Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia adalah suatu kondisi di mana konsentrasi hemoglobin (Hb) dan /


atau sel darah merah (RBC) jumlahnya lebih rendah dari normal dan tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan fisiologis individu. Anemia dikaitkan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas pada wanita dan anak-anak, angka
kelahiran yang buruk, dan penurunan produktivitas pada orang dewasa, serta
gangguan perkembangan kognitif dan perilaku pada anak-anak.1
Secara global, berdasarkan data WHO tahun 1993 hingga 2005, anemia
diderita oleh 1,62 milyar orang. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia belum
sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara merupakan
salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam prevalensi anemia.2
Anemia dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab, dan biasanya
setiap kejadian anemia terjadi akibat beberapa kemungkinan penyebab. Pada
tahun 2002, defisiensi besi diketahui paling banyak menyebabkan anemia
dibanding penyebab lainnya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa 50% kasus anemia
disebabkan oleh anemia defisiensi besi. Penyebab lain dari anemia yang sering
terjadi antara lain akibat kehilangan darah banyak saat menstruasi, infeksi parasit,
infeksi kronik, keganasan, defisiensi mikronutrien (asam folat, vitamin B12,
vitamin A, riboflavin), dan hemoglobinopati.1
Berbagai macam komplikasi dapat terjadi akibat anemia, maka diagnosis
dan tatalaksana anemia menjadi sangat penting untuk dilakukan dengan tepat dan
sedini mungkin. Konsentrasi hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit
merupakan indikator yang digunakan dalam diagnosis anemia. Namun,
hemoglobin paling sering digunakan. Tatalaksana anemia harus dilakukan
sesegera mungkin sesuai dengan etiologi dasar yang diketahui.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anemia


Secara fungsional, anemia diartikan sebagai penurunan jumlah eritrosit
sehingga eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan.3 Anemia dapat didefinisikan pula
sebagai berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah,
hemoglobin, dan volume hematokrit per 100 ml darah. 4 Namun, kadar normal
hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi sesuai dengan usia, jenis kelamin,
ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut, serta keadaan tertentu seperti
kehamilan. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu gambaran
perubahan patofisiologi yang didapatkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.4
Karena sulitnya menentukan kadar hemoglobin normal akibat variasi
usia, jenis kelamin, tempat tinggal, dan lain-lain, maka anemia telah
didefinisikan oleh WHO berdasarkan kadar hemoglobin berikut ini:1
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Anak 6-59 bulan < 11 g/dl
Anak 5-11 tahun < 11,5 g/dl
Anak 12-14 tahun < 12 g/dl
Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl

2.2 Epidemiologi Anemia


Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita
oleh 1,62 milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia
belum sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara
merupakan salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam prevalensi

2
anemia, termasuk Indonesia, yang tergambar pada gambar di bawah ini
dengan warna merah tua:2

Gambar 2.1. Gambaran prevalensi anemia pada anak usia belum sekolah di dunia.2

Anemia terjadi pada 58% populasi di Asia, dimana prevalensi tertinggi


terjadi pada anak usia belum sekolah (47,7%), wanita hamil (41,6%), dan
wanita dewasa tidak hamil (33,0%). Di Indonesia, sekitar 44,5% populasi
diperkirakan mengalami anemia dengan kadar Hb <11,0 g/dl, sehingga
Indonesia masuk ke dalam kategori berat dalam prevalensi anemia.2

2.3 Fisiologi Eritrosit


Setiap milliliter darah mengandung sekitar 5 milyar eritrosit, sehingga
secara klinis kadar eritrosit dilaporkan sebagai 5 juta sel/mm 3. Eritrosit adalah
sel berbentuk piringan bikonkaf dengan diameter 8 µm, ketebalan 2 µm di
tepi luar, dan ketebalan 1 µm di bagian tengah. Bentuk bikonkaf akan
menghasilkan luas permukaan yang lebih besar untuk difusi oksigen
menembus membrane dibandingkan dengan bentuk sel bulat dengan volume
yang sama. Tipisnya sel memungkinkan oksigen cepat berdifusi antara bagian
paling dalam sel dan eksterior sel. Ciri anatomik terpenting yang

3
memungkinkan eritrosit mengangkut oksigen adalah adanya hemoglobin di
dalamnya.5
Molekul hemoglobin memiliki dua bagian :
1. Globin, yaitu suatu protein yang terbentuk dari empat rantai
polipeptida yang sangat berlipat-lipat.
2. Gugus heme, yaitu empat gugus non protein yang mengandung besi
yang masing-masing berikatan dengan salah satu polipeptida. Masing-
masing dari keempat atom besi dapat berikatan secara reversible
dengan satu molekul oksigen. Oleh karena itu, satu molekul
hemoglobin dapat mengambil empat molekul oksigen di paru. Sekitar
98,5% oksigen di dalam darah terikat ke hemoglobin.5

Berikut ini struktur molekul hemoglobin :

Gambar 2.2. Struktur molekul hemoglobin5

Selain mengangkut oksigen, hemoglobin juga dapat berikatan dengan :


a. Karbon dioksida (CO2).
Hemoglobin membantu mengangkut gas ini dari sel jaringan
kembali ke paru.
b. Bagian hidrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi.
Zat ini dihasilkan di tingkat jaringan dari karbon dioksida.
Hemoglobin menyangga asam ini sehingga asam ini tidak banyak
menyebabkan perubahan pH darah.

4
c. Karbon monoksida (CO).
Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat di dalam darah, tetapi
jika terhirup maka gas ini cenderung menempati bagian hemoglobin
yang berikatan dengan oksigen sehingga terjadi keracunan CO.
d. Nitrat oksida (NO)
Di paru, NO yang bersifat vasodilator berikatan dengan hemo-
globin. NO ini dibebaskan di jaringan, tempat zat ini melemaskan dan
melebarkan arteriol local. Vasodilatasi ini membantu menjamin bahwa
darah kaya oksigen dapat mengalir lancar dan juga membantu
menstabilkan tekanan darah.5
Oleh sebab itu, hemoglobin berperan besar dalam transport oksigen,
sekaligus memberi kontribusi signifikan pada transport karbon dioksida dan
kemampuan darah menyangga pH. Selain itu, dengan mengangkut
vasodilatornya sendiri, hemoglobin membantu menyalurkan oksigen yang
dibawanya.5
Untuk memaksimalkan kandungan hemoglobin, satu eritrosit dipenuhi
oleh lebih dari 250 juta molekul hemoglobin, menyingkirkan hamper semua
organel yang lain. Sel darah merah tidak mengandung nucleus, organel, atau
ribosom. Selama perkembangan sel, struktur-struktur ini dikeluarkan untuk
menyediakan ruang lebih banyak bagi hemoglobin.5
Selama perkembangan intra uterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh
yolk sac dan kemudian oleh hati dan limpa, sampai sumsum tulang terbentuk
dan mengambil alih produksi eritrosit secara eksklusif. Pada anak-anak,
sebagian besar tulang terisi oleh sumsum tulang merah yang mampu
memproduksi sel darah. Namun, seiring pertambahan usia, sumsum tulang
kuning yang tidak mampu melakukan eritropoiesis perlahan-lahan
menggantikan sumsum merah, yang tersisa hanya di beberapa tempat, seperti
sternum, iga, dan ujung-ujung proksimal tulang panjang di ekstremitas.5

5
Berikut ini tahapan pembentukan eritrosit di dalam sumsum tulang :

Gambar 2.3. Tahapan pembentukan eritrosit5

Di dalam sumsum merah terdapat pluripotent stem cell yang belum


berdiferensiasi, yang kemudian secara terus-menerus membelah diri dan
berdiferensiasi untuk menghasilkan semua jenis sel darah. Myeloid stem cell
adalah stem cell yang telah berdiferensiasi sebagian yang akan berkembang
menjadi eritrosit dan beberapa jenis sel darah lainnya. Eritroblas merupakan
sel yang masih memiliki nucleus dan organel-organel sel. Retikulosit
merupakan eritrosit imatur yang masih mengandung organel remnants.
Eritrosit matur sudah tidak memiliki nucleus maupun organel, dan kemudian
akan dilepaskan ke dalam kapiler yang menembus sumsum tulang.5
Gambar berikut ini menunjukkan regulasi eritropoiesis yang
diperankan oleh eritropoietin :

Gambar 2.4. Regulasi pembentukan eritrosit.6

6
Pada keadaan penurunan perfusi oksigen ke ginjal, misalnya pada
hipoksia atau proses hemolisis, maka ginjal akan terangsang untuk
mengeluarkan eritropoietin ke dalam darah, sehingga terjadi eritropoiesis di
sumsum tulang. Eritropoietin akan merangsang maturasi dan proliferasi
eritrosit. Peningkatan aktivitas eritropoietik ini meningkatkan jumlah eritrosit
di dalam darah, sehingga kapasitas darah mengangkut oksigen meningkat dan
penyaluran oksigen ke jaringan kembali normal. Jika penyaluran oksigen ke
ginjal telah kembali normal, maka sekresi eritropoietin akan dihentikan
sampai dibutuhkan kembali. Dengan mekanisme ini, produksi eritrosit dalam
keadaan normal disesuaikan dengan kerusakan atau kehilangan sel-sel
tersebut, sehingga kemampuan darah mengangkut oksigen relatif konstan.
Pada kehilangan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada perdarahan atau
kerusakan abnormal eritrosit muda dalam darah, laju eritropoiesis dapat
meningkat menjadi lebih dari enam kali lipat nilai normal.6
Siklus hidup sel darah merah dijelaskan pada gambar berikut :

Gambar 2.5. Siklus hidup eritrosit6

7
Setelah dibentuk dan di sumsum tulang, sel darah merah akan
dikeluarkan menuju aliran darah. Tanpa DNA dan RNA, eritrosit tidak dapat
membentuk protein untuk memperbaiki sel, tumbuh, dan membelah atau
memperbarui enzim-enzimnya. Eritrosit hanya bertahan hidup selama sekitar
120 hari, dengan kecepatan penghancuran rata-rata dua hingga tiga juta sel
per detik.5
Seiring dengan proses penuaan, membrane plasma eritrosit yang tidak
dapat diperbaiki akan menjadi rapuh dan mudah pecah sewaktu sel terjepit
melewati titik-titik penyempitan di dalam system vaskular. Sebagian besar
eritrosit tua dihancurkan di limpa, karena jaringan kapiler organ ini yang
sempit dan berkelok-kelok merusak sel-sel rapuh ini. Sel darah merah dari
sirkulasi akan keluar melalui arteriol di pulpa limpa, kemudian melalui pori-
pori kecil akan memasuki sinus limpa. Di dalam sinus limpa inilah eritrosit
dihancurkan, kemudian fragmen selnya difagosit oleh makrofag yang ada di
sumsum tulang, nodus limfoid, limpa, dan hati. Heme yang dihasilkan pada
proses hemolisis akan diubah menjadi bilirubin, sedangkan zat besi akan
digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin.6
Sekitar dua pertiga zat besi yang ada di dalam tubuh terkandung di
dalam hemoglobin. Seperempatnya ada dalam bentuk zat besi simpanan
(ferritin, hemosiderin), dan sisanya sebagai zat besi fungsional (mioglobin
dan enzim-enzim yang mengandung besi). Tubuh akan kehilangan zat besi
sebesar 1-2 mg/hari. Penyerapan zat besi di usus terutama terjadi di
duodenum dan bervariasi jumlahnya tergantung kebutuhan tubuh. Tubuh
akan menyerap 3-15 persen zat besi dari makanan, dan dapat meningkat
hingga 25 persen pada defisiensi zat besi. Konsumsi zat besi minimum yang
direkomendasikan paling sedikit adalah 10-20 mg/hari.6

8
Berikut ini proses absorpsi, penyimpanan, dan daur ulang zat besi di
dalam tubuh :

Gambar 2.6. Absorpsi, penyimpanan, dan daur ulang zat besi.6


Zat besi diabsorpsi dari duodenum dari makanan, terutama dari
hemoglobin dan mioglobin pada daging dan ikan. Zat besi tersebut sebagian
besar dalam bentuk Fe2+, yang akan langsung diabsorpsi dalam bentuk heme-
Fe2+. Setelah memasuki sel mukosa, enzim heme oksigenase akan melepaskan
heme dan Fe2+, kemudian Fe2+ akan dioksidasi menjadi Fe3+. Bentuk tersebut
dapat tetap berada di dalam sel mukosa dalam bentuk ferritin-Fe 3+ untuk
kemudian dikembalikan lagi ke lumen usus pada saat regenerasi sel, atau
dapat pula masuk ke sirkulasi darah.6

9
Zat besi yang tidak terikat dengan heme hanya dapat diabsorpsi oleh
sel mukosa usus dalam bentuk Fe2+, sehingga Fe3+ yang tidak terikat heme
harus terlebih dahulu direduksi menjadi Fe2+ oleh enzim ferri reduktase dan
askorbat yang berada di permukaan sel mukosa usus. Kemudian Fe 2+
diabsorpsi melalui proses transport aktif sekunder, yaitu melalui protein
simport Fe2+-H+. Dalam proses ini, pH kimus yang rendah berperan penting
untuk meningkatkan kadar H+ sehingga transport Fe2+ ke dalam sel mukosa
meningkat, serta untuk memisahkan zat besi dari kompleks makanan di usus.6
Penyerapan zat besi ke dalam aliran darah diregulasi oleh mukosa
usus. Ketika terjadi defisiensi zat besi, aconitase (protein regulasi zat besi)
yang berada di sitosol akan berikatan dengan ferritin-mRNA, sehingga terjadi
inhibisi translasi ferritin. Maka, jumlah Fe2+ yang dapat memasuki aliran
darah akan meningkat.6
Fe2+ di dalam darah dioksidasi oleh ceruroplasmin menjadi Fe3+ yang
kemudian berikatan dengan apotransferin, yaitu suatu protein yang berperan
dalam transport zat besi di dalam plasma, dan membentuk transferin.
Transferin akan mengalami endositosis oleh eritroblas dan sel-sel hepar
melalui reseptor transferin. Setelah zat besi diabsorpsi oleh sel, maka
apotransferin akan terlepas dari zat besi sehingga memiliki kemampuan
kembali untuk mengikat zat besi dari usus dan makrofag.6
Feritin merupakan salah satu bentuk terbanyak dari zat besi
simpanan di dalam tubuh, dan mengandung hingga 4500 ion Fe 3+, sehingga
dapat menyediakan zat besi secara cepat bagi tubuh (sekitar 600 mg zat besi),
dimana kemampuan hemosiderin dalam menyediakan zat besi jauh lebih
lambat (sekitar 250 mg zat besi di dalam makrofag di hepar dan sumsum
tulang). Hb-Fe dan heme-Fe dikeluarkan dari eritroblas yang rusak dan sel
darah merah yang mengalami hemolisis, kemudian berikatan dengan
haptoglobin dan hemopexin, lalu difagosit oleh makrofag di sumsum tulang,
hepar, dan limpa, kemudian 97 persen zat besi akan digunakan kembali.6

10
Vitamin B12 (kobalamin) dan asam folat juga dibutuhkan dalam
proses eritropoiesis, terutama berperan dalam sintesis DNA. Berikut ini peran
zat-zat tersebut dalam proses eritropoiesis :

Gambar 2.7. Peran asam folat dan vitamin B12 dalam eritropoiesis 6

2.4 Etiologi dan Klasifikasi Anemia


Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan :3
I. Etiopatogenesis
A. Gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a) Anemia defisiensi besi
b) Anemia defisiensi asam folat
c) Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a) Anemia akibat penyakit kronik
b) Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a) Anemia aplastik
b) Anemia mieloplastik
c) Anemia pada keganasan hematologi
d) Anemia diseritropoietik
e) Anemia pada sindrom mielodisplastik
4. Anemia akibat kekurangan eritropoietin

11
B. Anemia hemoragik
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a) Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
 Anemia akibat defisiensi G6PD
c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
 Thalassemia
 Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a) Anemia hemolitik autoimun
b) Anemia hemolitik mikroangiopati
c) Lainnya
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis
yang kompleks3
II. Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan darah tepi)
A. Anemia hipokromik mikrositik, bila MCV<80fl dan MCH <27pg
B. Anemia normokromik normositik, bila MCV 80-95fl dan MCH 27-34
pg
C. Anemia makrositik bila MVC > 95 fl

Penggabungan penggunaan klasifikasi etiopatogenesis dan morfologi


akan sangat menolong dalam mengetahui penyebab anemia. Berikut ini
klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi :3
I. Anemia hipokromik mikrositik
a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik

12
II. Anemia normokromik normositik
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositik
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik3

2.5 Patofisiologi Anemia


I. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena
kekurangan zat besi (Fe), yang disebabkan oleh beberapa hal berikut :3
a. Kurangnya asupan Fe
 Diet tidak adekuat, misalnya karena rendahnya asupan besi
total dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang
dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat, rendah
daging, rendah vitamin C)
 Gangguan absorpsi zat besi, misalnya pada gastrektomi,
colitis kronik, atau achlorhydria

b. Kehilangan Fe
 Perdarahan saluran cerna

13
 Perdarahan saluran kemih
 Hemoglobinuria
 Hemosiderosis pulmonari idiopatik
 Telangiektasia hemoragik herediter
 Gangguan hemostasis
 Infeksi cacing tambang
c. Meningkatnya kebutuhan Fe
 Bayi prematur
 Anak-anak dalam pertumbuhan
 Ibu hamil dan menyusui
 Laktasi.3

Defisiensi zat besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif zat besi
yang telah berlangsung lama. Terdapat tiga stadium defisiensi zat besi,
yaitu :7

1) Deplesi besi (iron depleted state)


Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk
eritropoiesis belum terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum
feritin, peningkatan absorpsi besi dari usus, dan pengecatan besi pada
apus sumsum tulang berkurang.
2) Iron deficient erythropoiesis
Cadangan Fe dalam tubuh kosong, tetap belum menyebabkan
anemia secara laboratorik karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap
besi, sumsum tulang melakukan mekanisme mengurangi
sitoplasmanya sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-
cabik, bahkan ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma
(naked nuclei). Selain itu, kelainan pertama yang dapat dijumpai
adalah peningkatan kadar free protoporfirin dalam eritrosit, saturasi
transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat.

14
Parameter lain yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor
transferin dalam serum.
3) Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang, eritropoiesis akan semakin terganggu,
sehingga kadar hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah
eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositik. Pada saat ini,
terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim
sehingga menimbulkan berbagai gejala.7

II. Anemia penyakit kronik


Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi
akibat infeksi kronis, peradangan, trauma, atau penyakit neoplastik yang
telah berlangsung 1-2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal, dan
endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi,
sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Anemia
penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi,
seperti infeksi kronik (infeksi paru, endokarditis bakterial), inflamasi
kronik (artritis reumatoid, demam reumatik), penyakit hati alkoholik,
gagal jantung kongestif, dan idiopatik.3
Secara garis besar, patogenensis anemia penyakit kronis dititik
beratkan pada 3 abnormalitas utama :7
1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis
eritrosit
2) Adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang
terganggu atau menurun
3) Gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi
Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan interpretasi
pemeriksaan status besi. Proses terjadinya radang merupakan respon
fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan termasuk infeksi dan
trauma. Pada fase awal proses inflamasi terjadi induksi fase akut oleh
makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan sitokin radang seperti

15
Tumor Necrotizing Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-1, IL- 6 dan IL-8.
Interleukin-1 menyebabkan absorbsi besi berkurang akibat pengelepasan
besi ke dalam sirkulasi terhambat, produksi protein fase akut (PFA),
lekositosis, dan demam. Hal itu dikaitkan dengan IL-1 karena episode
tersebut kadarnya meningkat dan berdampak menekan eritropoesis. Bila
eritropoesis tertekan, maka kebutuhan besi akan berkurang, sehingga
absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat mengaktifasi sel
monosit dan makrofag, menyebabkan ambilan besi serum meningkat.
TNF-α juga berasal dari makrofag dam berefek sama, yaitu menekan
eritropoesis melalui penghambatan eritropoetin. IL-6 menyebabkan
hipoferemia dengan menghambat pembebasan cadangan besi jaringan ke
dalam darah.7
Pada respon fase akut sistemik diperlihatkan bahwa akibat induksi
IL-1, TNF-α, dan IL-6, maka hepatosit akan memproduksi secara
berlebihan beberapa PFA utama seperti C-reactive protein, serum amyloid
A (SAA) dan fibrinogen. Selain itu terjadi pula perangsangan
hypothalamus yang berefek menimbulkan demam serta perangsangan di
sumbu hipothalmus-kortikosteroid di bawah pengaruh adrenocorticotropic
hormone (ACTH) yang berefek sebagai akibat umpan balik negatif
terhadap induksi PFA oleh hepatosit. Selain CRP, SAA, dan fibrinogen,
protein fase akut lain yang berhubungan penting dengan metabolisme besi
antara lain: apoferritin, transferin, albumin dan prealbumin.7
Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan
makrofag teraktivasi meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 2–3 kali
normal, sedangkan transferin, albumin dan prealbumin merupakan protein
fase akut yang kadarnya justru menurun saat proses inflamasi.7
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia
defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi
serum. Oleh karena itu penentuan parameter besi yang lain diperlukan
untuk membedakannya. Rendahnya besi di anemia penyakit kronis
disebabkan aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial ke plasma

16
menurun, sedangkan penurunan saturasi transferin diakibatkan oleh
degradasi transferin yang meningkat. Kadar feritin pada keadaan ini juga
meningkat melalui mekanisme yang sama. Berbeda dengan anemia
defisiensi, gangguan metabolisme besi disebabkan karena kurangnya
asupan besi atau tidak terpenuhinya kebutuhan besi sebagai akibat
meningkatnya kebutuhan besi atau perdarahan.7

III. Anemia megaloblastik


Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan oleh
abnormalitas hematopoiesis dengan karakteristik dismaturasi nukleus dan
sitoplasma sel myeloid dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA.
Penyebab anemia megaloblastik adalah :3
1. Defisiensi asam folat
a. Asupan kurang
 Gangguan nutrisi : alkoholisme, bayi premature, orang tua,
hemodialisis, anoreksia nervosa.
 Malabsorpsi : alkoholisme, gastrektomi, reseksi usus halus,
Crohn’s disease, scleroderma, obat anti konvulsan,
hipotiroidisme.
b. Peningkatan kebutuhan, misalnya pada kehamilan, anemia
hemolitik, keganasan, hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa,
eritropoiesis yang tidak efektif.
c. Gangguan metabolisme asam folat, misalnya akibat obat-
obatan penghambat dihidrofolat reduktase (metotreksat,
pirimetamin, triamteren, pentamidin, trimetoprim),
alkoholisme, dan defisiensi enzim.
d. Penurunan cadangan asam folat di hati, misalnya pada
alkoholisme, sirosis non alkoholik, dan hepatoma.
e. Obat-obatan yang mengganggu metabolism DNA, seperti
antagonis purin, antagonis pirimidin, prokarbazin, hidroksiurea,
acyclovir, dan zidovudin.

17
f. Gangguan metabolic, misalnya pada asiduria urotik herediter
dan sindrom Lesch-Nyhan.
2. Defisiensi vitamin B12 (kobalamin)
a. Asupan kurang, misalnya pada vegetarian.
b. Malabsorpsi
 Dewasa : anemia pernisiosa, gastrektomi, gastritis atrofikan,
Crohn’s disease, parasit, scleroderma, obat-obatan.
 Anak : anemia pernisiosa, gangguan sekresi faktor intrinsic
lambung, Imerslund-Grasbeck syndrome.
c. Gangguan metabolisme seluler, misalnya akibat defisiensi
enzim, abnormalitas protein pembawa kobalamin
(transkobalamin II), paparan NO yang berlangsung lama.3

Defisiensi kobalamin menyebabkan defisiensi metionin


intraseluler, kemudian menghambat pembentukan folat tereduksi dalam
sel. Folat intrasel yang berkurang akan menurunkan prekurson tidimilat
yang selanjutnya akan mengganggu sintesis DNA. Model ini disebut
sebagai methylfolate trap hypothesis karena defisiensi kobalamin
mengakibatkan penumpukan 5-metil tetrahidrofolat.3
Defisiensi kobalamin yang berlangsung lama mengganggu
perubahan propionate menjadi suksinil CoA yang mengakibatkan
gangguan sintesis myelin pada susunan saraf pusat. Proses demyelinisasi
ini menyebabkan kelainan medulla spinalis dan gangguan neurologis.
Sebelum diabsorpsi, asam folat harus diubah menjadi monoglutamat.
Bentuk folat tereduksi (tetrahidrofolat, FH4) merupakan koenzim aktif.
Defisiensi folat mengakibatkan penurunan FH4 intrasel yang akan
mengganggu sintesis tidimilat yang selanjutnya akan mengganggu sintesis
DNA.3
Ketidakmampuan sel untuk mensintesis DNA dalam jumlah yang
memadai akan memperlambat reproduksi sel, tetapi tidak menghalangi
kelebihan pembentukan RNA oleh DNA dalam sel-sel yang berhasil

18
diproduksi. Akibatnya, jumlah RNA dalam setiap sel akan melebihi
normal, menyebabkan produksi hemoglobin sitoplasmik dan bahan-bahan
lainnya berlebihan, dan membuat sel menjadi besar.3

IV. Anemia hemolitik


Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh
peningkatan destruksi eritrosit yang melebihi kemampuan kompensasi
eritropoiesis sumsum tulang. Pada prinsipnya anema hemolitik dapat
terjadi akibat defek molekular hemoglobinopati atau enzimopati,
abnormalitas struktur dan fungsi membran, dan faktor lingkungan seperti
trauma mekanik atau autoantibodi. Klasifikasi anemia hemolitik
berdasarkan etiologinya :3
1. Anemia hemolitik herediter
a. Enzimopati
b. Hemoglobinopati
c. Membranopati
2. Anemia hemolitik didapat
a. Anemia hemolitik imun
b. Mikroangiopati
c. Infeksi
Hemolisis dapat terjadi di ekstravaskular dan intravaskular.
Sebagian besar kondisi hemolitik terjadi di ekstravaskular, dimana eritrosit
disingkirkan oleh makrofag di sistem retikuloendotelial, terutama limpa.
Pada hemolisis intravaskular, sel darah merah akan terdestruksi dalam
sirkulasi, sehingga hemoglobin terlepas kemudian terikat pada haptoglobin
plasma, tetapi mengalami saturasi. Hb plasma bebas ini difiltrasi oleh
glomerulus ginjal dan masuk ke urin, meskipun sebagian kecil
direabsorpsi oleh tubulus renal. Dalam sel tubulus renal, Hb pecah dan
terdeposit di sel sebagai hemosiderin. Sebagian Hb plasma yang bebas
dioksidasi menjadi methemoglobin, yang terpecah lagi menjadi globin dan
Heme-Fe.7

19
Hemopexin plasma mengikat heme-Fe, namun jika kapasitas
pengikatannya berlebihan, maka heme-Fe bersatu dengan albumin
membentuk metheamalbumin. Hati berperan penting dalam mengeliminasi
Hb yang terikat dengan haptoglobin dan haemopexin dan sisa Hb bebas.7

V. Anemia aplastik
Anemia aplastik merupakan anemia dengan karakteristik adanya
pansitopenia disertai hipoplasia / aplasia sumsum tulang tanpa adanya
penyakit primer yang mensupresi atau menginfiltrasi jaringan
hematopoietik. Etiologi anemia aplastik adalah sebagai berikut :3
1. Didapat
 Zat kimia dan Fisika
o Zat yang selalu menyebabkan aplasia pada dosis tertentu :
radiasi, bensen, arsen, sulfur, nitrogen mustard, antimetabolit,
antimitotik : kolsisin, daunorubisin, adriamisin
o Zat yang kadang-kadang mnyebabkan hipoplasia:
kloramfenicol, kuinakrin, metilfenil, hidantoin, trimetadion,
fenilbutazon, senyawa emas
 Infeksi virus : hepatitis, Epstein Barr, HIV, Dengue
 Infeksi mikobakterium
 Idiopatik
2. Familial : Sindroma Fanconi

Kegagalan produksi eritrosit, leukosit, dan trombosit merupakan


kelainan dasar pada anemia aplastik, yang menurut penelitian disebabkan
oleh sel T sitotoksik yang teraktivasi. Sel T tersebut akan menghasilkan
interferon gamma (IFN-γ) dan tumor necrosis factor (TNF) yang bersifat
menginhibisi langsung sel-sel hematopoietik.7
Supresi hematopoietik oleh IFN-γ dan TNF juga merangsang
reseptor Fas pada sel hematopoietik CD34 sehingga menghasilkan 3
proses :

20
1. Perangsangan reseptor Fas akan menginduksi terjadinya apoptosis.
2. Terjadi induksi produksi nitric oxide synthetase dan nitrit oksida
oleh sumsum tulang sehingga terjadi sitotoksisitas yang
diperantarai system imun.
3. Perangsang reseptor Fas akan mengaktivasi jalur intraseluler yang
menyebabkan penghentian siklus sel.

Sel T sitotoksik juga menghasilkan interleukin-2 (IL-2) yang


berfungsi mengaktifkan klon-klon sel T yang kemudian juga akan
mengeluarkan TNF dan IFN-γ dan menginhibisi hematopoietik.7

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simstomatik) apbila kadar
hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dL. Berat ringannya gejala umum
anemia tergantung pada : derajat penurunan hemoglobin, kecepartan
penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:
a) Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ
target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu ( HB<7). Sindrom
anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging
(tinnitus), mata berkunang – kunang, kaki terasa dingin, sesak napas
dan sispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah
dilihat pada konjunctiva, mukosa mulut, telapak tangn dan jaringan
dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat
ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena
timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7 g/dL).8

21
b) Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
 Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis, dan kuku sendok (koilonychia).
 Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada
defisiensi vitamin B12.
 Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali.
 Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi. 9
c) Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia
sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut.
Contohnya, pada anemia akibat infeksi cacing tambang dapat
ditemukan keluhan sakit perut, pembengkakan parotis dan warna
kuning pada telapak tangan.9

2.7 Penegakan Diagnosis


Penegakan diagnosis anemia dapat ditentukan melalui anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemerikksaan penunjang. Dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda seperti yang tertera di bagian
manifestasi klinis. Sementara untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
beberapa macam pemeriksaan yang dapat digolongkan sebagai berikut:10
1. Sediaan apus darah tepi
 Ukuran sel
 Anisositosis
 Poikilositosis
 Polikromasia
Sediaan apusan darah tepi akan memberikan informasi yang penting
apakah ada gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah
anisositosis menunjukkan ukuran eritrositnya bervariasi, sedangkan
poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit yang beraneka
ragam.10

22
2. Hitung retikulosit
Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan
etiologi anemia. Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru
dilepas dari sumsum tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang
akan dimetabolisme dalam waktu 24 -36 jam (waktu hidup retikulosit
dalam sirkulasi). Kadar normal retijulosit 1 – 2% yang menunjukkan
penggantian harian sekitar 0,8 – 1% dari jumlah sel darah merah
sirkulasi.11
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah
merah. Nilai retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan
hematrokit pasien berdasarkan usia, gender, serta koreksi lain bila
ditemukan pelepasan retikulosit prematur (polikromasia). Hal ini
disebabkan karena waktu dari retikulosit premature lebih panjang sehingga
dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolah olah tinggi. Faktor
koreksi HT 35% : 1,5 HT 25%:2,0 HT 15% : 2,5.11
3. Persediaan dan penyimpanan besi
 Kadar Fe serum (N: 9 -27 µmol/liter)
 Total iron binding capacity (N: 54 – 64 µmol/liter)
 Feritin serum (N: perempuan : 30 µmol/liter, laki –laki : 100
µmol/liter)
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum
dengan TIBC dikali 100 ( N: 25 – 50%). Pada pengukuran kadar Fe
plasma dan persen saturasi transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan
puncaknya pada pukul 09.00 dan pukul 10.00. 12
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh.
Namun, feritin jga merupakan suatu rekatan fase akut, dan pada keadaan
inflamasi baik akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat.12
4. Pemeriksaan sumsung tulang
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada
gangguan pada sumsum tulang misalnya yelofibrosis, gangguan
pematangan, atau penyakit infiltratif. Peningkatan atau penurunan

23
perbandingan dari suatu kelompok sel (myeloid atau eritroid) dapat
ditemukan dan dihitung jenis sel –sel berarti pada sumsum tulang ( ratio
eritroit dan granuloid). Pemeriksaan sumsung tulang dibagi menjadi 2
cara: 13
 Aspirasi : EG ratio, Morfologi sel, Pewarnaan Fe
 Biopsi : Selularitas, Morfologi
5. Pemeriksaan complete blood count (CBC )
Selain dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokrit, indeks
eritrosit dapat digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan
defek sibtesa hemoglobin. Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan
bila >100 dapat disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan
MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin
(hipokromia).9

Dalam hal yang lebih sederhana, anamnesa, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang dapat disederhanakan dalam tabel dibawah ini:

24
Pembagian anemia berdasarkan gambaran sel darah merah :

25
Kriteria diagnosa anemia :
I. Anemia defisiensi besi menurut WHO
 Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
 Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% ( normal 32-35%)
 Kadar Fe serum < 50 µg/dL (normal 80 – 180 µg/dL)
 Saturasi transferin < 15% (normal 20 – 50%)

26
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit nomor 1,3, dan 4. Tes yang
paling efisien untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu feritin serum.
Bila sarana terbatas, diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan: anemia tanpa
perdarahan, tanpa organomegali, gambaran darah tepi, mikrositik,
hipokromik, anisositosis, sel target, respons terhadap pemberian terapi
besi.7
II. Anemia penyakit kronik
Diagnosis untuk anemia akibat penyakit kronik dibuat bila:
 Dijumpai anemia ringan sampai sedang pada setting penyakit dasar
yang sesuai ( seperti disebutkan pada tabel 3-4 di depan)
 Anemia hipokromik mikrositik ringan atau normokromik normositik
 Besi serum menurun disertai dengan TIBC menurun dengan
cadangan besi sumsum tulang masih positif
 Dengan menyingkirkan adanya gagal ginjal kronik, penyakit hati
kronik dan hipotiroid.14
III. Anemia megaloblastik
Diagnosis anemia megaloblastik dibuat berdasarkan hasil
pemeriksaan klinik dimana terjadi anemia, makrositik pada sarah tepi yang
disertai sel megaloblast dalam sumsum tulang. Pada defisiensi vitamin B
12 dijumpai gejala neurologik, sedangkan pasa defisiensi asam folat tidak
dijumpai gejala neurologik.7
IV. Anemia hemolitik
Penegakan anemia hemolitik dilakukan dalam dua tahap, yaitu
menentukan adanya anemia hemolitik bila terdapat anemia yang disertai
dengan tanda-tanda destruksi eritrosit, dan/atau tanda tanda peningkatan
eritropoesis. Sedangkan menurut wintrobe, memberikan petunjuk praktis
anemia hemolitik patut dicurigai bila didapatkan:
 Tanda tanda destruksi eritrosit berlebihan bersamaan dengan tanda-
tanda peningkatan eritropoiesis. Hal ini ditandai oleh anemia,
retikulosis dan peningkatan bilirubin indirek dalam darah. Apabila

27
tidak dijumpai tanda perdarahan ke dalam rongga tubuh atau jaringan
maka didiagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan.4
 Anemia persisten disertai retikulositosis tanpa adanya tanda-tanda
perdarahan yang jelas. Jika perdarahan dan pemulihan anemia
defisiensi akibat terapi dapat disingkirkan, diagnosis anemia
hemolitik dapat ditegakkan.4
 Apabila terdapat penurunan hemoglobin >1 g/dL dalam waktu satu
minggu serta perdarahan akut dan hemodelusi dapat disingkirkan
maka anemia hemolitik dapat ditegakkan.4
 Aapabila dijumpai hemoglobinuria atau tanda hemolisis
intravaskuler lain.4
Menentukan penyebab spesifik anemia hemolitik dimulai dari
anamnesis yang teliti, pemeriksaan apusan darah, dan tes Coombs. Pasien
dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok :
a) Kasus dengan diagnosis yang sudah jelas karena adanya
pemaparan terhadap infeksi, bahan kimia, dan bahan fisik.
b) Kasus dengan tes Coombs direk positif ditetapkan sebagai
anemia imunohemolitik.
c) Kasus dengan anemia sferositik disertai tes Coombs negatif.
d) Kaasus dengan kelainan morfologi eritrosit lain seperti yang
menjurun pada thalasemia.
e) Kasus tanpa kelainan morfologi yang khas dan tes Coombs
negatif memerlukan suatu baterai tes penyaring seperti
elektroforesis hemoglobin.8
V. Anemia aplastik
Diagnosa anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia
atau bisitopenia di darah tepi dengan hipoplasia sumsum tulang, serta
dengan menyingkirkan adanya infiltrasi atay supresi pada sumsum tulang.
Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut international agranulocytosis
and aplastic anemia study group (IAASG) adalah satu dari tiga sebagai
berikut :7

28
 Hemoglobin kurang dari 10 gd/dL atau hematokrit kurang dari 30%
 Trombosit kurang dari 50x109//L
 Leukosit kurang dari 3,5 x 109/L atau netrofil kurang dari 1,5 x 10
dengan retikulosit <30x109/l (<1%).
Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat) :
penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel
hematopoietik atau selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal
dengan depleso seri granulosit atau infiltrasi neoplastik. Tidak adanya
fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik. Pansitopeni karena obat
sitostatika atau radiasi terapeutik harus diesklusi.7
Setelah diagnosa ditegakkan, perlu dilakukan penentuan derajat
penyakit dari anemia apalstik yang berguna untuk menentukan strategi
terapi. Kriteria yang diapakai pada umumnya ialah kriteria Camitta et al.
Yang tergolong anemia apalstik berat (severe aplastic anemia) bial
memenuhi kriteria paling sedikit dua dari tiga :
 Granulosit < 0,5 x 109 /L
 Trombosit < 20 x 109 /L
 Corrected reticulocte <1%
Selularitas sumsum tulang tulang < 25% atau selularitas < 50% dengan <
30% sel sel hematopoietik. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila
netrofil < 0,2 x 109 /L. 7

2.8 Tatalaksana
I. Anemia defisiensi besi
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui
faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian
dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab anemia defisiensi besi
dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat.
Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian
peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian secara
parenteral. Pemberian parenteral dilakukan, pada pendeita yang tidak

29
dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak terpenuhi secara
peroral karena ada gangguan pencernaan. Cara pemberian preparat besi :
a) Preparat besi peroral :
Dosis besi elemntal yang dianjurkan :
 Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan, dianjurkan 1
mg/KgBB/hari
 Bayi 1,5 – 2,0 Kg, 2mg/KgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
 Bayi 1,0 – 1,5 Kg, 3 mg/KgBB/hari diberikan sejak usia 2 minggu
 Bayi < 1 Kg, 4 mg/KgBB/hari, ddiberikan sejak usia 2 minggu.3
Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai 4
-6 mg/KgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi
yang ada dalam garam ferous maupun feri. Garam ferous sulfat
mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan
menimbulkan efek samping pada saluran cerna dan tidak memberikan
efek penyembuhan yang lebih cepat. Obat diberikan 2 – 3 dosis sehari.
Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia
pada penderita teratai. Respon terapi pemberian preparat besi dapat
dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium.7
Preparat yang tersedia, yaitu: ferrous sulphat ( sulfat ferosus) :
preparat pilihan pertama ( murah dan efektif). Dosis 3 x 200 mg.
Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous
succinate, harga lebih mahal, tetapi efektivas dan efek samping
bhampir sama.14
b) Preparat besi parenteral
Pemberian besi secara parenteral melalui dua cara yaitu secara
intramuskular dalam dan intravena pelan. Efek samping yang
ditimbulkan dapat berbahaya, yaitu reaksi anafilakksis, flebitis, sakit
kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop. Indikasi
pemberian parenteral: intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang,
kolitis ulseratif, perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi,
hamil trimester akhir). Kemampuan menaikkan kadar Hb tidak lebih

30
baik dibanding peroral. Preparat yang sering digunakan adalah
dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis
berdasarkan :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB(Kg) x 3
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric acid
complex.3

II. Anemia Penyakit Kronik


Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia penyakit
kronik berupa:
 Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh
dengan sendirinya.
 Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat, atau
vitamin B 12.
 Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan.
 Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan
hemoglobin, tetapi harus diberikan terus menerus.
Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi pemberian
preparat besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan
berhenti setelah hemoglobin mencapai kadar 9 – 10 g/dL.7

III. Anemia Sideroblastik


Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan anemia
sideroblastik adalah:
 Terapi untuk anemia sideroblastik herediter bersifat simtomatik
dengan transfusi darah
 Pemberian vitamin B 6 dapat dicoba karena sebagian kecil penderita
responsif terhadap peridoksin.
 Untuk bentuk didapat (RARS) pengobatannya dapat dilihat pada bab
sindroma mielodisplastik.3

31
IV. Anemia megaloblastik
Terapi subsitusi/supplement
 Penyebab anemia megaloblastik tersering pada anak adalah defisiensi
asam folat. Terapi dapat digunakan dengan pemberian asam folat.
 Asam folat, diberikan 5 mg/hari per oral selama 4 bulan atau
parenteral dan vitamin C 200 mg/hari.
 Vitamin B12 (bila pemberian terapi asam folat gagal) 15-30 µgi,
diberikan 3 -5 kali/minggu sampai Hb normal, ppada anak besar dapat
diberikan 100 µg. Bila perlu diteruskan pemberian vitamin B12 tiap
bulan.
 Pengobatan penyakit kausal/penyakit primer.
 Transfusi darah bila terdapat indikasi: gagal jantung yang
mengancam, menghadapi tindakan operatif  darah lengkap dosis
10-20 ml/KgBB/hari, PRC pada penderita tanpa perdarahan, whole
blood bila ada kehilangan volume darah, dosis disesuaikan banyaknya
darah yang hilang.
Respons terhadap terapi: retikulosit mulai naik hari 2 -3 dengan
puncak pada hari 7 – 8. Hb harus naik 2 – 3 g/dL tiap minggu.3

V. Anemia hemolitik
Tergantung etiologinya :
a) Anemia hemolitik autoimun :
 Glukokortikoid : prednison 40 mg/m2 luuas permukaan tubuh
(LPT)/hari.
 Splenektomi : pada kausa yang tidak berespon dengan pemberian
glukoortikoid.
 Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan
splenektomi. Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan,
kemudian tappering off, biasanya dikombinasi dengan Prednison

32
40 mg/m2 . dosis prednison diturunkan bertahap dalam waktu 3
bulan.
 Azatioprin : 80mg/m2/hari
 Siklofosfamid : 60 – 75 mg/m2/hari
 Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan.
 Stop obat-obatan yang diduga menjadi penyebab.6
b) Kelainan kongenital, misalnya thalasemia :
 Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr%
 Desferal untuk mencegah penumpukan besi. Diberikan bila serum
Feritin mencapai 1000 µg/dL biasanya setelah transfusi ke 12.
Dosis inisial 20 mg/KgBB, diberikan 8 – 12 jam infus SC di
idnding anterior abddomen, selama 5 hari/minggu. Diberkan
bersamaan dengan vitamin C oral 100 – 200 mg untuk
meningkatkan ekskresi Fe. Pada keadaan penumpukan Fe berat
terutama disertai dengan komplikasi jantung dan endokrin,
deferoxamine diberikan 50 mg/KgBB secara infuse kontinue IV.3

VI. Anemia aplastic


Secara garis besarnya terapi untuk anemia aplastik atas:
a) Terapi kausal
b) Terapi suportif, dengan menghindari kontak dengan penderita infeksi,
isolasi, menggunakan sabun antiseptik, sikat gigi lunak, obat peunak
buang ait besar, pencegahan menstruasi obat anovulator.
c) Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang : terapi untuk
merangsang pertumbuhan sumsum tulang, berupa :
 Anabolik steroid  dapat diberikan oksimetolon atau stanozol.
Oksimetolon diberikan dlam dosis 2 -3 mg/KgBB/hari. Efek terapi
tampak setelah 6 – 12 minggu.
 Rh GM-CSF (rekombinan Human Granulocyte-Macrophage
Colony Stimulating Factor) digunakan untuk meningkatkan jumlah

33
neutrofil, tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoietin juga
dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah
merah.
 Kortikosteroid : prednison 1 -2 mg/KgBB/hari diberikan
maksimum 3 bulan. Atau ada yang memberikan 60 – 100 mg/hari,
namun jika dalam 4 minggu tidak ada respons sebaiknya
dihentikan karena memberikan efek samping yang serius.4
d) Terapi definitif yang terdiri atas :
 ATG (anti Thymocyte Globulin).
Dosis 10 – 20 mg /KgBB/hari, diberikan selama 4 – 6 jam
dalam larutan NaCl dengan filter selama 8 – 14 hari. Untuk
mencegah serum sickness, diberikkan Prednison 40mg/m2/hari
selama 2 minggu, kemudian dilakukan tappering off.
 Cyclosporin A.
Dosis 3 – 7 mg/KgBB/hari dalam 2 dosis, penyesuaian
dosis dilakukan setiap mingggu untuk mempertahankan kadar
dalam darah 400-800 mg/ml. pengobatan diberikan miimal selama
3 bulan, bila ada respon, diteruskan sampai respon maksimal,
kemudian dosis diturunkan dalam beberapa bulan.
 Kombinasi ATG dan Cyclosporin A.
 Transplantasi sumsum tulang.
Terapi ini memberikan harapan kesembuhan, tetapi
biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan canggih, serta
adanya kesulitan dalam mencari donor yang kompatibel.
Transplantasi sumsum tulang, yaitu: merupakan pilihan untuk
kasus berumur di bawah 40 tahun, diberikan siklosporin A untuk
mengatasi GvHD (graft versus host disease), memberikan
kesembuhan jangka panjang pada 60 – 70% kasus, dengan
kesembuhan komplit. 11
e) Transfusi : diberikan PRC jika Hb < 7 g/dL atau ada tanda payah
jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai 9 – 10 g

34
%, tidak perlu sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoesis
internal.
f) Trombosit : profilaksis untuk penderita dengan trombosit < 10.000–
20.000/mm3. Bila terdapat infeksi, perdarahan, atau demam, maka
diperlukan transfusi pada kadar trombosit yang lebih tinggi.
g) Granulosit : tidak bermanfaat sebagai profilaksis. Dapat dipertim-
bangkan pemberian 1 x 1010 neutrofil selama 4 – 7 hari pada infeksi
yang tidak berespon dengan pemberian antibiotik. 12

2.9 Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi
saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang
adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan
pemberian preparat besi. Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu
dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut : 7
 Diagnosis salah
 Dosis obat tidak adekuat
 Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
 Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlangsung menetap
 Penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi
Pada anemia aplastik, prognosis tergantung pada tingkatan hipoplasia,
makin berat prognosis semakin jelek, pada umumnya penderita meninggal
karena infeksi, perdaraham atau akibat dari komplikasi transfusi. Prognosa
dari anemia aplastik akan menjadi buruk bila ditemukan 2 dari 3 kriteria
berupa jumlah neutrofil <500/µL, jumlah platelet <20000/µL, andcorrected
reticulocyte count <1% ( atau absolute reticulocyte count < 60000/µL).
Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama 4 bulan,
25% selama 4 – 12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun, 10-20% mengalami
perbaikan spontan (parsial/komplit).7

35
BAB III
KESIMPULAN

1. Anemia diartikan sebagai penurunan jumlah eritrosit sehingga eritrosit tidak


dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan.
2. Anemia memiliki berbagai macam klasifikasi yang dapat dibagi berdasarkan
morfologi dan etiologinya.
3. Diagnosis anemia dapat ditegakkan melalui anamesis serta pemeriksaan fisik
dimana pada pemeriksaan fisik ditandai dengan, pucat, ikterus, peteki,
Perubahan suhu, pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran limpa
takikardi dan hipotensi.
4. Terapi anemia berbeda-beda tergantung dari morfologi sel dan etilogi
terjadinya.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Iron Deficiency Anaemia : Assessment,


Prevention, and Control. Switzerland : WHO, 2011.
2. Benoist B, dkk. Worldwide Prevalence of Anaemia 2003-2015.
Switzerland : WHO, 2018.
3. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Jakarta :
FKUI, 2009.
4. Price Sylvia A, dkk. Patofisiologi, edisi 6. Jakarta : EGC, 2015.
5. Sherwood L, dkk. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi 7. Jakarta :
EGC, 2014.
6. Despopoulos A, dkk. Color Atlas of Physiology, edisi 7. USA : Thieme,
2013.
7. Adamson WJ, dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine, edisi 16.
NewYork : McGraw Hill, 2005.
8. Haider BA, Olofin I, Wang M, et al. 2013. Anaemia, prenatal iron use, and
risk of adverse pregnancy outcomes: systematic review and meta-analysis.
BMJ 346: f3443. [PubMed: 23794316]
9. Rasmussen K 2019. Is there a causal relationship between iron deficiency
or iron-deficiency anemia and weight at birth, length of gestation and
perinatal mortality?. J. Nutr 131: 590S–603S. [PubMed: 11160592]
10. World Health Organization. 2011. Haemoglobin concentrations for the
diagnosis of anaemia and assessment of severity. Accessed August 4, 2017
http://www.who.int/vmnis/indicators/ haemoglobin.pdf.
11. Kassebaum NJ, Jasrasaria R, Naghavi M, et al. 2014. A systematic analysis
of global anemia burden from 1990 to 2010. Blood 123: 615–624.
[PubMed: 24297872].
12. Black RE, Victora CG, Walker SP, et al. 2018. Maternal and child
undernutrition and overweight in low-income and middle-income countries.

37
Lancet 382: 427–451. [PubMed: 23746772] Chaparro and Suchdev Page 15
Ann N Y Acad Sci. Author manuscript; available in PMC 2019 August 16.
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author
Manuscript
13. Scott SP, Chen-Edinboro LP, Caulfield LE, et al. 2014. The impact of
anemia on child mortality: an updated review. Nutrients 6: 5915–5932.
[PubMed: 25533005]
14. Haas JD & Brownlie T. 2019. Iron deficiency and reduced work capacity: a
critical review of the research to determine a causal relationship. J. Nutr
131: 676S–688S; discussion 688S–690S. [PubMed: 11160598]

38

Anda mungkin juga menyukai