Anda di halaman 1dari 48

Laporan Kasus

PERDARAHAN PASCA PERSALINAN OLEH KARENA SISA


PLASENTA, DENGAN GOLONGAN DARAH BOMBAY
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik di Obstetri dan Ginekologi
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Oleh:
Dokter Muda Bagian Obstetrik dan Ginekologi
Periode 30 November 2020 – 04 Januari 2021

Anis Illiana, S.Ked 04054822022051


Mayalisna Prihatiningrum, S.Ked 04054822022091

Muthia Adhana Yusri, S.Ked 04054822022001

Nopiah Syari, S.Ked 04087822022086

Putriana Fuji Safitri, S.Ked 04054822022135

Tiara Jannati Dewi, S.Ked 04054822022102

Pembimbing
dr. Hj. Hartati, Sp.OG(K), M.Kes

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2020

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Topik
Perdarahan Pasca Persalinan Oleh Karena Sisa Plasenta, Dengan
Golongan Darah Bombay
Disusun oleh:

Anis Illiana, S.Ked 04054822022051


Mayalisna Prihatiningrum, S.Ked 04054822022091

Muthia Adhana Yusri, S.Ked 04054822022001

Nopiah Syari, S.Ked 04087822022086

Putriana Fuji Safitri, S.Ked 04054822022135


Tiara Jannati Dewi, S.Ked 04054822022102

Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti ujian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 30 November 2020 – 04
Januari 2021

Palembang, Desember 2020


Pembimbing,

dr. Hj. Hartati, Sp.OG(K), M.Kes.

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan
berkat-Nya laporan kasus yang berjudul “Perdarahan Pasca Persalinan Oleh Karena Sisa
Plasenta, Dengan Golongan Darah Bombay” ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik di
Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 30 November 2020 – 04 Januari 2021.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Hj. Hartati, Sp.OG(K),
M.Kes. selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini, serta pihak yang telah banyak membantu hingga
selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini.
Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Palembang, Desember 2020

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR............................................................................................. v
DAFTAR TABEL.................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
BAB II STATUS PASIEN.....................................................................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 8
3.1 Perdarahan Post-Partum.................................................................................... 8
3.1.1 Definisi.............................................................................................….8
3.1.2 Epidemiologi....................................................................................….8
3.1.3 Etiologi.............................................................................................….9
3.1.4 Faktor Risiko....................................................................................….10
3.1.5 Manifestasi Klinis.............................................................................….11
3.1.6 Patofisiologi......................................................................................….12
3.1.7 Diagnosis..........................................................................................….14
3.1.8 Tatalaksana.......................................................................................….15
3.1.9 Komplikasi........................................................................................….18
3.1.10 Prognosis........................................................................................….19
3.1.11 Edukasi...........................................................................................….19
3.1.12 Pencegahan.....................................................................................….20
3.2 Retensio Plasenta.............................................................................................20
3.2.1 Definisi.............................................................................................….20
3.2.2 Epidemiologi....................................................................................….21
3.2.3 Etiologi.............................................................................................….21
3.2.4 Faktor Risiko....................................................................................….23
3.2.5 Manifestasi Klinis.............................................................................….24
3.2.6 Patofisiologi......................................................................................….24

v
3.2.7 Diagnosis..........................................................................................….25
3.2.8 Tatalaksana.......................................................................................….26
3.2.9 Komplikasi........................................................................................….27
3.2.10 Prognosis........................................................................................….27
3.2.11 Edukasi dan Pencegahan................................................................….27
3.3 Kelompok Golongan Darah Langka..............................................................29
BAB IV ANALISIS KASUS............................................................................... 35
BAB V KESIMPULAN....................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 39

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan pasca persalinan didefinisikan sebagai lebih dari 500 mL perkiraan


kehilangan darah pada persalinan pervaginam atau lebih dari 1000 mL perkiraan
kehilangan darah pada saat sesar. Kehilangan darah pada saat persalinan pervaginam
lebih dari 500 mL harus dianggap abnormal dengan potensi kebutuhan untuk intervensi.
Perdarahan pasca persalinan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama setelah melahirkan, sedangkan perdarahan pasca persalinan sekunder ditandai
dengan perdarahan yang terjadi 24 jam hingga 12 minggu pasca persalinan. Pasien
datang dengan perdarahan akut pasca melahirkan dari vagina. Pasien juga mungkin
mengalami peningkatan detak jantung, peningkatan frekuensi pernapasan, dan perasaan
pingsan saat berdiri. Saat pasien terus kehilangan darah, mereka mungkin juga merasa
kedinginan, tekanan darah menurun, dan mungkin kehilangan kesadaran. Penderita
mungkin juga mengalami tanda dan gejala syok, seperti kebingungan, penglihatan
kabur, kulit berkeringat, dan kelemahan. 1,2,3
Pada suatu penelitian ada 4.567 persalinan di panti selama periode 1 Januari
2016 hingga 30 Juni 2016. Ada 74 kasus PPP selama masa studi. Insiden PPP primer
adalah 1,6%. Usia rata-rata adalah 27,7 tahun (SD ± 6,9), usia kehamilan rata-rata
adalah usia kehamilan 38,6 minggu (SD ± 2,2), dan rata-rata berat lahir adalah 3,16 kg
(SD ± 0,65) untuk kelompok pasien yang diteliti. Tiga perempat (75,7%) kasus
memiliki NVD. Mayoritas kasus (77,0%) memiliki faktor risiko yang dapat
diidentifikasi untuk mengembangkan PPP primer. Faktor risiko yang paling dapat
diidentifikasi untuk perdarahan pasca persalinan primer adalah hipertensi akibat
kehamilan yang diikuti oleh persalinan lama. Atonia uterus merupakan penyebab
tersering perdarahan pasca persalinan (82,4%). Wanita yang melahirkan dengan NVD,
yang didiagnosis dengan PPP, dan yang kehilangan sekitar 500-1.000 mL darah adalah
73,2%; 25% kehilangan 1.000–1.500 mL darah, dan 1,8% kehilangan lebih dari 1.500
mL darah. Wanita yang melahirkan dengan operasi caesar segmen bawah, yang
didiagnosis dengan perdarahan pasca persalinan, dan yang kehilangan sekitar 1.000-
1.500 mL darah adalah 77,8%, dan 22,2% mengeluarkan sekitar 1.500 mL darah atau
lebih. Mayoritas kasus PPP primer (94,6%) selamat dan 5,4% meninggal.4

1
2

Indonesia menempati urutan kelima kematian ibu di negara-negara ASEAN,


terutama disebabkan oleh komplikasi saat kehamilan, dan ter banyak selama masa
persalinan). Salah satu penyebab utamanya adalah perdarahan, baik antepartum maupun
pasca persalinan. Pada tahun 2010, diidentifikasi di Timur BaratIndonesia dengan enam
kategori klinis kematian ibu, yaitu perdarahan, infeksi, eklamsia, aborsi, komplikasi,
dan penyebab lainnya. Namun, sebagian besar kematian disebabkan oleh perdarahan.
Dari 46 kematian ibu, 36 (atau 78,2%) disebabkan oleh perdarahan. Oleh karena itu
penting untuk melihat apa dan bagaimana faktor-faktor lokal di Timor Barat
mempengaruhi hal ini. Penelitian tersebut meneliti enam kasus kematian ibu akibat
perdarahan.5
3

BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI
a. Nama : Ny. PR
b. Umur : 26 Tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Status : Menikah
e. Riwayat Kehamilan : P3A1

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama:
Perdarahan vagina terus menerus selama 15 hari.
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien 39 minggu cukup bulan dengan ketuban pecah dini (KPD). Karena
pasien akan segera melahirkan, pasien dibawa keruang bersalin dan dilakukan
induksi dengan gel dinoprostone intracervical. 2 jam setelah induksi, pasien
melahirkan bayi laki-laki sehat dengan berat badan 3,5 kg pervaginam. Skor
APGAR satu menit pertama 8 dan lima menit kemudian 9.
Setelah mengeluarkan plasenta dengan traksi tali pusat yang terkendali,
pemeriksaan jaringan plasenta menunjukkan adanya lobus yang hilang dan
pasien juga mengalami perdarahan paska salin yang berat. Kompresi bimanual
dan pemberian oksitosin tidak berhasil sehingga pasien dibawa ke ruangan
emergensi dan dilakukan evakuasi dengan bantuan anastesi. Hasil
laboratorium menunjukkan pasien memiliki indikasi untuk dilakukan transfusi
darah.
Darah pasien diambil dan dikirim untuk pengelompokan darah dan
pencocokan silang, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan beberapa unit golongan
darah O-positif. Tes Coombs indirect dilakukan dan didapatkan hasil yang
sama yaitu positif sehingga dicurigai golongan darah langka, dan aglutinasi
dengan antisera anti-H dilakukan dan hasilnya mengkonfirmasi diagnosis
golongan darah Bombay.
4

Setelah itu dilakukan skrining untuk donor golongan darah Bombay O-


positif, dari empat unit packed red cells (PRC) dan 10 unit fresh frozen plasma
(FFP) yang tersedia. Pasien dirawat inap untuk pemantauan dan ditransfusi
dengan empat unit PRC. Pada minggu berikutnya pasien menunjukkan
perbaikan klinis yang baik dan dipulangkan.
Pasien kembali dibawa ke rumah sakit pada 40 hari pasca persalinan,
dengan keluhan perdarahan vagina terus menerus selama 15 hari dengan
episode intermiten . Pasien dirawat setelah ditemukan sisa plasenta yang
tertinggal di dalam rahim yang terdeteksi saat USG.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada data
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada data
e. Riwayat Sosial Ekonomi dan Gizi
Tidak ada data
f. Status Persalinan
P3A1
g. Status Kontrasepsi
Penggunaan implant (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 98 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Temperatur : 36,8oC
Berat badan : 51 kg
Tinggi badan : 160 cm
5

b. Pemeriksaan Spesifik
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
edema palpebra (-/-), pupil bulat, isokor 3mm/3mm,
refleks cahaya (+/+)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax :
Paru
 Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, thorakoabdominal, sela iga melebar
(-), sela iga menyempit (-),Pembesaran mammae simetris,
puting susu menonjol, hiperpigmentasi areola mammae (+),
colostrum (-)
 Palpasi : Vocal fremitus sama kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor, batas paru hati ICS VI linea midclavikularis dekstra
 Auskultasi : Vesikuler (+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicularis anterior
sinistra, tidak kuat angkat.
 Perkusi :
- Batas atas jantung ICS II linea parasternal sinistra
- Batas jantung kanan linea parasternal dekstra
- Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
- Pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra
 Auskultasi : BJ I-BJ II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
 Inspeksi : Supel, strie(+), jaringan parut (-)
 Palpasi :Nyeri tekan (+), defans muskuler (-), hepatomegali (-),
Splenomegali (-)
 Perkusi : Timpani, Asites (-).
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
6

Ekstremitas
 Superior : Akral dingin (-), edema (-/-), CRT < 2 detik
 Inferior : Akral dingin (-), edema (-/-), capillary refill time < 2 detik
Pemeriksaan Obstetrik
Pemeriksaan Luar
Perut dan Pinggang: abdomen cembung, FUT tidak teraba, kontraksi (-),
perdarahan (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium: Darah (8 Desember 2020)
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Saat pasien datang ke rumah sakit
Hemoglobin (Hb) 11 12,5-15,5 mg/dL (wanita)
Gol.Darah/Rhesus O+
Serum Kreatinin Normal
Glukosa Normal
HIV, Hep B, Sifilis Negatif
Setelah dilakukan evakuasi plasenta
Hemoglobin (Hb) 6,2 12,5-15,5 mg/dL (wanita)
Leukosit (WBC) 18.000 4.500-11.000 mm3
Trombosit (PLT) 180.000 150.000-400.000 mm3
Cek Laboratorium ke-2
Beta-HCG 2,3 <5 mIU/ml
Hemoglobin (Hb) 8,3 12,5-15,5 mg/dL (wanita)
Leukosit (WBC) 6.300 4.500-11.000 mm3
Trombosit (PLT) 360.000 150.000-400.000 mm3

V. DIAGNOSA KERJA
Perdarahan Pasca Salin Sekunder e.c Sisa Plasenta dengan Golongan Darah
Bombay

VI. PROGNOSIS
a. Quo ad vitam : Dubia ad bonam
b. Quo ad functionam : Dubia ad bonam
c. Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

VII. PENATALAKSANAAN
7

Pasien dijadwalkan untuk evakuasi dan kuretase. Pasien kemudian


menjalani evakuasi uterus dan kuretase ulang dengan panduan ultrasonografi dan
selanjutnya di rawat inap untuk pemantauan.  Jaringan plasenta yang dievakuasi
dikirim untuk pemeriksaan histopatologi, dan menunjukkan vili korionik, sel
trofoblas, dan fibrinoid yang mengalami degenerasi.  Pasien dipulangkan pada
hari kelima pasca operasi setelah ultrasound ulang dilakukan untuk memastikan
evakuasi lengkap sisa plasenta di dalam rongga Rahim.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Perdarahan Pasca persalinan


3.1.1 Definisi
8

Perdarahan pasca persalinan (PPP) umumnya didefinisikan sebagai


kehilangan darah melebihi 500 mililiter (mL) setelah persalinan pervaginam dan
1000 mL setelah sesar. Namun, definisi bervariasi, dan diagnosis PPP bersifat
subjektif dan sering didasarkan pada perkiraan kehilangan darah yang tidak
akurat. Ini didefinisikan ulang pada tahun 2017 oleh American College of
Obstetrics and Gynecology sebagai kehilangan darah kumulatif lebih dari 1000
mL dengan tanda dan gejala hipovolemia dalam waktu 24 jam setelah proses
kelahiran. Selain itu, kehilangan darah rata-rata saat lahir seringkali melebihi
500 atau 1000 mL dan gejala perdarahan atau syok akibat kehilangan darah
dapat disembunyikan oleh peningkatan volume plasma normal yang terjadi
selama kehamilan. Metrik alternatif yang diusulkan untuk mendefinisikan dan
mendiagnosis PPP termasuk perubahan hematokrit, kebutuhan transfusi,
kecepatan kehilangan darah, dan perubahan tanda-tanda vital, yang semuanya
dipersulit oleh kondisi yang mendesak. PPP sering diklasifikasikan sebagai
primer / segera / dini, terjadi dalam 24 jam setelah lahir, atau sekunder / tertunda
/ terlambat, terjadi lebih dari 24 jam pascapersalinan hingga 12 minggu
pascapartum. Selain itu, PPP dapat digambarkan sebagai tahap ketiga atau
keempat tergantung pada apakah terjadi sebelum atau setelah plasenta lahir.6

3.1.2 Epidemiologi
Perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas persalinan. PPP terjadi pada sekitar 1% sampai 6% dari semua
persalinan. Atonia uterus, penyebab utama PPP, menyumbang 70% hingga 80%
dari semua perdarahan. Prevalensi keseluruhan PPP di seluruh dunia
diperkirakan 6 sampai 11 persen kelahiran dengan variasi substansial antar
wilayah.5, 6 Prevalensi berbeda menurut metode penilaian dan berkisar dari 10,6
persen bila diukur dengan penilaian obyektif kehilangan darah hingga 7,2 persen
bila dinilai dengan subyektif teknik menjadi 5,4 persen jika penilaian tidak
ditentukan.5 Berbagai penelitian telah mencatat peningkatan PPP di negara-
negara dengan sumber daya tinggi, termasuk Amerika Serikat, Kanada,
Australia, Irlandia, dan Norwegia, sejak 1990-an.7-11 Di Amerika Serikat, satu
studi menemukan bahwa kejadian PPP meningkat 26% dari tahun 1994 hingga
2006 (2,3% vs. 2,9%, masing-masing, p <0,001) .12 Penelitian lain di AS
9

melaporkan kejadian PPP parah dua kali lipat dari 1,9 persen pada tahun 1999
menjadi 4,2 persen pada 2008 (p <0,0001) .13 Faktor yang mendasari
peningkatan masih belum jelas, dan kedua studi AS baru-baru ini menemukan
peningkatan angka PPP tidak dijelaskan oleh perubahan faktor risiko (misalnya,
usia ibu, kelahiran caesar, kehamilan ganda).7,8

3.1.3 Etiologi
Perdarahan paska salin dapat disebabkan oleh empat faktor (4 T) yaitu
tone merupakan kelemahan tonus uterus untuk menghentikan perdarahan dari
bekas insersi plasenta pada atonia uteri, trauma yaitu robekan jalan lahir dari
perineum, vagina, sampai uterus. Tissue adalah sisa plasenta atau bekuan darah
yang menghalangi kontraksi uterus yang adekuat, dan thrombin ialah gangguan
faktor pembeukan darah (thrombin).9

Tabel 1. Etiologi dari perdarahan paska salin akut dan sekunder10

3.1.4 Faktor Risiko


Faktor risiko termasuk kondisi antepartum dan intrapartum termasuk
riwayat PPP sebelumya, kehamilan multipel, makrosomia janin, primigravida,
10

grande multipara, usia yang lebih tua, kelahiran prematur, cedera saluran genital,
tidak menggunakan oksitosin untuk profilaksis PPP, induksi persalinan,
persalinan sesar dan kematian janin intra-uterus, korioamnionitis, anemia
maternal, obesitas maternal, persalinan lama, dan preeklampsia. Namun, 20%
pasien yang mengalami perdarahan pasca persalinan tidak memiliki faktor
risiko, sehingga tenaga kesehatan harus bersiap untuk mengobatinya pada setiap
persalinan. Hanya ada sedikit informasi tentang besaran dan faktor risiko PPP.
Penyebab umum termasuk atonia uteri, trauma termasuk cedera saluran genital,
retensi plasenta dan kegagalan sistem pembekuan darah. Atonia uterus
bertanggung jawab atas sebagian besar (75%) kasus PPP. Bagi penyedia layanan
kebidanan dan ginekologi, identifikasi faktor risiko pada periode antenatal dan
intrapartum memungkinkan intervensi tepat waktu untuk mencegah PPP.11,12
Tabel 2. Faktor risiko PPP berdasarkan penyebabnya. 13

Penyebab PPP Faktor risiko


Atonia uteri - Akibat anestesi
- Distensi berlebihan (gemeli, anak besar, hidramnion)
- Partus lama, partus kasep
- Partus presipitatus/partus terlalu cepat
- Ibu dengan keadaan umum jelek, anemnis atau
menderita penyakit menahun
- Mioma uteri yang menganggu kontraksi uterus
- Persalinan karena induksi oksitosin
- Multiparitas
- Korioamnionitis
- Pernah atonia sebelumnya
Perdarahan karena - Episiotomi yang melebar
robekan - Robekan pada perineum, vagina dan serviks
- Ruptura uteri
- Persalinan saat pembukaan serviks belum lengkap
- Penggunanan forsep atau vakum ekstrasi
Sisa plasenta - Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
- Plasenta susenturiata
- Plasenta akreta  faktor risikonya adalah plasenta
previa, bekas seksio sesar, pernah kuret berulang,
multiparitas.
- Plasenta inkreta, perkreta
Gangguan koagulasi - Jarang terjadi tetapi bisa memburuk keadaan ini,
misalnya
1. Trombofilia
2. Sindroma HELLP
3. Preeklampsia
4. Solusio plasenta
5. Kematian janin dalam kandungan
6. Emboli air ketuban
7. Sepsis
11

Inversi uterus - Atonia uteri


- Serviks masih terbuka sangat lebar
- Adanya kekuatan yang menarik fundus kebawah
(misalnya karena plasenta akreta, inkreta, dan perkreta)
- Tekanan pada fundus uteri dari atas (manuver Crede)
- Tekanan intra abdominal yang keras dan tiba-tiba (batuk
keras atau bersin)

3.1.5 Manifestasi Klinis


Tabel 3. Gejala dan tanda berdasarkan diagnosis kerja penyebab PPP. 13

Gejala dan Tanda Diagnosis Kerja


- Setelah bayi lahir dan plasenta lahir Atonia uteri
ternyata perdarahan masih aktif dan
banyak, serta bergumpal.
- Palpasi TFU masih setinggi pusat atau
lebih dengan kontraksi (-)/ lembekku
- Perdarahan terjadi setelah bayir lahir Laserasi jalan lahir
tetapi kontraksi uterus baik
- Perdarahan dengan ciri bewarna merah
segar
- Dan terdapat pulsatif denyut nadi
- Plasenta lengkap
- Plasenta belum lahir atau masih Retensio plasenta
tertinggal >30 menit
- Perdarahan segera
- Kontraksi uterus baik
- Laserasi jalan lahir sudah dijahit tapi
masih terjadi perdarahan
- Mudah terjadi perdarahan setiap Perdarahan karena gangguan pembekuan
melakukan penjahitan darah
- Perdarahan merembes
- Timbul hematoma bekas jahitan,
suntikan
- Perdarahan mukosa seperti gigi, hidung,
dll.
- Syok karena kesakitan Inversio uteri
- Perdarahan banyak bergumpal
- Di vulva endometrium tampak terbalik
dengan atau tanpa plasenta yang masih
melekat
12

- Bila baru terjadi, maka prognosi baik


- Jika terjadi cukup lama maka jepitan
serviks yang mengecil akan membuat
uterus mengalami iskemia, nekrosis dan
infeksi

Tabel 4. Gejala terkait dengan kehilangan darah dari perdarahan pasca persalinan.14
Jumlah kehilangan darah Tekanan darah (mmHg) Tanda dan gejala
ml %
500-1000 10-15 Normal Palpitasi, pusing, takikardi
1000-1500 15-25 Perlahan menurun Lemah, berkeringat, takikardi
1500-2000 25-35 70-80 Gelisah, pucat, oliguria
2000-3000 35-45 50-70 Kolaps, sesak napas, anuria

3.1.6 Patofisiologi
Selama kehamilan, volume darah ibu meningkat sekitar 50% (dari 4 L
menjadi 6 L). Volume plasma meningkat lebih dari total volume sel darah
merah, menyebabkan penurunan konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit.
Peningkatan volume darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi unit
uteroplasenta dan menyediakan cadangan untuk kehilangan darah yang terjadi
saat persalinan.15
Saat aterm, perkiraan aliran darah ke uterus adalah 500-800 mL/menit,
yang merupakan 10-15% dari curah jantung. Sebagian besar aliran ini melintasi
plasenta. Pembuluh darah uterus yang mensuplai situs plasenta melintasi jalinan
serabut miometrium. Ketika serat-serat ini berkontraksi setelah melahirkan,
terjadi retraksi miometrium. Retraksi adalah karakteristik unik dari otot uterus
untuk mempertahankan panjangnya yang lebih pendek setelah kontraksi
berturut-turut. Pembuluh darah terkompresi dan tertekuk oleh kisi silang ini, dan
biasanya aliran darah tersumbat dengan cepat. Susunan ikatan otot ini disebut
sebagai "living ligatures" atau "physiologic sutures" rahim.15
Atonia uterus adalah kegagalan serabut miometrium uterus berkontraksi
dan menarik kembali. Ini adalah penyebab utama PPP dan biasanya terjadi
segera setelah bayi lahir, hingga 4 jam setelah melahirkan. Trauma pada saluran
genital (yaitu, uterus, serviks uterus, vagina, labia, klitoris) pada kehamilan
menyebabkan lebih banyak perdarahan daripada yang terjadi pada keadaan tidak
hamil karena peningkatan suplai darah ke jaringan ini. Trauma yang secara
13

khusus terkait dengan persalinan bayi, baik melalui vagina dengan cara spontan
atau dengan bantuan atau dengan operasi caesar, juga dapat menjadi substansial
dan dapat menyebabkan gangguan yang signifikan pada jaringan lunak dan
robeknya pembuluh darah.15
Pada keadaan retensio plasenta, awal mula plasenta dimulai dengan
implantasi blastokista ke dalam endometrium ibu. Dalam persiapan untuk
implantasi ini, endometrium membentuk desidua di bawah pengaruh progesteron
dan estrogen pada awal kehamilan. Saat blastokista menempel pada desidua ini,
lapisan sel yang membentuk permukaan blastokista berkembang menjadi
membran korionik. Sel sitotrofoblas berkembang biak dari membran korionik
dan membentuk agregat berinti banyak yang disebut sel syncytiotrophoblast.
Sel-sel ini membentuk vili plasenta, memungkinkan pertukaran janin-ibu antara
interaksi vili-desidual. Dengan persalinan bayi, baik kaskade hormonal dan
kontraksi uterus memungkinkan pemisahan lapisan ini dan pengeluaran
plasenta.16
Retensi plasenta umumnya dikaitkan dengan salah satu dari tiga patofisiologi:16
1. Uterus atonik dengan kontraksi yang buruk dapat mencegah pemisahan
normal dan hambatan kontraktil dari plasenta.
2. Plasenta yang melekat secara abnormal atau invasif, seperti yang terlihat
pada spektrum plasenta akreta (PAS), mungkin tidak mampu melakukan
pemisahan normal. Akhirnya, plasenta dapat terperangkap atau tertahan
karena penutupan serviks sebelum kelahiran plasenta.
3. Gangguan hipoperfusi plasenta, seperti dengan preeklamsia, dan infeksi juga
telah diusulkan sebagai mekanisme untuk retensi plasenta, meskipun sedikit
yang diketahui tentang mekanisme spesifiknya

3.1.7 Diagnosis
Dijumpai pada kala III atau pasca persalinan dengan gejala nyeri yang
hebat, perdarahan banyak bisa juga terjadi syok, apalagi bila plasenta masih
melekat dan sebagian sudah ada yang telepas dan dapat terjadi strangulasi dan
nekrosis.21
Pada pemeriksaan dalam, bila masih dalam inkomplit, maka pada daerah
simfisis uterus teraba fundus uteri cekung ke dalam, bila komplit, di atas simfisis
14

uterus teraba kosong dan dalam vagina teraba tumor lunak, kavum uteri sudah
tidak ada (terbalik).

Kriteria Diagnosis22
1) Pemeriksaan fisik:
Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi
cepat, kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus
menerus

2) Pemeriksaan obstetri
Uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, perdarahan
mungkin karena luka jalan lahir

3) Pemeriksaan ginekologi:
Pemeriksaan ini dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, pada
pemeriksaan dapat diketahui kontraksi uterus, adanya luka jalan lahir dan retensi
sisa plasenta

Pemeriksaan Penunjang21,22
1) Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal.
Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil
kehamilan yang buruk.
 Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak
periode antenatal.
 Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu
pembekuan.

2) Pemeriksaan radiologi
 Onset perdarahan pasca persalinan biasanya sangat cepat. Dengan
diagnosis dan penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum
pemeriksaan laboratorium atau radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan
USG dapat membantu untuk melihat adanyagumpalan darah dan retensi
sisa plasenta21,23.
15

 USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien


dengan resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya
perdarahan pasca persalinan seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG
dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis
plasenta akreta dan variannya.22, 24, 26

3.1.8 Tatalaksana
a) Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan/darah pengganti
dan pemberian obat.
b) Beberapa senter memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus yang
terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke
atas masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk ke
dalam uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta
sudah terlepas atau tidak.
c) Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil dikeluarkan
dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infus atau i.m, tangan tetap
dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru
dilepaskan.
d) Pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan kebutuhan.
e) Pada kasus yang akut biasanya dicoba secara manual dan bila gagal dilanjutkan
metode operatif, sedangkan pada kasus yang subakut dan kronis biasanya
dilakukan reposisi dengan metode operatif. Secara manual cara johnson, jones,
O sullivan, secara operatif dengan cara transabdominal cara huntinton, haultain,
transvaginal cars spinelli, kutsner, subtotal histerektomi.27
Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan servika yang keras
menyebabkan manuver di atas tidak bisa dikerjakan, maka dilakukan laparotomi
untuk mereposisi, dan apabila terpaksa dilakukan histerektomi jika uterus sudah
mengalami infeksi dan nekrosis.7 Histerektomi adalah bedah pengangkatan
rahim (uterus) yang sangat umum dilakukan. Namun, organ-organ lain seperti
ovarium, saluran tuba dan serviks sangat sering dihapus sebagai bagian dari
operasi. Histeroktomi merupakan suatu tindakan penanganan untuk mengatasi
kelainan atau gangguan organ atau fungsi reproduksi yang terjadi pada wanita.
Dengan demikian, tindakan ini merupakan keputusan akhir dari penanganan
16

kelainan atau gangguan berdasarkan hasil pemeriksaan dokter. Namun tindakan


ini sangat berpengaruh terhadap sistem reproduksi wanita. Diangkatnya rahim,
tidak atau dengan saluran telur atau indung telur akan mengakibatkan perubahan
pada sistem reproduksi wanita, seperti tidak bisa hamil, haid, dan perubahan
hormon.23,24
Pasien dengan perdarahan pasca persalinan harus ditangani dalam 2
komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta
kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab
terjadinya perdarahan pasca persalinan25.

Resusitasi cairan23
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga
dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab
perdarahan.Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena.Selama
persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan
resiko perdarahan pasca persalinan, dan dipertimbangkan jalur kedua pada
pasien dengan resiko sangat tinggi.
Pada perdarahan pasca persalinan diberikan resusitasi dengan cairan
kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan
Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok
pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan
sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis
hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan pasca
persalinan. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L),
dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran
pada penanganan perdarahan pasca persalinan.Perlu diingat bahwa kehilangan I
L darah perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus
tidak tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang
interstisial.Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat
menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan pasca
persalinan.Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan.
Perdarahan pasca persalinan lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal
17

dapat ditangani cukup dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat
tertangani. Kehilanagn darah yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan
transfusi sel darah merah.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat
menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis.Tidak ada cairan koloid yang
terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya
efek yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap
direkomendasikan.
Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan
diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan
tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat
indikasi. Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk
menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume
sirkulasi.PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan
infus. Masalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-
masing unit.
Uterotonika
Tabel 5. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya

Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol


Dosis dan cara IV: 20 U dalam 1  IM atau IV Oral atau rektal
pemberian awal       L larutan garam (lambat): 0,2 mg 400 mg
fisiologis dengan
tetesan cepat
IM: 10 U
Dosis lanjutan IV: 20 U dalam 1L Ulangi 0,2 mg IM 400 mg 2-4 jam
larutan garam setelah 15 menit setelah dosis awal
fisiologis dengan40 Bila masih
tetes/menit diperlukan, beri
IM/IV setiap 2-4
jam
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 Total 1 mg (5 Total 1200 mg atau
18

per hari L larutan fisiologis dosis) 3 dosis


Kontraindikasi Pemberian IV Preeklampsia, Nyeri kontraksi
atau hati-hati secara cepat atau vitium kordis, Asma
bolus hipertensi

Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada
persalinan kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan
perdarahan pasca persalinan. Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-
hal berikut:
 Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi
dilahirkan.
 Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus
berkontraksi dengan baik25 .
3.1.9 Komplikasi
Komplikasi jangka pendek inversio uteri adalah berupa perdarahan pasca
persalinan, namun, endomiometritis sering menyertai inversio uteri. Usus dan
jaringan sekitar uterus dapat terluka akibat terperangkap dalam fundus yang
terinversi. Bahkan dapat terjadi kematian akibat inversio uteri. Namun dengan
deteksi dini, terapi definitif dan resusitasi yang adekuat, angka kematian menjadi
cukup rendah.26

Risiko inversio uteri berulang pada kehamilan berikutnya belum dapat


disimpulkan. Pada satu penelitian terhadap 40 kasus inversio uteri akut, tidak
terjadi inversio uteri ulangan pada 26 persalinan berikutnya. 27 Pasien harus
diinformasikan bahwa kejadian ini mungkin berulang dan karena itu persalinan
berikutnya harus dilakukan di rumah sakit. Fertilitas dan bayi tidak terganggu
setelah dilakukan prosedur pembedahan.28

Komplikasi Komplikasi perdarahan pasca persalinan primer yang paling


berat yaitu syok. Bila terjadi syok yang berat dan pasien selamat, dapat terjadi
komplikasi lanjutan yaitu anemia dan infeksi dalam masa nifas.Infeksi dalam
keadaan anemia bisa berlangsung berat sampai sepsis. Pada perdarahan yang
19

disertai oleh pembekuan intravaskuler merata dapat terjadi kegagalan fungsi


organorgan seperti gagal ginjal mendadak21.

3.1.10 Prognosis
Tergantung kepada penyebab, waktu, banyaknya kehilangan darah,
kondisi sebelumnya dan keefektifan pengobatan. Jadi yang lebih penting adalah
ketepatan dan kecepatan diagnosis dan penanganan.29
3.1.11 Edukasi
Edukasi yang dapat diberikan kepada ibu hamil yakni menyarankan ibu
untuk rajin memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan (Puskesmas atau Rumah
Sakit). Pemeriksaan rutin pada ibu hamil disebut sebagai asuhan antenatal
(Antenatal Care / ANC). 16
ANC merupakan upaya penelusuran berbagai kemungkinan atau penyulit
kesehatan (terutama faktor risiko terjadinya perdarahan pasca persalinan) selama
masa kehamilan yang berpotensi menganggu kualitas kehamilan hingga
persalinan.31
ANC minimal dilakukan banyak 4 kali selama masa kehamilan yakni
minimal 1 kali kunjungan pada trimester pertama, 1 kali kunjungan pada
trimester kedua, dan 2 kali kunjungan pada trimester ketiga. Apabila kehamilan
berisiko tinggi, maka jadwal kunjungan harus lebih sering dilakukan dan
pemeriksaan lebih ketat. 31

3.1.12 Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan mengklasifikasikan kehamilan ibu


ini termasuk risiko rendah atau tinggu untuk kejadian PPP, lalu menata strategi
untuk pelayanan Antenatal terhadap ibu dan janin hingga sampai melahirkan.
Selain itu dapat juga dilakukan antisipasi antara lain: 31,32
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan
mengatasi setiap penyakit kronis, anemia, dll sehingga saat hamil dan
persalinan kondisi pasien dalam keadaan baik dan optimal
2. Mengenali faktor predisposisi terjadinya PPP seperti multipara, anak besar,
kembar, hidramnion, bekas seksio, riwayat PPP sebelumnya, kehamilan
risiko tinggi lain yang berpotensi muncul saat persalinan
20

3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan mencegah terjadinya


partus lama
4. Pada kehamilan risiko tinggi sebaiknya melahirkan di faskes yang
memiliki fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai seperti RS rujukan
5. Pada kehamilan berisiko rendah agar melahirkan di tenaga medis yang
terlatih
6. Para tenaga medis harus menguasai langkah pertolongan pertama dalam
menghadapi PPP dan dapat menentukan rujukan yang tepat

3.2 Retensio Plasenta


3.2.1 Definisi
Retensi plasenta adalah kondisi ketika plasenta tidak keluar dalam waktu
30 menit setelah melahirkan. Ini biasanya terjadi di antara wanita yang
melahirkan di rumah dengan lebih banyak morbiditas dan mortalitas ibu. Salah
satu alasan di balik ini adalah sebagian besar terjadi pada persalinan di rumah di
mana manajemen aktif dari persalinan kala tiga kurang dan setelah terjadi hal itu
meningkatkan kemungkinan perdarahan pasca persalinan (PPP) dan sepsis di
tempat manapun persalinan. Retensi plasenta terjadi sebagai komplikasi
persalinan pada 2-3% persalinan pervaginam di negara maju. Etiologi pasti di
balik retensi plasenta tidak diketahui. Plasenta tertahan yang tidak diobati dapat
menyebabkan perdarahan yang fatal dan merupakan penyebab utama kedua dari
perdarahan pascapartum setelah atonia uteri. Kondisi ini biasanya memerlukan
pengangkatan manual dengan anestesi, yang telah terbukti meningkatkan risiko
endometritis pascapartum dan mungkin memperburuk kehilangan darah.16
3.2.2 Epidemiologi
Perkiraan retensi plasenta menempatkan kejadian di antara 0,1% dan 3%.
Investigasi prospektif tentang retensi plasenta mengkonfirmasi perkiraan ini,
dengan satu studi terhadap> 45.000 pasien menunjukkan bahwa secara
keseluruhan untuk semua usia kehamilan, retensi plasenta terjadi pada sekitar
3% persalinan, dengan usia kehamilan <26 minggu dan <37 minggu memiliki
peningkatan risiko yang signifikan dari sisa plasenta yang membutuhkan
pengangkatan manual. Secara umum, insiden tampaknya lebih tinggi di negara
maju di mana praktik cenderung mengarah pada pengangkatan plasenta secara
21

manual pada kala tiga persalinan. Insiden tampaknya lebih rendah di negara-
negara kurang maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh jumlah kasus yang tidak
terdiagnosis yang tidak diketahui. Retensio plasenta berpotensi menjadi
komplikasi yang mengancam nyawa karena perdarahan dan infeksi terkait serta
komplikasi yang terkait dengan pengangkatannya. Risiko ini meningkat pada
wanita di negara berkembang dan keadaan sosial yang buruk karena malnutrisi
yang sudah ada sebelumnya, anemia dan persalinan tanpa pengawasan. Wanita
dengan faktor risiko yang dapat diidentifikasi harus menjadi target pencegahan
retensi plasenta.16,34,35
3.2.3 Etiologi

Penyebab retensio plasenta tidak diketahui dengan pasti sebelum


tindakan.37 Beberapa penyebab retensio plasenta adalah :37-41
1. Fungsional
1) His kurang kuat (penyebab terpenting). Plasenta sudah lepas tetapi
belum keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan
yang banyak. Atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian
bawah rahim (ostium uteri) akibat kesalahan penanganan kala III, yang
akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).
2) Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba),
bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya
(plasenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab
ini disebut plasenta adhesiva. Plasenta adhesiva ialah jika terjadi
implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan
kegagalan mekanisme perpisahan fisiologis.

2. Patologi-anatomi
Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan
tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi: 37-41
1) Plasenta akreta: vili korialis berimplantasi menembus desidua basalis dan
Nitabuch layer. Pada jenis ini plasenta melekat langsung pada
miometrium.
22

2) Plasenta inkreta: vili korialis sampai menembus miometrium, tapi tidak


menembus serosa uterus.
3) Plasenta perkreta: vili korialis sampai menembus serosa atau
perimetrium.
Plasenta akreta ada yang kompleta, yaitu jika seluruh permukaannya
melekat dengan erat pada dinding rahim. Plasenta akreta yang parsialis, yaitu
jika hanya beberapa bagian dari permukaannya lebih erat berhubungan
dengan dinding rahim. Plasenta akreta yang kompleta, inkreta, dan perkreta
jarang terjadi.37
Penyebab terjadinya retensio plasenta diantaranya yaitu :41
1) Plasenta belum lepas dari dinding uterus
2) Plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan
Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan. Jika
lepas sebagian terjadi perdarahan dan merupakan indikasi untuk
mengeluarkannya.

Gambar 3.1 Jenis-jenis perlengketan plasenta40

3.2.4 Faktor Risiko

Perlengketan plasenta yang abnormal terjadi apabila pembentukan


desidua terganggu. Keadaan-keadaan tersebut mencakup implantasi di segmen
bawah rahim (plasenta previa), di atas jaringan parut SC atau insisi uterus
23

lainnya; atau setelah kuretase uterus dan multiparitas, kelahiran preterm, serta
induksi persalinan.37,38,41 Dalam ulasannya terhadap 622 kasus yang dikumpulkan
antara tahun 1945 dan 1969, Fox (1972) mencatat karakteristik berikut :41
1) Plasenta previa diidentifikasi pada sepertiga kehamilan yang terkena
2) Seperempat pasien pernah menjalani seksio sesarea
3) Hampir seperempat pernah menjalani kuretase
4) Seperempatnya adalah gravida 6 atau lebih
Faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta :
1) Kelainan dari uterus sendiri, yaitu : Kontraksi uterus kurang kuat untuk
melepaskan plasenta (plasenta adhessiva),
2) Kelainan dari plasenta, misalnya : Plasenta melekat erat pada dinding uterus
oleh sebab villi khorialis menembus desidua sampai miometrium – sampai
dibawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta)
3) Kesalahan manajemen kala III persalinan, seperti : manipulasi dari uterus
yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta dapat
menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak
tepat waktunya juga dapat menyebabkan serviks kontraksi (pembentukan
constriction ring) dan menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio
plasenta).

3.2.5 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala yang timbul akibat adanya retensio plasenta, sebagai berikut:20
1) Plasenta tidak lahir setelah 30 menit.
2) Perdarahan segera.
3) Kontraksi uterus : lemah
Selain itu, tanda dan gejala yang timbulnya kadang – kadang seperti tali
pusat putus akibat traksi berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan
lanjut.20
Berdasarkan jenis dari retensio plasenta, tanda dan gejala yang timbul sebagai
berikut 18
Tabel 6. Tanda dan gejala retensio plasenta18

Gejala Separasi/akreta parsial Plasenta Plasenta akreta


24

inkarserata
Konsistensi Kenyal Keras Cukup
uterus
Tinggi fundus Sepusat 2 jari di bawah Sepusat
pusat
Bentuk uterus Diskoid Agak lobuler Diskoid
Perdarahan Sedang-banyak Sedang Sedikit/tidak ada
Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur
Ostiium uteri Terbuka Kontriksi Terbuka
Separasi Lepas sebagian Sudah lepas Melekat
plasenta seleruhnya
Syok Sering Jarang Jarang sekali

3.2.6 Patofisiologi

Plasenta normal dimulai dari adanya implantasi blastokista ke dalam


endometrium ibu. Desidua pada endometrium mengalami perubahan akibat dari
hormone progesteron dan estrogen pada awal kehamilan. Selanjutnya, lapisan
sel yang membentuk permukaan blastokista akan berkembang menjadi membran
korionik. Kemudian membran korionik akan membentuk sel sitotrofoblas dan
membentuk agregat berinti banyak yang disebut sel sinsitiotrofoblast. Sel ini
membentuk vili plasenta. Ketika persalinan maka kaskade hormonal dan
kontraksi uterus akan menyebabkan pemisahan dari lapisan tersebut sehingga
plasenta dapat dikeluarkan.41
Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan. Jika lepas
sebagian terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Plasenta yang belum lepas sama sekali dari dinding uterus karena:41,36
1. Invasive Plasenta
Perlekatan plasenta yang tidak normal yang disebabkan karena trauma
pada endometrium karena prosedure operasi sebelumnya. Hal ini menyebabkan
kelainan pada perlekatan plasenta mulai dari plasenta adherent, akreta hingga
perkreta. Proses ini menghambat pelepasan plasenta yang mengarah ke retensio
plasenta. Mekanisme ini terdapat pada karakteristik pasien dan riwayat obstetrik.
2. Hipoperfusi Plasenta
25

Hubungan antara hipoperfusi plasenta dengan retensio plasenta adalah


adanya oxidative stress, yang diakibatkan oleh remodelling arteri spiral yang
tidak lengkap dan plasentasi yang dangkal, hal ini umum pada hipoperfusi
plasenta dengan retensio plasenta. Pada model kedua ini terdapat pada
hipoperfusi plasenta, berkaitan dengan komplikasi kehamilan terkait plasenta.
3. Kontraktilitas yang tidak Adekuat
Tidak adekuatnya kontraksi pada retro-placental myometrium adalah
mekanisme ke tiga yang menyebabkan retensio plasenta. Pada model ketiga
berkaitan dengan persalinan itu sendiri

3.2.7 Diagnosis
Diagnosis retensio plasenta ditegakkan apabila terdapat kondisi plasenta
yang tertahan atau belum lahir hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi
lahir. Pasien dengan retensio plasenta dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik dan terdapat tanda klnis seperti pemanjangan tali pusat, adanya perdarahan,
perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular, peningkatan tinggi
fundus, dan saat dilakukan VT akan teraba plasenta. Untuk pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan darah lengkap dan USG.
3.2.8 Tatalaksana
Penanganan secara umum yaitu jika plasenta terlihat dalam vagina,
pasien diminta untuk mengedan, jika plasenta dapat dirasakan dalam vagina,
keluarkan plasenta tersebut, pastikan kandung kemih sudah kosong. Jika
diperlukan lakukan keteterisasi kandung kemih, jika plasenta belum keluar,
berikan oksitosin 10 unit IM. Jika belum dilakukan pada penanganan aktif kala
III. Jangan berikan ergometrin karena dapat menyebabkan kontraksi uterus yang
tonik, yang bisa memperlambat pengeluaran plasenta.39,33
Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin dan
uterus terus berkontraksi, lakukan penarikan tali pusat terkendali, jika traksi
pusat terkendali belum berhasil, lakukan plasenta manusal secara hati hati yaitu
dengan cara pasang sarung tangan DTT, instruksikan asisten untuk melakukan
sedatif dan analgetik melalui selang infus, lakukan kateterisasi kandung kemih,
jepit tali pusat dengan kocher kemudian tegangkan tali pusat dengan tangan kiri
26

lalu tangan kanan masuk melalui intoitus vagina secara obstertrik menelusuri tali
pusat hingga serviks, tangan kiri menahan fundus, tali pusat dipegang oleh
asisten. Lanjutkan penetrasi tangan kanan ke kavum uteri temukan implementasi
dan tepi plasenta. Sisipkan ujung jari diantara plasenta dan dinding uterus.
Setelah penyisipan berhasil, gerakkan tangan kekiri dan ke kanan sehingga
secara bertahap seluruh plasenta dapat dilepaskan dengan tepi luar jari-jari
tangan dalam. Gunakan tangan luar atau minta asisten untuk menarik tali pusat
untuk mengeluarkan plasenta dan sementara tangan dalam masih di dalam
kavum uteri. Lakukan pemeriksaan untuk memastikan tidak ada sisa plasenta.
Lahirkan plasenta dan letakkan pada tempat yang tersedia. Periksa kontraksi
uterus dan kemungkinan perdarahan. 39,38
Jika terdapat tanda-tanda dari plasenta satu atau lebih lobus
tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif, raba bagian
dalam uterus untuk mencari sisa plasenta. Lakukan ekspolari digital (bila serviks
terbuka) dan keluarkan bekuan darah dan jaringan. Bila serviks hanya dapat
dilalui instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan aspirasi vakum manual
atau dilatasi dan kuretase. 39,38

3.2.9 Komplikasi
Risiko yang dapat terjadi pada kasus retensio plasenta yang
berkepanjangan adalah: (1) Perdarahan. (2) Syok yang disebabkan oleh— (a)
kehilangan darah, (b) kadang-kadang tidak berhubungan dengan kehilangan
darah, terutama ketika perdarahan tersembunyi lebih dari satu jam dan (c) upaya
manipulasi perut untuk mengeluarkan plasenta. (3) Sepsis nifas. (4) Risiko
kekambuhan pada kehamilan berikutnya.40,41
Perdarahan masif akibat retensio plasenta dapat menyebabkan pasien
perlu dilakukan histerektomi darurat, terutama apabila tindakan manual plasenta
gagal dilakukan. Pasien dalam periode singkat dapat mengalami kolaps sirkulasi.
Kematian dapat menjadi salah satu konsekuensinya. Angka Case Fatality Rate
karena perdarahan langsung akibat retensio plasenta mencapai 10%. Retensio
plasenta juga merupakan penyebab utama perdarahan pasca persalinan yang
tertunda, dimana perdarahan berlangsung dengan onset lebih dari 24 jam setelah
27

melahirkan. Komplikasi jangka panjang antara lain anemia, kegagalan


menyusui, dan depresi pascapersalinan.40,41
3.2.10 Prognosis
Prognosis retensio plasenta tergantung pada kecepatan plasenta
dipisahkan dengan dinding uterus dan juga ada atau tidaknya komplikasi pada
pasien.41
3.2.11 Edukasi dan Pencegahan

Edukasi dan promosi kesehatan pada pasien retensio plasenta dapat


sangat membantu memperbaiki prognosis pasien. Edukasi mengenai penyebab
terjadinya retensio plasenta dapat diberikan kepada pasien. Pasien dengan
retensio plasenta juga harus diedukasi mengenai risiko terjadinya retensio
plasenta di kehamilan selanjutnya.40
Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan memundahkan
penyelenggara pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil
saat perawatan antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan
mana yang sesuai dan jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada saat proses
persalinan, semua kehamilan mempunyai risiko untuk terjadi patologi
persalinan, salah satunya adalah perdarahan pascapersalinan. Antisipasi terhadap
hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut:18
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi
setiap penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan
persalinan pasien tersebut dalam keadaan optimal
2. Mengenal faktor risiko predisposisi PPP seperti multiparitas, anak besar,
hamil kembar, hidramnion, bekas seksio sesar, ada riwayat PPP sebelumnya
dan kehamilan risiko tinggi, serta risiko lainnya yang risikonya akan muncul
saat persalinan.
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama
4. Kehamilan risiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan
5. Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga di tenaga kesehatan
terlatih dan menghindari persalinan dukun
6. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan
mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.
28

Pencegahan resiko retensio plasenta adalah dengan cara mempercepat


proses separasi dan melahirkan plasenta dengan memberikan uterotonika segera
setelah bayi lahir dan melakukan penegangan tali pusat terkendali. Usaha ini
disebut juga penatalaksanaan aktif kala III. Manajemen aktif kala III:40,41
1. Menyuntikkan oksitosin
a. Pastikan tidak ada bayi lain di dalam uterus
b. Beritahu ibu bahwa ia akan di suntik
c. Segera dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir suntikkan oksitosin 10
unit IM pada 1/3 bagian atas paha bagian luar. Jika oksitosin tidak
tersedia, minta ibu untuk melakukan stimulasi puting susu atau
menganjurkan ibu untuk menyusukan dengan segera.
d. Jangan memberikan ergometrin karena menyebabkan kontraksi tonik
uterus yang dapat mengahambat ekspulsi plasenta.
2. Melakukan peregangan tali pusat terkendali
a. Pindahkan klem pada tali pusat sekitar 5-20 cm dari vulva
b. Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu tepat di atas simpisis
pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi uterus pada saat
melakukan penegangan pada tali pusat. Setelah terjadi kontraksi yang
kuat, tegangkan tali pusat dengan satu tangan yang lain menekanuterus
kearah dorso cranial. Lakukana secara hati-hati untuk mencegah
terjadinya inversion uteri.
c. Bila plasenta belum lepas, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali
(sekitar 2 atau 3 menit berselang) untuk mengulangi penegangan tali
pusat terkendali.
d. Saat mulai kontraksi, tegangkan tali pusat ke arah bawah, lakukan
tekanan dorso cranial hingga tali pusat makin menjulur dan korpus uteri
bergerak ke atas yang menandakan plasenta telah lepas dan dapat di
lahirkan.
e. Setelah plasenta terpisah, anjurkan ibu untuk meneran, agar plasenta
terdorong keluar melalui intyroitus vagina.
f. Saat terlihat di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan mengangkat tali
pusat ke atas dan menopang plasenta dengan tangan lainnya untuk di
29

letakkan wadah lembut, lalu lahirkan selaput ketuban secara perlahan.


Jika plasenta belum lahir dalam 15 menit, berikan 10 unit oksitosin dosis
ke dua. Kosongkan kandung kemih jika teraba penuh.
3. Masase fundus uteri segera setalah lahir
a. Letakkan telapak tangan pada fundus uteri, anjurkan ibu untuk menarik
nafas dalam dan perlahan serta rileks.
b. Dengan lembut tapi mantap gerakan tangan dengan arah memutar pada
fundus uteri supaya uterus berkontraksi.

3.3 Kelompok Golongan Darah Langka


3.3.1 Golongan Darah
Golongan darah adalah pengklasifikasian darah dari suatu individu
berdasarkan ada atau tidak adanya zat antigen warisan pada permukaan membran
sel darah merah. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan jenis karbohidrat
dan protein pada permukaan membran sel darah merah tersebut.42
Sistem penggolongan darah besar yang dikenal adalah sistem ABO
(golongan darah A, B, AB, dan O) serta sistem penggolongan darah Rhesus (Rh+
dan Rh-). Di dunia sebenarnya dikenal sekitar 46 jenis antigen selain antigen ABO
dan Rh, hanya saja lebih jarang dijumpai. Dalam proses transfusi darah harus
benar-benar memperhatikan golongan darah karena ketidak cocokkan golongan
darah penerima dengan pendonor dapat menyebabkan reaksi transfusi imunologis
yang berakibat anemia hemolisis, gagal ginjal, syok, dan kematian bagi si
penerima.42,43
Golongan darah manusia ditentukan berdasarkan jenis antigen dan antibodi
yang terkandung dalam darahnya, sebagai berikut:43

1. Individu dengan golongan darah A memiliki sel darah merah dengan antigen
A di permukaan membran selnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen
B dalam serum darahnya.
2. Individu dengan golongan darah B memiliki antigen B pada permukaan sel
darah merahnya dan menghasilkan antibodi terhadap antigen A dalam serum
darahnya
30

3. Individu dengan golongan darah AB memiliki sel darah merah dengan


antigen A dan B serta tidak menghasilkan antibodi terhadap antigen A
maupun B
4. Individu dengan golongan darah O memiliki sel darah tanpa antigen, tapi
memproduksi antibodi terhadap antigen A dan B.

3.3.2 Rhesus
Rhesus adalah sistem penggolongan darah berdasarkan ada atau tidaknya
antigen D di permukaan sel darah merah, nama lainnya adalah faktor Rhesus atau
faktor Rh. Nama ini diperoleh dari monyet jenis Rhesus yang diketahui memiliki
faktor ini pada tahun 1940 oleh Karl Landsteiner.42
Seseorang yang tidak memiliki faktor Rh di permukaan sel darah
merahnya memiliki golongan darah Rh- (Rhesus Negatif). Mereka yang memiliki
faktor Rh pada permukaan sel darah merahnya disebut memiliki golongan darah
Rh+ (Rhesus Positif).42

Jenis penggolongan ini seringkali digabungkan dengan penggolongan


ABO dengan menambahkan “+” bagi pemilik faktor rhesus atau “-“ bagi yang
tidak memiliki faktor rhesus dalam darahnya, sehingga kita mengenal golongan
darah A+ atau A-, B+ atau B-, AB+ atau AB-, dan O+ atau O-. Delapan puluh lima
persen penduduk dunia memiliki faktor rhesus (Rh+) dalam darahnya, sementara
15% nya tidak memiliki faktor rhesus (Rh-) dalam darahnya.42

3.3.3 Tipe Darah Langka


Permukaan RBC ditutupi dengan jenis makromolekul (protein,
karbohidrat, glikoprotein atau glikolipid). Ini disebut sebagai antigen, dan ada atau
tidak adanya antigen ini menentukan golongan darah dari seorang individu. Setiap
sistem golongan darah didasarkan pada set spesifik antigen tersebut. Sistem ABO
didasarkan pada kehadiran O, A dan / atau antigen B, Rhesus sistem didasarkan
pada rhesus antigen, sistem MNS didasarkan pada 40 antigen yang berbeda yang
yang utama adalah M, N, S, s dan U. set tepat antigen bagi seorang individu
adalah hasil dari kombinasi gen yang diwariskan dari orang tua.43,44
31

Golongan darah menjadi sifat diwariskan, kelangkaan atau keawaman dari


antigen tertentu bervariasi untuk berbagai ras dan latar belakang etnis. Golongan
darah tertentu lebih umum pada populasi Afrika tetapi mungkin menjadi langka di
antara orang Amerika. Namun, ada juga beberapa jenis darah sangat jarang timbul
karena mutasi genetik, dengan kasus tunggal atau individu milik keluarga tertentu.
Golongan darah yang langka di bawah sistem golongan darah umum telah
tercantum di bawah ini.42,44

A. Sistem ABO dan Rh


Sistem ini mengetik darah tergantung pada satu set antigen karbohidrat
yang disebut A, B dan O antigen serta antigen faktor rhesus atau D. The
antigen O terdiri dari satu set yang berbeda dari unit monosakarida, dan
membentuk substruktur umum. A dan B antigen memiliki dua unit
monosakarida yang berbeda melekat umum ini O oligosakarida. Hal ini
menimbulkan O, A, B dan kelompok AB, yang selanjutnya diklasifikasikan
menjadi dua jenis masing-masing, tergantung pada adanya faktor Rh. Dari
jumlah tersebut AB-fenotip telah diamati untuk hadir dengan frekuensi
terendah.

1) Subkelompok A2 dan A3
Kelompok A antigen selanjutnya meliputi A1, A2 dan A3 jenis antigen,
dimana A1 adalah yang paling dominan di antara individu dengan A dan AB
golongan darah. A2 relatif langka, sedangkan A3 adalah subkelompok paling
langka A antigen, dan diamati dalam waktu kurang dari 0,1% dari individu
dengan antigen A.42

Terjadinya subkelompok A2 jarang pada populasi Asia dan golongan


darah maka A2 dan A2B adalah jenis darah langka di antara orang Asia.
Populasi Afrika dan Kaukasia juga menunjukkan frekuensi yang lebih
rendah dari A2B golongan darah. A3 dan golongan darah A3b bahkan
langka dan memiliki frekuensi kolektif 0,027% pada populasi Kaukasia,
0,096% di antara Afrika dan sekitar 0,0012% pada populasi India.42
32

2) Kelompok Darah Bombay


Pasien dengan golongan darah O mungkin memiliki genetik Golongan
darah O Bombay, hal ini karena diturunkan memiliki resesif allel pada gen H
dan tidak memproduksi H karbohidrat yang menjadi prekursor antigen A dan
B. Secara umum penyebaran golongan darah O Bombay ini dapat terjadi
karena proses perkawinan dalam satu keluarga.

Golongan O biasanya mengandung H substance yang paling banyak.


Karena itu sel O bereaksi paling kuat dengan anti H, tetapi Bombay Blood
Oh justru sama sekali tidak memberikan reaksi dengan anti H. Sel Oh
Bombay Blood ini tidak bereaksi dengan anti A, anti B dan anti H. Biasanya
nonsecretor dengan phenotype Lewis Le a+b- hanya satu kasus yang Le a-b-
Serum dari Oh dapat bereaksi dengan semua golongan O pada suhu 4°
sampai 37° dan dapat pula melysis sel, tetapi aktivitas ini dapat dinetralkan
oleh saliva yang secretor (mengandung H substance). Saliva dari Oh adalah
non secretor Le a+b-, tidak mengandung A, B, H, tetapi Lea substance.
Sedangkan saliva dari Oh yang Lea-b- selain tidak ada A, B, H juga tidak
mempunyai LE- WIS substance.

Genotype Bombay Blood berarti tidak mempunyai H gen walaupun ada


A atau B gen. Karena tidak ada H gene maka tidak terbentuk antigen A, B
atau H. Levine, Robinson dan Calans pada tahun 1955 mengatakan orang
Bombay mempunyai A dan G gene normal yang dapat dilihat dari keluarga
lainnya, mereka paling tidak membawa satu H gene (Hh): Anak yang
keturunan dari hh X.42

B. Sistem MNS43,44
Sistem ini mengklasifikasikan darah atas dasar M, N, S, s, U dan Ena
antigen yang hadir pada permukaan RBC, dan melekat pada molekul khusus
yang disebut glycophorin A dan B. Kombinasi antigen tersebut menimbulkan
beberapa jenis darah .

Molekul glycophorin berfungsi sebagai reseptor melalui mana parasit


malaria menyerang dan memasuki sel darah merah. Dalam kasus yang jarang
33

terjadi, kurangnya lengkap dari molekul glycophorin (salah satu atau


keduanya) terjadi pada beberapa individu sehingga menimbulkan tiga jenis
darah yang langka. Sel darah merah hadir pada individu tersebut secara alami
tahan terhadap perusakan oleh parasit malaria. Jenis darah yang langka ini
adalah:

1) En (a-) golongan darah: Ditandai dengan adanya glycophorin A, dan


karenanya M, N dan Ena antigen. Ini telah diamati pada beberapa
individu di Inggris, Finlandia dan Kanada.
2) tipe U-darah: Ditandai dengan adanya glycophorin B, dan karenanya S, s
dan U antigen. Hal ini ditemukan di antara sekelompok orang berkulit
gelap keturunan Afrika.
3) MkMk golongan darah: kekurangan baik glycophorin A dan B, dan
merupakan jenis paling langka golongan darah dalam kategori ini. Telah
dilaporkan dalam beberapa keluarga di Jepang.

3.3.4 Kompatibilitas Transfusi


Hal yang perlu diperhatikan pada kelompok darah langka adalah ketika
transfusi darah harus dilakukan secara teratur, misalnya pada penderita talasemia,
leukemia dan penyakit darah-terkait lainnya, serta keadaan darurat tertentu seperti
kecelakaan, komplikasi bedah, dan lain-lain.44

Pada golongan darah Bombay, jika pasien menerima transfusi darah yang
memiliki antigen H, mereka berisiko mengalami reaksi transfusi akut hemolitik.
Produksi anti-H ibu selama kehamilan dapat menyebabkan penyakit hemolitik
pada janin yang tidak mewarisi fenotipe Bombay ibu. Dalam praktiknya, kasus
HDN yang disebabkan dengan cara ini belum dijelaskan, kemungkinan karena
kelangkaan fenotipe Bombay.44

Orang dengan langka seperti golongan darah didorong untuk membiasakan


diri dalam kegiatan donor darah rutin jika memenuhi syarat sehingga dapat
memberikan bantuan tepat waktu untuk individu yang membutuhkan.44
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien datang ke UGD dengan keluhan perdarahan 40 hari post-partum,


perdarahan keluar dari vagina dan telah berlangsung selama 15 hari secara terus
menerus dengan episode intermiten. Sebelumnya pasien melahirkan pada usia cukup
bulan dengan ketuban pecah dini (KPD). Pasien dibawa keruang bersalin dan dilakukan
induksi dengan gel dinoprostone intracervical. 2 jam setelah induksi, pasien melahirkan
bayi laki-laki sehat dengan berat badan 3,5 kg pervaginam. Skor APGAR satu menit
pertama 8 dan lima menit kemudian 9.
Setelah mengeluarkan plasenta dengan traksi tali pusat yang terkendali,
pemeriksaan jaringan plasenta menunjukkan adanya lobus yang hilang dan pasien juga
mengalami perdarahan paska salin yang berat. Kompresi bimanual dan pemberian
oksitosin tidak berhasil sehingga pasien dibawa ke ruangan emergensi dan dilakukan
evakuasi dengan bantuan anastesi. Dari riwayat tersebut didapatkan bahwa lobus
plasenta tidak keluar seutuhnya, hal tersebut dapat disebabkan karena: plasenta belum
lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena kontraksi uterus kurang kuat untuk
melepaskan plasenta (plasenta adhesiva) maupun plasenta melekat erat pada dinding
uterus oleh sebab vilis komalis menembus desidua sampai miometrium–sampai di
bawah peritoneum (plasenta akreta– perkreta). Plasenta yang sudah lepas dari dinding
uterus akan tetapi belum keluar disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan
atau karena salah penanganan kala III. Sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian
bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta). Sisa
plasenta yang tertinggal merupakan penyebab 20-25% dari kasus perdarahan pasca
persalinan. Saat plasenta bisa dilahirkan secara manual plasenta, namun didapatkan
kesan plasenta tidak lengkap, masih terdapat sisa plasenta terasa lengket di
endometrium didiagnosis sebagai retensi sisa plasenta. Bila sebagian kecil dari plasenta

34
35

masih tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat menimbulkan perdarahan
pascapersalinan primer atau sekunder.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala tiga berlangsung tidak lancar, atau setelah
melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada
saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri
eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit.
Faktor risiko dari perdarahan pascapersalinan antara lain: kala tiga yang
memanjang, persalinan yang ketiga atau lebih, episiotomi, janin besar, riwayat abortus
dan riwayat terjadinya perdarahan pascapersalinan pada kehamilan sebelumnya.
Sementara itu, faktor risiko terjadinya perdarahan pascpersalinan pada pasien ini adalah
persalinan yang ketiga dan adanya riwayat abortus sebelumnya.
Pada pemeriksaan tanda vital tidak didapatkan penurunan tekanan darah sistolik,
frekuensi nafas normal, denyut nadi normal, suhu afebris. Karena kesulitan untuk
menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan
disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal karena meskipun tanda vital
pasien masih dalam batas normal, nilai Hb yang didapat adalah 11 g/dL dimana nilai
normal Hb rujukan adalah 12-16 g/dL.
Pemeriksaan khusus menunjukkan konjungtiva anemis pada pasien, hal ini
diakibatkan perdarahan yang terjadi menyebabkan hilangnya volume intravaskular
termasuk di dalamnya hemoglobin (Hb). Hb memiliki pigmen merah, sehingga
penurunan kadar hb akan tampak pada lapisan mukosa seperti pada konjungtiva
palpebra menunjukkan gambaran pucat/anemis.
Pada pemeriksaan USG ditemukan sisa plasenta yang tertinggal di dalam rahim,
hal ini merupakan penyebab terjadinya perdarahan pada kasus. Adanya sisa plasenta
menandakan terjadinya retensio plasenta dimana gejala dan tanda yang bisa ditemui
adalah perdarahan terjadi lebih dari 24 jam pascapersalinan hingga 12 minggu
pascapartum.
Pasien kemudian menjalani evakuasi uterus, kuretase ulang dengan panduan
ultrasonografi untuk mengeluarkan sisa plasenta dan selanjutnya di rawat inap untuk
pemantauan. Jaringan plasenta yang dievakuasi dikirim untuk pemeriksaan
histopatologi, dan menunjukkan vili korionik, sel trofoblas, dan fibrinoid yang
mengalami degenerasi. Pada pasien ini belum diperlukan transfusi karena kadar Hb
36

masih > 8 g/dL namun karena golongan darah pasien adalah O positif golongan
Bombay yang merupakan kelompok golongan darah yang langka, maka donor dari
golongan darah tersebut harus segera didapatkan sebagai antisipasi jika perlu dilakukan
tindakan transfusi.
BAB V
KESIMPULAN

Salah satu penyebab kematian ibu sebagian besar karena kasus


perdarahan dalam masa nifas yang terjadi karena retensio plasenta, sehingga perlu
dilakukan upaya penanganan yang baik dan benar. Dengan mencermati faktor risiko
persalinan berupa: persalinan yang keempat, taksiran berat janin besar, adanya hipertensi
dalam kehamilan, kejadian fatal pada pasien akibat perdarahan pascapersalinan dapat
dihindari. Penatalaksanaan kala tiga persalinan yang baik dan penanganan yang cepat
dan tepat terhadap kejadian perdarahan pascapersalinan membantu pasien pulih dengan
baik dan pulang dalam keadaan baik.

Penanganan perdarahan pasca persalinan akibat sisa plasenta antara lain pada
umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Dalam kondisi tertentu
apabila memungkinkan, sisa plasenta dapat dikeluarkan secara manual. Kuretase harus
dilakukan dirumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan
dengan kuretase pada abortus. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta,
dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau peroral. Selain itu,
antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Oliveira M.I., Costa V.S., Mer S., Osorio J., Martins A.P. Thromboctyopenia in
pregnancy, a challenge in the intensive care unit (ICU). RevEsp Anestesiol
Reanim. 2019.66(7):385-389
2. Arnold M.J., Keung J.J., McCharrager B. Interventional Radiology: Indications
and Best Practices. Am Fam Physician. 2019. 99(9):547-556
3. Alemu F.M., Fuchs M.C., Martin V.T., Abdallah M. S. M. Severe maternal
morbidity (near-miss) and its correlates in the world’s newest nation: South
Sudan. Int J Womens Health. 2019. 177-190
4. Ngwenya S. Post-Partum hemorrhage: incidence, risk factors, and outcomes in
a low-resource setting. International Journal of Woman’s Health. 2016. 8: 647-
650
5. Tauho K.D., Karwur F.F. An Insigh Maternal Death Caused by Hemorrhage in
Western Timor, Indonesia. 2019. 22(1):1-10. Doi: 10.7454/jki.v22il.675
6. Fan D, Xia Q, Liu L, Wu S, Tian G, Wang W, Wu S, Guo X, Liu Z. The
Incidence of Postpartum Hemorrhage in Pregnant Women with Placenta
Previa: A Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS One. 2017 Jan
20;12(1):e0170194. doi: 10.1371/journal.pone.0170194. PMID: 28107460;
PMCID: PMC5249070.
7. Kebede BA, Abdo RA, Anshebo AA, Gebremariam BM. Prevalence and
predictors of primary postpartum hemorrhage: An implication for designing
effective intervention at selected hospitals, Southern Ethiopia. PLoS One. 2019
Oct 31;14(10):e0224579. doi: 10.1371/journal.pone.0224579. PMID: 31671143;
PMCID: PMC6822730.
8. Kolin DA, Shakur-Still H, Bello A, Chaudhri R, Bates I, Roberts I. Risk factors
for blood transfusion in traumatic and postpartum hemorrhage patients:
Analysis of the CRASH-2 and WOMAN trials. PLoS One. 2020 Jun

38
39

3;15(6):e0233274. doi: 10.1371/journal.pone.0233274. PMID: 32492040;


PMCID: PMC7269233.
9. Wormer KC, Jamil RT. Bryant SB. Acute PPH [Updated 2020 Nov 30]. In :
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
10. Finlayson K, Downe S, Vogel JP, Oladapo OT. What matters to women and
healthcare providers in relation to interventions for the prevention of
postpartum haemorrhage: A qualitative systematic review. PLoS One. 2019
May 8;14(5):e0215919. doi: 10.1371/journal.pone.0215919. PMID: 31067245;
PMCID: PMC6505942.
11. Fukami T, Koga H, Goto M, Ando M, Matsuoka S, Tohyama A, et al. Incidence and
risk factors for pasca persalinan hemorrhage among transvaginal deliveries at a
tertiary perinatal medical facility in Japan. PLoS One. 2019;14(1):1–8.
12. Evensen A, Anderson JM, Fontaine P. Post-Partum hemorrhage: Prevention and
treatment. Am Fam Physician. 2017;95(7):442–9.
13. Karkata MK. 2016. Perdarahan Pasca Persalinan (PPP). In: Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo. Edisi 4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
14. Merriam AA, Wright JD, Siddiq Z, D'Alton ME, Friedman AM, Ananth CV,
Bateman BT. Risk for postpartum hemorrhage, transfusion, and hemorrhage-related
morbidity at low, moderate, and high volume hospitals. J Matern Fetal Neonatal
Med. 2018 Apr;31(8):1025-1034. doi: 10.1080/14767058.2017.1306050. Epub 2017
Apr 3. PMID: 28367647; PMCID: PMC6112239.
15. Smith JR. Post Partum Hemorrhage. Medscape [Internet]. 2018. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/275038-overview#a9
16. Perlman NC, Carusi DA. Retained placenta after vaginal delivery: Risk factors and
management. Int J Womens Health. 2019;11:527–34.
17. POGI Himpunan Kedokteran Feto Maternal. Perdarahan Pasca-Salin. Pedoman
Nas Pelayanan Kedokt POGI. 2016;
18. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Ed Ke-4 Jakarta
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2016;
19. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Rouse D, Spong C. Williams
Obstetrics: 25th Edition: 25th Edition. New York. p. 2018.
20. Rukiyah AY. Asuhan Kebidanan IV Parologi. Trans Info Media. 2010.
40

21. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom
KD. Uterine Leiomyomas. 2014 .In : Williams Obstetrics. 24 th edition. Mc
Graw-Hill. New York.
22. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: P.T. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2016.
23. Henriquez DDCA, Gillissen A, Smith SM, dkk. Clinical characteristics of
women captured by extending the definition of severe postpartum haemorrhage
with 'refractoriness to treatment': a cohort study. BMC Pregnancy Childbirth.
2019 Oct 17;19(1):36
24. Nugroho T. Kasus emergency kebidanan dan keperawatan. Yogjakarta:
NuhaMedika; 2010.
25. Latief, Said A. Petujuk praktis Anestesiologi. Edisi Ke-2. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2015.
26. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Current Diagnosis and
Treatments in Obstetrics & Gynecology. 12th ed. USA: McGraw-Hill
Companies; 2019.
27. Herath RP, Patabendige M, Rashid M, Wijesinghe PS. Nonpuerperal Uterine
Inversion: What the Gynaecologists Need to Know? Obstet Gynecol Int. 2020
Jun 1;2020:8625186. doi: 10.1155/2020/8625186. PMID: 32565821; PMCID:
PMC7285247.
28. Shaylor R, Weiniger CF, Austin N, Tzabazis A, Shander A, Goodnough LT,
Butwick AJ. National and International Guidelines for Patient Blood
Management in Obstetrics: A Qualitative Review. Anesth Analg. 2017
Jan;124(1):216-232. doi: 10.1213/ANE.0000000000001473. PMID: 27557476;
PMCID: PMC5161642.
29. Steegers EA, Fauser JM. Textbook of Obstetrics and Gynaecology: A Life
Course Approach. 2019. SpringerLink
30. Perlman N.C., dan Carusi D. A. Retained Placenta after vaginal delivery: risk
factors and management. 2019.11:527-534
31. Belachew J, Eurenius K, Mulic-Lutvica A, Axelsson O. Placental location,
postpartum hemorrhage and retained placenta in women with a previous
41

cesarean section delivery: a prospective cohort study. Ups J Med Sci. 2017
Aug;122(3):185-189.
32. Jauniaux E, Grønbeck L, Bunce C, Langhoff-Roos J, Collins SL. Epidemiology of
placenta previa accreta: a systematic review and meta-analysis. BMJ Open. 2019
Nov 12;9(11):e031193. doi: 10.1136/bmjopen-2019-031193.
33. Greenbaum S, Wainstock T, Dukler D, Leron E, Erez O. Underlying mechanisms of
retained placenta: Evidence from a population based cohort study. Eur J Obstet
Gynecol Reprod Biol. 2017;
34. Weeks Andrew. Retained placenta after vaginal birth. Worlters Kluwer. 2019
35. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. Obstetri Patologi Ilmu
Kesehatan Reproduksi Edisi 3 FK UNPAD. Jakarta: EGC; 2013.
36. Zhong L, Chen D, Zhong M, He Y, Su C. Management of patients with placenta
accreta in association with fever following vaginal delivery. Medicine (Baltimore).
2017 Mar;96(10):e6279.
37. Begley CM, Gyte GM, Devane D, McGuire W, Weeks A, Biesty LM. Active versus
expectant management for women in the third stage of labour. Cochrane Database
Syst Rev. 2019 Feb 13;2(2)
38. Akol AD, Weeks AD. Retained placenta: will medical treatment ever be possible?
Acta Obstet Gynecol Scand. 2016 May;95(5):501-4.
39. Rohani, Sasmita R, Marisah. Asuhan Kebidanan Pada Masa Persalinan. Jakarta:
Salemba Medika; 2011.
40. Abril et al., Essential Obstetric and Newborn Care. Medecins Sans Frontieres. 2019
Available : https://medicalguidelines.msf.org/viewport/ONC/english/9-2-manual-
removal-of-the-placenta-51417920.html
41. Budiman, Mayasari D. 2017. Early Post-Partum Haemorrhage e.c Retensio
Plasenta. Lampung: J Medula Unila.
42. Ewald DR, Sumner SC. Blood type biochemistry and human disease. Wiley
Interdiscip Rev Syst Biol Med. 2016 Nov;8(6):517-535. doi:
10.1002/wsbm.1355. Epub 2016 Sep 7. PMID: 27599872; PMCID:
PMC5061611.
43. Gorakshakar A, Gogri H, Ghosh K. Evolution of technology for molecular
genotyping in blood group systems. Indian J Med Res. 2017 Sep;146(3):305-
42

315. doi: 10.4103/ijmr.IJMR_914_16. PMID: 29355136; PMCID:


PMC5793464.
44. Storry JR, Clausen FB, Castilho L, Chen Q, dkk. International Society of Blood
Transfusion Working Party on Red Cell Immunogenetics and Blood Group
Terminology: Report of the Dubai, Copenhagen and Toronto meetings. Vox
Sang. 2019 Jan;114(1):95-102. doi: 10.1111/vox.12717. Epub 2018 Nov 12.
PMID: 30421425; PMCID: PMC6342652.

Anda mungkin juga menyukai