Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS BLOK ELEKTIF

PENATALAKSANAAN PASIEN ASFIKSIA DAN KEJANG ET CAUSA


ENSEFALOPATI HIPOKSIK ISKEMIK PADA NEONATUS

Disusun Oleh:
Lucy Laila Felicia
1102017128

Bidang Kepeminatan Kegawatdaruratan Kelompok 3

Dosen Pembimbing :

dr. Yenni Zulhalmidah, MSc.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

Jl. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510

Telp.62.21.4244574 Fax. 62.21.42445


ABSTRAK

Pendahuluan: Ensefalopati hipoksik iskemik (EHI) merupakan kelainan


neurologis yang paling sering ditemukan pada bayi yang mengalami asfiksia
dengan angka kejadian 23% serta menjadi penyebab utama kematian dan
morbiditas perinatal neurologis. Komplikasi yang timbul dapat berupa kejang
dimana beresiko mengalami kematian pada bayi baru lahir. Tujuan dari laporan
kasus ini adalah untuk mengetahui penatalaksanaan kejang e.c ensefalopati
hipoksik iskemik dan asfiksia.

Deskripsi Kasus: Bayi baru lahir secara spontan dari ibu G2P2A0 dengan usia
gestasi 43 minggu, riwayat ketuban pecah > 48 jam dan lilitan tali pusat (+). Bayi
lahir tidak menangis, gerakan tidak aktif dan sianosis. Skor APGAR 1/2/3. 2 jam
kemudian timbul kejang dengan kesadaran latergi. Tatalaksana awal pasien
diresusitasi lalu diberikan fenobarbital, infus D10%, antibiotik dan dijaga suhu
tubuhnya tetap normal.
Diskusi: Tatalaksana kejang neonantus e.c ensefalopati hipoksik iskemik
mengikuti alur tatallaksana asfiksia. Pasien dilakukan resusitasi, koreksi gangguan
metabolik, diberi obat anti kejang serta monitor kegagalan organ lain.
Kesimpulan: Penatalaksanaan asfiksia dan kejang et causa ensefalopati hipoksik
iskemi pada pasien neonatus terdapat perbedaan pada alur pemberian VTP,
pengobatan yang diberikan sudah sesuai namun ada yang tidak sesuai dengan
perhitungan dosis.
Kata Kunci: Ensefalopati Hipoksik Iskemik, Hipoksik Iskemik Ensefalopati,
Kejang Neonatus, Asfiksia
PENDAHULUAN
Data dari WHO (dikutip dari Kurniawan et al., 2019) menyebutkan
bahwa 4 juta kematian setahun terjadi akibat asfiksia sehingga menempati
penyebab kematian bayi ke 3 di dunia pada periode awal kehidupan (Kusuma,
2019). Asfiksia termasuk dalam masalah yang serius pada bayi baru lahir karena
menyebabkan kecacatan serta mortalitas yang tinggi. Keadaan ini mengakibatkan
hipoksia otak (Effendi, 2013) dan perubahan kondisi sensoris kelainan pada tonus
otot atau dapat tanpa kejang (Baral dan Chan).
Ensefalopati hipoksik iskemik (EHI) merupakan kelainan neurologis yang
paling sering ditemukan pada bayi yang mengalami asfiksia (Manoe dan Amir,
2003) dengan angka kejadian 23% serta menjadi penyebab utama kematian dan
morbiditas perinatal neurologis. Penelitian yang dilakukan pada 93 kasus EHI
menyatakan bahwa 70 kasus pasien yang cepat direhabilitasi didapatkan hasil
yang buruk (Heinz dan Rollnik, 2015).
Komplikasi yang dapat disebabkan oleh EHI biasannya berupa kecacatan
serebral, gangguan perkembangan psikomotor dan kelainan motorik serta kejang
(Manoe dan Amir, 2003). Insiden kejang yang disebabkan oleh EHI terjadi
sebanyak 1-3 kasus per 1000 kelahiran hidup pada bayi matur (Effendi, 2013).
BBL dengan kejang beresiko untuk mengalami kematian. Maka dari itu,
penanganan harus cepat, tepat, dan adekuat.
Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk mengetahui penatalaksanaan
kejang e.c ensefalopati hipoksik iskemik dan asfiksia.

DESKRIPSI KASUS
Bayi baru lahir secara spontan pada pukul 04.30 WIB dari Ibu G2P2A0
dengan usia kehamilan 43 minggu, terdapat riwayat ketuban pecah > 48 jam dan
lilitan tali pusat (+). Bayi lahir tidak langsung menangis, gerakan tidak aktif, dan
sianosis (+) Bayi langsung di-suction dan diberi ventilasi tekanan positif sebanyak
5 liter. Setelah diberi VTP, kulit bayi bagian badan mulai kemerahan, namun kulit
wajah tetap kebiruan. Bayi dipindahkan ke ruangan lain, dalam perjalanan bayi
diberi rangsang dan mulai menangis. Setelah dipindahkan, bayi kembali diberikan
ventilasi tekanan positif dan kompresi dada namun wajahnya tetap kebiruan.
Pasien diberi bantuan kanul O2. BBL 3250 gr, PB 46,5 cm, LD: 33 cm, LK 34 cm,
LL 10,5 cm. APGAR score 1/2/3. Hipotonus (+), refleks hisap positif lemah,
refleks moro (-), CRT <2 detik
2 jam setelah pasien lahir timbul kejang (+) dengan posisi mulut mencucu,
mata tertutup, lengan fleksi, nadi meningkat. Kesadaran letargi. Nadi 120 x/menit,
RR 52 x/menit, suhu tubuh 36,6 0C, saturasi 90%. Direncanakan USG Kepala.
Pasien didiagnosis kejang et causa hipoksik iskemik emsefalopati dan asfiksia
Dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium dengan hasil GDS 22
mg/dL, Na: 132,1 L, K: 2,52 L, Cl: 95,6 L. Pemeriksaan darah lengkap;
hemoglobin 11.4 g/dL, Leukosit 24.200 µL, Eritrosit 2.870.000/µL, Trombosit
142.000/µL.
Diberikan terapi berupa infus D10% 250 cc/24 jam, oksigen 1 lpm, inj.
Cefotaxim 2 x 150 mg, inj. Gentamycin 2 x 10 mg, inj. Phenobarbital 2 x 25 mg.
Pasien dijaga suhu tubuhnya antara 36,5 sampai 37,5 0C, diberikan sonde serta
ASI ekslusif dan memberi dukungan motivasi kepada keluarga.

DISKUSI KASUS
Asfiksia perinatal adalah kurangnya aliran darah atau pertukaran gas ke
atau dari janin pada periode sebelum, selama, atau setelah proses kelahiran
(Gillam-Krakauer dan Gowen-Jr, 2020).
Asfiksia dapat disebabkan oleh karena faktor ibu, bayi dan tali pusat atau
plasenta. Terdapat lima hal yang menyebabkan terjadinya asfiksia pada saat
persalinan yaitu interupsi aliran darah umbilius, lalu terdapat kegagalan
pertukaran darah melalui plasenta, seperti solutio plasenta, perfungsi plasentas sisi
maternal yang inadekuat misalnya hipotensi maternal yang berat, kondisi janin
yang tidak dapat mentoleransi hipoksia intermiten dan transien yang terjadi pada
persalinan normal, keadaan ini biasanya pada janin yang mengalami anemia atau
IUGR serta kegagalan untuk mengembangkan paru dan memulai ventilasi dan
perfusi paru yang seharusnya terjadi saat proses kelahiran.
Faktor risiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu faktor
maternal, plasenta & tali pusat dan fetus/neonatus: kelainan maternal seperti
hipertensi, penyakit vaskuler, diabetes, drug abuse, penyakit jantung, paru dan
susunan saraf pusat, hipotensi, infeksi, ruptur uteri, tetani uteri dan panggul
sempit. Dapat juga disebabkan karena kelainan plasenta dan tali pusat, seperti
infark dan fibrosis plasenta, solusio plasenta, prolaps atau kompresi tali pusat,
kelainan pembuluh darah umbilikus, insufisiensi plasenta, plasentitis, tali pusat
yang sangat panjang (Lestari et al., 2019).
Kelainan fetus atau neonates seperti anemia, perdarahan, hidrops, infeksi,
pertumbuhan janin terhambat (intrauterine growth retardation), serotinus serta
faktor intrapartum: distosia, inersia uteri, induksi oksitosin, sectio caesaria
(anestesi umum, efek obat anestesi terhadap janin, berkurangnya aliran darah
umbilikal), kala II yang memanjang (Lestari et al., 2019).
Menurut Academy of Pediatrics (AAP) dan American College of
Obstetrician and Gynecologyst (ACOG) seorang neonatus disebut mengalami
asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut; nilai Apgar menit kelima 0-3,
adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0), gangguan neurologis
(misalnya: kejang, hipotonia atau koma), adanya gangguan sistem multiorgan
(misalnya: gangguan kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulomner, atau
sistem renal). Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang
dan ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang
mengalami episode hipoksia-iskemik saat lahir memiliki risiko disfungsi dari
berbagai organ, denngan disfunsi otak sebagai pertimbangan pertama (Depkes RI,
2008).
The National Neonatal Perinatal Database (NNPD) di India dan
kesepakatan di Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
menggunakan nilai Apgar 4-6 pada menit pertama sebagai asfiksia sedang dan
nilai Apgar 0-3 pada menit pertama sebagai asfiksia berat (Alhadar et al., 2010).
TABEL SKOR APGAR
Klinis 0 1 2
Warna Kulit Biru Pucat Tubuh merah, Merah seluruh
(Appearance) ekstremitas biru tubuh

Frekuensi Jantung Tidak Ada <100x/ menit >100x/menit


(Pulse)

Rangsangan Tidak Ada Gerakan sedikit Batuk/ Bersin


Refleks
(Grimace)

Tonus Otot Lunglai Fleksi ekstremitas Gerakan aktif


(Activity)
Pernafasan Tidak Ada Menangis lemah/ Menangis kuat
(Respiratory) terdengar seperti
meringis atau
mendengkur
Tabel 1. Klasifikasi asfiksia berdasarkan APGAR score (Fida & Maya,
2012)
Usaha untuk mengakhiri asfiksia adalah dengan melakukan resusitasi

yanng ditujukan langsung pada pembebasan saluran nafas dan ventilasi yang baik.
Neonatus yang mengalami asfiksia dapat ditangani dengan mengikuti tatalaksana
sesuai gambar berikut.
Gambar 1. Tatalaksana Asfiksia (WHO-CC, 2013)

Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 4


pertanyaan: apakah bayi cukup bulan?; apakah air ketuban jernih?; apakah bayi
bernapas atau menangis?; apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam
prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan,
diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga
suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi
memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini:

Gambar 2. Algoritma resusitasi neonatus (AAP dan AHA, 2016)


Langkah awal resusitasi penting untuk menolong bayi baru lahir dengan
asfiksia dan harus dilaakukan dalam waktu 30 detik. Jika bayi sudah diresusitasi,
kemudian dapat memonitor keadaannya, yang terdapat pada Gambar 3 berikut ini

Gambar 3. Alur tatalaksana asfiksia


Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan oksigen..
Pada bayi cukup bulan dianjurkan untuk menggunakan oksigen 100%. Namun
beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa penggunaan oksigen ruangan
dengan konsentrasi 21% menurunkan risiko mortalitas dan kejadian ensefalopati
hipoksik iskemik (EHI) dibanding dengan oksigen 100%.18-22 Pemberian
oksigen 100% tidak dianjurkan pada bayi kurang bulan karena dapat merusak
jaringan.

Oksigen diberikan apabila menunjukkan tanda berikut; SpO2 < 90%,


sianosis sentral, suar hidung, ketidakmampuan untuk minum atau makan,
mendengkur setiap kali bernafas, serta penurunan kesadaran. Osigen biasanya
diberikan dengan Nasal prongs atau biasa disebut dengan kanul. Laju alur oksigen
yang diberikan bergantung pada umur; dimana neonatus 0.5-1 L/menit, bayi 1-2
L/menit dan anak-anak
1-4 L/menit. Berikut
merupakan contoh
gambar dari Nasal
prongs

Gambar 4. Penggunaan Nasal Prongs


(WHO, 2016).
Dampak kekurangan oksigen yang lama pada organ dapat menyebabkan
kematian atau kerusakan sel, dimana akibat dari kerusakan sel tersebut seperti
ensefalopati hipoksik-iskemik, iskemia miokardial transien, insufisiensi tricuspid,
gagal ginjal akut, kerusakan hati, dll (Umar et al., 2020). Keterlambatan diagnosis
dan tatalaksana asfiksia neonatorum menyebabkan bayi jatuh dalam kondisi
ensefalopati hipoksik-iskemik (Wijata, 2016).
Hipoksik Iskemik Ensefalopati merupakan sindrom klinis dengan
ganngguan fungsi neurologis pada awal kehidupan neonatus yang lahir pada atau
lebih dari 35 minggu gestasi, dengan manifestasi penurunan kesadaran atau
kejang, sering disertai gangguan untuk memulai dan menjaga pernapasan, dan
depresi tonus otot dan refleks (Anggriawan, 2016).
Menurut Sarnat dan Sarnat yang dikutip dari Anggriawan pada tahun 2016
terdapat klasifikasi derajat pada HIE, yaitu;
Tanda klinis Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3

Tingkat kesadaran Iritabel Letargik Stupor, coma

Tonus otot Normal Hipotonus Flaksid

Postur Normal Fleksi Decerebrate

Refleks Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada


tendon/klonus

Myoclonus Tampak Tampak Tidak tampak

Refleks Moro Kuat Lemah Tidak ada

Pupil Midriasis Miosis Tidak beraturan,


refleks cahaya
lemah

Kejang Tidak ada/jarang Sering terjadi Decerebrate

EEG Normal Voltage rendah Burst suppression


yang berubah to isoelektrik
dengan kejang

Durasi <24 jam Beberapa hari


24 jam – 14 hari
hingga minggu

Hasil akhir Baik Bervariasi Kematian,


kecacatan berat
Tabel 2. Klasifikasi derajat ensefalopati hipoksik iskemik (Anggriawan,
2016
Sindrom ini dapat terjadi akibat adanya gangguan utama pada sel di dalam
susunan saraf pusat (SSP) dimana sumber energi otak adalah oksigen dan glukosa.
Defisit suplai oksigen berupa hipoksia dan iskemia. Pada keadaan hipoksemia,
glukosa yang masuk ke otak meningkat, glikogenolisis meningkat, glikolisis
meningkat sedangkan glukosa otak menurun akibat pemakaian yang berlebih yang
tidak diiringi dengan pemasukan glukosa yang cukup. Pembentukan asam laktat
meningkat dikarenakan glikolisis anaerob dann penggunaan piruvat, ATP
menurun, fosforirlasi oksidatif menurun (Kurniawan et al., 2019).
Pada iskemia, aliran darah yang menjadi sumber energi otak menurun
sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel otak juga menurun. Hal ini
mengakibatkan glikogenolisis meningkat, glikolisis meningkat, pembentukan
laktat meningkat, ATP menurun, akumulasi asam dann no reflux phenomen.
Dalam iskemia, terjadi gangguan peredaran darah sehingga pengeluaran laktat
terhambat, lalu pH lebih cepat menurnan dibandingkan dengan hipoksemia.
Hipoperfusi otak pasca asiksia mengkaibatkann konsumsi O2 berkurang pada
awal kehidupan neonatus dengan asfiksia berat, yang akan menyebabkan
kerusakan sel otak.
Kerusakan sel otak yang terjadi salah satunya adalah kejang. Definisi
kejang sendiri adalah depolarisasi berlebihan sel neuron otak, yang
mengakibatkan perubahan atau tanpa perubahan kesadaran. Kejang sering terjadi
pada minggu awal kehidupan, dan menjadi tanda pertama disfungsi neurologis,
serta predilaktor kuat dari gangguan kognitif dan perkembangan jangka panjang.
Bayi baru lahir dengan kejang beresiko untuk kematian neonatus, gangguan
neurologis, keterlambatan perkembangan dan kemudian epilepsi. (Kurniawan et
al., 2019).
Terjadinya kejang pada neonatus disebabkan karena beberapa area otak
masih belum matang karena setelah lahir, otak masih berada dalam kondisi yang
berkelanjutan untuk terus berkembang. Lalu, apabila otak neonatal terprovokasi
secara patologis, manifestasi yang timbul dapat berupa kejang. Kejang terjadi
akibat loncatan muatan listrik yanng berlebihan dan sinkron pada otak atau
depolarisasi otak yang mengakibatkann gerakan berulang. Karena keadaannya
yang belum matang, otak neonatal rentan terhadap kejang karena
ketidakseimbangan eksitasi saraf dibanding inhibisi (Krawiec dan Muzio, 2020).
Meskipun mekanisme terjadinya kejanng belum diketahui secara pasti,
namun terdapat beberapa teori yanng meneangkan depolarisasi berlebihan, yaitu
(Handryastuti, 2007);
1. Pompa Na-K tidak berfungsi, disebabkan oleh hipoksik-iskemik dan
hipoglikemia
2. Neurotransmitter eksitasi (glutamat) yang berlebihan, sehingga depolarisasi
juga berlebihan, biasanya pada hipoksik-iskemik dann hipoglikemia
3. Defisiensi relatif neurotransmitter inhibisi (GABA) mengakibatkan
depolarisasi berlebihan akibat menurunnya enzim glutamic acid
decarboxylase
4. Terganggunya permeabilitas membran sel, sehingga ion natrium lebih
banyakmasuk ke intrasel yang mengakibatkan depolarisasi berlebihan.
Etiologi kejang pada neonatus perlu segera diketahui karena menentukan
terapi dan prognosis (Handryastuti, 2007). Kejang yang terjadi dalam 12-24 jam
pertama kehidupan biasannya menunjukkan bayi terkena ensefalopati hipoksik
iskemik, sedangkan lewat dari jam tersebut, mengindikasikan bayi kejang akibat
infeksi, perdarahan, ataupun stroke (Krawiec dan Muzio, 2020).
Etiologi dengan prevelensi terbannyak adalah ensefalopati hipoksik-
iskemik, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Etiologi kejang neonatus dihubungkan dengan awitan kejang dan
frekuensi (Handryastuti, 2007).
Awitan Kejang Frekuensi relatif
Etiologi Cukup
0-3 hari >3 hari Prematur
Bulan
Ensefalopati
+ +++ +++
hipoksik-iskemik
Perdarahan
+ + ++ +
intrakranial
Infeksi intrakranial + + ++ ++
Gangguan
+ + ++ ++
perkembangan otak
Hipoglikemia + + +
Hipokalsemia + + + +
Kelainan metabolik
+ +
lain
Sindrom Epilepsi + + +

Etiologi Frekuensi (%)


Ensefalopati hipoksik-iskemik 30-53
Perdarahan intrakranial 7-17
Infark serebri6-17
Malformassi serebral 3-17
Meningitis/septikemia 2-14
Hipoglikemia 0,1-5
Hipokalsemia, hipomagnesemia 4-22
Hipo/hipernatremia
Inborn errors of metabolism 3-4
Defisiensi piridoksin
Kern ikterus 1
Maternal drug withdrawl 4
Idiopatik 2
Benign idiopathic neonatal seizures 1
Sindrom epilepsi neonatal
Infeksi kongenital
Injeksi anestesi lokal selama persalinan
Tabel 4. Etiologi kejang pada neonatus (Handryastuti, 2007).
Prinsip utama dalam tata laksana kejang neonatus adalah (1)
Mempertahankan ventilasi dan perfusi yang adekuat. (2) Mencari dan
memberikan tata laksana terhadap etiologi kejang sesegera mungkin. (3) Tata
laksana kejang, dengan mempertimbangkan manfaat pemberantasan kejangdengan
efek samping yang mungkin timbul daripemberian obat antikonvulsan
(Handryastuti, 2007).
Tatalaksana kejang yang disebabkan oleh EHI termasuk dalam alur
penatalaksanaan asfiksia. Dimana, jika bayi ditemukan mengalami EHI yang
diukur dari pemeriksaan skor/klasifikasi EHI, dapat ditatalaksana sesuai Gambar 5
berikut.

Gambar 5. Tatalaksana Ensefalopati Hipoksik Iskemik (WHO-CC, 2013)


Selain itu, untuk memenuhi sumber energi utama pada otak, kadar glukosa
perlu dipertahankan sehingga jika terjadi hipoglikemia perlu dikoreksi segera. 3%
kasus kejang pada neonatus disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia yang
dapat menimbulkan kejang biasanya memberikan dampak perkembangan saraf
yang cukup merugikan (Volpe et al., 2017)
Kejang pada bayi baru lahir seharusnya dirawat segera dengan dukungan
ventilasi dan perfusi yang adekuat, koreksi juga semua gangguan metabolisme
yang tidak seimbang serta penggunaan antikonvulsan sebagai pengobatan.
Tatalaksana pada kejang neonatus ditujukan untuk meminimalkan gangguan
fisiologis dan metabolik yang tererkait dengan proses epilepsi serta mencegah
terjadinya kekambuhan kejang. Berikut algortima tatalaksana kejang
Gambar 6. Tatalaksana awal kejang pada neonatus (Volpe et al., 2017)
Neonatus yang mengalami kejang perlu dilakukan konfirmasi dengan
pemeriksaan EEG serta mengoreksi gangguan metabolisme atau elektrolit; seperti
glukosa, natrium, dll. Serta diberikan antibiotik jika terdapat kejang atau beresiko
tinggi mengalami infeksi susunan saraf pusat.
Pengobatan utama yang dipilih adalah phenobarbital 20 mg/kg secara

intravena, yang biasanya diberikan selama 10-15 menit. Dosis ini diberikan agar
obat dapat memberikan efek pada neonatus karena kadar obat dalam darah
mencapai 20 ug/mL Apabila dosis sebesar 20 mg/kg belum efektif untuk
mengatasi kejang, maka dapat ditambahkan sebanyak 5-10 mg/kg sampai kejang
mereda, dan dosis tersebut merupakan batas dosis pemberian phenobarbital atau
sebesar 40 ug/ml (Volpe et al., 2017). Namun, apabila kejang tidak juga dapat
diatasi, maka dilanjutkan dengan pemberian fenitoin inisial.
Gambar 7. Tatalaksana kejang pada bayi (Kurjak dan Chervenak, 2006)
Feniotin bekerja dengan memblok kanal sodium dan bermekanisme seperti
alternatif dari barbiturat dan benzodiazepin, dimana keduanya bekerja pada kanal
klorida (Volpe et al., 2017).
Pada kasus ini penatalaksanaan bayi baru lahir yang dimulai dari
melakukan resusitasi sudah sejalan dengan alur yang ada. Dilakukannya resusitasi
karena bayi mengalami asfiksia akibat bayi lahir tidak langsung menangis,
gerakan tidak aktif serta terdapat sianosis dimana ketiga tanda tersebut merupakan
ciri bayi yang kekurangan oksigen. Faktor resiko juga dapat menyebabkan
seorang bayi mengalami asfiksia. Pada kasus ini, faktor yang meningkatkan
terjadinya asfiksia adalah ketuban pecah dini dan lilitan tali pusat (Lestraningsih
dan Ertiana, 2016).
Terjadinya lilitan tali pusat dapat mengurangi suplai oksigen pada janin
karena terjeratnya pembuluh darah yang berada pada tali pusat, sehingga
peredaran darah pada janin tidak lancar (Lestari et al., 2019).
Langkah awal stabilisasi yaitu dengan menjaga kehangatan bayi, membuka
jalan napas dengan memposisikan sniffing dan membersihkan jalan napas dengan
suction, mengeringkan bayi, memberi stimulasi napas (Sari et al., 2017). Dalam
kasus ini, dilakukan suction pada bayi untuk membersihkan jalan nafas.
Tindakan ini disebut dengan resusitasi awal, dimana diharapkan dapat
selesai dalam waktu 30 detik guna menilai kemampuan bayi bernapas spontan dan
tindakan lanjutan yang dibutuhkan bayi. Bila bayi gagal bernapas spontan/denyut
janntung <100x/menit maka bantuan ventilasi haarus segera dilakukan (Umar et
al., 2020).
Tindakan selanjutnya adalah ventilasi dan oksigenasi. Ventilasi tekanan
positif diberikan pada bayi berhenti bernafas atau nafas terengah-engah atau
denyut jantung <100x/menit setelah dilakukan tindakan awal. Oksigen diberikan
5-7 liter/menit. Penilaian dilakukan setiap 30 detik pemberian ventilasi. Hasil
yang dinilai yaitu usaha napas, warna kulit dan frekuensi jantung (Umar., 2020).
Dalam kasus ini, bayi setelah disuction langsung diberikan VTP sebanyak
5 liter. Menurut algoritma, sebelum diberi VTP bayi seharusnya dilakukan setelah
penilaian simultan 2 tanda vital, yaitu respirasi dan denyut jantung. Apabila masih
belum masuk dalam kriteria, maka dapat diberikan VTP (Sari et al., 2017).
Namun, jumlah oksigen yang diberikan melalui VTP pada kasus ini sudah sesuai
dengan teori, yaitu sebanyak 5-7 liter. Pemberian oksigen sudah sesuai indikasi
dan kebutuhan, dimana pasien masih mengalami sianosis sentral walaupun sudah
diresusitasi.
Kejang yang dialami oleh bayi tersebut sudah sesuai dengan alur, dimana
pasien diberikan phenobarbital sebanyak 2 x 25 mg, namun dosis tidak sesuai
karena dosis fenobarbital yang diberikan pada penanganan awal yaitu 20
mg/kgBB, dimana seharusnya bayi diberikan 65 mg secara IV. Fenobarbital jika
diberikan berlebih pada neonatus dapat mengakibatkan efek depresi pada
pernafasan. Serta pemasangan EEG juga tidak lakukan. Padahal, hasil rekaman
EEG dapat memberikan konfirmasi apakah gejala yang tampak adalah kejang
serta dapat memprediksi keadaan klinis pasien.
Pemeriksaan glukosa menunjukkan bahwa bayi mengalami hipolikemia,
dimana kadar glukosa sebesaar 22 mg/dL. Hipoglikemia yang terjadi pada bayi
dapat ditatalaksana menggunakan glukosa 10% sesuai dengan Tabel 5 berikut ini
Inisial Rumatan
Hipoglikemia
Glukosa 10%: 2 ml/kgBB IV 8 mg/kg BB/menit, IV
Tanpa Hipoglikemia
 Fenobarbital: 20 mg/kg BB selama 10-15 menit IV,
IM. Jika diberikan IM dosis dinaikkan 10-15% dari
dosis IV, jika masih terdapat kejang dosis dapat
ditambahkan 5 mg/kgBB sampai mencapai dosis
maksimal 40 mg/kgBB. 3-4mg/kgBB/hari, IV, po
 Fenitoin: 20 mg/kgBB IV 0,05-0,1mg/kgBB tiap 8-12h, IV
 Lorazepam: 0,05-0,1 mg/kgBB, IV 0,25 mg/kgBB tiap 6-8h, IV
 Diazepam: 0,25 mg/kg BB, IV 0,3 mg/kgBB/jam kontinyu
Jika ada indikasi lain
 Kalsium glukonas 5% 4 ml/kg BB, IV 500 mg/kgBB/hari, po
 Magnesium Sulfat 50% 0,2ml/kgBB, IM 0,2ml/kgBB/hari, IM
 Piridoksin: 50-100 mg IV

Tabel 5. Tatalaksana hipoglikemia pada kejang neonatus (Handryastuti,


2007)
Infus D10% sudah diberikan pada bayi sesuai dengan indikasinya yaitu
hipoglikemia sesuai dengan tabel 5. Dosis koreksi glukosa bayi disesuaikan
dengan Gambar 8 berikut ini
Gambar 8. Tatalaksana hipoglikemia pada neonatus
Bayi dalam kasus ini mempunyai BB 3250gr = 3,25kg, dimana koreksi
secara i.v bolus dextrose membutuhkan 6,5 mL/kgBB, lalu dilanjutkan oleh IVFD
dextrose dengan dosis 195 ml/hari. Dari perhitungan tersebut, bayi tidak
memerlukan dextrose 10% sebanyak 250 cc/24 jam seperti yang tertera pada
kasus.
Bayi baru lahir sangat rentan terhadap infeksi yanng disebabkan oleh
paparan atau kontaminasi mikroorganisme selama proses persalinan berlangsung
maupun beberapa saat setelah lahir (Safitri dan Wulandari, 2016). Ada beberapa
ciri yang menunjukkan bayi baru lahir mengalami infeksi, diantaranya kejang,
letargi, frekuensi pernapasan meningat, pergerakan kurang, muntah, dan diare
(Meliya dan Priscila, 2012). Pada kasus ini, resiko bayi mengalami infeksi juga
meningkat dikarenakan terdapat ketuban pecah dini. Oleh karena itu, KPD
memerlukan tindakan yang dapat menurunkan kejadian infeksi dalam rahim.
Salah satunya adalah pemberian antibiotik (Puspitasari, 2019).
Gentamycin dann cefotaxim merupakan antibiotik umum digunakan pada
bayi sebagai terapi empiris, selain ampisilin, dan diberikan saat bayi menunjukkan
tanda-tanda sepsis dan berlanjut sampai menunggu hasil kultur (Intannia et al.,
2017). Gentamycin diberikan dengan dosis 4 mg/kgBB/hari untuk bayi dengan
umur kehamilan > 35 minggu (Pacifici, 2019), sedangkan untuk dosis cefotaxime
diberikan 25 mg/kg selama < 7 hari setiap 12 jam sekali (WHO, 2016).
Pemberian antibiotik pada neonatus di kasus ini sudah sesuai dengan teori,
dimana pasien mengalami suspek infeksi dan diberikan gentamycin serta
cefotaxime. Secara ringkas, maka tatalaksana pada kasus ini dapat dibandingan
dengan menggunakan tabel seperti dibawah ini;
TEORI PELAKSANAAN
Resusitasi Awal Dijalankan, namun VTP tidak
sesuai alur
Kejang -> Fenobarbital 2x25mg Dijalankan, tidak pasang EEG dan
dosis tidak sesuai
Hipoglikemia -> D 10% 250 cc/24 jam Dijalankan, jumlah cairan
berlebih
Infeksi -> Gentamycin dan Cefotaxime Dijalankan dan sesuai
Oksigen 1 lpm Sesuai
Dijaga suhu tubuh 36,5-37,5 Celcius Sesuai
Sonde Sesuai
Mempertahankan perfusi normal Tidak perlu NaCl 0,9% (CRT
Normal)

Pandangan Islam dalam Penatalaksanaan Kejang et causa Ensefalopati


Hipoksik-Iskemik dan Asfiksia pada Neonatus
Sakit pada hakikatnya merupakan ujian dari Allah SWT. Dengan
mengalami musibah sakit, dosa-dosa seorang hamba akan dihapuskan,
mendapatkan pahala, dan ditinggikan derajatnya. Namun, kadang kala sakit hanya
dimaknai sebagai sebuah penderitaan. Bila mau membuka mata hati dan berpikir
jernnih, niscaya hikmah dari rasa sakit akan terlihat.
Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 216;
Artinya: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan
bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik
bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Secara ringkas, hakikat yang mesti dipahami tentang sakit adalah sebagai
berikut (Ronosulistyo et al., 2015);
1. Sakit dan mati pada hakikatnya adalah kuasa Allah. Hakikat ini dapat
dicermati pada Q.S Asy-Syu’araa’ ayat 80-81 yang berbunyi;

Artinya: “dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan Yang akan
mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali).”
2. Sakit
dan mati
merupakan ketentuan dari Allah yang telah tertulis di dalam Lauh Mahfuzh
3. Sakit adalah cobaan yang diberikan Allah kepada manusia dengana
tujuan: menguji kesabaran dan ketahanan spiritual, menghapus dosa,
mengingatkan manusia bahwa dia adalah makhluk yang sangat lemah, mengingat
manusia terhadap bekal yang harus dipersiapkan dalam menjemput kematian.
4. Sakit merupakan kondisi yang dapat memacu kita untuk benar-benar
mempersiapkan akhir kehidupan yang baik.
Para ulama memandang sunah (mustahabb) berobat bagi orang sakit. Ada
banyak hadits yanng menjadi dasar pijakan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim;

Artinya: “Setiap
penyakit pasti
memiliki obat. Bila
sebuah obat sesuai
denganpenyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu
waTa’ala.”(HR. Muslim)”
Hadits di atas mengisyaratkan diizinkannya seseorang Muslim mengobati
penyakit yang dideritanya. Sebab, setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat
yang digunakan tepat mengenai sumber penyakit, maka dengan izin Allah SWT
penyakit tersebut akan hilang dan orang yang sakit akan mendapatkan
kesembuhan.
Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud;

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya,demikian


pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Makaberobatlah kalian
dan janganlah berobat dengan yang haram.”(HR. AbuDawud)
Hadits ini menunjukkah bahwa seorang Muslim boleh mengobati
penyakitnya. Sebab, diturunkannya penyakit oleh Allah SWT disertai dengan
diturunkan obatnya menunjukkan bahwa seorang Muslim diizinkan untuk
mengobati penyakit yang dideritanya.
Satu hal yang juga mesti dipahami dan diyakini oleh setiap orang yang
sakit, bahwa ketika ia telah berusaha berobat dan mendapatkan kesembuhannya
maka ia mesti berkeyakinan bahwa yang menyembuhkan penyakitnya adalah
Allah semata, bukan obat yang diminumnya.

Usaha berobat yang ia lakukan adalah ikhtiar seorang hamba untuk


mendapatkan anugerah kesembuhan dari Tuhannya. Obat yang ia minum hanyalah
sarana belaka. Sedangkan kesembuhan yang didapatkannya adalah semata karena
kehendak dan anugerah Allah yang tanpa ikhtiar dan sarana sekalipun Allah
berkuasa untuk melakukannya.

Selain ikhiar, do’a menjadi kemestian dalam menjalani kehidupan ini.


Do’a semestinya menyatu denngan ikhtiar, sehingga do’a adalah ikhtiar dan
ikhtiar adalah do’a. Baru kemudian, kita bertawakal, yaitu menyerahkan
segalanya kepada Allah. Seorang hamba yang sedang sakit dapat berdoa sesuai

ayat berikut;

Artinya: “Aku memohon kepada Allah yang Maha Agung, Tuhan yang mempunya
‘Arasy yang besar agar menyebuhkan aku, sembuh yang tidak meninggalkan sakit
lagi.” (H.R Abu Daud dan Tirmidzi)

Ketika seorang anak sakit, hendaknya sang orang tua memohon


kesembuhan bagi anak tersebut, dengan penuh harap memohon kepada Allah

disertai keyakinan bahwa Allah akan mengabulkan doa sang orang tua. Abu
hurairah menyampaikan bahwa Rasulullah pernah bersabda;
Artinya: “Ada tiga doa yang pasti akan terkabul, tidak diragukan lagi: doa
orangtua, doa orang yang bepergian, dan doa orang yang dizalimi.” (HR. Abu
Dawud no. 1536, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi
Dawud: hasan)

KESIMPULAN
Penatalaksanaan asfiksia dan kejang et causa ensefalopati hipoksik iskemi
dan asfiksia pada pasien neonatus diatas sebagian sudah sesuaii teori, sebagian
tatalaksana seperti alur pemberian VTP serta perhitungan dosis pada fenobarbital
serta D10% tidak sesuai teori.
Dalam islam, sakit merupakan ujian dari Allah SWT. Seseorang yang sakit
disunnahkan untuk berobat. Serta, selalu sabar dan ikhtiar dalam menghadapi
segala cobaan, dan tidak luput memanjatkan do’a meminta kesembuhan. Orang
tua pasien dalam kasus ini senantiasa untuk terus berdoa kepada Allah agar
penyakit yang diderita anaknya dapat sembuh karena ridho Allah merupakan ridho
orang tua.
SARAN
Disarankan agar penggunaan dosis pada penatalaksanaan kejang dan
mengoreksi glukosa untuk diberikan sesuai ketetapan serta alur resusitasi
diterapkan sesuai dengan teori agar tidak terjadi komplikasi yang lebih parah pada
neonatus.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih atas bimbingannya dalam pembuatan laporan kasus ini,
kepada:

1. Allah SWT, atas ridho dan karunia-Nya laporan kasus ini dapat
terselesaikan dengan baik
2. Rasulullah SAW, karenanya saya dapat mengetahui tentang Islam
3. DR. drh. Hj. Titiek Djannatum selaku Koordinator Penyusun Blok Elektif
4. dr. Hj. RW. Susilowati, M.Kes selaku Koordinator Pelaksana Blok Elektif
5. dr. H. Kamal Anas, SpB selaku Pengampu Bidang Kepeminatan
Kegawatdaruratan
6. dr. Yenni Zulhalmidah, MSc. selaku Tutor Kelompok 3 Kegawatdaruratan
7. Seluruh anggota kelompok 3 Kegawatdaruratan
8. Seluruh teman sejawat Universitas YARSI dan pihak Universitas YARSI

DAFTAR PUSTAKA
Alhadar, A. K., Amir, I., Oswari, H., Windiastuti, E. 2010. Korelasi nilai apgar
menit kelima kurang dari tujuh dengan kadar transaminase serum pada bayi
baru lahir. Sari Pediatri. 12(3):190-196.
American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan
resusitasi neonatus. Edisi ke-5. Jakarta: Perinasia; 2006
Anggriawan, A. 2016. Tinjauan klinis hypoxic-ischemic encephalopathy. CDK
Journal. 43(8): 582-586.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2008. Pencegahan dan
Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum.
Effendi, S. H. 2013. Save the Child’s Brain within Golden Period. Pendidikan
Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PILKAB) X: Bandung. p1
Escoba, M. D & Weiss, M. D. 2015. Hypoxic-ischemic encephalopathy: a review
for the clinician. JAMA Journal.
Fida & Maya. 2012. Pengantar Ilmu kesehatan Anak. Yogyakarta: D-Medika.
Gillam-Krakauer, M., Gowen Jr, C. W. Birth Asphyxia. [Updated 2020 Aug 30].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430782/
Handryastuti, S. 2007. Kejang pada neonatus, permasalahan dalam diagnosis dan
tata laksana. Sari Pediatri. 9(2):112-120.
Heinz, U. E & Rollnik, J. D. 2015. Outcome and prognosis of hypoxic brain
damage patients undergoing neurological early rehabilitation. BMC
research notes, 8(1), 243
Intannia, D., Fiqrianty, A., Rahmadarni, A., Asti, R. 2017. Gambaran penggunaan
antibiotik pada pasien anak di ruang neonatal intensive care unit (nicu).
Jurnal Stikes Borneo Lestari. p1-10.
Kurjak, A., Chervenak, F. A. 2006. Textbook of Perinatal Medicine. 2nd edition.
United Kingdom: The Parthenon Publishing.
Kurniawan, R., Suryawan, I. W. B., Dewi, M. R. 2019. Hubungan asfiksia dengan
kejang pada neonatus di ruang perinatologi dan nicu rsud wangaya kota
denpasar. Instisari Sains Medis. 10(1):144-147.
Kusuma, E. 2019. Pengaruh terapi hipotermi terhadap kejadian kejang pada bayi
asfiksia di ruang alamanda rsud bangil. Jurnal Citra Keperawatan. 7(2):72-
78
Lestari, R. D., Putri, N. N. B. K. A. 2019. Analisis faktor penyebab kejadian
asfiksia pada bayi baru lahir. Jurnal Ners dan Kebidanan. 6(2):251-262
Lestraningsih, Y. Y., Ertiana, D. 2016. Hubungan ketuban pecah dini dengan
kejadian asfiksia neonatorum di rsud kabupaten kediri tahun 2016. Journal
of Universitas Muhmmadiyah Sidoarjo. p1-9.
Manoe, V. M., dan Amir, I. 2003. Gangguan fungsi multi organ pada bayi asfiksia
berat. Sari Pediatri. 5(2):72-78.
Meliya, I., Priscilla, V. 2013. Gambaran kejadian infeksi bayi baru lahir di bagian
perinatologi rsup dr.m.djamil padang tahun 2012. NERS Jurnal
Keperawatan. 9(1):70-79.
Pacifici, G. M. 2019. Clinical pharmacology of gentamicin in infannts and
children. Journal of Targeted Drug Delivery. 3(1):1-15.
Puspitasari, R. N. 2019. Korelasi karakteristik dengan penyebab ketuban pecah
dini pada ibu bersalin di rsu denisa gresik. Indonesian Journal for Health
Sciences. 3(1): 24-32.
Ronosulistyo, H., Abidin, Z., Zakaria, A., Yurdani, S. 2015. Sakitku Ibadahku.
Garut: ThinkSmart Publisher.
Safitri, A. R., Wulandari, S. P. 2016. Klasifikasi risiko infeksi pada bayi baru lahir
di rumah sakit umum daerah sidoarjo menggunakan metode classification
trees. Jurnal Sains dan Seni ITS. 5(1):p26-31.
Sari, D., Widyastuti, Y., Givano, M. R. 2017. Resusitasi neonatus dan anestesi.
Jurnal Komplikasi Anestesi. 4(2):89-106
Setyabudhy, I. M. 2011. Kejang. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. p29-35.
Umar, N., Masulili, F., Nurmalisa, B. E. 2020. Analisis kesesuaian prosedur
tindakan resusitasi pada neonatus dengan asfiksia di ruang peristi rsu
anutarapura palu. Jurnal Ilmu Kesehatan. 14(1): 58-67.
Volpe, J., Inder, T., Darras, B., Vries, LS., Plessis, AD., Neil, J., Perlman, J. 2017.
Volpe’s Neurology of the Newborn. 6th edition. Philadelphia:
Saunders/Elsevier. p309-11
World Health Organization. 2011. Guidelines on Neonatal Seizures.
World Health Organization. 2013. Pocket Book of Hospital Care for Children.
2nd ed.
World Health Organization. 2016. Antibiotic use for sepsis in neonates and
children: 2016 evidence update.
World Health Organization. 2016. Oxygen theraphy for children.

Anda mungkin juga menyukai