PENDAHULUAN
(a) (b)
Gambar 2.3 (a) Edema pada ekskremitas bawah, (b) Edema pada Vulva.1
Ada beberapa Alarm Symptoms yang dapat dijumpai pada saat pemeriksaan
fisik yaitu:1
1. Nyeri kepala akut (umumnya dirasakan di regio frontal dan oksipital)
2. Gangguan tidur
3. Jumlah urin (dalam 24 jam) yang berkurang (umumnya kurang dari 400ml/24
jam)
4. Nyeri epigastrik (umumnya nyeri akut pada regio epigastrik yang
berhubungan dengan muntah yang berwarna hitam seperti kopi akibat adanya
perdarahan pada gaster atau perdarahan subskapular pada hepar.
5. Gangguan visual (umumnya dijumpai adanya penglihatan yang kabur,
skotomata, hingga kebutaan total. Gejala mata yang dapat dijumpai adalah
adanya infark pada retina, kerusakan pada lobus oksipital, serta ablasi retina.
Penglihatan dapat kembali normal setelah 4-6 minggu setelah melahirkan.
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan urin rutin, dimana
dapat dijumpai adanya proteinuria lebih dari 5g/24 jam. Akan tetapi, pada kasus
preeklampsia berat, kriteria proteinuria sudah dihilangkan sebagai salah satu kriteria
dalam penegakan diagnosis pre eklampsia berat. Hal tersebut dikarenakan pada
manajemen ekspektatif tidak terkait dengan perburukan pada ibu dan bayi yang baru
lahir. Pada pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai adanya trombositopenia
(<100.000/mm3), anemia mikroangiopati hemolitik, peningkatan enzim hati, dan
peningkatan kadar kreatinin >1.1mg/dl.5
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklampsia
berat/eklampsia. Ada dua pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan pada pasien
pre eklampsia berat/eklampsia, yaitu:2
1. Pemeriksan CT Scan
Pada pemeriksaan CT Scan dapat dijumpai adanya kelainan otak sebesar 50%.
Kelainan yang sering dijumpai pada pemeriksaan CT Scan adalah adanya gambaran
hipodensitas pada area white matter. Selain itu dapat juga dijumpai adanya
hipodensitas pada area serebral, kortikal dan basal serta edema difus. Akan tetapi,
pada pasien dengan pre eklampsia berat atau eklampsia jarang dijumapai adanya
infark ataupun perdarahan pada pemeriksaan CT Scan.
2. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging
Pada pemeriksaan MRI, Intentistas T2 yang tinggi dapat dijumpai pada area
korteks serebral dan white matter yang menandakan adanya edema serebral. Akan
tetapi, perbedaan antara pre eklampsia berat dan eklampsia berdasarkan hasil MRI
sangat sulit untuk diidentifikasi perbedaan keduanya. Digre telah melakukan evaluasi
pada 16 wanita dengan pre eklampsia berat dan sepuluh wanita dengan eklampsia.
Hasil yang ditemukan adalah bahwa 50% pada wanita pre eklampsia berat memiliki
pemindaian yang abnormal dengan fokus spesifik tidak ada sinyal yang meningkat
pada area white matter otak yang mendalam pada gambar T2. Sedangkan pada
wanita dengan eklampsia ditemukan adanya area multifokal dengan peningkatan
sinyal di area gray-white matter pada gambar T2 atau edema dan perdarahan.
2.8 Tatalaksana Pre eklampsia berat dan Eklampsia
Manajemen penatalaksanaan kasus pre eklampsia berat dan eklampsia
membutuhkan kerja sama tim dalam pelaksanaannya. Adapun beberapa bagian yang
terlibat adalah dokter obstetri dan ginekologi, bidan, dokter anestesi, dokter
hematologi dan dokter pediatrik (jika dibutuhkan).
Berdasarkan guidline yang dikeluarkan oleh The Royal Woman’s Hospital,
ada beberapa hal yang dapat dilakukan pada manajemen penatalaksanaan pre
eklampsia berat, yaitu:12
1. Mengontrol tekanan darah
Mengontrol tekanan darah merupakan poin yang cukup penting pada kasus
pre eklampsia berat, dimana tekanan darah ini mempengaruhi manajemen persalinan
yang akan dilakukan kepada pasien. Tekanan darah pada pasien pre eklampsia berat
sebaiknya berada rentang >140/90-<160/100 mmHg. Apabila tekanan darah
diturunkan terlalu rendah, maka dapat memiliki efek yang berbahaya bagi janin
pasien. Terapi antihipertensi hanya dapat diberikan apabila tekanan darah pasien
>170/110 mmHg. Pada pasien dengan tekanan darah yang sangat tinggi dapat
diberikan obat antihipertensi intravena seperti Labetalol. Labatalol intravena
merupakan pilihan anti hipertensi yang tepat pada pasien dengan tekanan darah yang
sangat tinggi dan dalam kondisi emergensi. Hal tersebut dikarenakan obat ini
memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan obat
antihipertensi hydralzine. Akan tetapi, Hydralzine merupakan pilihan yang tepat pada
pasien dengan riwayat menderita asma dan gagal jantung kongestif.
2. Pemberian Magnesium Sulfat
Pada pasien pre eklampsia berat dapat diberikan terapi magnesium sebagian
profilaksis untuk terjadinya kejang. Magnesium sulfat diberikan sesuai prosedur dan
dilanjutkan dengan pemberian melalui intravena secara maintenance. Kemudian
dapat dilakukan pemeriksaan kadar magnesium di dalam darah setiap 6 jam pada fase
antepartum dan intrapartum, dengan batas kadar magnesium di dalam darah berkisar
1.7-3.5mmol/L. Hal ini bertujuan untuk memastikan dosis terapeutik dapat tercapai.
Target yang tekanan darah diastolik yang dapat dicapai dengan pemberian
magnesium adalah 90-100mmHg.
3. Keseimbangan cairan
Guidline ini merekomendasikan pemberian larutan normal saline 0.9%
sebanyak 1L dengan menggunakan infus pump, dengan kecepatan pemberian tidak
lebih dari 84ml/jam. Selain itu dapat juga dilakukan perhitungan cairan pada pasien
untuk mengevaluasi jumlah urin pasien/jam. Apabila pasien mengalami oliguri, ada
bebebrapa langkah manajemen yang dapat dilakukan, yaitu:
a. Apabila oliguri masih terjadi, dapat dipretimbangkan pemberian larutan
Hartmann’s sebanyak 250ml.
b. Apabila oliguri masih terjadi, dapat dilakukan konsultasi kepada dokter
obstetri klinis dan dokter anestesi. Pemasangan CVC dapat
dipertimbangkan.
c. Oliguri persisten dapat dijadikan sebagai indikasi untuk pemberian
diuretik setelah melakukan konsultasi kepada dokter obstetri klinis dan
dokter anestesi.
d. Pada pasien den oliguri persisten dapat dipindah akan ketempat perawatan
high dependency unit.
4. Monitoring pasien
Ada beberapa langkah monitoring yang dapat dilakukan pada pasien dengan
pre eklampsia berat, yaitu:
a. Tekanan darah dan nadi diukur setiap 30 menit sekali.
b. Frekuensi napas dapat diukur setiap 1 jam sekali.
c. Reflek patella dapat diperiksa setiap 1 jam sekali.
d. Pengukuran jumlah urin dapat dilakukan setiap 1 jam sekali, pemeriksaan
portoeinuria tidak diperlukan lagi ketika diagnosis sudah ditegakkan.
e. Pemeriksaan suhu dilakukan setiap 2 jam sekali
f. Pemeriksaan denyut jantung bayi dilakukan secara kontinu.
5. Manajemen nyeri
Tindakan epidural sebagai manajemen nyeri pada pasien pre eklampsia berat
dapat dipertimbangkan, karena obat ini dapat menurunkan tekanan darah dan tidak
memiliki kontraindikasi, akan tetapi sebelum tindakan ini dilakukan, kadar trombosit
pasien harus >80.000/mm3.
6. Mempercepat kelahiran
Ada beberapa kondisi dimana persalinan pada pasien dengan pre eklampsia
berat/eklampsia dapat dipercepat, yaitu:
a. Pada pasien eklampsia yang stabil
b. Tekanan darah tidak dapat terkontrol meskipun telah dilakukan pemberian
terapi antihipertensi yang optimal
c. Gangguan fungsi ginjal yang disertai dengan gejala neurologis (gangguan
penglihatan, nyeri kepala frontal persisten dan kejang)
d. Abruption
e. Kekhawatiran terhadap kesejahteraan janin
Persalinan yang dipercepat dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklampsia
berat dan pada usia kehamilan yang sudah atau lebih dari 37 minggu. Manajemen
ekspektatif dapat dilakukan pada pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37
minggu.
Pada pasien dengan usia kehamilan <34 minggu dengan kondisi itu yang stabil, dapat
dipertimbangkan penundaan persalinan dengan pemberian steroid selama masa
penundaan. Tindakan operasi hanya dilakukan apabila tekanan darah ibu tidak
terkontrol, gejala neurologis yang memburuk, kondisi janin yang tidak baik dan
progres manajemen yang sebelumnya tidak adekuat.
7. Manajemen post partum
Pada umunya kondisi klinis pasien akan kembali pulih setelah 24 jam pasca
persalinan. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus dapat memburuk pasca persalinan
seperti kejang eklampsia yang dapat muncul pasca persalinan, sehingga klinisi harus
melakukan pemantauan ketat hingga tekanan darah pasien stabil, diuresis dan urin
output telah normal kembali, dan pada pemeriksaan laboratorium kadar-kadar
komponen yang menjadi fokus utama pada pre eklamsia berat sudah mulai stabil.
Magnesium sulfat dapat diberhentikan minimal 24 jam pasca persalinan. Akan tetapi,
apabila terdapat adanya indikasi pemberian magnesium sulfat, maka magnesium
sulfat dapat diberikan hingga batas waktu yang telah ditentukan. Pemeriksaan kadar.p
magnesium dapat dilakukan selama pemberian magnesium sulfat diberikan dan dapat
dilakukan pemeriksaan reflek patella hingga pemberian magnesium sulfat dihentikan.
National Institute for Health and Care Excellence (NICE) telah menerbitkan
guidline terbaru mengenai manajemen penatalaksanaan pada pasien dengan pre
eklampsia berat. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre
eklampsia berat, yaitu:13
1. Pasien dapat dirawat di rumah sakit apabila tekanan darah pasien >160/110
mmHg.
2. Pemberian obat antihipertensi (Labetalol merupakan obat antihipertensi yang
dapat menjadi pilihan utama, apabila pasien tidak cocok dengan Labetalol,
maka dapat diganti dengan nifedipin. Namun jika kedua obat ini tidak cocok
juga, maka dapat menggunakan obat antihipertensi metildopa.
3. Target tekanan darah pada pasien pre eklampsia berat adalah 135/85 mmHg
atau kurang
4. Pemeriksaan tekanan darah dapat dilakukan setiap 15-30 menit sekali hingga
dapat mencapai dibawah ambang batas (<160/110mmHg)
5. Pemeriksan urin dipstik dilakukan apabila terdapat indikasi untuk dilakukan
pemeriksaan ulang
6. Pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal dan hati dapat dilakukan sebanyak 3
kali dalam seminggu.
7. Pemeriksaan auskultasi jantung janin dapat dilakukan setiap kali melakukan
pemeriksaan antenatal
8. Pemeriksaan USG dapat dilakukan untuk melihat kondisi janin, apabila dalam
keadaan normal, maka pemeriksaan dapat di ulang 2 minggu lagi.
9. Pemeriksaan CTG dapat dilakukan saat penegakan diagnosis pre eklampsia
berat. Pemeriksaan ini diulang apabila terdapat indikasi klinis.
Waktu persalinan yang tepat pada pasien dengan pre eklampsia berat telah di
tetapkan oleh NICE. Pada pasien dengan usia kehamilan <34 minggu dapat dilakukan
pengawasan pada pasien apabila terdapat indikasi untuk perencanaan persalinan dini.
Pada usia kehamilan 34-36 minggu, apabila pasien direncakan untuk persalinan dini,
maka klinisi harus memperhatikan kondsisi ibu dan bayi, faktor risiko yang akan
terjadi serta ketersediaannya ruangan untuk janin tersebut. Pemberian obat
kortikosteroid dapat dipretimbangkan dan sesuai dengan guidline persalinan dini atau
persalinan prematur. Sedangkan pada pasien dengan usia kehamilan >37 minggu
maka dapat dilakukan inisiasi persalinan dalam waktu 24-48 jam.
Berdasarkan buku yang berjudul Texbook of Obstetrics, ada beberapa langkah
yang dilakukan pada saat manajemen perwatan di Rumah Sakit, yaitu:1
1. Istirahat
Perawatan di rumah sakit dan istirahat merupakan langkah yang sangat
membantu untuk evaluasi dan perawatan pasien secara kontinu. Pasien juga dapat
memposisikan dirinya pada posisi lateral ke arah kiri sesering mungkin dengan tujuan
untuk mengurangi efek dari kompresi vena cava, meningkatkan aliran darah ginjal →
diuresis, meningkatkan aliran darah uterus → meningkatkan perfusi plasenta, dan
mengurangi tekanan darah.
2. Diet
Diet yang dilakukan oleh pasien harus mengandung jumlah protein harian
yang cukup (sekitar 100 gram). Asupan garam dapat diizinkan, namun dengan kadar
yang telah ditetapkan. Cairan tidak perlu dibatasi. Total kalori yang dibutuhkan
adalah sekitar 1600 kal / hari.
3. Diuretik
Penggunaan obat diuretik pada kasus pre eklampsia berat tidak boleh
digunakan secara sembarangan, karena dapat membahayakan bayi dengan
mengurangi perfusi plasenta dan dapat menyebabkan ketidakseimbangan kadar
elektrolit di dalam tubuh. Indikasi pemberian diuretik pada kasus pre eklampsia berat
digunakan untuk beberapa kondisi penyakit seperti gagal jantung, edema paru,
penggunaannya sebagai antihipertensi untuk restriksi cairan, edema masif, tidak
berkurang dengan istirahat dan menghasilkan ketidaknyamanan bagi pasien. Diuretik
yang paling efektif yang bisa digunakan adalah furosemide (Lasix) 40 mg, yang dapat
diberikan atau setelah sarapan selama 5 hari dalam seminggu. Dalam kondisi akut,
pemberian intravena menjadi pilihan utama.
4. Obat antihipertensi
Penggunaan obat antihipertensi memiliki batas-batas tertentu dalam
mengendalikan tekanan darah yang disebabkan karena pre eklamsia. Ada beberapa
indikasi diberikannya obat anti hipertensi, yaitu:
1. Peningkatan tekanan darah yang persisten khususnya jika tekanan diastolik
melebihi 110 mm Hg. Penggunaannya lebih mendesak jika dikaitkan dengan
proteinuria.
2. Pada pre eklampsia berat untuk menurunkan tekanan darah selama masa
kehamilan dan selama periode induksi persalinan.
2. MAP adalah tekanan darah antara sistolik dan diastolik, karena diastolik
berlangsung lebih lama daripada sistolik maka MAP setara dengan 40 % tekanan
sistolik ditambah 60% tekanan diastolik. Adapun rumus MAP adalah tekanan darah
sistolik ditambah dua kali tekanan darah diastolik dibagi 3. Rentang normal MAP
adalah 70 mmHg - 99 mmHg.
Penggunaan antihipertensi pada preeklampsia dimaksudkan untuk
menurunkan tekanan darah dengan segera demi memastikan keselamatan ibu tanpa
mengesampingkan perfusi plasenta untuk fetus. Terdapat banyak pendapat tentang
penentuan batas tekanan darah (cut off) untuk pemberian antihipertensi. Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110mmHg dan MAP (mean arterial
pressure) ≥ 126 mmHg. Studi lain menyebutkan pemberian antihipertensi sudah
dilakukan ketika tekanan darah sistolik mencapai 140-170 mmHg dan tekanan darah
diastolik 90-110 mmHg dengan target penurunan darah mencapai MAP 125 mmHg.
Penurunan tekanan darah dilakukan secara bertahap dimana tidak lebih dari 25%
penurunan dalam waktu 1 jam. Hal ini untuk mencegah terjadinya penurunan aliran
darah uteroplasenta.
3. Silva et al melaporkan pada penelitian nya bahwa status sosial ekonomi ibu yang
rendah merupakan faktor risiko yang kuat terjadinya preeklampsia.
4. Penggunaan obat antihipertensi memiliki batas-batas tertentu dalam mengendalikan
tekanan darah yang disebabkan karena pre eklamsia. Ada beberapa indikasi
diberikannya obat anti hipertensi, yaitu:
3. Peningkatan tekanan darah yang persisten khususnya jika tekanan diastolik
melebihi 110 mm Hg. Penggunaannya lebih mendesak jika dikaitkan dengan
proteinuria.
4. Pada pre eklampsia berat untuk menurunkan tekanan darah selama masa
kehamilan dan selama periode induksi persalinan.
Labetalol merupakan obat antihipertensi yang aman digunakan pada ibu hamil. Akan
tetapi, pada pasien dengan riwayat asma dan gagal jantung, maka dapat menggantinya
dengan antihipertensi yang lain, yaitu hidralzine. Metildopa juga terbukti aman pada
ibu hamil dengan hipertensi dalam kehamilan. Anti hipertensi golongan Ace inhibitor
dan angiotensin II reseptor bloker (ARB) tidak diperbolehkan digunakan pada ibu
hamil karena dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi.
5. Pada kasus hipertensi dalam kehamilan dan IUGR terdapat kegagalan invasi-
migrasi sel trofoblas masuk ke dalam arteria miometrium. Sel trofoblas berfungsi
untuk menggantikan sel otot pembuluh darah untuk tetap melebarkan lumen
pembuluh darah, karena sel trofoblas tidak dapat dipengaruhi hormone yang
mengendalikan vasokonstriksi dan vasodilatasi arteriol otot uterus. Masuknya sel
trofoblas sampai ke arteriol otot uterus menyebabkan pembuluh darah melebar dan
menjamin sirkulasi ke retroplasenter tetap terpelihara. Jika terjadi gangguan invasi
dan migrasi sel trofoblas sampai ke arteria miometrium atau arteriol otot uterus maka
pembuluh darah dapat vasokonstriksi dan suplai oksigen dan nutrisi akan kurang.
6. Berdasarkan beberapa penelitian, usia menjadi faktor risiko yang selalu
berhubungan dengan kejadian pre eklampsia berat/eklampsia. Hal tersebut dilaporkan
oleh Asmana dkk, dimana terdapat adanya hubungan antara usia dengan kejadian pre
eklampsia berat dengan nilai p 0.014, akan tetapi, pre eklampsia berat tidak memiliki
hubungan yang bermakna dengan jumlah paritas dengan nilai p 0.096. Hal yang sama
juga disampaikan oleh Andalas dkk, pada tinjauan kasusnya dimana dari 142 kasus b
yang diamati, terdapat 80 kasus terjadi pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun
dan di atas 35 tahun.
7. Komplikasi dari pre eklampsia berat terbagi kedalam beberapa bagian, yaitu:1,5
sindrom HELLP (Haemolysis, Elevated Liver enzymes,Low Platelet count).
Sindrom HELLP terjadi pada 10%-20% kasus pada pre eklampsia berat.
Residual Hypertension dapat terjadi setelah 6 bulan pasca persalinan pada
50% kasus.
Pre eklampsia berulang, kondsisi ini terjadi pada 25% kasus.
Penyakit ginjal kronik.
Sedangkan pada eklampsia, Sebanyak 56% pasien dengan eklampsia mungkin
mengalami defisit neurologis sementara, termasuk kebutaan kortikal. Namun,
beberapa penelitian telah gagal untuk menunjukkan bukti defisit neurologis yang
bertahan setelah kejang eklampsia tanpa komplikasi selama periode tindak lanjut.
Studi menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko untuk terjadinya stroke dan
penyakit arteri koroner pada ibu eklampsia di kemudian hari. Komplikasi potensial
eklampsia lainnya meliputi:
Kerusakan neurologis permanen akibat kejang berulang atau perdarahan
intrakranial
Insufisiensi ginjal dan gagal ginjal akut
Perubahan janin - IUGR, abruptio placentae, oligohydramnion
Kerusakan hepar dan jarang ruptur hepar
Gangguan koagulopati dan DIC
Peningkatan risiko preeklampsia berulang / eklampsia dengan kehamilan
berikutnya
Kematian ibu atau janin: Eklampsia dikaitkan dengan sekitar 13% kematian
ibu di seluruh dunia
8.
A. Hipertensi kronis pada kehamilan
Memiliki riwayat hipertensi sebelum kehamilan dengan atau tanpa obat antihipertensi
atau tekanan darah ≥ 140/90 sebelum usia kehamilan 20 minggu.
B. Hipertensi gestasional
Berkelanjutan (setidaknya dalam dua kesempatan, dalam waktu enam jam secara
terpisah) tekanan darah ≥ 140/90 setelah 20 minggu tanpa adanya proteinuria, tanda-
tanda atau gejala preeklampsia lain, atau riwayat hipertensi sebelumnya.
C. Preeklampsia tanpa gejala berat (“preeklampsia ringan”)
Berkelanjutan (setidaknya dua kali, dalam waktu enam jam tetapi tidak > 7 hari
secara terpisah) tekanan darah ≥ 140/90 mmHg dan proteinuria (≥300 mg dalam 24
jam pada wanita tanpa proteinuria sebelumnya) setelah 20 minggu kehamilan pada
wanita dengan tekanan darah yang sebelumnya normal.
D. Preeklampsia superimposed
Satu atau lebih kriteria berikut:
• Onset baru proteinuria (≥300 mg dalam 24 jam tanpa proteinuria sebelumnya)
setelah 20 minggu pada seorang wanita dengan hipertensi kronis atau peningkatan
proteinuria secara tiba-tiba pada wanita dengan proteinuria yang diketahui sebelum
atau awal kehamilan
• Peningkatan hipertensi mendadak yang sebelumnya terkontrol dengan baik atau
peningkatan obat antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah
E. Preeklampsia superimposed dengan gejela yang berat
Preeklampsia superimposed dan satu atau lebih kriteria berikut:
• Peningkatan tekanan darah yang berat (≥160 / 110 mmHg) meskipun dengan
penggunaan obat antihipertensi
• Jumlah trombosit <100.000 / mm3
• Peningkatan enzim transaminase hati (AST dan / atau ALT) dua kali batas atas
konsentrasi normal
• Onset baru atau insufisiensi ginjal yang memburuk (kreatinin ≥1, 1 mg / dL atau
penggandaan kreatinin serum)
• Edema paru
• Gejala neurologis persisten (seperti nyeri kepala, gangguan visual)
F. Preeklamsia dengan gejala yang berat ("preeklamsia berat")
Preeklampsia dengan salah satu kriteria berikut:
• Tekanan darah ≥160 / 110 mmHg (dua kali,> terpisah 4 jam)
• Trombositopenia (trombosit <100.000 / mm3) dan / atau bukti anemia hemolitik
mikroangiopatik
• Peningkatan transaminase hati (AST dan / atau ALT) dua kali dari batas atas
konsentrasi normal untuk laboratorium tertentu
• Insufisiensi ginjal progresif (kreatinin ≥1,1 mg / dL atau menggandakan kreatinin
serum atau oliguria (<500 mL urin dalam 24 jam)) jika tidak ada penyakit ginjal
lainnya
• Nyeri kepala persisten atau gangguan otak atau visual lainnya (termasuk kejang
grand mal)
• Nyeri epigastrik (atau kuadran kanan atas) persisten
• Edema paru atau sianosis
G. Eklampsia
• Kejang (grand mal) disertai dengan preeklampsia dan / atau sindrom HELLP
9. Regimen pemberian kortikosteroid yang direkomendasikan oleh Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) tahun 2010 adalah 2 dosis betametasone
12 mg berjarak 24 jam dari dosis pertama, diberikan intramuskuler atau 4 dosis
deksametason 6 mg tiap 6 jam, diberikan intramuskuler. Menurutrekomendasi dari
RCOG setiap klinisi sepatutnya menawarkan pemberian terapi kortikosteroid
antenatal ini pada setiap wanita dengan risiko persalinan preterm dengan usia
kehamilan 24 minggu + 0 hari hingga 34 minggu + 6 hari.
Betametason dan deksametason adalah antenatal kortikosteroid yang digunakan
dalam penurunan respiratory distress syndrome (RDS). RDS terkait dengan
imaturitas struktur dan fungsi paru yang ditentukan dengan rasiolesitin/sfingomielin
(L/S) sebagai gold standard. Suatu penelitian telah dilakukan untuk menganalisis
penggunaan deksametason dengan dosis lebih rendah dalam mempercepat maturitas
paru janin. Pemberian deksametason antara dosis 4 mg dan 6 mg setiap 12 jam
selama 2 hari pada ibu hamil dengan resiko persalinan preterm tidak menunjukkan
perbedaan nilai rasio L/S. Deksametason secara intramuskular lebih dipilih karena
rute intramuskular memiliki pelepasan yang lebih lambat dengan durasi yang lebih
lama. Pemberian intravena tidak direkomendasikan karena akan memberi paparan
kortikosteroid terhadap wanita hamil dan janinnya dengan konsentrasi tinggi pada
tahap awal sehingga meningkatkan efek samping akibat penetrasi deksametason
secara cepat ke plasenta. Deksametason diberikan 4 kali dosis selama 2 hari vkarena
terapi kortikosteroid antenatal dilakukan menyerupai paparan kortikosteroid endogen
yang terjadi selama kehamilan dimana induksi kortisol endogen pada ibu juga terjadi
selama 48 jam (2hari), sehingga durasi deksametason juga diberikan selama 2 hari.
Dosis kortikosteroid pada sindrom HELLP
Dosis deksametason biasanya 10 mg IV setiap enam hingga 12 jam untuk dua hingga
tiga dosis, diikuti oleh 5 hingga 6 mg IVsix hingga 12 jam kemudian untuk dua
hingga tiga dosis lagi. Tidak ada perbedaan dalam risiko kematian ibu, kematian ibu
atau morbiditas ibu, atau kematian perinatal / bayi. Efek pengobatan yang hanya
signifikan pada hasil individu adalah peningkatan jumlah trombosit: Efek ini paling
kuat jika pengobatan dimulai secara antenatal.
10. Pada pasien pre eklampsia berat dapat diberikan terapi magnesium sebagian
profilaksis untuk terjadinya kejang. Magnesium sulfat diberikan sesuai prosedur dan
dilanjutkan dengan pemberian melalui intravena secara maintenance. Kemudian
dapat dilakukan pemeriksaan kadar magnesium di dalam darah setiap 6 jam pada fase
antepartum dan intrapartum, dengan batas kadar magnesium di dalam darah berkisar
1.7-3.5mmol/L. Hal ini bertujuan untuk memastikan dosis terapeutik dapat tercapai.
Target yang tekanan darah diastolik yang dapat dicapai dengan pemberian
magnesium adalah 90-100mmHg.
Penyuntikan ulang diberikan hanya jika reflek patella positif, output urin
melebihi 30 mL/jam dan laju respirasi lebih dari 12x/menit. Tingkat terapi serum
magnesium adalah 4-7 mEQ / L. Magnesium sulfat dilanjutkan selama 24 jam setelah
kejang terakhir atau persalinan yang akan terjadi kemudian. Apabila terjadi
kekambuhan, dapat diberikan 2 gram bolus IV diberikan lebih dari 5 menit dalam
rejimen di atas. Dibandingkan dengan regimen yang lain, magnesium sulfat memiliki
beberapa manfaat sebagai berikut:1
1. Mengontrol secara efektif tanpa efek depresi pada ibu atau bayi.
2. Pengurangan risiko kejang berulang.
3. Secara signifikan mengurangi tingkat kematian ibu (3%), dan
4. Mengurangi tingkat mortalitas perinatal.