Anda di halaman 1dari 46

BAGIAN ANESTESIOLOGI REFLEKSI KASUS

RSU ANUTAPURA November 2022


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT PALU

ANASTESI UMUM INHALASI DENGAN MANAJEMEN INTUBASI


ENDOTRAKEAL TUBE PADA PASIEN BEDAH SARAF

Disusun Oleh:
Andi Widya Lestari
13 19 777 14 391

Pembimbing :
dr. Sofyan Bulango,.Sp.An

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Andi Widya Lestari


No. Stambuk : 13 19 777 14 391
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Alkhairaat Palu
JUDUL REFKA : ANASTESI UMUM INHALASI DENGAN MANAJEMEN
INTUBASI ENDOTRAKEAL TUBE PADA PASIEN BEDAH SARAF

Bagian Anestesiologi
RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, November 2022

Pembimbing Dokter Muda

dr. Sofyan Bulango,.Sp.An Andi Widya Lestari


BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-“tidak, tanpa” dan aestheos, “persepsi,
kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846.9,10
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi
lokal. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang reversible akibat pemberian
obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral. Perbedaan dengan
anestesi lokal adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan
kesadaran9,10
anestesi pada kelompok pediatri mempunyai aspek psikologi, anatomi, farmakologi,
fisiologi dan patologi yang berbeda dengan orang dewasa. Pemahaman atas perbedaan ini
merupakan dasar penatalaksanaan anestesi pediatri yang efektif dan aman. Pendekatan psikologis
merupakan faktor penting yang berdampak pada luaran anestesi pediatri. Sesuai
perkembangannya, kelompok pediatri dibagi dalam kelompok usia neonatus yang lahir kurang
bulan dan cukup bulan, bayi usia diatas 1 bulan sampai usia dibawah 1 tahun, anak usia
prasekolah usia diatas 1 tahun sampai usia 5 tahun, anak usia sekolah usia 6 tahun sampai 12
tahun dan usia remaja 13 tahun sampai 18 tahun. Neonatus merupakan kelompok yang
mempunyai risiko paling tinggi jika dilakukan pembedahan dan anestesi. Patologi yang
memerlukan pembedahan berbeda tergantung kelompok usia, neonatus dan bayi memerlukan
pembedahan untuk kelainan bawaan sedangkan remaja memerlukan pembedahan karena trauma
3,9,10

Teknik dan obat induksi dapat bervariasi sesuai status hemodinamik pasien. Prinsip
pemberian obat adalah titrasi disesuaikan status hemodinamik pasien. Tidak dianjurkan obat
tunggal. Dapat digunakan kombinasi dosis kecil (ko-induksi) opioid, sedatif golongan
benzodiazepin dan anestetika inhalasi (isofluran atau sevofluran) atau anestetika intravena
(propofol, etomidat atau barbiturat).
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan
intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian
atas. Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah ekstubasi. Dalam pelaksanaan ekstubasi dapat
terjadi gangguan pernapasan yang merupakan komplikasi yang sering kita temui pasca anestesi.
Komplikasi bisa terjadi setelah dilaksanakannya ekstubasi seperti pengeluaran sekret dari mulut
yang menyumbat jalan napas, edema laring, dan bisa terjadi spasme laring. Komplikasi
pernapasan pasca anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia. 8,10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. EPIDURAL DAN SUBDURAL HEMATOM


1. Definisi
Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena fraktur tulang
tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan duramater.Hematoma epidural
merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas
sekitar 50%. Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah perietotemporal akibat
robekan arteria meningea media.(1)(2)

Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan araknoid,
biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal.Pada subdural hematoma yang
seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging vein” , karena tarikan ketika terjadi
pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan
lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi
“bridging vein”.(1)(2)
2. Etiologi
Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan
pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur.Akibat trauma kapitis,tengkorak
retak.Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear.Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa
timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan
tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai
jaringan otak (laserasio).Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh
darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan
tengkorak.

Sedangkan pada subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala hebat,
seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan memutuskan
vena-vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi tengkorak
ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah dampak
primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan bersifat linear.Maka dari itu
lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak disebut
lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak
terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup”.(1)

3. Patomekanisme
Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam
rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi
ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri.
Pada hematoma epidural, perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan dura mater.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila slaah satu cabang arteria meningea
media robek. Robekan ini sering terjadi buka fraktur tulang tengkorak di daerah yang
bersangkutan. Hematom pun dapat terjadi di daerah frontal dan oksipital.(8)(10)
Putusnya vena-vena penghubung antara permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab
perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai
akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga
subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan orang
dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang )
memiliki resiko yang lebih besar.

Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium
dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” . Karena
perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul
hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom
sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan
dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah.
Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural
dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan
kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma). Kondisi- kondisi
abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme.(1)(2)(8)

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan
akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan
tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya
normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah.

Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan


terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam
pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural
hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan
aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.(6)(10)

4. Gejala Klinis
Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran menurun secara
progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memardisekitar mata dan
dibelakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung dan telingah.
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala.
(1)(2)(5)
Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala. Gejala yang sering tampak :

1. Penurunan kesadaran , bisa sampai koma

2. Bingung

3. Penglihatan kabur

4. Susah bicara

5. Diagnosis

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah
dikenali.

Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma.
Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film
untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.

Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara
intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula
terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah
temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline
terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma,
Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan
dari pembuluh darah.

6.Penatalaksanaan
1. EPIDURAL HEMATOM
Penanganan darurat :

 Dekompresi dengan trepanasi sederhana


 Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa

1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital

Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama
untuk membuka jalur intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau
Dextrose in saline

2. Mengurangi edema otak

Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:


a. Hiperventilasi.
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah
vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga
dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2
dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.
b. Cairan hiperosmoler.
Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk
“menarik” air dari ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk
kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek
yang dikehendaki,

manitol hams diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu


singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030 menit.
Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah.
Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound;
mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa
jam atau keesokan harinya.

c. Kortikosteroid.

Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak


beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung
menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang ber-manfaat pada
kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi
bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.

Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi :

Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang


diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah
digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis
6 dd 10 mg.

d. Barbiturat.

Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat


ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan
menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih
terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun
suplai oksigen
berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang
ketat.(1).(12)
INDIKASI

Operasi di lakukan bila terdapat :

 Volume hamatom > 30 ml


 Keadaan pasien memburuk
 Pendorongan garis tengah > 5 mm
 fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan
kedalaman >1 cm
 EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah
dengan GCS 8 atau kurang
 Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg

2. SUBDURAL HEMATOM
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada pasien
SDH, tentu kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan
radiologinya. Dalam masa mempersiapkan operasi, perhatiaan hendaknya
ditujukan kepada pengobatan dengan medika mentosa untuk menurunkan
peningkatan tekanan intracranial. Seperti pemberian mannitol 0,25
gr/kgBBatau furosemide 10 mg intavena, dihiperventilasikan.

Tidakan operatif

Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan ada gejala-
gejala yang progresif maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk
melakukan pengeluaran hematom. Tetapi seblum diambil kepetusan untuk
tindakan operasi yang harus kita perhatikan adalah airway, breathing, dan
circulatioan. Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau
pergeseran midline shift >5 mm pada CT-Scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring
TIK

c. Pasien SDH dengan GCS <9, dengan ketebalan perdarahan <10


mm dan pergerakan struktur midline shift. Jika mengalami penurunan
GCS >2 poin antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit.

d. Pasien SDH dengan GCS<9, dan atau didapatkan pupil dilatasi


asimetris/fixed

e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan /atau TIK >20 mmhg

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole


craniotomy.Tindakan yang paling banyak diterima karena minimal
komplikasi.Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH
secara cepat dan local anastesi
Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah
yang infasih dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi.

FRAKTUR CLAVICULA

DEFINISI
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. Untuk mengetahui mengapa
dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita harus mengetahui keadaan fisik
tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah. Kebanyakan
fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan
membengkok, memutar, dan tarikan.

Fraktur klavikula adalah cedera yang sering terjadi terutama pada usia muda
dan individu yang aktif. Insidensinya sekitar 2.6% dari semua fraktur. Fraktur
klavikula merupakan salah satu cedera tulang yang paling sering, yang jarang
memerlukan reduksi terbuka.

Epidemiologi
Pada anak-anak, klavikula mudah mengalami fraktur, namun hampir selalu
terjadi union dengan cepat dan tanpa komplikasi. Pada orang dewasa, fraktur
klavikula merupakan injuri yang lebih sulit. Fraktur klavikula pada orang dewasa
sering terjadi, insidensinya 2,6-4% dari semua fraktur dan kurang lebih 35%
merupakan cedera dari gelang bahu. Fraktur pada midshaft merupakan yang
terbanyak 69-82%, fraktur lateral 21-28%, dan fraktur medial yang paling jarang 2-
1
3%.

Mekanisme Trauma
Mekanisme trauma dari fraktur klavikula terjadi karena penderita jatuh pada
bahu, biasanya tangan dalam keadaan terulur. Bila gelang bahu mendapat trauma
kompresi dari sisi lateral, penopang utama untuk mempertahankan posisi adalah
klavikula dan artikulasinya. Bila traumanya melebihi kapasitas struktur ini untuk
menahan, terjadi kegagalan melalui 3 cara, Artikulasi akromioklavikular akan rusak,
klavikula akan patah, atau sendi sternoklavikular akan mengalami dislokasi. Trauma
pada sendi sternoklavikular jarang terjadi dan biasanya berhubungn dengan trauma
langsung ke klavikula bagian medial dengan arah lebih posterior (dislokasi posterior)
atau trauma dari arah posterior yang langsung mengenai gelang bahu (menyebabkan
dislokasi proksimal klavikula ke anterior).
Pada fraktur midshaft, fragmen lateral tertarik ke bawah karena berat lengan,
fragmen medial tertarik oleh muskulus sternocleidomastoideus. Pada fraktur 1/3
lateral, bila ligamen intak, ada sedikit pergeseran; namun bila terjadi robekan ligamen
korakoklavikula, atau bila garis fraktur terletak medial dari ligamen ini, pergeseran
yang terjadi mungkin lebih berat dan tindakan reduksi tertutup tidak mungkin
dilakukan. Klavikula juga merupakan bagian yang sering mengalami fraktur
1,2
patologis.
Gambaran Klinis

Anamnesis harus bisa menggambarkan semua aspek agar penanganan pasien dapat optimal.
Selain data demografik standar, mekanisme trauma juga penting untuk diketahui. Fraktur
klavikula yang disebabkan oleh trauma ringan biasanya tidak menyebabkan cedera organ lainnya
atau trauma intra toraks. Namun, pada kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari ketinggian, harus
dicari cedera lainnya.

Lengan pasien biasanya didekatkan ke dada untuk mencegah pergerakan. Biasanya dapat
terlihat adanyan penonjolan pada subkutan dan kadang-kadang ada fragmen tulang yang melukai
kulit. Adanya deformitas pada gelang bahu paling baik diperiksa saat pasien berdiri. Bila terjadi
fraktur midshaft dengan pergeseran besar, tampak gambaran shoulder ptosis. Meskipun
komplikasi pada vaskular jarang terjadi, perabaan pulsasi vaskular di leher sebaiknya dikerjakan.
Adanya perlukaan ada sendi akromioklavikular sering terlewatkan pada fraktur 1/3 lateral. 1,2,3

Imaging

Pemeriksaan radiologis yang diperlukan minimal adalah rontgen dengan proyeksi anterior
dan kemiringan 30 derajat sefalik. Biasanya didapatkan fraktur pada 1/3 tengah dari tulang,
fragmen bagian luar biasanya terletak lebih rendah dari fragmen bagian dalam. Fraktur pada 1/3
lateral dapat terlewatkan, atau perkiraan derajat pergeserannya dapat lebih rendah, kecuali jika
rontgen proyeksi bahu juga dikerjakan. Rontgen sendi sternoclavicular pada fraktur 1/3 medial
juga lebih baik dikerjakan. Saat menilai kemajuan klinis, harus diingat bahwa ‘clinical’ union
biasanya mendahului ‘radiological’ union beberapa minggu sebelumnya.1,2

CT scan dengan rekonstruksi tiga dimensi mungkin diperlukan untuk menentukan derajat
pemendekan secara akurat atau untuk mendiagnosis fraktur dislokasi sternoklavikula dan untuk
meyakinkan union dari sebuah fraktur.1
Penatalaksanaan
Fraktur Klavikula 1/3 Tengah
Terdapat kesepakatan bahwa fraktur klavikula 1/3 tengah non displaced
seharusnya diterapi secara non operatif. Sebagian besar akan berlanjut dengan union
yang baik, dengan kemungkinan non union di bawah 5% dan kembali ke fungsi
1,2.4
normal.
Manajemen non operatif meliputi pemakaian simple sling untuk kenyamanan.
Sling dilepas setelah nyeri hilang (setelah 1-3 minggu) dan pasien disarankan untuk
mulai menggerakkan lengannya. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa
penggunaan figure-of-eight bandage memberikan manfaat dan dapat berisiko
terjadinya peningkatan insidens terjadinya luka akibat penekanan pada bagian fraktur
dan mencederai struktur saraf; bahkan akan meningkatkan risiko terjadinya non-
1
union.
Terdapat lebih sedikit kesepakatan mengenai manajemen fraktur 1/3 tengah.
Penggunaan simple splintage pada fraktur dengan pemendekan lebih dari 2 cm
dipercaya menyebabkkan risiko terjadinya malunion simptomatik – terutama nyeri
dan tidak adanya tenaga saat pergerakan bahu – dan peningkatan insidens terjadinya
1
non-union. Sehingga dikembangkan teknik fiksasi internal pada fraktur klavikula
akut yang mengalami pergeseran berat, fragmentasi, atau pemendekan. Metode yang
dikerjakan berupa pemasangan plat (terdapat plat dengan kontur yang spesifik) dan
1
fiksasi intramedular.
Fraktur Klavikula 1/3 Distal
Sebagian besar fraktur 1/3 distal klavikula mengalami pergeseran minimal dan
ekstra-artikular. Ligamentum korakoklavikula yang intak mencegah pergeseran jauh
dan manajemen non operatif biasanya dipilih. Penatalaksanaannya meliputi
pemakaian sling selama 2-3 minggu sampai nyeri menghilang, dilanjutkan dengan
mobilisasi dalam batas nyeri yang dapat diterima.
Fraktur klavikula 1/3 distal displaced berhubungan dengan robeknya
ligamentum korakoklavikula dan merupakan injuri yang tidak stabil. Banyak studi
menyebutkan fraktur ini mempunyai tingkat non-union yang tinggi bila ditatalaksana
1
secara non operatif. Pembedahan untuk stabilisasi fraktur sering direkomendasikan.
Teknik operasi menggunakan plate dan screw korakoklavikular, fiksasi plat hook,
penjahitan dan sling techniques dengan graft ligamen Dacron dan yang terbaru adalah
1,2
locking plates klavikula.
Fraktur Klavikula 1/3 Proksimal
Sebagian besar fraktur yang jarang terjadi ini adalah ekstra-artikular.
Penatalaksanaan yang dilakukan sebagian besar adalah non operatif kecuali jika
pergeseran fraktur mengancam struktur mediastinal. Fiksasi pada fraktur
berhubungan dengan komplikasi yang mungkin terjadi seperti migrasi dari implan ke
mediastinum, terutama pada penggunaan K-wire. Metode stabilisasi lain yang
1
digunakan yaitu penjahitan dan teknik graft, dan yang terbaru locking plates.

Komplikasi
Awal
Meskipun klavikula bagian proksimal terletak dekat dengan struktur vital, kejadian
pneumotoraks, ruptur pembuluh darah subklavia, dan cedera pleksus brachialis jarang
1,2
terjadi.
Lanjut
Non-union
Pada fraktur shaft yang mengalami pergeseran, non-union
terjadi pada 1-15% kasus. Fraktur risiko meliputi usia yang bertambah
tua, besar pergeseran, komunitif fraktur, dan pasien perempuan, namun
prediksi akurat mengenai fraktur yang akan mengalami non-union sulit
dikerjakan.
Non-union yang simptomatik diterapi dengan fiksasi plat dan
graft tulang jika diperlukan. Tindakan ini biasanya memuaskan dan
memiliki tingkat union yang tinggi. Fraktur klavikula 1/3 lateral
mempunyai tingkat non-union yang tinggi (11,5-40%). Pilihan terapi
untuk non-union simptomatik adalah eksisi bagian lateral dari
klavikula (bila fragmen kecil dan ligamentum korakoklavikular intak)
atau reduksi terbuka, fiksasi interna dan graft tulang bila fragmen
besar. Implan yang digunakan adalah locking plates and hooked
1,2
plates.

Malunion
Semua fraktur yang mengalami pergeseran akan sembuh
dengan posisi non-anatomis dengan pemendekan dan angulasi,
meskipun tidak menunjukkan gejala. Beberapa akan mengalami nyeri
periskapular, yang biasanya terjadi pada pemendekan lebih dari 1,5
cm. Pada kasus ini, operasi osteotomi korektif dan pemasangan plat
1,2
dapat dipertimbangkan.

Kekakuan bahu
1
Hal ini sering terjadi namun biasanya hanya sementara.

17
B. General Anastesi Inhalasi
1. Definisi
Semua derivat eter yang mudah menguap (volatile) atau berbentuk gas
(gaseous) yang keduanya diberikan secara inhalasi dan diserap melalui
pertukaran gas di alveolus. Anestetik volatile meliputi halotan, enfluran,
isofluran, desfluran, sevofluran, sedangkan anestetik gas meliputi nitrosa oksida,
xenon, dll (Uhrig et al., 2014).
Cara kerja obat anestesi inhalasi terhadap kecepatan jantung dengan
mengubah secara langsung kecepatan depolarisasi nodus sinoauricularis (nodus
SA), atau dengan menggeser keseimbangan aktivitas sistem saraf otonom. Salah
satu contoh anestesi inhalasi adalah sevofluran.9
Secara klinis, tujuan pemberian anestesi ialah untuk mencapai tekanan
parsial yang adekuat dari obat anestesi tersebut di dalam otak, sehingga
didapatkan efek yang diinginkan. 9
2. Sevofluran
Sevofluran adalah obat anestesi inhalasi dengan rumus kimia 1,1,1,3/3,3,
hexa fluoro2-prophyl fluoromethyl ether atau fluoromethyl 2,2,2-tri fluoro-1-
(Trifluoromethyl) ethyl ether. Diperkenalkan sebagai obat anestesi oleh Wallin
& Napoli dari Traverol Laboratories (1971).
Merupakan cairan jernih, tidak berwarna, berbau enak, tidak iritatif, titik
didih 58,5. Berat molekul 200,053 tekanan uap jenuh 21,3 KpA pada suhu 20
°C. Tidak korosif terhadap stainless steel, kuningan maupun alumunium, tidak
mudah terbakar, tidak eksplosif, stabil terkena cahaya. Dibandingkan dengan
obat anestesi inhalasi volatil lain, kelarutan sevofluran dalam karet dan plastik
lebih rendah. 9
Konsentrasi alveolar minimal (KAM) 1,7, bila dikombinasikan dengan 60%
N20, KAM menjadi 0,66%. Sevofluran nyaman dipakai untuk induksi baik
dewasa atau anak-anak karena baunya enak dan tidak iritatif pada jalan nafas.
Kombinasi 4-8 % sevofluran 50% N20 dan 50% 02 induksi dapat dicapai dalam

18
waktu 1-3 menit. Waktu pulih sadar antara 7-5 menit setelah anestesi
menggunakan 2-3 KAM sevofluran selama 1 jam. 9
Sevofluran mengalami dekomposisi bila tekanan soda lime tergantung
tingginya temperatur. Pada suhu 80 degradasi mencapai 92%. Waktu dilakukan
anestesi biasanya suhu canistersoda lime kurang dari 50°C, hanya ditemukan 2
komponen (komponen A+B) yang jumlahnya kurang dari 80 ppm. Komponen
tersebut menyebabkan kematian pada tikus bila mencapai 1100 ppm. Meskipun
pengaruh degradasi tersebut secara klinik belum jelas, tetapi FDA menunda
pemakaian sevofluran untuk anestesi, tetapi di Jepang telah digunakan secara
luas. 9
Pada sistem kardiovaskuler menimbulkan depresi ringan kontraksi otot
jantung, terjadi penurunan tekanan vaskuler sistemik dan tekanan arteri yang
ringan. Sevofluran dapat memperpanjang interval QT mekanismenya tidak jelas
tetapi terdapat bukti yang dapat dihubungkan dengan coronary steal syndrome.
Tidak meningkatkan sensitifitas jantung pada katekolamin.9
Pada sistem respirasi, menimbulkan depresi respirasi dan dapat memicu
terjadi bronkhospasme. 9
Pada SSP, sevofluran sedikit menaikkan aliran darah otak dan tekanan intra
kranial pada keadaan normokarbia. Pada konsentrasi lebih dari 1,5 KAM dapat
mengganggu autoregulasi aliran darah otak. Kebutuhan metabolik oksigen otak
menurun dan tidak terdapat aktifitas kejang.9
3. INDUKSI DAN MAINTENANCE
Induksi dapat dilakukan dengan cara inhalasi, intravena, intramuskuler atau
perrektal. Induksi Inhalasi sering disebut dengan istilah induksi lambat karena
membutuhkan waktu yang lama, sedangkan induksi intravena, disebut juga
dengan induksi cepat karena penderita cepat tertidur. Induksi Inhalasi Diberikan
dengan meminta penderita menghirup campuran gas anestesi dengan udara atau
oksigen, dengan memakai face mask (sungkup muka/kap). Tergantung yang
dipakai, gas anestesi bisa diambil dari tabung gas (N20) atau dari obat anestesi
cair yang diuapkan menggunakan alat yang disebut vaporizer. Pada zaman dulu
obat anestesi cair diteteskan pelan-pelan langsung ke sungkup muka yang dibuat
19
dari rangka kawat yang dibalut kain kasa atau alat schimmel busch. Cara ini
disebut open drop. 3,4,5
Bila obatnya ether maka disebut open dropether. Induksi inhalasi
menggunakan ether pada saat ini tidak populer, karena menimbulkan stadium II
yang menyebabkan terjadinya risiko morbiditas dan mortalitas bagi penderita.
Dibandingkan dengan ether induksi inhalasi lebih baik menggunakan halothane,
enflurane, isoflurane atau sevoflurane. Penderita yang mendapat induksi inhalasi
dengan obat ini cepat masuk ke dalam stadium III sehingga tanda stadium II
yang membahayakan penderita tidak terlihat. Umumnya induksi inhalasi
dikerjakan pada bayi dan anak. Bila induksi dan maintenance anestesi
menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile Inhalation and
Maintenance Anesthesia). 3,4,5
Dalam periode ini diberikan obat anestesi dalam dosis tertentu, tergantung
jenis operasinya. Anestesi tidak boleh terlalu dalam karena membahayakan jiwa
penderita, tetapi juga tidak boleh terlalu ringan sehingga penderita masih
merasakan nyeri yang akan menimbulkan trauma psikis yang berkepanjangan.
Selain itu anestesi yang terlalu ringan juga dapat menyebabkan spasme saluran
pernafasan, batuk, mutah atau gangguan kardio vaskuler. Seperti pada induksi,
pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat inhalasi atau intravena. 3,4,5
Induksi dengan sevofluran menimbulkan relaksasi yang memungkinkan
intubasi pada anak. Obat ini juga berpotensiasi dengan pelumpuh otot.3,4,5

3. Pemulihan Anastesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenisasi.
Dengan oksigenisasi maka oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya
ditempati oleh obat anestesi inhalasi di alveoli yang berangsur-angsur keluar
mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian tekanan parsial obat anestesi di
alveoli juga berangsur-angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan
tekanan parsial obat anestesi inhalasi di dalam darah. Maka terjadilah difusi obat
20
anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli. Semakin tinggi perbedaan
tekanan parsial tersebut kecepatan difusi makin meningkat.9
Sementara itu oksigen dari alveoli akan berdifusi ke dalam darah. Semakin
tinggi tekanan parsial oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi) difusi ke dalam
darah semakin cepat, sehingga kadar oksigen di dalam darah meningkat,
menggantikan posisi obat anestesi yang berdifusi menuju ke alveoli. Akibat
terjadinya difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, maka
kadarnya di dalam darah makin menurun. Turunnya kadar obat anestesi inhalasi
tertentu di dalam darah, selain akibat difusi di alveoli juga akibat sebagian
mengalami metabolisme dan ekskresi lewat hati, ginjal, dan keringat. Kesadaran
penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anestesi
di dalam darah.9

4. ANATOMI
Pasien anak bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil. Terdapat
pembagian anak berdasarkan umur: neonatus bila umur kurang dari 30 hari, bayi
bila umur 1 bulan-1 tahun, balita 1 tahun-5 tahun, anak 6 tahun-12 tahun. Secara
fisiologi, anatomis, farmakologis pada anak dan orang dewasa berbeda, oleh
karenanya resiko terjadinya morbiditas serta mortalitas juga semakin tinggi
dengan makin mudanya usia.9,10,11
Sistem Pernafasan
Kepala dan lidah besar, rongga mulut kecil, rongga hidung sempit,
mandíbula kecil, leher pendek, letak laring anterosefalad, epiglottis panjang,
trakea pendek, adenoid dan tonsil lebih dominan 9,10,11
Fisiologi
Ventilasi pada neonatus dan bayi kurang efisien karena otot diafragma dan
interkostal lebih lemah, tulang kosta lebih mudah mengembang, lebih datar,
bentuk abdomen lebih menonjol. Frekuensi pernafasan pada neonatus normal
40x/menit, bayi 30x/menit, balita 25x/menit, anak 20x/menrt. Volume tidal dan
ruang rugi perkilogram berat badan relative konstan 2-2,5 ml/kg BB. Resistensi
jalan nafas relatif lebih besar karena kecilnya saluran jalan nafas terutama pada
21
cabang yang kecil. Beban nafas menjadi lebih berat sehingga otot pernafasan
cenderung lebih mudah capai. 9,10,11
Pada Neonatus dan bayi, jumlah dan ukuran alveoli lebih kecil sehingga
komplians paru menurun namun tulang rawan pada rusuk menyebabkan dinding
dada sangat komplians. Kedua kombinasi tersebut menyebabkan dinding dada
kolaps saat inspirasi dan paru kolaps selama ekspirasi sehingga FRC (Functional
Residual Capacity) menurun. Hal ini penting karena cadangan 02 selama periode
apnea (saat intubasi) neonatus dan bayi cepat menjadi hipoksemia dan atelektasis.
Frekuensi nafas yang tinggi memperberat keadaan ini karena kebutuhan oksigen
yang meningkat 2x dewasa (6 ml/kg BB). Pusat pengaturan pernafasan akibat
hipoksia dan hiperkapni pada neonatus dan bayi belum sempurna namun kedua
keadaan tersebut dapat menyebabkan depresi nafas. Produksi C02 2x dewasa.
2,9,10,11

5. INTUBASI
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa endotrakea {Endotrachéal
Tube/ET) ke dalam trakea melalui hidung atau mulut. ET dapat digunakan sebagai
penghantar gas anestesi ke dalam trakea dan memudahkan kontrol ventilasi dan
oksigenasi. Endotrachéal Tube sesuai dengan namanya adalah pipa kecil yang
dimasukkan ke dalam trakea, tindakannya dinamakan Intubasi Endotrakea. 2,5,9,11
ET untuk orang dewasa memiliki sistem inflasi cuff yang terdiri dari katup,
balon pilot, infiating tube, dan cuff. Katup berfungsi untuk mencegah hilangnya
udara setelah diinflasi. Balon pilot sebagai indikator inflasi cuff. Infiating tube
menghubungkan katup dengan cuff dan dibuat menempel pada dinding ET, Tube
non cuff digunakan pada anak untuk mengurangi resiko trauma tekanan dan batuk
setelah intubasi. ET non cuff digunakan untuk anak kurang dari 8 tahun, ini
dikarenakan bentuk anatomi subglotis yang sempit. Berikut ini pedoman yang
dipakai dalam menentukan ukuran ET: 5,9,11

22
Ada beberapa indikasi khusus intubasi endotrakeal pada pasien, diantaranya
adalah:
1. Untuk patensi jalan nafas. Intubasi endotrakeal diindikasikan untuk
menjamin ventilasi, oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan jalan nafas.
2. Perlindungan terhadap paru dengan penutupan cuff dari ET harus
dilaksanakan pada pasien-pasien yang baru saja makan atau pasien dengan
obstruksi usus.
3. Operasi yang membutuhkan ventilasi tekanan positif paru, misalnya
torakotomi, penggunaan pelumpuh otot, atau ventilasi kontrol yang lama.
4. Operasi yang membutuhkan posisi selain terlentang. Pemeliharaan patensi
jalan nafas atau penyampaian ventilasi tekanan positif pada paru tidak dapat
diandalkan.
5. Operasi daerah kepala, leher atau jalan nafas atas.
6. Diperlukan untuk kontrol dan pengeluaran sekret pulmo
(bronchialpulmonairtdlet)
7. Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau dengan
depresi reflek muntah (misal selama anestesi umum).
23
8. Adanya penyakit atau kelainan jalan nafas atas. Misalnya paralisis pita
suara, tumor supraglotis dan subglotis.
9. Aplikasi pada ventilasi tekanan positif.9

KONTRA INDIKASI
Di bawah ini hanya kontraindikasi relatif pada intubasi trakea:
1. Trauma jalan napas berat atau obstruksi yang tidak memberikan
pemasangan ET yang aman. Cricothyrotomi diindikasikan pada beberapa kasus.
2. Trauma servikal, di mana diperlukan immobilisasi komplit

TEHNIK INTUBASI ENDOTRAKEA


Alat yang harus dipersiapkan adalah3:
1. Magill Forsep Dipakai jika ada kesulitan saat memasukkan ET dan
digunakan untuk menjepit ujung ET dan kemudian memasukkannya ke
dalam trakea
2. Lubricants/Jeli dan Spray Trakea.
3. Suction Cathether.
4. Spuit(Semprit).
5. Plester.
6. Stilet.
7. Self-refilling bag-valve combination (misalnya Ambu bag) atau bag-
valve unit (Ayres bag), konektor, tube, sumber oksigen.
8. Laringoskop dengan blade lengkung (tipe Macintosh) atau lurus (tipe
Miller) disesuaikan dengan pasien.
9. ET dengan berbagai ukuran.
10. Nasofaringeal airway atau orofaringeal airway.
11. Sarung tangan. 9

Prosedur Persiapan Ketika akan melakukan intubasi pada pasien, pastikan


akan dilakukan dengan aman, ini dapat diingat dengan kata SALT. Suction. Ini

24
sangat penting, sering pada pasien terdapat material yang membuat kesulitan
visualisasi plika vokalis. Aspirasi pulmo harus dihindari.
Alat airway oral (Gudel) adalah alat yang dapat mengangkat lidah dari faring
posterior, alat ini sering memudahkan untuk ventilasi sungkup. Ketidakmampuan
untuk memberikan ventilasi kepada pasien adalah suatu yang buruk. Juga sumber
dengan mekanisme penghantar (ambu-bag atau sungkup) harus ada.
Laryngoscope atau laringoskop. Pencahayaan alat ini penting untuk menempatkan
ET. 9

Urutan langkahnya adalah sebagai berikut:


1. Mask ventilasi: (diberikan oksigen dengan ukuran yang sesuai 5 - 10
L/menit). Pilih ukuran masker yang sesuai, yang dapat menutupi mulut
dan hidung dan tidak terlalu lebar menutupi pipi.
2. Pilih ukuran ET yang sesuai, dan dua ET cadangan dengan satu buah ET
ukuran lebih kecil dan satu buah ET yang lain berukuran lebih besar.
3. Periksa cuffET dengan cara menginflasi/mengembangkan cuff kemudian
dicelupkan ke dalam air, dilihat cuffET bocor atau tidak. Antara tube
dengan konektor harus terikat secara baik.
4. Beri pelicin atau jeli lidokain pada daerah cujfjFsampai ujung distal ET
dan stilet, paling tidak ujung stilet berada 1 cm mendekati ujung tube.
5. Pilih jenis dan ukuran laringoskop yang sesuai, periksa lampu laringoskop.
Jika nyala lampu laringoskop tidak terang, segera diganti dengan yang
baru yang bersinar terang. Periksa kedudukan laringoskop dan blade.
Pastikan semua alat sudah terpasang dan mudah dijangkau tangan.
6. Pasien terlentang dengan posisi snifpng untuk meluruskan aksis, aksis
tersebut perlu pengaturan posisi kepala, di mana oksiput ditinggikan
dengan bantal, dan kepala diekstensikan sehingga trakea dan daun
laringoskop berada dalam satu garis lurus dengan bahu tetap di meja,
ekstensi kepala pada sendi atlanto-occipital. Pasien dengan leher pendek,
25
gigi penuh, mandíbula yang tertarik ke belakang, maksila yang menonjol
dan mandíbula yang sukar digerakkan, bisa menghalangi/mengganggu
kelurusan dari aksis oral, faring dan laring sehingga dapat menyebabkan
kesulitan dalam melihat glotis dengan laringoskop.
7. Letakkan masker menutupi mulut dan hidung pasien dengan tangan kanan.
Dengan tangan kiri, letakkan jari kelingking dan jari manis pada
mandíbula pasien, dan diangkat untuk membuka jalan napas bersamaan
dengan menekan masker ke wajah pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk
8. Pompa kantong dengan tangan kanan.
9. Oksigenasi pasien selama 3-5 menit, kemudian pasien ditidurkan atau
dianestesi.
10. Dada harus mengembang setiap pernafasan dan aliran udara sebaiknya
tidak terganggu. Bila tidak, perbaiki letak masker dan coba sekali lagi.
11. Hentikan ventilasi waktu intubasi. Sebagai patokan, selama mengintubasi
pasien tahanlah nafas dan hentikan upaya intubasi bila merasa tidak kuat
menahan nafas. Hal ini dilakukan untuk mencegah jangan sampai pasien
kekurangan oksigen oleh karena intubasi yang terlalu lama.
12. Membuka mulut pasien dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan
kanan menyentuh premolar mandíbula dan maksila kanan secara
menyilang,
13. Pegang laringoskop yang sudah menyala dengan tangan kiri dan masukkan
blade dari sudut kanan mulut pasien. Dorong dan geser lidah ke kiri
sehingga lapang pandangan tidak terhalang oleh lidah. Lindungi bibir dari
cedera antara gigi dan blade.
14. Perhatikan laring dengan cara geser dan angkat blade ke arah garis tengah
sampai terlihat uvula, faring dan epiglotis. Bila memakai blade yang
lengkung/a/rve (Macintosh), ujung blade diletakkan pada valekula, sebelah
anterior epiglotis, didorong ke depan sampai terlihat rima glotis.
Pemasukan yang terlalu dalam akan mendorong epiglotis ke bawah. Bila
memakai blade yang lurus (Magill), ujung blade ditempatkan di bagian
posterior epiglotis, di dorong ke depan sampai terlihat rima glotis.
26
Pemasukan yang terlalu dalam ke esofagus akan mengangkat seluruh
laring keluar lapang pandangan. Jangan menggunakan gigi geligi atas
sebagai titik tumpu, karena gigi tersebut bisa patah.
15. Masukkan ET yang sesuai ukurannya dengan tangan kanan melalui sudut
kanan mulut pasien ke dalam trakea. Sambil melihat melalui blade
laringoskop, masukkan ET sampai cuff tidak terlihat dari belakang pita
suara. Jika ET tanpa cuff, ET dimasukkan sampai 3-4 cm dari pita suara
pada dewasa, dan tidak lebih dari 1-2 cm pada anak.
16. Laringoskop ditarik sambil memasukkan pipa orofaring . Cuff
dikembangkan/diinflasi dengan udara lewat spuit sekitar 5-10 cc sesuai
dengan kebutuhan atau waktu menginflasi a# sambil mendengar suara dari
mulut pasien, jika sudah tidak terdengar suara kebocoran udara inflasi
dihentikan. Sebaiknya spuit yang dipakai untuk inflasi cuff dilengketkan
ke tempat cuff.
17. Sambil memegang ET pada sudut bibir pasien, cabut stilet jika dipakai dan
segera berikan ventilasi dan oksigenasi dengan unit kantong-katup-
oksigen yang terisi sendiri atau dengan sirkuit anestesi. Mulailah ventilasi
dengan 100% 02.
18. Auskultasi pada daerah epigastrium untuk menyingkirkan kemungkinan
intubasi esofagus. Jika pada waktu diberikan inflasi terdapat suara gurgle
pada daerah epigastrium dan dinding dada tidak mengembang berarti ET
masuk ke dalam esofagus, jika memang demikian ET segera dicabut dan
dilakukan reintubasi. Jika tidak terdengar suara gurgle berarti masuk ke
dalam trakea.
19. Segera setelah itu auskultasi daerah apek dan basal paru kanan dan kiri
untuk menyingkirkan kemungkinan intubasi bronkus (biasanya bronkus
kanan) dengan cara membandingkan suara paru kanan dan kiri. Jika suara
paru kanan lebih besar dari kiri berarti ET masuk ke dalam bronkus kanan
dan ET segera ditarik pelan-pelan sampai terdengar suara yang sama
antara kanan dan kiri. Penempatan tube yang terlalu dalam mengakibatkan
intubasi endobronkial terutama sebelah kanan tetapi bila terlalu dangkal
27
akan menimbulkan kesulitan untuk mengunci karena cuffdapat keluar dari
laring (mudah terjadi ekstubasi).
20. Fiksasi ET dengan plester melingkar yang ditempatkan di bawah dan
diatas bibir yang diperpanjang sampai ke pipi matikan isolasi di sekitar
tube. 3,9

28
BAB III
LAPORAN KASUS
1. Identitas
Nama : An.Alif Pratama
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 15 Tahun
Berat badan : 40 kg
Panjang Badan : 152 cm
Alamat : Batusuya
Agama : Islam
Diagnosa Pra Anestesi : Epidural dan Subdural Hematom + Fraktur
Clavicula Dextra
Jenis Pembedahan : Craniotomy evakuasi hematom + Orif Clavicula
Jenis Anestesi : General Anesthesia inhalasi ETT
Tanggal Operasi : 22/11/2022 (09:00)
Anestesiologi : dr. Sofyan Bulango, Sp.An
Operator : dr.Franklin Sinanu, Sp. BS dan

dr. Harris Tata,Sp.OT

A. S-O-A-P
1. Subjektif :
 Keluhan Utama : Sakit kepala
 Riwayat penyakit sekarang : Seorang pasien laki-laki berusia 15 tahun
datang dengan rujukan dari Puskesmas Batusuya dengan keluhan sakit kepala
setelah infeksi post kecelakaan lalu lintas.
 Keluhan lain : pusing (-), mual (-), muntah (-), nyeri uluhati (-), sakit
kepala (-), lemas (-), penglihatan kabur (-), batuk berdahak (-), flu (-),
demam (-), BAK lancar, BAB biasa.
 Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat penyakit jantung (-)
29
- Riwayat penyakit hipertensi (-)
- Riwayat penyakit asma (-)
- Riwayat alergi obat, makanan, susu (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
- Riwayat merokok (-)
- Riwayat operasi (-)
- Riwayat pengobatan (-) :
2. Objektif :
 Pemeriksaan Fisik : (B1-B6)
B1 (Breath) : Airway :
- leher pendek (-), airway paten (tidak ada sumbatan)
- Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi intercostal (-),
Penggunaan otot bantu pernapasan (-), Pernapasan cuping hidung (-)
- Auskultasi : Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
- Skor Malampati : tidak dilakukan pemeriksaan
B2 (Blood) :
- Konjungtiva anemis (-/-)
- TD : 100/70 mmhg
- Nadi : 80 x/m (regular, kuat angkat)
- Akral hangat
B3 (Brain):
- Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5), Compos mentis, reflex cahaya
langsung dan tidak langsung (+/+)
- Suhu: 36,5 C
B4 (Bladder ) : BAK lancar, warna kuning,
B5 (Bowel) :
- jejas (-), peristaltik (+) kesan normal, bising usus (-), BAB (+) biasa
B6 (Back & Bone) :
- dislokasi (-), pergerakan terbatas (-)

30
 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
Tabel 1. Hasil Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 20 November 2022
Parameter Hasil Flags Nilai Rujukan Satuan

Leukosit 15.1 6,0 – 17,5 103/uL

Eritrosit 4,85 naik 3,1 – 4,7 106/uL

Hemoglobin 14.1 naik 9,6 – 12,8 g/dL

Hematokrit 41.6 42 – 52 %

Trombosit 174 229 – 553 103/uL

GDS 108 30 - 100 mg/dl

Clotting Time 7’ 4 - 12 Menit

Bleeding Time 3’ 1-4 Menit

Tabel 2. Hasil Laboratorium Seroimmunologi


Hasil Rujukan
HbsAg Non Reaktif
Anti HIV Non Reaktif
SARS CoV-2 Antigen Negatif Negatif

Pemeriksaan CT-Scan Kepala (20-11-2022)


Kesan :
- Pendarahan Epidural di lobus parietal dextra
- Os Calvaris normal
- Hematom di regio parietal dextra

31
3. Assesment
- Status fisik ASA 2
Diagnosis pra-bedah : Epidural dan Subdural Hematom + Fraktur
Clavicula Dextra
4. Plan
A. Rencana Anestesi

General Anestesi Inhalasi

B. Rencana Tindakan
Craniotomy evakuasi hematom + Orif Clavicula

C. Persiapan Anestesi

a. Di ruangan

1) Surat persetujuan operasi (√), surat persetujuan anestesi (√)


2) Puasa (+) 4-6 jam pre operasi
3) IVFD Nacl 0,9% (Intravenous Fluid Drop) 8 tetes/menit

b. Dikamar operasi (Hal-hal yang perlu disiapkan) :

1) Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan


2) Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
3) Alat-alat resusitasi (STATICS)
4) Obat-obat anestesia yang diperlukan
5) Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin,
natrium bikarbonat dan lain-lainnya.
6) Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
7) Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, HR dan EKG dipasang.
8) Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi,
misalnya; “Pulse Oxymeter”
9) Kartu catatan medis anestesia.
32
Persiapan alat (STATICS)
1) Scope : Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan
jantung.
Laringo Scope : pilih bilah (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu harus cukup terang.
2) Tube : Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien
3) Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway)
atau pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan
napas.
4) Tape : Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.
5) Introducer : stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
6) Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
7) Suction : Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya

D. PROSEDUR INTUBASI
1. Pasien diletakkan dengan posisi kepala di depan petugas (sniffing
position)
2. Cek alat yang diperlukan dan pilih ukuran ETT yang sesuai (7.0) dan
siapkan juga satu ukuran di atas dan dibawah dari yang nomor telah
ditentukan
3. Beri jelly pada ujung ETT
4. Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada daerah faring
5. Buka mulut dengan tangan kanan dan tangan kiri memegang
laringoskop
6. Masukkan bilah laringoskop dari sudut kanan mulut pasien, dorong
lidahnya ke kiri, masukkan bilah laringoskop sampai mencapai dasar
lidah, perhatikan agar lidah atau bibir tidak terjepit diantara bilah dan
gusi pasien
33
7. Pindahkan bilah laringoskop kearah garis tengah dan perlihatkan uvula,
faring dan epiglottis pasien, sambil memindahkan tangan kanan anda ke
dahi atau oksiput pasien untuk mempertahankan ekstensi kepalanya.
8. Perlihatkan aritenoid dan pita suara dengan mengangkat epiglottis
langsung.
9. Angkat laringoskop ke atas dan ke depan tegak lurus pada daunnya.
10. Bila pita suara sudah terlihat, masukkan ETT sambil mempertahankan
bagian penanda ETT melewati pita suara.
11. Waktu intubasi dilakukan secepatnya dengan waktu bisa disesuaikan
dengan menahan nafas bagi yang melakukan Tindakan
12. Cabut stilet jika
13. Lakukan ventilasi dengan menggunakan bagging, dan lakukan
auskultasi pada lambung kemudian paru kanan dan kiri sambil
memperhatikan pengembangan dada.
14. Bila terdengar suara “gargling” pada lambung dan dada tidak
mengembang, lepaskan ETT lalu lakukan preoksigenasi kembali setelah
30 detik dengan 02 100%, selanjutnya lakukan intubasi kembali.
15. Fiksasi pipa endotrakhea dengan plester pada sudut mulut pasien agar
tidak terdorong atau tercabut
16. Lakukan ventilasi terus dengan 02 100%.
17. Hubungkan dengan ventilator sesuai dengan kebutuhan.

E. PROSEDUR ANASTESI UMUM INHALASI


1) Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kiri dengan
cairan Nalc 0,9% 7 ml/jam tpm menggunakan infus pump
2) Memasang monitor untuk melihat heart rate, saturasi oksigen dan laju
respirasi
3) Pasien dilakukan Tindakan Intubasi
4) Obat anastesi induksi yaitu sevoflurant
5) Maintenance selama operasi diberikan agent anastesi ihalasi
sevoflurant 2,5 – 3 % vol dan O2 5 L/menit
6) Diberikan Ondansentron 4 mg/IV
7) Tuntun ke napas spontan dan adekuat, suction lendir
8) Pasien di transfer recovery room
34
2. iNTRA-aNESTESI

a. Premedikasi : Ondansentron 4mg/iv


b. Induksi : sevoflurant dinaikan secara bertahap
hingga target terpenuhi
c. Oksigenasi : O2 4 liter/menit
e. Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg/IV
f. Maintanance :- O2 4 liter/menit
- Nacl 0,9% 7 ml/jam via infus

g. Monitoring intra op :

Tabel . Monitoring Intra Operasi


Jam TD Nadi Saturasi % Tindakan

35
X/mnt

11.40 70/55 60 99 Induksi sevoflurant

11.45 88/50 59 99 Ondansentron 4mg

11.50 88/50 59 99 Insisi

11.55 90/55 60 99 Sedacun 2mg


Kentamin 80mcg
Propofocol 80mg
Atracurium 25mg

12.00 89/50 60 100

12.05 100/59 66 99

12.10 100/59 66 100

12.15 100/59 66 100

12.20 109/62 69 99

12.25 108/60 80 99

12.30 108/60 80 99

12.35 110/77 88 100

12.40 109/77 88 100

12.45 100/59 66 98

12.50 110/77 88 99

12.55 110/77 88 99

36
13.00 108/56 90 99

13.05 108/56 90 98 Ketorolac 30mg

13.10 108/56 90 99

13.15 108/60 80 99

13.20 108/60 80 99

13.25 110/60 85 98

13.30 110/60 85 98

13.35 110/60 85 99

13.40 110/60 80 99

13.45 108/60 80 99

13.50 108/60 80 99

3. Post-Operatif (pasien ke Recovery Room)

a., nadi, pernapasan, dan aktivitas motorik.

b. Pasien di transfer recovery room

c. Pasien boleh di pindah ke ruangan bila didapatkan aldrete score ≥ 8.


Dan pada pasien di dapatkan skor 8.

Tabel . aldrete Scoring System

37
Tanda vital pasien TD: 108/60 mmHg, ND: 90 x/menit, RR: 20 x/menit,
SpO2: 100%. Pasien langsung dibawa ke ruang pulih sadar dengan posisi supine.
Diberikan infus Nacl 0,9 % .7 ml/jam Pasien diperbolehkan minum pasca operasi
jika tidak mual dan dipantau tensi, nadi, dan suhu tiap 15 menit selama 1 jam dan
dimonitoring kondisinya. Setelah itu pasien boleh pindah ruangan berdasarkan
apabila aldrete score ≥ 8, maka dapat dipindah ke ruang perawatan. Pada pasien
didapatkan skor 8.

38
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini seorang anak laki-laki usia 15 tahun dengan diagnosis Epidural
dan Subdural Hematom + Fraktur Clavicula Dextra, dilakukan tindakan Orif
Clavicula. Teknik anestesi yang dilakukan adalah general anestesis inhalasi
dengan intubasi ETT

Diagnosis pada pasien ini adalah Epidural dan Subdural Hematom + Fraktur
Clavicula Dextra adalah Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang
terjadi karena fraktur tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii
dengan duramater.Hematoma epidural merupakan gejala sisa yang serius akibat
cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%.
Menetapkan tingkat klasifikasi Status Fisik adalah keputusan klinis
berdasarkan beberapa faktor. Sedangkan klasifikasi Status Fisik awalnya dapat
ditentukan pada berbagai waktu selama penilaian pra operasi pasien, tugas akhir
klasifikasi Status Fisik dibuat pada hari perawatan anestesi oleh ahli anestesi
setelah mengevaluasi pasien.

Tabel . American Society of Anestesiology (ASA) membuat klasifikasi


status fisik pra-anestesi menjadi 6 kelas yaitu :
Klasifikasi Contoh
Definisi
ASA
ASA I Tidak ada patologi Fraktur tanpa: syok, kehilangan darah, emboli
organik atau pasien yang atau tanda-tanda cedera sistemik, Deformitas
proses patologisnya kongenital tanpa gangguan sistemik, Infeksi lokal
terlokalisir dan tidak tanpa demam, Deformitas tulang, Hernia tanpa
menyebabkan gangguan komplikasi, Semua jenis operasi dapat termasuk
atau kelainan sistemik dalam kelas ini karena hanya kondisi fisik pasien
yang dipertimbangkan
ASA II Gangguan sistemik  Diabetes ringan
sedang tetapi pasti, yang  Kapasitas fungsi I atau IIa
disebabkan oleh kondisi  Pasien psikotik tidak mampu merawat diri
yang akan diobati dengan sendiri
intervensi bedah atau  Asidosis ringan
yang disebabkan oleh
39
proses patologis lain  Anemia sedang
yang ada  Faringitis septik atau akut
 Sinusitis akut
 Infeksi superfisial yang menyebabkan reaksi
sistemik.
 Adenoma tiroid non-toksik dengan semua
kecuali sebagian
 gangguan pernapasan
 Tirotoksikosis ringan
 Osteomielitis
 Tuberkulosis paru tanpa gangguan sistemik
 Umur yyang tergolong sangat muda dan sangat
tua
ASA III Gangguan sistemik berat  Diabetes yang rumit atau parah
dari penyebab apapun.  Kapasitas fungsional IIb
Tidak mungkin untuk  Kombinasi penyakit jantung dan paru-paru yang
menyatakan ukuran sangat merusak fungsi
keparahan yang absolut,  Obstruksi usus lengkap dengan serius
karena ini adalah  gangguan fisiologis
masalah penilaian klinis
 Tuberkulosis paru menyebabkan takikardia atau
sesak
 Penyakit berkepanjangan dengan kelemahan
semua atau beberapa sistem
 Trauma berat dengan syok
 Abses paru
ASA IV Gangguan sistemik  Kapasitas fungsional III – (dekompensasi
ekstrim yang telah jantung)
menjadi ancaman nyata  Trauma parah dengan kerusakan yang tidak
bagi kehidupan terlepas dapat diperbaiki
dari pengobatannya.  Obstruksi usus lengkap pada pasien yang
Karena durasi atau sebelumnya lemah
sifatnya, sudah ada  Penyakit kardiovaskular dengan gangguan ginjal
kerusakan pada yang nyata
organisme yang tidak  Anestesi untuk menahan kehilangan darah yang
dapat diubah. Kelas ini nyata dari perdarahan sekunder pada pasien
hanya ditujukan untuk dalam kondisi buruk
pasien yang kondisi
fisiknya sangat buruk
ASA V Keadaan darurat yang akan dinilai sebagai Kelas 1 atau 2
ASA VI Keadaan darurat yang seharusnya dinilai sebagai Kelas 3 atau 4

40
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut, pasien
digolongkan pada PS ASA 2 karena pasien tergolong usia yang sangat muda yaitu
umur 1 bulan 3 hari
Pada pasien ini, dilakukan general anastesi inhalasi, dengan Tindakan
intubasi endotracheal tube (ETT). intubasi endotracheal tube (ETT). Adalah
Tindakan memasukkan pipa endotrakea {Endotrachéal Tube/ET) ke dalam trakea
melalui mulut. ET dapat digunakan sebagai penghantar gas anestesi ke dalam
trakea dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi. Endotrachéal Tube
sesuai dengan namanya adalah pipa kecil yang dimasukkan ke dalam trakea,
tindakannya dinamakan Intubasi Endotrakea, beberapa indikasi khusus intubasi
endotrakeal pada pasien, diantaranya adalah: Operasi daerah kepala, leher atau
jalan nafas atas. Dan juga sering digunakan pada bayi dan anak pada pasien
daerah yang akan dilakukan insisi adalah daerah kepala dan juga pasien tergolong
umur yang sangat muda. Pada pasien ini digunakan ETT no 7.0

Berikut ini pedoman yang dipakai dalam menentukan ukuran ET:


41
Pada saat sebelum operasi, pasien ini diberikan obat premedikasi terlebih
dahulu. Telah diketahui bahwa tujuan pemberian premedikasi ialah untuk
menurunkan serta menghilangkan kecemasan pada pasien karena sekitar 70%
pasien diperkirakan mengalami stres dan juga kecemasan prabedah.
Kemudian dilakukan induksi, induksi merupakan saat dimasukkannya zat
anestesi sampai tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan
dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi. Induksi pada pasien ini dilakukan dengan
anestesi inhalasi dengan menggunakan sevoflurant yaitu obat anestesi cair yang
diuapkan menggunakan alat yang disebut vaporizer dengan menaikan secara
bertahap dari 1,5 % vol – 8% vol karena memiliki efek induksi yang cepat,
dengan distribusi dan eliminasi yang cepat.
Penambahan obat medikasi tambahan berupa pemberian analgetik
digunakan ketorolac 30 mgIV.1
Perhitungan pemberian cairan selama operasi pada pasien ini adalah :
Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance
 (M) : (4mlx1,8kg) = 7,2 ml/jam
 7,2 ml x 1 jam = 7,2 ml/jam
42
2. Cairan pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance =
 6 jam x 7,2 = 43ml
3. Stres operasi Untuk pengganti cairan sequestra diberikan sesuai derajat
operasi untuk memperkiraan kehilangan cairan/darah. Pada kasus ini
termasuk operasi besar.
 4 ml x 1,8 kg = 7,2 ml
4. EBV Estimated Blood Volume
 EBV = 80-90 cc x 1.8 kg = 144 ml
5. ABV, Perdarahan >10% dari perkiraan volume darah, dilakukan transfusi
darah - Perdarahan
 ABV = 10% x 144 = 14 ml
Manajemen cairan :
a) Satu jam pertama pemberian cairan - usia < 3 tahun = 25 ml/kg + macam
operasi/jam =

 25 x 1,8 kg + 7,2 ml = 52, ml

a) Jam berikutnya
 4 ml/kg + Operasi sedang (4 ml/kg) = 14,4 ml
Menurut perhitungan, perdarahan yang lebih dari 10% EBV harus
dilakukan transfusi darah. Pada kasus ini tidak diberikan pemberian transfusi
dikarenakan pendarahan sebanyak kurang lebih 10 cc, tapi tetap diberikan
kristaloid sebagai pengganti darah. Terapi cairan selama operasi bertujuan untuk
koreksi kehilangan cairan melalui luka operasi, mengganti perdarahan dan
mengganti cairan yang hilang melalui organ sekresi. Cairan yang digunakan
adalah cairan pengganti, bisa kristaloid dan koloid atau transfusi darah. Koreksi
perdarahan selama operasi
Operasi berjalan lancar tanpa timbulnya komplikasi, dengan lama anestesi
09;20. – 10.30 (110 menit). Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan
(Recovery Room). Aldrete score 9, maka dapat dipindah ke ruang perawatan

43
BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan


beberapa hal, sebagai berikut:
1. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien

didiagnosis dengan Epidural dan Subdural Hematom + Fraktur Clavicula


Dextra maka dapat disimpulkan status pasien pra anestesi. American Society
of Anesthesiologist (ASA) pada pasien dikatakan ASA PS kelas 2 karena
pasien dengan gangguan sistemik sedang.
2. Pada pasien ini dilakukan jenis anestesi dengan General anestesi inhalasi
dengan Teknik Intubasi ETT, adalah teknik anestesi umum dimana induksi
dan pemeliharaan anestesi didapatkan dengan hanya menggunakan agent
anestesi inhalasi yaitu Sevoflurant yang diuapkan menggunakan alat yang
disebut vaporizer, kemudian,
3. Pemilihan General anestesi inhalasi pada tindakan pada kasus ini atas
indikasi
a. Lokasi operasi berada di area kepala
b. Pasien bayi dan anak – anak

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Farmakologi FKUI. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI. 2012.
2. Gudivada K.K, Jonnavithula N, Pasupuleti S.L,Apparasu C.P, Ayya S.S,
Ramachandran G. Comparison Of Ease Of Intubation In Sniffing Position
And Further Neck Flexion. Journal of Anaesthesiology Clinical
Pharmacology. Volume 33. Issue 3. July-September 2017
https://www.researchgate.net/publication/320135196_Comparison_of_ease
_of_intubation_in_sniffing_position_and_further_neck_flexion
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi Dan Terapi Intensif Indonesia
(PERDATIN). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran [PNPK]
Anestesiologi Dan Terapi Intensif.
4. PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI
INTENSIF.http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._
HK_.02_.02-MENKES
2512015_ttg_PNPK_Anestesiologi_dan_Terapi_Intensif_.pdf
5. PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN [PNPK]
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
https://docplayer.info/58132649-Pedoman-nasional-pelayanan-kedokteran-
pnpk-anestesiologi-dan-terapi-intensif.html
6. G,S, ABDUL NEUROSURGERY LECTURE NOTES,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/63363/1/Cerebral
%20Revascularization.pdf
7. I Emanuel, EFEK PEMBERIAN OBAT ANESTESI INHALASI
SEVOFLURAN TERHADAP PERUBAHAN FREKUENSI NADI INTRA
ANESTESI DI KAMAR OPERASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
UMBU RARA MEHA WAIGAPU,
https://media.neliti.com/media/publications/259687-effect-of-an-
infrastructure-an-infrastru-5d72afd5.pdf
8. D R DELVI, 2016 SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN PROPOFOL
KOMBINASI PADA INDUKSI ANESTESI
http://repository.unair.ac.id/53804/13/FF%20fk%2038%2016-ilovepdf-
compressed.pdf

45
9. Soenarjo, Heru. 2013, BuKU ANESTESIOLOGI. BAGIAN
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS
KEDOKTERAN UNDIP/RSUP Dr. KARIADI SEMARANG (EBOOK)
10. Albertus,Made CDK-285/ vol. 47 no. 4 th. 2020, Anestesi pada Pelayanan
Bedah Sehari (Outpatient Anesthesia)
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/378
11. Dian, Christanto Penanganan Jalan Napas Sulit pada Neonatus, CDK-251/
vol. 44 no. 4 th. 2017 TEKNIK PB
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/853

46

Anda mungkin juga menyukai