan menghambat pertukaran gas anatar ibu dan
janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan: tali pusat
menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat, dll.
5)

Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena

beberapa hal berikut: pemakaian anestesi yang berlebih pada ibu, trauma yang
terjadi selama persalinan dan kelainan kongenital pada bayi (Maryunani, 2009).
2.4 PATOFIOLOGI
Pernafasan spontan bayi baru lahir bergantung kepada kondisi janin pada
masa kehamilan dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan
asfiksia ringan yang bersifat sementara pada bayi, proses ini dianggap sangat
perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat pernafasan agar terjadi primary
gasping yang kemudian akan berlanjut dengan pernapasan.
Bila terdapat gangguan pertukaran gas/ pengangkutan oksigen selama
kehamilan dan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan
mempengaruhi fungsi sel tubuh dan tidak teratasi akan menyebabkan kematian.
Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat revesrsible / tidak bergantung pada berat
dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai dari suatu periode apneu
disertai

dengan

penurunan

frekuensi

jantung,

selanjutnya

bayi

akan

memperlihatkan usaha bernafas yang kemudian akan diikuti oleh pernafasan


teratur. Pada penderita asfiksia berat usaha bernafs ini tidak tampak dan bayi
selanjutnya berada dalam periode apneu kedua. Pada tingkat ini ditemukan
bradikardi dan penurunan tekanan darah.
Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula gangguan
metabolisme dan pemeriksaan keseimbangan asam basa pada bayi. Pada tingkat
pertama dan pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik,

bila gannguan berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi metabolisme anerobik yang
berupa glikosis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung
dan hati akan berkurang asam organik terjadi akibat metabolisme ini akan
menyebabkan tumbuhnya asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan
terjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan
diantaranya hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi
jantung. Terjadinya asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel
jaringan termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung dan
pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan menurunnya
tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah keparu dan ke
sistem tubuh lain akan mengalami gangguan. Asidosis dan gangguan
kardiovaskuler yang terjadi pada tubuh berakibat buruk terhadap sel otak.
Kerusakan sel otak yang terjadi menimbulkan kematian atau gejala sisa pada
kehidupan bayi selanjutnya (Maryunani, 2009).
2.5 MANIFESTASI KLINIS
2.5.1 Asfiksia Berat (0 - 3)
Pada kasus asfiksia berat, bayi akan mengalami asidosis, sehingga
memerlukan perbaikan dan resusitasi aktif dengan segera. Tanda dan gejala yang
muncul pada asfiksia berat adalah sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Frekuensi jantung kecil, yaitu <40 x/mnt


Tidak ada usaha nafas
Tonus otot lemah, bahkan tidak ada.
Bayi tidak dapat memberikan reaksi jika diberikan ransangan
Bayi tampak pucat bahkan sampai bewarna kelabu.
Terjadi kekurangan oksigen yang berlanjut sebelum atau sesudah persalinan.

2.5.2 Asfiksia Sedang (Nilai Apgar 4 - 6)


Pada asfiksia sedang, tanda dan gejala yang muncul adalah sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Frekuensi jantung menurun menjadi 60 80 x/mnt


Usaha nafas lambat
Tonus otot biasanya dalam keadaan baik.
Bayi masih bisa bereaksi terhadap rangsangan yang diberikan.
Bayi tampak sianosis
Tidak terjadi kekurangan oksigen yang bermakna selama proses persalinan.

2.5.3 Asfiksia Ringan (nilai Apgar 7 - 10)

Pada Asfiksia ringan tanda dan gejala yang muncul adalah sebagai berikut.
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Takipnea dengan nafas lebih dari 60x/mnt


Bayi tampak sianosis
Adanya retraksi sela iga.
Bayi merintih
Adanya pernapasan cuping hidung
Bayi kurang aktivitas
Terdapat ronchi dan wheezing. (Dewi, 2010).

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang atau laobartorium yang sangat menunjang adanya
asfiksia yaitu analisa gas darah yang menunjukkan hasil:
2.6.1 PaO2 < 50 mmH2O
2.6.2 PaCO2 > 55 mmH2O
2.6.3 pH < 7,30 (Muryanani, 2009).
2.7 KOMPLIKASI
Komplikasi dari asfiksia neonatorum meliputi berbagai organ yaitu:
2.7.1

Otak: hipoksia iskemik ensefalopati, edema serebri, kecacatan cerbral

2.7.2

palsy.
Jantung dan paru: hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan

2.7.3
2.7.4
2.7.5

paru, edema paru.


Gastrointestinal: enterokolitis nekrotikans
Ginjal: tubular nekrosis akut, siadh
Hamotologi: DIC (Muryanani, 2009).

2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan asfiksia neonatorum adalah resusitasi neonatus atau bayi.
Semua bayi dengan depresi pernapasan harus mendapat resusitasi yang adekuat.
Bila bayi kemudian terdiagnosa sebagai asfiksia neonatorum, maka tindakan
medis lanjutan yang komprehensif. Tindakan resusitasi neonatorum akan
dipastikan sendiri kemudian, namun pada initinya penatalaksanaan terhadap
asfiksia neonatorum adalah berupa:
2.8.1 Tindakan Umum
1) Bersihkan jalan nafas: kepala bayi diletakkan lebih rendah agar lendir mudah
mengalir, bila perlu digunakan laringoskopi untuk membantu penghisapan
lendir dari saluran nafas yang lebih dalam.

2) Rangsang refleks pernapsan: dilakukan setelah 20 detik bayi tidak


memperlihatkan bernafas dengan cara memukul kedua telapak kaki menekan
tanda achiles.
3) Mempertahankan suhu tubuh. (Muryanani, 2009)
2.8.2 Tindakan Khusus
1) Asfiksia Berat
Berikan O2 dengan tekanan positif dan intermiten melalui pipa endotrakeal,
dapat dilakukan dengan tiupan udara yang telah diperkaya dengan O2. Tekanan
O2 yang diberikan tidak 30 cm H-20. Bila pernapasan spontan tidak timbul,
lakukan massage jantung dengan ibu jari yang menekan pertengahan sternum 80
100 kali permenit.
2)

Asfiksia sedang atau ringan


Pasang reflkiek pernapasan (hisap lendir, rangsangan nyeri) selama 30

60 detik. Bila gagal, lakukan pernapasan kodok 1 2 menit yaitu: kepala bayi
ekstensi maksimal beri O2 1-2 liter permenit melalui kateter dalam hidung, buka
tutp mulut dan hidung serta gerakkan dau keatas dan kebawah secara teratur 20
x/mnt (Muryanani, 2009).

2.8 PENGKAJIAN
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan.
Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya.
Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap ini
akan menentukan diagnosis keperawatan. Diagnosis yang diangkat akan
menentukan desain perancanaan yang ditetapkan. Selanjutnya, tindakan
keperawatan dan evaluasi mengikuti perencanaan yang dibuat. Oleh karena itu,
pengkajian harus dilakukan dengan teliti dan cermat, sehingga seluruh kebutuhan
perawatan pada klien dapat diidentifikasi. Berikut data pengkajian yang dapat kita
temukan pada nenonatus dengan asfiksia (Doenges, 2006) :
2.8.1 Sirkulasi
1) Nadi apical mungkin cepat dan/atau tidak teratur dalam batas normal (120
sampai 160 dpm)
2) Murmur jantung yang dapat didengar dapat menandakan duktus arteriosus
paten (PDA)
2.8.2 Makanan/Cairan
Berat badan kurang dari 2500 g (5 lb 8 oz)
2.8.3 Neurosensori
1) Tubuh panjang, kurus, lemas, dengan perut agak gendut
2) Ukuran kepala besar dalam hubungannya dengan tubuh, sutura mungkin
mudah digerakkan, fontanel mungkin besar atau terbuka lebar
3) Dapat mendemonstrasikan kedutan atau mata berputar
4) Edema kelopak mata umum terjadi, mata mungkin merapat (tergantung pada
usia gestasi)
5) Refleks tergantung pada usia gestasi; rooting terjadi dengan baik pada gestasi
minggu 32; koordinasi reflex untuk menghisap, menelan, bernapas biasanya
terbentuk pada gestasi minggu ke-32; komponen pertama dari reflex Moro
(ekstensi lateral dari ekstremitas atas dengan membuka tangan) tampak pada
gestasi minggu ke-28; komponen kedua (fleksi anterior dan menangis yang
dapat didengar) tampak pada gestasi minggu ke-32
6) Pemeriksaan Dubowitz menandakan usia gestasi antara minggu 24 dan 37

2.8.4 Pernapasan
1) Skor apgar mungin rendah

2) Pernapasan mungkin dangkal, tidak teratur; pernapasan diafragmatik


intermiten atau periodic (40-60x/menit)
3) Mengorok, pernapasan cuping hidung, retraksi suprasternal atau substernal,
atau berbagai derajat sianosis mungkin ada
4) Adanya bunyi ampelas pada auskultasi, menandakan sindrom distress
pernapasan (RDS)
2.8.5 Keamanan
1) Suhu berfluktuasi dengan mudah
2) Menangis mungkin lemah
3) Wajah mungkin memar; mungkin ada kaput suksedaneum
4) Kulit kemerahan atau atau tembus pandang; warna mungkin merah
muda/kebiruan, akrosianosis, atau sianosis/pucat
5) Lanugo terdistribusi secara luas di seluruh tubuh
6) Ekstremitas mungkin tampak edema
7) Garis telapak kaki mungkin atau mungkin tidak ada pada semua atau sebagian
telapak
8) Kuku mungkin pendek
2.8.6 Seksualitas
1) Persalinan atau kelahiran mungkin tergesa-gesa
2) Genitalia; labia minora wanita mungkin lebih besar dari labia mayora, dengan
klitoris menonjol; testis pria mungkin tidak turun, rugae mungkin banyak atau
tidak ada pada skrotum
2.8.7 Penyuluhan/Pembelajaran
Riwayat ibu dapat menunjukkan faktor-faktor yang memperberat
persalinan praterm, seperti usia muda; latar belakang sosial ekonomi rendah;
rentang kehamilan dekat; gestasi multiple; nutrisi buruk; kelahiran praterm
sebelumnya; komplikasi obstetrik seperti abrupsio plasentae, ketuban pecah dini
(KPD), dilatasi serviks premature, adanya infeksi; inkompatibilitas darah
berhubungan dengan eritroblastosis fetalis; atau penggunaan obat yang
diresepkan, dijual bebas atau obat jalanan.

2.9 INTERVENSI KEPERAWATAN


2.10 IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke
status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan (Rohma, 2009).
2.11 EVALUASI KEPERAWATAN
Meskipun proses mempunyai tahap-tahap, namun evaluasi berlangsung
terus menerus sepanjang pelaksana proses keperawatan. Tahap evaluasi
merupakan perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan klien
dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan berkesinambungan dengan
melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi dalam keperawatan yang
telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal
dan mengukur dari hasil keperawatan (Rohma, 2009).

Anda mungkin juga menyukai