Disusun Oleh:
Lucy Laila Felicia
1102017128
Dosen Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Deskripsi Kasus: Bayi baru lahir secara spontan dari ibu G2P2A0 dengan usia
gestasi 43 minggu, riwayat ketuban pecah > 48 jam dan lilitan tali pusat (+). Bayi
lahir tidak menangis, gerakan tidak aktif dan sianosis. Skor APGAR 1/2/3. 2 jam
kemudian timbul kejang dengan kesadaran latergi. Tatalaksana awal pasien
diresusitasi lalu diberikan fenobarbital, infus D10%, antibiotik dan dijaga suhu
tubuhnya tetap normal.
Diskusi: Tatalaksana kejang neonantus e.c ensefalopati hipoksik iskemik
mengikuti alur tatallaksana asfiksia. Pasien dilakukan resusitasi, koreksi gangguan
metabolik, diberi obat anti kejang serta monitor kegagalan organ lain.
Kesimpulan: Penatalaksanaan asfiksia dan kejang et causa ensefalopati hipoksik
iskemi pada pasien neonatus terdapat perbedaan pada alur pemberian VTP,
pengobatan yang diberikan sudah sesuai namun ada yang tidak sesuai dengan
perhitungan dosis.
Kata Kunci: Ensefalopati Hipoksik Iskemik, Hipoksik Iskemik Ensefalopati,
Kejang Neonatus, Asfiksia
PENDAHULUAN
Data dari WHO (dikutip dari Kurniawan et al., 2019) menyebutkan
bahwa 4 juta kematian setahun terjadi akibat asfiksia sehingga menempati
penyebab kematian bayi ke 3 di dunia pada periode awal kehidupan (Kusuma,
2019). Asfiksia termasuk dalam masalah yang serius pada bayi baru lahir karena
menyebabkan kecacatan serta mortalitas yang tinggi. Keadaan ini mengakibatkan
hipoksia otak (Effendi, 2013) dan perubahan kondisi sensoris kelainan pada tonus
otot atau dapat tanpa kejang (Baral dan Chan).
Ensefalopati hipoksik iskemik (EHI) merupakan kelainan neurologis yang
paling sering ditemukan pada bayi yang mengalami asfiksia (Manoe dan Amir,
2003) dengan angka kejadian 23% serta menjadi penyebab utama kematian dan
morbiditas perinatal neurologis. Penelitian yang dilakukan pada 93 kasus EHI
menyatakan bahwa 70 kasus pasien yang cepat direhabilitasi didapatkan hasil
yang buruk (Heinz dan Rollnik, 2015).
Komplikasi yang dapat disebabkan oleh EHI biasannya berupa kecacatan
serebral, gangguan perkembangan psikomotor dan kelainan motorik serta kejang
(Manoe dan Amir, 2003). Insiden kejang yang disebabkan oleh EHI terjadi
sebanyak 1-3 kasus per 1000 kelahiran hidup pada bayi matur (Effendi, 2013).
BBL dengan kejang beresiko untuk mengalami kematian. Maka dari itu,
penanganan harus cepat, tepat, dan adekuat.
Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk mengetahui penatalaksanaan
kejang e.c ensefalopati hipoksik iskemik dan asfiksia.
DESKRIPSI KASUS
Bayi baru lahir secara spontan pada pukul 04.30 WIB dari Ibu G2P2A0
dengan usia kehamilan 43 minggu, terdapat riwayat ketuban pecah > 48 jam dan
lilitan tali pusat (+). Bayi lahir tidak langsung menangis, gerakan tidak aktif, dan
sianosis (+) Bayi langsung di-suction dan diberi ventilasi tekanan positif sebanyak
5 liter. Setelah diberi VTP, kulit bayi bagian badan mulai kemerahan, namun kulit
wajah tetap kebiruan. Bayi dipindahkan ke ruangan lain, dalam perjalanan bayi
diberi rangsang dan mulai menangis. Setelah dipindahkan, bayi kembali diberikan
ventilasi tekanan positif dan kompresi dada namun wajahnya tetap kebiruan.
Pasien diberi bantuan kanul O2. BBL 3250 gr, PB 46,5 cm, LD: 33 cm, LK 34 cm,
LL 10,5 cm. APGAR score 1/2/3. Hipotonus (+), refleks hisap positif lemah,
refleks moro (-), CRT <2 detik
2 jam setelah pasien lahir timbul kejang (+) dengan posisi mulut mencucu,
mata tertutup, lengan fleksi, nadi meningkat. Kesadaran letargi. Nadi 120 x/menit,
RR 52 x/menit, suhu tubuh 36,6 0C, saturasi 90%. Direncanakan USG Kepala.
Pasien didiagnosis kejang et causa hipoksik iskemik emsefalopati dan asfiksia
Dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium dengan hasil GDS 22
mg/dL, Na: 132,1 L, K: 2,52 L, Cl: 95,6 L. Pemeriksaan darah lengkap;
hemoglobin 11.4 g/dL, Leukosit 24.200 µL, Eritrosit 2.870.000/µL, Trombosit
142.000/µL.
Diberikan terapi berupa infus D10% 250 cc/24 jam, oksigen 1 lpm, inj.
Cefotaxim 2 x 150 mg, inj. Gentamycin 2 x 10 mg, inj. Phenobarbital 2 x 25 mg.
Pasien dijaga suhu tubuhnya antara 36,5 sampai 37,5 0C, diberikan sonde serta
ASI ekslusif dan memberi dukungan motivasi kepada keluarga.
DISKUSI KASUS
Asfiksia perinatal adalah kurangnya aliran darah atau pertukaran gas ke
atau dari janin pada periode sebelum, selama, atau setelah proses kelahiran
(Gillam-Krakauer dan Gowen-Jr, 2020).
Asfiksia dapat disebabkan oleh karena faktor ibu, bayi dan tali pusat atau
plasenta. Terdapat lima hal yang menyebabkan terjadinya asfiksia pada saat
persalinan yaitu interupsi aliran darah umbilius, lalu terdapat kegagalan
pertukaran darah melalui plasenta, seperti solutio plasenta, perfungsi plasentas sisi
maternal yang inadekuat misalnya hipotensi maternal yang berat, kondisi janin
yang tidak dapat mentoleransi hipoksia intermiten dan transien yang terjadi pada
persalinan normal, keadaan ini biasanya pada janin yang mengalami anemia atau
IUGR serta kegagalan untuk mengembangkan paru dan memulai ventilasi dan
perfusi paru yang seharusnya terjadi saat proses kelahiran.
Faktor risiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu faktor
maternal, plasenta & tali pusat dan fetus/neonatus: kelainan maternal seperti
hipertensi, penyakit vaskuler, diabetes, drug abuse, penyakit jantung, paru dan
susunan saraf pusat, hipotensi, infeksi, ruptur uteri, tetani uteri dan panggul
sempit. Dapat juga disebabkan karena kelainan plasenta dan tali pusat, seperti
infark dan fibrosis plasenta, solusio plasenta, prolaps atau kompresi tali pusat,
kelainan pembuluh darah umbilikus, insufisiensi plasenta, plasentitis, tali pusat
yang sangat panjang (Lestari et al., 2019).
Kelainan fetus atau neonates seperti anemia, perdarahan, hidrops, infeksi,
pertumbuhan janin terhambat (intrauterine growth retardation), serotinus serta
faktor intrapartum: distosia, inersia uteri, induksi oksitosin, sectio caesaria
(anestesi umum, efek obat anestesi terhadap janin, berkurangnya aliran darah
umbilikal), kala II yang memanjang (Lestari et al., 2019).
Menurut Academy of Pediatrics (AAP) dan American College of
Obstetrician and Gynecologyst (ACOG) seorang neonatus disebut mengalami
asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut; nilai Apgar menit kelima 0-3,
adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0), gangguan neurologis
(misalnya: kejang, hipotonia atau koma), adanya gangguan sistem multiorgan
(misalnya: gangguan kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulomner, atau
sistem renal). Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang
dan ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang
mengalami episode hipoksia-iskemik saat lahir memiliki risiko disfungsi dari
berbagai organ, denngan disfunsi otak sebagai pertimbangan pertama (Depkes RI,
2008).
The National Neonatal Perinatal Database (NNPD) di India dan
kesepakatan di Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
menggunakan nilai Apgar 4-6 pada menit pertama sebagai asfiksia sedang dan
nilai Apgar 0-3 pada menit pertama sebagai asfiksia berat (Alhadar et al., 2010).
TABEL SKOR APGAR
Klinis 0 1 2
Warna Kulit Biru Pucat Tubuh merah, Merah seluruh
(Appearance) ekstremitas biru tubuh
yanng ditujukan langsung pada pembebasan saluran nafas dan ventilasi yang baik.
Neonatus yang mengalami asfiksia dapat ditangani dengan mengikuti tatalaksana
sesuai gambar berikut.
Gambar 1. Tatalaksana Asfiksia (WHO-CC, 2013)
intravena, yang biasanya diberikan selama 10-15 menit. Dosis ini diberikan agar
obat dapat memberikan efek pada neonatus karena kadar obat dalam darah
mencapai 20 ug/mL Apabila dosis sebesar 20 mg/kg belum efektif untuk
mengatasi kejang, maka dapat ditambahkan sebanyak 5-10 mg/kg sampai kejang
mereda, dan dosis tersebut merupakan batas dosis pemberian phenobarbital atau
sebesar 40 ug/ml (Volpe et al., 2017). Namun, apabila kejang tidak juga dapat
diatasi, maka dilanjutkan dengan pemberian fenitoin inisial.
Gambar 7. Tatalaksana kejang pada bayi (Kurjak dan Chervenak, 2006)
Feniotin bekerja dengan memblok kanal sodium dan bermekanisme seperti
alternatif dari barbiturat dan benzodiazepin, dimana keduanya bekerja pada kanal
klorida (Volpe et al., 2017).
Pada kasus ini penatalaksanaan bayi baru lahir yang dimulai dari
melakukan resusitasi sudah sejalan dengan alur yang ada. Dilakukannya resusitasi
karena bayi mengalami asfiksia akibat bayi lahir tidak langsung menangis,
gerakan tidak aktif serta terdapat sianosis dimana ketiga tanda tersebut merupakan
ciri bayi yang kekurangan oksigen. Faktor resiko juga dapat menyebabkan
seorang bayi mengalami asfiksia. Pada kasus ini, faktor yang meningkatkan
terjadinya asfiksia adalah ketuban pecah dini dan lilitan tali pusat (Lestraningsih
dan Ertiana, 2016).
Terjadinya lilitan tali pusat dapat mengurangi suplai oksigen pada janin
karena terjeratnya pembuluh darah yang berada pada tali pusat, sehingga
peredaran darah pada janin tidak lancar (Lestari et al., 2019).
Langkah awal stabilisasi yaitu dengan menjaga kehangatan bayi, membuka
jalan napas dengan memposisikan sniffing dan membersihkan jalan napas dengan
suction, mengeringkan bayi, memberi stimulasi napas (Sari et al., 2017). Dalam
kasus ini, dilakukan suction pada bayi untuk membersihkan jalan nafas.
Tindakan ini disebut dengan resusitasi awal, dimana diharapkan dapat
selesai dalam waktu 30 detik guna menilai kemampuan bayi bernapas spontan dan
tindakan lanjutan yang dibutuhkan bayi. Bila bayi gagal bernapas spontan/denyut
janntung <100x/menit maka bantuan ventilasi haarus segera dilakukan (Umar et
al., 2020).
Tindakan selanjutnya adalah ventilasi dan oksigenasi. Ventilasi tekanan
positif diberikan pada bayi berhenti bernafas atau nafas terengah-engah atau
denyut jantung <100x/menit setelah dilakukan tindakan awal. Oksigen diberikan
5-7 liter/menit. Penilaian dilakukan setiap 30 detik pemberian ventilasi. Hasil
yang dinilai yaitu usaha napas, warna kulit dan frekuensi jantung (Umar., 2020).
Dalam kasus ini, bayi setelah disuction langsung diberikan VTP sebanyak
5 liter. Menurut algoritma, sebelum diberi VTP bayi seharusnya dilakukan setelah
penilaian simultan 2 tanda vital, yaitu respirasi dan denyut jantung. Apabila masih
belum masuk dalam kriteria, maka dapat diberikan VTP (Sari et al., 2017).
Namun, jumlah oksigen yang diberikan melalui VTP pada kasus ini sudah sesuai
dengan teori, yaitu sebanyak 5-7 liter. Pemberian oksigen sudah sesuai indikasi
dan kebutuhan, dimana pasien masih mengalami sianosis sentral walaupun sudah
diresusitasi.
Kejang yang dialami oleh bayi tersebut sudah sesuai dengan alur, dimana
pasien diberikan phenobarbital sebanyak 2 x 25 mg, namun dosis tidak sesuai
karena dosis fenobarbital yang diberikan pada penanganan awal yaitu 20
mg/kgBB, dimana seharusnya bayi diberikan 65 mg secara IV. Fenobarbital jika
diberikan berlebih pada neonatus dapat mengakibatkan efek depresi pada
pernafasan. Serta pemasangan EEG juga tidak lakukan. Padahal, hasil rekaman
EEG dapat memberikan konfirmasi apakah gejala yang tampak adalah kejang
serta dapat memprediksi keadaan klinis pasien.
Pemeriksaan glukosa menunjukkan bahwa bayi mengalami hipolikemia,
dimana kadar glukosa sebesaar 22 mg/dL. Hipoglikemia yang terjadi pada bayi
dapat ditatalaksana menggunakan glukosa 10% sesuai dengan Tabel 5 berikut ini
Inisial Rumatan
Hipoglikemia
Glukosa 10%: 2 ml/kgBB IV 8 mg/kg BB/menit, IV
Tanpa Hipoglikemia
Fenobarbital: 20 mg/kg BB selama 10-15 menit IV,
IM. Jika diberikan IM dosis dinaikkan 10-15% dari
dosis IV, jika masih terdapat kejang dosis dapat
ditambahkan 5 mg/kgBB sampai mencapai dosis
maksimal 40 mg/kgBB. 3-4mg/kgBB/hari, IV, po
Fenitoin: 20 mg/kgBB IV 0,05-0,1mg/kgBB tiap 8-12h, IV
Lorazepam: 0,05-0,1 mg/kgBB, IV 0,25 mg/kgBB tiap 6-8h, IV
Diazepam: 0,25 mg/kg BB, IV 0,3 mg/kgBB/jam kontinyu
Jika ada indikasi lain
Kalsium glukonas 5% 4 ml/kg BB, IV 500 mg/kgBB/hari, po
Magnesium Sulfat 50% 0,2ml/kgBB, IM 0,2ml/kgBB/hari, IM
Piridoksin: 50-100 mg IV
Secara ringkas, hakikat yang mesti dipahami tentang sakit adalah sebagai
berikut (Ronosulistyo et al., 2015);
1. Sakit dan mati pada hakikatnya adalah kuasa Allah. Hakikat ini dapat
dicermati pada Q.S Asy-Syu’araa’ ayat 80-81 yang berbunyi;
Artinya: “dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan Yang akan
mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali).”
2. Sakit
dan mati
merupakan ketentuan dari Allah yang telah tertulis di dalam Lauh Mahfuzh
3. Sakit adalah cobaan yang diberikan Allah kepada manusia dengana
tujuan: menguji kesabaran dan ketahanan spiritual, menghapus dosa,
mengingatkan manusia bahwa dia adalah makhluk yang sangat lemah, mengingat
manusia terhadap bekal yang harus dipersiapkan dalam menjemput kematian.
4. Sakit merupakan kondisi yang dapat memacu kita untuk benar-benar
mempersiapkan akhir kehidupan yang baik.
Para ulama memandang sunah (mustahabb) berobat bagi orang sakit. Ada
banyak hadits yanng menjadi dasar pijakan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim;
Artinya: “Setiap
penyakit pasti
memiliki obat. Bila
sebuah obat sesuai
denganpenyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu
waTa’ala.”(HR. Muslim)”
Hadits di atas mengisyaratkan diizinkannya seseorang Muslim mengobati
penyakit yang dideritanya. Sebab, setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat
yang digunakan tepat mengenai sumber penyakit, maka dengan izin Allah SWT
penyakit tersebut akan hilang dan orang yang sakit akan mendapatkan
kesembuhan.
Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud;
ayat berikut;
Artinya: “Aku memohon kepada Allah yang Maha Agung, Tuhan yang mempunya
‘Arasy yang besar agar menyebuhkan aku, sembuh yang tidak meninggalkan sakit
lagi.” (H.R Abu Daud dan Tirmidzi)
disertai keyakinan bahwa Allah akan mengabulkan doa sang orang tua. Abu
hurairah menyampaikan bahwa Rasulullah pernah bersabda;
Artinya: “Ada tiga doa yang pasti akan terkabul, tidak diragukan lagi: doa
orangtua, doa orang yang bepergian, dan doa orang yang dizalimi.” (HR. Abu
Dawud no. 1536, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi
Dawud: hasan)
KESIMPULAN
Penatalaksanaan asfiksia dan kejang et causa ensefalopati hipoksik iskemi
dan asfiksia pada pasien neonatus diatas sebagian sudah sesuaii teori, sebagian
tatalaksana seperti alur pemberian VTP serta perhitungan dosis pada fenobarbital
serta D10% tidak sesuai teori.
Dalam islam, sakit merupakan ujian dari Allah SWT. Seseorang yang sakit
disunnahkan untuk berobat. Serta, selalu sabar dan ikhtiar dalam menghadapi
segala cobaan, dan tidak luput memanjatkan do’a meminta kesembuhan. Orang
tua pasien dalam kasus ini senantiasa untuk terus berdoa kepada Allah agar
penyakit yang diderita anaknya dapat sembuh karena ridho Allah merupakan ridho
orang tua.
SARAN
Disarankan agar penggunaan dosis pada penatalaksanaan kejang dan
mengoreksi glukosa untuk diberikan sesuai ketetapan serta alur resusitasi
diterapkan sesuai dengan teori agar tidak terjadi komplikasi yang lebih parah pada
neonatus.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih atas bimbingannya dalam pembuatan laporan kasus ini,
kepada:
1. Allah SWT, atas ridho dan karunia-Nya laporan kasus ini dapat
terselesaikan dengan baik
2. Rasulullah SAW, karenanya saya dapat mengetahui tentang Islam
3. DR. drh. Hj. Titiek Djannatum selaku Koordinator Penyusun Blok Elektif
4. dr. Hj. RW. Susilowati, M.Kes selaku Koordinator Pelaksana Blok Elektif
5. dr. H. Kamal Anas, SpB selaku Pengampu Bidang Kepeminatan
Kegawatdaruratan
6. dr. Yenni Zulhalmidah, MSc. selaku Tutor Kelompok 3 Kegawatdaruratan
7. Seluruh anggota kelompok 3 Kegawatdaruratan
8. Seluruh teman sejawat Universitas YARSI dan pihak Universitas YARSI
DAFTAR PUSTAKA
Alhadar, A. K., Amir, I., Oswari, H., Windiastuti, E. 2010. Korelasi nilai apgar
menit kelima kurang dari tujuh dengan kadar transaminase serum pada bayi
baru lahir. Sari Pediatri. 12(3):190-196.
American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan
resusitasi neonatus. Edisi ke-5. Jakarta: Perinasia; 2006
Anggriawan, A. 2016. Tinjauan klinis hypoxic-ischemic encephalopathy. CDK
Journal. 43(8): 582-586.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2008. Pencegahan dan
Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum.
Effendi, S. H. 2013. Save the Child’s Brain within Golden Period. Pendidikan
Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PILKAB) X: Bandung. p1
Escoba, M. D & Weiss, M. D. 2015. Hypoxic-ischemic encephalopathy: a review
for the clinician. JAMA Journal.
Fida & Maya. 2012. Pengantar Ilmu kesehatan Anak. Yogyakarta: D-Medika.
Gillam-Krakauer, M., Gowen Jr, C. W. Birth Asphyxia. [Updated 2020 Aug 30].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430782/
Handryastuti, S. 2007. Kejang pada neonatus, permasalahan dalam diagnosis dan
tata laksana. Sari Pediatri. 9(2):112-120.
Heinz, U. E & Rollnik, J. D. 2015. Outcome and prognosis of hypoxic brain
damage patients undergoing neurological early rehabilitation. BMC
research notes, 8(1), 243
Intannia, D., Fiqrianty, A., Rahmadarni, A., Asti, R. 2017. Gambaran penggunaan
antibiotik pada pasien anak di ruang neonatal intensive care unit (nicu).
Jurnal Stikes Borneo Lestari. p1-10.
Kurjak, A., Chervenak, F. A. 2006. Textbook of Perinatal Medicine. 2nd edition.
United Kingdom: The Parthenon Publishing.
Kurniawan, R., Suryawan, I. W. B., Dewi, M. R. 2019. Hubungan asfiksia dengan
kejang pada neonatus di ruang perinatologi dan nicu rsud wangaya kota
denpasar. Instisari Sains Medis. 10(1):144-147.
Kusuma, E. 2019. Pengaruh terapi hipotermi terhadap kejadian kejang pada bayi
asfiksia di ruang alamanda rsud bangil. Jurnal Citra Keperawatan. 7(2):72-
78
Lestari, R. D., Putri, N. N. B. K. A. 2019. Analisis faktor penyebab kejadian
asfiksia pada bayi baru lahir. Jurnal Ners dan Kebidanan. 6(2):251-262
Lestraningsih, Y. Y., Ertiana, D. 2016. Hubungan ketuban pecah dini dengan
kejadian asfiksia neonatorum di rsud kabupaten kediri tahun 2016. Journal
of Universitas Muhmmadiyah Sidoarjo. p1-9.
Manoe, V. M., dan Amir, I. 2003. Gangguan fungsi multi organ pada bayi asfiksia
berat. Sari Pediatri. 5(2):72-78.
Meliya, I., Priscilla, V. 2013. Gambaran kejadian infeksi bayi baru lahir di bagian
perinatologi rsup dr.m.djamil padang tahun 2012. NERS Jurnal
Keperawatan. 9(1):70-79.
Pacifici, G. M. 2019. Clinical pharmacology of gentamicin in infannts and
children. Journal of Targeted Drug Delivery. 3(1):1-15.
Puspitasari, R. N. 2019. Korelasi karakteristik dengan penyebab ketuban pecah
dini pada ibu bersalin di rsu denisa gresik. Indonesian Journal for Health
Sciences. 3(1): 24-32.
Ronosulistyo, H., Abidin, Z., Zakaria, A., Yurdani, S. 2015. Sakitku Ibadahku.
Garut: ThinkSmart Publisher.
Safitri, A. R., Wulandari, S. P. 2016. Klasifikasi risiko infeksi pada bayi baru lahir
di rumah sakit umum daerah sidoarjo menggunakan metode classification
trees. Jurnal Sains dan Seni ITS. 5(1):p26-31.
Sari, D., Widyastuti, Y., Givano, M. R. 2017. Resusitasi neonatus dan anestesi.
Jurnal Komplikasi Anestesi. 4(2):89-106
Setyabudhy, I. M. 2011. Kejang. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. p29-35.
Umar, N., Masulili, F., Nurmalisa, B. E. 2020. Analisis kesesuaian prosedur
tindakan resusitasi pada neonatus dengan asfiksia di ruang peristi rsu
anutarapura palu. Jurnal Ilmu Kesehatan. 14(1): 58-67.
Volpe, J., Inder, T., Darras, B., Vries, LS., Plessis, AD., Neil, J., Perlman, J. 2017.
Volpe’s Neurology of the Newborn. 6th edition. Philadelphia:
Saunders/Elsevier. p309-11
World Health Organization. 2011. Guidelines on Neonatal Seizures.
World Health Organization. 2013. Pocket Book of Hospital Care for Children.
2nd ed.
World Health Organization. 2016. Antibiotic use for sepsis in neonates and
children: 2016 evidence update.
World Health Organization. 2016. Oxygen theraphy for children.