Anda di halaman 1dari 53

BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS

RSU ANUTAPURA PALU 06 Juli 2022


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT

“Manajemen Anastesi Pada Pasien Sectio Secarea dengan diagnosis G3P2A0


Gravid 38-39 minggu + Belum Inpartu + Bekas SC 2x Menggunakan Teknik
Anestesi Sub Arachnoid Block (SAB)”

Disusun Oleh: Siti


Sinar Dewi Amelia S.Ked
15 19 777 14 352

Pembimbing :
dr. Faridnan, Sp. An

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2022

i
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Siti Sinar Dewi Amelia, S.Ked


No. Stambuk : 15 19 777 14 352
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Alkhairaat Palu
Judul REFKA : Manajemen Anastesi Pada Pasien Sectio Secarea dengan
diagnosis G3P2A0 Gravid 38-39 minggu + Belum Inpartu +
Bekas SC 2x Menggunakan Teknik Anestesi Sub Arachnoid
Block (SAB)”

Bagian Anestesiologi
RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, 06 Juli 2022


Pembimbing Dokter Muda

dr. Faridnan, Sp. An Siti Sinar Dewi Amelia, S,Ked

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu “An” yang berarti tidak dan
“Aesthesis” yang berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesia berarti suatu keadaan
hilangnya rasa atau sensasi tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi
adalah keadaan tanpa rasa tetapi bersifat sementara dan akan kembali kepada keadaan
semula, karena hanya merupakan penekanan kepada fungsi atau aktivitas jaringan
syaraf baik lokal maupun umum. Pada dasarnya prinsip anastesi mencangkup 3 hal
yaitu: anestesi dapat menghilangkan rasa sakit (analgesia), menghilangkan kesadaran
(sedasi) dan juga relaksasi otot (relaksan) yang optimal agar operasi dapat berjalan
dengan lancar.1,2
Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk menghilangkan
sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik sehingga
mengakibatkan paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan dermatom yang
diblok. Disamping itu juga memblok saraf otonom dan yang lebih dominan memblok
saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Hipotensi
adalah efek samping yang paling sering terjadi pada anestesi spinal, dengan insidensi
38% dengan penyebab utama adalah blokade saraf simpatis.3
Sectio caesaria merupakan salah satu pilihan bagi ibu-ibu muda untuk
melahirkan dengan lebih nyaman sehingga akhir-akhir ini terlihat kenaikan presentase
sectio caesaria. Hal ini juga mungkin dikarenakan bertambahnya indikasi sectio
caesaria primer dan terdapatnya berbagai kemajuan dalam teknik anestesi serta
pengelolaan penderita. Bahkan pemberian anestesi pada pembukaan kurang dari 4 cm
terbukti sangat meringankan rasa sakit selama persalinan.5,6

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI KOLUMNA VERTEBRALIS


Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis adalah salah satu
faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan tentang
penyebaran analgetika lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia
diperlukan untuk menjaga keamanan/keselamatan tindakan anestesi spinal.4

Gambar 1. Anatomi Kolumna Vertebralis

Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis: 7 servikal, 12 torakal, 5


lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai 4 lekukan, yaitu
lordosis servikalis, kifosis torakalis, lordosis lumbalis dan kifosis sakralis.4

2
Lekukan kolumna vertebralis berpengaruh terhadap penyebaran obat
analgetika lokal dalam ruang subarakhnoid. Pada posisi terlentang titik tertinggi pada
vertebra lumbal 3 dan terendah pada torakal 5.4
Segmen medula spinal terdiri dari 31 segmen: 8 segmen servikal, 12 torakal, 5
lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya kelompok-
kelompok saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah torakal
lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran
yang berhubungan dengan saraf servikal atas dan bawah. Pelebaran servikal
merupakan asal serabut-serabut saraf dalam pleksus brakhialis. Pelebaran lumbal
sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus lumbosakralis. Hubungan antara
segmen-segmen medula spinalis dan korpus vertebralis serta tulang belakang penting
artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi lesi pada medula spinalis dan juga
untuk mencapainya pada pembedahan.4
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang sub arakhnoid dari luar
yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater.
Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai
medula spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat
ruang yang disebut ruang sub arakhnoid.4
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2,
sehingga di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub
arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi
cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal
dari medula spinalis. Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada sisi vertebra
lumbal 2. Dengan fleksi tulang belakang medula spinalis berakhir pada sisi bawah
vertebra lumbal.4

3
B. ANESTESI SPINAL (SUBARAKNOID)

a. Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke
dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.4

b. Mekanisme Kerja Anestesi Regional


Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana tempat
kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah meradang tidak
akan memberi hasil yang memuaskan oleh karena meningkatnya keasaman jaringan
yang mengalami peradangan sehingga akan menurunkan aktifitas dari zat anestesi
lokal (pH nanah sekitar 5)4. Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi
impuls saraf, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui,
potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat (sekilas) pada
permeabilitas membran terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada membran.
Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka
terhadap perubahan voltase muatan listrik (voltase sensitive Na+ channels). Dengan
bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang rangsang membran
akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun,
konduksi impuls melambat dan faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf juga
berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan kemungkinan
menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi
saraf.5
Ada kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan tegangan permukaan
lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan saluran
(channel) pada membran tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift) melalui membran

4
akan terhambat. Zat anestesi lokal akan menghambat perpindahan natrium dengan
aksi ganda pada membran sel berupa :5
1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.
Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat
keluar masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek blok.
Percobaan dari Hille menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi
lokal terletak di dalam saluran natrium.
2. Ekspansi membran.
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan
reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat
non-polar lemak, misalnya barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus dapat
menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan untuk
melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang bergabung dengan
reseptor di membran sel yang mencegah timbulnya potensial aksi. Agar dapat
melakukan aksinya, obat anestesi spinal pertama sekali harus menembus jaringan
sekitarnya.5

Tabel.1. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal.

5
Potensi dan lama kerja anestesi lokal berhubungan dengan sifat individual zat
anestesi lokal dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemiknya, sehingga semakin
tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama kerja anestesi
lokal tersebut.5
Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi
dan dosis. Potensi yang kuat berhubungan dengan tingginya kelarutan dalam lemak,
karena hal ini akan memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat anestesi lokal
mencapai membran sel. Terjadinya vasokontriksi akan menghambat serta
memperpanjang efek, sedangkan vasodilatasi akan meningkatkan pengambilan
(uptake) obat dari jaringan.
Serabut-serabut preganglionik B bermielin dengan daya hantar cepat (faster
conducting) 3 kali lebih sensitif dibandingkan dengan serabut postganglionyc C yang
tak bermielin dengan daya hantar lambat (slowerconducting). Pada percobaan
laboratorium dan klinik didapatkan bahwa semua preganglionyc sensitif terhadap
pengaruh obat anestesi lokal. Serabut jenis ini banyak terdapat pada rami
communicantes alba pada rantai saraf simpatis. Efek yang terjadi adalah hipotensi.
Hal ini sering didapatkan atau merupakan efek samping anestesi regional. Glissen dan

6
kawan-kawan, menemukan bahwa serabut A lebih sensitif daripada serabut B dan C.
Rosenberg dan kawan-kawan, justru mendapatkan bukti bahwa hampir seluruh
serabut-serabut saraf itu (A, B dan C) mempunyai resistensi yang sama besar. Data
dari percobaan laboratorium pada suhu kamar seperti yang dilakukan Glissen
tergantung pada perubahan temperatur dan serabut bermielin memberikan reaksi
terhadap pendinginan dimana serabut A resisten terhadap obat anestesi lokal, hal ini
terjadi karena serabut A-delta yang mengatur sensasi nyeri dan suhu lebih sensitif
dibanding serabut C yang juga mengatur rasa nyeri meskipun ia mempunyai daya
hantar yang lebih cepat. Nyeri patologis (dihantarkan oleh serabut C) seperti yang
terjadi pada robeknya rahim (ruptur uteri) atau plasenta, dapat dihambat dengan
melakukan blok epidural pada penanggulangan nyeri persalinan.5,6
Sensitivitas serabut Aδ yang lebih besar dari pada serabut C mungkin
menerangkan fenomena ini. Serabut-serabut sensorik Aa meskipun kecepatan
hantaran kedua jenis serabut ini sama. Mungkin hal ini terjadi karena serabut sensorik
menghantarkan impuls pada frekwensi yang lebih tinggi. Semua zat anestesi spinal
memblokade bagian sensorik lebih cepat daripada motorik dan menunjukkan
selektivitas yang sama terhadap berbagai serabut saraf yang berbeda. Sensitivitas
relatif dan jenis serabut yang berbeda tergantung dari penempatannya pada berkas
saraf (nerve bundle). Kesimpulannya, tingkat sensitivitas terhadap blokade adalah
sebagai berikut (dimulai dari yang paling sensitif) : preganglionik, nyeri dan suhu
sentuh, propioseptik dan serabut motorik. Tampak bahwa serabut motorik adalah
yang paling sukar di blockade / dihambat.
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang sangat aman khususnya
dalam meminimalkan pengaruh respirasi (pernafasan), meskipun hipoksemia dapat
juga terjadi selama anestesi spinal. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian
hipoksemia ini antara lain: umur, berat badan, tingkat blok dan tipe pembedahan
dipercaya dalam patogenesis desaturasi oksigen, body massa index (BMI), tekanan
darah dan denyut jantung.6

7
Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah
subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai
lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi,
sedangkan saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral
2 (S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak6

Gambar 2. Anestesi Spinal


c. Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan anestesi spinal (informed
concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk
menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya
scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah
penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT)
dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah6
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan
perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum,
dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum
spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran

8
16G sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain,
tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi
aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat
lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke
dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area
penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di
tempat penyuntikan. Pada suhu 37ºC cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-
1,008.6
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan duk
steril juga harus disiapkan. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya
runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis
yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena
jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.6

d. Teknik Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal adalah
sebagai berikut :7
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala,selain enak untuk pasienjuga supaya tulang belakang stabil.
Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba.
Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan
pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

9
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-
3ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa ± 6cm.7

e. Indikasi Anestesi Spinal


Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk
pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila
mammae ke bawah)8. Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki.7

10
f. Kontraindikasi
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan,
hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan
tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri. Sedangkan
kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya, infeksi
ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak diketahui.
Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan tanda-tanda vital
stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal, ahli
anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda infeksi,
yang dapat meningkatkan risiko meningitis8
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat meningkatkan
risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui jarum, jika tekanan
intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal, herniasi otak dapat terjadi.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan hematoma, hal
ini sangat penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan operasi sebelum menginduksi anestesi spinal. Jika durasi operasi tidak
diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup panjang untuk
menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli anestesi
menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi spinal seperti
epinefrin, dan apakah kateter spinal akan diperlukan.8
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang
sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis,
seperti multiple sclerosis, masih kontroversial karena dalam percobaan in vitro
didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap toksisitas obat bius lokal8
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai

11
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan
pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati dalam perawatan anestesi mereka
deformitas dari kolomna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam menempatkan
anesetesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal sebelumnya semua
faktor dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa anestesi spinal. Hal ini
penting untuk memeriksa kembali pasien untuk menentukan kelainan apapun pada
anatomi sebelum mencoba anestesi spinal8.
Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
1. Pasien menolak 1. Infeksi sistemik (sepsis,
bakteremia)
2. Infeksi pada tempat suntikan
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Hipovolemia berat
3. Kelainan neurologis
4. Koagulopati atau mendapat
4. Kelainan psikis
terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meninggi 5. Bedah lama
6. Fasilitas resusitasi minim 6. Penyakit jantung
7. Kurang pengalaman atau /
7. Hipovolemia ringan
tanpa didampingi konsultan
anestesi 8. Nyeri punggung kronis

g. Komplikasi
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi
lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal10.
Komplikasi sirkulasi9:

1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya
terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur
setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75
mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala

12
penurunan tekanan darah, maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari
cedera pada ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi,
akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi9.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan
anestesi spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti
efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal total dengan
anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita harus
melakukan intubasi dan melakukan ventilasi paru, serta berikan penanganan
seperti pada hipotensi berat. Dengan cara ini, biasanya blok spinal total dapat
diatasi dalam 2 jam9.

2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan
atropin 0,5 mg intravena9.

3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi
spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan
memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring.
Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada
hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya
cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin
besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan
membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh menggunakan satu bantal)
selama 24 jam9.

13
Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976) dikelompokkan
menjadi 4 skala yakni:
1. Nyeri kepala ringan yang memungkinkan periode lama untuk duduk
/ berdiri dan tanpa ada gejala tambahan lain.
2. Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada
pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di sertai
dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran dan penglihatan.
3. Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat tidur,
berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering disertai dengan
mual, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran.
4. Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita sedang
berbaring terlentang di tempat tidur dan bertambah makin berat bila duduk
atau berdiri, untuk makan tidak mungkin dilakukan karena mual dan
muntah.10
Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan PDPH,
baik invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim anestesi. Walaupun
tidak semuanya didukung oleh evidence based yang lengkap, tetapi
kebanyakan telah diterima dengan baik oleh berbagai kalangan anestesiolog.
Terapi non-invasif meliputi tirah baring, status hidrasi, posisi, ikatan
abdominal, analgesia, dan obat-obat farmakologis lain seperti kaffein
intravena, theophylline, dsb. Terapi invasif meliputi Epidural Blood Patch
dan Epidural Dextran.10
Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen
abdomen, pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien tetap
supine akan mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong cairan keluar
dari lubang dura dan meminimalkan nyeri kepala. Medikasi analgesia bisa
berkisar dari asetaminofen sampai NSAID. Hidrasi dan kaffein bekerja
menstimulasi produksi CSF. Kaffein membantu dengan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial. Salah satu yang menjadi faktor

14
penentu terjadinya PDPH adalah status hidrasi pasien, dimana konsep hidrasi
pada PDPH masih banyak salah dimengerti. Tujuan dari hidrasi adalah untuk
memastikan kecepatan produksi CSF optimal, dimanaselama 10 menit. Bila
terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka dinyatakan Tilt Test positif dan
pasien masih belum terhidrasi dengan cukup.10
Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif
terhadap PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous ke
ruang epidural pada, satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan
dura. Hal ini dipercaya akan menghentikan kebocoran yang terjadi pada CSF
oleh karena efek massa atau koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera atau
beberapa jam setelah tindakan ketika produksi CSF secara perlahan akan
meningkatkan tekanan intrakranial yang dibutuhkan. Sebanyak 90% pasien
akan memberikan respon terhadap tindakan blood patch ini.10

4. Komplikasi Respirasi
a) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
b) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
c) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
d) Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan pernafasan buatan11.

5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal
serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri

15
kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke
posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal, dengan
kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan
meningkat11.

h. Obat-Obat Anestesi Spinal


1. BUPIVAKAIN
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai
berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih
kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO af
Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 196312. Secara komersial
bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih
menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan
untuk analgesia selama persalinan dan pasca bedah.20
Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun
hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi
abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan
konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain
hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 15-
22,5 mg. Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah
kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan
bila dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari
bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya
yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain 12. Bupivakain juga
mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai
kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan
nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri
selama 2 jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat

16
berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik
anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada
dosis 0,25 – 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska
bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan untuk
pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 – 0,5 %,
epidural 0,5 – 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal
adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB.12

Farmakologi bupivakain
Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron dengan cara
menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam
memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan
dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang
terkena menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik,
nyeri, suhu, raba, propriosepsi, tonus otot skelet 12. Eliminasi bupivakain
terjadi di hati dan melalui pernafasan (paru-paru). Bila pasien mengalami syok
hipovolemik, septikemia, infeksi pada beberapa organ, atau koagulopati,
suntikan epidural, kaudal atau subarachnoid harus dihindari. Kadar
bupivakain plasma toksik (contohnya toksik, akibat suntikan intravaskuler)
dapat menyebabkan colaps kardiopulmonal dan kejang. 12
Pencegahan terjadinya komplikasi dengan cara mencegah overdosis
(memberikan obat sesuai dosis yang dianjurkan), hati-hati dalam memberikan
penyuntikan intravena dengan menggunakan tehnik yang benar, mengaspirasi
terlebih dahulu sebelum bupivacaine dimasukkan, test dose 10% dari dosis
total, mengenali gejala awal dari toksisitas, mempertahankan kontak verbal
dengan pasien, memonitor frekuensi dan pola pernafasan, tekanan darah, dan
frekwensi nadi. Tanda dan gejala prapemantauan dimanifestasikan sebagai
rasa tebal dari lidah dan rasa logam, gelisah, tinitus, dan tremor. Dukungan
sirkulasi (cairan intravena, vasopresor, natrium bikarbonat IV 1 – 2 mEq / kg

17
untuk mengobati toksisitas jantung (blokade saluran natrium), bretilium IV 5
mg/kg, kardioversi/defibrilasi DC untuk aritmia ventrikuler dan
mengamankan saluran pernapasan pasien (ventilasi dengan oksigen 100 %)
merupakan hal yang penting. Tiopental (0,5 – 2 mg/kg IV), midazolam (0,02
– 0,04 mg/kg IV), atau diazepam (0,1 mg/kg IV) dapat digunakan untuk
profilaksis dan atau pengobatan kejang.12,13
Tingkat blokade simpatik (bradikardia dengan blok diatas T5)
menentukan tingkat hipotensi (sering ditandai dengan mual dan muntah)
setelah bupivakain spinal / subarakhnoid. Hidrasi cairan (10-20 ml/kg larutan
NS atau RL), obat vasopresor (contohnya efedrin) dan pergeseran uterus ke
kiri pada pasien hamil, dapat digunakan sebagai profilaksis dan pengobatan.
Memberikan sulfas atropin untuk mengobati bradikardi.13

Farmakokinetik bupivakain dalam ruang subarakhnoid.


Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan
mengalami penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya:
dilusi dan pencampuran di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh
jaringan saraf, uptake dan fiksasi oleh jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi
oleh pembuluh darah8. Didalam ruang subarakhnoid obat akan kontak dengan
struktur jaringan saraf dan obat ini akan memblokade transmisi impuls
serabut-serabut saraf. Aktivitas anestesi lokal dalam ruang subarakhnoid yang
penting di akar-akar saraf di medula spinalis (primer), ganglia dorsalis dan
sinap-sinap di kornu anterior dan posterior (sekunder) dan traktus asenden dan
desenden parenkim di medula spinalis. Lama analgesik anestetik
subarakhnoid tergantung pada beberapa faktor, yang pertama adalah
konsentrasi anestetik lokal dalam liquor cerebro spinalis dan yang kedua
adalah absorpsi obat anestetik oleh sistim vaskuler. Semakin besar
konsentrasinya akan semakin lama efek analgesiknya. Konsentrasi analgesik
akan menurun sesuai paruh waktu terhadap jarak dari tempat dengan

18
konsentrasi yang terbesar, dan secara klinis akan terjadi suatu regresi
analgesik dari atas ke bawah menuju daerah dengan konsentrasi terbesar.13
Penilaian terhadap lama kerja anestetik 1okal pada blok subarakhnoid
dapat dilakukan dengan berbagai cara : waktu hilangnya analgesi pada daerah
operasi, waktu yang diperlukan pemberian analgesik yang pertama kali paska
bedah, waktu yang diperlukan untuk terjadinya regresi motorik dan waktu
yang diperlukan untuk terjadinya regresi analgesik pada 2 atau 4 segmen.13

Mula Kerja Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Isobarik


Mula kerja anestesi spinal sangat ditentukan oleh nilai pKa, semakin
rendah nilai pKa semakin cepat mula kerjanya. Bupivakain mempunyai
tingkat daya ikat protein tinggi (95,6%) namun nilai pKa juga tinggi. Pada
saat ini, bupivakain 0,5% isobarik maupun hiperbarik banyak digunakan
untuk operasi abdominal bawah dengan anestesi spinal. Telah dilaporkan
bahwa bupivakain 0,5% 9,75 mg isobarik mempunyai mula kerja 5 menit
lebih cepat dibandingkan hiperbarik. Namun hal ini berbeda dengan penelitian
lain menemukan fakta bahwa pada 20 sampel yang mendapatkan anestesi
spinal dengan bupivakain 10 mg hiperbarik mempunyai mula kerja blokade
sensorik dan motorik 2 kali lebih cepat (rata-rata 9 menit) dibandingkan 10
mg bupivakain isobarik (rata-rata 18 menit).13
Bupivakain 0,5% hiperbarik mempunyai kualitas analgesik dan
relaksasi motorik intraoperatif yang kurang memuaskan, mula kerja blokade
sensorik dan motorik lebih cepat dan lama kerja blokade sensorik dan motorik
lebih panjang bila dibandingkan dengan ropivakain hiperbarik.

Lama Kerja Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Isobarik


Mengenai lama kerja anestetik ditentukan oleh kecepatan absorbsi
sistemiknya, jenis anestesi lokal, besarnya dosis, vasokonstriktor dan
penyebaran anestesi lokal. Semakin tinggi daya ikat protein terhadap reseptor

19
semakin panjang lama kerjanya. Dikatakan bahwa lama kerja blokade
sensorik dan motorik bupivakain hiperbarik lebih panjang dibandingkan
dengan bupivakain isobarik. Sedangkan penelitian menemukan fakta yang
berlainan yaitu pada 20 sampel yang mendapatkan anestesi spinal dengan
bupivakain 0,5% 10 mg hiperbarik mempunyai lama kerja blokade sensorik
dan motorik 2 kali lebih cepat ( rata-rata 92 menit) dibandingkan isobarik
(rata-rata 177 menit).14
Pada spinal anestesi dengan bupivakain 0,5% isobarik mempunyai
lama kerja blokade sensorik dan motorik 2 kali lebih panjang dibandingkan
bupivakain 0,5% hiperbarik. Pemberian bupivakain 0,5% isobarik 15 mg telah
dilaporkan dapat menghasilkan efek spinal blok anestesi yang lebih cepat jika
dibandingkan dengan pemberian bupivakain 0,5% 15 mg hiperbarik. Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi hasil ini antara lain: umur, tinggi badan,
anatomi batang spinal, tehnik injeksi, volume Cerebro Spinal Fluid (CSF),
density CSF dan baricity obat anesthesi, posisi pasien, dosis serta volume obat
anestesi. Bupivakain 0,5% isobarik diberikan secara injeksi akan bercampur
dengan CSF (paling sedikit 1:1), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat blockade neural meliputi tingkat injeksi, tinggi badan dan anatomi
kolumna vertebralis, Sedangkan bupivakain 0,5% hiperbarik dapat diberikan
tergantung dari area spinal (secara normal T4-T8 dalam posisi telentang).14
Efek samping anestesi spinal yang sering terjadi adalah hipotensi dan
bardikardi. Biasanya terjadi 5 menit setelah anestesi spinal. Dilaporkan juga
setelah 45 menit pemberian bupivakain 0,5% isobarik akan terjadi penurunan
tekanan darah dan penurunan denyut jantung. Disamping itu mual-muntah,
blokade spinal tinggi, keracunan, menggigil, retensi urin, post dural puncture
headache dan henti jantung dapat juga terjadi.

20
2. FENTANYL
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM
(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan
kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan
rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika.14
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit.
Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf
pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak
sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa
terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah
efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan
periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan.14
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB)
meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia
pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah
dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 µg
menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek
apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek samping.14
Saat ini Bupivakain 0,5% digunakan umumnya untuk anestesi spinal dan
epidural. Jika digabungkan dengan fentanyl intratekal dapat memberikan
kedalaman anestesi dengan mengurangi dosis bupivakain. Fentanyl merupakan
opioid lipofilik dan mempunyai onset kerja cepat dan lama kerja pendek sehingga
insidensi depresi pernafasan lebih rendah. Dari hasil penelitian didapatkan
dimulainya blok terhadap sensorik pada T6.14

21
Dari penelitian ini terbukti bahwa dengan penambahan fentanil pada anastesi
spinal dapat mengurangi dosis bupivacain sehingga insidensi hipotensi dan
penurunan tekanan darah sistolik dapat menurun juga.14

C. SECTIO CAESARIA
Sectio caesaria adalah lahirnya janin, plasenta, dan selaput ketuban melalui
irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim, dengan membuka dinding perut dan
dinding uterus. Terdapat beberapa jenis sectio caesaria yang dikenal saat ini, yaitu:

1. Sectio caesaria transperitonealis profunda


2. Sectio caesaria klasik/corporal
3. Sectio caesaria ekstraperitoneal
4. Sectio caesaria dengan teknik histerektomi

Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik sectio caesaria
transperitoneal profunda dengan insisi di segmen bawah uterus. Keunggulan teknik
ini antara lain perdarahan akibat luka insisi tidak begitu banyak, bahaya peritonitis
tidak terlalu besar, dan perut pada umumnya kuat sehingga bahaya rupture uteri di
masa mendatang tidak besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak
mengalami kontraksi yang kuat seperti korpus uteri. Hal ini menyebabkan luka dapat
sembuh sempurna.26

INDIKASI SECTIO CAESARIA

Indikasi ibu:27

1. Panggul sempit
2. Perdarahan ante partum
3. Disproporsi janin dan panggul
4. Stenosis serviks uteri

22
5. Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
6. Preeklamsi/hipertensi
7. Bakat rupture uteri
8. His lemah
9. Ketuban pecah dini

Indikasi janin: 28

1. Kegagalan kemajuan pembukaan jalan lahir


2. Gawat janin
3. Gemeli
4. Disproporsi sefalopelvik
5. Letak janin abnormal
6. Premature
7. Fetal distress
8. Problem plasenta
9. Riwayat sectio caesaria sebelumnya

Indikasi waktu/profilaksis:
1. Partus lama
2. Partus macet/tidak maju

KOMPLIKASI SECTIO CAESARIA


Mortalitas dan morbiditas bayi yang lahir dengan sectio caesaria lebih besar
dibandingkan dengan bayi lahir spontan. Hal ini disebabkan oleh : 29

1. Indikasi sectio caesaria pada ibu sering merupakan keadaan yang telah
menyebabkan hipoksia pada bayi sebelum lahir.
2. Obat anestesi yang diberikan pada ibu sedikit lebih banyak akan
mempengaruhi bayi.

23
3. Kemungkinan trauma yang terjadi pada waktu operasi.
4. Sectio caesaria yang dikerjakan pada bayi premature, ketuban pecah lama,
infeksi intrapartum, dan lain-lain akan mempunyai resiko terhadap bayi.

Pada saat ini sectio caesaria sudah jauh lebih aman daripada beberapa tahun
yang lalu. Namun perlu diperhatikan bahwa terdapat beberapa risiko komplikasi
sectio caesaria yang dapat terjadi pada ibu dan janin. Faktor-faktor yang
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pembedahan antara lain kelainan atau
gangguan yang menjadi indikasi untuk melakukan pembedahan, dan lama persalinan
berlangsung. Beberapa komplikasi yang dapat timbul antara lain sebagai berikut :27

1) Infeksi puerperal (nifas)


Infeksi puerperal yang terjadi bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu
selama beberapa hari dalam masa nifas. Komplikasi yang terjadi juga bisa
bersifat berat, seperti peritonitis, sepsis, dan sebagainya. Infeksi pasca operatif
terjadi apabila sebelum pembedahan sudah terdapat gejala-gejala infeksi
intrapartum, atau ada faktor-faktor yang merupakan predisposisi terhadap
kelainan tersebut. Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan pemberian
antibiotka, namun tidak dapat dihilangkan sama sekali.
2) Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul waktu pembedahan jika cabang-cabang arteria
uterine ikut terbuka, atau karena terjadinya atonia uteri.
3) Komplikasi-komplikasi lain
Komplikasi lain yang dapat terjadi antara lain adalah luka kandung kencing
dan terjadinya embolisme paru.
4) Suatu komplikasi yang baru tampak pada kemudian hari
Komplikasi jenis ini yaitu kemungkinan terjadinya rupture uteri pada masa
kehamilan yang selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh kurang kuatnya perut
pada dinding uterus. Komplikasi ini lebih sering ditemukan setelah dilakukan

24
metode sectio caesaria klasik.
5) Komplikasi pada anak
Nasib anak yang dilahirkan dengan sectio caesaria banyak tergantung dari
keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan section caesaria. Menurut
statistik di negara-negara dengan pengawasan antenatal dan intra natal yang
baik, kematian perinatal pasca sectio caesaria berkisar antara 4% dan 7%.26

25
BAB III

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 68 kg
Tinggi badan : 154 cm
Alamat : Jln. Diponegoro
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Diagnosa pra bedah : G3P2A0 Gravid 38-39 minggu + Belum Inpartu
+Bekas SC 2x
Jenis pembedahan : Sectio Caesarea
Tanggal operasi : 27 Mei 2022
Jenis anestesi : Regional Anestesi Subarachnoid
Anestesiology : dr. Ajutor Donny Tandiarrang,
Sp.An Ahli bedah : dr. Abd.Faris, Sp.OG (K), M.Kes

A. S-O-A-P
1. Subjektif :
 Keluhan Utama : Belum inpartu
 Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke RS dengan pengantar dari dr.
Abd.Faris, Sp.OG (K), M.Kes, dengan G3P2A0 Gravid 38-39 minggu +
Belum Inpartu +Bekas SC 2x, Nyeri perut (-), pelepasan lendir (-) Keluhan
lain : Sakit kepala (-), Mual (-), Muntah (-), demam (-), sesak (-), BAB
lancar dan BAK lancar.

26
 Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat penyakit hipertensi (-)
- Riwayat penyakit asma (-)
- Riwayat alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
- Riwayat trauma atau kecelakaan (-)
- Riwayat merokok (-)
- Riwayat Kejang (-)
- Riwayat Operasi (+) 2x 2010 dan 2017
- Riwayat Anestesi (+) SAB di tahun 2010 dan 2017
 Riwayat penyakit keluarga :
- Riwayat penyakit DM : tidak ada
- Riwayat penyakit alergi : tidak ada
- Riwayat penyakit asma : tidak ada
- Riwayat penyakit darah tinggi : tidak ada
- Lain-lain : tidak ada
2. Objektif :
 Pemeriksaan Fisik : (B1-B6)
 B1 (Breath)
- Gigi Palsu (-) Gigi Goyang (-)
- Mallampati Score : 2
- Leher pendek (-)
- Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi (-)
- Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri
- Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi : Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),

27
Wheezing (-/-)
- RR : 20 x/menit.
 B2 (Blood)
- TD : 140/70
- Akral : Normal
- Konjungtiva Anemis : (-/-)
- Nadi : Reguler, 80 x/menit
-

 B3 (Brain)
- Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
- Mata : Conjungtiva anemis (-/-),
sclera ikterik (-/-), reflex cahaya (+/+)

- Suhu : 36,60C
- VAS 0

 B4 (Bladder)
- BAK (+) biasa, Nyeri berkemih (-)
 B5 (Bowel)
- Inspeksi : Kembung (-), tidak terdapat jejas
- Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
- Perkusi : Bunyi timpani, Asites : (-)
- Palpasi : Nyeri tekan(-), Massa (-)
- Mual (-), Muntah (-), Jejas (+), bising usus (-), BAB cair (-)
 B6 (Back & Bone)
- Ekstremitas : akral hangat
- Edema (-)
- Pergerakan terbatas (-/-)
- Fraktur dan dislokasi (-)

28
 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium

- Tabel 1. Hasil Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 23 Juni 2022

Hasil Rujukan

Hemoglobin 10,3↓ 11,7-15,5 g/dl

Leukosit 15,1↑ 3,6-11,0 x 103/ul

Eritrosit 4 3,8-5,2 x 106/ul

Hematokrit 30,1↓ 35-47%

Trombosit 384 150-440 x 103/ul

BT 3’00

CT 8,00

29
- Tabel 2. Hasil Laboratorium Kimia Darah Tanggal 23 Juni 2022

Hasil Rujukan

Seroimmunologi
HbsAg Non-reaktif Non-reaktif
Anti HCV Non-reaktif Non-reaktif
Rapid test Covid-19 antigen Non reaktif Non reaktif
PCR Non reaktif Non reaktif

3. Assesment
 Status fisik ASA 2
 Rencana anestesi : Regional anestesi
 Diagnosis pra-bedah : G3P2A0 Gravid 38-39 minggu + Belum Inpartu
+Bekas SC 2x
4. Plan
- Jenis anestesi : Regional anestesi
- Teknik anestesi : Spinal anestesi block
- Regimen : Bupivacain 0,5% 10 mg + Fentanyl 25 mcg
- Jenis pembedahan : Sectio Caesarea

5. Persiapan pasien preoperatif diruangan :


a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Pasien dipuasakan minimal 6-8 jam pre-operasi
c. Persiapan darah 1 kantong
d. Pasang Infus menggunakan cairan Ringer Laktat 20 tpm, abbocath no.18,
transfusi set
e. Mencatat tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh dan saturasi oksigen

30
6. Persiapan di kamar operasi :
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
 Meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan.
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
 Obat-obat anastesia yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya ; epinefrine, atropine, lidocain 2% dan lain-
lainnya.
 Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
 Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
 Kartu catatan medik anesthesia
 Evaluasi ulang status present pasien : tekanan darah, nadi, dan SpO2
 Menyiapkan STATICS

7. Prosedur Regional Anastesi :


a. Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kanan dengan cairan
ringer laktat menggunakan transfusi set
b. Memasang monitor untuk melihat tekanan darah, heart rate, saturasi oksigen
dan laju respirasi.
c. Oksigenasi O2 via nasal canule 2 lpm
d. Spinal Anestesi : posisi LLD, Identifikasi Interspace Vert. Lumbal 3-4
Desinfeksi dengan betadine dan alcohol.
e. Insersi Spinocan nomor 26 G , LCS (+) mengalir, darah (-), barbotage (+).
f. Induksi dengan Injeksi Bupivacain 0,5 % 10 mg dan Fentanyl 25 mcg Via
Spinocan
g. Kembali ke posisi supine, Prick Test Sensorik setinggi T10

31
h. Maintenance : O2 2 L/menit
i. Pasien ditransfer ke recovery room

8. Laporan Anestesi
a) Diagnosis pra-bedah : G3P2A0 Gravid 38-39 minggu + Belum Inpartu
+Bekas SC 2x
b) Diagnosis post-bedah : P3A0 post SC Aterm a/i bekas SC2x
c) Jenis pembedahan : Sectio Caesarea
d) Anestesiologi : dr.Ajutor Donny Tandiarrang, Sp.An
e) Ahli Bedah : dr.Abd. Faris. Sp.OG(K), M.Kes
f) Persiapan anestesi : RL 20 tpm, Abbocath 18 G, Puasakan 6-8 jam
g) Jenis anestesi : Anestesi Regional
h) Teknik anestesi : Spinal Arachnoid Blok
i) Premedikasi anestesi : Ondancentro 4 mg, Dexametason 10 mg
j) Induksi : Bupivacaine 0,5 % 10 mg dan Fentanyl 25 mcg
k) Maintenance : O2 2 L/menit, ibuprofen 400mg+ Nacl 0.9%, ,
Bupivacain 100 mg + fentanyl 20 µg, Metylergometrin 0,2 mg, Efedrin 80
mg, oxytocin 10 IU
l) Anestesi mulai :10.40 WITA
m) Operasi mulai : 10.45 WITA
n) Selesai operasi : 11.45 WITA
o) Selesai Anestesi : 11.50 WITA
p) Lama Operasi : 1 jam
q) Lama anastesi : 1 jam 10 menit
r) Cairan yang masuk durante operasi : Ringer Lactate 1500 cc, Gelofusin
500cc, Nacl 0,9% 500 cc.
s) Perdarahan : ± 200 cc
t) Urin tampung : ± 100 cc

32
Tabel 2. Komponen STATICS

Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.


Scope Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
S
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
Pipa LMA, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini
T Tubes
digunakan laryngeal mask airway ukuran 3 mm
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini menahan
A Airways
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan
jalan napas.
Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
T Tapes
tercabut.
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
I Introducer yang mudah dibengkokkan untuk pemandu. Pada pasien
ini tidak digunakan introducel atau stilet.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Lampiran Monitoring Tindakan Operasi :


Jam Tindakan Tekanan Nadi Saturasi
Darah (x/menit) Oksigen
(mmHg) (%)
10.35  Pasien masuk ke kamar 122/83 78 100

33
operasi, dan dipindahkan
ke meja operasi
 Pemasangan monitoring
tekanan darah, nadi,
saturasi O2
 Infus ringer lactat
terpasang pada tangan
kanan
10.40  Spinal Anesthesia Block 110/69 100 100
dimulai menggunakan
Bupivacain 0,5 % 15 mg +
Fentanil 25 mcg via
spinocain No 26 G.
10.45  Insisi di mulai 115/65 110 100
 Evaluasi TTV
 Injeksi Ephedrine 1 m/ IV
 Gelofusin 500 cc
10.50  Evaluasi TTV 100/70 107 100
10.55  Evaluasi TTV 100/68 100 100
11.00  Evaluasi TTV 97/65 100 100
 Injeksi Ephedrine 1 m/ IV
 Bayi laki-laki lahir
 Injeksi Oxytocine 10 IU
 Injeksi Metrylerogometrin
0,2mg
 NaCl 0,9% + Oxytocine 2
amp
11.05  Evaluasi TTV 125/62 108 100

34
11.10  Evaluasi TTV 114/60 101 100
11.15  Evaluasi TTV 98/58 97 100
 Injeksi Ephedrine 1 ml/IV
 Ringer Laktat 500cc
11.20  Evaluasi TTV 129/78 111 100
11.25  Evaluasi TTV 119/58 98 100
11.30  Evaluasi TTV 120/91 101 100
 Ringer Laktat 500cc
11.35  Evaluasi TTV 110/67 100 100
11.40  Evaluasi TTV 112//60 96 100
11.45  Evaluasi TTV 110/89 100 100
 Operasi Selesai
11.50  Evaluasi TTV 114/81 98 100
 Pasien ditransfer ke
recovery room.

Cairan yang Dibutuhkan Aktual


Pre Operasi BB: 68 Kg Input:
Cairan maintenance -Ringer laktat
Kebutuhan cairan per jam : 500 cc
40 x 68 kg
2.720 ml / 24 jam Output :
113 ml/jam Urin 100 cc
Cairan Pengganti Puasa (P) = Lama puasa
(Jam) x M
P = 8 jam x 113cc
= 904 cc/jam

35
Defisit cairan puasa
= Kebutuhan cairan pengganti puasa – cairan
yang masuk saat puasa
= 904 cc – 500 cc = 404 cc
Durante Estimasi Blood Volume Input:
Operasi EBV = BB x 65 mL/kg BB - RL: 1000cc
= 68 kg x 65 mL - Nacl 0,9% :
= 4.420 mL 500 cc

Jumlah perdarahan selama operasi : ± 200 cc x -Gelofusin 500


3= 600 cc cc

(untuk mengganti kehilangan darah 200 cc


diperlukan 600 cc cairan kristaloid )
Output:
%Perdarahan = Jumlah perdarahan : EBV x -Perdarahan:
100% ± 200 cc
= 200 cc : 4.420 x 100%
= 4,52 %
Stress Operasi sedang = 6 ml/kgBB/jam x BB
(kg)
= 6 ml/kgBB/jam x 68 kg
= 408 ml/jam

Perhitungan Total cairan Masuk (input)


Cairan = Preoperatif + Durante Operatif
= 500 + 2000 ml = 2500 ml

36
Total Kebutuhan Cairan selama operasi
= stress operasi + defisit darah selama operasi
= 408 ml + 200 ml
= 608 ml

Keseimbangan cairan
= Cairan masuk – (Kebutuhan Cairan selama
operasi+Puasa)
= 2500 ml – (608 +904 ml)
= 2500 ml – 1.512 ml
= 988 ml
Post BB: 45 Kg
Operasi Cairan maintenance
Kebutuhan cairan per jam :
= 988 ml x 68 kg
= 67.184 ml/24 jam
= 2.79 ml/jam

Pemantauan di Recovery Room :


Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik. Pada pasien tekanan darah 126/69 mmhg,
nadi 81 x/menit, dan laju respirasi 20x/menit. Bromage score 0 maka dapat dipindah
ke ruang perawatan.

37
38
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien perempuan berusia 31 tahun dengan G3P2A0


Gravid 38-39 minggu + Belum Inpartu +Bekas SC 2x dilakukan operasi Sectio
Caesarea. Tindakan yang digunakan pada operasi ini yaitu, anestesi regional
menggunakan spinal subarachnoid. Anestesi spinal adalah pemberian obat
antestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid . Anestesi spinal di indikasikan
terutama untuk bedah ekstremitas inferior, bedah panggul, tindakan sekitar rektum
dan perineum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah
dan operasi ortopedi ekstremitas inferior.
Sebelum dilakukan tindakan operasi, dilakukan evaluasi pra-anestesia yang
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan
status fisik ASA dan risiko operasi. Pada pasien ini termasuk ASA 2 karena pasien
memiliki indikasi operasi karena belum inpartu dan bekas sc 2x disertai
gangguan sistemik ringan yaitu anemia dan leukositosis .
American Society of Anestesiology (ASA) 2020 membuat klasifikasi status
fisik pra-anestesi menjadi 6 kelas yaitu :7
Contoh Dewasa, Contoh Anak,
Contoh Kehamilan,
Klasifikasi Termasuk, tapi Termasuk, tapi
Definisi Termasuk, tapi tidak
ASA tidak terbatas tidak terbatas
terbatas pada:
pada: pada:
ASA I Pasien sehat Sehat, tidak Sehat (tidak ada
yang normal merokok, tidak/atau penyakit akut atau
penggunaan alcohol kronis),
yang minimal BMI normal
persentil untuk
usia

39
ASA II Pasien Hanya Penyakit Penyakit jantung Kehamilan normal *,
dengan ringan tanpa batasan bawaan HTN kehamilan yang
Penyakit substantif asimptomatik, terkontrol, anemia
sistemik fungsional. disritmia yang preeklamsia terkontrol
yang ringan perokok, sosial terkontrol dengan tanpa gambaran yang
peminum alkohol, baik, parah,
kehamilan, obesitas asma tanpa Diet DM Gestasional
(30 <BMI <40), eksaserbasi, yang terkontrol.
DM / HTN epilepsi yang
terkontrol dengan terkontrol dengan
baik, penyakit paru- baik, noninsulin
paru yang ringan diabetes
mellitus, BMI
abnormal
persentil untuk
usia, OSA ringan /
sedang, status
onkologis dalam
remisi, autisme
dengan
keterbatasan
ringan
ASA III Pasien Batasan fungsional Kelainan jantung Preeklamsia dengan
dengan yang substansial; kongenital stabil gambaran berat, DM
Penyakit Satu atau lebih yang tidak gestasional dengan
sistemik penyakit sedang terkoreksi, asma komplikasi atau
yang berat hingga berat. DM dengan kebutuhan insulin yang
atau HTN yang eksaserbasi, tinggi, penyakit

40
tidak terkontrol, epilepsi yang tidak trombofilik yang
COPD, obesitas terkontrol, membutuhkan
morbiditas (BMI diabetes mellitus antikoagulasi.
≥40), hepatitis aktif, yang tergantung
ketergantungan atau insulin, obesitas
penyalahgunaan morbid,
alkohol, alat pacu malnutrisi, OSA
jantung implan, berat, status
pengurangan fraksi onkologis, gagal
ejeksi sedang, ginjal, distrofi
ESRD yang otot, fibrosis
menjalani dialisis kistik, riwayat
terjadwal secara transplantasi
teratur, riwayat IM, organ, malformasi
CVA (> 3 bulan), otak / sumsum
TIA, atau CAD / tulang belakang,
stent. hidrosefalus
simptomatik, PCA
bayi prematur <60
minggu, autisme
dengan
keterbatasan berat,
penyakit
metabolik,
kesulitan jalan
napas, penggunaan
nutrisi parenteral
jangka panjang.

41
Bayi cukup bulan
usia <6 minggu.
ASA IV Seorang MI, CVA, TIA atau Kelainan jantung Preeklamsia dengan
pasien CAD / stent terkini kongenital gambaran yang berat
dengan (<3 bulan), iskemia yangbergejala, dipersulit oleh
penyakit jantung yang gagal jantung penyakit HELLP atau
sistemik sedang berlangsung kongestif, gejala efek samping lainnya,
berat yang atau disfungsi katup sisa prematuritas kardiomiopati
merupakan yang parah, aktif, ensefalopati peripartum dengan EF
ancaman pengurangan fraksi hipoksia-iskemik <40, penyakit jantung
seumur hidup ejeksi yang berat, akut, syok, sepsis, tidak terkoreksi /
syok, sepsis, DIC, koagulasi dekompensasi, didapat
ISPA atau ESRD intravaskular atau bawaan.
yang tidak diseminata,
menjalani dialisis defibrilator
terjadwal secara kardioverter
teratur implan otomatis,
ketergantungan
ventilator,
endokrinopati,
trauma berat,
gangguan
pernapasan berat,
keadaan onkologis
lanjut.
ASA V Seorang Aneurisma Trauma masif, Ruptur uteri
pasien yang abdomen / toraks perdarahan
sekarat atau yang pecah, trauma intrakranial

42
keadaan masif, perdarahan dengan efek
beratdan intrakranial dengan massa, pasien
diperkirakan efek massa, iskemik yang
tidak akan usus saat membutuhkan
selamat tanpa menghadapi ECMO, gagal atau
operasi kelainan jantung henti pernapasan,
yang signifikan atau hipertensi maligna,
disfungsi multi gagal jantung
organ / sistem kongestif /
dekompensasi,
ensefalopati
hepatik, iskemik
usus ataudisfungsi
multi organ /
sistem.
ASA VI Seorang pasien yang terkonfirmasi mengalami kematian batang otak yang
organnya akan diambil untuk tujuan donor
** Penambahan "E" menunjukkan operasi Darurat : (Keadaan darurat didefinisikan
sebagai tanda jika terjadi penundaan dalam perawatan pasien akan menyebabkan
peningkatan yang signifikan dalam ancaman terhadap nyawa atau bagian tubuh).

Pre-operasi menjelaskan kepada pasien anastesi yang akan di lakukan


tindakan pembedahan dan menjelaskan kepada keluarga mengenai resiko-
resiko dari teknik anastesi, meminta pasien untuk tidak memakai gigi palsu
(jika ada) serta perhiasan, memasang kateter, memasang cairan infus yaitu
Ringer Laktat, menggunakan tranfusi set dan abbocath 18 G, menyiapkan 1
kantong darah

43
Pada persiapan periopeatif dilakukan juga puasa sebelum operasi. Puasa
preoperatif pada pasien pembedahan bertujuan untuk mengurangi volume lambung
tanpa menyebabkan rasa haus dan dehidrasi. Puasa preoperatif yang disarankan
menurut ASA adalah 6 jam untuk makanan ringan, 8 jam untuk makanan berat dan 2
jam untuk air putih. Puasa preoperatif yang lebih lama akan berdampak pada kondisi
pasien preoperatif serta pascaoperatif. Pada pasien ini menjalani puasa sekitar ± 8
jam sebelum operasi dilakukan. Hal ini sudah sesuai teori dimana anjuran puasa
perioperative adalah selama 6-8 jam sebelum operasi.
Pada saat sebelum operasi, pasien diberikan premedikasi terlebih
dahulu. Premedikasi yang diberikan yaitu Antiemetik Ondansentron injeksi 4
mg (IV). Konsentrasi 4 mg/2ml dalam 1 Ampul 2 ml, dosis 0,05-01 mg/kgBB
Ondansentron, sebagai anti emetik, suatu antagonis selektif 5-HT3, menghambat
serotonin dan bekerja berdasarkan mekanisme sentral dan perifer. Mekanisme sentral
dengan mempertinggi ambang rangsang muntah di chemoreceptor trigger zone.
Mekanisme perifer dengan menurunkan kepekaan saraf vagus terminalis di visceral
yang menghantar impuls eferen dari saluran cerna ke pusat muntah.Onset 30 menit,
dengan durasi 3 jam. Pada pasien ini diberikan ondancentron 4 mg (IV) untuk
mendapatkan efek emetik sehingga pasien tidak merasakan mual ataupun
muntah saat dilakukan induksi operatif ataupun pasca operatif.
Pada pasien ini dilakukan anastesi regional yaitu spinal anastesi sesuai
dengan salah satu indikasi dilakukannya tindakan anastesi spinal yaitu bedah
abdomen bawah. Keuntungan anestesi regional adalah penderita tetap sadar,
sehingga refleks jalan napas tetap terpelihara. Anestesi spinal merupakan teknik
anestesi yang aman, terutama pada operasi di daerah umbilikus ke bawah. Waktu
prosedur analgesia spinal juga lebih singkat, relatif mudah, dan efek analgesia lebih
nyata (kualitas blok motorik dan sensorik yang baik), serta mulai kerja dan masa
pulih yang cepat dari anestesi jenis ini.
Pada anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi
absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia

44
berat, syok hipovolemia, koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan, tekanan
intrakanial meninggi, fasilitas resusitasi minim, kurang pengalaman/tanpa didampingi
konsultan anestesi. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi infeksi sitemik (sepsis,
bakteremi), infeksi sekitar tempat suntikan, kelainan neurologis, kelainan psikis,
bedah lama, penyakit jantung, hipovolemia ringan, nyeri punggung kronis. Pada
pasien ini tidak terdapat kontraindikasi absolute dan relatif untuk dilakukan
anestesi spinal.

Gambar 10. Anestesi Spinal

Persiapan anestesi spinal pada dasarnya seperti persiapan pada anestesia


umum. Daerah sekitar tempat tusukan diperiksa untuk menilai apakah ada kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung (scoliosis atau kifosis) atau pasien
yang memiliki berat badan lebih (obesitas) sehingga sulit meraba tonjolan prosesus
spinosus. Selain itu perlu diperhatikan informed consent atau izin dari pasien dan
keluarga, kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal,
memberikan informasi tentang tindakan anestesi spinal meliputi pentingnya tindakan
ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi
daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Pemeriksaan laboratorium anjuran : Darah lengkap. Pasien ini sudah
menyetujui untuk dilakukan tindakan anestesi spinal. Pada pemeriksaan fisik

45
tidak ditemukan adanya kelainan bentuk pada tulang belakang ataupun fraktur
ditulang belakang.

Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus disiapkan secara lengkap untuk


monitor pasien (tekanan darah, nadi, oksimetri dan EKG), pemberian anestesi umum,
dan tindakan resusitasi. Jarum spinal (Spinocan) dan obat anestesi spinal juga harus
disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam
lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G. Pada pasien ini digunakan jarum
dengan ukuran 26 G.
Ada dua golongan besar obat anesthesi regional berdasarkan ikatan kimia,
yaitu golongan ester dan golongan amida. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang
sama namun hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi
lokal ini adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat
utama kerja obat anestesi ini adalah di membran sel. Obat anestesi yang sering
dipakai adalah bupivakain. Lidokain 5% sudah ditinggalkan karena mempunyai efek
neurotoksisitas, sehingga bupivacain menjadi pilihan utama untuk anestesi spinal saat
ini. Bupivacaine memiliki potensi 3-4 kali dari lidokain dan lama kerjanya 2-5 kali
dari lidokain. Dosis maksimal 2 mg/kg BB.
Efek samping yang dapat ditimbulkan dari penggunaan bupivacain ini cukup
serius, terutama jika penggunaannya tidak oleh tenaga ahli. Efek samping yang perlu
diwaspadai adalah efek samping sistem saraf pusat dan kardiovaskuler yang
diantaranya adalah hipotensi, bradikardia, hipertensi, takikardia ventrikel, fibrilasi
ventrikel. Pada pasien digunakan obat anestesi golongan amida yaitu Bupivacain
0,5% dengan dosis 10 mg dicampur dengan Fentanyl 25 mcg via spinocan 26 G.
Fentanyl, golongan obat opioid analgetik poten yang terutama bekerja sentral
pada sistem saraf pusat, sehingga mengakibatkan meningkatnya ambang batas nyeri,
mengurangi persepsi nyeri menghambat serabut saraf nyeri ascending, menyebabkan
depresi nafas dan sedasi. Dosis 1-2 mcg/kgBB IV Tujuan dari pemberian fentanyl
adalah untuk meningkatkan kualitas analgesia intraoperative. Aksi sinergis dari

46
fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB) meningkatkan kualitas
analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia pascaoperasi.
Pada menit 10.45, 11.00, 11.15 pasien diberikan obat injeksi Ephedrine 1 ml
sebanyak 3 kali atau 3 ml, dikarenakan tekanan darah pasien yang menurun
dan juga pasien terlihat cemas. Efedrin adalah vasopresor yang sering digunakan
untuk kasus hipotensi karena sub arakhnoid block (SAB), blok epidural, karena obat
induksi IV dan inhalasi. Untuk mengatasi hipotensi ini efedrin diberikan 3- 10 mg IV
atau 25-50 mg IM yang lebih rendah namun waktu pulih sempurna tetap sama.

Pada pasien ini, saat operasi berjalan pasien diberikan cairan ringer laktat
1000cc, dan NaCl 0,9% 500cc Gelofusin 500 cc, Total pemberian cairan 2000 cc.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka Estimasi Blood Volume (EBV) 4.420 cc.
Pendarahan selama operasi 200 cc.
Operasi berlangsung selama 1 jam. Pasien kemudian dipindahkan ke ruang
pemulihan (Recovery Room) dilakukan pemantauan di ruang recovery room.. Saat di
evaluasi selama 2 jam di dapatkan tekanan darah 126/69, nadi 81 kali permenit,
pernafasan 20x permenit, Bromage Score nilainya 0 sehingga pasien dapat di
pindahkan ke ruangan. Untuk penilaian Bromage Score, nilai 0 pasien dapat
melakukan gerakan penuh pada tungkai bawah, nilai 1 pasien tidak dapat menekuk
lutut tetapi dalam mengangkat kaki, nilai 2 pasien tidak dapat mengangkat tungkai
bawah tetapi masih dapat menekuk lutut, dan pada nilai 3 pasien tidak dapat
mengangkat kaki sama sekali. Pasien dapat di pindahkn ke ruangan jika score kurang
dari 2.

47
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan :

1. Berdasarkan hasil pra operatif dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang tersebut, maka dapat di simpulkan status pasien pra
anestesi American Society of Anestesiology (ASA) pada pasien dikategorikan
sebagai pasien ASA PS kelas 2 E
2. Pada pasien ini dilakukan jenis anestesi dengan regional anastesi dengan
Teknik Spinal dimana sesuia dengan salah satu indikasi dilakannya tindakan
anastesi spinal yaitu bedah abdomen bawah. Keuntungan anestesi regional
adalah penderita tetap sadar, sehingga refleks jalan napas tetap terpelihara.
Waktu prosedur analgesia spinal lebih singkat, relatif mudah, efek analgesia
lebih nyata (kualitas blok motorik dan sensorik yang baik), mulai kerja dan
masa pulih yang cepat.
3. Setelah operasi selesai pasien di pindahkan ke Recovery room dan dilakukan
monitoring sampai keadaan pasien stabil dan dilakukan penilaian , Bromage
Score dengan hasil ≤ 2 sehingga pasien dapat di pindahkan ke ruangan.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Winkjosastro, Hanifa, dkk, Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga, Cetakan


Keempat, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1997
: 362-76 ; 606-22.

2. Sastrawinata S. Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. Edisi II.


Jakarta. EGC; 2005. hal. 83-91
3. Rustam Mochtar, Dr, Prof, Snopsis Obstetri, Edisi Ke-2, Jilid I, Jakarta
1998

: 269-279.
4. Bridenbaugh PO, Greene NM, Brull SJ. Spinal (Subarachnoid) Neural
Blockade. In : Cousins MJ, Bridenbaugh PO eds. Neural Blockade in
Clinical Anesthesia and Management of Pain. Third Edition.
Philadelphia
: Lippincott-Raven. 2015. Pages 203-209

5. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of
Surgery. 17th edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers
BM, Mattox KL. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2004: 1381-93
6. Mansjoer, Arif, dkk. Anestesi Spinal dalam Buku Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi 3. Aesculapius. Jakarta. 2010. Hal
261-264.
7. The New York School of Regional Anesthesia. Spinal Anesthesia. 2019.
Available in Website : www.nysora.com.
8. Tuominen, M. Bupivacaine Spinal Anesthesia. Acta
Anesthesiology Scand. Vol 35:1-10.
9. Veering, B. Local Anesthesics. In Regional Anaesthesia and Analgesia.
Philadelphia. WB Saunders company. 2017. Pages 188-197.

49
10. Stamtiou, G. The Effect of Hyperbaric Versus Isobaric Spinal
Bupivacaine on Sensory and Motor Blockade Post Operative Pain
and Analgesic Requiretments for Turp. Anesthesiology : 43-6

50
11. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of
Surgery Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar
TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill
Companies Inc. 2005:1119-34
12. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11
edition. Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72
13. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s
Abdominal Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI,
Ellis H, Ashley SW, McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001:
1191-222
14. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American
Academy of Family Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34.
Retrieved at October 20th 2011.

51

Anda mungkin juga menyukai