Anda di halaman 1dari 21

WOUND HEALING

Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan. Efek dari


timbulnya luka antara lain hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon
stress simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, hingga
kematian sel. Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi
dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,
pembersihan sel dan benda asing, serta perkembangan awal seluler, merupakan
bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal
tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk
mendukung proses penyembuhan. Akan tetapi, penyembuhan luka juga dapat
terhambat akibat banyak faktor, baik yang bersifat lokal maupun sistemik
(Monaco and Lawrence, 2003).
Penyembuhan luka yang normal memerlukan suatu rangkaian peristiwa
yang kompleks yang terjadi secara simultan pada jaringan epidermis, dermis
dan subkutis, itu suatu yang mudah membedakan penyembuhan pada
epidermis dengan penyembuhan pada dermis dan perlu diingat bahwa
peristiwa itu terjadi pada saat yang bersamaan. Proses yang kemudian terjadi
pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan luka yang dibagi dalam tiga
fase yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodelling jaringan yang
bertujuan untuk menggabungkan bagian luka dan mengembalikan fungsinya.
Pengertian
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka
adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ
tubuh lain. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
1.
2.
3.
4.
5.

Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ


Respon stres simpatis
Perdarahan dan pembekuan darah
Kontaminasi bakteri
Kematian sel

Luka memiliki beberapa karakter mekanik di antaranya:


1. Luka memiliki kekuatan yang kecil pada 2-3 minggu pertama (fase
inflamasi dan proliferasi)
2. Pada minggu ke-3, kekuatan luka meningkat karena adanya remodelling
3. Luka memiliki 50% kekuatannya pada saat 6 minggu, dan sisanya dalam
beberapa minggu setelahnya
4. Kekuatan terus bertambah perlahan hingga 6-12 bulan
5. Kekuatan maksimal adalah 75% dari jaringan biasa (Sudjatmiko, 2007)
A. Jenis luka
Luka dapat diklasifikasi berdasarkan kategori tertentu :
1. Berdasarkan waktu penyembuhan luka
a. Luka akut, yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan
proses penyembuhan.
b. Luka kronis, yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses
penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.
2. Berdasarkan proses terjadinya
a. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen
yang tajam dan kerusakan sangat minimal. Misal, yang terjadi akibat
pembedahan.
b. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu
tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,
perdarahan dan bengkak.
c. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan
benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
d. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda seperti
peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang
kecil.
e. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi jika kekuatan trauma melebihi
kekuatan regang jaringan.
f. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ
tubuh. Biasanya pada bagian awal masuk luka diameternya kecil,
tetapi pada bagian ujung luka biasanya akan melebar (Samper ,2007;
libby, 2011).
g. Luka Bakar (Combustio), merupakan kerusakan kulit tubuh yang
disebabkan oleh api, atau penyebab lain seperti oleh air panas, radiasi,
listrik dan bahan kimia. Kerusakan dapat menyertakan jaringan bawah
kulit (Julia, 2000; Sudjatmiko, 2010).

3. Berdasarkan Derajat Kontaminasi


a. Luka bersih (Clean Wounds), yaitu luka tak terinfeksi, dimana tidak
terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi, dan kulit disekitar
luka tampak bersih. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang
tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% 5%.
b. Luka bersih terkontaminasi (Clean-contamined Wounds), merupakan
luka dalam kondisi terkontrol, tidak ada material kontamin dalam
luka. Kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% 11%.
c. Luka terkontaminasi (Contamined Wounds), yaitu luka terbuka kurang
dari empat jam, dengan tanda inflamasi non-purulen. Kemungkinan
infeksi luka 10% 17%.
d. Luka kotor atau infeksi (Dirty or Infected Wounds), yaitu luka terbuka
lebih dari empat jam dengan tanda infeksi di kulit sekitar luka, terlihat
pus dan jaringan nekrotik. Kemungkinan infeksi luka 40%.
B. Penutupan luka
Tujuan utama dari penutupan luka yaitu untuk mengembalikan integritas
kulit sehingga mengurangi resiko terjadinya infeksi, scar dan penurunan
fungsi (Monaco and Lawrence, 2003). Proses penutupan pada luka terbagi
menjadi 3 kategori, tergantung pada tipe jaringan yang terlibat dan keadaan
serta perlakuan pada luka (David, 2004).
1. Penutupan luka primer (Intensi Primer)
Penyembuhan primer atau sanatio per primam intentionem terjadi bila
luka segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Luka
dibuat secara aseptik dengan kerusakan jaringan minimum, dan dilakukan
penutupan dengan baik seperti dengan penjahitan. Ketika luka sembuh
melalui

instensi

pertama,

jaringan

granulasi

tidak

tampak

dan

pembentukan jaringan parut minimal. Parutan yang terjadi biasanya lebih


halus dan kecil (David, 2004).
2. Penutupan luka sekunder (Intensi Sekunder)
Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar akan berjalan
secara alami. Luka akan terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup
jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut penyembuhan sekunder atau
sanatio per secundam intentionem. Cara ini biasanya memakan waktu

cukup lama dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama jika
lukanya terbuka lebar (Mallefet and Dweck, 2008).
3. Penutupan luka primer tertunda (Intensi Tersier)
Penjahitan luka tidak dapat langsung dilakukan pada luka yang
terkontaminasi berat atau tidak berbatas tegas. Luka yang tidak berbatas
tegas sering meninggalkan jaringan yang tidak dapat hidup yang pada
pemeriksaan pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan
menyebabkan infeksi bila luka langsung dijahit. Luka yang demikian akan
dibersihkan dan dieksisi (debridement) dahulu, selanjutnya baru dijahit
dan dibiarkan sembuh secara primer. Cara ini disebut penyembuhan primer
tertunda.
Selain itu, jika luka baik yang belum dijahit, atau jahitan terlepas dan
kemudian dijahit kembali, dua permukaan granulasi yang berlawanan akan
tersambungkan. Hal ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam
dan luas dibandingkan dengan penyembuhan primer (Diegelmann and
Evans, 2004).

Gambar 1. Macam-macam proses penutupan luka

C. Fase penyembuhan luka


Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis,
saling terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan
derajat luka. Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan
penyembuhan luka terdiri dari:
1. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Schwartz and Neumeister, 2006)
Fase hemostasis dan inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan
seluler yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak. Tujuannya
adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda
asing, sel-sel mati, dan bakteri, untuk mempersiapkan dimulainya proses
penyembuhan.
Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan
keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi
vaskuler

yang

vasokonstriktor

terbuka
yang

(clot)

dan

juga

mengakibatkan

mengeluarkan

pembuluh

substansi

darah

vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel

kapiler

yang akan

menutup pembuluh darah. Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan
setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler karena stimulasi saraf sensoris
(local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi
vasodilator : histamin, serotonin dan sitokin.
Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan
meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar
dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka. Secara klinis terjadi
edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi
ini juga mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra
vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan
bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh
sel makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil
pada proses penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis
adalah (MacKay and Miller, 2003):
a. Sintesa kolagen

b. Membentuk jaringan granulasi bersama dengan fibroblast


c. Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasi
d. Membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis
Dengan berhasil dicapainya luka yang bersih, tidak terdapat infeksi
serta terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai
sebagai pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya
eritema, hangat pada kulit, edema, dan rasa sakit yang berlangsung sampai
hari ke-3 atau hari ke-4.

Gambar 2. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Mallefet and Dweck, 2008)


2. Fase Proliferasi (Fase Fibroplasia)
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia, karena yang menonjol
adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase
inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel
mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida,
asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat
yang akan mempertautkan tepi luka (Diegelmann and Evans, 2004).
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki
dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran
fibroblast sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab

pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan


selama proses rekonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel
fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan
penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari
jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang
(proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, asam
hyaluronat,

fibronectin

dan

proteoglikans)

yang

berperan

dalam

membangun jaringan baru (Mallefet and Dweck, 2008).


Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal
jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya
subtrat oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh
darah baru dan juga fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki
kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di
dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan
proses

proliferasi

fibroblast

dengan

aktifitas

sintetiknya

disebut

fibroplasia. Respons yang dilakukan fibroblast terhadap proses fibroplasia


adalah (MacKay and Miller, 2003):
a.

Proliferasi

b. Migrasi
c.

Deposit jaringan matriks

d. Kontraksi luka
Angiogenesis, suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru
didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses
penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes),
pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya
proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler
yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk
memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka, karena
biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan
oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses

terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet


dan makrofag (growth factors).
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblast mengeluarkan
keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis
sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya
membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa
kolagen

oleh

fibroblast,

pembentukan

lapisan

dermis

ini

akan

disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan


granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup
luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang
mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi
kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan
dengan defek luka minimal (David, 2004; Monaco and Lawrence, 2003).

Gambar 3. Fase Proliferasi (Mallefet and Dweck, 2008)


3. Fase Remodelling
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir
sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase remodelling adalah
menyempurnakan

terbentuknya

jaringan

baru

menjadi

jaringan

penyembuhan yang kuat dan berkualitas. Fibroblast sudah mulai


meninggalkan jaringan grunalasi, warna kemerahan dari jaringan mulai
berkurang karena pembuluh mulai regresi, dan serat fibrin dari kolagen

bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari


jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah
perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan
dilanjutkan pada fase remodelling. Selain pembentukan kolagen, juga akan
terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda
(gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah
menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat, dengan struktur yang
lebih baik (proses re-modelling).
Untuk

mencapai

penyembuhan

yang

optimal

diperlukan

keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.


Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau
hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan
sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit
mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal.
Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun
outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik
masing-masing individu, lokasi, serta luasnya luka (David, 2004; Mallefet
and Dweck, 2008; Schwartz and Neumeister, 2006).

Gambar 4. Fase Remodelling (Mallefet and Dweck, 2008)

10

Gambar 5. Tahapan penyembuhan luka. Pada individu sehat, penyembuhan


berlangsung secara berurutan melalui tiga fase yang saling tumpang tindih: (1)
fase inflamasi, (2) fase proliferatif, dan (3) fase remodelling. Stress dapat
mempengaruhi perkembangan melalui tahap-tahap melalui jalur kekebalan tubuh
dan beberapa neuroendokrin. Review saat ini berfokus pada peran interaktif
glukokortikoid dan sitokin (misalnya IL-8, IL-1, IL-1, IL-6, TNF-, dan IL-10).
Namun, sitokin tambahan, kemokin, dan faktor pertumbuhan yang penting untuk
penyembuhan. Ini termasuk kemokin CXC ligan 1 (CXCL1), kemokin CC ligan 2
(CCL2), granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), protein
chemotactic monosit-1 (MCP-1), makrofag inflamasi protien-1 alpha (MIP -l),
faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), mengubah faktor pertumbuhan-
(TNF-), faktor pertumbuhan keratinosit (KGF), faktor pertumbuhan plateletderived (PDGF), dan faktor pertumbuhan fibroblas dasar (bFGF)
D. Penyembuhan Luka Pada Janin

11

Kulit umumnya mengalami regenerasi tanpa parut, hal ini terbatas pada
dua trimester pertama. Banyak aspek jaringan pada janin dan lingkungan
yang dapat berkontribusi pada penyembuhan tanpa parut, yaitu :
1. Lingkungan bayi (cairan amnion) steril
2. Cairan amnion mengandung faktor pertumbuhan dan molekul matriks
ekstra sel
3. Fase inflamasi minimal, makrofag diduga sebagai sel pengorganisasi
utama pada proses penyembuhan fetus
4. Faktor pertumbuhan dan sitokin berbeda pada fetus, meski maknanya
tidak diketahui
5. Elevasi dari molekul yang terlibat dalam morphogenesis dan pertumbuhan
kulit
Penyembuhan luka tanpa parut pada janin ditunjukkan dengan
berkurangnya level TGF-1, TGF-2, dan PDGF serta elevasi dari TGF3 (molekul morphogenesis kulit). (Metcalfe AD and Ferguson MWJ,
2007)
E. Penyembuhan Luka di Jaringan Tertentu
1. Kulit
Fase penyembuhan luka dapat diibagi 3 tahap yang saling terkait
dan overlap: inflamasi, formasi jaringan baru dan remodelling. Hal
pertama yang terjadi setelah cedera pada jaringan adalah inflamasi melalui
peran sel-sel inflamasi. Sel inflamasi pertama yang direkrut adalah
neutrofil. Sel-sel inflamasi akan secara masiv menginfiltrasi luka pada 24
jam pertama setelah cedera. Neutrofil akan memasuki tahap apoptosis
segera setelah menginfiltrasi luka dan kemudian mengeluarkan sitokin
selama proses apoptosis itu, dimana sitokin-sitokin tersebut berperan
dalam rekruitmen sel makrofag. Makrofag akan menuju jaringan luka 2
hari setelah cedera dan melakukan aktifitas fagositosis.
Proses selanjutnya adalah pembentukan formasi jaringan baru.
Proses reepitelisasi ini dimulai beberapa jam setelah formasi luka
terbentuk. Keratinosit dari tepi luka akan bermigrasi melintasi wound bed
pada permukaan antara dermis luka dan bekuan fibrin. Migrasi ini
difasilitasi oleh produksi protease spesifik seperti kolagenase dari sel

12

epidermal untuk mendegradasi matrix ekstraseluler. Angiogenesis masiv


akan terjadi seiring kebutuhan akan suplai oksigen dan nutrien jaringan
untuk penyembuhan luka. Kemudian beberapa dari fibroblast akan
berdiferensiasi menjadi miofibroblas. Sel kontraktile ini akan membantu
menyambung jarak antar tepi luka. Disaat bersamaan growth factors yang
diproduksi

jaringan

granulasi

akan

memudahkan

proliferasi

dan

diferensiasi sel epitelial memperbaiki integritas barier epitel.


Fase terakhir adalah remodeling yang terdiri atas apoptosis
miofibroblas, sel endotelial dan makrofag. Pada fase ini akan terjadi
involusi bertahap dari jaringan granulasi dan terjadi regenerasi kulit
(Modero and Khosrotehrani, 2010).
2. Fase Penyembuhan Pada Tulang
Penyembuhan fraktur pada tulang adalah sebuah mekanisme yang
komplek dan proses regenerasi unik dalam mengembalikan fungsi dan
bentuk tulang.
Proses penyembuhan tulang didahului oleh proses inflamasi dan
didominasi oleh fase pembentukan formasi tulang. Selama fase
penyembuhan, kalus eksternal terbatas pada kapsula fibrosa yang tersusun
oleh jaringan granulasi yang tidak beraturan. Fase inflamasi lebih lanjut
ditandai invasi invasi sel mesenkimal yang berdiferensiasi menjadi
kondrosit untuk pembentukan tulang rawan dan osteoblast untuk
pembentukan tulang. Sel-sel debris inisial dan hematoma selanjutnya akan
digantikan oleh jaringan fibrosa. Jumlah kolagen tipe I akan meningkat
sampai 5 hari setelah fraktur, tetapi kolagen tipe III adalah yang dominan
dalam menyusun jaringan.
Fase reparasi tulang dikaitkan dengan pertumbuhan formasi tulang
intramembran dari regio periosteal. Fase ini ditandai dengan invasi
pembuluh darah dan pertumbuhan kalus, dimana puncak pertumbuhannya
biasa ditemukan hari 14 setelah fraktur.
Fase remodelling ditandai terbentuknya formasi endochondral
trabekular yang dihubungkan dengan osteoblast dan TRAP-positive
settlement pada rongga sumsum tulang, penyatuan fragmen dan regenerasi
celah sumsum tulang. Hal ini sesuai dengan data percobaan dari model

13

percobaan fraktur pada kelinci yang menunjukkan peningkatan jumlah


tulang trabekular dengan penyusun dominannya kolagen tipe I, sedang
kolagen tipe III dan tipe V tetap ditemukan didaerah puasat dari trabekula.
Selanjutnya tulang menyembuh tanpa adanya scar (Coulibaly et al, 2010).
B. Gangguan Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari tubuh sendiri
(endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen
terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati, dan
gangguan sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan menghambat
penyembuhan luka, sebab homeostatis merupakan titik tolak dan dasar fase
inflamasi. Gangguan sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi
tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi.
Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan
mengganggu mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut.
Pemberian sitostatik, obat penekan imun misalnya setelah transplantasi organ,
dan kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka. Pengaruh
setempat seperti infeksi, hematom, benda asing, serta jaringan mati seperti
sekuester dan nekrosis sangat menghambat penyembuhan luka (Sjamsuhidajat
and Jong, 1997).
C. Perawatan Luka
Hasil penelitian tentang perawatan luka menunjukkan bahwa lingkungan
luka yang lembab lebih baik daripada lingkungan kering. Laju epitelisasi luka
yang ditutup poly-etylen dua kali lebih cepat daripada luka yang dibiarkan
kering. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa migrasi epidermal pada
luka superficial lebih cepat pada suasana lembab daripada kering. Perawatan
luka lembab tidak meningkatkan infeksi. Pada kenyataannya tingkat infeksi
pada semua jenis balutan lembab adalah 2,5 %, lebih baik dibanding 9 %
pada balutan kering. Lingkungan lembab meningkatkan migrasi sel epitel ke
pusat luka dan melapisinya sehingga luka lebih cepat sembuh. Konsep

14

penyembuhan luka dengan teknik lembab ini merubah penatalaksanaan luka


dan memberikan rangsangan bagi perkembangan balutan lembab.
Penggantian balutan dilakukan sesuai kebutuhan, tidak berdasarkan
kebiasaan melainkan disesuaikan terlebih dahulu dengan tipe dan jenis luka.
Penggunaan antiseptik hanya untuk yang memerlukan saja, karena efek
toksinnya terhadap sel sehat. Untuk membersihkan luka hanya diperlukan
normal saline. Citotoxic agent seperti povidine iodine, dan asam asetat,
seharusnya tidak secara sering digunakan untuk membersihkan luka, karena
dapat menghambat penyembuhan dan mencegah reepitelisasi. Luka dengan
sedikit debris dipermukaannya dapat dibersihkan dengan kassa yang dibasahi
dengan sodium klorida dengan tidak terlalu banyak manipulasi gerakan. Tepi
luka seharusnya bersih, berdekatan dengan lapisan sepanjang tepi luka. Tepi
luka ditandai dengan kemerahan dan sedikit bengkak dan hilang kira-kira satu
minggu. Kulit menjadi tertutup hingga normal dan tepi luka menyatu.
Adapun tujuan dari perawatan luka antara lain (Dudley, 2000; Julia,
2000):
1. Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka
2. Absorbsi drainase
3. Menekan dan imobilisasi luka
4. Mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis
5. Mencegah luka dari kontaminasi bakteri
6. Meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing
7. Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien
D. Komplikasi Penyembuhan Luka
Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen
yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini
teranyam teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka,
sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan
intervensi bedah.
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan
kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang kadang nyeri. Parut
hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar
satu tahun, sedangkan keloid tidak.

15

Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi


merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang
bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian
sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya
dilakukan penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan
dan salep madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah
terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan
bebat tekan dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses
penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997).
E. Luka Kronik
1. Definisi
Luka kronik merupakan luka yang tidak menyembuh melalui
tahapan penyembuhan luka yang normal, dalam waktu kurang lebih 3
bulan (Broderick, 2009). Luka kronik dapat disebabkan oleh pengaruh
intrinsik maupun ekstrinsik serta dapat mengenai semua kelompok umur,
baik pasien sehat maupun mereka yang memiliki beberapa penyakit
penyerta. Contoh luka kronik antara lain: ulkus dekubitalis, ulkus diabetik,
luka yang mengalami desikasi lama, ulkus stasis vena, ulkus radiasi, luka
traumatik, atau luka operasi lama. (Sudjatmiko, 2010)
2. Patologi Luka Kronik
Proses patologi dari luka kronik antara lain (Broderick, 2009):
a. Pemanjangan fase inflamasi
b. Penuaan sel (sel tua yang kurang viabel), dimana terjadi perubahan
kemampuan sel untuk berproliferasi.
c. Kekurangan reseptor faktor pertumbuhan (growth factor)
d. Tidak terdapat perdarahan awal yang dapat memicu kaskade
penyembuhan luka
e. Peningkatan kadar protease (enzim yang memakan protein).
3. Penatalaksanaan
a. Perawatan Dasar
Perawatan yang baik dan penggunaan kasur anti dekubitus memiliki
peranan dalam mengurangi tekanan pada pasien dengan ulkus
dekubitus. Demikian pula debridemen kalus secara teratur, perawatan

16

kuku, dan sepatu khusus untuk mengurangi tekanan penting untuk


perawatan kaki diabetik akibat neuropati diabetik. Penggunaan verban
kompresi dan stoking penting dan efektif dalam mengobati ulkus vena.
(Harding and Morris, 2002)
b. Debridement yang adekuat
Luka kronik umumnya memiliki banyak jaringan parut, debris, dan
jaringan nekrotik yang menghambat penyembuhan. (Sudjatmiko, 2010)
c. Penanganan infeksi
Pada luka kronik harus dicurigai adanya infeksi. Kultur jaringan dan
perhitungan kwantitatif sebaiknya dilakukan. (Sudjatmiko, 2010)
d. Penutupan luka yang baik
Desikasi merupakan faktor yang seringkali menyebabkan gangguan
penyembuhan luka dan epitelisasi pada luka kronik. (Sudjatmiko, 2010)
Fokus utama dari perawatan luka kronis dalam beberapa tahun terakhir
adalah mengembangkan metode penutupan luka yang baik sehingga
dapat menciptakan lingkungan yang lembab untuk membantu
penyembuhan luka. Winter menunjukkan pada model hewan bahwa
proses reepitelialisasi luka akut berjalan 1,5 kali lebih cepat jika luka
ditutup. Penutupan luka belum menunjukkan efek bermakna dalam
studi klinis terhadap pasien dengan luka kronis, namun penerapannya
masih memiliki manfaat bagi pasien dengan mengurangi rasa sakit dan
dengan meningkatkan kenyamanan serta efektivitas biaya. Kemajuan
dalam teknologi penutupan luka belum dapat menemukan zat yang
dapat mengobati kelainan pada kaskade penyembuhan luka, kecuali
penutupan luka dengan bahan yang mengandung asam hyaluronat, yang
secara khusus membantu penyembuhan luka. (Harding and Morris,
2002)
e. Penggunaan faktor pertumbuhan topikal
Fungsi normal faktor pertumbuhan adalah untuk menarik bermacam
tipe sel ke daerah luka, menstimulasi proliferasi selular, memacu
angiogenesis,

serta

mengatur

sintesis

dan

degradasi

matriks

ekstraseluler. Penggunaan faktor pertumbuhan secara topikal belum


memiliki hasil dramatis seperti yang diaharapkan sebelumnya. Hal ini

17

tidak mengejutkan mengingat proses penyembuhan luka sangatlah


kompleks. Sampai saat ini hanya platelet derived growth factor yang
telah diijinkan penggunaannya untuk mengobati ulkus kaki yang tidak
terinfeksi samai dengan ukuran 5 cm2 pada penderita kaki diabetik
(becaplermin, Regranex). Penelitian telah menunjukkan bahwa platelet
derived growth factor juga memiliki manfaat dalam mengobati ulkus
dekubitus. Meski belum berlisensi, granulocyte colony stimulating
factor telah diteliti bermanfaat dalam mengobati ulkus kaki yang
terinfeksi pada pasien diabetes, mempercepat penyembuhan selulitis
serta menurunkan kebutuhan penggunaan antibiotik. Selain itu,
fibroblast growth factor dinilai dapat mengobati ulkus decubitus dan
epidermal growth factor dapat digunakan pada ulkus vena di kaki. Di
masa yang akan datang faktor pertumbuhan dapat diberikan secara
bertahap, dalam kombinasi, atau pada interval waktu tertentu agar
semakin mendekati proses penyembuhan luka yang normal. Keragaman
faktor pertumbuhan dan jenis luka kronis menunjukkan bahwa faktorfaktor tersebut memiliki potensi sebagai pengobatan baru jika
kebutuhan individual pasien dapat dikenali.
f. Penanganan faktor lokal dan sistemik yang dapat menghambat
penyembuhan luka
Misalnya gangguan vaskular, edema, diabetes, malnutrisi, tekanan
lokal, dan gravitasi.
g. Penggunaan Vacuum Assisted Closure (VAC)
VAC adalah suatu pendekatan noninvasive yang bertujuan membantu
penutupan luka melalui pemberian secara topical tekanan subatmosferik
atau tekanan negatif ke permukaan luka. Mekanisme kerjanya adalah
mengurangi eksudat, merangsang angiogenesis, mengurangi kolonisasi
bakteri dan menngkatkan pembentukan jaringan granulasi. Keuntungan
menggunakan VAC adalah kita dapat menutup luka dengan lebih cepat,
bahkan pada luka yang kecil dapat epitelisasi sendiri. (Harding and
Morris, 2002)

18

19

DAFTAR PUSTAKA
Broderick, Nancy. 2009. Understanding Chrinic Wound Healing. The Nurse
Practitioner. Vol 34, No.10
Dudley HAF, Eckersley JRT, et al. 2000. Pedoman Tindakan Medik dan Bedah.
Jakarta : EGC
David LD. 2004. Ethicon: Wound Closure Manual. Minnesota: Ethicon inc. pp: 68.
Diegelmann RF and Evans MC. 2004. Wound healing : an overview of acute,
fibrotic and delayed healing. Front in Biosci. 9:283-9.
Harding, KG; Morris, G K patel. 2002. Science, medicine, and the future Healing
chronic wounds. BMJ Vol 324
Julia S. Garner. 2000. Guideline For Prevention of Surgical Wound Infections
Hospital Infections Program Centers for Infectious Diseases Center for
Disease Control.
http://wonder.cdc.gov/wonder/prevguid/p0000420/p0000420.asp#head004
000000000000 ( diakses 17 Mei 2011)
Libby Swope Wiersema. 2011. List of Surgical Wound Classifications Last.
http://www.livestrong.com/article/220345-list-of-surgical-woundclassifications/, List of Surgical Wound Classifications ( diakses 17 Mei
2011)
MacKay D and Miller AL. 2003. Nutritional support for wound healing. Alt med
rev. 8(4): 360-1.
Mallefet P and Dweck A.C. 2008. Mechanisms involved in wound healing.
Biomed Scient. 609-15.
Mangram AJ, Horan TC, et al. 1999. Guideline for prevention of surgical site
infection. Infect Control Hosp Epidemiol 1999;20:247-80.
www.medscape.com/viewarticle/414393_4 ( diakses 17 Mei 2011)
Metcalfe, Anthony D and Ferguson, Mark W.J. Tissue engineering of replacement
skin: the crossroads of biomaterials, wound healing, embryonic
development, stemcells and regeneration. J. R. Soc. Interface 2007 4, 413437
Monaco JL and Lawrence WT. 2003. Acute wound healing: an overview. Clin
Plastic Surg. 30: 1-12.

20

Samper Gimenez. 2007. Orbital Penetrating Wound By A Bull Horn, Arch Soc
ESP Oftamol 2007; 82: 645-648.
www.oftalmo.com/seo/archivos/maquetas/1/...D8FA.../articulo.pdf.
(diakses 17 Mei 2011)
Schwartz BF and Neumeister M. 2006. The mechanics of wound healing. In
Future Direction in Surgery. Southern Illinois. pp: 78-9.
Sjamsuhidajat, R and Jong, W D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi.
Jakarta : EGC. 3: 72-81.
Sudjatmiko, Gentur. 2010. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi.
Jakarta : Yayasan Khasanah Kebajikan.

21

Anda mungkin juga menyukai