Anda di halaman 1dari 9

dan menghasilkan respon emosional yang tepat (118).

Respon emosional yang tidak tepat, termodulasi


terhadap perubahan lingkungan dan kesulitan yang berkaitan dengan motivasi dalam gangguan
bipolar kemungkinan berhubungan dengan perubahan fungsi dan struktur ACC (119). Penelitian
terstruktur telah mencatat secara signifikan penurunan volume ACC subgenual pada pasien bipolar
(119). Beberapa penulis telah berspekulasi bahwa awal kelainan morfologis pada ACC dapat menjadi
penanda kerentanan untuk gejala psikosis berikutnya dan disregulasi emosi (9).
Literatur pencitraan tumpang tindih dengan temuan yang tidak konsisten mengenai volume
hipokampus dalam gangguan bipolar. Beberapa penelitian menemukan adanya pembesaran, ada pula
yang mencatat adanya kehilangan volume hipokampus, dan lainnya telah melaporkan tidak ada
perbedaan pada ukuran hipokampus pada pasien bipoar dibanding populasi kontrol (107,120). Ada
indikasi yang terkait pertambahan usia pada volume hipokampus pada pasien bipolar usia muda (121),
dan mood-stabilizing agents (contoh: lithium) telah dilaporkan dapat menyebabkan peningkatan
volume hipokampus (122,123). Penurunan volume hipokampus pada pasien bipolar usia dewasa
mungkin dapat dipengaruhi oleh polimorfisme gen pengatur fungsi brain-derived neurotrophic factor
(BDNF) dan mungkin dilokalisasi untuk substruktur hipokampus tertentu (9,107,121).
Seperti didaerah otak lainnya, perubahan struktural amygdala dapat memberi gambaran
perkembangan penyakit bipolar. Sebagian besar penelitian volumetrik telah melaporkan bahwa anakanak dan remaja penderita gangguan bipolar memiliki volume amygdala yang lebih kecil, sedangkan
orang dewasa memiliki volume yang lebih besar dibandingkan dengan populasi kontrol (107,124).
Perubahan volume amygdala diusia dewasa dapat merefleksikan perjalanan progresif penyakit bipolar
atau sebagai konsekuensi efek samping dari pengobatan (9,107). Studi fungsional telah menemukan
peningkatan aktivitas di struktur limbik pada pasien bipolar dalam keadaan manik atau keadaan
depresi. Amygdala terlibat dalam penilaian dan interpretasi emosi, terutama nilai emosional rangsang
kejut atau ambigu. Studi klinis telah memberikan bukti bahwa pasien gangguan bipolar sering
mengalami respon emosional yang tidak sesuai terhadap perubahan keadaan dan kesulitan
menginterpretasikan makna emosi dari ekspresi wajah (124). Karena struktur limbik mempunyai
koneksi 2 arah dengan hipotalamus dan nukleus otonom dari striae terminalis, ada spekulasi bahwa
disregulasi limbik dapat berpengaruh kepada disregulasi otonom dan neuroendokrin pada pasien
bipolar (125).
Beberapa struktur subkortikal terlihat tampak dipengaruhi oleh penyakit bipolar. Penelitian
pencitraan fungsional telah melaporkan penurunan aktivasi caudatus, putamen, thalamus, dan globus
pallidus pada penderita bipolar turut berperan dalam proses inhibisi dan turut melemahkan respon
ventral striatum sehingga menyebabkan ekspresi wajah tidak sesuai dengan keadaan mood penderita
(90). Sebuah metaanalisis baru-baru ini memberikan data yang bertentangan mengenai aktivasi basal
ganglia dan thalamus pada penyakit bipolar (126). Pencitraan volumentrik telah memberikan bukti
penurunan nukleus akkumbens pada penderita bipolar dibandingkan dengan populasi kontrol yang
sehat (87). Penelitian pada perubahan morfologi di basal ganglia dan thalamus pada penderita bipolar
jarang terjadi dan bertentangan (9,87,107). Meskipun salah satu penelitian menemukan adanya
pembesaran putamen anterior kepala caudatus pada penderita bipolar, lainnya tidak menemukan
perbedaan pada volume (9,87,107).
Penelitian fungsional yang jarang dilakukan telah menjelaskan aktivitas cerebellum yang
melemah pada penderita bipolar tidak berbeda dengan populasi kontrol (126). Penelitian pencitraan
struktural yang terbatas telah mengindikasikan pembesaran midline cerebellum pada subjek bipolar.
Ukuran vermal menampakkan hubungan dengan jumlah episode dari mood sebelumnya
(9,87,107,120). Perubahan pada fungsi dan struktur cerebellum mungkin relevan secara klinis dalam

gangguan bipolar karena vermis cerebellum dikaitkan dengan produksi respon emosional otonom,
termasuk empati menggunakan ekspresi wajah (125). Selanjutnya, sirkuit ganglia kortikal basal
ganglia thalamus cerebellum telah terlibat didalam pembelajaran berdasarkan penghargaan (127),
sehingga perubahan fungsi dapat menjelaskan hubungan signifikan antara penyakit bipolar dan
gangguan akibat penggunaan zat.
Penelitian pencitraan difusi tensor mengevaluasi saluran white-matter yang bersifat
mikrostruktural pada gangguan bipolar dan menemukan suatu abnormalitas (128). Beberapa
penelitian telah mendeteksi perubahan pada saluran white-matter yang menghubungkan ACC
subgenual dengan kompleks amygdala hipocampus, lobus frontal insula, hipocampus amgydala
lobus occipital dan lobus frontal thalamus gyrus cingulata pada penderita bipolar relatif
terkendali (128-131). Selanjutnya white-matter yang telah dirubah hubungannya antara ACC
dorsal/medial dan korteks cingulata posterior serta antar PFC dorsolateral (otonom) dan PFC orbital
(kehendak) telah dideteksi pada pasien bipolar dibandingkan dengan dengan subjek yang sehat (132).
Akhirnya gangguan fiber pada white-matter yang menghubungkan kedua PFC medial dan PFC lateral
dengan amygdala, striatum dan thalamus pada pasien bipolar dibandingkan dengan populasi kontrol
mungkin merefleksikan defisit yang menyeluruh pada regulasi prefrontal didaerah limbik (129).
Lokasi anatomi abnormalitas white-matter ini konsisten dengan sikap impulsif, reaktivitas afektif, dan
proses yang menyimpang dari rangsangan emosional yang dipantau secara klinis (128-131).
Perubahan white-matter tampak asimetris dan muncul pada tahap awal ppenyakit bipolar,
kemungkinan besar menunjukkan ekspresi abnormal myelin dan gen terkait oligodendrosit (128131,133,134). Konsisten dengan semua pengamatan ini, penelitian telah menetapkan abnormalitas
white-matter pada anak yang berisiko dan gangguan frontal integritas white-matter pada pasien
dengan manik episode pertama (90). Secara agregat penelitian tentang abnormalitas white-matter
dapat mengakibatkan gangguan perkembangan yang mendahului dan mungkin menjadi faktor risiko
untuk disregulasi mood dan onset akhir episode bipolar. Selanjutnya perubahan white-matter mungkin
tergantung area, salah satu penelitian melaporkan ventromedial prefrontal-striatal, fronto-oksipital
inferior dan fasikuli longitudinal superior dan inferior yang memanjang pada white-matter pada
gangguan bipolar episode depresi, membedakan dari pasien yang kambuh dan populasi kontrol yang
sehat.
Gangguan atau Ciri? Perubahan Fungsi dan Struktur Otak pada Mood Bipolar
Penelitian neuroimaging telah menyediakan detailnya, walaupun belum lengkap untuk
mengerti patofisiologi yang mendukung perubahan mood pada ganguan bipolar. Peningkatan aktivitas
amygdala sering digambarkan dengan peningkatan mood pada gangguan bipolar (90). Walaupun
banyak penelitian yang menggunakan paradigma aktivitas mencatat peningkatan respon amygdala
pada keadaan mania, imaging pada saat istirahat tidak mendeteksi peningkatan aktivitas amygdala
dibandingkan dengan populasi kontrol (105,106,136). Selanjutnya beberapa penelitian imaging
melaporkan peningkatan aktivitas ACC dorsal pada konteks peningkatan mood dibandingkan dengan
pasien depresi atau individu yang sehat (90,136,137). Beberapa daerah limbik dan paralimbik
termasuk insula, hippocampus, putamen dan ACC subgenual telah dicatat memiliki aktivitas yang
lebih tinggi pada subjek yang manik daripada populasi kontrol (136,137). Aktivitas PFC ventrolateral
yang menurun umum ditemukan pada bipolar episode mania, membedakannya dengan episode
depresi, episode eutim dan populasi kontrol. Pengamatan yang lebih dalam lagi sekelmpok
investigator telah melaporkan penurunan aktivasi PFC ventrolateral berkaitan dengan durasi episode
manik. Aktivitas PFC ventrolateral yang berkurang pada keadaan istirahat atau respon stimuli
emosional negatif terdeteksi pada mania dibandingkan dengan populasi kontrol. Selain itu
hipoaktivitas pada keadaan istirahat PFC dorsolateral berhubungan dengan keadaan mania

dibandingkan dengan populasi kontrol. Ringkasnya, gangguan fungsi prefrontal cortical pada keadaan
mood yang meningkat dapar membuahkan pengaturan yang dapat dikompromikan pada area limbik
dan paralimbik, manifestasinya seperti ekspresi emosional yang berlebihan, irritabel, impulsivitas,
kesulitan menunjukkan respom emosional yang berlebihan kepada orang sekitar, nafsu makan yang
berlebihan dan pelemahan kognitif.
Depresi bipolar memiliki pola akitivtas yang sama dengan peningkatan mood namun ada pula
ciri yang membedakan keduanya. Pasien bipolar episode depresi mendemonstrasikan respon
amygdala yang lebih kuat pada ekspresi wajah yang negaitf daripada episode manik atau individu
yang sehat. Beberapa penelitian telah mencatat peningkatan aktivitas pada bagian limbik lainnya dan
area subkortikal, termasuki insula, ventral striatum, putamen, hipotalamus, dan talamus pada bipolar
episode depresi dibandingkan populasi kontrol (106,137,139). Mendukung pengamatan ini, sebuah
penelitian magnetis resonance spectroscopic (MRS) menemukan peningkatan sinyal
glutamat/glutamin di talamus pada bipolar episode depresi (140). Lainnya telah melaporkan
penemuan yang bertentangan tentang metabolisme/aliran darah yang menurun pada insula, ventral
striatum, dan ACC subgenual pada pasien bipolar episode depresi (141). Kebanyakan penelitian
mencatat aktivitas prefrontal kortikal yang menurun pada dorsolateral, PFC ventrolateral, dan PFC
dorsomedial pada pasien bipolar episode depresi dibandingkan dengan pasien eutimik atau populasi
kontrol (90,106,141,142). Aktivitas PFC dorsolateral yang menurun pada saat memori bekerja
berkaitan dengan keparahan depresi pada pasien bipolar, diukur dengan skala yang terstandar (143).
Peningkatan dan penurunan aktivasi PFC ventromedial telah dideteksi pada bipolar episode depresi
(138,142). Menariknya penelitian MRI baru-baru ini yang membandingkan bipolar episode depresi
dengan pasien eutim menemukan volume grey-matter yang menurun pada PFC dorsomedial dan PFC
dorsolateral (144). Perubahan morfologi ini benar-benar cerminan penurunan fungsi PFC dorsomedial
dan PFC dorsolateral dan melemahkan hipotesis neuroplastisitas pada gangguan bipolar (144).
Kesimpulannya data pencitraan menunjukkan bahwa aktivitas yang membahayakan pada daerah
prefrontal kortikal dapat mengakibatkan modulasi yang tidak adekuat di daerah limbik/subkortikal,
terutama dalam menanggapi peristiwa kehidupan yang negatif memberikan kontribusi pada mood
depresi maladaptif dan tidak adekuat dalam menghadapi masalah kognitif. Data pencitraan sejauh ini
telah menyediakan bukti yang membedakan depresi dan episode mood lainnya pada gangguan bipolar.
Sebagian besar studi yang telah meneliti fungsi saraf pada episode eutimik telah mencatat
penurunan fungsi PFC ventrolateral, PFC dorsolateral, dan hiperaktivitas daerah striatal (caudatus dan
putamen) (106). Beberapa studi pencitran pada episode resting (istirahat), telah menemukan hal yang
menarik. 1 kelompok mencata hiperkonektivitas yang signifikan antara PFC ventrolateral dan
amygdala pada tingkat yang lebih rendah juga dipengaruhi oleh sambungan lewat ACC (145).
Sambungan yang menyimpang dari komponen-komponen kehendak jaringan kortikolimbik eksternal
dapat menjadi ciri gangguan bipolar, mungkin menjadi faktor predisposisi terhadap ketidakstabilan
mood yang dapat terjadi selanjutnya saat menghadapi peristiwa penuh tekanan. Selain itu, kelompok
yang berbeda juga memanfaatkan pencitraan fungsional pada eutim episode resting pada pasien
bipolar yang lebih tua menemukan peningkatan aktivitas amygdala, parahipocampus, dan cortikal
temporal anterior dikombinasikan dengan penurunan PFC dorsolateral. Sebagian besar temuan ini
tidak ada pada populasi penderita bipolar eutim yang lebih muda, menunjukkan pada sifat progressif
gangguan bipolar dimana disfungsi corticolimbik berkonsolidasi seiring waktu menjadi aktivitas yang
berpola.
Perbedaan antara Pencitraan Episode Depresi pada Bipolar dan Unipolar

Yang membedakan antara episode depresi bipolar dan unipolar masih menjadi tantangan
klinis untuk peneliti. Penelitian pencitraan baru-baru ini mengindikasikan beberapa perbedaan pada
patofisiologi dari kondisi ini. Penelitian fMRI menggunakan gambar-gambar ekspresi wajah bahagia,
sedih dan netral sebagai stimulus. Pasien dengan depresi unipolar dimanifestasikan dengan
peningkatan aktivasi amygdala dalam menanggapi ekspresi wajah negatif, sedangkan pasien dengan
depresi bipolar menunjukkan respon amygdala yang lebih kuat dalam menanggapi ekspresi wajah
positif (147). Penelitian lain menggunakan fMRI untuk menganalisa pola aktivitas otak, dan juga
mencatat wajah yang menunjukkan kegembiraan menghasilkan pola aktivitas yang membedakan pola
aktivitas depresi bipolar dari MDD (148). Konsisten dengan pengamatan ini, kelompok penulis yang
berbeda mencatat aktivitas amygdala yang lebih tinggi dalam menanggapi ekspresi kemarahan pada
pasien MDD dibandingkan dengan kelompok depresi bipolar (149). Selanjutnya aktivitas area medial
dan area prefrontal retroorbital sebagai tanggapan kepada stimulus emosional berpengaruh pada
penegakan diagnosis depresi unipolar (147). Temuan ini menarik karena kedua daerah PFC lateral
adalah bagian dari jaringan saraf yang terlibat pada regulasi emosi internal/otonom (90). Aktivitas
yang lebih tinggi ditemukan pada area dorsolateral dan area prefrontal ventrolateral sebagai tanggapan
terhadap emosi positif dan negatif yang berkontribusi pada klasifikasi subjek yang mengalami depresi
bipolar. Struktur kedua PFC lateral tersebut mempunyai peran yang penting pada pengaturan emosi
eksternal/kehendak dan telah menunjukkan tanggapan berlebihan terhadap stimulus emosi dalam
konteks gangguan bipolar (90). Algoritma otomatis terkomputerisasi memanfaatkan informasi yang
disebutkan diatas dalam klasifikasi depresi unipolar vs bipolar dengan akurasi 90% (147).
Hubungan antara komponen lain di jaringan ventrolateral dan prefrontal ventromedial
(prefrontal cingulata striatal pallidus thalamus amygdala) dapat pula membedakan depresi
pada unipolar dan bipolar (90,150). ACC berada pada persimpangan antara jaringan ventral (terutama
emosi) dan jaringan dorsal (dominan kognitif) yang menghubungkan regulasi prefrontal dengan
daerah otak terintegrasi subkortikal (90,150). Pasien dengan depresi unipolar dan depresi bipolar,
memperlihatkan penurunan konektivitas pgACC dengan thalamus dorsomedial, amygdala dan
pallidostriatum yang signifikan dibandingkan dengan populasi kontrol. Namun bila dibandingkan
dengan depresi unipolar, subjek depresi bipolar konektivitasnya antara pgACC dan amygdala serta
thalamus dorsomedial turun lebih signifikan (150). Selain itu kelompok peneliti yang terpisah
melaporkan aktivitas yang lebih intens pada ventral striatal, thalamus, PFC ventrolateral dan ACC
pada individu yang mengalami depresi bipolar dibandingkan dengan MDD dan populasi kontrol,
terutama dalam merespon kepada perasaan takut dan sedih yang ringan ataupun berat serta ekspresi
senang (104). Secara agregat, penemuan ini mencerminkan tingkat penurunan aktivitas sirkuit
prefrontal cingulata striatal pallidal talamus amygdala yang lebih signifikan pada depresi
bipolar daripada unipolar. Walaupun bukti menguatkan penurunan sirkuit prefrontal-limbik otonom
dan kehendak, jaringan PFC ventrolateral terlihat lebih membahayakan pada depresi bipolar daripada
depresi unipolar, hal tersebut berpeluang membahayakan regulasi prefrontal di area subcortical limbik
sebagai manifestasi dari emosi yang labil dan reaktivitas tahap ini.
Sebagai tambahan untuk perbedaan fungsional, ada juga perbedaan struktural antara depresi
bipolar dan unipolar. Dibandingkan dengan subjek depresi bipolar, subjek dengan MDD memiliki
hiperintensitas white-matter yang lebih sedikit, mencerminkan kemunduran white-matter yang lebih
kecil. Selain itu, subjek bipolar memliki luas penampang corpus callosum yang meningkat dan
penurunan hippocampus dan basal ganglia dibandingkan dengan pasien unipolar. Kedua gangguan
tersebut bermanifestasi pada volume ventricular lateral yang lebih besar dan meningjatkan
hiperintensitas gray-matter subkortikal dibandingkan dengan populasi kontrol.

IKHTISAR TEMUAN PENCITRAAN PADA GANGGUAN BIPOLAR


Bukti kumulatif pencitraan fungsional, struktural, dan abnormalitas white-matter terlibat pada
patofisiologi sirkuit frontal subkortikal dan prefrontal limbik pada pasien gangguan bipolar.
Keterlibatan jaringan frontal basal ganglia thalamus cerebellum juga telah ddiduga sebelumnya.
Singkatnya, perubahan struktural dan fungsional mendukung dasar organik untuk gejala emosional,
kognitif, dan neuroendokrin pada penyakit bipolar (89,90,119). Perubahan kedua daerah, grey-matter
dan white-matter terlihat hadir lebih awal pada perkembangan penyakit. Kesulitan pada perubahan
emosional homeostasis dan kognitif dan perubahan fungsi prodromal dapat menjadi berbahaya saat
mengatasi stress dan beradaptasi sosial sehingga dapat mempercepat timbulnya penyakit bipolar.
Contohnya, ada bukti efek kumulatid dari durasi penyakit dan jumlah episode sebelumnya
berpengaruh pada struktur dan fungsi otak.
TEMUAN PATOFISIOLOGI YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN BIPOLAR
Penelitian patofisiologis telah membongkar sel tertentu yang berkaitan dengan gangguan bipolar.
Tampaknya ketiga rumpun sel glial dapat terpengaruh, menghubungkan patofisiologi kondisi kelainan
pada astroglia, oligodendroglia, dan mikroglia (152-155). Penelitian postmortem pada pasien bipolar
mencatat penurunan jumlah dan densitas sel glial (156). Perubahan sel glia telah dilaporkan pada ACC
subgenual, PFC lateral, korteks orbitofrontal dan amygdala pasien bipolar yang tidak diobati
(157,158). Menariknya, sebuah penelitian menemukan bukti bahwa pengobatan dengan lithium atau
asam valproat dapat mengurangi angka kehilangan sel glial (157). Selanjutnya, penurunan signifikan
(29%) densitas numerik oligodendroglia di daerah white-matter PFC dorsolateral pada pasien bipolar
dibandingkan dengan populasi kontrol (155). Bukti pewarnaan myelin yang berkurang pada PFC
dorsolateral dan penurunan S100B oligodendrosit imun positif di hippocampus pada subjek
bipolarsepanjang temuan ini (159,160). Memang pencitraan konvergen, bukti histologis dan bukti
pencitraan mengindikasikan defisit oligodendroglial adalah kunci abnormalitas sel SSP pada
gangguan bipolar (60,61,161-163).
Penelitian postmortem pasien bipolar, MDD, dan skizofrenia yang bunuh diri memberikan wawasan
yang menarik yaitu peran mikroglia dalam patofisiologi kondisi ini. Tidak seperti penderita gangguan
mood yang bunuh diri, subjek yang didiagnosis penyakit yang sama namun meninggal karena sebab
lain tidak menunjukkan bukti mikrogliosis jaringan otak. Walaupun begitu, penderita gangguan
suasana hati yang melakukan bunuh diri termasuk kelompok bipolar, memiliki peningkatan
substansial pada densitas mikroglia di PFC dorsolateral, ACC dan mediodorsal thalamus bila
dibandingkan dengan kedua kontrol dan pasien gangguan suasana hati yang tidak meninggal akibat
bunuh diri (154). Mengingat peran mikroglia pada inflamasi SSP temuan ini meningkatkan peluang
bahwa percobaan bunuh diri adalah konsekuensi dari pemicu penyakit. Mendukung peran perubahan
mikroglia pada patologi penyakit adalah bukti nyata tumpang tindih yang luar biasa antara situs
patologi seluler dan daerah otak dengan struktur dan fungsi yang berubah pada penelitian
neuroimaging penyakit bipolar (164).
Berbeda dengan bukti peran glial pada patogenesis bipolar, data pendukung berperan pada patologi
neuronal primer pada kondisi yang kurang meyakinkan. Dengan beberapa pengecualian, perubahan
neuronal pada gangguan bipolar, kebanyakan memiliki karakter yang secara morfologis dapat
disebabkan oleh apoptosis dan penipisan neuropil interneuronal (164), dan jauh lebih luas daripada
patologi glial. Meskipun demikian, satu penelitian melaporkan penurunan densitas neuronal sebanyak
16-22% di PFC dorsolateral pada pasien gangguan bipolar dibandingkan dengan populasi kontrol
(165). Sel-sel besar piramidal ini adalah neuron rangsang glutaminergik (165). Ini mengingatkan

bahwa neuron piramidal PFC dorsolateral adalah target utama proyeksi thalamus dan juga
memberikan umpan balik ke amygdala dan ACC. Hubungan ini membuat kemungkinan bahwa
patologi PFC neuron dorsolateral dapat berakibat perhatian yang berlebihan, fungsi eksekutif, dan
regulasi emosional yang naik turun, yang semuanya adalah ciri menonjol dari penyakit bipolar. Selain
itu penelitian telah mendeteksi penurunan densitas/kepadatan neuron di hippocampus dan penurunan
signifikan ukuran neuron pada ACC subjek bipolar dibandingkan populasi kontrol (166,167).
Beberapa penelitian telah mencatat perubahan inti mono aminergik yang dapat mempengaruhi
regulasi suasana hati. Pasien dengan gangguan bipolar tampak memiliki jumlah neuron noradrenergik
di lokus ceruleus serta defisit struktural neuron serotonergik di raphe dorsal (164).
Singkatnya, bukti yang ada tidak menyediakan dukungan yang cukup dalam memenuhi sudut pandang
gangguan bipolar sebagai penyakit neurodegeneratif tipikal. Tidak seperti gangguan neurodegeneratif
biasa, yang berhubungan dengan kehilangan neuron dan gliosis, hilangnya glial terlihat sebagai
patologi seluler dominan pada penyakit bipolar (164). Dalam kata lain, bila kita menggunakan istilah,
gangguan bipolar lebih kepada gliopatik daripada gejala neurodegeneratif. Walaupun keadaan klinis
berhubungan dengan patologi seluler gangguan bipolar masih menunggu perbaikan karakter, ada
sedikit keraguan yang tersimpan pada perubahan patofisiologi pada kunci daerah kortikolimbik dan
saluran white-matter yang berperan penting dalam manifestasi klinis gangguan bipolar.
DISREGULASI OTONOM DAN NEUROENDOKRIN PADA GANGGUAN BIPOLAR
Perubahan fungsi aksis HPA pada gangguan bipolar telah terbukti (168). Pelepasan Corticotropin
Releasing Factor (CRF) berpengaruh pada sekresi Adenocorticotropic Hormone (ACTH) dan
peningkatan peredaran glukokortikoid (yaitu kortisol) (168). Gangguan ini kemungkinan besar
disebabkan pengaturan kortikolimbik yang defisit pada gangguan bipolar dengan konsekuensi
overaktivitas amygdala, serta peranan regulasi hippocampus yang membahayakan (169). Selain itu
reseptor glukokortikoid tampaknya telah berkurang sensitivitasnya dalam gangguan suasana hati,
kemungkinan karena sel peradangan (sitokin) yang meningkat sehingga mengganggu regulasi umpan
balik fisiologis padaa aksis HPA dan sistem kekebalan tubuh (170-172). Memang, pasien bipolar
eutim bahkan menunjukkan kirva datar kortisol (indikator kesenangan dari kondisi kesehatan yang
secara umum membahayakan) dibandingkan dengan populasi kontrol. Pada pasien yang telah
mengalami episode multipel, kelainan ini menjadi lebih intensif, mengakibatkan peningkatan kadar
kortisol secara menyeluruh sebagai tambahan dari reaktivitas yang meningkat, serta perataan kurva
kortisol yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang mmengalami episode yang lebih jarang
(173). Menyoroti relevansi dari kelainan neuroendokrin, penelitian baru-baru ini menemukan
hubungan antara peningkatan jumlah kortisol pada individu bipolar pada saat malam hari dengan
riwayat bunuh diri (174).
Selain disregulasi HPA, gangguan bipolar dapat berhubungan dengan aktivitas sistem saraf simpatik
yang berlebihan. Sebagai contoh, ekstraneuronal nerepinefrin dilaporkan meningkat pada sekelompok
pasien bipolar dibanding populasi kontrol yang sehat (175). Disregulasi otonom, secara umum
tercermin dari aktivitas parasimpatik yang menurun dan peningkatan aktivitas simpatik yang dapat
menjadi ciri gangguan bipolar, seperti yang ditunjukkan oleh laporan variabilitas detak jantung
terlihat jelas lebih rendah pada pasien bipolar eutim dibandingkan populasi kontrol (176). Konstelasi
overaktif pada sistem saraf simpatik, pengambilan kembali (withdrawal) parasimpatik, insufisiensi
reseptor glukokortikoid, dan peningkatan sinyal peradangan dapat membantu nilai setidaknya
sebagian untuk peningkatan risiko sindroma metabolik, gangguan endokrin, dan penyakit vaskuler
pada penderita bipolar (168,177). Menyoroti relevansi pola perubahan neuroendokrin, otonom, dan

sistem imun adalah bukti nyata bahwa penyakit vaskuler telah diidentifikasi sebagai penyebab utama
kematian yang berlebihan pada gangguan bipolar (178).
Sebagai tambahan yang mempengaruhi fungsi otonom dan sistem imun, peningkatan glukokortikoid
telah dikaitkan dengan penekanan sekresi thyroid stimulating hormone (TSH) dan membahayakan
perubahan enzimatik dari tiroksin inaktif menjadi triodotironin aktif (172). Disfungsi tiroid pada kelas
dibawahnya telah dikaitkan dengan gangguan bipolar dan seringkali mempengaruhu presentasi klinis
dan respon pengobatan (179,180).
DISFUNGSI SIRKADIAN PADA GANGGUAN BIPOLAR
Beberapa tanda buktu mengindikasikan adanya hubungan antara gangguan bipolar dan disregulasi
sirkadian. Gangguan sirkadian jarang menjadi epifenomena penyakit bipolar mengingat bahwa gejala
tersebut ada selama episode manik, depresi, fase eutim, dan kerabat dekat penderita bipolar
(181,182). Bukti aktigrafik dan penelitian polisomnografi telah menemukan densitas tidur REM yang
lebih tinggi, pola tidur yang lebih bermacam-macam, dan durasi tidur yang memanjang, efisiensi tidur
yang menurun, gairah yang meningkat, tidur yang terputus, aktivitas harian yang menurun, baik dalam
keadaan sakit yang aktif, maupun pada pasien bipolar yang kambuhan dibanding populasi kontrol
(181-184). Sebuah penelitian menemukan fase tidur yang tertunda pada 62% pasien bipolar, 30%
pasien MDD, dan 10% pada populasi kontrol (185). Penulis lainnya mengatakan bahwa penderita
bipolar memiliki ketidakstabilan dan penumpulan ritme biologis dan membuat penderita tidak toleran
terhadap kerja shift (186). Efisiensi tidur yang berkurang dan ketahanan tubuh yang menurun barubaru ini dihubungkan dengan respons dorsolateral prefrontal kortikal dan performa yang menurun
pada pengerjaan memori dibandingkan dengan populasi kontrol (187). Selanjutnya, siklus tidur yang
tertunda dan irreguler berkaitan dengan munculnya gejala hipomanik seumur hidup pada sampel
dewasa non klinis (188).
Pengamatan saat malam hari pada tipologi pagi-sore hari, berhubungan dengan gangguan bipolar.
Kronotipe biologis cenderung berhubungan erat dengan biomarker seperti melatonin saliva, sekresi
katekolamin, kortisol pagi hari, dan perubahan suhu tubuh. Selain itu pasa saat malam ditemukan
kaitan yang erat dengan manifestasi klinis gangguan bipolar, termasuk intensitas depresi, perubahan
suasana hati yang cepat, cemas, letargi, dan penurunan jumlah melatonin (181,182,186).
Endokrin yang telah diubah dan ritme neurotransmitter diurnal pada gangguan bipolar juga telah
dijelaskan. Dalam keadaan fisiologis, melatonin yang beredar dalam darah meningkat sekitar 2-3 jam
sebelum tidur, tetap tinggi saat tidur malam dan menurun cepat pada pagi hari sebelum bangun.
Kortisol yang beredar biasanya kontra-korelasi dengan melatonin.sementara saat pagi jumlah kortisol
yang tinggi membantu upaya untuk bangun, saat malam hari kortisol yang rendah mendukung
persiapan tidur. Walaupun ada temuan yang kontradiktif, pasien bipolar mungkin memiliki respon
melatonin yang hipersensitif terhadap cahaya. Dalam menanggapi paparan cahaya, baik pasien eutim
dan pasien bipolar yang aktif mempunyai manifestasi 2 kali lipat lebih besar dari pengurangan
konsentrasi plasma melatonin dibandingkan dengan populasi kontrol (181,182,186). Selanjutnya,
banyak pasien bipolar yangsecara substantial tertunda dan seksresi melatoninnya berkurang dibanding
pasien MDD (189). Gangguan pada regulasi glukokortikoid diurnal telah didiskusikan pada bagian
sebelumnya, kami hanya menambahkan bahwa pasien bipolar memiliki peningkatan kortisol saat
bangun tidur dan malam hari dibandingkan populasi kontrol. Bahkan keturunan orang tua yang
bipolar memiliki kortisol pada saliva dengan sekresi yang lebih tinggj dibanding populasi kontrol
(181,182).

Sekresi beberapa neurotransmitter sebagai subjek regulasi sirkadian dan terlihat sebagai manifestasi
yang tertunda pada gangguan bipolar. Ada korelasi 2 arah diantara jalur nuclei serotonergik dengan
neurotransmitter sirkadian utama yaitu nucleus suprakiasmatik hipolamus (SCN). Kedua hormon
serotonin dan melatonin meningkat saat malam hari. Kecepatan perubahan serotonin ke melatonin
diatur oleh SCN. Selanjutnya, sintesis serotonin dipengaruhi fluktuasi irama yang musiman dan pada
keadaan diurnal yang signifikan. Serotonin, sebaliknya, ditemukan untuk mempengaruhi trakskripsi
gen CLOCK pada model preklinik (181,182). Daerah ventral segmental neuron dopaminergik telah
terlibat pada regulasi fase tidur REM daan adaptasi terhadap cahaya, sementara norepinefrin
memberikan pengaruh regulasi pada sekresi melatonin (181,182). Hubungan antara gangguan bipolar
dan peranan monoamin pada gangguan regulasi sirkadian membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Berbeda dengan skala besar GWAS yang belum membentuk hubungan antara gen CLOCK dan
gangguan bipolar, pada penelitian dengan skala yang lebih kecil, sementara lurang replikasi yang
memadai, telah mencatat hubungan antara beberapa gen sirkadian, termasuk TIMELESS, ARNTL1,
PER3, NRIDI, CLOCK, dan GSK-3 Beta, dengan penyakit bipolar (181,182,186).
Akhirnya intervensi terapeutik dikonsentrasikan pada pemulihan irama sirkadian yang tepat, seperti
terapi interpersonal daanterapi irama sosial (IPSRT) serta fototerapi yang telah menerima dukungan
empiris awal. Penggunaan fototerapi pada gangguan bipolar dilanda kontroversi seperti yang telah
dilaporkan untuk efek samping yang serius seperti, ketidakstabilan suasana hati, bunuh diri dan mania
(186). Penelitian terkontrol telah menunjukkan efektivitas pendekatan IPSRT dalam memperpanjang
waktu kekambuhan episode bipolar dab perbaikan fungsi kerja. Sebaliknya, perubahan dalam
pengobatan dikaitkan dengan peningkatan risiko kekambuhan (186). Walaupun begitu, replikasi acak
yang terkontrol pada temuan ini dibutuhkan sebelum mereka menjadi bagian dari praktikal klinis
rutin.
GANGGUAN IMUN PADA GANGGUAN BIPOLAR
Beberapa area limbik-paralimbik terlibat dalam patofisiologi penyakit bipolar termasuk amygdala,
insula, dan ACC mempunya peran penting dalam regulasi otonom data fungsi imun (102, 190-192).
Meskipun data langsung tidak tersedia untuk menghubungkan gangguan di area limbik/paralimbik
dan inflamasi pada penyakit bipolar, ada spekulasi bahwa aktivitas menyimpang ini mempunya
peranan yang penyebab dalam disregulasi imun yang telah diamati berulang kali pada penderita
penyakit bipolar. Beberapa penelitian dan 2 metaanalisis telah melaporkan peningkatan jumlah sitokin
inflamasi perifer pada penyakit depresi bipolar dan pasien manik dibandingkan dengan populasi
kontrol (193-199). Kedua meta-analysis mengindikasikan jumlah tumor necrosis factor (TNF)-Alpha
dan IL-4 yang meningkat pada subjek bipolar dibandingkan populasi kontrol (196, 197). Peningkatan
IL-4 dicatat hanya pada penelitian yang tidak memanfaatkan rangsangan mitogen, sementara
penelitian yang dirangsang menunjukkan ridak ada perbedaan jumlah IL-4 pada pasien bipolar dan
subjek yang sehat (196). IL-4 menginduksi transformasi sel T helper yang naif menjadi sel Th2 dan
mengurangi produksi sel Th1 dan makrofag. Dengan demikian, IL-4 adalah kunci saklar yang
mengatur keseimbangan imun seluler dan antibodi dasar. Ada spekulasi bahwa peningkatan IL-4 pada
penderita bipolar adalah kompensasi tubuh sebagai buffer melawan peningkatan sitokin proinflamasi.
Pada penelitian yang terkontrol dan lebih ketat, penghitungan untuk penggunaan obat dan efek
perubahan suasana hati perlu dilakukan sebelum kita mencapai pemahaman yang lebih baik tentang
peran IL-4 pada gangguan bipolar,
Penelitian lain telah menemukan bahwa pada bipolar mania dan bipolar depresi jumlah TNF-alfa dan
IL-6 lebih tinggi daripada kontrol yang telah dicocokkan (193,195,199). Apalagi, penelitian telah

menyatakan marker inflamasi seperti protein C-Reaktif yang memiliki sensitivitas tinggi dan
kemokines yang cenderung meningkat pada setiap episode bipolar (200,201). Sebagai tambahan pada
peningkatan proinflamasi IL-6 yang umum pada bipolar, keadaan suasana hati, dan depresi bipolar
dibandingkan bipolar mania yang mempunya keseimbangan karakter yang menyimpang antara IL-6
dan anti-inflamasi IL-10 (193). Berdasarkan nilai yang dikeluarkan, perbandingan IL-6 dan IL-10
adalah 1: 18 pada tipe mania dan 2:44 pada bipolar depresi (193). Secara keseluruhan, data
menunjukkan bahwa pengobatan yang sukses mengarah kepada keadaan eutim dapat membalikkan
keadaan inflamasi dan membuat jumlah mediator inflamasi kembali normal (195,196,202). Sitokin
inflamasi diketahui menyebabkan berkurangnya sensitivitas glukokortikoid dan reseptor insulin (172).
Dikombinasikan dengan gangguan otonom, peningkatan agregasi platelet/endotelial dan gaya hidup
yang tidak sehat, peningkatan peradangan dapat berkontribusi meningkatkan risiko gangguan
pernapasan dan gastrointestinal, serebrovaskular, dan penyakit kardiovaskular serta migrain pada
populasi bipolar (79,168,203). Dampak kumulatif dari regulasi HPA yang terganggu dan
glukokortikoid dan aktivitas reseptor insulin, diperburuk dengan sitokin inflamasi, dapat menjelaskan
tingginya tingkat sindrom metabolik, diabetes, dislipidemia, dan osteoporosis pada populasi bipolar
(88,204). Selanjutnya peningkatan inflamasi perifer diasosiasikan dengan beberapa gejala gangguan
suasana hati seperti malaise, fatigue, anhedonia, penurunan konsentrasi, gelisah, irritabel, pemutusan
sosial, putus asa, pemikiran bunuh diri, badan pegal, serta gangguan tidur dan nafsu makan (204-208).
Sinyal inflamasi perifer dapat memperoleh akses ke SSP melewati beberapa jalur. Seperti 1. Beberapa
daerah otak yang tidak diliputi selaput Blood Brain Barrier (BBB); 2. Fiber aferen vagal mungkin
menyampaikan sinyal inflamasi perifer ke inti (nukleus), termasuk nukleus traktus soliter; 3. Sel BBB
mempunyai kemampuan untuk mengimpor sitokin melalui transpor aktif; 4.sel imun perifer seperti
makrofag sel limfosit T dan monosit bisa mendapat akses ke SSP dan melepaskan mediator inflamasi;
dan 5. Sel BBB (sel endotelial dan perisit) dapat diinduksi untuk melepaskan sinyal inflamasi (209).
Peningkatan cairan serebrospinal (CSF) sitokin inflamasi (IL-1beta) telah dibuktikan pada pasien
bipolar, terutama jika mereka telah mengalami episode manik terakhir dibandingkan dengan relawan
yang sehat (171). Penelitian pencitraan telah melaporkan perubahan berkaitan dengan inflamasi
perifer berkaitan dengan inflamasi perifer pada aktivitas di beberapa daerah limbik-paralimbik,
termasuk ACC subgenual, amygdala, PFC medial dan ganglia basalis/ ventral striatum/ nukleus
akumbens (209-211). Semua daerah limbik-paralimbik terlibat dalam regulasi suasana hati dan respon
stress yang termasuk dalam

Anda mungkin juga menyukai