Disusun Oleh:
Dewi Anggraeni A.R
15 19 777 14 353
Pembimbing :
dr. Muhammad Rizal, Sp.An, M.Kes
Bagian Anestesiologi
RSU Torabelo Kab. Sigi
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat
Pembimbing Mahasiswa
Istilah anestesi artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai
hilangnya kesadaran1. Spinal anestesi telah digunakan secara luas dan aman selama
kurang lebih 100 tahun, terutama untuk operasi-operasi pada daerah abdomen bawah,
perineum dan ekstremitas bawah. Anestesi regional secara intratekal ini merupakan
suatu alternatif yang dapat diberikan untuk analgesia selama tindakan operasi dan
untuk memberikan analgesia pada periode dini pasca operasi.1
Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk menghilangkan
sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik sehingga
mengakibatkan paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan dermatom yang
diblok. Disamping itu juga memblok saraf otonom dan yang lebih dominan memblok
saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan tekanan darah4. Hipotensi
adalah efek samping yang paling sering terjadi pada anestesi spinal, dengan insidensi
38% dengan penyebab utama adalah blokade saraf simpatis.2
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis.
Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang
berada di perut kanan bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali
menimbulkan masalah bagi kesehatan. Peradangan akut Appendix atau Appendicitis
acuta menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan
tindakan bedah.3
Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering
ditemukan. Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak
umum pada anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan Appendicitis acuta
mengalami perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan
peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik, appendicitis
pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki angka
morbiditas yang signifikan.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke
dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.1
Tabel.1. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal.
Potensi dan lama kerja anestesi lokal berhubungan dengan sifat individual zat
anestesi lokal dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemiknya, sehingga semakin
tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama kerja anestesi
lokal tersebut7.
Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi
dan dosis. Potensi yang kuat berhubungan dengan tingginya kelarutan dalam lemak,
karena hal ini akan memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat anestesi lokal
mencapai membran sel. Terjadinya vasokontriksi akan menghambat serta
memperpanjang efek, sedangkan vasodilatasi akan meningkatkan pengambilan
(uptake) obat dari jaringan7.
Serabut-serabut preganglionik B bermielin dengan daya hantar cepat (faster
conducting) 3 kali lebih sensitif dibandingkan dengan serabut postganglionyc C yang
tak bermielin dengan daya hantar lambat (slowerconducting). Pada percobaan
laboratorium dan klinik didapatkan bahwa semua preganglionyc sensitif terhadap
pengaruh obat anestesi lokal. Serabut jenis ini banyak terdapat pada rami
communicantes alba pada rantai saraf simpatis. Efek yang terjadi adalah hipotensi.
Hal ini sering didapatkan atau merupakan efek samping anestesi regional. Glissen dan
kawan-kawan, menemukan bahwa serabut A lebih sensitif daripada serabut B dan C.
Rosenberg dan kawan-kawan, justru mendapatkan bukti bahwa hampir seluruh
serabut-serabut saraf itu (A, B dan C) mempunyai resistensi yang sama besar. Data
dari percobaan laboratorium pada suhu kamar seperti yang dilakukan Glissen
tergantung pada perubahan temperatur dan serabut bermielin memberikan reaksi
terhadap pendinginan dimana serabut A resisten terhadap obat anestesi lokal, hal ini
terjadi karena serabut A-delta yang mengatur sensasi nyeri dan suhu lebih sensitif
dibanding serabut C yang juga mengatur rasa nyeri meskipun ia mempunyai daya
hantar yang lebih cepat. Nyeri patologis (dihantarkan oleh serabut C) seperti yang
terjadi pada robeknya rahim (ruptur uteri) atau plasenta, dapat dihambat dengan
melakukan blok epidural pada penanggulangan nyeri persalinan7.
Sensitivitas serabut Aδ yang lebih besar dari pada serabut C mungkin
menerangkan fenomena ini. Serabut-serabut sensorik Aa meskipun kecepatan
hantaran kedua jenis serabut ini sama. Mungkin hal ini terjadi karena serabut sensorik
menghantarkan impuls pada frekwensi yang lebih tinggi. Semua zat anestesi spinal
memblokade bagian sensorik lebih cepat daripada motorik dan menunjukkan
selektivitas yang sama terhadap berbagai serabut saraf yang berbeda. Sensitivitas
relatif dan jenis serabut yang berbeda tergantung dari penempatannya pada berkas
saraf (nerve bundle). Kesimpulannya, tingkat sensitivitas terhadap blokade adalah
sebagai berikut (dimulai dari yang paling sensitif) : preganglionik, nyeri dan suhu
sentuh, propioseptik dan serabut motorik. Tampak bahwa serabut motorik adalah
yang paling sukar di blockade / dihambat7.
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang sangat aman khususnya
dalam meminimalkan pengaruh respirasi (pernafasan), meskipun hipoksemia dapat
juga terjadi selama anestesi spinal. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian
hipoksemia ini antara lain: umur, berat badan, tingkat blok dan tipe pembedahan
dipercaya dalam patogenesis desaturasi oksigen, body massa index (BMI), tekanan
darah dan denyut jantung7.
Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah
subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai
lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi,
sedangkan saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral
2 (S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak8.
g. Kontraindikasi
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan,
hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan
tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri. Sedangkan
kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya, infeksi
ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak diketahui.
Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan tanda-tanda vital
stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal, ahli
anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda infeksi,
yang dapat meningkatkan risiko meningitis10.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat meningkatkan
risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui jarum, jika tekanan
intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal, herniasi otak dapat terjadi10.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan hematoma, hal
ini sangat penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan operasi sebelum menginduksi anestesi spinal. Jika durasi operasi tidak
diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup panjang untuk
menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli anestesi
menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi spinal seperti
epinefrin, dan apakah kateter spinal akan diperlukan10.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang
sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis,
seperti multiple sclerosis, masih kontroversial karena dalam percobaan in vitro
didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap toksisitas obat bius
lokal10.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan
pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati dalam perawatan anestesi mereka
deformitas dari kolomna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam menempatkan
anesetesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal sebelumnya semua
faktor dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa anestesi spinal. Hal ini
penting untuk memeriksa kembali pasien untuk menentukan kelainan apapun pada
anatomi sebelum mencoba anestesi spinal10.
Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
1. Pasien menolak 1. Infeksi sistemik (sepsis,
bakteremia)
2. Infeksi pada tempat suntikan
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Hipovolemia berat
3. Kelainan neurologis
4. Koagulopati atau mendapat
4. Kelainan psikis
terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meninggi 5. Bedah lama
6. Fasilitas resusitasi minim 6. Penyakit jantung
7. Kurang pengalaman atau /
7. Hipovolemia ringan
tanpa didampingi konsultan
anestesi 8. Nyeri punggung kronis
g. Komplikasi
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi
lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal10.
Komplikasi sirkulasi10:
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi.
Biasanya terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan
darah perlu diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan
darah perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah
sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala
penurunan tekanan darah, maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari
cedera pada ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi,
akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi10.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan
anestesi spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti
efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal total dengan
anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita harus
melakukan intubasi dan melakukan ventilasi paru, serta berikan penanganan
seperti pada hipotensi berat. Dengan cara ini, biasanya blok spinal total dapat
diatasi dalam 2 jam10.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan
atropin 0,5 mg intravena10.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi
spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan
memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring.
Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada
hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya
cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin
besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan
membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh menggunakan satu bantal)
selama 24 jam10.
Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976) dikelompokkan
menjadi 4 skala yakni:
1. Nyeri kepala ringan yang memungkinkan periode lama untuk duduk /
berdiri dan tanpa ada gejala tambahan lain.
2. Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada
pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di sertai
dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran dan penglihatan.
3. Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat tidur,
berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering disertai dengan
mual, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran.
4. Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita sedang
berbaring terlentang di tempat tidur dan bertambah makin berat bila duduk
atau berdiri, untuk makan tidak mungkin dilakukan karena mual dan
muntah.11
Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan PDPH,
baik invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim anestesi. Walaupun
tidak semuanya didukung oleh evidence based yang lengkap, tetapi
kebanyakan telah diterima dengan baik oleh berbagai kalangan anestesiolog.
Terapi non-invasif meliputi tirah baring, status hidrasi, posisi, ikatan
abdominal, analgesia, dan obat-obat farmakologis lain seperti kaffein
intravena, theophylline, dsb. Terapi invasif meliputi Epidural Blood Patch
dan Epidural Dextran.11
Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen
abdomen, pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien tetap
supine akan mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong cairan keluar
dari lubang dura dan meminimalkan nyeri kepala. Medikasi analgesia bisa
berkisar dari asetaminofen sampai NSAID. Hidrasi dan kaffein bekerja
menstimulasi produksi CSF. Kaffein membantu dengan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial. Salah satu yang menjadi faktor
penentu terjadinya PDPH adalah status hidrasi pasien, dimana konsep hidrasi
pada PDPH masih banyak salah dimengerti. Tujuan dari hidrasi adalah untuk
memastikan kecepatan produksi CSF optimal, dimanaselama 10 menit. Bila
terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka dinyatakan Tilt Test positif dan
pasien masih belum terhidrasi dengan cukup.11
Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif
terhadap PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous ke
ruang epidural pada, satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan
dura. Hal ini dipercaya akan menghentikan kebocoran yang terjadi pada CSF
oleh karena efek massa atau koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera atau
beberapa jam setelah tindakan ketika produksi CSF secara perlahan akan
meningkatkan tekanan intrakranial yang dibutuhkan. Sebanyak 90% pasien
akan memberikan respon terhadap tindakan blood patch ini11.
4. Komplikasi Respirasi
a) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
b) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
c) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
d) Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan pernafasan buatan10.
5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal
serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri
kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke
posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal, dengan
kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan
meningkat10.
B. APPENDISITIS
a. Definisi
Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum
dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix
terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya
Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih
medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus
mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Appendix
selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix
ditentukan oleh lokasi Caecum. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur.
Namun jarang pada anak kurang dari satu tahun. Rasio pria : wanita = 1,2-1,3 : 1. 1,2,3
1.) Obstruksi
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan
tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf
aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut
tengah atau di bawah epigastrium. 3
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan
bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi
tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular.
Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks
mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa
Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri
yang khas ke RLQ. 11
Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal.
Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri
jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang
normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika
pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding
lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada perubahan Appendicitis
acuta ke Appendicitis gangrenosa dan Appendicitis perforata. 11
Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis perforata dan
non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, seringkali
pasien telah mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan kemampuan
laboratorium untuk mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi.
Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai
akibat dari obat-obatan atau penyakit lain, dan pasien yang mengalami abscess
setelah terapi Appendicitis. Perlindungan antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus
Appendicitis non perforata. Pada Appendicitis perforata, antibiotik diberikan 7-10
hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam.
Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal dan transperitoneal
masih kontroversi. 11
c. Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak
pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada
beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi
Appendix.12,13
Anorexia 100
Mual 90
Muntah 75
Nyeri berpindah 50
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.12
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Nyeri lepas 1
Febris 1
Lab Leukositosis 2
Total poin 10
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan
bedah sebaiknya dilakukan.12
Gejala Appendicitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang
menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri lokal
pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis difus
biasanya bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien dapat
diobservasi dulu selama 6 jam. Pada penderita Appendicitis biasanya menunjukkan
peningkatan nyeri dan tanda inflamasi yang khas.12,13
Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat
inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik
Mc Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal
yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat
konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi
dibanding diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur
Appendix.12
Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu
tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga
Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi,
hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala
muntah, demam, dan nyeri.12
Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha kanan,
karena pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal tersebut
akan mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut berkurang. 13
Gambar 5. Posisi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri perut10)
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada
pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan
rectal toucher tidak diperlukan lagi.13
Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.
Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien
dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien
digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan
kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal
dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi
rigiditas abdomen.
Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan
pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam
posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di
hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya
perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh Appendicitis letak
retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.
Wahl’s sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan
perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada
auskultasi.
Baldwin’s test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat tungkai
kanannya ditekuk.
Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.
Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum
Douglasi atau Appendicitis letak pelvis.
Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral
Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)
d. Pemeriksaan Penunjang
1.) Laboratorium
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh hati
sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat antara
6-12 jam inflamasi jaringan. 14
2.) Ultrasonografi
1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis
dehidrasi atau septikemia.
f. Komplikasi
2. Hernia cicatricalis.
3. Ileus
1. Identitas Pasien
Nama : An. Salsa
Umur : 15 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 40 kg
Tinggi badan : 146 cm
Alamat : Jl. Sarikaya
Pekerjaan : Siswi
Agama : Islam
Diagnosa pra bedah : Susp. Appendisitis Akut
Jenis pembedahan : Appendectomy
Tanggal operasi : 07 Mei 2021
Jenis anestesi : Regional Anestesi Subarachnoid
Anestesiology : dr. Ajutor Donny Tandiarrang Sp.An
Ahli bedah : dr. Muh Ikhlas, Sp.B, M.Kes, FICS
A. S-O-A-P
1. Subjektif :
Keluhan Utama : Nyeri pada perut bawah
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien masuk Rumah Sakit dengan keluhan
nyeri pada perut tengah bawah yang dirasakan kurang lebih sejak 1 tahun
yang lalu, dan memberat 2 hari yang lalu. Nyeri bersifat hilang timbul,
keluhan diawali dengan demam (+) yang disertai muntah sebanyak 4x berisi
makanan. Keluhan penyerta : mual (+), sakit kepala (-), pusing (-). Pasien
juga mengeluh nyeri di daerah perut tengah bawah saat buang air kecil.
Belum BAB sejak 2 hari terakhir, BAK lancar.
Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat Penyakit Jantung (-)
- Riwayat Penyakit Hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes Melitus (-)
- Riwayat Penyakit Asma (-)
- Riwayat Alergi Obat (-)
- Riwayat Alergi Makanan (-)
- Riwayat Trauma atau Kecelakaan (-)
- Riwayat Merokok (-)
- Riwayat Kejang (-)
Riwayat Konsumsi Obat-obatan (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat Penyakit DM : tidak ada
- Riwayat Penyakit Alergi : tidak ada
- Riwayat Penyakit Asma : tidak ada
- Riwayat Penyakit Hipertensi : tidak ada
- Lain-lain : tidak ada
2. Objektif :
Pemeriksaan Fisik : (B1-B6)
B1 (Breath)
- Gigi Palsu (-) Gigi Goyang (-)
- Mallampati Score : 1
- Leher pendek (-)
- Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi (-)
- Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri
- Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi : Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
- RR : 20 x/menit.
B2 (Blood)
- Akral : hangat
- Konjungtiva : anemis -/-
- Tekanan darah : 100/60 mmHg
- Nadi : 72 x/menit, reguller, dan kuat angkat
B3 (Brain)
- Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5
- Reflex cahaya (+/+)
- Suhu : 36,7 ˚C
- VAS :2
B4 (Bladder)
- BAK lancar seperti biasanya, berwarna kuning tua, nyeri berkemih (-)
B5 (Bowel)
- Inspeksi : Tampak perut datar, tidak terdapat jejas
- Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal, bising usus (-)
- Perkusi : Bunyi timpani
- Palpasi : Nyeri tekan(+), Massa (-)
- Rovsign (+), Psoas sign (+)
- Pasien BAB seperti biasanya
B6 (Back & Bone)
- Fraktur (-)
- Dislokasi (-)
- Pergerakan terbatas (-/-)
- Edema extremitas (-/-)
Pemeriksaan Penunjang
3. Assesment
Status fisik ASA ps kelas I
Rencana anestesi : Regional anestesi
Diagnosis pra-bedah : Susp. Appendisiti akut
4. Plan
Jenis anestesi : Regional Anestesi
Teknik anestesi : Spinal anestesi block
Regimen : Bupivacain 0,5% 10 mg + Fentanyl 25 mcg
Jenis pembedahan : Appendectomy
Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
T Tubes
dan usia > 5 tahun dengan balon (cuffed)
8. Laporan Anestesi
a) Diagnosis pra-bedah : Susp Appendisitis Akut
b) Diagnosis post-bedah : Appendisitis phlegmon
c) Jenis pembedahan : Appendectomy
d) Anestesiologi : dr. Ajutor Donny Tandiarrang Sp.An
e) Ahli Bedah : dr. Muh Ikhlas, M.Kes, Sp.B
f) Persiapan anestesi : Informed consent
g) Jenis anestesi : Anestersi Regional
h) Teknik anestesi : Spinal Arachnoid Blok
i) Premedikasi anestesi : Ondansentron 4 mg
j) Induksi : Bupivacaine 0,5 % 10 mg dan fentanil 25 mcg
k) Maintenance : O2 2 lpm, midazolam 2 mg, dexamethasone 10 mg,
asam traneksamat 500 mg, ibuprofen 250 mg, efedrin 5 mg
l) Posisi : Lateral Dekubitus
m) Anestesi mulai : 13.45 WITA
n) Operasi mulai : 13.55 WITA
o) Selesai operasi : 15.30 WITA
p) Selesai Anestesi : 15.35 WITA
q) Lama Operasi : 1 jam 35 menit
r) Lama anastesi : 1 jam 50 menit
s) Cairan yang masuk durante operasi : Ringer Lactat 550 ml, NaCl 0,9 % 100
ml, Asering 500 cc
t) Perdarahan : 300 cc
Lampiran Monitoring Tindakan Operasi :
Jam Tindakan Tekanan Nadi Saturasi
Darah (x/menit) Oksigen
(mmHg) (%)
13.40 Pasien masuk ke kamar 122/83 78 100
operasi, dan dipindahkan ke
meja operasi
Pemasangan monitoring
tekanan darah, nadi,
saturasi O2
9. Post Operatif :
Pemantauan di Recovery Room
Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik. Pada pasien tekanan darah 99/51 mmhg,
nadi 85 x/menit, dan laju respirasi 21x/menit, saturasi oksigen 100 %. Bromage Score
(Spinal Anestesi) Skor ≤ 2 boleh pindah ruangan. Pada pasien didapatkan skor 0.
No Kriteria Skala Skor
Dapat mengangkat tungkai bawah 0 0
Instruksi di ruangan :
a. Awasi tanda vital
b. Bila kesakitan beri analgetik : Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam / IV
c. Bila mual atau muntah : Inj. Ondansetron 4 mg / 8 jam / IV
d. Program cairan : Infus RL 20 tetes/menit
e. Antibiotik dan obat-obatan lainnya sesuai instruksi dokter bedah.
f. Mual (-), muntah (-), kaki bisa bergerak bisa minum sedikit-sedikit.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien perempuan usia 15 tahun dengan diagnosis Susp
Appendisitis Akut dilakukan operasi Appendectomy. Tindakan yang digunakan
pada operasi ini yaitu, anestesi regional menggunakan spinal subarachnoid.
Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid .
Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk bedah ekstremitas inferior, bedah
panggul, tindakan sekitar rektum dan perineum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah
urologi, bedah abdomen bawah dan operasi ortopedi ekstremitas inferior.
Sebelum dilakukan tindakan operasi, dilakukan evaluasi pra-anestesia yang
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan
status fisik ASA dan risiko operasi. Pada pasien ini termasuk ASA I karena
pasien memiliki indikasi operasi karena appendisitis yang memerlukan tindakan
pembedahan.
American Society of Anestesiology (ASA) 2020 membuat klasifikasi status
fisik pra-anestesi menjadi 6 kelas yaitu :7
Contoh Dewasa, Contoh Anak,
Contoh Kehamilan,
Klasifikasi Termasuk, tapi Termasuk, tapi
Definisi Termasuk, tapi tidak
ASA tidak terbatas tidak terbatas
terbatas pada:
pada: pada:
ASA I Pasien sehat Sehat, tidak Sehat (tidak ada
yang normal merokok, tidak/atau penyakit akut atau
penggunaan alcohol kronis),
yang minimal BMI normal
persentil untuk
usia
ASA II Pasien Hanya Penyakit Penyakit jantung Kehamilan normal *,
dengan ringan tanpa batasan bawaan HTN kehamilan yang
Penyakit substantif asimptomatik, terkontrol, anemia
sistemik fungsional. disritmia yang preeklamsia terkontrol
yang ringan perokok, sosial terkontrol dengan tanpa gambaran yang
peminum alkohol, baik, parah,
kehamilan, obesitas asma tanpa Diet DM Gestasional
(30 <BMI <40), eksaserbasi, yang terkontrol.
DM / HTN epilepsi yang
terkontrol dengan terkontrol dengan
baik, penyakit paru- baik, noninsulin
paru yang ringan diabetes
mellitus, BMI
abnormal
persentil untuk
usia, OSA ringan /
sedang, status
onkologis dalam
remisi, autisme
dengan
keterbatasan
ringan
ASA III Pasien Batasan fungsional Kelainan jantung Preeklamsia dengan
dengan yang substansial; kongenital stabil gambaran berat, DM
Penyakit Satu atau lebih yang tidak gestasional dengan
sistemik penyakit sedang terkoreksi, asma komplikasi atau
yang berat hingga berat. DM dengan kebutuhan insulin yang
atau HTN yang eksaserbasi, tinggi, penyakit
tidak terkontrol, epilepsi yang tidak trombofilik yang
COPD, obesitas terkontrol, membutuhkan
morbiditas (BMI diabetes mellitus antikoagulasi.
≥40), hepatitis aktif, yang tergantung
ketergantungan atau insulin, obesitas
penyalahgunaan morbid,
alkohol, alat pacu malnutrisi, OSA
jantung implan, berat, status
pengurangan fraksi onkologis, gagal
ejeksi sedang, ginjal, distrofi
ESRD yang otot, fibrosis
menjalani dialisis kistik, riwayat
terjadwal secara transplantasi
teratur, riwayat IM, organ, malformasi
CVA (> 3 bulan), otak / sumsum
TIA, atau CAD / tulang belakang,
stent. hidrosefalus
simptomatik, PCA
bayi prematur <60
minggu, autisme
dengan
keterbatasan berat,
penyakit
metabolik,
kesulitan jalan
napas, penggunaan
nutrisi parenteral
jangka panjang.
Bayi cukup bulan
usia <6 minggu.
ASA IV Seorang MI, CVA, TIA atau Kelainan jantung Preeklamsia dengan
pasien CAD / stent terkini kongenital gambaran yang berat
dengan (<3 bulan), iskemia yangbergejala, dipersulit oleh
penyakit jantung yang sedang gagal jantung penyakit HELLP atau
sistemik berlangsung atau kongestif, gejala efek samping lainnya,
berat yang disfungsi katup sisa prematuritas kardiomiopati
merupakan yang parah, aktif, ensefalopati peripartum dengan EF
ancaman pengurangan fraksi hipoksia-iskemik <40, penyakit jantung
seumur hidup ejeksi yang berat, akut, syok, sepsis, tidak terkoreksi /
syok, sepsis, DIC, koagulasi dekompensasi, didapat
ISPA atau ESRD intravaskular atau bawaan.
yang tidak diseminata,
menjalani dialisis defibrilator
terjadwal secara kardioverter
teratur implan otomatis,
ketergantungan
ventilator,
endokrinopati,
trauma berat,
gangguan
pernapasan berat,
keadaan onkologis
lanjut.
ASA V Seorang Aneurisma Trauma masif, Ruptur uteri
pasien yang abdomen / toraks perdarahan
sekarat atau yang pecah, trauma intrakranial
keadaan masif, perdarahan dengan efek
beratdan intrakranial dengan massa, pasien
diperkirakan efek massa, iskemik yang
tidak akan usus saat membutuhkan
selamat tanpa menghadapi ECMO, gagal atau
operasi kelainan jantung henti pernapasan,
yang signifikan atau hipertensi maligna,
disfungsi multi gagal jantung
organ / sistem kongestif /
dekompensasi,
ensefalopati
hepatik, iskemik
usus ataudisfungsi
multi organ /
sistem.
ASA VI Seorang pasien yang terkonfirmasi mengalami kematian batang otak yang
organnya akan diambil untuk tujuan donor
** Penambahan "E" menunjukkan operasi Darurat : (Keadaan darurat didefinisikan
sebagai tanda jika terjadi penundaan dalam perawatan pasien akan menyebabkan
peningkatan yang signifikan dalam ancaman terhadap nyawa atau bagian tubuh).
Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan
mendesak NE keluar. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi
berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya
tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini
sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang
meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung
mungkin tidak berubah akibat refleks kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan
darah.
Pada pasien ini, saat operasi berjalan pasien diberikan cairan ringer laktat
550cc, Asering 500cc dan NaCl 0,9% 100cc Total pemberian cairan 1150 cc.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka Estimasi Blood Volume (EBV) 3200 cc.
Pendarahan selama operasi 300 cc.
Operasi berlangsung selama 1 jam 50 menit. Pasien kemudian dipindahkan ke
ruang pemulihan (Recovery Room) dilakukan pemantauan di ruang recovery room..
Saat di evaluasi selama 2 jam di dapatkan tekanan darah 99/51, nadi 85 kali
permenit, pernafasan 21x permenit, Bromage Score nilainya 0 sehingga pasien
dapat di pindahkan ke ruangan. Untuk penilaian Bromage Score, nilai 0 pasien
dapat melakukan gerakan penuh pada tungkai bawah, nilai 1 pasien tidak dapat
menekuk lutut tetapi dalam mengangkat kaki, nilai 2 pasien tidak dapat mengangkat
tungkai bawah tetapi masih dapat menekuk lutut, dan pada nilai 3 pasien tidak dapat
mengangkat kaki sama sekali. Pasien dapat di pindahkn ke ruangan jika score kurang
dari 2.
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Surjadi K, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 1. FKUI.
Jakarta. 2014. Hal 124-127.
2. Bridenbaugh PO, Greene NM, Brull SJ. Spinal (Subarachnoid) Neural Blockade.
In : Cousins MJ, Bridenbaugh PO eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and
Management of Pain. Third Edition. Philadelphia : Lippincott-Raven. 2015. Pages
203-209
3. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2004: 1381-93
4. Snell R, Liliana S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC.
Jakarta. 2016.
5. Mansjoer, Arif, dkk. Anestesi Spinal dalam Buku Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi 3. Aesculapius. Jakarta. 2010. Hal 261-264.
6. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Sjabana D, Isbandiati
E, Basori A. Edisi 8. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2020. Hal 170-171.
7. The New York School of Regional Anesthesia. Spinal Anesthesia. 2019.
Available in Website : www.nysora.com.
8. Tuominen, M. Bupivacaine Spinal Anesthesia. Acta Anesthesiology Scand. Vol
35:1-10.
9. Veering, B. Local Anesthesics. In Regional Anaesthesia and Analgesia.
Philadelphia. WB Saunders company. 2017. Pages 188-197.
10. Stamtiou, G. The Effect of Hyperbaric Versus Isobaric Spinal Bupivacaine on
Sensory and Motor Blockade Post Operative Pain and Analgesic Requiretments
for Turp. Anesthesiology : 43-6
11. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL,
Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34
12. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition.
Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72
13. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222
14. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of
Family Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at October
20th 2011.