Anda di halaman 1dari 7

STUDY KASUS

PADA BY NY N DENGAN ASFIKSIA


DI RUANG NICU RSUD DR. MOEWARDI

DISUSUN OLEH:
Sri Wahyuni S.Kep.Ns
197612232007012010

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MOEWARDI SURAKARTA


2021
STUDY KASUS
PADA BY NY N DENGAN ASFIKSIA
DI RUANG NICU RSUD DR. MOEWARDI

A. Lampiran Laporan Pelaksanaan Kegiatan


1. Diskusi Refleksi Kasus (DRK)
Formulir Diskusi Refleksi Kasus
Nama Perawat : Sri Wahyuni S.Kep.Ns
Ruangan : Ruang NICU RSDM Moewardi Surakarta
Tanggal DRK : 3 Mei 2021
Waktu : 08.30 WIB
Tempat : RSDM Moewardi Surakarta

Ringkasan Pasien
Pasien By. Ny. M, merupakan pasien baru dari ruang PONEK 1 pada tanggal
7 Agustus 2021 pukul 19.00 WIB dengan Berat Badan Lahir 2700gr. Usia kehamilan
ibu 41 minggu + 1 hari, lahir spontan ibu KPD 12 jam, inpartu kala II lama. Dirawat
dengan diagnosa medis Neo, BBLC dengan gangguan nafas berat e/c TSK MAS dd
pneumonia, riwayat asfiksia berat, caput succedeneum dd. cephalhematom, sepsis
neonatorum.
Saat dilakukan pengkajian ini pasien berumur 1 hari, dalam hari perawatan 1
hari dan Berat Badan Sekarang 2790 gr. Keadaan umum lemah, seseg, kesadaran S5,
tangis On venti, gerak kurang aktif, retraksi dada sedang, ikterik, caput sucedaneum,
sekret kental, ikterik, residu lambung coklat, terpasang DC produk urin hematuri,
NPO, OGT dialirkan. BAK (+), BAB (-).
Pasien terpasang ETT dengan ventillator (Pressure Control) dengan PC: 10;
RR: 40; PEEP: 6; FiO2: 40%; I:E ratio: 1:1,5. Terpasang Umbilical Venous Catheter.
Pasien mendapatkan terapi infus Total Parenteral Nutrisi 5,8 ml/jam; Miloz 7 mg 
0,3 cc/jam; Dobutamin 20 mg ---> 0,3 ml/jam; inj. Ampicillin 135 mg/12 jam ( H.1);
inj. Gentamicin 10 mg/24 jam (sementara ditunda karena produk urine sedikit
(oligouri); Inj Omeprazole 3mg /24 jam (H.1/3); Inj. Vik K 1mg/24 jam (H.1/3).
Terapi enteral: Curcuma 1 mg/ 24 jam.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Blood Gas Analisys (BGA), pasien
mendapatkan intervensi dari DPJP koreksi Natricus Bicarbonat 8 mEq + D5% 30 ml
dengan kecepatan 7,5 ml/jam (sudah selesai diberikan). Dianjutkan koreksi natricus
bicarbonat ke dua 8 mEq + D5% sd 30ml dengan kecepatan 1,5 ml/jam (masih
berlangsung). Pada tanggal 9 Agustus 2021 dilakukan pemerksaan Kultur darah
(sampel +), urinalisa dan Foto Rontgent Baby gram.
Diagnosa keperawatan yang ditegakkan pada pasien ini adalah: 1) Bersihan
jalan nafas tidak efektif; 2) Pola Nafas Tidak Efektif; 3) Resiko Defisit Nutrisi; dan 4)
Resiko Infeksi. Intervensi yang dillakukan adalah pasien minimal handling kemudian
dilakukan monitor status oksigenasi dan hemodinamik, monitor setting dan sirkuit
ventilator, monitor thermoregulasi, monitor airway breathing.

2. Pengalaman/ Temuan/ Keberhasilan


Asfiksia neonatorum merupakan kegawatdaruratan bayi baru lahir berupa
depresi pernafasan yang berlanjut sehingga menimbulkan berbagai komplikasi.
Asfiksia paling sering terjadi pada periode segera setelah lahir dan menimbulkan
sebuah kebutuhan resusitasi dan intervensi segera untuk meminimalkan mortalitas dan
mordibitas (Anik, 2012). Menurut Kristiyanasari (2013), asfiksia dalam persalinan
dapat disebabkan oleh partus lama, ruptur uteri, tekanan kepala anak yang terlalu kuat
pada plasenta, pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya,
plasenta previa, solusia plasenta, plasenta tua (serotinus), prolapsus. Di Indonesia
Asfiksia menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian bayi (AKB). Setiap
tahunnya kira – kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir mengalami asfiksia,
hamper 1 juta bayi ini meninggal (Darmiati, 2019).
Diagnosa keperawatan yang ditegakkan pada pasien ini adalah: 1) Bersihan
jalan nafas tidak efektif; 2) Pola Nafas Tidak Efektif; 3) Resiko Defisit Nutrisi; dan 4)
Resiko Infeksi. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan asesmen yang dilakukan pada
pasien tersebut. Menurut Nurarif dan Kusuma (2015) masalah gangguan pernafasan
pada asfiksia neonatorum salah satunya adalah bersihan jalan nafas. Adanya sekret
yang kental pada jalan nafas akan mempengaruhi proses oksigenasi. Keadaan ini akan
mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak segera ditangani secara tepat akan
menyebabkan kematian.
Risiko Defisit Nutrisi muncul karena adanya faktor risiko berupa
ketidakmampuan menelan makanan, ketidakmampuan mencerna makanan maupun
ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien.

Pada tinjauan pustaka, selain ketiga diagnosa diatas juga ditemukan adalah 1)
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi;
2) Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh atau hipotermi berhubungan dengan paparan
lingkungan dingin. Kedua diagnosa tersebut tidak muncul pada pasien ini karena tidak
ditemukan tanda – tanda kerusakan pertukaran gas maupun kenaikan maupun
penurunan suhu tubuh pasien. Demikian juga terdapat diagnosa potensial yang dapat
ditegakan yang harus menjadi perhatian serius bagi perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan, yaitu resiko gangguan integritas kulit atau jaringan karena
adanya faktor mekanisme penekanan pada tonjolan tulang atau gesekan. Untuk
mengantisipasi adanya gangguan integritas kulit pada bayi baru lahir, perawatan
pasien ini dilakukan nesting position.
Intervensi yang dilakukan pada pasien ini berupa pasien minimal handling
kemudian dilakukan monitor status oksigenasi dan hemodinamik, monitor setting dan
sirkuit ventilator, monitor thermoregulasi, monitor airway breathing.
Menurut Bowden et.al (2000), minimal handling merupakan intervensi
developmental care yang dapat dilakukan. Minimal handling dapat melindungi dan
mempertahankan stabilitas kondisi bayi, dilakukan dengan merencanakan dan
mengelompokkan prosedur tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap bayi
sehingga manipulasi fisik dapat diminimalkan. Minimal handling dilakukan agar bayi
memiliki waktu istirahat dan tidur tanpa adanya gangguan dari aktivitas pengobatan,
perawatan, dan pemeriksaan lainnya. Sehingga dapat memfasilitasi bayi untuk
tumbuh dan berkembang karena selama fase tidur terjadi sekresi hormon pertumbuhan
dan imunitas tubuh. Minimal handling dapat menurunkan nyeri dan meningkatkan
waktu tidur tenang pada bayi (Hendrawati, 2020).
Diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif dan pola nafas tidak
efektif sangat berpotensi untuk menggangu oksigenasi bagi pasien. Oleh karena itu,
untuk menjaga patensi jalan nafas pada pasien secara kolaboratif dilakukan dengan
memasang ETT, sedangkan intervensi oksigenasi dilakukan dengan dengan ventilator
(Pressure Control) dengan PC: 10; RR: 40; PEEP: 6; FiO2: 40%; I:E ratio: 1:1,5.
Terapi oksigenasi bertujuan memberikan kecukupan oksigen dan memberikan
ventilasi yang adekuat sehingga tercapai tujuan penanganan asfiksia yaitu
mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan membatai gejala sisa yang mungkin
timbul di kemudian hari (Suraatmaja, 2006). Monitoring status oksigen diperlukan
agar tidak terjadi kekurangan oksigen yang memperberat asfiksia dan mencegah
kelebihan oksigenasi yang dapat menyebabkan ROP. Monitor oksigenasi dilakukan
dengan melihat ada atau tidaknya sianosis pada kulit bayi dan monitoring saturasi.
Penatalaksaan pada asfiksia neonatorum menurut (Arif dan weni, 2009) salah
satu diantaranya adalah membersihkan jala nafas dengan menghisap lendir dengan
menggunakan kasa steril. Manajemen Keperawatan pada asfiksia neonatorum adalah:
a. Observasi adanya tanda – tanda:
1) Tidak adanya respirasi spontan
2) Aktivitas kejang dalam 12 jam pertama setelah lahir
3) Penurunan atau peningkatan keluaran urin (yang dapat mengindikasikan
nekrosis tubular akut atau sindrom hormon antidiuretik yang tidak sesuai)
4) Perubahan metabolik (misalnya, hipoglikemia dan hipokalsemia)
5) Peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan penurunan atau tidak
adanya refleks atau hipertensi.
b. Kurangi rangsangan pada lingkungan
c. Pantau respons, aktivitas, tonus otot, dan postur bayi.
d. Berikan bantuan pernapasan.
e. Pantau adanya komplikasi.
1) Ukur dan catat intake dan output untuk mengevaluasi fungsi ginjal.
2) Periksa setiap berkemih untuk darah, protein, dan berat jenis, yang
menunjukkan cedera ginjal.
3) Periksa setiap tinja untuk darah, menunjukkan enterokolitis nekrotikans
(NEC). NEC adalah suatu kondisi di mana usus mengembangkan bercak
nekrotik yang mengganggu pencernaan dan mungkin menyebabkan ileus
paralitik, perforasi, dan peritonitis.
4) Lakukan penentuan glukosa darah serial untuk mendeteksi hipoglikemia,
dan pantau elektrolit serum, sesuai pesanan.
f. Berikan dan pertahankan cairan intravena untuk mempertahankan hidrasi dan
keseimbangan cairan dan elektrolit.
g. Berikan pendidikan dan dukungan emosional

3. Analisis

4. Kesimpulan :
5. Tindak Lanjut :

6. Pustaka

Anik, (2012). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Buku 2. Jakarta:Salemba Medika


Arief, dan Weni Kristiyana Sari. 2010. Neonatus dan Keperawatan Anak.
Yogyakarta : Nuha medika.
Bowden V, Greenberg C, Donaldson N. Developmental care of the newborn. Online
Journal of Clinical Innovations 2000;15:1‐77.
Darmiyati, Nur Siskawati Umar. 2019. Hubungan Umur Ibu Dan Paritas Terhadap
Kejadian Asfiksia Neonatorum Di RSIA Sitti Khadijjah 1 Makassar. Jurnal
Kesehatan Delima Palamonia. Vol. 3. No. 2. Desember 2019.
Hendrawati Sri. 2020. Effectiveness Of Developmental Care On Physiological
Functions’ Low Birth Weight Babies: A Literature Review. Indonesian
Contemporary Nursing Journal, 4(2), 52-63, Volume 4 No. 2 Februari 2020
Kristiyanasari Weni. 2013. Asuhan Keperawatan Neonatus dan Anak. Yogyakarta :
Nuha Medika.
Nurarif & kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa &
NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction
Suraatmaja, S. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Denpasar:
RSUP Sanglah.Hal: 68-73

Anda mungkin juga menyukai