Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu penyulit di dalam dunia
osbstetri klinis, dimana penyakit ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan
mortalitas ibu dan perinatal. Hipertensi dalam kehamilan merupakan suatu tanda
patologis yang dapat muncul pertama kali dalam kehamilan maupun sudah ada
sebelum kehamilan terjadi. Prevalensi hipertensi dalam kehamilan masih menjadi
masalah di beberapa negara-negara berkembang. Hal tersebut dikarenakan tidak
teridentifikasi ataupun terdeteksinya kondisi ini pada pelayanan kesehatan primer,
sehingga cenderung pasien datang dengan kondisi yang sudah mengalami
komplikasi.1
Hipertensi dalam kehamilan terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu hipertensi
gestasional, hipertensi kronis, pre eklampsia (ringan dan berat), superimposed pre
eclampsia, dan eklampsia. Prevalensi pre eklampsia di dunia masih cukup tinggi,
khususnya di negara-negara berkembang, dimana para peneliti memperkirakan
50.000 wanita meninggal setiap tahunnya disebabkan oleh pre eklampsia. Secara
umum, insidensi kasus pre eklampsia berkisar 2-10%, tergantung pada populasi yang
diteliti. Penelitian yang dilakukan di Israel mendapatkan prevalensi pre eklampsia
sebesar 2.8%, Skotlandia berkisar 5.8%, Australia berkisar 14%, dan di Seattle
berkisar 5%. Sedangkan prevalensi angka kematian ibu yang disebabkan oleh
eklampsia berkisar 2-3 kasus per 10.000 kelahiran di negara maju seperti Eropa dan
Amerika Utara sedangkan di negara berkembang berkisar 16-69 kasus per 10.000
kelahiran.2,3
Prevalensi angka kematian ibu hamil akibat eklampsia di Indonesia berkisar
128.273 kasus setiap tahunnya. Kondisi ini menyebabkan hipertensi dalam kehamilan
merupakan masalah yang serius di dalam dunia obstetri klinis di Indonesia.
Prevalensi kasus eklampsia di RSUDZA, Aceh pada tahun 2012 mencapai 142 kasus
dan berdasarkan profil kesehatan kota Banda Aceh pada tahun 2012, eklampsia
menjadi penyebab kematian utama pada ibu hamil dengan persentase sebesar 20%
setiap tahunnya. Sedangkan data yang diperoleh dari profil kesehatan Aceh Besar
pada tahun 2014 terkait kematian ibu hamil, pre eklampsia merupakan penyebab
utama kematian ibu hamil, yang diikuti dengan perdarahan, infeksi/sepsis, dan
penyebab komplikasi yang lain. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Rafsanjani dkk, di Puskesmas Krueng Barona Jaya pada tahun 2017, dari 367 ibu
hamil yang melakukan kunjungan ke puskesmas, terdapat 122 ibu hamil yang
memiliki tekanan darah yang tinggi.3,4
Pre eklampsia berat dan eklampsia dapat dicegah apabila kasus ini dapat
terdeteksi sejak dini oleh petugas kesehatan/dokter, sehingga dapat menurunkan
angka mortalitas dan morbiditas pada ibu yang mengalami kondisi ini, namun apabila
tidak terdeteksi sejak dini, maka risiko untuk terjadinya komplikasi yang buruk pada
pada pasien dapat terjadi.
Berdasarkan paparan di atas, penulis ingin membahas terkait preeklamsia
berat dan eklampsia serta manajemen pentalaksanaan pada preeklamsia berat dan
eklampsia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Pre eklampsia berat dan Eklampsia


Pre eklampsia berat adalah suatu kondisi dimana terjadinya peningkatan
tekanan darah pada usia kehamilan yang lebih dari 20 minggu dengan tekanan sistolik
lebih dari 160 mmHg dan pada tekanan diastolik lebih dari 110 mmHg disertai
dengan peningkatan kadar proteinuria dan tidak memiliki riwayat peningkatan
tekanan darah dan peningkatan proteinuria sebelumnya. Tekanan darah pada pasien
dengan pre eklampsia diukur dengan menggunanya manset tekanan darah yang
sesuai, posisi tangan yang bagus dan peralatan tekanan darah yang terkalibrasi.5
Sedangkan eklampsia merupakan suatu tahap perburukan lanjutan dari pre
eklamsia berat yang ditandai dengan adanya penurunan kesadaran, nyeri perut,
gangguan penglihatan hingga kejang grand mal yang disertai dengan peningkatan
tekanan darah yang tinggi (>160/100mmHg), proteinuria yang masif dan dapat juga
dijumpai adanya edema tanpa disertai dengan kemungkinan adanya penyebab yang
lain.5
2.2 Epidemiologi Pre eklampsia berat dan Eklampsia
Prevalensi pre eklampsia berat dan eklampsia masih tinggi diberbagai belahan
dunia, dimana kondisi ini sangat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin secara
global. Penyakit ini telah menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas
ibu dan janin berkisar 50.000-100.000 setiap tahunnya. Kondisi ini juga banyak di
jumpai di negara-negara berkembang. Pada tahun 2010 dilaporkan sebanyak 297.000
kematian ibu akibat kondisi ini dan tiga kondisi yang menjadi morbiditas dan
mortalitas pada ibu adalah perdarahan yang banyak, hipertensi dalam kehamilan dan
sepsis. Daerah yang memiliki rasio angka kematian ibu tertinggi adalah daerah Sub-
Sahara Afrika, dan Zimbabwe merupakan salah satu kota yang memiliki angka kasus
pre eklamsia berat dan eklampsia yang terbesar dibandingkan negara lain di Sub-
Sahara Afrika.6

Sedangkan di negara-negara maju, pada tahun 2006 sebuah penelitian


melaporkan terkait prevalensi pre eklampsia di Jerman berkisar 2,31% dan di
Amerika Serikat mengalami sedikit peningkatan peningkatan prevalensi dari 3,4%
pada tahun 1980 menjadi 3,8% pada tahun 2010. Berdasarkan data yang dikumpulkan
sejak 2004-2006 ditemukan jumlah kasus preeklampsia secara berturut-turut
sebanyak 8.140 kasus (4.82%), 8.379 kasus (4,91%) dan 7.848 kasus (5.8%). Peneliti
lain di Indonesia juga memaparkan bahwa kasus pre eklampsia di Indonesia berkisar
3%-10% kasus dan angka kematian maternal akibat kondisi ini berkisar 39.5%.7
2.3 Etiologi Pre eklampsia berat dan Eklampsia.
Etiologi pada kasus pre eklampsia berat/eklampsia hingga saat ini masih
belum diketahui secara pasti, namun banyak peneliti meyakini bahwa penyakit ini
berhubungan dengan penyakit endotelial dengan vasospasme dan aktivitas simpatis
yang berlebihan. Selain itu, pada penyakit ini terjadi penurunan perfusi akibat adanya
invasi trofoblas oleh plasenta ke arteri spiral uterus yang tidak lengkap. Sehingga
dapat terjadi hipoksia, radikal bebas, stres oksidatif dan aktivasi endotelium yang
abnormal. Kadar tromboksan (yang berhubungan dengan vasokonstriksi, agregasi
trombosit, dan penurunan aliran darah uteroplasenta) meningkat, dan prostasiklin
(yang memiliki efek berlawanan) juga menurun.5
Sedangkan menuru Cunnnigham et al, di dalam buku William Obstetrics
memaparkan bahwa ada beberapa kemungkinan faktor-faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya pre eklampsia berat/eklampsia, yaitu:8
1. Implantasi plasenta dengan invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh darah
uterus.
2. Toleransi maladaptif imunologis antara jaringan ibu, ayah (plasenta), dan
janin.
3. Maladaptasi ibu terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamasi pada
kehamilan normal, dan
4. Faktor genetik termasuk gen predisposisi bawaan dan pengaruh epigenetik.

2.4 Faktor Risiko Pre eklampsia berat dan Eklampsia


Ada beberapa kondisi yang menjadi faktor risiko terhadap kejadian pre
eklampsia berat/eklampsia, yaitu:5
1. Nullipara
2. Kehamilan Multi fetal (janin lebih dari 1)
3. Pada pasien yang menggunakan donor sel telur atau donor sperma
4. Usia muda atau usia lanjut
5. Memiliki riwayat pre eklampsia pada kehamilan sebelumnya
6. Memiliki riwayat penyakit hipertensi kronis
7. Resistensi insulin
8. Ras Afrika-Amerika dan
9. Sosioekonomi yang rendah
Gambar 2.1 Faktor Risiko pada kasus Pre eklampsia berat/Eklampsia.5
Berdasarkan beberapa penelitian, usia menjadi faktor risiko yang selalu
berhubungan dengan kejadian pre eklampsia berat/eklampsia. Hal tersebut dilaporkan
oleh Asmana dkk, dimana terdapat adanya hubungan antara usia dengan kejadian pre
eklampsia berat dengan nilai p 0.014, akan tetapi, pre eklampsia berat tidak memiliki
hubungan yang bermakna dengan jumlah paritas dengan nilai p 0.096. Hal yang sama
juga disampaikan oleh Andalas dkk, pada tinjauan kasusnya dimana dari 142 kasus b
yang diamati, terdapat 80 kasus terjadi pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun
dan di atas 35 tahun.4,7
2.5 Patofisiologi Pre eklampsia berat dan Eklampsia
Mekanisme terjadinya pre eklampsia dan eklampsia masih belum dimengerti,
sehingga penyakit ini digambarkan sebagai “disease of theory”. Adapun teori-teori
yang menjadi dasar terjadinya pre eklampsia/eklampsia yaitu:4
1. Teori iskemia plasenta, radikalbebas, dan disfungsi endotel
2. Teori intoleransi imunologik antaraibu dan janin
3. Teori kelainan pada vaskularisasiplasenta
4. Teori adaptasi kardiovaskular
5. Teori inflamasi
6. Teori defisiensi gizi, dan
7. Teori genetik.
Pada kehamilan normal, sel-sel trofoblas akan melakukan invasi ke 1/3 bagian
dalam dari miometrium dan arteri spiral kan mengalami penurunan endotelium dan
serat otot mereka. Modifikasi struktural ini telah dikaitkan dengan suatu perubahan
fungsional pada arteri spiral yang menjadikan pembuluh darah ini memiliki resistensi
yang rendah dan tidak sensitif terhadap zat-zat vasokontriksi. Kondisi ini juga
menyebabkan arteri spiral menjadi lebih mudah untuk mengalami distensi dan dilatasi
yang memberikan dampak besar terhadap janin, seperti penurunan tekanan darah,
penurunan resistensi vaskuler dan peningkatan aliran darah pada daerah utero-
plasenta. Akan tetapi, pada kasus pre eklampsia tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas
pada lapisan otot arteri spiral dan jangan matriks disekitarnya. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya kekakuan pada lapisan otot arteri spiral, sehingga arteri
spiral tidak dapat melakukan vasodilatasi. Efek yang ditimbulkan dari proses ini yaitu
secara relatif arteri spiral akan mengalami vasokontriksi dan terjadi kegagalan
remodeling arteri spiralis, sehingga terjadi penurunan aliran darah utero-plasenta dan
berakhir dengan hipoksia dan iskemik pada bagian yang terkait.9
Iskemia plasenta kronis dapat menyebabkan terjadinya komplikasi pada janin,
termasuk retardasi pertumbuhan intrauterin dan kematian intrauterin. Secara paralel,
stres oksidatif menginduksi pelepasan ke dalam sirkulasi zat-zat ibu seperti radikal
bebas, lipid teroksidasi, sitokin, dan faktor pertumbuhan endotel pembuluh darah
yang dapat larut dalam serum. Kondisi ini bertanggung jawab terhadap terjadinya
disfungsi endotel dengan hiperpermeabilitas pembuluh darah, trombofilia, dan
hipertensi. Manifestasi klinis tersebut terjadi untuk mengkompensasi penurunan
aliran dalam arteri uterus yang disebabkan karena vasokonstriksi perifer.10
Disfungsi endotel juga bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis yang
diamati pada ibu, yaitu adanya gangguan endotel hepatik yang berkontribusi terhadap
timbulnya sindrom HELLP (Hemolisis, Peningkatan enzim hati dan jumlah trombosit
yang rendah), gangguan endotelium serebral yang menyebabkan gangguan neurologis
refrakter, atau bahkan eklampsia. Keterbatasannya faktor pertumbuhan endotel
vaskular di podosit membuat endotelium lebih mampu memblokir celah diafragma di
membran basal, menambah penurunan filtrasi glomerulus dan menyebabkan
proteinuria. Sehingga disfungsi endotel dapat menyebabkan terjadinya anemia
hemolitik mikroangiopatik, dan hiperpermeabilitas vaskular yang terkait dengan
kadar albumin serum yang rendah pada pembuluh darah. Penurunan kadar albumin
serum dapat menyebabkan terjadinya edema, terutama pada ekstremitas bawah atau
paru-paru. Penjelasan secara komprehensif dapat dilihat pada Gambar 2.2.10
2.6 Manifestasi Klinis Pre eklampsia berat dan Eklampsia
Ada beberapa manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada kasus pre
eklampsia berat, yaitu:5
1. Tekanan darah >160/110mmHg (dengan dua kali pemeriksaan dan interval
waktu >4 jam)
2. Trombositopenia (dimana kadar trombosit <100.000/mm3 (atau disertai
dengan pada mikroskopik dijumpai adanya anemia mikroangiopati hemolitik)
3. Peningkatan enzim hati (hepatic trasminases), baik AST maupun ALT,
dengan kadar peningkatan sebanyak 2 kali lipat dari batas normal.
4. Insufisiensi ginjal progresif (kreatinin ≥ 1,1 mg / dL atau dua kali lipat dari
kadar kreatinin normal atau oliguria (<500 mL urin dalam 24 jam) tanpa
disertai adanya penyakit ginjal lainnya.
5. Sakit kepala persisten atau gangguan otak atau visual lainnya (termasuk
kejang grand mal).
Sedangkan pada eklampsia, manifestasi klinis yang dapat dijumpai adalah
adanya kejang yang terbagi ke dalam empat tahap kejang, yaitu:1
1. Premonitory stage
Pada tahap ini pasien akan mengalami penurunan kesadaran. Beberapa otot
tampak mengalami pergerakan involunter seperti otot-otot wajah, lidah, dan
ekskremitas. Bola mata dapat mengalami perubahan arah dan menetap. Pada
tahap ini berlangsung selama 30 detik.
2. Tonic stage
Pada tahap ini sudah terjadi kejang tonik, dimana opisthotonus dapat terjadi
pada pasien, ekskremitas bawah mengalami fleksi dan tangan pasien pada
posisi mengepalkan tangan. Pada tahap ini, respirasi dapat berhenti dan lidah
tampak menjulur di antara gigi geligi. Sianosis juga dapat muncul pada tahap
ini dan bola mata menjadi terpaku. Pada tahap ini berlangsung selama 30
detik.
3. Clonic stage
Pada tahap klonik, semua otot secara tidak langsung mengalami kontraksi dan
relaksasi secara bergantian. Kedutan pada wajah mulai terjadi kemudian
melibatkan satu sisi ekstremitas saja, kemudian mulai dirasakan pada seluruh
tubuh. Pada tahap ini pasien dapat menggigit lidahnya disertai adanya sekresi
darah berbusa yang memenuhi mulut pasien dan secara bertahap sianosis
mulai menghilang. Akan tetapi pasien membutuhkan upaya yang kuat untuk
bernapas. Pada tahap ini berlangsung selama 1-4 menit.
4. Stage of coma
Setelah bebebrapa tahap di atas, maka pasien akan meneruskan ke tahap
koma. Pada tahap ini mungkin dapat berlangsung singkat atau berlanjut
menjadi ke tahap koma yang lebih dalam disertai kejang yang lain. Pada
beberapa pasien yang telah sadar tidak dapat mengingat apa yang terjadi pada
dirinya dan jarang dijumpai adanya koma yang terjadi tanpa disertai kejang
sebelumnya.

Gambar 2.2 Patofisiologi Pre eklampsia berat/Eklampsia.11


2.7 Diagnosis Pre eklampsia berat dan Eklampsia
Penegakan diagnosis pre eklampsia berat dan eklampsia berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat
dilakukan pada pasien apabila pasien tidak dalam kondisi emergensi atau kepada
keluarga yang bersangkutan. Pada anamnesis dapat ditanyakan apakah memiliki
riwayat penyakit yang sama sebelumnya atau pada kehamilan sebelumnya, apakah
memiliki riwayat hipertensi kronis. Kemudian dapat juga ditanyakan usia kehamilan
pasien. Hal ini menjadi tolak ukur penting, dimana hipertensi dalam kehamilan terjadi
pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Pada beberapa kasus dapat dijumpai
adannya pre eklampsia atau eklampsia yang terjadi sebelum usia kehamilan 20
minggu, yaitu pada pasien yang mengalami kehamilan anggur atau mola hidatidosa.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah
lebih dari 160/110 mmHg disertai gejala ringan seperti adanya edema yang ringan
yang persisten di ekeskremitas bawah. Akan tetapi, secara bertahap edema ini dapat
meluas kebagian wajah, dinding perut, vulva hingga keseluruh tubuh.1

(a) (b)
Gambar 2.3 (a) Edema pada ekskremitas bawah, (b) Edema pada Vulva.1
Ada beberapa Alarm Symptoms yang dapat dijumpai pada saat pemeriksaan
fisik yaitu:1
1. Nyeri kepala akut (umumnya dirasakan di regio frontal dan oksipital)
2. Gangguan tidur
3. Jumlah urin (dalam 24 jam) yang berkurang (umumnya kurang dari 400ml/24
jam)
4. Nyeri epigastrik (umumnya nyeri akut pada regio epigastrik yang
berhubungan dengan muntah yang berwarna hitam seperti kopi akibat adanya
perdarahan pada gaster atau perdarahan subskapular pada hepar.
5. Gangguan visual (umumnya dijumpai adanya penglihatan yang kabur,
skotomata, hingga kebutaan total. Gejala mata yang dapat dijumpai adalah
adanya infark pada retina, kerusakan pada lobus oksipital, serta ablasi retina.
Penglihatan dapat kembali normal setelah 4-6 minggu setelah melahirkan.
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan urin rutin, dimana
dapat dijumpai adanya proteinuria lebih dari 5g/24 jam. Akan tetapi, pada kasus
preeklampsia berat, kriteria proteinuria sudah dihilangkan sebagai salah satu kriteria
dalam penegakan diagnosis pre eklampsia berat. Hal tersebut dikarenakan pada
manajemen ekspektatif tidak terkait dengan perburukan pada ibu dan bayi yang baru
lahir. Pada pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai adanya trombositopenia
(<100.000/mm3), anemia mikroangiopati hemolitik, peningkatan enzim hati, dan
peningkatan kadar kreatinin >1.1mg/dl.5
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklampsia
berat/eklampsia. Ada dua pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan pada pasien
pre eklampsia berat/eklampsia, yaitu:2
1. Pemeriksan CT Scan
Pada pemeriksaan CT Scan dapat dijumpai adanya kelainan otak sebesar 50%.
Kelainan yang sering dijumpai pada pemeriksaan CT Scan adalah adanya gambaran
hipodensitas pada area white matter. Selain itu dapat juga dijumpai adanya
hipodensitas pada area serebral, kortikal dan basal serta edema difus. Akan tetapi,
pada pasien dengan pre eklampsia berat atau eklampsia jarang dijumapai adanya
infark ataupun perdarahan pada pemeriksaan CT Scan.
2. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging
Pada pemeriksaan MRI, Intentistas T2 yang tinggi dapat dijumpai pada area
korteks serebral dan white matter yang menandakan adanya edema serebral. Akan
tetapi, perbedaan antara pre eklampsia berat dan eklampsia berdasarkan hasil MRI
sangat sulit untuk diidentifikasi perbedaan keduanya. Digre telah melakukan evaluasi
pada 16 wanita dengan pre eklampsia berat dan sepuluh wanita dengan eklampsia.
Hasil yang ditemukan adalah bahwa 50% pada wanita pre eklampsia berat memiliki
pemindaian yang abnormal dengan fokus spesifik tidak ada sinyal yang meningkat
pada area white matter otak yang mendalam pada gambar T2. Sedangkan pada
wanita dengan eklampsia ditemukan adanya area multifokal dengan peningkatan
sinyal di area gray-white matter pada gambar T2 atau edema dan perdarahan.
2.8 Tatalaksana Pre eklampsia berat dan Eklampsia
Manajemen penatalaksanaan kasus pre eklampsia berat dan eklampsia
membutuhkan kerja sama tim dalam pelaksanaannya. Adapun beberapa bagian yang
terlibat adalah dokter obstetri dan ginekologi, bidan, dokter anestesi, dokter
hematologi dan dokter pediatrik (jika dibutuhkan).
Berdasarkan guidline yang dikeluarkan oleh The Royal Woman’s Hospital,
ada beberapa hal yang dapat dilakukan pada manajemen penatalaksanaan pre
eklampsia berat, yaitu:12
1. Mengontrol tekanan darah
Mengontrol tekanan darah merupakan poin yang cukup penting pada kasus
pre eklampsia berat, dimana tekanan darah ini mempengaruhi manajemen persalinan
yang akan dilakukan kepada pasien. Tekanan darah pada pasien pre eklampsia berat
sebaiknya berada rentang >140/90-<160/100 mmHg. Apabila tekanan darah
diturunkan terlalu rendah, maka dapat memiliki efek yang berbahaya bagi janin
pasien. Terapi antihipertensi hanya dapat diberikan apabila tekanan darah pasien
>170/110 mmHg. Pada pasien dengan tekanan darah yang sangat tinggi dapat
diberikan obat antihipertensi intravena seperti Labetalol. Labatalol intravena
merupakan pilihan anti hipertensi yang tepat pada pasien dengan tekanan darah yang
sangat tinggi dan dalam kondisi emergensi. Hal tersebut dikarenakan obat ini
memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan obat
antihipertensi hydralzine. Akan tetapi, Hydralzine merupakan pilihan yang tepat pada
pasien dengan riwayat menderita asma dan gagal jantung kongestif.
2. Pemberian Magnesium Sulfat
Pada pasien pre eklampsia berat dapat diberikan terapi magnesium sebagian
profilaksis untuk terjadinya kejang. Magnesium sulfat diberikan sesuai prosedur dan
dilanjutkan dengan pemberian melalui intravena secara maintenance. Kemudian
dapat dilakukan pemeriksaan kadar magnesium di dalam darah setiap 6 jam pada fase
antepartum dan intrapartum, dengan batas kadar magnesium di dalam darah berkisar
1.7-3.5mmol/L. Hal ini bertujuan untuk memastikan dosis terapeutik dapat tercapai.
Target yang tekanan darah diastolik yang dapat dicapai dengan pemberian
magnesium adalah 90-100mmHg.

3. Keseimbangan cairan
Guidline ini merekomendasikan pemberian larutan normal saline 0.9%
sebanyak 1L dengan menggunakan infus pump, dengan kecepatan pemberian tidak
lebih dari 84ml/jam. Selain itu dapat juga dilakukan perhitungan cairan pada pasien
untuk mengevaluasi jumlah urin pasien/jam. Apabila pasien mengalami oliguri, ada
bebebrapa langkah manajemen yang dapat dilakukan, yaitu:
a. Apabila oliguri masih terjadi, dapat dipretimbangkan pemberian larutan
Hartmann’s sebanyak 250ml.
b. Apabila oliguri masih terjadi, dapat dilakukan konsultasi kepada dokter
obstetri klinis dan dokter anestesi. Pemasangan CVC dapat
dipertimbangkan.
c. Oliguri persisten dapat dijadikan sebagai indikasi untuk pemberian
diuretik setelah melakukan konsultasi kepada dokter obstetri klinis dan
dokter anestesi.
d. Pada pasien den oliguri persisten dapat dipindah akan ketempat perawatan
high dependency unit.
4. Monitoring pasien
Ada beberapa langkah monitoring yang dapat dilakukan pada pasien dengan
pre eklampsia berat, yaitu:
a. Tekanan darah dan nadi diukur setiap 30 menit sekali.
b. Frekuensi napas dapat diukur setiap 1 jam sekali.
c. Reflek patella dapat diperiksa setiap 1 jam sekali.
d. Pengukuran jumlah urin dapat dilakukan setiap 1 jam sekali, pemeriksaan
portoeinuria tidak diperlukan lagi ketika diagnosis sudah ditegakkan.
e. Pemeriksaan suhu dilakukan setiap 2 jam sekali
f. Pemeriksaan denyut jantung bayi dilakukan secara kontinu.
5. Manajemen nyeri
Tindakan epidural sebagai manajemen nyeri pada pasien pre eklampsia berat
dapat dipertimbangkan, karena obat ini dapat menurunkan tekanan darah dan tidak
memiliki kontraindikasi, akan tetapi sebelum tindakan ini dilakukan, kadar trombosit
pasien harus >80.000/mm3.
6. Mempercepat kelahiran
Ada beberapa kondisi dimana persalinan pada pasien dengan pre eklampsia
berat/eklampsia dapat dipercepat, yaitu:
a. Pada pasien eklampsia yang stabil
b. Tekanan darah tidak dapat terkontrol meskipun telah dilakukan pemberian
terapi antihipertensi yang optimal
c. Gangguan fungsi ginjal yang disertai dengan gejala neurologis (gangguan
penglihatan, nyeri kepala frontal persisten dan kejang)
d. Abruption
e. Kekhawatiran terhadap kesejahteraan janin
Persalinan yang dipercepat dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklampsia
berat dan pada usia kehamilan yang sudah atau lebih dari 37 minggu. Manajemen
ekspektatif dapat dilakukan pada pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37
minggu.
Pada pasien dengan usia kehamilan <34 minggu dengan kondisi itu yang stabil, dapat
dipertimbangkan penundaan persalinan dengan pemberian steroid selama masa
penundaan. Tindakan operasi hanya dilakukan apabila tekanan darah ibu tidak
terkontrol, gejala neurologis yang memburuk, kondisi janin yang tidak baik dan
progres manajemen yang sebelumnya tidak adekuat.
7. Manajemen post partum
Pada umunya kondisi klinis pasien akan kembali pulih setelah 24 jam pasca
persalinan. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus dapat memburuk pasca persalinan
seperti kejang eklampsia yang dapat muncul pasca persalinan, sehingga klinisi harus
melakukan pemantauan ketat hingga tekanan darah pasien stabil, diuresis dan urin
output telah normal kembali, dan pada pemeriksaan laboratorium kadar-kadar
komponen yang menjadi fokus utama pada pre eklamsia berat sudah mulai stabil.
Magnesium sulfat dapat diberhentikan minimal 24 jam pasca persalinan. Akan tetapi,
apabila terdapat adanya indikasi pemberian magnesium sulfat, maka magnesium
sulfat dapat diberikan hingga batas waktu yang telah ditentukan. Pemeriksaan kadar.p
magnesium dapat dilakukan selama pemberian magnesium sulfat diberikan dan dapat
dilakukan pemeriksaan reflek patella hingga pemberian magnesium sulfat dihentikan.
National Institute for Health and Care Excellence (NICE) telah menerbitkan
guidline terbaru mengenai manajemen penatalaksanaan pada pasien dengan pre
eklampsia berat. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre
eklampsia berat, yaitu:13
1. Pasien dapat dirawat di rumah sakit apabila tekanan darah pasien >160/110
mmHg.
2. Pemberian obat antihipertensi (Labetalol merupakan obat antihipertensi yang
dapat menjadi pilihan utama, apabila pasien tidak cocok dengan Labetalol,
maka dapat diganti dengan nifedipin. Namun jika kedua obat ini tidak cocok
juga, maka dapat menggunakan obat antihipertensi metildopa.
3. Target tekanan darah pada pasien pre eklampsia berat adalah 135/85 mmHg
atau kurang
4. Pemeriksaan tekanan darah dapat dilakukan setiap 15-30 menit sekali hingga
dapat mencapai dibawah ambang batas (<160/110mmHg)
5. Pemeriksan urin dipstik dilakukan apabila terdapat indikasi untuk dilakukan
pemeriksaan ulang
6. Pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal dan hati dapat dilakukan sebanyak 3
kali dalam seminggu.
7. Pemeriksaan auskultasi jantung janin dapat dilakukan setiap kali melakukan
pemeriksaan antenatal
8. Pemeriksaan USG dapat dilakukan untuk melihat kondisi janin, apabila dalam
keadaan normal, maka pemeriksaan dapat di ulang 2 minggu lagi.
9. Pemeriksaan CTG dapat dilakukan saat penegakan diagnosis pre eklampsia
berat. Pemeriksaan ini diulang apabila terdapat indikasi klinis.
Waktu persalinan yang tepat pada pasien dengan pre eklampsia berat telah di
tetapkan oleh NICE. Pada pasien dengan usia kehamilan <34 minggu dapat dilakukan
pengawasan pada pasien apabila terdapat indikasi untuk perencanaan persalinan dini.
Pada usia kehamilan 34-36 minggu, apabila pasien direncakan untuk persalinan dini,
maka klinisi harus memperhatikan kondsisi ibu dan bayi, faktor risiko yang akan
terjadi serta ketersediaannya ruangan untuk janin tersebut. Pemberian obat
kortikosteroid dapat dipretimbangkan dan sesuai dengan guidline persalinan dini atau
persalinan prematur. Sedangkan pada pasien dengan usia kehamilan >37 minggu
maka dapat dilakukan inisiasi persalinan dalam waktu 24-48 jam.
Berdasarkan buku yang berjudul Texbook of Obstetrics, ada beberapa langkah
yang dilakukan pada saat manajemen perwatan di Rumah Sakit, yaitu:1
1. Istirahat
Perawatan di rumah sakit dan istirahat merupakan langkah yang sangat
membantu untuk evaluasi dan perawatan pasien secara kontinu. Pasien juga dapat
memposisikan dirinya pada posisi lateral ke arah kiri sesering mungkin dengan tujuan
untuk mengurangi efek dari kompresi vena cava, meningkatkan aliran darah ginjal →
diuresis, meningkatkan aliran darah uterus → meningkatkan perfusi plasenta, dan
mengurangi tekanan darah.
2. Diet
Diet yang dilakukan oleh pasien harus mengandung jumlah protein harian
yang cukup (sekitar 100 gram). Asupan garam dapat diizinkan, namun dengan kadar
yang telah ditetapkan. Cairan tidak perlu dibatasi. Total kalori yang dibutuhkan
adalah sekitar 1600 kal / hari.
3. Diuretik
Penggunaan obat diuretik pada kasus pre eklampsia berat tidak boleh
digunakan secara sembarangan, karena dapat membahayakan bayi dengan
mengurangi perfusi plasenta dan dapat menyebabkan ketidakseimbangan kadar
elektrolit di dalam tubuh. Indikasi pemberian diuretik pada kasus pre eklampsia berat
digunakan untuk beberapa kondisi penyakit seperti gagal jantung, edema paru,
penggunaannya sebagai antihipertensi untuk restriksi cairan, edema masif, tidak
berkurang dengan istirahat dan menghasilkan ketidaknyamanan bagi pasien. Diuretik
yang paling efektif yang bisa digunakan adalah furosemide (Lasix) 40 mg, yang dapat
diberikan atau setelah sarapan selama 5 hari dalam seminggu. Dalam kondisi akut,
pemberian intravena menjadi pilihan utama.
4. Obat antihipertensi
Penggunaan obat antihipertensi memiliki batas-batas tertentu dalam
mengendalikan tekanan darah yang disebabkan karena pre eklamsia. Ada beberapa
indikasi diberikannya obat anti hipertensi, yaitu:
1. Peningkatan tekanan darah yang persisten khususnya jika tekanan diastolik
melebihi 110 mm Hg. Penggunaannya lebih mendesak jika dikaitkan dengan
proteinuria.
2. Pada pre eklampsia berat untuk menurunkan tekanan darah selama masa
kehamilan dan selama periode induksi persalinan.

Gambar 2.3 Obat antihipertensi pada pre eklampsia berat.1


Gambar 2.4 Obat antihipertensi pada pre eklampsia berat.1
Setelah dokter memberikan terapi medikamentosa, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, yaitu:
1. Evaluasi klinis harian untuk gejala apa pun (mis. Sakit kepala, nyeri
epigastrik, gangguan penglihatan, oliguria).
2. Tekanan darah (setidaknya minimal empat kali sehari).
3. Keadaan edema dan catatan berat badan harian.
4. Balance cairan dan urin output.
5. Pemeriksaan urine untuk protein setiap hari dan jika ada, perkirakan
jumlahnya dalam 24 jam.
6. Pemeriksaan darah lengkap seperti kadar hematokrit, jumlah trombosit, asam
urat, kreatinin dan tes fungsi hati yang dapat dilakukan minimal 1 kali dalam
seminggu.
7. Pemeriksaan optamoskopi dapat diulang, jika perlu.
8. Penilaian kesejahteraan janin.
Manajemen tatalaksana defenitif pada kasus pre-eklampsia berat adalah
melakukan persalinan. Dengan demikian, tujuan dari manajemen penatalaksanaan di
atas adalah untuk melanjutkan kehamilan, jika mungkin, tanpa mempengaruhi
prognosis ibu sampai janin dapat bertahan hidup dalam lingkungan luar rahim (> 37
minggu). Dengan demikian, lamanya manajemen penatalaksanaan pada kasus pre
eklampsia berat tergantung pada:1
a. Keparahan preeklampsia
b. Lamanya usia kehamilan
c. Respon terhadap pengobatan, dan
d. kondisi serviks.
Metode persalinan pada kasus pre eklampsia berat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu secara pervaginam dengan induksi persalinan dan secara Section cesarea.
1. Induksi persalinan
Indikasi:1
a. Adanya gejala yang berat preeklampsia meskipun telah mendapatkan terapi
medis atau munculnya gejala yang lebih baru seperti adanya nyeri
epigastrium.
b. Hipertensi tetap ada meskipun telah diberikan terapi medis dengan usia
kehamilan yang mencapai 37 minggu atau lebih.
c. Pre eklampsia fulminasi akut terlepas dari periode kehamilan.
d. Kecenderungan kehamilan untuk melebihi tanggal yang diharapkan.
Metode:1
Jika serviks sudah matang, induksi bedah (Surgical Induction) dengan
ketuban pecah rendah adalah metode pilihan yang dapat dilakukan. Penambahan infus
oksitosin dapat ditambahkan selama masa induksi. Jika serviks tidak matang, gel
prostaglandin (PGE2) 500 μg intracervical atau 1-2 mg dapat dimasukkan ke dalam
forniks posterior untuk membuat serviks matang ketika ketuban pecah dengan rendah
dapat terbentuk dengan baik. Pada pre-eklampsia berat, obat antihipertensi harus
digunakan selama induksi.
2. Section cesarea
Indikasi:1
1. Pada saat kondisi emergensi dan tidak dapat dilakukan persalinan secara
metode induksi.
2. Pre-eklampsia berat dengan kecenderungan untuk memperpanjang interval
persalinan induksi.
3. Adanya faktor-faktor rumit yang berkaitan, seperti primigravida pada pasien
lanjut usia, panggul yang berkontraksi, malpresentasi, dll.
Operasi harus dilakukan oleh ahli bedah berpengalaman dengan bantuan ahli
anestesi. Penggunaan anestesi secara epidural lebih disukai, kecuali apabila terdapat
adanya koagulopati.
Tekanan darah cenderung meningkat selama proses persalinan dan dapat
terjadi kejang (intrapartum eklampsia). Obat antihipertensi dapat diberikan jika
tekanan darah tinggi. Tekanan darah dan urin output harus sering dicatat sehingga
dapat mendeteksi eklampsia yang akan terjadi. MgSO4 profilaksis dapat dimulai
ketika tekanan darah sistolik >160 diastolik >110, MAP >125 mmHg. Pemantauan
yang cermat atas kesejahteraan janin harus dilakukan dalam pengawasan yang ketat.1
Selama masa pasca persalinan, pasien harus diawasi dengan cermat
setidaknya selama 48 jam. Hal tersebut dikarenakan pada periode ini biasanya dapat
terjadi kejang. Terapi obat antihipertensi harus dilanjutkan jika tekanan darah tinggi
(sistolik >150 mmHg dan diastolik >100 mmHg). Nifedipine oral 10 mg setiap 6 jam
dapat diberikan sampai tekanan darah tetap di bawah level hipertensi selama
setidaknya 48 jam. Furosemide oral 20 mg sehari selama 5 hari juga dapat diberikan
untuk meningkatkan pemulihan dan mengurangi kebutuhan obat antihipertensi pada
kasus pre-eklampsia berat. Magnesium sulfat (setidaknya 24 jam) dan obat hipertensi
intensif mungkin diperlukan pada wanita dengan hipertensi berat dan gejala pre-
eklampsia fulminan akut selama periode postpartum. Pasien harus dirawat di rumah
sakit, sampai tekanan darah diturunkan ke tingkat yang aman dan proteinuria
menghilang.1
Gambar 2.4 Manajemen penatalaksanaan pre eklamsia berat.1
Penanganan kasus eklampsia harus dilakukan di Rumah Sakit yang memiliki
fasilitas lengkap untuk melakukan manajemen penatalaksanaan pada pasien tersebut.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika merujuk pasien dengan eklampsia
ke Rumah Sakit rujukan, yaitu:1
1. Semua catatan riwayat pasien dan ringkasan terperinci harus dikirim bersama
pasien
2. Tekanan darah harus distabilkan dan kejang harus hentikan
3. Magnesium sulfat (dosis pemuatan 4 gm IV dengan 10 gm IM) diberikan.
Labetalol 20 mg IV diberikan untuk mengendalikan hipertensi. Diuretik
diberikan jika ada edema paru. Diazepam jika digunakan harus diberikan 5
mg secara perlahan selama satu menit untuk menghindari apnea atau henti
jantung.
4. Satu tenaga medis atau bidan terlatih harus menemani pasien di ambulans
yang dilengkapi peralatan untuk mencegah cedera, kekambuhan berulang, dan
membersihkan saluran udara.
Pada saat di Rumah Sakit, Pasien harus diletakkan di ranjang yang dipagari
dan diberikan spatel lidah yang dimasukkan di antara gigi untuk mencegah pasien
menggigit lidahnya sendiri. Pasien diposisikam dalam keadaan dekubitus lateral
untuk menghindari aspirasi. Muntah dan sekresi oral dapat dihilangkan dengan cara
melakukan pengisapan secara kontinu, oksigenasi dipertahankan melalui masker
wajah (8-10L/menit) untuk mencegah asidosis respiratorik. Oksigenasi dimonitor
menggunakan oksimeter pulsa transkutan. Analisis gas darah arteri diperlukan ketika
kejenuhan O2 di bawah 92 persen. Sodium bikarbonat diberikan saat pH di bawah
7,10. Pasien harus memiliki dokter atau bidan terlatih untuk pengawasan konstan
secara kontinu.1
Cairan kristaloid ( Cairan Ringer) dapat dimulai sebagai pilihan pertama
untuk keseimbangan cairan di dalam tubuh. Total cairan tidak boleh melebihi 24 jam
keluaran urin sebelumnya ditambah 1000 ml. Biasanya, pemberian cairan ini tidak
boleh melebihi 2 liter dalam 24 jam. Infus larutan garam seimbang dapt diberikan
dengan kecepatan1ml/kg/jam. Meskipun hipovolemia terjadi pada pre-eklampsia-
eklampsia, biasanya terjadi overload pada jaringan sekitarnya. Larutan dekstrosa atau
kristalin tidak boleh digunakan karena dapat memperburuk jaringan yang berlebihan
yang menyebabkan edema paru dan Adult respiratory distress syndrome. Carian
koloid (albumin atau hemaccel) tetap berada di Vascular tree dan mereka menarik
cairan dari ruang interstitial. Profilaksis terhadap infeksi dapat diberikan antibiotik,
yaitu Ceftriaxone 1g/12 jam IV.1
Pemberian magnesium sulfat sebagai terapi kejang pada kasus eklampsia
merupakan pilihan yang tepat. Obat ini berfungsi sebagai penstabil membran dan
pelindung saraf. Obat ini juga dapat mengurangi sensitivitas motor endplate untuk
asetilkolin dan memblokir masuknya neuronal kalsium. Obat ini menginduksi
vasodilatasi pembuluh darah di otak, melebarkan arteri uterin, meningkatkan produksi
prostasiklin endotel dan menghambat aktivasi platelet. Obat ini tidak memiliki efek
yang merugikan pada neonatus dalam tingkat terapeutik. Obat ini juga mendapatkan
hasil yang sangat baik dengan menekan angka kematian ibu sebesar 3%. Akan tetapi,
obat ini tidak dapat digunakan untuk mengontrol hipertensi.1

Gambar 2.5 Regimen dosis magnesium sulfat.1


Penyuntikan ulang diberikan hanya jika reflek patella positif, output urin
melebihi 30 mL/jam dan laju respirasi lebih dari 12x/menit. Tingkat terapi serum
magnesium adalah 4-7 mEQ / L. Magnesium sulfat dilanjutkan selama 24 jam setelah
kejang terakhir atau persalinan yang akan terjadi kemudian. Apabila terjadi
kekambuhan, dapat diberikan 2 gram bolus IV diberikan lebih dari 5 menit dalam
rejimen di atas. Dibandingkan dengan regimen yang lain, magnesium sulfat memiliki
beberapa manfaat sebagai berikut:1
1. Mengontrol secara efektif tanpa efek depresi pada ibu atau bayi.
2. Pengurangan risiko kejang berulang.
3. Secara signifikan mengurangi tingkat kematian ibu (3%), dan
4. Mengurangi tingkat mortalitas perinatal.

Gambar 2.6 Manajemen penatalaksanaan kasus eklampsia.1


Pada sebagian besar kasus dengan eklampsia antepartum, persalinan dimulai
segera setelah kejang. Akan tetapi, apabila persalinan gagal untuk memulai,
penatalaksanaannya tergantung pada apakah kondsisi tersebut dapat dikendalikan
atau tidak dan kematangan janin. Keputusan untuk melahirkan dilakukan setelah
pasien stabil.1

a. Pada kondisi yang terkontrol1


 Bayi matur (>37 minggu): Pada kondisi ini persalinan dapat dilakukan. Jika
serviks baik(matang) dan tidak ada kontraindikasi dilakukannya persalinan
pervaginam, maka induksi bedah dengan ketuban yang pecah rendah dapat
dilakukan. Pemberian drip oksitosin dapat ditambahkan, jika perlu. Akan
tetapi, apabila serviks tidak matang, pematangan serviks dengan gel PGE2
atau pessary dapat dicapai sebelum ARM. Jika kondisi serviks tidak dapat
dilakukan persalinan pervaginam, maka Section cesarea dapat dilakukan.
 Bayi prematur (<37 minggu): Pada kondisi ini, persalinan direkomendasikan
dalam pengaturan dengan unit perawatan intensif neonatal (NICU). Proses
penyakit yang mendasari pre-eklampsia eklampsia berlanjut sampai wanita
tersebut melahirkan. Selain itu, ada risiko kejang berulang dan dapat
mengakibatkan terjadinya Intrauterine Fetal Death (IUFD). Pemberian terapi
steroid dapat diberikan saat kehamilan kurang dari 34 minggu.
Penatalaksanaan konservatif pada kehamilan sangat dini dapat meningkatkan
hasil perinatal, tetapi ini harus diimbangi secara hati-hati dengan kondisi
kesejahteraan ibu.
 Bayi meninggal: Pada kondisi ini, proses pre eklampsia secara bertahap dapat
berkurang, sehingga metode induksi medis dimulai.
b. Pada kondisi yang tidak terkontrol1
a. Apabila kondisi pasien tidak dikontrol dengan penggunaan antikonvulsan
dalam jangka waktu yang wajar (6-8 jam), pemutusan untuk dilakukannya
terminasi kehamilan harus dilakukan. Jika pemeriksaan vagina
menunjukkan respons yang cepat terhadap induksi, maka ketuban pecah
dengan rendah dapat dilakukan. Infus oksitosin dapat ditambahkan. Rahim
merespon dengan baik terhadap kasus-kasus oksitosin. Apabila respon
serviks tidak adekuat, maka Section cesarea harus segera dilakukan.
b. Selama persalinan: Apabila tidak adanya kontraindikasi pada persalinan
pervaginam, ketuban pecah rendah harus dilakukan untuk mempercepat
persalinan. Pemberian dosis obat antihipertensi dan antikonvulsan dapat
ditingkatkan untuk menenangkan pasien. Pada kasus IUFD, tindakan
forsep, ventouse atau kraniotomi dapat dilakukan. Ergometrine intravena
atau syntometrine setelah melahirkan bahu anterior tidak boleh diberikan
karena dapat menghasilkan peningkatan tekanan darah lebih lanjut.
Sebagai gantinya, 10 unit oxytocin IM atau IV secara perlahan harus
diberikan. Pada kondisi ini, klinisi harus tetap waspada terkait perdarahan
postpartum dan syok.
Tindakan Section cesarea dapat dilakukan apabila kondisi pasien tidak
terkontrol dengan menggunakan terapi medikamentosa, pasien dalam keadaan tidak
sadar atau dengan prospek persalinan pervaginam yang buruk dan indikasi obstetrik
(malpresentasi). Pasien harus dilakukan follow up di klinik postnatal setelah 6 minggu
pasca persalinan. Apabila terjadi hipertensi persisten, proteinuria, dan kadar biokimia
darah yang abnormal memerlukan penyelidikan lebih lanjut dan konsultasi dengan
dokter. Kehamilan lebih lanjut harus ditunda sampai kondsisi tersebut dapat
dikendalikan.1
2.9 Komplikasi Pre eklampsia berat dan Eklampsia
Komplikasi dari pre eklampsia berat terbagi kedalam beberapa bagian, yaitu:1,5
1. sindrom HELLP (Haemolysis, Elevated Liver enzymes,Low Platelet count).
Sindrom HELLP terjadi pada 10%-20% kasus pada pre eklampsia berat.
2. Residual Hypertension dapat terjadi setelah 6 bulan pasca persalinan pada 50%
kasus.
3. Pre eklampsia berulang, kondsisi ini terjadi pada 25% kasus.
4. Penyakit ginjal kronik.
Sedangkan pada eklampsia, Sebanyak 56% pasien dengan eklampsia mungkin
mengalami defisit neurologis sementara, termasuk kebutaan kortikal. Namun,
beberapa penelitian telah gagal untuk menunjukkan bukti defisit neurologis yang
bertahan setelah kejang eklampsia tanpa komplikasi selama periode tindak lanjut.
Studi menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko untuk terjadinya stroke dan
penyakit arteri koroner pada ibu eklampsia di kemudian hari.14

Komplikasi potensial eklampsia lainnya meliputi:14


1. Kerusakan neurologis permanen akibat kejang berulang atau perdarahan
intrakranial
2. Insufisiensi ginjal dan gagal ginjal akut
3. Perubahan janin - IUGR, abruptio placentae, oligohydramnion
4. Kerusakan hepar dan jarang ruptur hepar
5. Gangguan koagulopati dan DIC
6. Peningkatan risiko preeklampsia berulang / eklampsia dengan kehamilan
berikutnya
7. Kematian ibu atau janin: Eklampsia dikaitkan dengan sekitar 13% kematian
ibu di seluruh dunia
2.10 Prognosis
Prognosis pre-eklampsia (ringan/berat) tergantung pada periode kehamilan,
tingkat keparahan penyakit dan respons terhadap pengobatan. Sedangkan pada
eklampsia, setelah terjadi kejang pada pasien, prognosis eklampsia menjadi tidak
pasti. Prognosis tergantung pada beberapa faktor sebagai berikut:1
1. Interval panjang antara onset serangan dan dimulainya pengobatan (rujukan
lanjut).
2. Eklampsia antepartum khusus dengan interval persalinan yang lama.
3. Jumlah serangan lebih dari 10.
4. Terdapat koma di antara serangan.
5. Suhu lebih dari 102 ° F dengan denyut nadi di atas 120x/menit.
6. Tekanan darah sistolik lebih dari 200 mm Hg.
7. Oliguria (<400 mL / 24 jam) dengan proteinuria> 5 gm / 24 jam.
8. Tidak ada respon terhadap pengobatan.
9. Jaundice.
Kematian ibu akibat eklampsia sangat tinggi terjadi di India dan bervariasi 2-
30%. Kondisi ini jauh lebih banyak ditemukan di Rumah Sakit berbasis pedesaan
dibandingkan dengan Rumah Sakit di daerah perkotaan. Namun, jika ditangani secara
dini dan memadai, angka kematian pada eklampsia harus kurang dari 2%.1
BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu penyulit pada bidang


obstetri klinis. Pre eklampsia berat dan eklampsia merupakan 2 penyakit yang sering
ditemukan pada praktik klinis sehari-hari dan dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas pada ibu dan janin. Dua penyakit ini umumnya dapat dicegah apabila
pasien melakukan kunjungan antenatal yang rutin.
Manajemen penatalaksanaan pre eklampsia berat dan eklampsia adalah
dengan melakukan pengontrolan terhadap tekanan darah serta tetap memperhatikan
kesejahteraan bayi. Apabila usia cukup bulan, tidak ada kontraindikasi persalinan
pervaginam, maka terminasi kehamilan dapat dilakukan. Namun apabila usia
kehamilan tidak mencukupi dan kondisi stabil, maka manajemen ekspektatif dapat
dilakukan. Jika kondisi ibu tidak stabil dan usia kehamilan tidak mencukupi, maka
terminasi dapat dipertimbangkan. Tindakan Section cesarea dilakukan jika kondisi
ibu tidak stabil, prospek persalinan pervaginam yang buruk dan indikasi obstetrik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dutta, DC. Textbook of Obstetrics Including Perinatologh and Contraception.


Jaypee Brothers Medical Publishers. 2013, 220-240.
2. Williams, KP, Galerneau, F. Pathophysiology of Eclampsia. Clinics Mother
Child Health 2015, 12:4.
3. Shamsi, U. et al. Epidemiology and risk factors of pre eclampsia; an overview
of observational studies. Al Ameen J Med Sci; Volume 6, No.4, 2013, 292-
300.
4. Andalas, M. dkk. Eklampsia Postpartum; Sebuah Tinjauan Kasus. Jurnal
Kedokteran Univesitas Syiah Kuala. 2017, 33-35.
5. Berghela, V. Maternal-Fetal Evidence Based Guidlines; Third Edition. CRC
Press; Taylor and Francis Group. 2017, 1-23.
6. Ngwenya, S. Severe preeclampsia and eclampsia: incidence, complications,
and perinatal outcomes at alow-resource setting, Mpilo Central
Hospital,Bulawayo, Zimbabwe. International Journal Woman’s Health. 2017,
353–357.
7. Asmana, S. dkk. Hubungan Usia dan Paritas dengan Kejadian Pre eklampsia
Berat di Rumah Sakit Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2012 - 2013.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2016, 640-645.
8. Cunningham, FG. et al. Hypertensive Disorders In Williams Obstetrics; 25th
Edition. McGraw-Hill Education. 2018.
9. Prawirohardjo, S. Hipertensi dalam kehamilan dalam Ilmu Kebidanan. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2014, 531-559.
10. Uzan J, Carbonnel M, Piconne O, Asmar R, Ayoubi JM. Pre-eclampsia:
pathophysiology, diagnosis, and management. Vasc Health Risk Manag.
2011;7:467–474. doi:10.2147/VHRM.S2018
11. Rana, S. et al. Preeclampsia in Compendium on The Phatophysiology and
Treatment of Hypertension. American Heart Journal. 2019, 1094-1112.
12. The Royal Women’ Hospital. Guidline Pre Eclampsia: Management. The
Royal Women’ Hospital. 2018.
13. National Institute for Health and Care Excellence. NICE guidline
Hypertension in Pregnancy: Diagnosis and Management. NICE. 2019.
14. Ross, M. Eclampsia. Medscape. 2019.
PR

1. Berdasarkan William Obstetrics, Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan


gejala – gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap
kehamilannya dibagi menjadi:
1. Aktif (Aggressive management) yang berarti kehamilan segera diakhiri
atau diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan
medikamentosa.
Indikasi perawatan aktif ialah:
a. Ibu
 Umur kehamilan ≥ 37 minggu. Lockwood dan Paidas mengambil
batasan > 37 minggu untuk PER dan ≥ 37 minggu untuk PEB.
 Adanya tanda dan gejala Impending Eclampsia
 Kegagalan terapi pada perawatan konservatif yaitu keadaan klinik
dan laboratorik memburuk
 Diduga terjadi solusio plasenta
 Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan.s
b. Janin
 Adanya tanda – tanda fetal distress
 Adanya tanda – tanda Intra Uterine Growth retriction (IUGR)
 NST non reaktif dengan profil biofisik abnormal
 Terjadinya oligohidramnion
c. Laboratorik
 Adanya tanda – tanda HELLP’s Syndrome khususnya penurunan
trombosit yang cepat
Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasarkan
keadaan obstetrik pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum.
2. Konservatif (expectative management) yang berarti kehamilan tetap
dipertahankan bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.
Indikasi perawatan konservatif adalah bila kehamilan preterm ≤ 37
minggu tanpa disertai Impending eclampsia dengan keadaan janin baik.
Pengobatan yang diberikan sama dengan medikamentosa pada
pengelolaan aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap
kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi, sama seperti
pengelolaan aktif namun kehamilan tidak diterminasi. Magnesium Sulfat
dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda – tanda preeclampsia ringan
(PER), selambat – lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam
tidak ada perbaikan, keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan
medikamentosa dan kehamilan harus di terminasi. Klien dapat
dipulangkan bila penderita kembali ke gejala – gejala PER.
a. Penyulit Ibu
 System saraf pusat
Perdarahan intracranial, thrombosis vena, hipertensi ensefalopati,
edema selebri, edema retina, macular atau retina detachment dan
kebutaan korteks.
 Gastrointestinal-hepatik : subskapular hematoma hepar, rupture
kapsula hepar.
 Ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.
 Hematologic: DIC, trombositopenia dan hematoma luka operasi.
 Kardiopulmonar: edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik,
depresi atau arrest pernafasan, kardiak arrest, iskemia miokardium.
 Lain – lain: asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendali.
b. Penyulit Janin
Intrauterine fetal growth retriction (IUGR), solusio plasenta,
prematuritas, sindroma distress napas, intra uterine fetal death
(IUFD), kematian neonatal akibat perdarahan intraventrikular,
necrotizing enterocolitis, sepsis, cerebral palsy, dll.

2. MAP adalah tekanan darah antara sistolik dan diastolik, karena diastolik
berlangsung lebih lama daripada sistolik maka MAP setara dengan 40 % tekanan
sistolik ditambah 60% tekanan diastolik. Adapun rumus MAP adalah tekanan darah
sistolik ditambah dua kali tekanan darah diastolik dibagi 3. Rentang normal MAP
adalah 70 mmHg - 99 mmHg.
Penggunaan antihipertensi pada preeklampsia dimaksudkan untuk
menurunkan tekanan darah dengan segera demi memastikan keselamatan ibu tanpa
mengesampingkan perfusi plasenta untuk fetus. Terdapat banyak pendapat tentang
penentuan batas tekanan darah (cut off) untuk pemberian antihipertensi. Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110mmHg dan MAP (mean arterial
pressure) ≥ 126 mmHg. Studi lain menyebutkan pemberian antihipertensi sudah
dilakukan ketika tekanan darah sistolik mencapai 140-170 mmHg dan tekanan darah
diastolik 90-110 mmHg dengan target penurunan darah mencapai MAP 125 mmHg.
Penurunan tekanan darah dilakukan secara bertahap dimana tidak lebih dari 25%
penurunan dalam waktu 1 jam. Hal ini untuk mencegah terjadinya penurunan aliran
darah uteroplasenta.
3. Silva et al melaporkan pada penelitian nya bahwa status sosial ekonomi ibu yang
rendah merupakan faktor risiko yang kuat terjadinya preeklampsia.
4. Penggunaan obat antihipertensi memiliki batas-batas tertentu dalam mengendalikan
tekanan darah yang disebabkan karena pre eklamsia. Ada beberapa indikasi
diberikannya obat anti hipertensi, yaitu:
3. Peningkatan tekanan darah yang persisten khususnya jika tekanan diastolik
melebihi 110 mm Hg. Penggunaannya lebih mendesak jika dikaitkan dengan
proteinuria.
4. Pada pre eklampsia berat untuk menurunkan tekanan darah selama masa
kehamilan dan selama periode induksi persalinan.
Labetalol merupakan obat antihipertensi yang aman digunakan pada ibu hamil. Akan
tetapi, pada pasien dengan riwayat asma dan gagal jantung, maka dapat menggantinya
dengan antihipertensi yang lain, yaitu hidralzine. Metildopa juga terbukti aman pada
ibu hamil dengan hipertensi dalam kehamilan. Anti hipertensi golongan Ace inhibitor
dan angiotensin II reseptor bloker (ARB) tidak diperbolehkan digunakan pada ibu
hamil karena dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi.
5. Pada kasus hipertensi dalam kehamilan dan IUGR terdapat kegagalan invasi-
migrasi sel trofoblas masuk ke dalam arteria miometrium. Sel trofoblas berfungsi
untuk menggantikan sel otot pembuluh darah untuk tetap melebarkan lumen
pembuluh darah, karena sel trofoblas tidak dapat dipengaruhi hormone yang
mengendalikan vasokonstriksi dan vasodilatasi arteriol otot uterus. Masuknya sel
trofoblas sampai ke arteriol otot uterus menyebabkan pembuluh darah melebar dan
menjamin sirkulasi ke retroplasenter tetap terpelihara. Jika terjadi gangguan invasi
dan migrasi sel trofoblas sampai ke arteria miometrium atau arteriol otot uterus maka
pembuluh darah dapat vasokonstriksi dan suplai oksigen dan nutrisi akan kurang.
6. Berdasarkan beberapa penelitian, usia menjadi faktor risiko yang selalu
berhubungan dengan kejadian pre eklampsia berat/eklampsia. Hal tersebut dilaporkan
oleh Asmana dkk, dimana terdapat adanya hubungan antara usia dengan kejadian pre
eklampsia berat dengan nilai p 0.014, akan tetapi, pre eklampsia berat tidak memiliki
hubungan yang bermakna dengan jumlah paritas dengan nilai p 0.096. Hal yang sama
juga disampaikan oleh Andalas dkk, pada tinjauan kasusnya dimana dari 142 kasus b
yang diamati, terdapat 80 kasus terjadi pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun
dan di atas 35 tahun.
7. Komplikasi dari pre eklampsia berat terbagi kedalam beberapa bagian, yaitu:1,5
 sindrom HELLP (Haemolysis, Elevated Liver enzymes,Low Platelet count).
Sindrom HELLP terjadi pada 10%-20% kasus pada pre eklampsia berat.
 Residual Hypertension dapat terjadi setelah 6 bulan pasca persalinan pada
50% kasus.
 Pre eklampsia berulang, kondsisi ini terjadi pada 25% kasus.
 Penyakit ginjal kronik.
Sedangkan pada eklampsia, Sebanyak 56% pasien dengan eklampsia mungkin
mengalami defisit neurologis sementara, termasuk kebutaan kortikal. Namun,
beberapa penelitian telah gagal untuk menunjukkan bukti defisit neurologis yang
bertahan setelah kejang eklampsia tanpa komplikasi selama periode tindak lanjut.
Studi menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko untuk terjadinya stroke dan
penyakit arteri koroner pada ibu eklampsia di kemudian hari. Komplikasi potensial
eklampsia lainnya meliputi:
 Kerusakan neurologis permanen akibat kejang berulang atau perdarahan
intrakranial
 Insufisiensi ginjal dan gagal ginjal akut
 Perubahan janin - IUGR, abruptio placentae, oligohydramnion
 Kerusakan hepar dan jarang ruptur hepar
 Gangguan koagulopati dan DIC
 Peningkatan risiko preeklampsia berulang / eklampsia dengan kehamilan
berikutnya
 Kematian ibu atau janin: Eklampsia dikaitkan dengan sekitar 13% kematian
ibu di seluruh dunia
8.
A. Hipertensi kronis pada kehamilan
Memiliki riwayat hipertensi sebelum kehamilan dengan atau tanpa obat antihipertensi
atau tekanan darah ≥ 140/90 sebelum usia kehamilan 20 minggu.
B. Hipertensi gestasional
Berkelanjutan (setidaknya dalam dua kesempatan, dalam waktu enam jam secara
terpisah) tekanan darah ≥ 140/90 setelah 20 minggu tanpa adanya proteinuria, tanda-
tanda atau gejala preeklampsia lain, atau riwayat hipertensi sebelumnya.
C. Preeklampsia tanpa gejala berat (“preeklampsia ringan”)
Berkelanjutan (setidaknya dua kali, dalam waktu enam jam tetapi tidak > 7 hari
secara terpisah) tekanan darah ≥ 140/90 mmHg dan proteinuria (≥300 mg dalam 24
jam pada wanita tanpa proteinuria sebelumnya) setelah 20 minggu kehamilan pada
wanita dengan tekanan darah yang sebelumnya normal.
D. Preeklampsia superimposed
Satu atau lebih kriteria berikut:
• Onset baru proteinuria (≥300 mg dalam 24 jam tanpa proteinuria sebelumnya)
setelah 20 minggu pada seorang wanita dengan hipertensi kronis atau peningkatan
proteinuria secara tiba-tiba pada wanita dengan proteinuria yang diketahui sebelum
atau awal kehamilan
• Peningkatan hipertensi mendadak yang sebelumnya terkontrol dengan baik atau
peningkatan obat antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah
E. Preeklampsia superimposed dengan gejela yang berat
Preeklampsia superimposed dan satu atau lebih kriteria berikut:
• Peningkatan tekanan darah yang berat (≥160 / 110 mmHg) meskipun dengan
penggunaan obat antihipertensi
• Jumlah trombosit <100.000 / mm3
• Peningkatan enzim transaminase hati (AST dan / atau ALT) dua kali batas atas
konsentrasi normal
• Onset baru atau insufisiensi ginjal yang memburuk (kreatinin ≥1, 1 mg / dL atau
penggandaan kreatinin serum)
• Edema paru
• Gejala neurologis persisten (seperti nyeri kepala, gangguan visual)
F. Preeklamsia dengan gejala yang berat ("preeklamsia berat")
Preeklampsia dengan salah satu kriteria berikut:
• Tekanan darah ≥160 / 110 mmHg (dua kali,> terpisah 4 jam)
• Trombositopenia (trombosit <100.000 / mm3) dan / atau bukti anemia hemolitik
mikroangiopatik
• Peningkatan transaminase hati (AST dan / atau ALT) dua kali dari batas atas
konsentrasi normal untuk laboratorium tertentu
• Insufisiensi ginjal progresif (kreatinin ≥1,1 mg / dL atau menggandakan kreatinin
serum atau oliguria (<500 mL urin dalam 24 jam)) jika tidak ada penyakit ginjal
lainnya
• Nyeri kepala persisten atau gangguan otak atau visual lainnya (termasuk kejang
grand mal)
• Nyeri epigastrik (atau kuadran kanan atas) persisten
• Edema paru atau sianosis
G. Eklampsia
• Kejang (grand mal) disertai dengan preeklampsia dan / atau sindrom HELLP
9. Regimen pemberian kortikosteroid yang direkomendasikan oleh Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) tahun 2010 adalah 2 dosis betametasone
12 mg berjarak 24 jam dari dosis pertama, diberikan intramuskuler atau 4 dosis
deksametason 6 mg tiap 6 jam, diberikan intramuskuler. Menurutrekomendasi dari
RCOG setiap klinisi sepatutnya menawarkan pemberian terapi kortikosteroid
antenatal ini pada setiap wanita dengan risiko persalinan preterm dengan usia
kehamilan 24 minggu + 0 hari hingga 34 minggu + 6 hari.
Betametason dan deksametason adalah antenatal kortikosteroid yang digunakan
dalam penurunan respiratory distress syndrome (RDS). RDS terkait dengan
imaturitas struktur dan fungsi paru yang ditentukan dengan rasiolesitin/sfingomielin
(L/S) sebagai gold standard. Suatu penelitian telah dilakukan untuk menganalisis
penggunaan deksametason dengan dosis lebih rendah dalam mempercepat maturitas
paru janin. Pemberian deksametason antara dosis 4 mg dan 6 mg setiap 12 jam
selama 2 hari pada ibu hamil dengan resiko persalinan preterm tidak menunjukkan
perbedaan nilai rasio L/S. Deksametason secara intramuskular lebih dipilih karena
rute intramuskular memiliki pelepasan yang lebih lambat dengan durasi yang lebih
lama. Pemberian intravena tidak direkomendasikan karena akan memberi paparan
kortikosteroid terhadap wanita hamil dan janinnya dengan konsentrasi tinggi pada
tahap awal sehingga meningkatkan efek samping akibat penetrasi deksametason
secara cepat ke plasenta. Deksametason diberikan 4 kali dosis selama 2 hari vkarena
terapi kortikosteroid antenatal dilakukan menyerupai paparan kortikosteroid endogen
yang terjadi selama kehamilan dimana induksi kortisol endogen pada ibu juga terjadi
selama 48 jam (2hari), sehingga durasi deksametason juga diberikan selama 2 hari.
Dosis kortikosteroid pada sindrom HELLP
Dosis deksametason biasanya 10 mg IV setiap enam hingga 12 jam untuk dua hingga
tiga dosis, diikuti oleh 5 hingga 6 mg IVsix hingga 12 jam kemudian untuk dua
hingga tiga dosis lagi. Tidak ada perbedaan dalam risiko kematian ibu, kematian ibu
atau morbiditas ibu, atau kematian perinatal / bayi. Efek pengobatan yang hanya
signifikan pada hasil individu adalah peningkatan jumlah trombosit: Efek ini paling
kuat jika pengobatan dimulai secara antenatal.
10. Pada pasien pre eklampsia berat dapat diberikan terapi magnesium sebagian
profilaksis untuk terjadinya kejang. Magnesium sulfat diberikan sesuai prosedur dan
dilanjutkan dengan pemberian melalui intravena secara maintenance. Kemudian
dapat dilakukan pemeriksaan kadar magnesium di dalam darah setiap 6 jam pada fase
antepartum dan intrapartum, dengan batas kadar magnesium di dalam darah berkisar
1.7-3.5mmol/L. Hal ini bertujuan untuk memastikan dosis terapeutik dapat tercapai.
Target yang tekanan darah diastolik yang dapat dicapai dengan pemberian
magnesium adalah 90-100mmHg.

Penyuntikan ulang diberikan hanya jika reflek patella positif, output urin
melebihi 30 mL/jam dan laju respirasi lebih dari 12x/menit. Tingkat terapi serum
magnesium adalah 4-7 mEQ / L. Magnesium sulfat dilanjutkan selama 24 jam setelah
kejang terakhir atau persalinan yang akan terjadi kemudian. Apabila terjadi
kekambuhan, dapat diberikan 2 gram bolus IV diberikan lebih dari 5 menit dalam
rejimen di atas. Dibandingkan dengan regimen yang lain, magnesium sulfat memiliki
beberapa manfaat sebagai berikut:1
1. Mengontrol secara efektif tanpa efek depresi pada ibu atau bayi.
2. Pengurangan risiko kejang berulang.
3. Secara signifikan mengurangi tingkat kematian ibu (3%), dan
4. Mengurangi tingkat mortalitas perinatal.

Anda mungkin juga menyukai