Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan
teratur setelah lahir. Asfiksia berarti hipoksia yang progresif karena gangguan pertukaran gas
serta transport O2

Di Indonesia banyaknya bayi yang meninggal di karenakan terserang asfiksia neonatorum


sebesar 33%, ini di karenakan ketidak mampuan anak untuk bernafas secara baik, Keadaan
ini juga di pengaruhi oleh posisi anak atau bayi yang tidak baik sehingga dapat menyebabkan
terjadinya asfiksia neonatorum. (WHO,2010).

B. Tujuan

1. Mahasiswa Kedokteran dapat menjelaskan definisi Asfiksia neontorum, etiologi


Asfiksia neonatorum, epidemiologi Asfiksia neonatorum, gejala klinis Asfiksia neonatorum,
patofisiologi Asfiksia neonatorum, pemeriksaan fisik Asfiksia neonatorum, pemeriksaan
penunjang Asfiksia neonatorum, penatalaksanaan Asfiksia neonatorum, diagnosa Asfiksia
neonatorum, diagnosis banding Asfiksia neonatorum, komplikasi Asfiksia neonatorum,
prognosis Asfiksia neonatorum

2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah / Makalah di bidang kedokteran.

3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik

4. Metode tinjauan kepustakaan dengan mengacu kepada beberapa literatur.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Asfiksia neonatorum

Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan
teratur setelah lahir. Asfiksia berarti hipoksia yang progresif karena gangguan pertukaran gas
serta transport O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan
kesulitan mengeluarkan CO2, saat janin di uterus hipoksia.

1. Etiologi Asfiksia neonatorum

Faktor ibu

1. Cacat bawaan

2. Hipoventilasi selama anastesi


3. Penyakit jantung sianosis

4. Gagal bernafas

5. Keracunan CO

6. Tekanan darah rendah

7. Gangguan kontraksi uterus

8. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun

9. Sosial ekonomi rendah

10. Hipertensi pada penyakit eklampsia

Faktor janin / neonatorum

1. Kompresi umbilikus

2. Tali pusat menumbung, lilitan tali pusat

3. Kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir

4. Prematur

5. Gemeli

6. Kelainan congential

7. Pemakaian obat anestesi

8. Trauma yang terjadi akibat persalinan

Faktor plasenta

1. Plasenta tipis

2. Plasenta kecil

3. Plasenta tidak menempel

4. Solusio plasenta

Faktor persalinan

1. Partus lama

2. Partus tindakan
3. Patofisiologi Asfiksia neonatorum

Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan / persalinan,
akan terjadi asfiksia. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi
akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan ini dapat reversible atau tidak
tergantung dari berat badan dan lamanya asfiksia. Asfiksia ringan yang terjadi dimulai dengan
suatu periode appnoe, disertai penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan
menunjukan usaha nafas, yang kemudian diikuti pernafasan teratur. Pada asfiksia sedang dan
berat usaha nafas tidak tampak sehingga bayi berada dalam periode appnoe yang kedua, dan
ditemukan pula bradikardi dan penurunan tekanan darah. Disamping perubahan klinis
juga terjadi gangguan metabolisme dan keseimbangan asam dan basa pada neonatus. Pada
tingkat awal menimbulkan asidosis respiratorik, bila gangguan berlanjut terjadi metabolisme
anaerob yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh pada hati dan
jantung berkurang. Hilangnya glikogen yang terjadi pada kardiovaskuler menyebabkan
gangguan fungsi jantung. Pada paru terjadi pengisian udara alveoli yamh tidak adekuat
sehingga menyebabkan resistensi pembuluh darah paru. Sedangkan di otak terjadi kerusakan
sel otak yang dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.

1. Manifestasi klinis Asfiksia neonatorum

Bayi tidak bernafas atau nafas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100x/menit, kulit
sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks rangsangan.

1. serangan jantung

2. Periode hemorragis

3. Sianosis dan kongestif

4. Penemuan jalan nafas

Diagnosis Asfiksia neonatorum

Anamnesis: Gangguan / kesulitan waktu lahir tidak bernafas/menangi

Pemeriksaan fisik Asfiksia neonatorum

Klinis 0 1 2

Detak jantung Tidak ada 100x/menit

Pernafasan Tidak ada Tak teratur Tangis kuat

Refleks saat jalan nafas dibersihkan Tidak ada Menyeringai Batuk/bersin

Tonus otot Lunglai Fleksi ekstermitas (lemah) Fleksi kuat gerak aktif

Warna kulit Biru pucat Tubuh merah ektermitas biru Merah seluruh tubuh

Niali 0-3 : Asfiksia berat


Nilai 4-6 : Asfiksia sedang

Nilai 7-10 : Normal

Dilakukan pemantuan nilai apgar pada menit ke01 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5 menit
masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7, nilai apgar
berguna untuk menilai keberhasilan resustansi bayi baru lahir dan menetukan prognosis,
bukan untuk memulai resustansi karena dimulai 30 detik setelah lahir bila bayitidak menangis
( bukan 1 menit seperti penilaian skor apgar ).

1. Pemeriksaan penunjang Asfiksia neonatorum

1. Foto polos dada

2. USG kepala

3. laboraturium : Darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit

Pemeriksaan diagnostik Asfiksia neonatorum

1. Analisa gas darah

2. Elektrolit darah

3. Gula darah

4. Baby gram

5. USG ( Kepala )

6. Penilaian APGAR score

7. Pemeriksaan EGC dab CT- Scan

1. Komplikasi Asfiksia neonatorum

Meliputi berbagai organ yaitu:

1. Otak : Hipokstik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis

2. Jantung dan paru: Hipertensi pulmonal persisten pada neonatorum, perdarahan paru, edema
paru

3. Gastrointestinal: enterokolitis, nekrotikans

4. Ginjal: tubular nekrosis akut, siadh

5. Hematologi: dic

1. Penatalaksanaan Asfiksia neonatorum


Cegah pelepasan panas yang berlebihan, keringkan ( hangatkan ) dengan menyelimuti seluruh
tubuhnya terutama bagian kepala dengan handuk yang kering

Bebaskan jalan nafas : atur posisi, isap lendir

Bersihkan jalan nafas bayi dengan hati-hatidan pastikan bahwa jalan nafas bayi bebas dari
hal-hal yang dapat menghalangi masuknya udara kedalam paru-paru. Hal ini dapat dilakukan
dengan:

Ekstensi kepaladan lehert sedikit lebih brendah dari tubuh bayi Hisap lendir, cairan pada
mulut dan hidung bayi sehingga jalan nafas bersih dari cairan ketuban, mekonium/ lendir
dan menggunakan penghisap lendir Delee

Rangsangan taktil, bila mengeringkan tubuh bayi dan penghisapan lendir/ cairan ketuban dari
mulut dan hidung yang dasarnyan merupakan tindakan rangsangan belumcukup untuk
menimbulkan pernafsan yang adekuat padabayi lahir dengan penyulit, maka diperlukan
rangsangan taktil tambahan. Selama melakukan rangsangan taktil, hendaknya jalan nafas
sudah dipastikan bersih. Walaupun prosedur ini cukup sederhana tetapi perlu dilakukan
dengan cara yang betul. Ada 2 cara yang memadai dan cukup aman untuk memberikan
rangsangan taktil, yaitu: Menepukan atau menyentil telapak kaki dan menggosok punggung
bayi. Cara ini sering kali menimbulkan pernafasan pada bayi yang mengalami depresi
pernafasan yang ringan Cara lain yang cukup aman adalah melakukan penggosokan pada
punggung bayi secara cepat, mengusap atau mengelus tubuh, tungkai dan kepala bayi juga
merupakan rangsangan taktil tetapi rangsangan yang ditimbulkan lebih ringan dari menepuk,
menyentil, atau menggosok. Prosedur ini tidak dapat dilakukan pada bayi yang appnoe, hanya
dilakukan pada bayi yang telah berusaha bernafas. Elusan pada tubuh bayi, dapat membantu
untuk meningkatkan frekuensi dari dalamnya pernafasan.

ASFIKSIA NEONATORUM

1. Pengertian

Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan
dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini
berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan atau segera lahir
(Prawiro Hardjo, Sarwono, 1997).

Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak bisa bernafas secara spontan
dan adekuat (Wroatmodjo,1994).

Asfiksia Neonatotum adalah keadaan dimana bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini biasanya disertai dengan keadaan
dimana hipoksia dan hiperapneu serta sering berakhir dengan asidosis (Santoso NI, 1992).
Asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan dengan sempurna,
sehingga tindakan perawatan dilaksanakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan
mengatasi gejala lanjut yang mungkin timbul. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan,
beberapa faktor perlu dipertimbangkan dalam menghadapi bayi dengan asfiksia.

2. Etiologi

Menurut pedoman Depkes RI Santoso NI, 1995. Ada beberapa faktor etiologi dan
predisposisi terjadinya asfiksiaa, antara lain sebagai berikut:

a. Faktor Ibu

Hipoksia ibu akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu dapat
terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian analgetika atau anesthesi dalam gangguan
kontraksi uterus, hipotensi mendadak karena pendarahan, hipertensi karena eklamsia,
penyakit jantung dan lain-lain.

b. Faktor Placenta

Yang meliputi solutio plasenta, pendarahan pada plasenta previa, plasenta tipis, plasenta
kecil, plasenta tak menempel pada tempatnya.

c. Faktor Janin dan Neonatus

Meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit ke leher, kompresi tali pusat antara janin
dan jalan lahir, gemelli, IUGR, kelainan kongenital dan lain-lain.

d. Faktor Persalinan

Meliputi partus lama, partus tindakan dan lain-lain (Ilyas Jumiarni, 1995).

3. Patofisiologi

Selama kehidupan di dalam rahim, paru janin tidak berperan dalam pertukaran gas oleh
karena plasenta menyediakan oksigen dan mengangkat CO2 keluar dari tubuh janin. Pada
keadaan ini paru janin tidak berisi udara, sedangkan alveoli janin berisi cairan yang
diproduksi didalam paru sehingga paru janin tidak berfungsi untuk respirasi. Sirkulasi darah
dalam paru saat ini sangat rendah dibandingkan dengan setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh
karena konstriksi dari arteriol dalam paru janin. Sebagian besar sirkulasi darah paru akan
melewati Duktus Arteriosus (DA) tidak banyak yang masuk kedalam arteriol paru.

Segera setelah lahir bayi akan menariknafas yang pertama kali (menangis), pada saat ini paru
janin mulai berfungsi untuk respirasi. Alveoli akan mengembang udara akan masuk dan
cairan yang ada didalam alveoli akan meninggalkan alveoli secara bertahap. Bersamaan
dengan ini arteriol paru akan mengembang dan aliran darah kedalam paru akan meningkat
secara memadai. Duktus Arteriosus (DA) akan mulai menutup bersamaan dengan
meningkatnya tekanan oksigen dalam aliran darah. Darah dari jantung kanan (janin) yang
sebelumnya melewati DA dan masuk kedalam Aorta akan mulai memberi aliran darah yang
cukup berarti kedalam arteriole paru yang mulai mengembang DA akan tetap tertutup
sehingga bentuk sirkulasi extrauterin akan dipertahankan.

Pada saat lahir alveoli masih berisi cairan paru, suatu tekanan ringan diperlukan untuk
membantu mengeluarkan cairan tersebut dari alveoli dan alveoli mengembang untuk pertama
kali. Pada kenyataannya memang beberapa tarikan nafas yang pertama sangat diperlukan
untuk mengawali dan menjamin keberhasilan pernafasan bayi selanjutnya. Proses persalinan
normal (pervaginam) mempunyai peran yang sangat penting untuk mempercepat proses
keluarnya cairan yang ada dalam alveoli melalui ruang perivaskuler dan absorbsi kedalam
aliran darah atau limfe. Gangguan pada pernafasan pada keadaan ini adalah apabila paru tidak
mengembang dengan sempurna (memadai) pada beberapa tarikan nafas yang pertama. Apnea
saat lahir, pada keadaan ini bayi tidak mampu menarik nafas yang pertama setelah lahir oleh
karena alveoli tidak mampu mengembang atau alveoli masih berisi cairan dan gerakan
pernafasan yang lemah, pada keadaan ini janin mampu menarik nafas yang pertama akan
tetapi sangat dangkal dan tidak efektif untuk memenuhi kebutuhan O2 tubuh. keadaan
tersebut bisa terjadi pada bayi kurang bulan, asfiksia intrauterin, pengaruh obat yang
dikonsumsi ibu saat hamil, pengaruh obat-obat anesthesi pada operasi sesar.

Dalam hal respirasi selain mengembangnya alveoli dan masuknya udara kedalam alveoli
masih ada masalah lain yang lebih panjang, yakni sirkulasi dalam paru yang berperan dalam
pertukaran gas. Gangguan tersebut antara lain vasokonstriksi pembuluh darah paru yang
berakibat menurunkan perfusi paru. Pada bayi asfiksia penurunan perfusi paru seringkali
disebabkan oleh vasokonstriksi pembuluh darah paru, sehingga oksigen akan menurun dan
terjadi asidosis. Pada keadaan ini arteriol akan tetap tertutup dan Duktus Arteriosus akan tetap
terbuka dan pertukaran gas dalam paru tidak terjadi.

Selama penurunan perfusi paru masih ada, oksigenasi ke jaringan tubuh tidak mungkin
terjadi. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan tergantung dari berat dan
lamanya asfiksia, fungsi tadi dapat reversible atau menetap, sehingga menyebabkan
timbulnya komplikasi, gejala sisa, ataupun kematian penderita. Pada tingkat permulaan,
gangguan ambilan oksigen dan pengeluaran CO2 tubuh ini mungkin hanya menimbulkan
asidosis respiratorik. Apabila keadaan tersebut berlangsung terus, maka akan terjadi
metabolisme anaerobik berupa glikolisis glikogen tubuh. Asam organik yang terbentuk akibat
metabolisme ini menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan asam basa berupa asidosis
metabolik. Keadaan ini akan mengganggu fungsi organ tubuh, sehingga mungkin terjadi
perubahan sirkulasi kardiovaskular yang ditandai oleh penurunan tekanan darah dan frekuensi
denyut jantung. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pada penderita asfiksia akan terlihat
tahapan proses kejadian yaitu menurunnya kadar PaO2 tubuh, meningkat PCO2, menurunnya
pH darah dipakainya sumber glikogen tubuh dan gangguan sirkulasi darah. Perubahan inilah
yang biasanya menimbulkan masalah dan menyebabkan terjadinya gangguan pada bayi saat
lahir atau mungkin berakibat lanjut pada masa neonatus dan masa pasca neonatus.
Hipoksia janin atau bayi baru lahir sebagai akibat dari vasokonstriksi dan penurunan perfusi
pru yang berlanjut dengan asfiksia, pada awalnya akan terjadi konstriksi Arteriol pada usus,
ginjal, otot dan kulit sehingga penyediaan Oksigen untuk organ vital seperti jantung dan otak
akan meningkat. Apabila askfisia berlanjut maka terjadi gangguan pada fungsi miokard dan
cardiac output. Sehingga terjadi penurunan penyediaan oksigen pada organ vital dan saat ini
akan mulai terjadi suatu Hypoxic Ischemic Enchephalopathy (HIE) yang akan memberikan
gangguan yang menetap pada bayi sampai dengan kematian bayi baru lahir. HIE ini pada bayi
baru lahir akan terjadi secara cepat dalam waktu 1-2 jam, bila tidak diatasi secara cepat dan
tepat (Aliyah Anna, 1997).

4. Gejala Klinik

Gejala klinik Asfiksia neonatorum yang khas meliputi :

a. Pernafasan terganggu

b. Detik jantung berkurang

c. Reflek / respon bayi melemah

d. Tonus otot menurun

e. Warna kulit biru atau pucat

5. Diagnosis

Asfiksia pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia atau hipoksia janin. Diagnosa
anoksia / hipoksia dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukan tanda-tanda gawat janin
untuk menentukan bayi yang akan dilahirkan terjadi asfiksia, maka ada beberapa hal yang
perlu mendapatkan perhatikan.

a. Denyut Jantung Janin

Frekuensi normal ialah 120 sampai 160 denyutan per menit, selama his frekuensi ini bisa
turun, tetapi diluar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyutan
jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensinya turun sampai
dibawah 100/menit, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.

b. Mekanisme Dalam Air Ketuban

Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada prosentase kepala
mungkin menunjukkan gangguan oksigenasi dan terus timbul kewaspadaan. Adanya
mekonium dalam air ketuban pada prosentase kepala dapat merupakan indikasi untuk
mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
c. Pemeriksaan PH Pada Janin

Dengan menggunakan amnioskopi yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada
kulit kepala janin dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya adanya asidosis
menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai dibawah 7,2 hal itu dianggap
sebagai tanda bahaya. Dengan penilaian pH darah janin dapat ditemukan derajat asfiksia
yaitu :

Tabel Penilaian pH Darah Janin

NO Hasil Sikor Apgar Derajat Asfiksiaa Nilai pH

1. 03 Berat < 7,2

2. 46 Sedang 7,1 7,2

3. 7 10 Ringan > 7,2

Sumber : Wiroatmodjo, 1994

d. Dengan Menilai Apgar Skor

Cara yang digunakan untuk menentukan derajat asfiksiaa yaitu dengan penilaian APGAR.
Apgar mengambil batas waktu 1 menit karena dari hasil penyelidikan sebagian besar bayi
baru lahir mempunyai apgar terendah pada umur tersebut dan perlu dipertimbangkan untuk
melakukan tindakan resusitasi aktif. Sedangkan nilai apgar lima menit untuk menentukan
prognosa dan berhubungan dengan kemungkinan terjadinya gangguan neurologik di
kemudian hari. Ada lima tanda (sign) yang dinilai oleh Apgar, yaitu :

Tabel Penilaian Apgar

Tanda-tanda Vital Nilai = 0 Nilai = 1 Nilai = 2

1. Appearance Seluruh tubuh biru Badan merah, kaki Seluruh tubuh


atau putih biru kemerah-merahan
(warna kulit)

2. Pulse Tidak ada Kurang dari Lebih dari

(bunyi 100 x/ menit 150 x/ menit


jantung)

3. Grimance Tidak ada Menyeringai Batuk dan bersin


(reflek) Lunglai Fleksi ekstremitas

4. Activity Tidak ada Fleksi kuat, gerak


aktif
(tonus otot)

5. Respirotary Lambat atau tidak Menangis kuat


ada atau keras
effort

(usaha bernafas)

Dari kelima tanda diatas yang paling penting bagi jantung karena peninggian frekuensi
jantung menandakan prognosis yang peka. Keadaan akan memburuk bila frekuensi tidak
bertambah atau melemah walaupun paru-paru telah berkembang. Dalam hal ini pijatan
jantung harus dilakukan. Usaha nafas adalah nomor dua. Bila apnea berlangsung lama dan
ventilasi yang dilakukan tidak berhasil maka bayi menderita depresi hebat yang diikuti
asidosis metabolik yang hebat. Sedang ketiga tanda lain tergantung dari dua tanda penting
tersebut.

Ada 3 derajat Asfiksiaa dari hasil Apgar diatas yaitu :

1) Nilai Apgar 7-10, Vigorous baby atau asfiksia ringan.

Bayi dalam keadaan baik sekali. Tonus otot baik, seluruh tubuh kemerah-merahan. Dalam hal
ini bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.

2) Nilai Apgar 4-6 Mild Moderat atau asfiksia sedang.

Pada pemeriksaan fisik akan dilihat frekuensi jantung lebih dari 100 kali permenit, tonus otot
kurang baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.

3) Nilai Apgar 0-3, asfiksia Berat

Pada pemeriksaan ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100 kali permenit, tonus otot
buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada.

6. Penatalaksanaan Medis

a. Pelaksanaan resusitasi

b. Membuka jalan nafas

c. Mencegah kehilangan suhu tubuh / panas


d. Pemberian tindakan vtp (ventilasi tekanan positif)

e. Pemberian obat-obatan penunjang

7. Komplikasi

a. Sembab Otak

b. Pendarahan Otak

c. Anuria atau Oliguria

d. Hyperbilirubinemia

e. Obstruksi usus yang fungsional

f. Kejang sampai koma

g. Komplikasi akibat resusitasinya sendiri : Pneumonthorax (Wirjoatmodjo,


1994 : 168)

8. Prognosa

a. Asfiksia ringan / normal : Baik

b. Asfiksia sedang tergantung kecepatan penatalaksanaan bila cepat prognosa baik.

c. Asfiksia berat badan dapat menimbulkan kematian pada hari-hari pertama, atau
kelainan syaraf permanen. Asfiksia dengan pH 6,9 dapat menyebabkan kejang sampai koma
dan kelainan neurologis yang permanent misalnya cerebal palsy, mental retardation

(Wirjoatmodjo, 1994 : 68).

9. Pemeriksaan Laboratorium

a. Nilai darah lengkap pada bayi asfiksia terdiri dari :

1) Hb (normal 15-19 gr%) biasanya pada bayi dengan asfiksia Hb cenderung turun karena
O2 dalam darah sedikit.

2) Leukositnya lebih dari 10,3 x 10 gr/ct (normal 4,3-10,3 x 10 gr/ct) karena bayi preterm
imunitas masih rendah sehingga resiko tinggi.

3) Trombosit (normal 350 x 10 gr/ct)


4) Distrosfiks pada bayi preterm dengan post asfiksi cenderung turun karena sering terjadi
hipoglikemi.

b. Nilai analisa gas darah pada bayi post asfiksi terdiri dari :

1) pH (normal 7,36-7,44). Kadar pH cenderung turun terjadi asidosis metabolik.

2) PCO2 (normal 35-45 mmHg) kadar PCO2 pada bayi post asfiksia cenderung naik sering
terjadi hiperapnea.

3) PO2 (normal 75-100 mmHg), kadar PO2 pada bayi post asfiksia cenderung turun karena
terjadi hipoksia progresif.

4) HCO3 (normal 24-28 mEq/L)

5) Urine

6) Nilai serum elektrolit pada bayi post asfiksia terdiri dari :

7) Natrium (normal 134-150 mEq/L)

8) Kalium (normal 3,6-5,8 mEq/L)

9) Kalsium (normal 8,1-10,4 mEq/L)

10) Photo thorax

11) Pulmonal tidak tampak gambaran, jantung ukuran normal.

10. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

1. Gangguan pemenuhan kebutuhan O2 sehubungan dengan post asfiksiaa


berat

Intervensi

1) Letakkan bayi terlentang dengan alas yang data, kepala lurus, dan leher sedikit
tengadah/ekstensi dengan meletakkan bantal atau selimut diatas bahu bayi sehingga bahu
terangkat 2-3 cm

2) Bersihkan jalan nafas, mulut, hidung bila perlu.

3) Observasi gejala kardinal dan tanda-tanda cyanosis tiap 4 jam

4) Kolaborasi dengan team medis dalam pemberian O2 dan pemeriksaan kadar gas darah
arteri.
2. Resiko terjadinya hipotermi sehubungan dengan adanya proses persalinan
yang lama dengan ditandai suhu tubuh dibawah 36 C

Intervensi

1) Letakkan bayi terlentang diatas pemancar panas (infant warmer)

2) Singkirkan kain yang sudah dipakai untuk mengeringkan tubuh, letakkan bayi diatas
handuk / kain yang kering dan hangat.

3) Observasi suhu bayi tiap 6 jam.

4) Kolaborasi dengan team medis untuk pemberian Infus Glukosa 5% bila ASI tidak
mungkin diberikan

3. Resiko gangguan penemuan kebutuhan nutrisi sehubungan dengan reflek


menghisap lemah

Intrvensi

1) Lakukan observasi BAB dan BAK jumlah dan frekuensi serta konsistensi

2) Monitor turgor dan mukosa mulut.

3) Monitor intake dan out put.

4) Beri ASI/PASI sesuai kebutuhan

5) Lakukan control berat badan setiap hari.

4. Resiko terjadinya infeksi sehubungan penurunan daya tahan tubuh bayi.

Intervensi

1) Lakukan teknik aseptik dan antiseptik dalam memberikan asuhan keperawatan

2) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.

3) Pakai baju khusus/ short waktu masuk ruang isolasi (kamar bayi)

4) Lakukan perawatan tali pusat dengan triple dye 2 kali sehari.

5) Jaga kebersihan (badan, pakaian) dan lingkungan bayi.

6) Observasi tanda-tanda infeksi dan gejala kardinal

7) Hindarkan bayi kontak dengan sakit.


8) Kolaborasi dengan team medis untuk pemberian antibiotik.

5. Resiko terjadinya hipoglikemia sehubungan dengan metabolisme yang


meningkat

Intervensi

1) Berikan nutrisi secara adekuat dan catat serta monitor setiap pemberian nutrisi.

2) beri selimut dan bungkus bayi serta perhatikan suhu lingkungan

3) Observasi gejala kardinal (suhu, nadi, respirasi)

6. Gangguan hubungan interpersonal antara bayi dan ibu sehubungan


dengan perawatan intensif.

Intervensi

1) Jelaskan para ibu / keluarga tentang keadaan bayinya sekarang.

2) Bantu orang tua / ibu mengungkapkan perasaannya.

3) Orientasi ibu pada lingkungan rumah sakit.

4) Tunjukkan bayi pada saat ibu berkunjung (batasi oleh kaca pembatas).

5) Lakukan rawat gabung jika keadaan ibu dan bayi jika keadaan bayi memungkinkan.

DAFTAR PUSTAKA

Allen Carol Vestal, 1998, Memahami Proses Keperawatan, EGC : Jakarta

Aminullah Asril,1994, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina pustaka Sarwono Prawirohardjo:


Jakarta.

Aliyah Anna, dkk. 1997, Resusitasi Neonatal, Perkumpulan perinatologi Indonesia


(Perinasia): Jakarta

Effendi Nasrul, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC : Jakarta

Hasan Rusepno, dkk 1981, Penata Laksanaan Kegawat Daruratan Pediatrik, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

Ilyas Jumlarni, 1995, Diagnosa Keperawatan, EGC : Jakarta.

Margareth. G.M, 1998, Intrudcutory Pediatric Nursing,Lippincott : New York


Rustam Mochtar, 1998. Sinopsis Obstetri Fisiologi Patologi, EGC : Jakarta.

Wahidiyat Iskandar, dkk. 1991, Diagnosis Fisik Pada Anak, Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta.

asfiksia neonatorum

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di seluruh dunia, setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal pada


tahun pertama kehidupannya dan dua pertiganya meninggal pada bulan
pertama. Dua pertiga dari yang meninggal pada bulan pertama meninggal pada
minggu pertama. Dua pertiga dari yang meninggal pada minggu pertama,
meninggal pada hari pertama. Penyebab utama kematian pada minggu pertama
kehidupan adalah komplikasi kehamilan dan persalinan seperti asfiksia, sepsis
dan komplikasi berat lahir rendah. Kurang lebih 99% kematian ini terjadi di
negara berkembang dan sebagian besar kematian ini dapat dicegah dengan
pengenalan dini dan pengobatan yang tepat.

Asfiksia neonatorum adalah kegawatdaruratan bayi baru lahir berupa


depresi pernapasan yang berlanjut sehingga menimbulkan berbagai komplikasi.
Oleh sebab itu, asfiksia memerlukan intervensi dan resusitasi segera untuk
meminimalkan mortalitas dan morbiditas. Survei atas 127 institusi pada 16
negarabaik negara maju ataupun berkembangmenunjukkan bahwa sarana
resusitasi dasar seringkali tidak tersedia, dan tenaga kesehatan kurang terampil
dalam resusitasi bayi. Sebuah penelitian di 8 negara.
B. Tujuan

Adapun tujuan pembuatan makalah ini :

1. Untuk mengetahui pengertian asfiksia neonatorum.

2. Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi asfiksia neonatorum.

3. Untuk mengetahui tanda dan gejala asfiksia neonatorum.

4. Untuk mengetahui komplikasi dan pencegahan serta penanganan asfiksia


neonatorum.

C. Rumusan masalah

1. Apakah pengertian asfiksia neonatorum ?

2. Apakah etiologi dan patofisiologi asfiksia neonatorum ?

3. Apakah tanda dan gejala asfiksia neonatorum ?

4. Apakah komplikasi dan bagaimana pencegahan dan penanganan asfiksia


neonatorum ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh
hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor
yang timbul dalam kehamilan, persalinan atau segera lahir (Prawiro Hardjo,
Sarwono, 1997).
Asfiksia Neonatotum adalah keadaan dimana bayi baru lahir yang tidak
dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini
biasanya disertai dengan keadaan dimana hipoksia dan hiperapneu serta sering
berakhir dengan asidosis (Santoso NI, 1992).
Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir (Hutchinson, 1967).
Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis.
Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini merupakan faktor terpenting
yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan
ekstrauterin (Gabriel Duc, 1971). Penilaian statistic dan pengalaman klinis atau
patologi anatomis menunjukan bahwa keadaan ini merupakan penyebab utama
mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Hal ini dibuktikan oleh Drage dan
Berendes (1966) yang mendapatkan bahwa skor Apgar yang rendah sebagai
manifestasi hipoksia berat pada bayi saat lahir akan memperlihatkan angka
kematian yang tinggi.

Haupt (1971) memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan perdarahan


pada bayi sebagai akibat hipoksia sangat tinggi. Asidosis, gangguan
kerdiovaskular serta komplikasinya sebagai akibat langsung dari hipoksia
merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru lahir (James, 1958).
Kegagalan ini akan sering berlanjut menjadi sindrom gangguan pernafasan pada
hari-hari pertama setelah lahir (James, 1959). Penyelidikan patologi anatomis
yang dilakukan oleh Larrhoce dan Amakawa (1971) menunjukkan nekrosis berat
dan difus pada jaringan otak bayi yang meninggal karena hipoksia. Karena itu
tidaklah mengherankan bahwa sekuele neurologis sering ditemukan pada
penderita asfiksia berat. Keadaan ini sangat menghambat pertumbuhan fisis dan
mental bayi di kemudian hari. Untuk menghindari atau mengurangi kemungkinan
tersebut diatas, perlu dipikirkan tindakan istimewa yang tepat dan rasionil sesuai
dengan perubahan yang mungkin terjadi pada penderita asfiksia.

Asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan


dengan sempurna, sehingga tindakan perawatan dilaksanakan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup dan mengatasi gejala lanjut yang
mungkin timbul. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, beberapa faktor
perlu dipertimbangkan dalam menghadapi bayi dengan asfiksia.
B. Etiologi

Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama


kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat
gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin, akan
terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa
kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia
bayi baru lahir ini merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin
selama masa kehamilan, persalinan memegang peranan yang sangat penting
untuk keselamatan bayi. Gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau
persalinan hampir selalu disertai anoksia/hipoksia janin dan berakhir dengan
asfiksia neonatus dan bayi mendapat perawatan yang adekuat dan maksimal
pada saat lahir.

Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi, adalah :

1. Faktor ibu

Hipoksia ibu dapat menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.


Hipoksia ibu ini dapat terjadi kerena hipoventilasi akibat pemberian obat
analgetika atau anastesia dalam.Gangguan aliran darah uterus dapat
mengurangi aliran darah pada uterus yang menyebabkan berkurangnya aliran
oksigen ke plasenta dan janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan ;
gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus
akibat penyakit atau obat, hipotensi mendadak pada ibu karna perdarahan,
hipertensi pada penyakit eklamsi dan lain-lain.

2. Faktor plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi
plasenta. Asfiksi janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada
plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lain-lain.

3. Faktor fetus

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan gangguan aliran darah dalam


pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan
janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat
menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan
lain-lain.

4. Faktor neonatus

Depresi pusat pernafasan pada BBL dapat terjadi karena ; pemakaian obat
anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat
menimbulkan depresi pusat pernafasan janin, traoma yang terjadi pada
persalinan mosalnya perdarahan intra cranial, kelainan kongenital pada bayi
masalnya hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran
pernafasan,hipoplasia paru dan lain-lain.

C. Patofisiologi
Selama kehidupan di dalam rahim, paru janin tidak berperan dalam
pertukaran gas oleh karena plasenta menyediakan oksigen dan mengangkat CO 2
keluar dari tubuh janin. Pada keadaan ini paru janin tidak berisi udara,
sedangkan alveoli janin berisi cairan yang diproduksi didalam paru sehingga
paru janin tidak berfungsi untuk respirasi. Sirkulasi darah dalam paru saat ini
sangat rendah dibandingkan dengan setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh karena
konstriksi dari arteriol dalam paru janin. Sebagian besar sirkulasi darah paru
akan melewati Duktus Arteriosus (DA) tidak banyak yang masuk kedalam arteriol
paru.
Segera setelah lahir bayi akan menariknafas yang pertama kali
(menangis), pada saat ini paru janin mulai berfungsi untuk respirasi. Alveoli akan
mengembang udara akan masuk dan cairan yang ada didalam alveoli akan
meninggalkan alveoli secara bertahap. Bersamaan dengan ini arteriol paru akan
mengembang dan aliran darah kedalam paru akan meningkat secara memadai.
Duktus Arteriosus (DA) akan mulai menutup bersamaan dengan meningkatnya
tekanan oksigen dalam aliran darah. Darah dari jantung kanan (janin) yang
sebelumnya melewati DA dan masuk kedalam Aorta akan mulai memberi aliran
darah yang cukup berarti kedalam arteriole paru yang mulai mengembang DA
akan tetap tertutup sehingga bentuk sirkulasi extrauterin akan dipertahankan.

Hipoksia janin atau bayi baru lahir sebagai akibat dari vasokonstriksi dan
penurunan perfusi pru yang berlanjut dengan asfiksia, pada awalnya akan terjadi
konstriksi Arteriol pada usus, ginjal, otot dan kulit sehingga penyediaan Oksigen
untuk organ vital seperti jantung dan otak akan meningkat. Apabila askfisia
berlanjut maka terjadi gangguan pada fungsi miokard dan cardiac output.
Sehingga terjadi penurunan penyediaan oksigen pada organ vital dan saat ini
akan mulai terjadi suatu Hypoxic Ischemic Enchephalopathy (HIE) yang akan
memberikan gangguan yang menetap pada bayi sampai dengan kematian bayi
baru lahir. HIE ini pada bayi baru lahir akan terjadi secara cepat dalam waktu 1-2
jam, bila tidak diatasi secara cepat dan tepat (Aliyah Anna, 1997).

D. Tanda dan gejala klinis

Pada asfiksia tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan yang disebabkan oleh
beberapa keadaan diantaranya :

1. Hilang sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.


2. Terjadinya asidosis metabolic akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan
termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung.

3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap


tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah mengalami
gangguan.

Gejala klinis

Bayi yang mengalami kekurangan O 2 akan terjadi pernafasan yang cepat


dalam periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan
berhenti, denyut jantung juga menurun, sedangkan tonus neuromuskular
berkurang secara barangsur-angsur dan memasuki periode apnue primer. Gejala
dan tanda asfiksia neonatorum yang khas antara lain meliputi pernafasan cepat,
pernafasan cuping hidung, sianosis, nadi cepat.

Gejala lanjut pada asfiksia :

1. Pernafasan megap-magap dalam

2. Denyut jantung terus menurun

3. Tekanan darah mulai menurun

4. Bayi terlihat lemas (flaccid)

5. Menurunnya tekanan O2 anaerob (PaO2)

6. Meningginya tekanan CO2 darah (PaO2)

7. Menurunnya PH (akibat acidosis respiratorik dan metabolik)

8. Dipakainya sumber glikogen tubuh anak metabolisme anaerob

9. Terjadinya perubahan sistem kardiovaskular

10. Pernafasan terganggu


11. Detik jantung berkurang
12. Reflek / respon bayi melemah
13.Tonus otot menurun
14.Warna kulit biru atau pucat
E. Kemungkinan komplikasi yang muncul
Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :
a. Edema otak & Perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut
sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan
menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang
berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan
otak.
b. Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan
ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai
dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak
mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang
menyebabkan pengeluaran urine sedikit.
c. Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas
dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan
pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena
perfusi jaringan tak efektif.
d. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan
koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.

F. Pencegahan dan penanganan asfiksia neonatorum

Pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan, persalinan dan


beberapa saat setelah persalinan. Pencegahan berupa :

a) Melakukan pemeriksaan antenatal rutin minimal 4 kali kunjungan

b) Melakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap pada


kehamilan yang diduga berisiko bayinya lahir dengan asfiksia neonatorum.

c) Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk persalinan pada usia


kehamilan kurang dari 37 minggu.

d) Melakukan pemantauan yang baik terhadap kesejahteraan janin dan deteksi dini
terhadap tanda-tanda asfiksia fetal selama persalinan dengan kardiotokografi.

e) Meningkatkan ketrampilan tenaga obstetri dalam penanganan asfiksia


neonatorum di masing-masing tingkat pelayanan kesehatan.

f) Meningkatkan kerjasama tenaga obstetri dalam pemantauan dan penanganan


persalinan.
g) Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari :

Persalinan yang bersih dan aman

Stabilisasi suhu

Inisiasi pernapasan spontan

Inisiasi menyusu dini

Pencegahan infeksi serta pemberian imunisasi

Penanganan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir

Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang


dikenal sebagai ABC resusitasi, yaitu :

1. Memastikan saluran terbuka

- Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
- Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.
- Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran
pernafasan terbuka.

2. Memulai pernafasan

- Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan


- Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau
mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).

3. Mempertahankan sirkulasi

- Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara


- Kompresi dada.
- Pengobatan
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Asfiksia neonatorum merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka
Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera
ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek
promotif, kuratif dan rehabilitative.

B. Saran

Dari hasil kesimpulan yang telah dikemukakan maka dapat diberikan


saran-saran sebagai bahan masukan bagi pihak yang bersangkutan dalam
rangka meningkatkan kualitas dalam pemberian obat anti diuretik guna
menunjang peningkatan kualitas kesehatan ibu sehingga dapat menjadi
literature guna mendukung peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
khususnya kesehatan ibu.

DAFTAR PUSTAKA

Allen Carol Vestal, 1998, Memahami Proses Keperawatan, EGC : Jakarta


Aminullah Asril,1994, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina pustaka Sarwono
Prawirohardjo: Jakarta.

Aliyah Anna, dkk. 1997, Resusitasi Neonatal, Perkumpulan perinatologi


Indonesia (Perinasia):Jakarta

ASKEP ASFIKSIA NEONATORUM


A. PENGERTIAN
Asfiksia Neonatus adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang tidak segera
bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. (Mochtar, 1989)
Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan
teratur, sehingga dapat meurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang
menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. (Manuaba, 1998)
Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas
secara spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir (Mansjoer, 2000)
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila
proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau
kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya.
(Saiffudin, 2001)
Asfiksia lahir ditandai dengan hipoksemia (penurunan PaO2), hiperkarbia
(peningkatan PaCO2), dan asidosis (penurunan PH).

B. JENIS ASFIKSIA
Ada dua macam jenis asfiksia, yaitu :
1. Asfiksia livida (biru)
2. Asfiksia pallida (putih)

C. KLSIFIKASI ASFIKSIA
Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR
a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3
b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6
c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10

D. ETIOLOGI
Penyebab asfiksia menurut Mochtar (1989) adalah :
1. Asfiksia dalam kehamilan
a. Penyakit infeksi akut
b. Penyakit infeksi kronik
c. Keracunan oleh obat-obat bius
d. Uraemia dan toksemia gravidarum
e. Anemia berat
f. Cacat bawaan
g. Trauma
2. Asfiksia dalam persalinan
a. Kekurangan O2.
Partus lama (CPD, rigid serviks dan atonia/ insersi uteri)
Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus
mengganggu sirkulasi darah ke uri.
Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta.
Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepaladan panggul.
Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya.
Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio plasenta.
Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus), disfungsi uteri.

b. Paralisis pusat pernafasan


Trauma dari luar seperti oleh tindakan forseps
Trauma dari dalam : akibat obet bius.
Penyebab asfiksia Stright (2004)
1. Faktor ibu, meliputi amnionitis, anemia, diabetes hioertensi ynag diinduksi
oleh kehamilan, obat-obatan iinfeksi.
2. Faktor uterus, meliputi persalinan lama, persentasi janin abnormal.
3. Faktor plasenta, meliputi plasenta previa, solusio plasenta, insufisiensi
plasenta.
4. Faktor umbilikal, meliputi prolaps tali pusat, lilitan tali pusat.
5. Faktor janin, meliputi disproporsi sefalopelvis, kelainan kongenital, kesulitan
kelahiran.

E. MANIFESTASI KLINIK
1. Pada Kehamilan
Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang dari 100 x/mnt,
halus dan ireguler serta adanya pengeluaran mekonium.
Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia
Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang asfiksia
Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat

2. Pada bayi setelah lahir


a. Bayi pucat dan kebiru-biruan
b. Usaha bernafas minimal atau tidak ada
c. Hipoksia
d. Asidosis metabolik atau respiratori
e. Perubahan fungsi jantung
f. Kegagalan sistem multiorgan
g. Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala neurologik :
kejang, nistagmus, dan menangis kurang baik/ tidak menangis.

F. PATOFISIOLOGI
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan
terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika
kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi
lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih
cepat akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan
intrauterin dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan
mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir,
alveoli tidak berkembang.
Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung mulai
menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur
dan bayi memasuki periode apneu primer.
Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung
terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terluhat
lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki
periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan
darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak
bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya pernafasan
secara spontan. Kematian akan terjadi jika resusitasi dengan pernafasan buatan
dan pemberian tidak dimulai segera.

G. PATHWAY ASFIKSIA NEONATORUM


Untuk Melihat Pathway klik DI SINI
Untuk Mendownload Pathway klik DI SINI

H. KEMUNGKINAN KOMPLIKASI YANG MUNCUL


Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :
1. Edema otak & Perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut
sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan
menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang
berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan
otak.
2. Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan
ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai
dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak
mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang
menyebabkan pengeluaran urine sedikit.
3.Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas
dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan
pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena
perfusi jaringan tak efektif.
4. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan
koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.

I. PENATALAKSANAAN
Telah Di bahas sebelumnya di daLam PROSEDUR PENATALAKSANAAN ASFIKSIA
NEONATORUM

ASUHAN KEPERWATAN
PADA BAYI DENGAN ASFIKSIA

A. PENGKAJIAN
1. Sirkulasi
Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt. Tekanan darah 60
sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg (diastolik).
Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat
di kiri dari mediastinum pada ruang intercosta III/ IV.
Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan.
Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena.
2. Eliminasi
Dapat berkemih saat lahir.
3. Makanan/ cairan
Berat badan : 2500-4000 gram
Panjang badan : 44-45 cm
Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai gestasi)
4. Neurosensori
Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas.
Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit
pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris
(molding, edema, hematoma).
Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan
abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek narkotik yang memanjang)
5. Pernafasan
Skor APGAR : 1 menit......5 menit....... skor optimal harus antara 7-10.
Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat.
Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya silindrik
thorak : kartilago xifoid menonjol, umum terjadi.

6. Keamanan
Suhu rentang dari 36,5 C sampai 37,5 C. Ada verniks (jumlah dan distribusi
tergantung pada usia gestasi).
Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat, warna merah
muda atau kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar minor
(misal : kelahiran dengan forseps), atau perubahan warna herlequin, petekie
pada kepala/ wajah (dapat menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan
dengan kelahiran atau tanda nukhal), bercak portwine, nevi telengiektasis
(kelopak mata, antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak mongolia
(terutama punggung bawah dan bokong) dapat terlihat. Abrasi kulit kepala
mungkin ada (penempatan elektroda internal)

B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
PH tali pusat : tingkat 7,20 sampai 7,24 menunjukkan status parasidosis,
tingkat rendah menunjukkan asfiksia bermakna.
Hemoglobin/ hematokrit (HB/ Ht) : kadar Hb 15-20 gr dan Ht 43%-61%.
Tes combs langsung pada daerah tali pusat. Menentukan adanya kompleks
antigen-antibodi pada membran sel darah merah, menunjukkan kondisi
hemolitik.

C. PRIORITAS KEPERAWATAN
Meningkatkan upaya kardiovaskuler efektif.
Memberikan lingkungan termonetral dan mempertahankan suhu tubuh.
Mencegah cidera atau komplikasi.
Meningkatkan kedekatan orang tua-bayi.

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
I. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.
II. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi
III. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
IV. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi
pemajanan pada agen-agen infeksius.
V. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah.
VI. Proses keluarga terhenti b.d pergantian dalam status kesehatan anggota
keluarga.

E. INTERVENSI
DP I. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan jalan nafas lancar.
NOC I : Status Pernafasan : Kepatenan Jalan Nafas
Kriteria Hasil :
1. Tidak menunjukkan demam.
2. Tidak menunjukkan cemas.
3. Rata-rata repirasi dalam batas normal.
4. Pengeluaran sputum melalui jalan nafas.
5. Tidak ada suara nafas tambahan.
NOC II : Status Pernafasan : Pertukaran Gas
Kriteria Hasil :
1. Mudah dalam bernafas.
2. Tidak menunjukkan kegelisahan.
3. Tidak adanya sianosis.
4. PaCO2 dalam batas normal.
5. PaO2 dalam batas normal.
6. Keseimbangan perfusi ventilasi

Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC I : Suction jalan nafas
Intevensi :
1. Tentukan kebutuhan oral/ suction tracheal.
2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction .
3. Beritahu keluarga tentang suction.
4. Bersihkan daerah bagian tracheal setelah suction selesai dilakukan.
5. Monitor status oksigen pasien, status hemodinamik segera sebelum, selama
dan sesudah suction.
NIC II : Resusitasi : Neonatus
1. Siapkan perlengkapan resusitasi sebelum persalinan.
2. Tes resusitasi bagian suction dan aliran O2 untuk memastikan dapat berfungsi
dengan baik.
3. Tempatkan BBL di bawah lampu pemanas radiasi.
4. Masukkan laryngoskopy untuk memvisualisasi trachea untuk menghisap
mekonium.
5. Intubasi dengan endotracheal untuk mengeluarkan mekonium dari jalan nafas
bawah.
6. Berikan stimulasi taktil pada telapak kaki atau punggung bayi.
7. Monitor respirasi.
8. Lakukan auskultasi untuk memastikan vetilasi adekuat.

DP II. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan pola nafas menjadi efektif.
NOC : Status respirasi : Ventilasi
Kriteria hasil :
1. Pasien menunjukkan pola nafas yang efektif.
2. Ekspansi dada simetris.
3. Tidak ada bunyi nafas tambahan.
4. Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal.
Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC : Manajemen jalan nafas
Intervensi :
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan melakukan pengisapan lender.
2) Pantau status pernafasan dan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan.
3) Auskultasi jalan nafas untuk mengetahui adanya penurunan ventilasi.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemeriksaan AGD dan pemakaian alan bantu
nafas
5) Siapkan pasien untuk ventilasi mekanik bila perlu.
6) Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan.

DP III. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan pertukaran gas teratasi.
NOC : Status respiratorius : Pertukaran gas
Kriteria hasil :
1. Tidak sesak nafas
2. Fungsi paru dalam batas normal
Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC : Manajemen asam basa
Intervensi :
1) Kaji bunyi paru, frekuensi nafas, kedalaman nafas dan produksi sputum.
2) Pantau saturasi O2 dengan oksimetri
3) Pantau hasil Analisa Gas Darah

DP IV. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi
pemajanan pada agen-agen infeksius.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan risiko cidera dapat dicegah.
NOC : Pengetahuan : Keamanan Anak
Kriteria hasil :
1. Bebas dari cidera/ komplikasi.
2. Mendeskripsikan aktivitas yang tepat dari level perkembangan anak.
3. Mendeskripsikan teknik pertolongan pertama.
Keterangan Skala :
1 : Tidak sama sekali
2 : Sedikit
3 : Agak
4 : Kadang
5 : Selalu
NIC : Kontrol Infeksi
Intervensi :
1. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah merawat bayi.
2. Pakai sarung tangan steril.
3. Lakukan pengkajian fisik secara rutin terhadap bayi baru lahir, perhatikan
pembuluh darah tali pusat dan adanya anomali.
4. Ajarkan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi dan melaporkannya pada
pemberi pelayanan kesehatan.
5. Berikan agen imunisasi sesuai indikasi (imunoglobulin hepatitis B dari vaksin
hepatitis B bila serum ibu mengandung antigen permukaan hepatitis B (Hbs Ag),
antigen inti hepatitis B (Hbs Ag) atau antigen E (Hbe Ag).

DP V. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam


darah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan suhu tubuh normal.
NOC I : Termoregulasi : Neonatus
Kriteria Hasil :
1. Temperatur badan dalam batas normal.
2. Tidak terjadi distress pernafasan.
3. Tidak gelisah.
4. Perubahan warna kulit.
5. Bilirubin dalam batas normal.
Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC I : Perawatan Hipotermi
Intervensi :
1. Hindarkan pasien dari kedinginan dan tempatkan pada lingkungan yang
hangat.
2. Monitor gejala yang berhubungan dengan hipotermi, misal fatigue, apatis,
perubahan warna kulit dll.
3. Monitor temperatur dan warna kulit.
4. Monitor TTV.
5. Monitor adanya bradikardi.
6. Monitor status pernafasan.
NIC II : Temperatur Regulasi
Intervensi :
1. Monitor temperatur BBL setiap 2 jam sampai suhu stabil.
2. Jaga temperatur suhu tubuh bayi agar tetap hangat.
3. Tempatkan BBL pada inkubator bila perlu.

DP VI. Proses keluarga terhenti b.d pergantian dalam status kesehatan anggota
keluarga.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan koping keluarga adekuat.
NOC I : Koping keluarga
Kriteria Hasil :
1. Percaya dapat mengatasi masalah.
2. Kestabilan prioritas.
3. Mempunyai rencana darurat.
4. Mengatur ulang cara perawatan.
Keterangan skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NOC II : Status Kesehatan Keluarga
Kriteria Hasil :
1. Status kekebalan anggota keluarga.
2. Anak mendapatkan perawatan tindakan pencegahan.
3. Akses perawatan kesehatan.
4. Kesehatan fisik anggota keluarga.
Keterangan Skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC I : Pemeliharaan proses keluarga
Intervensi :
1. Tentukan tipe proses keluarga.
2. Identifikasi efek pertukaran peran dalam proses keluarga.
3. Bantu anggota keluarga untuk menggunakan mekanisme support yang ada.
4. Bantu anggota keluarga untuk merencanakan strategi normal dalam segala
situasi.
NIC II : Dukungan Keluarga
Intervensi :
1. Pastikan anggota keluarga bahwa pasien memperoleh perawat yang terbaik.
2. Tentukan prognosis beban psikologi dari keluarga.
3. Beri harapan realistik.
4. Identifikasi alam spiritual yang diberikan keluarga.

E. EVALUASI
DP I. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.
NOC I
Kriteria Hasil :
1. Tidak menunjukkan demam.(skala 3)
2. Tidak menunjukkan cemas.(skala 3)
3. Rata-rata repirasi dalam batas normal.(skala 3)
4. Pengeluaran sputum melalui jalan nafas.(skala 3)
5. Tidak ada suara nafas tambahan.(skala 3)

NOC II
Kriteria Hasil :
1. Mudah dalam bernafas.(skala 3)
2. Tidak menunjukkan kegelisahan.(skala 3)
3. Tidak adanya sianosis.(skala 3)
4. PaCO2 dalam batas normal.(skala 3)
5. PaO2 dalam batas normal.(skala 3)

DP II. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi.


Kriteria hasil :
1. Pasien menunjukkan pola nafas yang efektif.(skala 3)
2. Ekspansi dada simetris.(skala 3)
3. Tidak ada bunyi nafas tambahan.(skala 3)
4. Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal.(skala 3)

DP III. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.


Kriteria hasil :
1. Tidak sesak nafas.(skala 3)
2. Fungsi paru dalam batas normal.(skala 3)
DP IV. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi
pemajanan pada agen-agen infeksius.
1. Bebas dari cidera/ komplikasi.(skala 4)
2. Mendeskripsikan aktivitas yang tepat dari level perkembangan anak.(skala 4)
3. Mendeskripsikan teknik pertolongan pertama.(skala 4)
DP V. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam
darah.
NOC I
Kriteria Hasil :
1. Temperatur badan dalam batas normal.(skala 3)
2. Tidak terjadi distress pernafasan. (skala 3)
3. Tidak gelisah. (skala 3)
4. Perubahan warna kulit. (skala 3)
5. Bilirubin dalam batas normal. (skala 3)
NOC II
Kriteria Hasil :
1. Status kekebalan anggota keluarga. (skala 3)
2. Anak mendapatkan perawatan tindakan pencegahan. (skala 3)
3. Akses perawatan kesehatan. (skala 3)
4. Kesehatan fisik anggota keluarga. (skala 3)

DP IV. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi
pemajanan pada agen-agen infeksius.
NOC I
Kriteria Hasil :
1. Percaya dapat mengatasi masalah. (skala 3)
2. Kestabilan prioritas. (skala 3)
3. Mempunyai rencana darurat. (skala 3)
4. Mengatur ulang cara perawatan. (skala 3)
NOC II
Kriteria Hasil :
1. Status kekebalan anggota keluarga. (skala 3)
2. Anak mendapatkan perawatan tindakan pencegahan. (skala 3)
3. Akses perawatan kesehatan. (skala 3)
4. Kesehatan fisik anggota keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC


Hassan, R dkk. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid 3. Jakarta : Informedika
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid II. Jakarta : Media
Aesculapius.
Santosa, B. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Definisi dan
Klasifikasi. Jakarta : Prima Medika.
Wilkinson. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Criteria Hasil NOC. Edisi 7. Jakarta : EGC
Manuaba, I. B. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana. Jakarta : EGC
Mochtar. R. 1989. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC
Saifudin. A. B. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Straight. B. R. 2004. Keperawatan Ibu Baru Lahir. Edisi 3. Jakarta : EGC
terdapat pada http://www.freewebs.com/asfiksia/polacederaasfiksia.htm

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebijakan pemerintah dalam pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010

menempatkan kesehatan ibu dan anak sebagai prioritas penting karena anak adalah harapan

bangsa di masa yang akan datang. Kemajuan bangsa di masa mendatang akan sangat

tergantung dari kondisi kesehatan anak saat ini.

Dalam rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 terdapat beberapa

program unggulan yang berhubungan dengan kesehatan anak yaitu program perbaikan gizi,

penanggulangan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, peningkatan kesehatan

keluarga, kesehatan reproduksi dan keluarga berencana, kesehatan lingkungan pemukiman,

air dan udara sehat dan pencegahan kecelakaan. Program-program tersebut dilakukan melalui

upaya kesehatan seperti pemeriksaan ibu hamil, imunisasi, pertolongan persalinan,

penanggulangan penyakit-penyakit penyebab kematian, deteksi dini dan stimulasi tumbuh

kembang anak serta upaya kesehatan sekolah.

Beberapa indikator terkait dengan kesejahteraan anak menjadi indikator penting dalam

menentukan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan terutama dalam menilai

keberhasilan pelayanan kesehatan dan pembangunan di bidang kesehatan. Indikator tersebut

adalah angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian balita (AKABA).
Angka kematian bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) adalah jumlah

kematian bayi di bawah usia 1 tahun per 1000 kelahiran hidup. Angka ini merupakan

indikator yang sensistif terhadap ketersediaan, pemanfaatan dan kualitas pelayanan kesehatan

terutama pelayanan perinatal. AKB juga berhubungan dengan pendapatan keluarga, jumlah

anggota keluarga, pendidikan ibu dan keadaan gizi keluarga.

Angka kematian bayi (AKB) pada tahun 2000 berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar

Sensus (SUPAS) adalah 44 per 1000 kelahiran hidup. Sementara estimasi SUSENAS, angka

kematian bayi pada tahun 2001 adalah 50 per 1000 kelahiran hidup. Kematian bayi tersebut

disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti yang tercantum pada tabel di bawah ini :

Tabel 1.1

Proporsi Penyakit Penyebab Kematian Bayi di Indonesia Tahun 2001

No. Jenis Penyakit %

1. Gangguan Perinatal 34,7 %

2. Sistem Pernafasan 24,6 %

3. Diare 9,4 %

4. Sistem Pencernaan 4,3 %

5. Gejala Tidak Jelas 4,1 %

6. Tetanus 3,4 %
7. Syaraf 3,2 %

Sumber : SURKESNAS 2001

Indikator selanjutnya adalah angka kematian balita (AKABA). Angka kematian balita adalah

jumlah anak yang meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun per 1000 kelahiran hidup.

Angka kematian balita ini menggambarkan keadaan lingkungan yang berpengaruh terhadap

kesehatan balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan.

Angka kematian balita pada tahun 2001 menurut SUSENAS adalah 64 per 1000 kelahiran

hidup. Penyebab kematian balita menurut SUSENAS 2001 dapat dilihat pada tabel di bawah

ini :

Tabel 1.2

Pola Penyakit Penyebab Kematian Balita di Indonesia Tahun 2001

No. Jenis Penyakit %

1. Sistem Pernafasan 22,8 %

2. Diare 13,2 %

3. Syaraf 11,8 %

4. Tifus 11,1 %

5. Sistem Pencernaan 5,9 %


6. Infeksi Lain 5,1 %

Sumber : SURKESNAS 2001

Berdasarkan data di atas maka penyebab terbanyak kematian bayi dan balita adalah gangguan

perinatal dan penyakit-penyakit sistem pernafasan. Menurut Yunanto, dkk (2003) upaya

menurunkan angka kematian bayi dilakukan dengan mempercepat usaha rujukan agar bayi

resiko tinggi dapat segera mendapat pertolongan. Bayi-bayi yang termasuk ke dalam

kelompok resiko tinggi adalah bayi berat lahir rendah (BBLR), asfiksia pada bayi baru lahir,

kejang, sesak nafas, perut kembung, kuning pada bayi dan perdarahan pada bayi.

Rujukan pelayanan kesehatan ini terutama ditujukan kepada bayi baru lahir beresiko
tinggi yang mengalami kegawatan perinatal atau perinatal distress. Kegawatan perinatal
disebabkan oleh berbagai gangguan yang berpotensi meningkatkan kematian atau kesakitan
pada neonatus. Akibat gangguan tersebut bayi akan sakit sehingga pertumbuhannya
terhambat atau kemampuan adaptasinya terganggu atau bahkan menimbulkan kematian.

Kegawatan perinatal ini bisa terjadi pada bayi aterm maupun preterm, bayi dengan
berat lahir cukup maupun dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR yang
pretrem berpotensi mengalami kegawatan lebih besar. Berbagai jenis kegawatan yang sering
dijumpai di lapangan dan mempunyai angka morbiditas dan mortalitas cukup tinggi serta
penanganan segera yaitu trauma kelahiran, asfiksia neonatorum, sindroma gawat nafas
neonatus, hiperbilirubinemia, infeksi, kejang dan renjatan atau syok (Yunanto, dkk, 2003).

Kegawatan pernafasan juga dapat terjadi pada bayi dengan penyakit pernafasan dapat
menimbulkan dampak yang cukup berat bagi berupa terjadinya henti nafas atau bahkan
kematian. Akibat dari gangguan pada sistem pernafasan adalah terjadinya kekurangan
oksigen (hipoksia) pada tubuh.

bayi akan beradapatasi terhadap kekurangan oksigen dengan mengaktifkan metabolisme


anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin berat dan lama, metabolisme anaerob akan
menghasilkan asam laktat. Dengan memburuknya keadaan asidosis dan penurunan aliran
darah ke otak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain (Yu dan Monintja, 1997).
Selanjutnya dapat terjadi depresi pernafasan yang dimanifestasikan dengan apneu yang
memanjang bahkan dapat menyebabkan kematian.

Depresi nafas yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang hanya dapat diatasi
dengan pemberian oksigen dengan tekanan positif, massase jantung eksternal dan koreksi
keadaan asidosis. Hanya setelah oksigenasi dan perfusi jaringan diperbaiki maka aktivitas
respirasi dimulai (Yu dan Monintja, 1997).

Pendapat tersebut menekankan pentingnya tindakan resusitasi dengan segera. Makin lambat
dimulainya tindakan resusitasi yang efektif maka akan makin lambat pula timbulnya usaha
nafas dan makin tinggi pula resiko kematian dan kecacatan. Hal ini diperkuat dengan
pendapat Nelson (1999) yang menyatakan bahwa peluang keberhasilan tata laksana penderita
dengan henti nafas menitikberatkan pada pentingnya kemampuan tata laksana karena
peningkatan hasil akhir pasca henti pernafasan dihubungkan dengan kecepatan dilakukannya
resusitasi jantung paru.

Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung dan organ-organ

vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan jantung dan menjamin

ventilasi yang adekwat (Rilantono, 1999). Tindakan ini merupakan tindakan kritis yang

dilakukan pada saat terjadi kegawatdaruratan terutama pada sistem pernafasan dan sistem

kardiovaskuler. kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini dapat menimbulkan kematian

dalam waktu yang singkat (sekitar 4 6 menit).

Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan segera sebagai upaya
untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997). Resusitasi pada anak yang mengalami
gawat nafas merupakan tindakan kritis yang harus dilakukan oleh perawat yang kompeten.
Perawat harus dapat membuat keputusan yang tepat pada saat kritis. Kemampuan ini
memerlukan penguasaan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang unik pada situasi
kritis dan mampu menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien kritis (Hudak dan
Gallo, 1997).

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

Apabila perilaku didasari pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku bersifat langgeng

(Notoatmodjo, 2003). Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang

luas. Terbentuknya suatu perilaku baru terutama pada orang dewasa dimulai dari domain

kognitif, dalam arti subjek terlebih dahulu mengetahui terhadap stimulus yang berupa materi

atau obyek luarnya sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subyek tersebut.

Pengetahuan perawat tentang resusitasi merupakan modal yang sangat penting untuk

pelaksanaan tindakan resusitasi pada situasi kritis. Pengetahuan ini menentukan keberhasilan
tindakan resusitasi. Pengetahuan tentang resusitasi didapat melalui pendidikan, pelatihan atau

pengalaman selama bekerja.

Pengetahuan tentang kegawatan nafas dan tindakan resusitasi di Ruang NICU, Ruang

Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon harus dikuasai dengan baik oleh

perawat karena RSUD Gunung Jati Cirebon adalah rumah sakit pendidikan tipe B yang

menerima rujukan dari Wilayah III Cirebon yang meliputi Kabupaten Cirebon, Indramayu,

Majalengka dan Kuningan.

Tabel 1.3
Data Pasien Rawat Inap Ruang NICU
Bulan Desember 2004 Februari 2005

Kasus Kematian

No. Bulan Jenis Penyakit


% %

total

1. Desembe Prematur RDS 6 33.3 8 44.4


r
Asfiksia Neonatorum 7 38.9
2004
Ikterik Neonatorum 4 22.2

Hirschprung 1 5.6

Jumlah 18 100 8 44.4

2. Januari Prematur RDS 8 29.6 13 48.1


15 55.6

2005 Asfiksia Neonatorum 2 7.4

Icterik Neonatorum 2 7.4

Hirschprung

Jumlah 27 100 13 48.1

3. Februari Prematur RDS 10 47.6 4 19

2005 Asfiksia Neonatorum 8 38.1

Omphalokel 1 4.8

Kelainan Jantung 1 4.8


Kongenital
1 4.8
Palatoskizis

Jumlah 21 100 4 19

Sumber : Sub Bagian Rekam Medik RSUD Gunung Jati Cirebon

Sebagai rumah sakit rujukan, RSUD Gunung Jati Cirebon menerima rujukan

pelayanan kesehatan dari beberapa rumah sakit di Wilayah III Cirebon, termasuk masalah-

masalah kegawatan pada neonatus, bayi dan anak yang memerlukan perawatan lebih lanjut

dan seringkali pasien-pasien yang dirujuk adalah pasien-pasien dalam keadaan kritis dengan

prognosa yang buruk.

Data pasien rawat inap di Ruang NICU (tabel 1.3) menunjukkan jumlah pasien dan jenis-

jenis penyakit serta kematian neonatus yang terjadi selama Bulan Desember 2004 sampai

dengan bulan Februari 2005. Data tersebut menggambarkan prosentase kasus kegawatan
pernafasan yaitu RDS dan asfiksia neonatorum sebesar 72,2 % pada bulan Desember 2004,

pada bulan Januari 2005 sebesar 81,5 % dan 85,7 % pada bulan Februari 2005.

Begitu pula data pasien rawat inap Ruang Perinatologi (tabel 1.4) menggambarkan

bahwa sebagian besar neonatus yang dirawat berpotensi mengalami kegawatan pernafasan.

Sementara neonatus yang dirawat di ruang anak sebagian besar juga mengalami gangguan

pernafasan dan yang paling sering adalah bronkhopeumoni (BP) dan Ruang Anak juga

merupakan ruang perawatan untuk neonatus dengan kegawatan pernafasan apabila Ruang

NICU penuh.

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar neonatus yang dirawat

terutama di Ruang NICU dan Ruang Perinatologi adalah penderita gangguan pernafasan yang

berpotensi mengalami kegawatan pernafasan sehingga perawat harus selalu siap

melaksanakan tindakan resusitasi terutama pada saat pasien jatuh ke dalam kondisi kritis

untuk mencegah kecacatan atau bahkan kematian.

Tabel 1.4
Data Pasien Rawat Inap Ruang Perinatologi
Bulan Desember 2004 Februari 2005

Kasus Kematian

No. Bulan Jenis Penyakit


% %

total

1. Desembe Normal 23 13,8 3 1,8


r 62 37,2

2004 Asfiksia Ringan 24 14,4

Asfiksia Sedang 29 17,4

Asfiksia Berat 29 17,4

BBLR

Jumlah 167 100 3 1,8

2. Januari Normal 23 15,6 4 2,7

2005 Asfiksia Ringan 39 26,5

Asfiksia Sedang 21 14,3

Asfiksia Berat 33 22,4

BBLR 31 21,2

Jumlah 147 100 4 2,7

3. Februari Normal 23 20,0 1 0,9

2005 Asfiksia Ringan 37 32,2

Asfiksia Sedang 20 17,4

Asfiksia Berat 18 15,6

BBLR 17 14,8

Jumlah 115 100 1 0,9

Sumber : Sub Bagian Rekam Medik RSUD Gunung Jati Cirebon


Tindakan resusitasi di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak hampir

selalu dilakukan oleh perawat karena terbatasnya tenaga dokter terutama pada saat-saat

tertentu seperti pada saat sore atau malam. Kewenangan perawat ini telah diatur dalam

kebijakan rumah sakit mengenai standar prosedur serta operasional dalam penanganan pasien

neonatus, bayi dan anak yang mengalami kondisi kritis. Oleh karena itu perawat harus

menguasai pengetahuan dan keterampilan resusitasi dengan baik agar dapat melakukan

tindakan resusitasi secara efektif untuk mencegah kecacatan atau kematian.

Data tenaga keperawatan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak

menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan perawat sebagian besar DIII yaitu sebanyak

28 orang, SPK sebanyak 8 orang dan bidan sebanyak 1 orang. Perawat yang telah mengikuti

pelatihan resusitasi adalah 5 orang dari 37 perawat dari tiga ruangan tersebut. Perawat yang

belum mengikuti pelatihan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan melakukan resusitasi

dari contoh yang diberikan oleh kepala ruangan atau perawat yang telah mengikuti pelatihan.

Tabel 1.5

Latar Belakang Pendidikan Perawat Pelaksana

Di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak

RSUD Gunung Jati Cirebon Tahun 2005

Pendidikan Jumlah
No. Ruang
Bidan SPK D3 S1

1. NICU - 3 9 - 12
2. Perinatologi 1 3 7 - 11

3. Anak - 2 11 - 13

Jumlah 1 8 27 - 36

Sumber : Sub Bagian Kepegawaian RSUD Gunung Jati Cirebon

Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
Pengetahuan Perawat Tentang Kegawatan Nafas dan Tindakan Resusitasi Pada Neonatus
Yang Mengalami Kegawatan Pernafasan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang
Anak RSUD Gunung Jati Cirebon.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan diatas maka peneliti
merumuskan masalah penelitian sebagai berikut, bagaimanakah pengetahuan perawat tentang
kegawatan nafas dan tindakan resusitasi pada neonatus yang mengalami kegawatan
pernafasan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon
?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran mengenai


pengetahuan perawat tentang kegawatan nafas dan tindakan resusitasi pada neonatus yang
mengalami kegawatan pernafasan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak di
RSUD Gunung Jati Cirebon.

1.3.2 Tujuan Khusus

Mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang kegawatan nafas dan tindakan resusitasi pada
neonatus yang mengalami kegawatan pernafasan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan
Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon meliputi :

1) Mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang konsep kegawatan pernafasan pada


neonatus.

2) Mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang asuhan keperawatan pada neonatus yang


mengalami kegawatan pernafasan, meliputi pengkajian, perencanaan dan evaluasi.
3) Mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang konsep resusitasi pada neonatus meliputi
pengertian, tujuan, serta teknik resusitasi terdiri dari pengelolaan jalan nafas (airway),
bantuan ventilasi (breathing) dan sirkulasi darah dengan cara pemijatan dada
(circulation).

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pengelola RSUD
Gunung Jati Cirebon mengenai pengetahuan perawat tentang kegawatan nafas dan tindakan
resusitasi pada neonatus yang mengalami kegawatan pernafasan di Ruang NICU, Ruang
Perinatologi dan Ruang Anak sehingga dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan
dalam penatalaksanaan situasi krisis.

Disamping itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi penelitian selanjutnya
yang berhubungan dengan penatalaksanaan kegawatan pada neonatus di RSUD Gunung Jati
Cirebon.

1.5 Kerangka Pemikiran

Kegawatan pernafasan pada neonatus dapat terjadi karena berbagai sebab penyakit

yang mengganggu sistem pernafasan secara langsung atau karena sebab sekunder lainnya.

Kegawatan ini menimbulkan dampak negatif bagi tubuh bayi berupa terjadinya kekurangan

oksigen pada tubuh (hipoksia). Tubuh bayi akan beradaptasi dengan cara mengaktifkan

metabolisme anaerob yang menghasilkan asam laktat. Keadaan asidosis dan penurunan aliran

darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan pada otak (Yu dan Monintja, 1997).

Akibat dari hipoksia akan bertambah buruk apabila tidak segera dilakukan penanganan yang

sempurna sehingga tujuan tindakan yang dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan

hidupnya dan membatasi gejala lanjut yang mungkin timbul tidak tercapai.

Pada neonatus yang mengalami kekurangan oksigen akan terjadi pernafasan yang

cepat dalam periode yang singkat. Apabila hipoksia berlanjut, gerakan pernafasan akan

berhenti, denyut jantung mulai menurun dan tonus otot neuromuskuler berkurang secara

berangsur-angsur. Pada fase ini akan terjadi apneu primer. Apabila hipoksia berlanjut, denyut

jantung terus menurun, tekanan darah akan semakin menurun, bayi akan terlihat lemas

(flacid), kadar oksigen dalam darah darah terus menurun, bayi tidak bereaksi terhadap
rangsangan dan tidak menunjukan upaya pernafasan secara spontan. Pada fase ini akan terjadi

apneu sekunder dan akan terjadi kematian bila tidak segera dilakukan resusitasi dengan

pernafasan buatan (Syaifuddin,2002).

Secara klinis keadaan apneu primer atau apneu sekunder sulit dibedakan. Hal ini berarti

bahwa dalam menghadapi bayi dengan kondisi apneu, harus dianggap bahwa bayi mengalami

apneu sekunder dan harus segera dilakukan resusitasi.

Resusitasi bertujuan memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah

jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen ke otak, jantung dan alat vital lainnya.

Tindakan resusitasi mengikuti tahapan yang dikenal sebagai ABC Resusitasi yaitu:

A : Airway, mempertahankan saluran nafas terbuka meliputi kegiatan meletakan bayi dengan

posisi sedikit ekstensi, menghisap mulut dan hidung bayi .

B : Breathing, memberikan pernafasan buatan meliputi kegiatan melakukan rangsang taktil

untuk memulai pernafasan, melakukan ventilasi tekanan positif dengan sungkup dan

balon.

C : Circulation, mempertahankan sirkulasi (peredaran) darah meliputi kegiatan

mempertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada.

Resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan segera sebagai upaya untuk
menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997). Tindakan ini memerlukan penguasaan
pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang unik pada situasi kritis dan mampu
menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien kritis (Hudak dan Gallo, 1997).
Keterampilan melaksanakan tindakan resusitasi merupakan salah satu kompetensi profesional
yang harus dikuasai perawat dalam menghadapi situasi kritis.

Kegawatan Pernafasan

Pada Neonatus
Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

Baik Kurang
Cukup

Keterangan:

: diteliti

: tidak diteliti

Kompetensi keperawatan profesional adalah perilaku yang didasarkan pada keyakinan, sikap
dan pengetahuan yang sesuai dengan serangkaian hasil yang diharapkan seperti yang
ditetapkan dalam area praktik keperawatan, kebijakan, kode etik, standar, pedoman dan
benchmark yang menjamin kinerja yang aman dalam kegiatan profesional.

Pembentukan perilaku sangat ditentukan oleh domain kognitif sehingga apabila perilaku
didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng
(Notoatmodjo, 2003). Dengan demikian maka agar perawat dapat melakukan tindakan
resusitasi secara efektif maka perawat harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang
tindakan resusitasi itu sendiri.

1.6 Definisi Konseptual dan Operasional

1.6.1 Definisi Konseptual

1) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu (Notoatmodjo, 2003).

2) Perawat

Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 pasal 1 ayat 3 dan pasal
32 ayat 3 dan 4, perawat adalah tenaga kesehatan yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan di
bidang kesehatan, khususnya keperawatan sehingga mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk melakukan upaya kesehatan berupa pelaksanaan praktik keperawatan.

3) Resusitasi

Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan kembali


kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi jantung dan
paru, yang berorientasi pada otak (Tjokronegoro, 1998).

4) Neonatus

Neonatus adalah bayi baru lahir sampai berumur 4 minggu (Markum, 1999).

5) Kegawatan Pernafasan

Kegawatan pernafasan adalah keadaan kekurangan oksigen yang terjadi dalam jangka waktu
relatif lama sehingga mengaktifkan metabolisme anaerob yang menghasilkan asam laktat.
Dimana apabila keadaan asidosis memburuk dan terjadi penurunan aliran darah ke otak maka
akan terjadi kerusakan otak dan organ lain. Selanjutnya dapat terjadi depresi pernafasan yang
dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang dan bahkan dapat menyebabkan kematian
(Yu dan Monintja, 1997).

1.6.2 Definisi Operasional

1) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Tingkat pengetahuan yang diukur dalam
penelitian ini adalah tingkat pengetahuan dari rentang tahu (C1), memahami (C2), aplikasi
(C3), analisa (C4), sintesis (C5) dan evaluasi (C6). Hasil penelitian dikategorikan ke dalam 3
kriteria, yaitu responden dikatakan memiliki pengetahuan yang baik apabila mempunyai
persentase nilai antara 76 100%, cukup apabila 60 75% dan responden dikatakan
memiliki pengetahuan kurang apabila persentase nilai kurang dari 60%.

Pengetahuan perawat tentang kegawatan nafas dan tindakan resusitasi pada neonatus
adalah segala sesuatu yang diketahui oleh perawat mengenai resusitasi meliputi pengetahuan
tentang konsep dasar kegawatan pernafasan, asuhan keperawatan pada neonatus dengan
kegawatan pernafasan dan langkah-langkah pelaksanaan resusitasi yang meliputi:
pengelolaan jalan nafas (airway), pemberian ventilasi buatan (breathing), dan pemeliharaan
peredaran darah (circulation)

2) Perawat

Perawat adalah tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
melakukan pelaksanaan praktik keperawatan dan telah ditugaskan di Ruang NICU, Ruang
Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon.

3) Resusitasi

Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan kembali


kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi jantung dan
paru, yang berorientasi pada otak melalui tindakan pembebasan jalan nafas (airway),
pemberian bantuan nafas (breathing) dan pemijatan dada untuk menjaga sirkulasi yang
adekwat (circulation).

4) Kegawatan Pernafasan

Keadaan dimana terjadi kekurangan oksigen pada tubuh dalam jangka waktu relatif
lama yang ditandai dengan kesulitan bernafas serta ditemukan tanda-tanda seperti takhipneu,
pernafasan cuping hidung, mendengkur, sianosis, pucat, kelelahan, retraksi dinding dada dan
takhikardi.

5) Neonatus

Neonatus adalah pasien dengan gangguan pernafasan yang dirawat di Ruang NICU,
Ruang Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon dengan usia 0 28 hari.

Anda mungkin juga menyukai