Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I

LATAR BELAKANG
Diperkirakan di dunia setiap menit perempuan meninggal karena komplikasi yang
terkait dengan kehamilan dan persalinan, dengan kata lain 1400 perempuan meninggal
setiap harinya atau lebih kurang 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena
kehamilan dan persalinan.
1

Salah satu penyebab morbiditas dan mortilitas ibu dan janin adalah preeklampsia
(PE) yang menurut WHO angka kejadiannya berkisar antara 0,51%-38,4% (WHO, 2006).
Preeklampsia merupakan kondisi khusus dalam kehamilan, ditandai dengan peningkatan
tekanan darah (TD) dan proteinuria. Bisa berhubungan dengan dengan kejang (eklampsia)
dan gagal organ ganda pada ibu, sementara komplikasi pada janin meliputi restriksi
pertumbuhan dan abrupsio plasenta.
2

Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik pada
kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga didapati pada kelainan
perkembangan plasenta, dimana digambarkan disuatu kehamilan hanya terdapat trofoblas
namun tidak terdapat jaringan fetus (kehamilan mola komplit). Meskipun patofisiologi
preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal
kehamilan.
3

Di Indonesia, setelah perdarahan dan infeksi, preeklampsia masih merupakan sebab
utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi. Oleh karena itu diagnosis
dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta penanganannya
perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak.







2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PREEKLAMPSIA
2.1.1 Definisi
Preeklampsia (PE) merupakan kumpulan gejala atau sindroma yang mengenai
wanita hamil dengan usia kehamilan di atas 20 minggu dengan tanda utama berupa
adanya hipertensi dan proteinuria. Bila seorang wanita memenuhi kriteria preeclampsia
dan disertai kejang yang bukan disebabkan oleh penyakit neurologis dan atau koma
maka ia dikatakan mengalami eklampsia. Umumnya wanita hamil tersebut tidak
menunjukkan tanda-tanda kelainan vaskular atau hipertensi sebelumnya. Kumpulan
gejala itu berhubungan dengan vasospasme, peningkatan resistensi pembuluh darah
perifer, dan penurunan perfusi organ. Kelainan yang berupa lesi vaskuler tersebut
mengenai berbagai sistem organ, termasuk plasenta. Selain itu, sering pula dijumpai
peningkatan aktivasi trombosit dan aktivasi sistem koagulasi.
2.1.2 Etiologi
Etiologi preeklampsia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Banyak
teori dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang memuaskan.
Oleh karena itu, preeklampsia sering disebut sebagai the disease of theory. Teori
yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut:
1. Peningkatan angka kejadian preeklampsia pada primigravida, kehamilan ganda,
hidramnion, dan mola hidatidosa
2. Peningkatan angka kejadian preeklampsia seiring bertambahnya usia kehamilan
3. Perbaikan keadaan pasien dengan kematian janin dalam uterus
4. Penurunan angka kejadian preeklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya
5. Mekanisme terjadinya tanda-tanda preeklampsia, seperti hipertensi, edema,
proteinuria, kejang dan koma
Sedikitnya terdapat empat hipotesis mengenai etiologi preeklampsia hingga saat ini, yaitu:

3
1. Iskemia plasenta, yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap arteri spirali
sehingga menyebabkan berkurangnya sirkulasi uteroplasenta yang dapat
berkembang menjadi iskemia plasenta.


Gambar 2.1. Etiologi preeklampsia menurut teori iskemik plasenta
Implantasi plasenta pada kehamilan normal dan PE Implantasi plasenta normal
yang memperlihatkan proliferasi trofoblas ekstravilus membentuk satu kolom
di bawah vilus penambat. Trofoblas ekstravilus menginvasi desidua dan
berjalan sepanjang bagian dalam arteriol spiralis. Hal ini menyebabkan endotel
dan dinding pembuluh vaskular diganti diikuti oleh pembesaran pembuluh
darah.
2. Peningkatan toksisitas very low density lipoprotein (VLDL).
3. Maladaptasi imunologi, yang menyebabkan gangguan invasi arteri spiralis oleh
sel-sel sinsitiotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang diperantarai oleh
peningkatan pelepasan sitokin, enzim proteolitik dan radikal bebas.
4. Genetik.

4
Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia plasenta. Namun, banyak
faktor yang menyebabkan preeklampsia dan di antara faktor-faktor yang
ditemukan tersebut seringkali sukar ditentukan apakah faktor penyebab atau
merupakan akibat.
2.1.3 Klasifikasi
Preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat
(PEB):
1. Preeklampsia ringan
Dikatakan preeklampsia ringan bila:
a. Tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan darah
b. diastolik 90-110 mmHg
c. Proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam)
d. Tidak disertai gangguan fungsi organ
2. Preeklampsia berat
Dikatakan preeklampsia berat bila:
a. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg
b. Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan kuantitatif
c. Bisa disertai dengan:
i. Oliguria (urine 400 mL/24jam)
ii. Keluhan serebral, gangguan penglihatan
iii. Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerahepigastrium
iv. Gangguan fungsi hati dengan hiperbilirubinemia
v. Edema pulmonum, sianosis
vi. Gangguan perkembangan intrauterine
vii. Microangiopathic hemolytic anemia, trombositopenia
3. Jika terjadi tanda-tanda preeklampsia yang lebih berat dan disertai dengan
adanya kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklampsia.

5
Preklampsia berat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu:
a. PEB tanpa impending eclampsia
b. PEB dengan impending eclampsia dengan gejala-gejala impending di antaranya
nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium, dan nyeri
abdomen kuadran kanan atas
2.1.4 Insidens dan Faktor Risiko
Insidens preeklampsia sebesar 45 kasus per 10.000 kelahiran hidup pada
Negara maju. Di negara berkembang insidensnya bervariasi antara 610 kasus
per 10.000 kelahiran hidup.
Angka kematian ibu akibat kasus preeklampsia bervariasi antara 0-4%.Angka
kematian ibu meningkat karena komplikasi yang dapat mengenai berbagai sistem
tubuh. Penyebab kematian terbanyak wanita hamil akibat preeklampsia adalah
perdarahan intraserebral dan edema paru. Efek preeklampsia pada kematian perinatal
berkisar antara 10-28%. Penyebab terbanyak kematian perinatal disebabkan
prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, dan solutio plasenta. Sekitar 75%
eklampsia terjadi antepartum dan sisanya terjadi pada postpartum. Hampir semua kasus
(95%) eklampsia antepartum terjadi pada trimester ketiga.
Angka kejadian preeklampsia rata-rata sebanyak 6% dari seluruh kehamilan
dan 12% pada kehamilan primigravida. Kejadian penyakit ini lebih banyak dijumpai
pada primigravida terutama primigravida pada usia muda daripada multigravida.
Penelitian mengenai prevalensi preeklampsia dan PEB di Indonesia dilakukan
di Rumah Sakit Denpasar. Pada primigravida frekuensi preeklampsia/eklampsia lebih
tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan insidensi preeklampsia pada primigravida 11,03%.
Angka kematian maternal akibat penyakit ini 8,07% dan angka kematian perinatal
27,42%. Sedangkan pada periode Juli 1997 s/d Juni 2000 didapatkan 191 kasus
(1,21%) PEB dengan 55 kasus di antaranya dirawat konservatif.
Selain primigravida, faktor risiko preeklampsia lain di antaranya adalah:
1. nullipara
2. kehamilan ganda

6
3. obesitas
4. riwayat keluarga dengan preeklampsia atau eklampsia
5. riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
6. abnormalitas uterus yang diperoleh pada Doppler pada usia kandungan 18 dan
24 minggu
7. diabetes melitus gestasional
8. trombofilia
9. hipertensi atau penyakit ginjal
2.1.5 Patofisiologi
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya spasme
pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Bila spasme arteriolar juga
ditemukan di seluruh tubuh, maka dapat dipahami bahwa tekanan darah yang
meningkat merupakan kompensasi mengatasi kenaikan tahanan perifer agar
oksigenasi jaringan tetap tercukupi. Sedangkan peningkatan berat badan dan edema
yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial belum
diketahui penyebabnya. Beberapaliteratur menyebutkan bahwa pada preeklampsia
dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan kadar prolaktin yang tinggi
dibandingkan pada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan
volume plasma dan mengatur retensi air serta natrium. Pada preeklampsia
permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat. Turunnya tekanan darah
pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi perifer yang diakibatkan turunnya
tonus otot polos arteriol. Hal ini kemungkinan akibat meningkatnya kadar
progesteron di sirkulasi, dan atau menurunnya kadar vasokonstriktor seperti
angiotensin II, adrenalin, dan noradrenalin, dan atau menurunnya respon terhadap
zat-zat vasokonstriktor. Semua hal tersebut akan meningkatkan produksi
vasodilator atau prostanoid seperti PGE2 atau PGI2. Pada trimester ketiga akan
terjadi peningkatan tekanan darah yang normal seperti tekanan darah sebelum
hamil.



7
1. Regulasi volume darah
Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada preeklampsia. Kemampuan
untuk mengeluarkan natrium juga terganggu, tetapi pada derajat mana hal ini terjadi sangat
bervariasi dan pada keadaan berat mungkin tidak dijumpai adanya edema. Bahkan jika
dijumpai edema interstitial, volume plasma adalah lebih rendah dibandingkan pada wanita
hamil normal dan akan terjadi hemokonsentrasi. Terlebih lagi suatu penurunan atau suatu
peningkatan ringan volume plasma dapat menjadi tanda awal hipertensi.
2. Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah
Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia dibandingkan hamil
normal, penurunan ini lebih erat hubungannya dengan wanita yang melahirkan bayi
dengan berat bayi lahir rendah (BBLR).
3. Aliran Darah di Organ-Organ
a. Aliran darah di otak
Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang 20%. Hal ini
berhubungan dengan spasme pembuluh darah otak yang mungkin merupakan
suatu faktor penting dalam terjadinya kejang pada preeklampsia maupun
perdarahan otak.
b. Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering menjadi
penanda pada kehamilan muda. Pada preeklampsia arus darah efektif ginjal rata-
rata berkurang 20%, dari 750 ml menjadi 600ml/menit, dan filtrasi glomerulus
berkurang rata-rata 30%, dari 170 menjadi 120ml/menit, sehingga terjadi
penurunan filtrasi. Pada kasus berat akan terjadi oligouria, uremia dan pada
sedikit kasus dapat terjadi nekrosis tubular dan kortikal.
Plasenta ternyata membentuk renin dalam jumlah besar, yang fungsinya
mungkin sebagai cadangan menaikkan tekanan darah dan menjamin perfusi yang
adekuat. Pada kehamilan normal renin plasma, angiotensinogen, angiotensinogen
II, dan aldosteron meningkat nyata di atas nilai normal wanita tidak hamil.
Perubahan ini merupakan kompensasi akibat meningkatnya kadar progesteron
dalam sirkulasi. Pada kehamilan normal efek progesteron diimbangi oleh renin,

8
angiotensin, dan aldosteron, tetapi keseimbangan ini tidak terjadi pada
preeklampsia.
Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia adalah iskemi
uteroplasenter dimana terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta yang
meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang. Apabila
terjadi hipoperfusi uterus, akan dihasilkan lebih banyak renin uterus yang
mengakibatkan vasokonstriksi dan meningkatnya kepekaan pembuluh darah. Di
samping itu angiotensin menimbulkan vasodilatasi lokal pada uterus akibat efek
prostaglandin sebagai mekanisme kompensasi dari hipoperfusi uterus.
Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun pada preeklampsia,tetapi
karena hemodinamik pada kehamilan normal meningkat 30% sampai 50%,nilai
pada preeklampsia masih di atas atau sama dengan nilai wanita tidak hamil.Klirens
fraksi asam urat yang menurun, kadang-kadang beberapa minggu sebelum ada
perubahan pada GFR, dan hiperuricemia dapat merupakan gejala awal.Dijumpai
pula peningkatan pengeluaran protein biasanya ringan sampai sedang.Preeklampsia
merupakan penyebab terbesar sindrom nefrotik pada kehamilan.
Penurunan hemodinamik ginjal dan peningkatan protein urin adalah bagiandari lesi
morfologi khusus yang melibatkan pembengkakan sel-sel intrakapilerglomerulus
yang merupakan tanda khas patologi ginjal pada preeklampsia.
c. Aliran darah uterus dan choriodesidua
Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah perubahan patofisiologi
terpenting pada preeklampsia, dan mungkin merupakan faktor penentu hasil
kehamilan. Namun yang disayangkan adalah belum ada satu pun metode
pengukuran arus darah yang memuaskan baik di uterus maupun di desidua.
d. Aliran darah di paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya karena edema paru
yang menimbulkan dekompensasi cordis.
e. Aliran darah di mata
Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah orbital. Bila terjadi
halhal tersebut, maka harus dicurigai terjadinya preeklampsia berat. Gejala lain
yang mengarah ke eklampsia adalah skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini

9
disebabkan oleh adanya perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan
dikorteks serebri atau dalam retina.
f. Keseimbangan air dan elektrolit
Terjadi peningkatan kadar gula darah yang meningkat untuk sementara, asam
laktat dan asam organik lainnya, sehingga konvulsi selesai, zat-zat organik
dioksidasi dan dilepaskan natrium yang lalu bereaksi dengan karbonik dengan
terbentuknya natrium bikarbonat. Dengan demikian cadangan alkali dapat pulih
kembali.
2.1.6 Manifestasi Klinis
Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia adalah hipertensi dan
proteinuria. Gejala ini merupakan keadaan yang biasanya tidak disadari oleh wanita
hamil. Pada waktu keluhan lain seperti sakit kepala, gangguan penglihatan, dan
nyeri epigastrium mulai timbul, hipertensi dan proteinuria yang terjadi biasanya
sudah berat.
Tekanan darah. Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme
arteriol sehingga tanda peringatan awal muncul adalah peningkatan tekanan darah.
Tekanan diastolik merupakan tanda prognostik yang lebih baik dibandingkan
tekanan sistolik dan tekanan diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih menetap
menunjukan keadaan abnormal. Kenaikan berat badan. Peningkatan berat badan
yang terjadi tiba-tiba dan kenaikan berat badan yang berlebihan merupakan tanda
pertama preeklampsia. Peningkatan berat badan sekitar 0,45 kg per minggu adalah
normal, tetapi bila lebih dari 1 kg dalam seminggu atau 3 kg dalam sebulan maka
kemungkinan terjadinyapreeklampsia harus dicurigai. Peningkatan berat badan
yang mendadak serta berlebihan terutama disebabkan oleh retensi cairan dan selalu
dapat ditemukan sebelum timbul gejala edema nondependent yang terlihat jelas,
seperti edema kelopak mata, kedua lengan, atau tungkai yang membesar.
Proteinuria. Derajat proteinuria sangat bervariasi menunjukan adanya suatu
penyebab fungsional dan bukan organik. Pada preeklampsia awal, proteinuria
mungkin hanya minimal atau tidak ditemukan sama sekali. Pada kasus yang berat,
proteinuria biasanya dapat ditemukan dan mencapai 10 gr/l. Proteinuria hampir
selalu timbul kemudian dibandingkan dengan hipertensi dan biasanya terjadi
setelah kenaikan berat badan yang berlebihan.

10
Nyeri kepala. Gejala ini jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi semakin
sering terjadi pada kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering terasa pada daerah
frontalis dan oksipitalis, dan tidak sembuh dengan pemberian analgesik biasa. Pada
wanita hamil yang mengalami serangan eklampsia, nyeri kepala hebat hampir
selalu mendahului serangan kejang pertama.
Nyeri epigastrium. Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas
merupakan keluhan yang sering ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat
menjadi presiktorserangan kejang yang akan terjadi. Keluhan ini mungkin
disebabkan oleh regangankapsula hepar akibat edema atau perdarahan. Gangguan
penglihatan. Gangguan penglihatan yang dapat terjadi di antaranya pandangan
yang sedikit kabur, skotoma, hingga kebutaan sebagian atau total. Keadaan
inidisebabkan oleh vasospasme, iskemia, dan perdarahan petekie pada korteks
oksipital.
2.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah
1. terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat trauma pada
ibu maupun janin
2. kelahiran bayi yang dapat bertahan
3. pemulihan kesehatan lengkap pada ibu
Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika diketahui atau
diperkirakan janin memiliki usia gestasi preterm, kecenderungannya adalah
mempertahankan sementara janin di dalam uterus selama beberapa minggu untuk
menurunkan risiko kematian neonatus.
Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan terdiri
dari penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita hamil dengan PEB
umumnya dilakukan persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun terakhir,
sebuah pendekatan yang berbeda pada wanita dengan PEB mulai berubah.
Pendekatan ini mengedepankan penatalaksanaan ekspektatif pada beberapa kelompok
wanita dengan tujuan meningkatkan luaran pada bayi yang dilahirkan tanpa
memperburuk keamanan ibu.

11
Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan PEB
antara lain adalah:
a. tirah baring
b. oksigen
c. kateter menetap
d. cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid
maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan berpedoman pada
diuresis, insensible water loss, dan central venous pressure (CVP). Balans cairan
ini harus selalu diawasi.
e. Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 20 cc MgSO4 20%
secara intravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan dengan
MgSO4 40% sebanyak 30 cc dalam 500 cc ringer laktat (RL) atau sekitar 14
tetes/menit. Magnesium sulfat ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu:
1. refleks patella normal
2. frekuensi respirasi >16x per menit
3. produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5 cc/kgBB/jam 4.
disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai antidotum. Bila
nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi maka kalsium glukonas
tersebut diberikan dalam tiga menit.
f. Antihipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg. Pilihan
antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg. Setelah 1 jam, jika
tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 10 mg dengan
interval satu jam, dua jam, atau tiga jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan
darah pada PEB tidak boleh terlalu agresif yaitu tekanan darah diastol tidak kurang
dari 90 mmHg atau maksimal 30%. Penggunaan nifedipin ini sangat dianjurkan
karena harganya murah, mudah didapat, dan mudah mengatur dosisnya dengan
efektifitas yang cukup baik.



12
g. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia
kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk pasien
dengan PEB.
seluruh kelahiran prematur.
Ada pendapat bahwa janin penderita preeklampsia berada dalam keadaan stres
sehingga mengalami percepatan pematangan paru. Akan tetapi menurut Schiff dkk,
tidak terjadi percepatan pematangan paru pada penderita preeklampsia.
Gluck pada tahun 1979 menyatakan bahwa produksi surfaktan dirangsang
oleh adanya komplikasi kehamilan antara lain hipertensi dalam kehamilan yang
berlangsung lama. Hal yang sama juga dilaporkan Chiswick (1976) dan Morrison
(1977) yaitu rasio L/S yang matang lebih tinggi pada penderita hipertensi dalam
kehamilan yang lahir prematur. Sementara itu, Owen dkk (1990) menyimpulkan
bahwa komplikasi kehamilan terutama hipertensi dalam kehamilan tidak
memberikan keuntungan terhadap kelangsungan hidup janin. Banias dkk dan
Bowen dkk juga melaporkan terjadi peningkatan insidens respiratory distress
syndrome (RDS) pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita hipertensi dalam
kehamilan.
Dalam lebih dari dua dekade, kortikosteroid telah diberikan pada masa
antenatal dengan maksud mengurangi komplikasi, terutama RDS, pada bayi
prematur. Apabila dilihat dari lamanya interval waktu mulai saat pemberian steroid
sampai kelahiran, tampak bahwa interval 24 jam sampai tujuh hari memberi
keuntungan yang lebih besar dengan rasio kemungkinan (odds ratio/OR) 0,38
terjadinya RDS. Sementara apabila interval kurang dari 24 jam OR 0,70 dan
apabila lebih dari 7 hari OR 0,41.
Penelitian US Collaborative tahun 1981 melaporkan perbedaan bermakna
insiden RDS dengan pemberian steroid antenatal pada kehamilan 30-34 minggu
dengan interval antara 24 jam sampai dengan tujuh hari. Sementara penelitian
Liggins dan Howie mendapati insidens RDS lebih rendah apabila interval waktu
antara saat pemberian steroid sampai kelahiran adalah dua hari sampai kurang dari
tujuh hari dan perbedaan ini bermakna. Mereka menganjurkan steroid harus

13
diberikan paling tidak 24 jam sebelum terjadi kelahiran agar terlihat manfaatnya
terhadap pematangan paru janin.
Pemberian steroid setelah lahir tidak bermanfaat karena kerusakan telah terjadi
sebelum steroid bekerja. National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan:
1. Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 2434 minggu yang dalam
persalinan prematur mengancam merupakan kandidat untuk pemberian
kortikosteroid antenatal dosis tunggal.
2. Kortikosteroid yang dianjurkan adalah betametason 12 mg sebanyak dua dosis
dengan selang waktu 24 jam atau deksametason 6 mg sebanyak 4 dosis
intramuskular dengan interval 12 jam.
3. Keuntungan optimal dicapai 24 jam setelah dosis inisial dan berlangsung
selama tujuh hari. Pemberian deksamethason di Rumah Sakit Pendidikan di
FK-USU yaitu 15 mg dalam sekali pemberian.


14

Gambar 2.2. Penanganan preeklampsia berat22







15
Tabel 2.1. Penanganan preeklampsia
Ibu Fetus
Terminasi
kehamilan

Hipertensi yang tak terkontrol ( TD >
160/110 mmHg dengan penggunaan
antihipertensi) Eklampsia Trombosit
<100.000/mm3 Fungsi hati >2x batas atas
nilai normal dengan adanya nyeri
epigastrium Edema paru Gangguan fungsi
ginjal Solusio plasenta Gangguan
penglihatan
Dijumpai gambaran NST
yang non-reaktif Biophysic
profile <4 pada 2
pemeriksaan yang berbeda
Jumlah cairan amnion <2cm
EBW dari USG <5th
Persentil
Penanganan
ekspektatif

Hipertensi terkontrol Fungsi hati >2x
batas atas nilai normal
dengan adanya nyeri epigastrium
Biophysic profile >6 Jumlah
cairan amnion > 2 EBW dari
USG > 5
th
persentil

2.1.7.1 Penanganan Aktif
Penanganan Aktif. Kehamilan dengan PEB sering dihubungkan dengan
peningkatan mortalitas perinatal dan peningkatan morbiditas serta mortalitas ibu.
Sehingga beberapa ahli berpendapat untuk terminasi kehamilan setelah usia
kehamilan mencapai 34 minggu. Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang
terbaik untuk ibu untuk mencegah progresifitas PEB. Indikasi untuk
penatalaksanaan aktif pada PEB dilihat baik indikasi pada ibu maupun janin:
1. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada ibu:
a. kegagalan terapi medikamentosa:
setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan
darah yang persisten
setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa, terjadi
kenaikan desakan darah yang persisten
b. tanda dan gejala impending eklampsia
c. gangguan fungsi hepar

16
d. gangguan fungsi ginjal
e. dicurigai terjadi solusio plasenta
f. timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan
g. umur kehamilan 37 minggu
h. Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) berdasarkan pemeriksaan USG
timbulnya oligohidramnion
2. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada janin:
3. Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke sindrom HELLP
(hemolytic anemia, elevated liver enzymes, and low platelet count).
Dalam ACOG Practice Bulletin7 mencatat terminasi sebagai terapi untuk
PEB. Akan tetapi, keputusan untuk terminasi harus melihat keadaan ibu dan
janinnya. Sementara Nowitz ER29 dkk membuat ketentuan penanganan PEB
dengan terminasi kehamilan dilakukan ketika diagnosis PEB ditegakkan. Hasil
penelitian juga menyebutkan tidak ada keuntungan terhadap ibu untuk melanjutkan
kehamilan jika diagnosis PEB telah ditegakkan.
Ahmed M30 dkk pada sebuah review terhadap PEB melaporkan bahwa
terminasi kehamilan adalah terapi efektif untuk PEB. Sebelum terminasi, pasien
telah diberikan dengan antikejang, magnesium sulfat, dan pemberian antihipertensi.
Wagner LK juga mencatat bahwa terminasi adalah terapi efektif untuk PEB.
Pemilihan terminasi secara vaginal lebih diutamakan untuk menghindari faktor
stress dari operasi sesar.
2.1.7.2 Penanganan Ekspektatif
Penanganan ekspektatif. Terdapat kontroversi mengenai terminasi
kehamilan pada PEB yang belum cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk
memperpanjang usia kehamilan sampai seaterm mungkin sampai tercapainya
pematangan paru atau sampai usia kehamilan di atas 37 minggu. Adapun
penatalaksanaan ekspektatif bertujuan:
1. mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang
memenuhi syarat janin dapat dilahirkan

17
2. meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan
ibu.
Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan, pada pasien
PEB yang timbul dengan usia kehamilan dibawah 24 minggu, terminasi kehamilan
lebih diutamakan untuk menghindari komplikasi yang dapat mengancam nyawa ibu
(misalnya perdarahan otak). Sedangkan pada pasien PEB dengan usia kehamilan 25
sampai 34 minggu, penanganan ekspektatif lebih disarankan.
Penelitian awal mengenai terapi ekspektatif ini dilakukan oleh Nochimson
dan Petrie33 pada tahun 1979. Mereka menunda kelahiran pada pasien PEB dengan
usia kehamilan 27-33 minggu selama 48 jam untuk memberi waktu kerja steroid
mempercepat pematangan paru.
Kemudian Rick34 dkk pada tahun 1980 juga menunda kelahiran pasien
dengan PEB selama 48-72 jam bila diketahui rasio lecitin/spingomyelin (L/S)
menunjukkan ketidak matangan paru.
Banyak peneliti lain yang juga meneliti efektifitas penatalaksanaan
ekspektatif ini terutama pada kehamilan preterm. Di antaranya yaitu Odendaal
dkk35 yang melaporkan hasil perbandingan penatalaksanaan ekspektatif dan aktif
pada 58 wanita dengan PEB dengan usia kehamilan 28-34 minggu. Pasien ini
diterapi dengan MgSO4, hidralazine, dan kortikosteroid untuk pematangan paru.
Semua pasien dipantau ketat di ruang rawat inap.
Dua puluh dari 58 pasien mengalami terminasi karena indikasi ibu dan janin
setelah 48 jam dirawat inap. Pasien dengan kelompok penanganan aktif diterminasi
kehamilannya setelah 72 jam, sedangkan pasien pada kelompok ekspektatif
melahirkan pada usia kehamilan rata-rata 34 minggu. Odendaal35 dkk juga
menemukan penurunan komplikasi perinatal pada kelompok dengan penanganan
ekspektatif.
Penelitian lain yang dilakukan Witlin36 dkk melaporkan peningkatan angka
pertumbuhan janin terhambat yang sejalan dengan peningkatan usia kehamilan
selama penanganan secara ekspektatif.
Sedangkan Haddad B37 dkk yang meneliti 239 penderita PEB dengan usia
kehamilan 24-33 minggu mendapatkan 13 kematian perinatal dengan rincian 12
bayi pada kelompok aktif dan 1 kematian perinatal pada kelompok ekspektatif.

18
Sementara angka kematian ibu sama pada kedua kelompok. Penelitian ini
menyimpulkan penanganan PEB secara ekspektatif pada usia kehamilan 24-33
minggu menghasilkan luaran perinatal yang lebih baik dengan risiko minimal pada
ibu. Pada pasien dengan PEB, sedapat mungkin persalinan diarahkan pervaginam
dengan beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Penderita belum inpartu
a. Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop 8
Dalam melakukan induksi persalinan, bila perlu dapat dilakukan pematangan
serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II
dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan dianggap gagal dan harus
disusul dengan pembedahan sesar.
b. Pembedahan sesar dapat dilakukan jika tidak ada indikasi untuk
persalinanpervaginam atau bila induksi persalinan gagal, terjadi maternal
distress, terjadi fetal distress, atau umur kehamilan <33 minggu. 38
2. Bila penderita sudah inpartu
a. Perjalan persalinan diikuti dengan grafik Friedman
b. Memperpendek kala II
c. Pembedahan cesar dilakukan bila terdapat maternal distress dan fetal distress.
d. Primigravida direkomendasikan pembedahan cesar.
e. Anastesi: regional anastesia, epidural anastesia. Tidak dianjurkan anastesia
umum.
2.2 SINDROMA HELLP
2.2.1 Definisi
Definisi dari sindroma HELLP masih kontroversi. Menurut Godlin (1982)
sindroma HELLP merupakan bentuk awal dari PEB. Weinstein (1982) melaporkan
sindroma HELLP merupakan varian yang unik dari preeklampsia, tetapi Mackenna dkk
(1983) melaporkan bahwa sindroma ini tidak berhubungan dengan preeklampsia. Di lain
pihak banyak penulis melaporkan bahwa sindroma HELLP merupakan bentuk lain dari
disseminated intravascular coagulation (DIC) yang terlewatkan karena proses
pemeriksaan laboratorium yang tidak adekuat.

19
2.2.2 Insidens
Sampai saat ini insidens sindroma HELLP belum diketahui dengan pasti.
Hal ini disebabkan sindroma ini sulit diduga serta gambaran klinisnya mirip dengan
penyakit nonobstetri.
Menurut Sibai (1964) angka kejadian sindroma HELLP berkisar antara 4 -
14% dari seluruh penderita PEB, sedangkan angka kejadian Sindroma HELLP pada
seluruh kehamilan adalah 0,2 0,6%. Sindroma ini secara bermakna lebih tinggi
pada wanita kulit putih dan multigravida.
2.2.3 Klasifikasi
Terdapat 2 klasifikasi yang digunakan pada Sindroma HELLP, yaitu:
1. Berdasarkan jumlah keabnormalan yang dijumpai.
Audibert dkk (1996 ) melaporkan pembagian Sindroma HELLP
berdasarkan jumlah keabnormalan parameter yang didapati, yaitu: sindroma
HELLP murni bila didapati ketiga parameter, yaitu (1) hemolisis, peningkatan
enzim hepar, dan penurunan jumlah trombosit dengan karakteristik gambaran darah
tepi dijumpainya burr cell, schistocyte, atau spherocytes, LDH > 600 IU/L,, SGOT
> 70 IU/ L, bilirubin >1,2 ml/dl, dan jumlah trombosit <100.000/mm3, (2)
sindroma HELLP parsial bila dijumpai hanya satu atau dua parameter sindroma
HELLP.
2. Berdasarkan jumlah trombosit.
Martin (1991) mengelompokkan penderita Sindroma HELLP dalam tiga kelas:
a. kelas I:
b. kelas II: -
c. kelas III: -
2.2.4 Gejala dan Tanda Klinis
Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium atau
kuadran kanan atas (90%), nyeri kepala, malaise sampai beberapa hari sebelum dibawa
ke rumah sakit (90%), serta mual dan muntah (45 86%).1,4 Selain itu, dapat pula
ditemukan penambahan berat badan dan edema (60%). Hipertensi tidak dijumpai
sekitar 20% kasus, hipertensi ringan 30%, dan hipertensi berat 50%.2,3

20
Pada beberapa kasus dijumpai hepatomegali, kejang-kejang, jaundice, perdarahan
gastrointestinal, dan perdarahan gusi. Sangat jarang dijumpai hipoglikemi, koma,
hiponatremia, gangguan mental, buta kortikal, dan diabetes insipidus yang nefrogenik.
Edema pulmonum dan gagal ginjal akut biasa dijumpai pada kasus sindroma HELLP yang
onsetnya postpartum atau antepartum yang ditangani secara konservatif.
2.2.5 Penatalaksanaan
Protokol manajemen sindroma HELLP:
1. Penanganan dimulai sebagaimana penanganan pada PE berat.
2. Adanya Sindroma HELLP bukan merupakan indikasi untuk segera melakukan
terminasi kehamilan. Stabilisasi ibu adalah prioritas utama
2.3 EKLAMPSIA
2.3.1 Definisi
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut
dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa
didahului oleh tanda-tanda lain. Secara defenisi eklampsia adalah preeklampsia
yang disertai dengan kejang tonik klonik disusul dengan koma.Menurut saat
timbulnya, eklampsia dibagi atas:
1. eklampsia antepartum (eklampsia gravidarum), yaitu eklampsia yang terjadi
sebelum masa persalinan 4-50%
2. eklampsia intrapartum (eklampsia parturientum), yaitu eklampsia yang terjadi
pada saat persalinan 4-40%
3. eklampsia postpartum (eklampsia puerperium), yaitu eklampsia yang terjadi
setelah persalinan 4-10%
2.3.2 Frekuensi
Frekuensi eklampsia bervariasi antara satu negara dengan negara yang lain.
Frekuensi rendah pada umumnya merupakan petunjuk tentang adanya pengawasan
antenatal yang baik, penyediaan tempat tidur antenatal yang cukup, dan penanganan
preeklampsia yang sempurna. Di negara-negara berkembang frekuensi eklampsia berkisar
antara 0,3% - 0,7%, sedangkan di negara-negara maju angka tersebut lebih kecil, yaitu
0,05% - 0,1 %.

21
2.3.3 Gejala dan Tanda Klinis
Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual
yang hebat, nyeri epigastrium, dan hiperreflexia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan
tidak segera diobati, akan timbul kejang. 2,3,7
Konvulsi eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yakni:
1. Stadium Invasi (tingkat awal atau aura)
Mula-mula gerakan kejang dimulai pada daerah sekitar mulut dan gerakan-gerakan
kecil pada wajah. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak -mata dan tangan
bergetar. Setelah beberapa detik seluruh tubuh menegang dan kepala berputar ke
kanan dan ke kiri. Hal ini berlangsung selama sekitar 30 detik.
2. Stadium kejang tonik
Seluruh otot badan menjadi kaku, wajah kaku, tangan menggenggam dan kaki
membengkok ke dalam, pernafasan berhenti, muka mulai kelihatan sianosis, dan
lidah dapat tergigit. Stadium ini berlangsung kira-kira 20 - 30 detik.
3. Stadium kejang klonik
Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi berulang-ulang dalam tempo
yang cepat. Mulut terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa, lidah dapat tergigit,
mata melotot, muka kelihatan kongesti, dan sianotik. Kejang klonik ini dapat
demikian hebatnya hingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Setelah
berlangsung selama 1 - 2 menit, kejang klonik berhenti dan penderita tidak sadar,
menarik nafas seperti mendengkur.
4. Stadium koma
Koma berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam. Secara perlahan-lahan
penderita mulai sadar kembali. Kadang-kadang antara kesadaran timbul serangan
baru dan akhirnya penderita tetap dalam keadaan koma.
2.3.4 Diagnosis
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda
dan gejala preeklampsia yang disusul oleh serangan kejang seperti telah diuraikan,

22
diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan. Walaupun demikian, eklampsia harus
dibedakan dari:
1. Epilepsi Pada anamnesis pasien epilepsi akan didapatkan episode serangan sejak
sebelum hamil atau pada hamil muda tanpa tanda preeklampsia.
2. Kejang karena obat anestesi
Apabila obat anestesi lokal disuntikkanke dalam vena, kejang baru timbul.
3. Koma karena sebab lain, seperti diabetes melitus, perdarahan otak, meningitis,
ensefalitis, dan lain-lain.
2.3.5 Prognosis
Kriteria Eden adalah kriteria untuk menentukan prognosis eklampsia. Kriteria Eden
antara lain:
1. koma yang lama (prolonged coma)
2. nadi diatas 120
3. suhu 39,4C atau lebih
4. tekanan darah di atas 200 mmHg
5. konvulsi lebih dari 10 kali
6. proteinuria 10 g atau lebih
7. tidak ada edema, edema menghilang Bila tidak ada atau hanya satu kriteria di
atas, eklampsia masuk ke kelas ringan; bila dijumpai 2 atau lebih masuk ke kelas
berat dan prognosis akan lebih buruk.
Tingginya kematian ibu dan bayi di negara-negara berkembang disebabkan oleh
kurang sempurnanya pengawasan masa antenatal dan natal. Penderita eklampsia
sering datang terlambat sehingga terlambat memperoleh pengobatan yang tepat dan
cepat. Biasanya preeklampsia dan eklampsia murni tidak menyebabkan hipertensi
menahun.
2.3.6 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan eklampsia sama dengan PEB. Tujuan utamanya
ialah menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan mengakhiri kehamilan
secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu mengizinkan. 37-40 Pada

23
dasarnya pengobatan eklampsia terdiri pengobatan medikamentosa dan obstetrik.
Namun, pengobatan hanya dapat dilakukan secara simptomatis karena penyebab
eklampsia belum diketahui dengan pasti.

























24
2.4 Kerangka Teori










PREECLAMSIA
MULTIPLE ORGAN DYSFUNCTION

25
2.5 Kerangka Konsep

























PEB < 37
MINGGU
Penganan aktif
Penangan ekspektatif
luaran ibu (eklampsia, impending
eklampsia, edema paru, stroke,
gangguan fungsi ginjal, sindroma
HELLP, solusio plasenta, lama rawat,
kematian, cara persalinan, dan
perdarahan pasca persalinan)
luaran bayi (nilai APGAR, berat
lahir, kematian, dan lama rawat)

26
BAB III
3.1 EKTRAKSI VACUM
3.1.1 Definisi
Vakum adalah semacam alat penghisap (negative-pressure vacuum extractor) yang
digunakan untuk membantu mengeluarkan bayi.persalinan dengan menggunakan vakum
biasanya disebut ekstraksi vacum.vakum membantu memberi tenaga tambahan untuk
mengeluarkan bayi dan biasanya digunakan saat persalinan sudah berlangsung terlalu
lama,ibu sudah terlalu capek sehingga tidak kuat mengedan lagi.
3.1.2 Alat-alat Ekstraksi Vacum
1. Satu botol vakum dengan manometer
2. Beberapa mangkok ( terbuat dari besi ) dengan diameter 30, 40, 50 dan 60
3. Selang karet
4. Rantai besi
5. Pompa tangan
6. Alat penarik khusus



27
3.1.2 Etiologi
Ekstraksi vakum dilakukan karena kesukaran bersalin sehingga proses kelahiran
berlangsung lama. Proses persalinan yang lama disebabkan oleh berbagai keadaan
antara lain disebabkan:
Kontraksi Rahim yang kurang intensif (kekuatan dan frekuensi )
Pengembangan Rahim yang berlebihan (kandungan kembar dan bayi besar)
Posisi bayi tidak sesuai
Tulang pelvis sempit sehingga kepala bayi tidak dapat melewatinya
3.1.3 Indikasi
Kelelahan ibu
Partus tak maju
Gawat janin yang ringan
Toksenia Gravidarum
Ruptur uteri iminens
Untuk mempersingkat kala II pada ibu-ibu yang tidak boleh mengedan lama seperti
ibu-ibu yang menderita vitium kordis, anemia, tb paru dan asma bronkial
3.1.4 Kontraindikasi
Ibu : robekan pada serviks uteri, robekan pada dinding vagina, perineum
Janin: perdarahan dalam otak, kaput suksedaneum artifisialis, yang biasanya akan
hilang sendiri setelah 24-48 jam
3.1.5 Syarat Ekstraksi Vacum
Pembukaan servik lengkap
Kepala janin berada di Hodge III dan engaged
Tidak ada disporposi sevalopelvik atau fotopelvis
Ada his atau tenaga mengejan
Ketuban sudah pecah atau dipecahkan


28
3.1.6 Persiapan Tindakan
Persiapkan ibu dalam posisi litotomi
Kosongkan kandung kemih dan rectum
Bersihkan vulva dan perineum dengan antiseptic
Siapkan alat alat yang diperlukan
Pasang infus bila perlu
Lakukan pemeriksaan dalam dan pilih ukuran mangkos sesuai
3.1.7 Tekhnik Vakum
Masukkan mangkok vakum melalui introitus vagina secara miring dan pasang pada
kepala bayi dengan titik tengah mangkok pada sutura sagitalis + 1 cm anterior dari
ubun ubun kecil dan menjauhi ubun-ubun besar.
Penempatan mangkok pada daerah ini dapat membantu mempertahankan fleksi
kepala.
Nilai apakah diperlukan episiotomi. Jika episiotomy tidak diperlukan pada saat
Pemasangan mangkok, mungkin diperlukan pada saat perineum meregang, ketika
kepala akan lahir.
Pastikan tidak ada bagian vagina atau porsio yang terjepit
Pompa hingga tekanan skala 10 (silastik) atau negatif - 0,2 kg/cm2 (Malmstrom),
dan periksa aplikasi mangkok (minta asisten menurunkan tekanan secara bertahap)
Setelah 2 menit naikkan hingga skala 60 (silastik) atau negatif - 0,6 kg/cm2 (Malm
strom), periksa aplikasi mangkok, tunggu 2 menit lagi.
Periksa adakah jaringan vagina yang terjepit. Jika ada, turunkan tekanan dan
lepaskan jaringan yang terjepit tersebut
Setelah mencapai tekanan negatif yang maksimal,lakukan traksi searah dengan
sumbu panggul dan tegak lurus pada mangkok.
Tarikan dilakukan pada puncak his dengan mengikuti sumbu jalan lahir. Pada saat
penarikan (pada puncak his) minta pasien meneran. Posisi tangan: tangan luar

29
menarik pengait Ibu jari tangan dalam pada mangkok, telunjuk dan jari tengah pada
kulit kepala bayi
Tarikan bisa diulangi sampai 3 kali saja.
Lakukan pemeriksaan di antara kontraksi:


Saat suboksiput sudah berada di bawah simfisis, arahkan tarikan ke atas hingga
lahirlah berturut-turut dahi, muka, dan dagu. Segera lepaskan mangkok vakum
dengan menghilangkan tekanan negatif.
Selanjutnya kelahiran bayi dan plasenta dilakukan seperti pertolongan persalinan
normal.
Eksplorasi jalan lahir dengan menggunakan spekulum Sims atas dan bawah untuk
melihat apakah ada robekan pada dinding vagina atau perluasan luka episiotomi.


30
3.1.8 Resiko Pada Bayi
Sefalhematoma
Laserasi kulit kepala
Hematoma subdural
3.1.9 Kriteria Kegagalan
Dalam setengah jam traksi tidak berhasil
Mangkuk terlepas 3 kali
Penyebab kegagalan: tenaga vakum terlalu rendah,tekanan negative dibuat terlalu
cepat,selaput ketuban melekat,bagian jalan lahir terjepit,koordinasi tangan kurang
baik,traksi terlalu kuat,cacat alat dan disporposi sevalopelvik yang sebelumnya
tidak diketahui.

















31
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Gant F.G, et al, William Manual of Obstetrics, 21
st
Edition Boston,
McGraw Hill, 2003: P 339-347.
2. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan, edisi 3, Cetakan Kelima, Jakarta, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 1999: P 281-300
3. Mansjoer A, Triyantib K, Preeklampsia/Eklamsia, Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3,
Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,2001,
270-273, 344-349.
4. Brooks MB, Pregnancy, Preeclampsia, Diunduh dari URL
http://www.emedicine.com/med/topic3238.htm
5. Mochtar Rustam, Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2, Jakarta, EGC, 2004: P 47-49.
6. Alarm International: A Program to Reduce Maternal Mortality and Morbidity, second
Edition, Canada, 2001: P 85-91.
7. Martaadisoebrata D, Wijayanegara H, et al, Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi
Edisi 2, Jakarta, EGC, 2004: P 68-76.
8. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan dan Neonatal Jakarta, 2002: P M37-M42.
9. Varney, Helen, Buku Saku Bidan. EGC. Jakarta: 2002,165-173
10. Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI, Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam
Kehamilan Di Indonesia, Edisi 2, Semarang, 2005.

Anda mungkin juga menyukai