Anda di halaman 1dari 63

BAGIAN ANESTESIOLOGI REFLEKSI KASUS

RSU ANUTAPURA PALU Mei 2021


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT

“Manajemen Anestesi Pada Pasien Appendisitis


Menggunakan Teknik Spinal Anestesi Blok (SAB)”

Disusun Oleh:
Dewi Anggraeni A.R
15 19 777 14 353

Pembimbing :
dr. Muhammad Rizal, Sp.An, M.Kes

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Dewi Anggraeni A.R


No. Stambuk : 15 19 777 14 353
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Alkhairaat Palu
Judul REFKA : Manajemen Anastesi Pada Pasien Appendisitis Menggunakan
Teknik Spinal Anestesi Blok (SAB)”

Bagian Anestesiologi
RSU Torabelo Kab. Sigi
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, Mei 2021

Pembimbing Mahasiswa

dr. Muhammad Rizal, Sp. An, M.Kes Dewi Anggraeni A.R


BAB I
PENDAHULUAN

Istilah anestesi artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai
hilangnya kesadaran1. Spinal anestesi telah digunakan secara luas dan aman selama
kurang lebih 100 tahun, terutama untuk operasi-operasi pada daerah abdomen bawah,
perineum dan ekstremitas bawah. Anestesi regional secara intratekal ini merupakan
suatu alternatif yang dapat diberikan untuk analgesia selama tindakan operasi dan
untuk memberikan analgesia pada periode dini pasca operasi.1
Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk menghilangkan
sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik sehingga
mengakibatkan paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan dermatom yang
diblok. Disamping itu juga memblok saraf otonom dan yang lebih dominan memblok
saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan tekanan darah4. Hipotensi
adalah efek samping yang paling sering terjadi pada anestesi spinal, dengan insidensi
38% dengan penyebab utama adalah blokade saraf simpatis.2
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis.
Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang
berada di perut kanan bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali
menimbulkan masalah bagi kesehatan. Peradangan akut Appendix atau Appendicitis
acuta menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan
tindakan bedah.3
Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering
ditemukan. Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak
umum pada anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan Appendicitis acuta
mengalami perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan
peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik, appendicitis
pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki angka
morbiditas yang signifikan.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI SPINAL (SUBARAKNOID)

a. Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke
dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.1

b. Anatomi Kolumna Vertebralis


Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis adalah salah satu
faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan tentang
penyebaran analgetika lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia
diperlukan untuk menjaga keamanan/keselamatan tindakan anestesi spinal.2

Gambar 1 Anatomi Kolumna Vertebralis


Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis: 7 servikal, 12 torakal, 5
lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai 4 lekukan, yaitu
lordosis servikalis, kifosis torakalis, lordosis lumbalis dan kifosis sakralis.3
Lekukan kolumna vertebralis berpengaruh terhadap penyebaran obat
analgetika lokal dalam ruang subarakhnoid. Pada posisi terlentang titik tertinggi pada
vertebra lumbal 3 dan terendah pada torakal 5.3
Segmen medula spinal terdiri dari 31 segmen: 8 segmen servikal, 12 torakal, 5
lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya kelompok-
kelompok saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah torakal
lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran
yang berhubungan dengan saraf servikal atas dan bawah. Pelebaran servikal
merupakan asal serabut-serabut saraf dalam pleksus brakhialis. Pelebaran lumbal
sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus lumbosakralis. Hubungan antara
segmen-segmen medula spinalis dan korpus vertebralis serta tulang belakang penting
artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi lesi pada medula spinalis dan juga
untuk mencapainya pada pembedahan.2,3
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang sub arakhnoid dari luar
yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater.
Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai
medula spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat
ruang yang disebut ruang sub arakhnoid.3
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2,
sehingga di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub
arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi
cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal
dari medula spinalis. Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada sisi vertebra
lumbal 2. Dengan fleksi tulang belakang medula spinalis berakhir pada sisi bawah
vertebra lumbal2,3.
c. Mekanisme Kerja Anestesi Regional
Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana tempat
kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah meradang tidak
akan memberi hasil yang memuaskan oleh karena meningkatnya keasaman jaringan
yang mengalami peradangan sehingga akan menurunkan aktifitas dari zat anestesi
lokal (pH nanah sekitar 5)4. Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi
impuls saraf, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui,
potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat (sekilas) pada
permeabilitas membran terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada membran.
Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka
terhadap perubahan voltase muatan listrik (voltase sensitive Na+ channels). Dengan
bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang rangsang membran
akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun,
konduksi impuls melambat dan faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf juga
berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan kemungkinan
menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi
saraf4,5.
Ada kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan tegangan permukaan
lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan saluran
(channel) pada membran tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift) melalui membran
akan terhambat. Zat anestesi lokal akan menghambat perpindahan natrium dengan
aksi ganda pada membran sel berupa6 :
1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.
Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat
keluar masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek blok.
Percobaan dari Hille menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi
lokal terletak di dalam saluran natrium.
2. Ekspansi membran.
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan
reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat
non-polar lemak, misalnya barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus dapat
menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan untuk
melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang bergabung dengan
reseptor di membran sel yang mencegah timbulnya potensial aksi. Agar dapat
melakukan aksinya, obat anestesi spinal pertama sekali harus menembus jaringan
sekitarnya4.

Tabel.1. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal.

Potensi dan lama kerja anestesi lokal berhubungan dengan sifat individual zat
anestesi lokal dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemiknya, sehingga semakin
tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama kerja anestesi
lokal tersebut7.
Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi
dan dosis. Potensi yang kuat berhubungan dengan tingginya kelarutan dalam lemak,
karena hal ini akan memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat anestesi lokal
mencapai membran sel. Terjadinya vasokontriksi akan menghambat serta
memperpanjang efek, sedangkan vasodilatasi akan meningkatkan pengambilan
(uptake) obat dari jaringan7.
Serabut-serabut preganglionik B bermielin dengan daya hantar cepat (faster
conducting) 3 kali lebih sensitif dibandingkan dengan serabut postganglionyc C yang
tak bermielin dengan daya hantar lambat (slowerconducting). Pada percobaan
laboratorium dan klinik didapatkan bahwa semua preganglionyc sensitif terhadap
pengaruh obat anestesi lokal. Serabut jenis ini banyak terdapat pada rami
communicantes alba pada rantai saraf simpatis. Efek yang terjadi adalah hipotensi.
Hal ini sering didapatkan atau merupakan efek samping anestesi regional. Glissen dan
kawan-kawan, menemukan bahwa serabut A lebih sensitif daripada serabut B dan C.
Rosenberg dan kawan-kawan, justru mendapatkan bukti bahwa hampir seluruh
serabut-serabut saraf itu (A, B dan C) mempunyai resistensi yang sama besar. Data
dari percobaan laboratorium pada suhu kamar seperti yang dilakukan Glissen
tergantung pada perubahan temperatur dan serabut bermielin memberikan reaksi
terhadap pendinginan dimana serabut A resisten terhadap obat anestesi lokal, hal ini
terjadi karena serabut A-delta yang mengatur sensasi nyeri dan suhu lebih sensitif
dibanding serabut C yang juga mengatur rasa nyeri meskipun ia mempunyai daya
hantar yang lebih cepat. Nyeri patologis (dihantarkan oleh serabut C) seperti yang
terjadi pada robeknya rahim (ruptur uteri) atau plasenta, dapat dihambat dengan
melakukan blok epidural pada penanggulangan nyeri persalinan7.
Sensitivitas serabut Aδ yang lebih besar dari pada serabut C mungkin
menerangkan fenomena ini. Serabut-serabut sensorik Aa meskipun kecepatan
hantaran kedua jenis serabut ini sama. Mungkin hal ini terjadi karena serabut sensorik
menghantarkan impuls pada frekwensi yang lebih tinggi. Semua zat anestesi spinal
memblokade bagian sensorik lebih cepat daripada motorik dan menunjukkan
selektivitas yang sama terhadap berbagai serabut saraf yang berbeda. Sensitivitas
relatif dan jenis serabut yang berbeda tergantung dari penempatannya pada berkas
saraf (nerve bundle). Kesimpulannya, tingkat sensitivitas terhadap blokade adalah
sebagai berikut (dimulai dari yang paling sensitif) : preganglionik, nyeri dan suhu
sentuh, propioseptik dan serabut motorik. Tampak bahwa serabut motorik adalah
yang paling sukar di blockade / dihambat7.
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang sangat aman khususnya
dalam meminimalkan pengaruh respirasi (pernafasan), meskipun hipoksemia dapat
juga terjadi selama anestesi spinal. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian
hipoksemia ini antara lain: umur, berat badan, tingkat blok dan tipe pembedahan
dipercaya dalam patogenesis desaturasi oksigen, body massa index (BMI), tekanan
darah dan denyut jantung7.
Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah
subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai
lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi,
sedangkan saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral
2 (S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak8.

Gambar 2. Anestesi Spinal


d. Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan anestesi spinal
(informed concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin
terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk
menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya
scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah
penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT)
dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah4.
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan
perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum,
dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal
memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G
sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain,
lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat
dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar
dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke
atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan. Pada suhu 37ºC cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,0084.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan duk
steril juga harus disiapkan. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya
runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis
yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena
jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal4.

e. Teknik Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal adalah
sebagai berikut9 :
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala,selain enak untuk pasienjuga supaya tulang belakang stabil.
Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba.
Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan
pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-
3ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa ± 6cm.

f. Indikasi Anestesi Spinal


Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk
pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila
mammae ke bawah)8. Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki9.

g. Kontraindikasi
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan,
hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan
tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri. Sedangkan
kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya, infeksi
ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak diketahui.
Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan tanda-tanda vital
stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal, ahli
anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda infeksi,
yang dapat meningkatkan risiko meningitis10.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat meningkatkan
risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui jarum, jika tekanan
intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal, herniasi otak dapat terjadi10.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan hematoma, hal
ini sangat penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan operasi sebelum menginduksi anestesi spinal. Jika durasi operasi tidak
diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup panjang untuk
menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli anestesi
menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi spinal seperti
epinefrin, dan apakah kateter spinal akan diperlukan10.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang
sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis,
seperti multiple sclerosis, masih kontroversial karena dalam percobaan in vitro
didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap toksisitas obat bius
lokal10.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan
pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati dalam perawatan anestesi mereka
deformitas dari kolomna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam menempatkan
anesetesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal sebelumnya semua
faktor dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa anestesi spinal. Hal ini
penting untuk memeriksa kembali pasien untuk menentukan kelainan apapun pada
anatomi sebelum mencoba anestesi spinal10.
Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
1. Pasien menolak 1. Infeksi sistemik (sepsis,
bakteremia)
2. Infeksi pada tempat suntikan
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Hipovolemia berat
3. Kelainan neurologis
4. Koagulopati atau mendapat
4. Kelainan psikis
terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meninggi 5. Bedah lama
6. Fasilitas resusitasi minim 6. Penyakit jantung
7. Kurang pengalaman atau /
7. Hipovolemia ringan
tanpa didampingi konsultan
anestesi 8. Nyeri punggung kronis

g. Komplikasi
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi
lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal10.
Komplikasi sirkulasi10:
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi.
Biasanya terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan
darah perlu diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan
darah perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah
sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala
penurunan tekanan darah, maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari
cedera pada ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi,
akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi10.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan
anestesi spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti
efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal total dengan
anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita harus
melakukan intubasi dan melakukan ventilasi paru, serta berikan penanganan
seperti pada hipotensi berat. Dengan cara ini, biasanya blok spinal total dapat
diatasi dalam 2 jam10.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan
atropin 0,5 mg intravena10.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi
spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan
memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring.
Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada
hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya
cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin
besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan
membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh menggunakan satu bantal)
selama 24 jam10.
Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976) dikelompokkan
menjadi 4 skala yakni:
1. Nyeri kepala ringan yang memungkinkan periode lama untuk duduk /
berdiri dan tanpa ada gejala tambahan lain.
2. Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada
pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di sertai
dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran dan penglihatan.
3. Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat tidur,
berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering disertai dengan
mual, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran.
4. Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita sedang
berbaring terlentang di tempat tidur dan bertambah makin berat bila duduk
atau berdiri, untuk makan tidak mungkin dilakukan karena mual dan
muntah.11
Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan PDPH,
baik invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim anestesi. Walaupun
tidak semuanya didukung oleh evidence based yang lengkap, tetapi
kebanyakan telah diterima dengan baik oleh berbagai kalangan anestesiolog.
Terapi non-invasif meliputi tirah baring, status hidrasi, posisi, ikatan
abdominal, analgesia, dan obat-obat farmakologis lain seperti kaffein
intravena, theophylline, dsb. Terapi invasif meliputi Epidural Blood Patch
dan Epidural Dextran.11
Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen
abdomen, pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien tetap
supine akan mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong cairan keluar
dari lubang dura dan meminimalkan nyeri kepala. Medikasi analgesia bisa
berkisar dari asetaminofen sampai NSAID. Hidrasi dan kaffein bekerja
menstimulasi produksi CSF. Kaffein membantu dengan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial. Salah satu yang menjadi faktor
penentu terjadinya PDPH adalah status hidrasi pasien, dimana konsep hidrasi
pada PDPH masih banyak salah dimengerti. Tujuan dari hidrasi adalah untuk
memastikan kecepatan produksi CSF optimal, dimanaselama 10 menit. Bila
terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka dinyatakan Tilt Test positif dan
pasien masih belum terhidrasi dengan cukup.11
Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif
terhadap PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous ke
ruang epidural pada, satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan
dura. Hal ini dipercaya akan menghentikan kebocoran yang terjadi pada CSF
oleh karena efek massa atau koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera atau
beberapa jam setelah tindakan ketika produksi CSF secara perlahan akan
meningkatkan tekanan intrakranial yang dibutuhkan. Sebanyak 90% pasien
akan memberikan respon terhadap tindakan blood patch ini11.
4. Komplikasi Respirasi
a) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
b) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
c) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
d) Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan pernafasan buatan10.
5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal
serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri
kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke
posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal, dengan
kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan
meningkat10.

h. Obat-Obat Anestesi Spinal


1. BUPIVAKAIN
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai
berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih
kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO af
Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 196312. Secara komersial
bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih
menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan
untuk analgesia selama persalinan dan pasca bedah.6,10
Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun
hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi
abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan
konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain
hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 15-
22,5 mg. Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah
kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan
bila dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari
bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya
yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain 12. Bupivakain juga
mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai
kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan
nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri
selama 2 jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat
berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik
anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada
dosis 0,25 – 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska
bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan untuk
pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 – 0,5 %,
epidural 0,5 – 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal
adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB.6
Farmakologi bupivakain
Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron dengan cara
menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam
memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan
dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang
terkena menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik,
nyeri, suhu, raba, propriosepsi, tonus otot skelet12. Eliminasi bupivakain
terjadi di hati dan melalui pernafasan (paru-paru). Bila pasien mengalami syok
hipovolemik, septikemia, infeksi pada beberapa organ, atau koagulopati,
suntikan epidural, kaudal atau subarachnoid harus dihindari. Kadar
bupivakain plasma toksik (contohnya toksik, akibat suntikan intravaskuler)
dapat menyebabkan colaps kardiopulmonal dan kejang. 6
Pencegahan terjadinya komplikasi dengan cara mencegah overdosis
(memberikan obat sesuai dosis yang dianjurkan), hati-hati dalam memberikan
penyuntikan intravena dengan menggunakan tehnik yang benar, mengaspirasi
terlebih dahulu sebelum bupivacaine dimasukkan, test dose 10% dari dosis
total, mengenali gejala awal dari toksisitas, mempertahankan kontak verbal
dengan pasien, memonitor frekuensi dan pola pernafasan, tekanan darah, dan
frekwensi nadi. Tanda dan gejala prapemantauan dimanifestasikan sebagai
rasa tebal dari lidah dan rasa logam, gelisah, tinitus, dan tremor. Dukungan
sirkulasi (cairan intravena, vasopresor, natrium bikarbonat IV 1 – 2 mEq / kg
untuk mengobati toksisitas jantung (blokade saluran natrium), bretilium IV 5
mg/kg, kardioversi/defibrilasi DC untuk aritmia ventrikuler dan
mengamankan saluran pernapasan pasien (ventilasi dengan oksigen 100 %)
merupakan hal yang penting. Tiopental (0,5 – 2 mg/kg IV), midazolam (0,02
– 0,04 mg/kg IV), atau diazepam (0,1 mg/kg IV) dapat digunakan untuk
profilaksis dan atau pengobatan kejang.6
Tingkat blokade simpatik (bradikardia dengan blok diatas T5)
menentukan tingkat hipotensi (sering ditandai dengan mual dan muntah)
setelah bupivakain spinal / subarakhnoid. Hidrasi cairan (10-20 ml/kg larutan
NS atau RL), obat vasopresor (contohnya efedrin) dan pergeseran uterus ke
kiri pada pasien hamil, dapat digunakan sebagai profilaksis dan pengobatan.
Memberikan sulfas atropin untuk mengobati bradikardi.6
Farmakokinetik bupivakain dalam ruang subarakhnoid.
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan
mengalami penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya:
dilusi dan pencampuran di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh
jaringan saraf, uptake dan fiksasi oleh jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi
oleh pembuluh darah8. Didalam ruang subarakhnoid obat akan kontak dengan
struktur jaringan saraf dan obat ini akan memblokade transmisi impuls
serabut-serabut saraf. Aktivitas anestesi lokal dalam ruang subarakhnoid yang
penting di akar-akar saraf di medula spinalis (primer), ganglia dorsalis dan
sinap-sinap di kornu anterior dan posterior (sekunder) dan traktus asenden dan
desenden parenkim di medula spinalis. Lama analgesik anestetik
subarakhnoid tergantung pada beberapa faktor, yang pertama adalah
konsentrasi anestetik lokal dalam liquor cerebro spinalis dan yang kedua
adalah absorpsi obat anestetik oleh sistim vaskuler. Semakin besar
konsentrasinya akan semakin lama efek analgesiknya. Konsentrasi analgesik
akan menurun sesuai paruh waktu terhadap jarak dari tempat dengan
konsentrasi yang terbesar, dan secara klinis akan terjadi suatu regresi
analgesik dari atas ke bawah menuju daerah dengan konsentrasi terbesar.5,6
Penilaian terhadap lama kerja anestetik 1okal pada blok subarakhnoid
dapat dilakukan dengan berbagai cara : waktu hilangnya analgesi pada daerah
operasi, waktu yang diperlukan pemberian analgesik yang pertama kali paska
bedah, waktu yang diperlukan untuk terjadinya regresi motorik dan waktu
yang diperlukan untuk terjadinya regresi analgesik pada 2 atau 4 segmen.6
Mula Kerja Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Isobarik
Mula kerja anestesi spinal sangat ditentukan oleh nilai pKa, semakin
rendah nilai pKa semakin cepat mula kerjanya. Bupivakain mempunyai
tingkat daya ikat protein tinggi (95,6%) namun nilai pKa juga tinggi. Pada
saat ini, bupivakain 0,5% isobarik maupun hiperbarik banyak digunakan
untuk operasi abdominal bawah dengan anestesi spinal. Telah dilaporkan
bahwa bupivakain 0,5% 9,75 mg isobarik mempunyai mula kerja 5 menit
lebih cepat dibandingkan hiperbarik. Namun hal ini berbeda dengan penelitian
lain menemukan fakta bahwa pada 20 sampel yang mendapatkan anestesi
spinal dengan bupivakain 10 mg hiperbarik mempunyai mula kerja blokade
sensorik dan motorik 2 kali lebih cepat (rata-rata 9 menit) dibandingkan 10
mg bupivakain isobarik (rata-rata 18 menit).6
Bupivakain 0,5% hiperbarik mempunyai kualitas analgesik dan
relaksasi motorik intraoperatif yang kurang memuaskan, mula kerja blokade
sensorik dan motorik lebih cepat dan lama kerja blokade sensorik dan motorik
lebih panjang bila dibandingkan dengan ropivakain hiperbarik.6
Lama Kerja Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Isobarik
Mengenai lama kerja anestetik ditentukan oleh kecepatan absorbsi
sistemiknya, jenis anestesi lokal, besarnya dosis, vasokonstriktor dan
penyebaran anestesi lokal. Semakin tinggi daya ikat protein terhadap reseptor
semakin panjang lama kerjanya. Dikatakan bahwa lama kerja blokade
sensorik dan motorik bupivakain hiperbarik lebih panjang dibandingkan
dengan bupivakain isobarik. Sedangkan penelitian menemukan fakta yang
berlainan yaitu pada 20 sampel yang mendapatkan anestesi spinal dengan
bupivakain 0,5% 10 mg hiperbarik mempunyai lama kerja blokade sensorik
dan motorik 2 kali lebih cepat ( rata-rata 92 menit) dibandingkan isobarik
(rata-rata 177 menit).6
Pada spinal anestesi dengan bupivakain 0,5% isobarik mempunyai
lama kerja blokade sensorik dan motorik 2 kali lebih panjang dibandingkan
bupivakain 0,5% hiperbarik. Pemberian bupivakain 0,5% isobarik 15 mg telah
dilaporkan dapat menghasilkan efek spinal blok anestesi yang lebih cepat jika
dibandingkan dengan pemberian bupivakain 0,5% 15 mg hiperbarik. Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi hasil ini antara lain: umur, tinggi badan,
anatomi batang spinal, tehnik injeksi, volume Cerebro Spinal Fluid (CSF),
density CSF dan baricity obat anesthesi, posisi pasien, dosis serta volume obat
anestesi. Bupivakain 0,5% isobarik diberikan secara injeksi akan bercampur
dengan CSF (paling sedikit 1:1), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat blockade neural meliputi tingkat injeksi, tinggi badan dan anatomi
kolumna vertebralis, Sedangkan bupivakain 0,5% hiperbarik dapat diberikan
tergantung dari area spinal (secara normal T4-T8 dalam posisi telentang).6
Efek samping anestesi spinal yang sering terjadi adalah hipotensi dan
bardikardi. Biasanya terjadi 5 menit setelah anestesi spinal. Dilaporkan juga
setelah 45 menit pemberian bupivakain 0,5% isobarik akan terjadi penurunan
tekanan darah dan penurunan denyut jantung. Disamping itu mual-muntah,
blokade spinal tinggi, keracunan, menggigil, retensi urin, post dural puncture
headache dan henti jantung dapat juga terjadi.6
2. FENTANYL
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM
(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan
kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan
rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika.6
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit.
Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf
pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak
sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa
terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah
efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan
periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan.6
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB)
meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia
pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah
dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 µg
menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek
apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek samping.6
Saat ini Bupivakain 0,5% digunakan umumnya untuk anestesi spinal dan
epidural. Jika digabungkan dengan fentanyl intratekal dapat memberikan
kedalaman anestesi dengan mengurangi dosis bupivakain. Fentanyl merupakan
opioid lipofilik dan mempunyai onset kerja cepat dan lama kerja pendek sehingga
insidensi depresi pernafasan lebih rendah. Dari hasil penelitian didapatkan
dimulainya blok terhadap sensorik pada T6.6
Dari penelitian ini terbukti bahwa dengan penambahan fentanil pada anastesi
spinal dapat mengurangi dosis bupivacain sehingga insidensi hipotensi dan
penurunan tekanan darah sistolik dapat menurun juga.6

B. APPENDISITIS
a. Definisi

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum
dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix
terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya
Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih
medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus
mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Appendix
selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix
ditentukan oleh lokasi Caecum. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur.
Namun jarang pada anak kurang dari satu tahun. Rasio pria : wanita = 1,2-1,3 : 1. 1,2,3

Gambar 3. Appendix vermicularis4)


b. Etiologi

1.) Obstruksi

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith


merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan
Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. 3
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.
Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada
kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis
acuta gangrenosa dengan perforasi. 3

Gambar 4. Appendicitis (dengan fecalith)

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan
tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf
aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut
tengah atau di bawah epigastrium. 3
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan
bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi
tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular.
Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks
mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa
Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri
yang khas ke RLQ. 11

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan


suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah
dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah.
Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi
perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas antemesenterik. 11

Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala


gangguan gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan
kebiasaan BAB, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada
diagnosis Appendicitis, khususnya pada anak-anak.12
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual
dan muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul
mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.12
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut
semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan
ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan
iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri
melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis
akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat
inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum
parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada
lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada
kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. 12
2.) Bakteriologi

Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal.
Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri
jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang
normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika
pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding
lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada perubahan Appendicitis
acuta ke Appendicitis gangrenosa dan Appendicitis perforata. 11

Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan


lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami
2)
perforasi. Flora normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon normal.
Flora pada Appendix akan tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas
gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya
terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan Appendicitis perforasi adalah
Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi dan bakteri
fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan. 11

Tabel 2. Organisme yang ditemukan pada Appendicitis acuta

Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob

Batang Gram (-) Batang Gram (-)


Eschericia coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+) Batang Gram (-)
Streptococcus anginosus Clostridium sp.
Streptococcus sp. Coccus Gram (+)
Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis perforata dan
non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, seringkali
pasien telah mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan kemampuan
laboratorium untuk mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi.
Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai
akibat dari obat-obatan atau penyakit lain, dan pasien yang mengalami abscess
setelah terapi Appendicitis. Perlindungan antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus
Appendicitis non perforata. Pada Appendicitis perforata, antibiotik diberikan 7-10
hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam.
Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal dan transperitoneal
masih kontroversi. 11

c. Manifestasi Klinis

Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai


dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. 12,13 Gejala utama Appendicitis acuta
adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu
menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12
jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di
RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri,
sebagai contoh; Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ
menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri
12
suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.

Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix,


biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada
75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja.
Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya
gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah
2,8
mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan. Muntah yang
timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis.12

Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak
pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada
beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi
Appendix.12,13

Tabel 3. Gejala Appendicitis acuta

Gejala Frekuensi (%)

Nyeri perut 100

Anorexia 100

Mual 90

Muntah 75

Nyeri berpindah 50

Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian


anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian 50
demam yang tidak terlalu tinggi)

*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam


Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.12

Tabel 4. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.

Gejala Klinik Value

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Lab Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan
bedah sebaiknya dilakukan.12

Gejala Appendicitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang
menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri lokal
pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis difus
biasanya bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien dapat
diobservasi dulu selama 6 jam. Pada penderita Appendicitis biasanya menunjukkan
peningkatan nyeri dan tanda inflamasi yang khas.12,13
Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat
inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik
Mc Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal
yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat
konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi
dibanding diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur
Appendix.12

Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu
tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga
Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi,
hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala
muntah, demam, dan nyeri.12

Anak-anak dengan Appendicitis biasanya lebih tenang jika berbaring dengan


gerakan yang minimal. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak, pada akhirnya
jarang didiagnosis sebagai Appendicitis, kecuali pada anak dengan Appendicitis letak
retrocaecal. Pada Appendicitis letak retrocaecal, terjadi perangsangan ureter sehingga
nyeri yang timbul menyerupai nyeri pada kolik renal.12

Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha kanan,
karena pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal tersebut
akan mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut berkurang. 13
Gambar 5. Posisi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri perut10)

Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa


letak anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360o mengelilingi
pangkal Caecum. Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri di
antara costa 12 dan spina iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat
menyebabkan nyeri rectal.13

Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada
pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan
rectal toucher tidak diperlukan lagi.13

Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik: 13

 Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.

 Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien
dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien
digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan
kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal
dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi
rigiditas abdomen.

Gambar 6. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign

 Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan
pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam
posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di
hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya
perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh Appendicitis letak
retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

Gambar 7. Cara melakukan Obturator sign


Gambar 8. Dasar anatomis Obturator sign

 Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)


Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan
positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di RLQ.

 Wahl’s sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan
perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada
auskultasi.

 Baldwin’s test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat tungkai
kanannya ditekuk.

 Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.
 Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum
Douglasi atau Appendicitis letak pelvis.

 Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral
 Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)

d. Pemeriksaan Penunjang

1.) Laboratorium

Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya didapatkan


pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan
polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan
shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus
dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm3 pada
Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut
meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi Appendix dengan atau tanpa
abscess.14

CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh hati
sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat antara
6-12 jam inflamasi jaringan. 14

2.) Ultrasonografi

Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis.


Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang
nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal,
Appendix diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila
tanpa kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya
appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari Appendix normal,
yang dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur
berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta.
Penilaian dikatakan negatif bila Appendix tidak terlihat dan tidak tampak adanya
cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis Appendicitis acuta tersingkir dengan
USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga abdomen harus dilakukan
untuk mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ
panggul harus dilihat baik dengan pemeriksaan transabdominal maupun endovagina
agar dapat menyingkirkan penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri
akut abdomen. Diagnosis Appendicitis acuta dengan USG telah dilaporkan
sensitifitasnya sebesar 78%-96% dan spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama
efektifnya pada anak-anak dan wanita hamil, walaupun penerapannya terbatas pada
kehamilan lanjut.14

Gambar 9. Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendicitis


e. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta yaitu 13,14

1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis
dehidrasi atau septikemia.

2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral

3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah.

4. Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.

5. Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur dan


didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif.

Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika


profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan
single dose dipilih antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob.

f. Komplikasi

komplikasi dari appendisitis dapat berupa ; 13,14

1. Fistel berfaeces Appendicitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces; karena


benda asing, tuberculosis, Aktinomikosis.

2. Hernia cicatricalis.

3. Ileus

4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 24–27 jam setelah


Appendectomy, kadang–kadang setelah 10–14 hari. Sumbernya adalah
echymosis dan erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena emboli
retrograd dari sistem porta ke dalam vena di gaster/ duodenum.
BAB II
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : An. Salsa
Umur : 15 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 40 kg
Tinggi badan : 146 cm
Alamat : Jl. Sarikaya
Pekerjaan : Siswi
Agama : Islam
Diagnosa pra bedah : Susp. Appendisitis Akut
Jenis pembedahan : Appendectomy
Tanggal operasi : 07 Mei 2021
Jenis anestesi : Regional Anestesi Subarachnoid
Anestesiology : dr. Ajutor Donny Tandiarrang Sp.An
Ahli bedah : dr. Muh Ikhlas, Sp.B, M.Kes, FICS

A. S-O-A-P
1. Subjektif :
 Keluhan Utama : Nyeri pada perut bawah
 Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien masuk Rumah Sakit dengan keluhan
nyeri pada perut tengah bawah yang dirasakan kurang lebih sejak 1 tahun
yang lalu, dan memberat 2 hari yang lalu. Nyeri bersifat hilang timbul,
keluhan diawali dengan demam (+) yang disertai muntah sebanyak 4x berisi
makanan. Keluhan penyerta : mual (+), sakit kepala (-), pusing (-). Pasien
juga mengeluh nyeri di daerah perut tengah bawah saat buang air kecil.
Belum BAB sejak 2 hari terakhir, BAK lancar.
 Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat Penyakit Jantung (-)
- Riwayat Penyakit Hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes Melitus (-)
- Riwayat Penyakit Asma (-)
- Riwayat Alergi Obat (-)
- Riwayat Alergi Makanan (-)
- Riwayat Trauma atau Kecelakaan (-)
- Riwayat Merokok (-)
- Riwayat Kejang (-)
 Riwayat Konsumsi Obat-obatan (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat Penyakit DM : tidak ada
- Riwayat Penyakit Alergi : tidak ada
- Riwayat Penyakit Asma : tidak ada
- Riwayat Penyakit Hipertensi : tidak ada
- Lain-lain : tidak ada

2. Objektif :
 Pemeriksaan Fisik : (B1-B6)
 B1 (Breath)
- Gigi Palsu (-) Gigi Goyang (-)
- Mallampati Score : 1
- Leher pendek (-)
- Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi (-)
- Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri
- Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi : Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
- RR : 20 x/menit.

 B2 (Blood)
- Akral : hangat
- Konjungtiva : anemis -/-
- Tekanan darah : 100/60 mmHg
- Nadi : 72 x/menit, reguller, dan kuat angkat

 B3 (Brain)
- Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5
- Reflex cahaya (+/+)
- Suhu : 36,7 ˚C
- VAS :2

 B4 (Bladder)
- BAK lancar seperti biasanya, berwarna kuning tua, nyeri berkemih (-)

 B5 (Bowel)
- Inspeksi : Tampak perut datar, tidak terdapat jejas
- Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal, bising usus (-)
- Perkusi : Bunyi timpani
- Palpasi : Nyeri tekan(+), Massa (-)
- Rovsign (+), Psoas sign (+)
- Pasien BAB seperti biasanya
 B6 (Back & Bone)
- Fraktur (-)
- Dislokasi (-)
- Pergerakan terbatas (-/-)
- Edema extremitas (-/-)

 Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap Tanggal 05 Mei 2021


Parameter Hasil Rujukan
Hemoglobin 13,4 11,5-14,5 g/dl
Leukosit 11,2 4,5-13,5 x 103/ul
Eritrosit 4.16 4,0-5,2 x 106/ul
Hematokrit 36.8 32-42%
MCV 88,5 80 – 94 fL

MCH 32,2 27,0 – 31,0 pg

MCHC 36,4 33,0 – 37,0 g/dl

Trombosit 287 150-450 x 103/ul


GDS 73 80-199 mg/dl
LED I 15
0-20 mm3 / jam
LED II 34
BT 3.00 1.00-4.00
CT 7.00 4.00-12.00

Urinalisis (5 April 2021)


Parameter Hasil Nilai Rujukan
PH 7,5 4,8-8,0
BJ 1.105 1.003-1.022
Protein Negatif Negatif
Reduksi Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton +2 Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Blood Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negatif
Sedimen :
*Leukosit 0-1 0-5
* Eritrosit 0-2 0-3
* Kristal Negatif Negatif
*Granula Negatif Negatif
* Epitel Sel + Negatif

Pemeriksaan Imunoserologi (06 Mei 2021)


Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
HbsAg Non-reaktif Non-reaktif
Anti HCV Non-reaktif Non-reaktif
Rapid I Test Anti HIV Non-reaktif Non-reaktif
SARS Cov 2-Antigen Negatif Negatif
Hcg Test Negatif Negatif

Pemeriksaan Serologi (07 Mei 2021)


Pemeriksaan Hasil Rujukan
Urea 15 10-50 mg/dL
Creatinine 0,49 0.50-0.90 mg/dL
SGOT 12 0-31 U/L
SGPT 7 0-34 U/L

Pemeriksaan Elektrolit (07 Mei 2021)


Pemeriksaan Hasil Rujukan
+
K 3,65 3,48 - 5,50 mmol/L
Na+ 136 135,37 - 145,00 mmol/L
Cl- 97 96,00 – 106.00 mmol/L
Pemeriksaan Radiologi (07 Mei 2021)
- Foto thorax AP : Kesan : tidak tampak kelainan radiologic pada foto thorax ini
- USG Abdomen : Kesan : Cystitis

3. Assesment
 Status fisik ASA ps kelas I
 Rencana anestesi : Regional anestesi
 Diagnosis pra-bedah : Susp. Appendisiti akut

4. Plan
 Jenis anestesi : Regional Anestesi
 Teknik anestesi : Spinal anestesi block
 Regimen : Bupivacain 0,5% 10 mg + Fentanyl 25 mcg
 Jenis pembedahan : Appendectomy

5. Persiapan pasien preoperatif :


a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Pasien dipuasakan minimal 6-8 jam pre-operasi
c. Persiapan darah 1 kantong
d. Pasang Infus menggunakan cairan Ringer Laktat 20 tpm, abbocath no.24 G,
transfusi set
e. Mencatat tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh dan saturasi oksigen
6. Persiapan di kamar operasi :
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
 Meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan.
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
 Obat-obat anastesia yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya ; epinefrine, atropine, lidocain 2% dan lain-
lainnya.
 Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
 Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
 Kartu catatan medik anesthesia
 Evaluasi ulang status present pasien : tekanan darah, nadi, dan SPO2
 Menyiapkan STATICS

Tabel 2. Komponen STATICS

Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.


S Scope Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
T Tubes
dan usia > 5 tahun dengan balon (cuffed)

A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa


hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga agar
lidah tidak menyumbat jalan nafas.

Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau


T Tapes
tercabut.

Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)


I Introducer
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu.

C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.

S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

7. Prosedur Regional Anestesi :

a. Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kanan dengan cairan


ringer laktat menggunakan transfusi set
b. Memasang monitor untuk melihat tekanan darah, heart rate, saturasi oksigen
dan laju respirasi.
c. Preoksigenasi O2 via nasal canule 2 lpm
d. Spinal Anestesi : posisi LLD, Identifikasi Interspace Vert. Lumbal 3-4
Desinfeksi dengan betadine dan alcohol.
e. Insersi Spinocan nomor 26 G , LCS (+) mengalir, darah (-), barbotage (+).
f. Induksi dengan Injeksi Bupivacain 0,5 % 10 mg dan Fentanil 25 mcg Via
Spinocan
g. Kembali ke posisi supine, Prick Test Sensorik setinggi T10
h. Maintenance : O2 2 L/menit
i. Pasien ditransfer ke recovery room

8. Laporan Anestesi
a) Diagnosis pra-bedah : Susp Appendisitis Akut
b) Diagnosis post-bedah : Appendisitis phlegmon
c) Jenis pembedahan : Appendectomy
d) Anestesiologi : dr. Ajutor Donny Tandiarrang Sp.An
e) Ahli Bedah : dr. Muh Ikhlas, M.Kes, Sp.B
f) Persiapan anestesi : Informed consent
g) Jenis anestesi : Anestersi Regional
h) Teknik anestesi : Spinal Arachnoid Blok
i) Premedikasi anestesi : Ondansentron 4 mg
j) Induksi : Bupivacaine 0,5 % 10 mg dan fentanil 25 mcg
k) Maintenance : O2 2 lpm, midazolam 2 mg, dexamethasone 10 mg,
asam traneksamat 500 mg, ibuprofen 250 mg, efedrin 5 mg
l) Posisi : Lateral Dekubitus
m) Anestesi mulai : 13.45 WITA
n) Operasi mulai : 13.55 WITA
o) Selesai operasi : 15.30 WITA
p) Selesai Anestesi : 15.35 WITA
q) Lama Operasi : 1 jam 35 menit
r) Lama anastesi : 1 jam 50 menit
s) Cairan yang masuk durante operasi : Ringer Lactat 550 ml, NaCl 0,9 % 100
ml, Asering 500 cc
t) Perdarahan : 300 cc
Lampiran Monitoring Tindakan Operasi :
Jam Tindakan Tekanan Nadi Saturasi
Darah (x/menit) Oksigen
(mmHg) (%)
13.40  Pasien masuk ke kamar 122/83 78 100
operasi, dan dipindahkan ke
meja operasi

 Pemasangan monitoring
tekanan darah, nadi,
saturasi O2

 Infus ringer lactat terpasang


pada tangan kanan
13.45  Spinal Anesthesia Block 123/69 114 100
dimulai menggunakan
Bupivacain 0,5 % 20 mg +
Fentanil 25 mcg via
spinocain No 26 G.
13.50  Evaluasi TTV 121/75 111 100
 Injeksi midazolam 2 mg
13.55  Insisi dimulai 105/60 78 100
 Evaluasi TTV
 Infus menggunakan larutan
asering
14.00  Evaluasi TTV 106/65 85 100
 Injeksi fentanyl 25 mcg
14.05  Evaluasi TTV 105/60 84 100
14.10  Evaluasi TTV 105/58 89 100
14.15  Evaluasi TTV 104/60 88 100
14.20  Evaluasi TTV 109/58 84 100
14.25  Evaluasi TTV 99/60 78 100
14.30  Evaluasi TTV 104/58 78 100
14.35  Evaluasi TTV 98/54 88 100
14.40  Evaluasi TTV 100/55 87 100
 Injeksi asam traneksamat
500 mg
14.45  Evaluasi TTV 100//60 75 100
14.50  Evaluasi TTV 100/59 85 100
14.55  Evaluasi TTV 95/65 90 100
15.00  Evaluasi TTV 96/58 84 100
15.05  Evaluasi TTV 100/62 75 100
15.10  Evaluasi TTV 96/58 74 100
15.15  Evaluasi TTV 96/54 90 100
 Injeksi ibuprofen 250 mg
15.20  Evaluasi TTV 81/45 70 100
 Infus menggunakan larutan
NaCl 0,9%
 Injeksi efedrin 5 mg
15.25  Evaluasi TTV 95/65 78 100
 Injeksi ondansetron 4 mg
15.30  Evaluasi TTV 100/60 80 100
 Operasi selesai
15.35  Pasien ditransfer ke
recovery room.

Cairan yang Dibutuhkan Aktual


Pre Operasi BB: 40 Kg Input:
Cairan maintenance Ringer laktat
100 x 10 cc = 1000 cc 500 cc
50 c x 10 cc = 500 cc
20 x 20 cc = 400 cc Output :
*total : 1900 cc / hari Urin 100 cc
Kebutuhan cairan 79 cc/jam
 
Cairan Pengganti Puasa (P) = Lama puasa (Jam) x
M
P = 6 jam x 79 cc
= 474 cc/jam
 
Defisit cairan puasa
= Kebutuhan cairan pengganti puasa – cairan
yang masuk saat puasa
= 474 cc – 400 cc = 74 cc

Durante Estimasi Blood Volume Input:


Operasi EBV = 80 mL/kg BB - RL: 550cc,
= 40 kg x 80 mL Asering
= 3200 500cc, NaCl
0,9% 100 cc
Jumlah perdarahan selama operasi : ± 300 cc x
3= 900 cc

(untuk mengganti kehilangan darah 300 cc


Output:
diperlukan 900 cc cairan kristaloid )
-Perdarahan:
%Perdarahan = Jumlah perdarahan : EBV x ± 300 cc
100%
= 300 cc : 3200 x 100%
= 9,37 %
Stress Operasi sedang = 6 ml/kgBB/jam x BB
(kg)
= 6 ml/kgBB/jam x 40 kg
= 240 ml/jam
 
Perhitungan Total cairan Masuk (input)
Cairan = Preoperatif + Durante Operatif
= 500 + 1150 ml = 1650 ml

Total Kebutuhan Cairan selama operasi


= stress operasi + defisit darah selama operasi
= 240 ml + 300 ml
= 540 ml
Keseimbangan cairan
= Cairan masuk – (Kebutuhan Cairan selama
operasi+Puasa)
= 1650 ml – (540 + 474 ml)
= 636 ml
Post BB: 40 Kg
Operasi Cairan maintenance
100 x 10 cc = 1000 cc
50 c x 10 cc = 500 cc
20 x 20 cc = 400 cc
*total : 1900 cc / hari
Kebutuhan cairan 79 cc/jam

9. Post Operatif :
Pemantauan di Recovery Room
Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik. Pada pasien tekanan darah 99/51 mmhg,
nadi 85 x/menit, dan laju respirasi 21x/menit, saturasi oksigen 100 %. Bromage Score
(Spinal Anestesi) Skor ≤ 2 boleh pindah ruangan. Pada pasien didapatkan skor 0.
No Kriteria Skala Skor
Dapat mengangkat tungkai bawah 0 0

Tidak dapat mengangkat tungkai bawah tetapi 1 -


masih dapat menekuk lutut
2

Tidak dapat menekuk lutut tetapi dapat 2 -


mengangkat kaki
3

Tidak dapat mengangkat kaki sama sekali 3 -


4

Instruksi di ruangan :
a. Awasi tanda vital
b. Bila kesakitan beri analgetik : Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam / IV
c. Bila mual atau muntah : Inj. Ondansetron 4 mg / 8 jam / IV
d. Program cairan : Infus RL 20 tetes/menit
e. Antibiotik dan obat-obatan lainnya sesuai instruksi dokter bedah.
f. Mual (-), muntah (-), kaki bisa bergerak bisa minum sedikit-sedikit.
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien perempuan usia 15 tahun dengan diagnosis Susp
Appendisitis Akut dilakukan operasi Appendectomy. Tindakan yang digunakan
pada operasi ini yaitu, anestesi regional menggunakan spinal subarachnoid.
Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid .
Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk bedah ekstremitas inferior, bedah
panggul, tindakan sekitar rektum dan perineum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah
urologi, bedah abdomen bawah dan operasi ortopedi ekstremitas inferior.
Sebelum dilakukan tindakan operasi, dilakukan evaluasi pra-anestesia yang
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan
status fisik ASA dan risiko operasi. Pada pasien ini termasuk ASA I karena
pasien memiliki indikasi operasi karena appendisitis yang memerlukan tindakan
pembedahan.
American Society of Anestesiology (ASA) 2020 membuat klasifikasi status
fisik pra-anestesi menjadi 6 kelas yaitu :7
Contoh Dewasa, Contoh Anak,
Contoh Kehamilan,
Klasifikasi Termasuk, tapi Termasuk, tapi
Definisi Termasuk, tapi tidak
ASA tidak terbatas tidak terbatas
terbatas pada:
pada: pada:
ASA I Pasien sehat Sehat, tidak Sehat (tidak ada
yang normal merokok, tidak/atau penyakit akut atau
penggunaan alcohol kronis),
yang minimal BMI normal
persentil untuk
usia
ASA II Pasien Hanya Penyakit Penyakit jantung Kehamilan normal *,
dengan ringan tanpa batasan bawaan HTN kehamilan yang
Penyakit substantif asimptomatik, terkontrol, anemia
sistemik fungsional. disritmia yang preeklamsia terkontrol
yang ringan perokok, sosial terkontrol dengan tanpa gambaran yang
peminum alkohol, baik, parah,
kehamilan, obesitas asma tanpa Diet DM Gestasional
(30 <BMI <40), eksaserbasi, yang terkontrol.
DM / HTN epilepsi yang
terkontrol dengan terkontrol dengan
baik, penyakit paru- baik, noninsulin
paru yang ringan diabetes
mellitus, BMI
abnormal
persentil untuk
usia, OSA ringan /
sedang, status
onkologis dalam
remisi, autisme
dengan
keterbatasan
ringan
ASA III Pasien Batasan fungsional Kelainan jantung Preeklamsia dengan
dengan yang substansial; kongenital stabil gambaran berat, DM
Penyakit Satu atau lebih yang tidak gestasional dengan
sistemik penyakit sedang terkoreksi, asma komplikasi atau
yang berat hingga berat. DM dengan kebutuhan insulin yang
atau HTN yang eksaserbasi, tinggi, penyakit
tidak terkontrol, epilepsi yang tidak trombofilik yang
COPD, obesitas terkontrol, membutuhkan
morbiditas (BMI diabetes mellitus antikoagulasi.
≥40), hepatitis aktif, yang tergantung
ketergantungan atau insulin, obesitas
penyalahgunaan morbid,
alkohol, alat pacu malnutrisi, OSA
jantung implan, berat, status
pengurangan fraksi onkologis, gagal
ejeksi sedang, ginjal, distrofi
ESRD yang otot, fibrosis
menjalani dialisis kistik, riwayat
terjadwal secara transplantasi
teratur, riwayat IM, organ, malformasi
CVA (> 3 bulan), otak / sumsum
TIA, atau CAD / tulang belakang,
stent. hidrosefalus
simptomatik, PCA
bayi prematur <60
minggu, autisme
dengan
keterbatasan berat,
penyakit
metabolik,
kesulitan jalan
napas, penggunaan
nutrisi parenteral
jangka panjang.
Bayi cukup bulan
usia <6 minggu.
ASA IV Seorang MI, CVA, TIA atau Kelainan jantung Preeklamsia dengan
pasien CAD / stent terkini kongenital gambaran yang berat
dengan (<3 bulan), iskemia yangbergejala, dipersulit oleh
penyakit jantung yang sedang gagal jantung penyakit HELLP atau
sistemik berlangsung atau kongestif, gejala efek samping lainnya,
berat yang disfungsi katup sisa prematuritas kardiomiopati
merupakan yang parah, aktif, ensefalopati peripartum dengan EF
ancaman pengurangan fraksi hipoksia-iskemik <40, penyakit jantung
seumur hidup ejeksi yang berat, akut, syok, sepsis, tidak terkoreksi /
syok, sepsis, DIC, koagulasi dekompensasi, didapat
ISPA atau ESRD intravaskular atau bawaan.
yang tidak diseminata,
menjalani dialisis defibrilator
terjadwal secara kardioverter
teratur implan otomatis,
ketergantungan
ventilator,
endokrinopati,
trauma berat,
gangguan
pernapasan berat,
keadaan onkologis
lanjut.
ASA V Seorang Aneurisma Trauma masif, Ruptur uteri
pasien yang abdomen / toraks perdarahan
sekarat atau yang pecah, trauma intrakranial
keadaan masif, perdarahan dengan efek
beratdan intrakranial dengan massa, pasien
diperkirakan efek massa, iskemik yang
tidak akan usus saat membutuhkan
selamat tanpa menghadapi ECMO, gagal atau
operasi kelainan jantung henti pernapasan,
yang signifikan atau hipertensi maligna,
disfungsi multi gagal jantung
organ / sistem kongestif /
dekompensasi,
ensefalopati
hepatik, iskemik
usus ataudisfungsi
multi organ /
sistem.
ASA VI Seorang pasien yang terkonfirmasi mengalami kematian batang otak yang
organnya akan diambil untuk tujuan donor
** Penambahan "E" menunjukkan operasi Darurat : (Keadaan darurat didefinisikan
sebagai tanda jika terjadi penundaan dalam perawatan pasien akan menyebabkan
peningkatan yang signifikan dalam ancaman terhadap nyawa atau bagian tubuh).

Pre-operasi menjelaskan kepada pasien anastesi yang akan di lakukan


tindakan pembedahan dan menjelaskan kepada keluarga mengenai resiko-
resiko dari teknik anastesi, meminta pasien untuk tidak memakai gigi palsu
(jika ada) serta perhiasan, memasang kateter, memasang cairan infus yaitu
Ringer Laktat, menggunakan tranfusi set dan abbocath 18 G, menyiapkan 1
kantong darah
Pada persiapan periopeatif dilakukan juga puasa sebelum operasi. Puasa
preoperatif pada pasien pembedahan bertujuan untuk mengurangi volume lambung
tanpa menyebabkan rasa haus dan dehidrasi. Puasa preoperatif yang disarankan
menurut ASA adalah 6 jam untuk makanan ringan, 8 jam untuk makanan berat dan 2
jam untuk air putih. Puasa preoperatif yang lebih lama akan berdampak pada kondisi
pasien preoperatif serta pascaoperatif. Pada pasien ini menjalani puasa sekitar ± 6
jam sebelum operasi dilakukan. Hal ini sudah sesuai teori dimana anjuran puasa
perioperative adalah selama 6-8 jam sebelum operasi.
Pada saat sebelum operasi, pasien diberikan premedikasi terlebih
dahulu. Premedikasi yang diberikan yaitu Antiemetik Ondansentron injeksi 4
mg (IV). Konsentrasi 4 mg/2ml dalam 1 Ampul 2 ml, dosis 0,05-01 mg/kgBB
Ondansentron, sebagai anti emetik, suatu antagonis selektif 5-HT3, menghambat
serotonin dan bekerja berdasarkan mekanisme sentral dan perifer. Mekanisme sentral
dengan mempertinggi ambang rangsang muntah di chemoreceptor trigger zone.
Mekanisme perifer dengan menurunkan kepekaan saraf vagus terminalis di visceral
yang menghantar impuls eferen dari saluran cerna ke pusat muntah.Onset 30 menit,
dengan durasi 3 jam. Pada pasien ini diberikan ondancentron 4 mg (IV) untuk
mendapatkan efek emetik sehingga pasien tidak merasakan mual ataupun
muntah saat dilakukan induksi operatif ataupun pasca operatif.
Pada pasien ini dilakukan anastesi regional yaitu spinal anastesi sesuai
dengan salah satu indikasi dilakukannya tindakan anastesi spinal yaitu bedah
abdomen bawah. Keuntungan anestesi regional adalah penderita tetap sadar,
sehingga refleks jalan napas tetap terpelihara. Anestesi spinal merupakan teknik
anestesi yang aman, terutama pada operasi di daerah umbilikus ke bawah. Waktu
prosedur analgesia spinal juga lebih singkat, relatif mudah, dan efek analgesia lebih
nyata (kualitas blok motorik dan sensorik yang baik), serta mulai kerja dan masa
pulih yang cepat dari anestesi jenis ini.
Pada anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi
absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia
berat, syok hipovolemia, koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan, tekanan
intrakanial meninggi, fasilitas resusitasi minim, kurang pengalaman / tanpa
didampingi konsultan anestesi. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi infeksi
sitemik (sepsis, bakteremi), infeksi sekitar tempat suntikan, kelainan neurologis,
kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung, hipovolemia ringan, nyeri punggung
kronis. Pada pasien ini tidak terdapat kontraindikasi absolute dan relatif untuk
dilakukan anestesi spinal.

Gambar 10. Anestesi Spinal


Persiapan anestesi spinal pada dasarnya seperti persiapan pada anestesia
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diperiksa untuk menilai apakah ada kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung (scoliosis atau kifosis) atau pasien
yang memiliki berat badan lebih (obesitas) sehingga sulit meraba tonjolan prosesus
spinosus. Selain itu perlu diperhatikan informed consent atau izin dari pasien dan
keluarga, kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal,
memberikan informasi tentang tindakan anestesi spinal meliputi pentingnya tindakan
ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi
daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Pemeriksaan laboratorium anjuran : Darah lengkap. Pasien ini sudah
menyetujui untuk dilakukan tindakan anestesi spinal. Pada pemeriksaan fisik
tidak ditemukan adanya kelainan bentuk pada tulang belakang ataupun fraktur
ditulang belakang. Pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap didapatkan
kadar Hb 13,4 g/dL dan HCT pasien 36,8 %, sehingga sebelum operasi
dianjurkan untuk menyiapkan darah sebanyak 1 kantong .

Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus disiapkan secara lengkap untuk


monitor pasien (tekanan darah, nadi, oksimetri dan EKG), pemberian anestesi umum,
dan tindakan resusitasi. Jarum spinal (Spinocan) dan obat anestesi spinal juga harus
disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam
lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G. Pada pasien ini digunakan jarum
dengan ukuran 26 G.
Ada dua golongan besar obat anesthesi regional berdasarkan ikatan kimia,
yaitu golongan ester dan golongan amida. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang
sama namun hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi
lokal ini adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat
utama kerja obat anestesi ini adalah di membran sel. Obat anestesi yang sering
dipakai adalah bupivakain. Lidokain 5% sudah ditinggalkan karena mempunyai efek
neurotoksisitas, sehingga bupivacain menjadi pilihan utama untuk anestesi spinal saat
ini. Bupivacaine memiliki potensi 3-4 kali dari lidokain dan lama kerjanya 2-5 kali
dari lidokain. Dosis maksimal 2 mg/kg BB.
Efek samping yang dapat ditimbulkan dari penggunaan bupivacain ini cukup
serius, terutama jika penggunaannya tidak oleh tenaga ahli. Efek samping yang perlu
diwaspadai adalah efek samping sistem saraf pusat dan kardiovaskuler yang
diantaranya adalah hipotensi, bradikardia, hipertensi, takikardia ventrikel, fibrilasi
ventrikel. Pada pasien digunakan obat anestesi golongan amida yaitu Bupivacain
0,5% dengan dosis 10 mg dicampur dengan fentanyl 25 mcg via spinocan 26 G.
Fentanyl, golongan obat opioid analgetik poten yang terutama bekerja sentral
pada sistem saraf pusat, sehingga mengakibatkan meningkatnya ambang batas nyeri,
mengurangi persepsi nyeri menghambat serabut saraf nyeri ascending, menyebabkan
depresi nafas dan sedasi. Dosis 1-2 mcg/kgBB IV Tujuan dari pemberian fentanyl
adalah untuk meningkatkan kualitas analgesia intraoperative. Aksi sinergis dari
fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB) meningkatkan kualitas
analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia pascaoperasi.

Pada menit 15.20 pemberian obat anestesi pasien ini mengalami


penurunan tekanan dimana tekanan darah pasien 81/45 mmHg sehingga pada
pasien ini segera diberikan efedrin 5 mg. Kondisi tersebut merupakan komplikasi
yang sering terjadi pada pemberian anestesi spinal. Dimana penurunan tekanan darah
biasanya terjadinya pada 5 sampai dengan 10 menit pertama setelah suntikan,
sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan
darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), maka kita harus bertindak cepat
untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi karena
vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi.

Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan
mendesak NE keluar. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi
berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya
tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini
sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang
meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung
mungkin tidak berubah akibat refleks kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan
darah.

Pada pasien ini, saat operasi berjalan pasien diberikan cairan ringer laktat
550cc, Asering 500cc dan NaCl 0,9% 100cc Total pemberian cairan 1150 cc.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka Estimasi Blood Volume (EBV) 3200 cc.
Pendarahan selama operasi 300 cc.
Operasi berlangsung selama 1 jam 50 menit. Pasien kemudian dipindahkan ke
ruang pemulihan (Recovery Room) dilakukan pemantauan di ruang recovery room..
Saat di evaluasi selama 2 jam di dapatkan tekanan darah 99/51, nadi 85 kali
permenit, pernafasan 21x permenit, Bromage Score nilainya 0 sehingga pasien
dapat di pindahkan ke ruangan. Untuk penilaian Bromage Score, nilai 0 pasien
dapat melakukan gerakan penuh pada tungkai bawah, nilai 1 pasien tidak dapat
menekuk lutut tetapi dalam mengangkat kaki, nilai 2 pasien tidak dapat mengangkat
tungkai bawah tetapi masih dapat menekuk lutut, dan pada nilai 3 pasien tidak dapat
mengangkat kaki sama sekali. Pasien dapat di pindahkn ke ruangan jika score kurang
dari 2.
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan :

1. Berdasarkan hasil pra operatif dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang tersebut, maka dapat di simpulkan status pasien pra
anestesi American Society of Anestesiology (ASA) pada pasien dikategorikan
sebagai pasien ASA PS kelas I
2. Pada pasien ini dilakukan jenis anestesi dengan regional anastesi dengan
Teknik Spinal dimana sesuia dengan salah satu indikasi dilakannya tindakan
anastesi spinal yaitu bedah abdomen bawah. Keuntungan anestesi regional
adalah penderita tetap sadar, sehingga refleks jalan napas tetap terpelihara.
Waktu prosedur analgesia spinal lebih singkat, relatif mudah, efek analgesia
lebih nyata (kualitas blok motorik dan sensorik yang baik), mulai kerja dan
masa pulih yang cepat.
3. Setelah operasi selesai pasien di pindahkan ke Recovery room dan dilakukan
monitoring sampai keadaan pasien stabil dan dilakukan penilaian , Bromage
Score dengan hasil ≤ 2 sehingga pasien dapat di pindahkan ke ruangan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Surjadi K, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 1. FKUI.
Jakarta. 2014. Hal 124-127.
2. Bridenbaugh PO, Greene NM, Brull SJ. Spinal (Subarachnoid) Neural Blockade.
In : Cousins MJ, Bridenbaugh PO eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and
Management of Pain. Third Edition. Philadelphia : Lippincott-Raven. 2015. Pages
203-209
3. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2004: 1381-93
4. Snell R, Liliana S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC.
Jakarta. 2016.
5. Mansjoer, Arif, dkk. Anestesi Spinal dalam Buku Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi 3. Aesculapius. Jakarta. 2010. Hal 261-264.
6. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Sjabana D, Isbandiati
E, Basori A. Edisi 8. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2020. Hal 170-171.
7. The New York School of Regional Anesthesia. Spinal Anesthesia. 2019.
Available in Website : www.nysora.com.
8. Tuominen, M. Bupivacaine Spinal Anesthesia. Acta Anesthesiology Scand. Vol
35:1-10.
9. Veering, B. Local Anesthesics. In Regional Anaesthesia and Analgesia.
Philadelphia. WB Saunders company. 2017. Pages 188-197.
10. Stamtiou, G. The Effect of Hyperbaric Versus Isobaric Spinal Bupivacaine on
Sensory and Motor Blockade Post Operative Pain and Analgesic Requiretments
for Turp. Anesthesiology : 43-6
11. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL,
Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34
12. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition.
Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72
13. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222
14. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of
Family Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at October
20th 2011.

Anda mungkin juga menyukai