Anda di halaman 1dari 4

ASPEK MEDIKOLEGAL PADA KEKERASAN SEKSUAL ANAK

Mohammad Tareqh

1102014160

Pembimbing :

Dr. Arif Wahyono, Sp. F

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA Tk. I SAID SUKANTO
Periode 07 September-26 September 2020

Pasal yang dapat menjerat pelaku Kekerasan Seksual Anak


Pasal 287 KUHP

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya
tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua
belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

Pasal 288 KUHP

(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau
sepatutnya harus didugunya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila
perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan
tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 293 KUHP

(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan
pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan
seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya
harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan
itu.

(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan
bulan dan dua belas bulan.

Pembuktian pada kasus Kekerasan Seksual Anak


Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa awam yang mudah
dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah yang sesuai tingkat pendidikan dan
sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin terdengar vulgar.

Umum: umur atau tanggal lahir, status pernikahan, riwayat paritas dan/atau abortus, riwayat haid
(menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid), riwayat koitus (sudah pernah atau belum,
riwayat koitus sebelum dan/atau setelah kejadian kekerasan seksual, dengan siapa. Khusus:
keterangan terkait kejadian kekerasan seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan
fisik,

Gunakan prinsip “head to toe”. Apabila korban tidak sadar atau keadaan umumnya buruk, dokter
fokus untuk ”life saving” terlebih dahulu. Dalam melakukan pemeriksaan fisik, perhatikan
kesesuaian dengan keterangan korban yang didapat saat anamnesis. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan khusus. Untuk mempermudah
pencatatan luka-luka, dapat digunakan diagram tubuh.

Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan tindakan
kekerasan seksual yang diakui korban. Cari perlukaan dan bercak mani pada daerah pubis,
penggumpalan atau perlengketan rambut pubis, daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian
dalam, labia mayora dan minora, vestibulum dan fourchette posterior, hymen, catat bentuk,
diameter ostium, elastisitas atau ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau
hiperemi). Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan
(sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi), apakah robekan mencapai
dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan,
vagina, serviks dan porsio, cari tanda-tanda pernah melahirkan dan adanya cairan atau lendir,
uterus, periksa apakah ada tanda kehamilan, anus dan daerah perianal, mulut, daerah-daerah
erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), serta tanda-tanda kehamilan pada payudara dan
perut.

Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat tersebut mengandung
sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan.
Apabila ejakulat tidak mengandung sperma, maka pembuktian adanya persetubuhan dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut.
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan persetubuhan itu tidak
sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya pembuktian adanya persetubuhan secara
kedokteran forensik tidak mungkin dapat dilakukan secara pasti.

Menentukan perkiraan waktu terjadinya persetubuhan; hal ini menyangkut masalah alibi yang
sangat penting di dalam proses penyidikan. Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam
liang vagina masih dapat bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai
sekitar 24-36 jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita yang
menjadi korban meninggal. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari
proses penyembuhan selaput dara yang robek. Pada umumnya penyembuhan tersebut dicapai
dalam waktu 7-10 hari postkoital.

Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat dilakukan pada pakaian korban
untuk menentukan adanya bercak ejakulat. Dari bercak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk memastikan bahwa bercak yang telah ditemukan adalah air mani serta dapat
menentukan adanya sperma.

Peran dokter dalam penanganan kasus Kekerasan Seksual Anak

Dokter, khususnya dokter umum dapat melakukan pemeriksaan secara komprehensif dari ujung
rambut sampai ujung kaki untuk dicari bukti kejahatan pelaku. Selain itu dokter umum dapat
merujuk pasien ke spesialis tertentu seperti Spesialis Kandungan dan Kedokteran Kejiwaan
umtuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai