Oleh:
Dokter Muda Bagian Obstetrik dan Ginekologi
Periode 30 November 2020 – 04 Januari 2021
Pembimbing
dr. Hj. Hartati, Sp.OG(K), M.Kes
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Topik
Perdarahan Pasca Persalinan Oleh Karena Sisa Plasenta, Dengan
Golongan Darah Bombay
Disusun oleh:
Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti ujian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 30 November 2020 – 04
Januari 2021
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan
berkat-Nya laporan kasus yang berjudul “Perdarahan Pasca Persalinan Oleh Karena Sisa
Plasenta, Dengan Golongan Darah Bombay” ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik di
Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 30 November 2020 – 04 Januari 2021.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Hj. Hartati, Sp.OG(K),
M.Kes. selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini, serta pihak yang telah banyak membantu hingga
selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini.
Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
v
3.2.7 Diagnosis..........................................................................................….25
3.2.8 Tatalaksana.......................................................................................….26
3.2.9 Komplikasi........................................................................................….27
3.2.10 Prognosis........................................................................................….27
3.2.11 Edukasi dan Pencegahan................................................................….27
3.3 Kelompok Golongan Darah Langka..............................................................29
BAB IV ANALISIS KASUS............................................................................... 35
BAB V KESIMPULAN....................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 39
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI
a. Nama : Ny. PR
b. Umur : 26 Tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Status : Menikah
e. Riwayat Kehamilan : P3A1
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama:
Perdarahan vagina terus menerus selama 15 hari.
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien 39 minggu cukup bulan dengan ketuban pecah dini (KPD). Karena
pasien akan segera melahirkan, pasien dibawa keruang bersalin dan dilakukan
induksi dengan gel dinoprostone intracervical. 2 jam setelah induksi, pasien
melahirkan bayi laki-laki sehat dengan berat badan 3,5 kg pervaginam. Skor
APGAR satu menit pertama 8 dan lima menit kemudian 9.
Setelah mengeluarkan plasenta dengan traksi tali pusat yang terkendali,
pemeriksaan jaringan plasenta menunjukkan adanya lobus yang hilang dan
pasien juga mengalami perdarahan paska salin yang berat. Kompresi bimanual
dan pemberian oksitosin tidak berhasil sehingga pasien dibawa ke ruangan
emergensi dan dilakukan evakuasi dengan bantuan anastesi. Hasil
laboratorium menunjukkan pasien memiliki indikasi untuk dilakukan transfusi
darah.
Darah pasien diambil dan dikirim untuk pengelompokan darah dan
pencocokan silang, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan beberapa unit golongan
darah O-positif. Tes Coombs indirect dilakukan dan didapatkan hasil yang
sama yaitu positif sehingga dicurigai golongan darah langka, dan aglutinasi
dengan antisera anti-H dilakukan dan hasilnya mengkonfirmasi diagnosis
golongan darah Bombay.
4
b. Pemeriksaan Spesifik
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
edema palpebra (-/-), pupil bulat, isokor 3mm/3mm,
refleks cahaya (+/+)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax :
Paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, thorakoabdominal, sela iga melebar
(-), sela iga menyempit (-),Pembesaran mammae simetris,
puting susu menonjol, hiperpigmentasi areola mammae (+),
colostrum (-)
Palpasi : Vocal fremitus sama kanan dan kiri
Perkusi : Sonor, batas paru hati ICS VI linea midclavikularis dekstra
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicularis anterior
sinistra, tidak kuat angkat.
Perkusi :
- Batas atas jantung ICS II linea parasternal sinistra
- Batas jantung kanan linea parasternal dekstra
- Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
- Pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra
Auskultasi : BJ I-BJ II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Supel, strie(+), jaringan parut (-)
Palpasi :Nyeri tekan (+), defans muskuler (-), hepatomegali (-),
Splenomegali (-)
Perkusi : Timpani, Asites (-).
Auskultasi : Bising usus (+) normal
6
Ekstremitas
Superior : Akral dingin (-), edema (-/-), CRT < 2 detik
Inferior : Akral dingin (-), edema (-/-), capillary refill time < 2 detik
Pemeriksaan Obstetrik
Pemeriksaan Luar
Perut dan Pinggang: abdomen cembung, FUT tidak teraba, kontraksi (-),
perdarahan (+)
V. DIAGNOSA KERJA
Perdarahan Pasca Salin Sekunder e.c Sisa Plasenta dengan Golongan Darah
Bombay
VI. PROGNOSIS
a. Quo ad vitam : Dubia ad bonam
b. Quo ad functionam : Dubia ad bonam
c. Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
VII. PENATALAKSANAAN
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Epidemiologi
Perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas persalinan. PPP terjadi pada sekitar 1% sampai 6% dari semua
persalinan. Atonia uterus, penyebab utama PPP, menyumbang 70% hingga 80%
dari semua perdarahan. Prevalensi keseluruhan PPP di seluruh dunia
diperkirakan 6 sampai 11 persen kelahiran dengan variasi substansial antar
wilayah.5, 6 Prevalensi berbeda menurut metode penilaian dan berkisar dari 10,6
persen bila diukur dengan penilaian obyektif kehilangan darah hingga 7,2 persen
bila dinilai dengan subyektif teknik menjadi 5,4 persen jika penilaian tidak
ditentukan.5 Berbagai penelitian telah mencatat peningkatan PPP di negara-
negara dengan sumber daya tinggi, termasuk Amerika Serikat, Kanada,
Australia, Irlandia, dan Norwegia, sejak 1990-an.7-11 Di Amerika Serikat, satu
studi menemukan bahwa kejadian PPP meningkat 26% dari tahun 1994 hingga
2006 (2,3% vs. 2,9%, masing-masing, p <0,001) .12 Penelitian lain di AS
9
melaporkan kejadian PPP parah dua kali lipat dari 1,9 persen pada tahun 1999
menjadi 4,2 persen pada 2008 (p <0,0001) .13 Faktor yang mendasari
peningkatan masih belum jelas, dan kedua studi AS baru-baru ini menemukan
peningkatan angka PPP tidak dijelaskan oleh perubahan faktor risiko (misalnya,
usia ibu, kelahiran caesar, kehamilan ganda).7,8
3.1.3 Etiologi
Perdarahan paska salin dapat disebabkan oleh empat faktor (4 T) yaitu
tone merupakan kelemahan tonus uterus untuk menghentikan perdarahan dari
bekas insersi plasenta pada atonia uteri, trauma yaitu robekan jalan lahir dari
perineum, vagina, sampai uterus. Tissue adalah sisa plasenta atau bekuan darah
yang menghalangi kontraksi uterus yang adekuat, dan thrombin ialah gangguan
faktor pembeukan darah (thrombin).9
grande multipara, usia yang lebih tua, kelahiran prematur, cedera saluran genital,
tidak menggunakan oksitosin untuk profilaksis PPP, induksi persalinan,
persalinan sesar dan kematian janin intra-uterus, korioamnionitis, anemia
maternal, obesitas maternal, persalinan lama, dan preeklampsia. Namun, 20%
pasien yang mengalami perdarahan pasca persalinan tidak memiliki faktor
risiko, sehingga tenaga kesehatan harus bersiap untuk mengobatinya pada setiap
persalinan. Hanya ada sedikit informasi tentang besaran dan faktor risiko PPP.
Penyebab umum termasuk atonia uteri, trauma termasuk cedera saluran genital,
retensi plasenta dan kegagalan sistem pembekuan darah. Atonia uterus
bertanggung jawab atas sebagian besar (75%) kasus PPP. Bagi penyedia layanan
kebidanan dan ginekologi, identifikasi faktor risiko pada periode antenatal dan
intrapartum memungkinkan intervensi tepat waktu untuk mencegah PPP.11,12
Tabel 2. Faktor risiko PPP berdasarkan penyebabnya. 13
Tabel 4. Gejala terkait dengan kehilangan darah dari perdarahan pasca persalinan.14
Jumlah kehilangan darah Tekanan darah (mmHg) Tanda dan gejala
ml %
500-1000 10-15 Normal Palpitasi, pusing, takikardi
1000-1500 15-25 Perlahan menurun Lemah, berkeringat, takikardi
1500-2000 25-35 70-80 Gelisah, pucat, oliguria
2000-3000 35-45 50-70 Kolaps, sesak napas, anuria
3.1.6 Patofisiologi
Selama kehamilan, volume darah ibu meningkat sekitar 50% (dari 4 L
menjadi 6 L). Volume plasma meningkat lebih dari total volume sel darah
merah, menyebabkan penurunan konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit.
Peningkatan volume darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi unit
uteroplasenta dan menyediakan cadangan untuk kehilangan darah yang terjadi
saat persalinan.15
Saat aterm, perkiraan aliran darah ke uterus adalah 500-800 mL/menit,
yang merupakan 10-15% dari curah jantung. Sebagian besar aliran ini melintasi
plasenta. Pembuluh darah uterus yang mensuplai situs plasenta melintasi jalinan
serabut miometrium. Ketika serat-serat ini berkontraksi setelah melahirkan,
terjadi retraksi miometrium. Retraksi adalah karakteristik unik dari otot uterus
untuk mempertahankan panjangnya yang lebih pendek setelah kontraksi
berturut-turut. Pembuluh darah terkompresi dan tertekuk oleh kisi silang ini, dan
biasanya aliran darah tersumbat dengan cepat. Susunan ikatan otot ini disebut
sebagai "living ligatures" atau "physiologic sutures" rahim.15
Atonia uterus adalah kegagalan serabut miometrium uterus berkontraksi
dan menarik kembali. Ini adalah penyebab utama PPP dan biasanya terjadi
segera setelah bayi lahir, hingga 4 jam setelah melahirkan. Trauma pada saluran
genital (yaitu, uterus, serviks uterus, vagina, labia, klitoris) pada kehamilan
menyebabkan lebih banyak perdarahan daripada yang terjadi pada keadaan tidak
hamil karena peningkatan suplai darah ke jaringan ini. Trauma yang secara
13
khusus terkait dengan persalinan bayi, baik melalui vagina dengan cara spontan
atau dengan bantuan atau dengan operasi caesar, juga dapat menjadi substansial
dan dapat menyebabkan gangguan yang signifikan pada jaringan lunak dan
robeknya pembuluh darah.15
Pada keadaan retensio plasenta, awal mula plasenta dimulai dengan
implantasi blastokista ke dalam endometrium ibu. Dalam persiapan untuk
implantasi ini, endometrium membentuk desidua di bawah pengaruh progesteron
dan estrogen pada awal kehamilan. Saat blastokista menempel pada desidua ini,
lapisan sel yang membentuk permukaan blastokista berkembang menjadi
membran korionik. Sel sitotrofoblas berkembang biak dari membran korionik
dan membentuk agregat berinti banyak yang disebut sel syncytiotrophoblast.
Sel-sel ini membentuk vili plasenta, memungkinkan pertukaran janin-ibu antara
interaksi vili-desidual. Dengan persalinan bayi, baik kaskade hormonal dan
kontraksi uterus memungkinkan pemisahan lapisan ini dan pengeluaran
plasenta.16
Retensi plasenta umumnya dikaitkan dengan salah satu dari tiga patofisiologi:16
1. Uterus atonik dengan kontraksi yang buruk dapat mencegah pemisahan
normal dan hambatan kontraktil dari plasenta.
2. Plasenta yang melekat secara abnormal atau invasif, seperti yang terlihat
pada spektrum plasenta akreta (PAS), mungkin tidak mampu melakukan
pemisahan normal. Akhirnya, plasenta dapat terperangkap atau tertahan
karena penutupan serviks sebelum kelahiran plasenta.
3. Gangguan hipoperfusi plasenta, seperti dengan preeklamsia, dan infeksi juga
telah diusulkan sebagai mekanisme untuk retensi plasenta, meskipun sedikit
yang diketahui tentang mekanisme spesifiknya
3.1.7 Diagnosis
Dijumpai pada kala III atau pasca persalinan dengan gejala nyeri yang
hebat, perdarahan banyak bisa juga terjadi syok, apalagi bila plasenta masih
melekat dan sebagian sudah ada yang telepas dan dapat terjadi strangulasi dan
nekrosis.21
Pada pemeriksaan dalam, bila masih dalam inkomplit, maka pada daerah
simfisis uterus teraba fundus uteri cekung ke dalam, bila komplit, di atas simfisis
14
uterus teraba kosong dan dalam vagina teraba tumor lunak, kavum uteri sudah
tidak ada (terbalik).
Kriteria Diagnosis22
1) Pemeriksaan fisik:
Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi
cepat, kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus
menerus
2) Pemeriksaan obstetri
Uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, perdarahan
mungkin karena luka jalan lahir
3) Pemeriksaan ginekologi:
Pemeriksaan ini dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, pada
pemeriksaan dapat diketahui kontraksi uterus, adanya luka jalan lahir dan retensi
sisa plasenta
Pemeriksaan Penunjang21,22
1) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal.
Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil
kehamilan yang buruk.
Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak
periode antenatal.
Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu
pembekuan.
2) Pemeriksaan radiologi
Onset perdarahan pasca persalinan biasanya sangat cepat. Dengan
diagnosis dan penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum
pemeriksaan laboratorium atau radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan
USG dapat membantu untuk melihat adanyagumpalan darah dan retensi
sisa plasenta21,23.
15
3.1.8 Tatalaksana
a) Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan/darah pengganti
dan pemberian obat.
b) Beberapa senter memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus yang
terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke
atas masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk ke
dalam uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta
sudah terlepas atau tidak.
c) Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil dikeluarkan
dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infus atau i.m, tangan tetap
dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru
dilepaskan.
d) Pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan kebutuhan.
e) Pada kasus yang akut biasanya dicoba secara manual dan bila gagal dilanjutkan
metode operatif, sedangkan pada kasus yang subakut dan kronis biasanya
dilakukan reposisi dengan metode operatif. Secara manual cara johnson, jones,
O sullivan, secara operatif dengan cara transabdominal cara huntinton, haultain,
transvaginal cars spinelli, kutsner, subtotal histerektomi.27
Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan servika yang keras
menyebabkan manuver di atas tidak bisa dikerjakan, maka dilakukan laparotomi
untuk mereposisi, dan apabila terpaksa dilakukan histerektomi jika uterus sudah
mengalami infeksi dan nekrosis.7 Histerektomi adalah bedah pengangkatan
rahim (uterus) yang sangat umum dilakukan. Namun, organ-organ lain seperti
ovarium, saluran tuba dan serviks sangat sering dihapus sebagai bagian dari
operasi. Histeroktomi merupakan suatu tindakan penanganan untuk mengatasi
kelainan atau gangguan organ atau fungsi reproduksi yang terjadi pada wanita.
Dengan demikian, tindakan ini merupakan keputusan akhir dari penanganan
16
Resusitasi cairan23
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga
dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab
perdarahan.Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena.Selama
persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan
resiko perdarahan pasca persalinan, dan dipertimbangkan jalur kedua pada
pasien dengan resiko sangat tinggi.
Pada perdarahan pasca persalinan diberikan resusitasi dengan cairan
kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan
Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok
pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan
sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis
hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan pasca
persalinan. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L),
dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran
pada penanganan perdarahan pasca persalinan.Perlu diingat bahwa kehilangan I
L darah perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus
tidak tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang
interstisial.Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat
menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan pasca
persalinan.Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan.
Perdarahan pasca persalinan lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal
17
dapat ditangani cukup dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat
tertangani. Kehilanagn darah yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan
transfusi sel darah merah.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat
menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis.Tidak ada cairan koloid yang
terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya
efek yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap
direkomendasikan.
Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan
diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan
tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat
indikasi. Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk
menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume
sirkulasi.PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan
infus. Masalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-
masing unit.
Uterotonika
Tabel 5. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya
Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada
persalinan kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan
perdarahan pasca persalinan. Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-
hal berikut:
Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi
dilahirkan.
Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus
berkontraksi dengan baik25 .
3.1.9 Komplikasi
Komplikasi jangka pendek inversio uteri adalah berupa perdarahan pasca
persalinan, namun, endomiometritis sering menyertai inversio uteri. Usus dan
jaringan sekitar uterus dapat terluka akibat terperangkap dalam fundus yang
terinversi. Bahkan dapat terjadi kematian akibat inversio uteri. Namun dengan
deteksi dini, terapi definitif dan resusitasi yang adekuat, angka kematian menjadi
cukup rendah.26
3.1.10 Prognosis
Tergantung kepada penyebab, waktu, banyaknya kehilangan darah,
kondisi sebelumnya dan keefektifan pengobatan. Jadi yang lebih penting adalah
ketepatan dan kecepatan diagnosis dan penanganan.29
3.1.11 Edukasi
Edukasi yang dapat diberikan kepada ibu hamil yakni menyarankan ibu
untuk rajin memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan (Puskesmas atau Rumah
Sakit). Pemeriksaan rutin pada ibu hamil disebut sebagai asuhan antenatal
(Antenatal Care / ANC). 16
ANC merupakan upaya penelusuran berbagai kemungkinan atau penyulit
kesehatan (terutama faktor risiko terjadinya perdarahan pasca persalinan) selama
masa kehamilan yang berpotensi menganggu kualitas kehamilan hingga
persalinan.31
ANC minimal dilakukan banyak 4 kali selama masa kehamilan yakni
minimal 1 kali kunjungan pada trimester pertama, 1 kali kunjungan pada
trimester kedua, dan 2 kali kunjungan pada trimester ketiga. Apabila kehamilan
berisiko tinggi, maka jadwal kunjungan harus lebih sering dilakukan dan
pemeriksaan lebih ketat. 31
3.1.12 Pencegahan
manual pada kala tiga persalinan. Insiden tampaknya lebih rendah di negara-
negara kurang maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh jumlah kasus yang tidak
terdiagnosis yang tidak diketahui. Retensio plasenta berpotensi menjadi
komplikasi yang mengancam nyawa karena perdarahan dan infeksi terkait serta
komplikasi yang terkait dengan pengangkatannya. Risiko ini meningkat pada
wanita di negara berkembang dan keadaan sosial yang buruk karena malnutrisi
yang sudah ada sebelumnya, anemia dan persalinan tanpa pengawasan. Wanita
dengan faktor risiko yang dapat diidentifikasi harus menjadi target pencegahan
retensi plasenta.16,34,35
3.2.3 Etiologi
2. Patologi-anatomi
Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan
tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi: 37-41
1) Plasenta akreta: vili korialis berimplantasi menembus desidua basalis dan
Nitabuch layer. Pada jenis ini plasenta melekat langsung pada
miometrium.
22
lainnya; atau setelah kuretase uterus dan multiparitas, kelahiran preterm, serta
induksi persalinan.37,38,41 Dalam ulasannya terhadap 622 kasus yang dikumpulkan
antara tahun 1945 dan 1969, Fox (1972) mencatat karakteristik berikut :41
1) Plasenta previa diidentifikasi pada sepertiga kehamilan yang terkena
2) Seperempat pasien pernah menjalani seksio sesarea
3) Hampir seperempat pernah menjalani kuretase
4) Seperempatnya adalah gravida 6 atau lebih
Faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta :
1) Kelainan dari uterus sendiri, yaitu : Kontraksi uterus kurang kuat untuk
melepaskan plasenta (plasenta adhessiva),
2) Kelainan dari plasenta, misalnya : Plasenta melekat erat pada dinding uterus
oleh sebab villi khorialis menembus desidua sampai miometrium – sampai
dibawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta)
3) Kesalahan manajemen kala III persalinan, seperti : manipulasi dari uterus
yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta dapat
menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak
tepat waktunya juga dapat menyebabkan serviks kontraksi (pembentukan
constriction ring) dan menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio
plasenta).
Tanda dan gejala yang timbul akibat adanya retensio plasenta, sebagai berikut:20
1) Plasenta tidak lahir setelah 30 menit.
2) Perdarahan segera.
3) Kontraksi uterus : lemah
Selain itu, tanda dan gejala yang timbulnya kadang – kadang seperti tali
pusat putus akibat traksi berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan
lanjut.20
Berdasarkan jenis dari retensio plasenta, tanda dan gejala yang timbul sebagai
berikut 18
Tabel 6. Tanda dan gejala retensio plasenta18
inkarserata
Konsistensi Kenyal Keras Cukup
uterus
Tinggi fundus Sepusat 2 jari di bawah Sepusat
pusat
Bentuk uterus Diskoid Agak lobuler Diskoid
Perdarahan Sedang-banyak Sedang Sedikit/tidak ada
Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur
Ostiium uteri Terbuka Kontriksi Terbuka
Separasi Lepas sebagian Sudah lepas Melekat
plasenta seleruhnya
Syok Sering Jarang Jarang sekali
3.2.6 Patofisiologi
3.2.7 Diagnosis
Diagnosis retensio plasenta ditegakkan apabila terdapat kondisi plasenta
yang tertahan atau belum lahir hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi
lahir. Pasien dengan retensio plasenta dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik dan terdapat tanda klnis seperti pemanjangan tali pusat, adanya perdarahan,
perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular, peningkatan tinggi
fundus, dan saat dilakukan VT akan teraba plasenta. Untuk pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan darah lengkap dan USG.
3.2.8 Tatalaksana
Penanganan secara umum yaitu jika plasenta terlihat dalam vagina,
pasien diminta untuk mengedan, jika plasenta dapat dirasakan dalam vagina,
keluarkan plasenta tersebut, pastikan kandung kemih sudah kosong. Jika
diperlukan lakukan keteterisasi kandung kemih, jika plasenta belum keluar,
berikan oksitosin 10 unit IM. Jika belum dilakukan pada penanganan aktif kala
III. Jangan berikan ergometrin karena dapat menyebabkan kontraksi uterus yang
tonik, yang bisa memperlambat pengeluaran plasenta.39,33
Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin dan
uterus terus berkontraksi, lakukan penarikan tali pusat terkendali, jika traksi
pusat terkendali belum berhasil, lakukan plasenta manusal secara hati hati yaitu
dengan cara pasang sarung tangan DTT, instruksikan asisten untuk melakukan
sedatif dan analgetik melalui selang infus, lakukan kateterisasi kandung kemih,
jepit tali pusat dengan kocher kemudian tegangkan tali pusat dengan tangan kiri
26
lalu tangan kanan masuk melalui intoitus vagina secara obstertrik menelusuri tali
pusat hingga serviks, tangan kiri menahan fundus, tali pusat dipegang oleh
asisten. Lanjutkan penetrasi tangan kanan ke kavum uteri temukan implementasi
dan tepi plasenta. Sisipkan ujung jari diantara plasenta dan dinding uterus.
Setelah penyisipan berhasil, gerakkan tangan kekiri dan ke kanan sehingga
secara bertahap seluruh plasenta dapat dilepaskan dengan tepi luar jari-jari
tangan dalam. Gunakan tangan luar atau minta asisten untuk menarik tali pusat
untuk mengeluarkan plasenta dan sementara tangan dalam masih di dalam
kavum uteri. Lakukan pemeriksaan untuk memastikan tidak ada sisa plasenta.
Lahirkan plasenta dan letakkan pada tempat yang tersedia. Periksa kontraksi
uterus dan kemungkinan perdarahan. 39,38
Jika terdapat tanda-tanda dari plasenta satu atau lebih lobus
tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif, raba bagian
dalam uterus untuk mencari sisa plasenta. Lakukan ekspolari digital (bila serviks
terbuka) dan keluarkan bekuan darah dan jaringan. Bila serviks hanya dapat
dilalui instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan aspirasi vakum manual
atau dilatasi dan kuretase. 39,38
3.2.9 Komplikasi
Risiko yang dapat terjadi pada kasus retensio plasenta yang
berkepanjangan adalah: (1) Perdarahan. (2) Syok yang disebabkan oleh— (a)
kehilangan darah, (b) kadang-kadang tidak berhubungan dengan kehilangan
darah, terutama ketika perdarahan tersembunyi lebih dari satu jam dan (c) upaya
manipulasi perut untuk mengeluarkan plasenta. (3) Sepsis nifas. (4) Risiko
kekambuhan pada kehamilan berikutnya.40,41
Perdarahan masif akibat retensio plasenta dapat menyebabkan pasien
perlu dilakukan histerektomi darurat, terutama apabila tindakan manual plasenta
gagal dilakukan. Pasien dalam periode singkat dapat mengalami kolaps sirkulasi.
Kematian dapat menjadi salah satu konsekuensinya. Angka Case Fatality Rate
karena perdarahan langsung akibat retensio plasenta mencapai 10%. Retensio
plasenta juga merupakan penyebab utama perdarahan pasca persalinan yang
tertunda, dimana perdarahan berlangsung dengan onset lebih dari 24 jam setelah
27
1. Individu dengan golongan darah A memiliki sel darah merah dengan antigen
A di permukaan membran selnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen
B dalam serum darahnya.
2. Individu dengan golongan darah B memiliki antigen B pada permukaan sel
darah merahnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen A dalam serum
darahnya
30
3.3.2 Rhesus
Rhesus adalah sistem penggolongan darah berdasarkan ada atau tidaknya
antigen D di permukaan sel darah merah, nama lainnya adalah faktor Rhesus atau
faktor Rh. Nama ini diperoleh dari monyet jenis Rhesus yang diketahui memiliki
faktor ini pada tahun 1940 oleh Karl Landsteiner.42
Seseorang yang tidak memiliki faktor Rh di permukaan sel darah
merahnya memiliki golongan darah Rh- (Rhesus Negatif). Mereka yang memiliki
faktor Rh pada permukaan sel darah merahnya disebut memiliki golongan darah
Rh+ (Rhesus Positif).42
1) Subkelompok A2 dan A3
Kelompok A antigen selanjutnya meliputi A1, A2 dan A3 jenis antigen,
dimana A1 adalah yang paling dominan di antara individu dengan A dan AB
golongan darah. A2 relatif langka, sedangkan A3 adalah subkelompok paling
langka A antigen, dan diamati dalam waktu kurang dari 0,1% dari individu
dengan antigen A.42
B. Sistem MNS43,44
Sistem ini mengklasifikasikan darah atas dasar M, N, S, s, U dan Ena
antigen yang hadir pada permukaan RBC, dan melekat pada molekul khusus
yang disebut glycophorin A dan B. Kombinasi antigen tersebut menimbulkan
beberapa jenis darah .
Pada golongan darah Bombay, jika pasien menerima transfusi darah yang
memiliki antigen H, mereka berisiko mengalami reaksi transfusi akut hemolitik.
Produksi anti-H ibu selama kehamilan dapat menyebabkan penyakit hemolitik
pada janin yang tidak mewarisi fenotipe Bombay ibu. Dalam praktiknya, kasus
HDN yang disebabkan dengan cara ini belum dijelaskan, kemungkinan karena
kelangkaan fenotipe Bombay.44
34
35
masih tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat menimbulkan perdarahan
pascapersalinan primer atau sekunder.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala tiga berlangsung tidak lancar, atau setelah
melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada
saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri
eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit.
Faktor risiko dari perdarahan pascapersalinan antara lain: kala tiga yang
memanjang, persalinan yang ketiga atau lebih, episiotomi, janin besar, riwayat abortus
dan riwayat terjadinya perdarahan pascapersalinan pada kehamilan sebelumnya.
Sementara itu, faktor risiko terjadinya perdarahan pascpersalinan pada pasien ini adalah
persalinan yang ketiga dan adanya riwayat abortus sebelumnya.
Pada pemeriksaan tanda vital tidak didapatkan penurunan tekanan darah sistolik,
frekuensi nafas normal, denyut nadi normal, suhu afebris. Karena kesulitan untuk
menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan
disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal karena meskipun tanda vital
pasien masih dalam batas normal, nilai Hb yang didapat adalah 11 g/dL dimana nilai
normal Hb rujukan adalah 12-16 g/dL.
Pemeriksaan khusus menunjukkan konjungtiva anemis pada pasien, hal ini
diakibatkan perdarahan yang terjadi menyebabkan hilangnya volume intravaskular
termasuk di dalamnya hemoglobin (Hb). Hb memiliki pigmen merah, sehingga
penurunan kadar hb akan tampak pada lapisan mukosa seperti pada konjungtiva
palpebra menunjukkan gambaran pucat/anemis.
Pada pemeriksaan USG ditemukan sisa plasenta yang tertinggal di dalam rahim,
hal ini merupakan penyebab terjadinya perdarahan pada kasus. Adanya sisa plasenta
menandakan terjadinya retensio plasenta dimana gejala dan tanda yang bisa ditemui
adalah perdarahan terjadi lebih dari 24 jam pascapersalinan hingga 12 minggu
pascapartum.
Pasien kemudian menjalani evakuasi uterus, kuretase ulang dengan panduan
ultrasonografi untuk mengeluarkan sisa plasenta dan selanjutnya di rawat inap untuk
pemantauan. Jaringan plasenta yang dievakuasi dikirim untuk pemeriksaan
histopatologi, dan menunjukkan vili korionik, sel trofoblas, dan fibrinoid yang
mengalami degenerasi. Pada pasien ini belum diperlukan transfusi karena kadar Hb
36
masih > 8 g/dL namun karena golongan darah pasien adalah O positif golongan
Bombay yang merupakan kelompok golongan darah yang langka, maka donor dari
golongan darah tersebut harus segera didapatkan sebagai antisipasi jika perlu dilakukan
tindakan transfusi.
BAB V
KESIMPULAN
Penanganan perdarahan pasca persalinan akibat sisa plasenta antara lain pada
umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Dalam kondisi tertentu
apabila memungkinkan, sisa plasenta dapat dikeluarkan secara manual. Kuretase harus
dilakukan dirumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan
dengan kuretase pada abortus. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta,
dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau peroral. Selain itu,
antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Oliveira M.I., Costa V.S., Mer S., Osorio J., Martins A.P. Thromboctyopenia in
pregnancy, a challenge in the intensive care unit (ICU). RevEsp Anestesiol
Reanim. 2019.66(7):385-389
2. Arnold M.J., Keung J.J., McCharrager B. Interventional Radiology: Indications
and Best Practices. Am Fam Physician. 2019. 99(9):547-556
3. Alemu F.M., Fuchs M.C., Martin V.T., Abdallah M. S. M. Severe maternal
morbidity (near-miss) and its correlates in the world’s newest nation: South
Sudan. Int J Womens Health. 2019. 177-190
4. Ngwenya S. Post-Partum hemorrhage: incidence, risk factors, and outcomes in
a low-resource setting. International Journal of Woman’s Health. 2016. 8: 647-
650
5. Tauho K.D., Karwur F.F. An Insigh Maternal Death Caused by Hemorrhage in
Western Timor, Indonesia. 2019. 22(1):1-10. Doi: 10.7454/jki.v22il.675
6. Fan D, Xia Q, Liu L, Wu S, Tian G, Wang W, Wu S, Guo X, Liu Z. The
Incidence of Postpartum Hemorrhage in Pregnant Women with Placenta
Previa: A Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS One. 2017 Jan
20;12(1):e0170194. doi: 10.1371/journal.pone.0170194. PMID: 28107460;
PMCID: PMC5249070.
7. Kebede BA, Abdo RA, Anshebo AA, Gebremariam BM. Prevalence and
predictors of primary postpartum hemorrhage: An implication for designing
effective intervention at selected hospitals, Southern Ethiopia. PLoS One. 2019
Oct 31;14(10):e0224579. doi: 10.1371/journal.pone.0224579. PMID: 31671143;
PMCID: PMC6822730.
8. Kolin DA, Shakur-Still H, Bello A, Chaudhri R, Bates I, Roberts I. Risk factors
for blood transfusion in traumatic and postpartum hemorrhage patients:
Analysis of the CRASH-2 and WOMAN trials. PLoS One. 2020 Jun
38
39
21. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom
KD. Uterine Leiomyomas. 2014 .In : Williams Obstetrics. 24 th edition. Mc
Graw-Hill. New York.
22. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: P.T. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2016.
23. Henriquez DDCA, Gillissen A, Smith SM, dkk. Clinical characteristics of
women captured by extending the definition of severe postpartum haemorrhage
with 'refractoriness to treatment': a cohort study. BMC Pregnancy Childbirth.
2019 Oct 17;19(1):36
24. Nugroho T. Kasus emergency kebidanan dan keperawatan. Yogjakarta:
NuhaMedika; 2010.
25. Latief, Said A. Petujuk praktis Anestesiologi. Edisi Ke-2. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2015.
26. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Current Diagnosis and
Treatments in Obstetrics & Gynecology. 12th ed. USA: McGraw-Hill
Companies; 2019.
27. Herath RP, Patabendige M, Rashid M, Wijesinghe PS. Nonpuerperal Uterine
Inversion: What the Gynaecologists Need to Know? Obstet Gynecol Int. 2020
Jun 1;2020:8625186. doi: 10.1155/2020/8625186. PMID: 32565821; PMCID:
PMC7285247.
28. Shaylor R, Weiniger CF, Austin N, Tzabazis A, Shander A, Goodnough LT,
Butwick AJ. National and International Guidelines for Patient Blood
Management in Obstetrics: A Qualitative Review. Anesth Analg. 2017
Jan;124(1):216-232. doi: 10.1213/ANE.0000000000001473. PMID: 27557476;
PMCID: PMC5161642.
29. Steegers EA, Fauser JM. Textbook of Obstetrics and Gynaecology: A Life
Course Approach. 2019. SpringerLink
30. Perlman N.C., dan Carusi D. A. Retained Placenta after vaginal delivery: risk
factors and management. 2019.11:527-534
31. Belachew J, Eurenius K, Mulic-Lutvica A, Axelsson O. Placental location,
postpartum hemorrhage and retained placenta in women with a previous
41
cesarean section delivery: a prospective cohort study. Ups J Med Sci. 2017
Aug;122(3):185-189.
32. Jauniaux E, Grønbeck L, Bunce C, Langhoff-Roos J, Collins SL. Epidemiology of
placenta previa accreta: a systematic review and meta-analysis. BMJ Open. 2019
Nov 12;9(11):e031193. doi: 10.1136/bmjopen-2019-031193.
33. Greenbaum S, Wainstock T, Dukler D, Leron E, Erez O. Underlying mechanisms of
retained placenta: Evidence from a population based cohort study. Eur J Obstet
Gynecol Reprod Biol. 2017;
34. Weeks Andrew. Retained placenta after vaginal birth. Worlters Kluwer. 2019
35. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. Obstetri Patologi Ilmu
Kesehatan Reproduksi Edisi 3 FK UNPAD. Jakarta: EGC; 2013.
36. Zhong L, Chen D, Zhong M, He Y, Su C. Management of patients with placenta
accreta in association with fever following vaginal delivery. Medicine (Baltimore).
2017 Mar;96(10):e6279.
37. Begley CM, Gyte GM, Devane D, McGuire W, Weeks A, Biesty LM. Active versus
expectant management for women in the third stage of labour. Cochrane Database
Syst Rev. 2019 Feb 13;2(2)
38. Akol AD, Weeks AD. Retained placenta: will medical treatment ever be possible?
Acta Obstet Gynecol Scand. 2016 May;95(5):501-4.
39. Rohani, Sasmita R, Marisah. Asuhan Kebidanan Pada Masa Persalinan. Jakarta:
Salemba Medika; 2011.
40. Abril et al., Essential Obstetric and Newborn Care. Medecins Sans Frontieres. 2019
Available : https://medicalguidelines.msf.org/viewport/ONC/english/9-2-manual-
removal-of-the-placenta-51417920.html
41. Budiman, Mayasari D. 2017. Early Post-Partum Haemorrhage e.c Retensio
Plasenta. Lampung: J Medula Unila.
42. Ewald DR, Sumner SC. Blood type biochemistry and human disease. Wiley
Interdiscip Rev Syst Biol Med. 2016 Nov;8(6):517-535. doi:
10.1002/wsbm.1355. Epub 2016 Sep 7. PMID: 27599872; PMCID:
PMC5061611.
43. Gorakshakar A, Gogri H, Ghosh K. Evolution of technology for molecular
genotyping in blood group systems. Indian J Med Res. 2017 Sep;146(3):305-
42