Disusun Oleh:
Andi Widya Lestari
13 19 777 14 391
Pembimbing :
dr. Sofyan Bulango,.Sp.An
Bagian Anestesiologi
RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-“tidak, tanpa” dan aestheos, “persepsi,
kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846.9,10
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi
lokal. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang reversible akibat pemberian
obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral. Perbedaan dengan
anestesi lokal adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan
kesadaran9,10
anestesi pada kelompok pediatri mempunyai aspek psikologi, anatomi, farmakologi,
fisiologi dan patologi yang berbeda dengan orang dewasa. Pemahaman atas perbedaan ini
merupakan dasar penatalaksanaan anestesi pediatri yang efektif dan aman. Pendekatan psikologis
merupakan faktor penting yang berdampak pada luaran anestesi pediatri. Sesuai
perkembangannya, kelompok pediatri dibagi dalam kelompok usia neonatus yang lahir kurang
bulan dan cukup bulan, bayi usia diatas 1 bulan sampai usia dibawah 1 tahun, anak usia
prasekolah usia diatas 1 tahun sampai usia 5 tahun, anak usia sekolah usia 6 tahun sampai 12
tahun dan usia remaja 13 tahun sampai 18 tahun. Neonatus merupakan kelompok yang
mempunyai risiko paling tinggi jika dilakukan pembedahan dan anestesi. Patologi yang
memerlukan pembedahan berbeda tergantung kelompok usia, neonatus dan bayi memerlukan
pembedahan untuk kelainan bawaan sedangkan remaja memerlukan pembedahan karena trauma
3,9,10
Teknik dan obat induksi dapat bervariasi sesuai status hemodinamik pasien. Prinsip
pemberian obat adalah titrasi disesuaikan status hemodinamik pasien. Tidak dianjurkan obat
tunggal. Dapat digunakan kombinasi dosis kecil (ko-induksi) opioid, sedatif golongan
benzodiazepin dan anestetika inhalasi (isofluran atau sevofluran) atau anestetika intravena
(propofol, etomidat atau barbiturat).
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan
intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian
atas. Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah ekstubasi. Dalam pelaksanaan ekstubasi dapat
terjadi gangguan pernapasan yang merupakan komplikasi yang sering kita temui pasca anestesi.
Komplikasi bisa terjadi setelah dilaksanakannya ekstubasi seperti pengeluaran sekret dari mulut
yang menyumbat jalan napas, edema laring, dan bisa terjadi spasme laring. Komplikasi
pernapasan pasca anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia. 8,10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan araknoid,
biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal.Pada subdural hematoma yang
seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging vein” , karena tarikan ketika terjadi
pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan
lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi
“bridging vein”.(1)(2)
2. Etiologi
Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan
pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur.Akibat trauma kapitis,tengkorak
retak.Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear.Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa
timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan
tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai
jaringan otak (laserasio).Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh
darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan
tengkorak.
Sedangkan pada subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala hebat,
seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan memutuskan
vena-vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi tengkorak
ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah dampak
primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan bersifat linear.Maka dari itu
lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak disebut
lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak
terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup”.(1)
3. Patomekanisme
Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam
rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi
ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri.
Pada hematoma epidural, perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan dura mater.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila slaah satu cabang arteria meningea
media robek. Robekan ini sering terjadi buka fraktur tulang tengkorak di daerah yang
bersangkutan. Hematom pun dapat terjadi di daerah frontal dan oksipital.(8)(10)
Putusnya vena-vena penghubung antara permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab
perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai
akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga
subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan orang
dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang )
memiliki resiko yang lebih besar.
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium
dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” . Karena
perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul
hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom
sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan
dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah.
Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural
dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan
kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma). Kondisi- kondisi
abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme.(1)(2)(8)
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan
akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan
tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya
normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah.
4. Gejala Klinis
Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran menurun secara
progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memardisekitar mata dan
dibelakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung dan telingah.
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala.
(1)(2)(5)
Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala. Gejala yang sering tampak :
2. Bingung
3. Penglihatan kabur
4. Susah bicara
5. Diagnosis
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah
dikenali.
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma.
Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film
untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.
6.Penatalaksanaan
1. EPIDURAL HEMATOM
Penanganan darurat :
Terapi medikamentosa
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama
untuk membuka jalur intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau
Dextrose in saline
c. Kortikosteroid.
d. Barbiturat.
2. SUBDURAL HEMATOM
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada pasien
SDH, tentu kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan
radiologinya. Dalam masa mempersiapkan operasi, perhatiaan hendaknya
ditujukan kepada pengobatan dengan medika mentosa untuk menurunkan
peningkatan tekanan intracranial. Seperti pemberian mannitol 0,25
gr/kgBBatau furosemide 10 mg intavena, dihiperventilasikan.
Tidakan operatif
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan ada gejala-
gejala yang progresif maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk
melakukan pengeluaran hematom. Tetapi seblum diambil kepetusan untuk
tindakan operasi yang harus kita perhatikan adalah airway, breathing, dan
circulatioan. Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau
pergeseran midline shift >5 mm pada CT-Scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring
TIK
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan /atau TIK >20 mmhg
FRAKTUR CLAVICULA
DEFINISI
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. Untuk mengetahui mengapa
dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita harus mengetahui keadaan fisik
tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah. Kebanyakan
fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan
membengkok, memutar, dan tarikan.
Fraktur klavikula adalah cedera yang sering terjadi terutama pada usia muda
dan individu yang aktif. Insidensinya sekitar 2.6% dari semua fraktur. Fraktur
klavikula merupakan salah satu cedera tulang yang paling sering, yang jarang
memerlukan reduksi terbuka.
Epidemiologi
Pada anak-anak, klavikula mudah mengalami fraktur, namun hampir selalu
terjadi union dengan cepat dan tanpa komplikasi. Pada orang dewasa, fraktur
klavikula merupakan injuri yang lebih sulit. Fraktur klavikula pada orang dewasa
sering terjadi, insidensinya 2,6-4% dari semua fraktur dan kurang lebih 35%
merupakan cedera dari gelang bahu. Fraktur pada midshaft merupakan yang
terbanyak 69-82%, fraktur lateral 21-28%, dan fraktur medial yang paling jarang 2-
1
3%.
Mekanisme Trauma
Mekanisme trauma dari fraktur klavikula terjadi karena penderita jatuh pada
bahu, biasanya tangan dalam keadaan terulur. Bila gelang bahu mendapat trauma
kompresi dari sisi lateral, penopang utama untuk mempertahankan posisi adalah
klavikula dan artikulasinya. Bila traumanya melebihi kapasitas struktur ini untuk
menahan, terjadi kegagalan melalui 3 cara, Artikulasi akromioklavikular akan rusak,
klavikula akan patah, atau sendi sternoklavikular akan mengalami dislokasi. Trauma
pada sendi sternoklavikular jarang terjadi dan biasanya berhubungn dengan trauma
langsung ke klavikula bagian medial dengan arah lebih posterior (dislokasi posterior)
atau trauma dari arah posterior yang langsung mengenai gelang bahu (menyebabkan
dislokasi proksimal klavikula ke anterior).
Pada fraktur midshaft, fragmen lateral tertarik ke bawah karena berat lengan,
fragmen medial tertarik oleh muskulus sternocleidomastoideus. Pada fraktur 1/3
lateral, bila ligamen intak, ada sedikit pergeseran; namun bila terjadi robekan ligamen
korakoklavikula, atau bila garis fraktur terletak medial dari ligamen ini, pergeseran
yang terjadi mungkin lebih berat dan tindakan reduksi tertutup tidak mungkin
dilakukan. Klavikula juga merupakan bagian yang sering mengalami fraktur
1,2
patologis.
Gambaran Klinis
Anamnesis harus bisa menggambarkan semua aspek agar penanganan pasien dapat optimal.
Selain data demografik standar, mekanisme trauma juga penting untuk diketahui. Fraktur
klavikula yang disebabkan oleh trauma ringan biasanya tidak menyebabkan cedera organ lainnya
atau trauma intra toraks. Namun, pada kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari ketinggian, harus
dicari cedera lainnya.
Lengan pasien biasanya didekatkan ke dada untuk mencegah pergerakan. Biasanya dapat
terlihat adanyan penonjolan pada subkutan dan kadang-kadang ada fragmen tulang yang melukai
kulit. Adanya deformitas pada gelang bahu paling baik diperiksa saat pasien berdiri. Bila terjadi
fraktur midshaft dengan pergeseran besar, tampak gambaran shoulder ptosis. Meskipun
komplikasi pada vaskular jarang terjadi, perabaan pulsasi vaskular di leher sebaiknya dikerjakan.
Adanya perlukaan ada sendi akromioklavikular sering terlewatkan pada fraktur 1/3 lateral. 1,2,3
Imaging
Pemeriksaan radiologis yang diperlukan minimal adalah rontgen dengan proyeksi anterior
dan kemiringan 30 derajat sefalik. Biasanya didapatkan fraktur pada 1/3 tengah dari tulang,
fragmen bagian luar biasanya terletak lebih rendah dari fragmen bagian dalam. Fraktur pada 1/3
lateral dapat terlewatkan, atau perkiraan derajat pergeserannya dapat lebih rendah, kecuali jika
rontgen proyeksi bahu juga dikerjakan. Rontgen sendi sternoclavicular pada fraktur 1/3 medial
juga lebih baik dikerjakan. Saat menilai kemajuan klinis, harus diingat bahwa ‘clinical’ union
biasanya mendahului ‘radiological’ union beberapa minggu sebelumnya.1,2
CT scan dengan rekonstruksi tiga dimensi mungkin diperlukan untuk menentukan derajat
pemendekan secara akurat atau untuk mendiagnosis fraktur dislokasi sternoklavikula dan untuk
meyakinkan union dari sebuah fraktur.1
Penatalaksanaan
Fraktur Klavikula 1/3 Tengah
Terdapat kesepakatan bahwa fraktur klavikula 1/3 tengah non displaced
seharusnya diterapi secara non operatif. Sebagian besar akan berlanjut dengan union
yang baik, dengan kemungkinan non union di bawah 5% dan kembali ke fungsi
1,2.4
normal.
Manajemen non operatif meliputi pemakaian simple sling untuk kenyamanan.
Sling dilepas setelah nyeri hilang (setelah 1-3 minggu) dan pasien disarankan untuk
mulai menggerakkan lengannya. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa
penggunaan figure-of-eight bandage memberikan manfaat dan dapat berisiko
terjadinya peningkatan insidens terjadinya luka akibat penekanan pada bagian fraktur
dan mencederai struktur saraf; bahkan akan meningkatkan risiko terjadinya non-
1
union.
Terdapat lebih sedikit kesepakatan mengenai manajemen fraktur 1/3 tengah.
Penggunaan simple splintage pada fraktur dengan pemendekan lebih dari 2 cm
dipercaya menyebabkkan risiko terjadinya malunion simptomatik – terutama nyeri
dan tidak adanya tenaga saat pergerakan bahu – dan peningkatan insidens terjadinya
1
non-union. Sehingga dikembangkan teknik fiksasi internal pada fraktur klavikula
akut yang mengalami pergeseran berat, fragmentasi, atau pemendekan. Metode yang
dikerjakan berupa pemasangan plat (terdapat plat dengan kontur yang spesifik) dan
1
fiksasi intramedular.
Fraktur Klavikula 1/3 Distal
Sebagian besar fraktur 1/3 distal klavikula mengalami pergeseran minimal dan
ekstra-artikular. Ligamentum korakoklavikula yang intak mencegah pergeseran jauh
dan manajemen non operatif biasanya dipilih. Penatalaksanaannya meliputi
pemakaian sling selama 2-3 minggu sampai nyeri menghilang, dilanjutkan dengan
mobilisasi dalam batas nyeri yang dapat diterima.
Fraktur klavikula 1/3 distal displaced berhubungan dengan robeknya
ligamentum korakoklavikula dan merupakan injuri yang tidak stabil. Banyak studi
menyebutkan fraktur ini mempunyai tingkat non-union yang tinggi bila ditatalaksana
1
secara non operatif. Pembedahan untuk stabilisasi fraktur sering direkomendasikan.
Teknik operasi menggunakan plate dan screw korakoklavikular, fiksasi plat hook,
penjahitan dan sling techniques dengan graft ligamen Dacron dan yang terbaru adalah
1,2
locking plates klavikula.
Fraktur Klavikula 1/3 Proksimal
Sebagian besar fraktur yang jarang terjadi ini adalah ekstra-artikular.
Penatalaksanaan yang dilakukan sebagian besar adalah non operatif kecuali jika
pergeseran fraktur mengancam struktur mediastinal. Fiksasi pada fraktur
berhubungan dengan komplikasi yang mungkin terjadi seperti migrasi dari implan ke
mediastinum, terutama pada penggunaan K-wire. Metode stabilisasi lain yang
1
digunakan yaitu penjahitan dan teknik graft, dan yang terbaru locking plates.
Komplikasi
Awal
Meskipun klavikula bagian proksimal terletak dekat dengan struktur vital, kejadian
pneumotoraks, ruptur pembuluh darah subklavia, dan cedera pleksus brachialis jarang
1,2
terjadi.
Lanjut
Non-union
Pada fraktur shaft yang mengalami pergeseran, non-union
terjadi pada 1-15% kasus. Fraktur risiko meliputi usia yang bertambah
tua, besar pergeseran, komunitif fraktur, dan pasien perempuan, namun
prediksi akurat mengenai fraktur yang akan mengalami non-union sulit
dikerjakan.
Non-union yang simptomatik diterapi dengan fiksasi plat dan
graft tulang jika diperlukan. Tindakan ini biasanya memuaskan dan
memiliki tingkat union yang tinggi. Fraktur klavikula 1/3 lateral
mempunyai tingkat non-union yang tinggi (11,5-40%). Pilihan terapi
untuk non-union simptomatik adalah eksisi bagian lateral dari
klavikula (bila fragmen kecil dan ligamentum korakoklavikular intak)
atau reduksi terbuka, fiksasi interna dan graft tulang bila fragmen
besar. Implan yang digunakan adalah locking plates and hooked
1,2
plates.
Malunion
Semua fraktur yang mengalami pergeseran akan sembuh
dengan posisi non-anatomis dengan pemendekan dan angulasi,
meskipun tidak menunjukkan gejala. Beberapa akan mengalami nyeri
periskapular, yang biasanya terjadi pada pemendekan lebih dari 1,5
cm. Pada kasus ini, operasi osteotomi korektif dan pemasangan plat
1,2
dapat dipertimbangkan.
Kekakuan bahu
1
Hal ini sering terjadi namun biasanya hanya sementara.
17
B. General Anastesi Inhalasi
1. Definisi
Semua derivat eter yang mudah menguap (volatile) atau berbentuk gas
(gaseous) yang keduanya diberikan secara inhalasi dan diserap melalui
pertukaran gas di alveolus. Anestetik volatile meliputi halotan, enfluran,
isofluran, desfluran, sevofluran, sedangkan anestetik gas meliputi nitrosa oksida,
xenon, dll (Uhrig et al., 2014).
Cara kerja obat anestesi inhalasi terhadap kecepatan jantung dengan
mengubah secara langsung kecepatan depolarisasi nodus sinoauricularis (nodus
SA), atau dengan menggeser keseimbangan aktivitas sistem saraf otonom. Salah
satu contoh anestesi inhalasi adalah sevofluran.9
Secara klinis, tujuan pemberian anestesi ialah untuk mencapai tekanan
parsial yang adekuat dari obat anestesi tersebut di dalam otak, sehingga
didapatkan efek yang diinginkan. 9
2. Sevofluran
Sevofluran adalah obat anestesi inhalasi dengan rumus kimia 1,1,1,3/3,3,
hexa fluoro2-prophyl fluoromethyl ether atau fluoromethyl 2,2,2-tri fluoro-1-
(Trifluoromethyl) ethyl ether. Diperkenalkan sebagai obat anestesi oleh Wallin
& Napoli dari Traverol Laboratories (1971).
Merupakan cairan jernih, tidak berwarna, berbau enak, tidak iritatif, titik
didih 58,5. Berat molekul 200,053 tekanan uap jenuh 21,3 KpA pada suhu 20
°C. Tidak korosif terhadap stainless steel, kuningan maupun alumunium, tidak
mudah terbakar, tidak eksplosif, stabil terkena cahaya. Dibandingkan dengan
obat anestesi inhalasi volatil lain, kelarutan sevofluran dalam karet dan plastik
lebih rendah. 9
Konsentrasi alveolar minimal (KAM) 1,7, bila dikombinasikan dengan 60%
N20, KAM menjadi 0,66%. Sevofluran nyaman dipakai untuk induksi baik
dewasa atau anak-anak karena baunya enak dan tidak iritatif pada jalan nafas.
Kombinasi 4-8 % sevofluran 50% N20 dan 50% 02 induksi dapat dicapai dalam
18
waktu 1-3 menit. Waktu pulih sadar antara 7-5 menit setelah anestesi
menggunakan 2-3 KAM sevofluran selama 1 jam. 9
Sevofluran mengalami dekomposisi bila tekanan soda lime tergantung
tingginya temperatur. Pada suhu 80 degradasi mencapai 92%. Waktu dilakukan
anestesi biasanya suhu canistersoda lime kurang dari 50°C, hanya ditemukan 2
komponen (komponen A+B) yang jumlahnya kurang dari 80 ppm. Komponen
tersebut menyebabkan kematian pada tikus bila mencapai 1100 ppm. Meskipun
pengaruh degradasi tersebut secara klinik belum jelas, tetapi FDA menunda
pemakaian sevofluran untuk anestesi, tetapi di Jepang telah digunakan secara
luas. 9
Pada sistem kardiovaskuler menimbulkan depresi ringan kontraksi otot
jantung, terjadi penurunan tekanan vaskuler sistemik dan tekanan arteri yang
ringan. Sevofluran dapat memperpanjang interval QT mekanismenya tidak jelas
tetapi terdapat bukti yang dapat dihubungkan dengan coronary steal syndrome.
Tidak meningkatkan sensitifitas jantung pada katekolamin.9
Pada sistem respirasi, menimbulkan depresi respirasi dan dapat memicu
terjadi bronkhospasme. 9
Pada SSP, sevofluran sedikit menaikkan aliran darah otak dan tekanan intra
kranial pada keadaan normokarbia. Pada konsentrasi lebih dari 1,5 KAM dapat
mengganggu autoregulasi aliran darah otak. Kebutuhan metabolik oksigen otak
menurun dan tidak terdapat aktifitas kejang.9
3. INDUKSI DAN MAINTENANCE
Induksi dapat dilakukan dengan cara inhalasi, intravena, intramuskuler atau
perrektal. Induksi Inhalasi sering disebut dengan istilah induksi lambat karena
membutuhkan waktu yang lama, sedangkan induksi intravena, disebut juga
dengan induksi cepat karena penderita cepat tertidur. Induksi Inhalasi Diberikan
dengan meminta penderita menghirup campuran gas anestesi dengan udara atau
oksigen, dengan memakai face mask (sungkup muka/kap). Tergantung yang
dipakai, gas anestesi bisa diambil dari tabung gas (N20) atau dari obat anestesi
cair yang diuapkan menggunakan alat yang disebut vaporizer. Pada zaman dulu
obat anestesi cair diteteskan pelan-pelan langsung ke sungkup muka yang dibuat
19
dari rangka kawat yang dibalut kain kasa atau alat schimmel busch. Cara ini
disebut open drop. 3,4,5
Bila obatnya ether maka disebut open dropether. Induksi inhalasi
menggunakan ether pada saat ini tidak populer, karena menimbulkan stadium II
yang menyebabkan terjadinya risiko morbiditas dan mortalitas bagi penderita.
Dibandingkan dengan ether induksi inhalasi lebih baik menggunakan halothane,
enflurane, isoflurane atau sevoflurane. Penderita yang mendapat induksi inhalasi
dengan obat ini cepat masuk ke dalam stadium III sehingga tanda stadium II
yang membahayakan penderita tidak terlihat. Umumnya induksi inhalasi
dikerjakan pada bayi dan anak. Bila induksi dan maintenance anestesi
menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile Inhalation and
Maintenance Anesthesia). 3,4,5
Dalam periode ini diberikan obat anestesi dalam dosis tertentu, tergantung
jenis operasinya. Anestesi tidak boleh terlalu dalam karena membahayakan jiwa
penderita, tetapi juga tidak boleh terlalu ringan sehingga penderita masih
merasakan nyeri yang akan menimbulkan trauma psikis yang berkepanjangan.
Selain itu anestesi yang terlalu ringan juga dapat menyebabkan spasme saluran
pernafasan, batuk, mutah atau gangguan kardio vaskuler. Seperti pada induksi,
pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat inhalasi atau intravena. 3,4,5
Induksi dengan sevofluran menimbulkan relaksasi yang memungkinkan
intubasi pada anak. Obat ini juga berpotensiasi dengan pelumpuh otot.3,4,5
3. Pemulihan Anastesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenisasi.
Dengan oksigenisasi maka oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya
ditempati oleh obat anestesi inhalasi di alveoli yang berangsur-angsur keluar
mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian tekanan parsial obat anestesi di
alveoli juga berangsur-angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan
tekanan parsial obat anestesi inhalasi di dalam darah. Maka terjadilah difusi obat
20
anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli. Semakin tinggi perbedaan
tekanan parsial tersebut kecepatan difusi makin meningkat.9
Sementara itu oksigen dari alveoli akan berdifusi ke dalam darah. Semakin
tinggi tekanan parsial oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi) difusi ke dalam
darah semakin cepat, sehingga kadar oksigen di dalam darah meningkat,
menggantikan posisi obat anestesi yang berdifusi menuju ke alveoli. Akibat
terjadinya difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, maka
kadarnya di dalam darah makin menurun. Turunnya kadar obat anestesi inhalasi
tertentu di dalam darah, selain akibat difusi di alveoli juga akibat sebagian
mengalami metabolisme dan ekskresi lewat hati, ginjal, dan keringat. Kesadaran
penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anestesi
di dalam darah.9
4. ANATOMI
Pasien anak bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil. Terdapat
pembagian anak berdasarkan umur: neonatus bila umur kurang dari 30 hari, bayi
bila umur 1 bulan-1 tahun, balita 1 tahun-5 tahun, anak 6 tahun-12 tahun. Secara
fisiologi, anatomis, farmakologis pada anak dan orang dewasa berbeda, oleh
karenanya resiko terjadinya morbiditas serta mortalitas juga semakin tinggi
dengan makin mudanya usia.9,10,11
Sistem Pernafasan
Kepala dan lidah besar, rongga mulut kecil, rongga hidung sempit,
mandíbula kecil, leher pendek, letak laring anterosefalad, epiglottis panjang,
trakea pendek, adenoid dan tonsil lebih dominan 9,10,11
Fisiologi
Ventilasi pada neonatus dan bayi kurang efisien karena otot diafragma dan
interkostal lebih lemah, tulang kosta lebih mudah mengembang, lebih datar,
bentuk abdomen lebih menonjol. Frekuensi pernafasan pada neonatus normal
40x/menit, bayi 30x/menit, balita 25x/menit, anak 20x/menrt. Volume tidal dan
ruang rugi perkilogram berat badan relative konstan 2-2,5 ml/kg BB. Resistensi
jalan nafas relatif lebih besar karena kecilnya saluran jalan nafas terutama pada
21
cabang yang kecil. Beban nafas menjadi lebih berat sehingga otot pernafasan
cenderung lebih mudah capai. 9,10,11
Pada Neonatus dan bayi, jumlah dan ukuran alveoli lebih kecil sehingga
komplians paru menurun namun tulang rawan pada rusuk menyebabkan dinding
dada sangat komplians. Kedua kombinasi tersebut menyebabkan dinding dada
kolaps saat inspirasi dan paru kolaps selama ekspirasi sehingga FRC (Functional
Residual Capacity) menurun. Hal ini penting karena cadangan 02 selama periode
apnea (saat intubasi) neonatus dan bayi cepat menjadi hipoksemia dan atelektasis.
Frekuensi nafas yang tinggi memperberat keadaan ini karena kebutuhan oksigen
yang meningkat 2x dewasa (6 ml/kg BB). Pusat pengaturan pernafasan akibat
hipoksia dan hiperkapni pada neonatus dan bayi belum sempurna namun kedua
keadaan tersebut dapat menyebabkan depresi nafas. Produksi C02 2x dewasa.
2,9,10,11
5. INTUBASI
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa endotrakea {Endotrachéal
Tube/ET) ke dalam trakea melalui hidung atau mulut. ET dapat digunakan sebagai
penghantar gas anestesi ke dalam trakea dan memudahkan kontrol ventilasi dan
oksigenasi. Endotrachéal Tube sesuai dengan namanya adalah pipa kecil yang
dimasukkan ke dalam trakea, tindakannya dinamakan Intubasi Endotrakea. 2,5,9,11
ET untuk orang dewasa memiliki sistem inflasi cuff yang terdiri dari katup,
balon pilot, infiating tube, dan cuff. Katup berfungsi untuk mencegah hilangnya
udara setelah diinflasi. Balon pilot sebagai indikator inflasi cuff. Infiating tube
menghubungkan katup dengan cuff dan dibuat menempel pada dinding ET, Tube
non cuff digunakan pada anak untuk mengurangi resiko trauma tekanan dan batuk
setelah intubasi. ET non cuff digunakan untuk anak kurang dari 8 tahun, ini
dikarenakan bentuk anatomi subglotis yang sempit. Berikut ini pedoman yang
dipakai dalam menentukan ukuran ET: 5,9,11
22
Ada beberapa indikasi khusus intubasi endotrakeal pada pasien, diantaranya
adalah:
1. Untuk patensi jalan nafas. Intubasi endotrakeal diindikasikan untuk
menjamin ventilasi, oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan jalan nafas.
2. Perlindungan terhadap paru dengan penutupan cuff dari ET harus
dilaksanakan pada pasien-pasien yang baru saja makan atau pasien dengan
obstruksi usus.
3. Operasi yang membutuhkan ventilasi tekanan positif paru, misalnya
torakotomi, penggunaan pelumpuh otot, atau ventilasi kontrol yang lama.
4. Operasi yang membutuhkan posisi selain terlentang. Pemeliharaan patensi
jalan nafas atau penyampaian ventilasi tekanan positif pada paru tidak dapat
diandalkan.
5. Operasi daerah kepala, leher atau jalan nafas atas.
6. Diperlukan untuk kontrol dan pengeluaran sekret pulmo
(bronchialpulmonairtdlet)
7. Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau dengan
depresi reflek muntah (misal selama anestesi umum).
23
8. Adanya penyakit atau kelainan jalan nafas atas. Misalnya paralisis pita
suara, tumor supraglotis dan subglotis.
9. Aplikasi pada ventilasi tekanan positif.9
KONTRA INDIKASI
Di bawah ini hanya kontraindikasi relatif pada intubasi trakea:
1. Trauma jalan napas berat atau obstruksi yang tidak memberikan
pemasangan ET yang aman. Cricothyrotomi diindikasikan pada beberapa kasus.
2. Trauma servikal, di mana diperlukan immobilisasi komplit
24
sangat penting, sering pada pasien terdapat material yang membuat kesulitan
visualisasi plika vokalis. Aspirasi pulmo harus dihindari.
Alat airway oral (Gudel) adalah alat yang dapat mengangkat lidah dari faring
posterior, alat ini sering memudahkan untuk ventilasi sungkup. Ketidakmampuan
untuk memberikan ventilasi kepada pasien adalah suatu yang buruk. Juga sumber
dengan mekanisme penghantar (ambu-bag atau sungkup) harus ada.
Laryngoscope atau laringoskop. Pencahayaan alat ini penting untuk menempatkan
ET. 9
28
BAB III
LAPORAN KASUS
1. Identitas
Nama : An.Alif Pratama
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 15 Tahun
Berat badan : 40 kg
Panjang Badan : 152 cm
Alamat : Batusuya
Agama : Islam
Diagnosa Pra Anestesi : Epidural dan Subdural Hematom + Fraktur
Clavicula Dextra
Jenis Pembedahan : Craniotomy evakuasi hematom + Orif Clavicula
Jenis Anestesi : General Anesthesia inhalasi ETT
Tanggal Operasi : 22/11/2022 (09:00)
Anestesiologi : dr. Sofyan Bulango, Sp.An
Operator : dr.Franklin Sinanu, Sp. BS dan
A. S-O-A-P
1. Subjektif :
Keluhan Utama : Sakit kepala
Riwayat penyakit sekarang : Seorang pasien laki-laki berusia 15 tahun
datang dengan rujukan dari Puskesmas Batusuya dengan keluhan sakit kepala
setelah infeksi post kecelakaan lalu lintas.
Keluhan lain : pusing (-), mual (-), muntah (-), nyeri uluhati (-), sakit
kepala (-), lemas (-), penglihatan kabur (-), batuk berdahak (-), flu (-),
demam (-), BAK lancar, BAB biasa.
Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat penyakit jantung (-)
29
- Riwayat penyakit hipertensi (-)
- Riwayat penyakit asma (-)
- Riwayat alergi obat, makanan, susu (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
- Riwayat merokok (-)
- Riwayat operasi (-)
- Riwayat pengobatan (-) :
2. Objektif :
Pemeriksaan Fisik : (B1-B6)
B1 (Breath) : Airway :
- leher pendek (-), airway paten (tidak ada sumbatan)
- Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi intercostal (-),
Penggunaan otot bantu pernapasan (-), Pernapasan cuping hidung (-)
- Auskultasi : Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
- Skor Malampati : tidak dilakukan pemeriksaan
B2 (Blood) :
- Konjungtiva anemis (-/-)
- TD : 100/70 mmhg
- Nadi : 80 x/m (regular, kuat angkat)
- Akral hangat
B3 (Brain):
- Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5), Compos mentis, reflex cahaya
langsung dan tidak langsung (+/+)
- Suhu: 36,5 C
B4 (Bladder ) : BAK lancar, warna kuning,
B5 (Bowel) :
- jejas (-), peristaltik (+) kesan normal, bising usus (-), BAB (+) biasa
B6 (Back & Bone) :
- dislokasi (-), pergerakan terbatas (-)
30
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Tabel 1. Hasil Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 20 November 2022
Parameter Hasil Flags Nilai Rujukan Satuan
Hematokrit 41.6 42 – 52 %
31
3. Assesment
- Status fisik ASA 2
Diagnosis pra-bedah : Epidural dan Subdural Hematom + Fraktur
Clavicula Dextra
4. Plan
A. Rencana Anestesi
B. Rencana Tindakan
Craniotomy evakuasi hematom + Orif Clavicula
C. Persiapan Anestesi
a. Di ruangan
D. PROSEDUR INTUBASI
1. Pasien diletakkan dengan posisi kepala di depan petugas (sniffing
position)
2. Cek alat yang diperlukan dan pilih ukuran ETT yang sesuai (7.0) dan
siapkan juga satu ukuran di atas dan dibawah dari yang nomor telah
ditentukan
3. Beri jelly pada ujung ETT
4. Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada daerah faring
5. Buka mulut dengan tangan kanan dan tangan kiri memegang
laringoskop
6. Masukkan bilah laringoskop dari sudut kanan mulut pasien, dorong
lidahnya ke kiri, masukkan bilah laringoskop sampai mencapai dasar
lidah, perhatikan agar lidah atau bibir tidak terjepit diantara bilah dan
gusi pasien
33
7. Pindahkan bilah laringoskop kearah garis tengah dan perlihatkan uvula,
faring dan epiglottis pasien, sambil memindahkan tangan kanan anda ke
dahi atau oksiput pasien untuk mempertahankan ekstensi kepalanya.
8. Perlihatkan aritenoid dan pita suara dengan mengangkat epiglottis
langsung.
9. Angkat laringoskop ke atas dan ke depan tegak lurus pada daunnya.
10. Bila pita suara sudah terlihat, masukkan ETT sambil mempertahankan
bagian penanda ETT melewati pita suara.
11. Waktu intubasi dilakukan secepatnya dengan waktu bisa disesuaikan
dengan menahan nafas bagi yang melakukan Tindakan
12. Cabut stilet jika
13. Lakukan ventilasi dengan menggunakan bagging, dan lakukan
auskultasi pada lambung kemudian paru kanan dan kiri sambil
memperhatikan pengembangan dada.
14. Bila terdengar suara “gargling” pada lambung dan dada tidak
mengembang, lepaskan ETT lalu lakukan preoksigenasi kembali setelah
30 detik dengan 02 100%, selanjutnya lakukan intubasi kembali.
15. Fiksasi pipa endotrakhea dengan plester pada sudut mulut pasien agar
tidak terdorong atau tercabut
16. Lakukan ventilasi terus dengan 02 100%.
17. Hubungkan dengan ventilator sesuai dengan kebutuhan.
g. Monitoring intra op :
35
X/mnt
12.05 100/59 66 99
12.20 109/62 69 99
12.25 108/60 80 99
12.30 108/60 80 99
12.45 100/59 66 98
12.50 110/77 88 99
12.55 110/77 88 99
36
13.00 108/56 90 99
13.10 108/56 90 99
13.15 108/60 80 99
13.20 108/60 80 99
13.25 110/60 85 98
13.30 110/60 85 98
13.35 110/60 85 99
13.40 110/60 80 99
13.45 108/60 80 99
13.50 108/60 80 99
37
Tanda vital pasien TD: 108/60 mmHg, ND: 90 x/menit, RR: 20 x/menit,
SpO2: 100%. Pasien langsung dibawa ke ruang pulih sadar dengan posisi supine.
Diberikan infus Nacl 0,9 % .7 ml/jam Pasien diperbolehkan minum pasca operasi
jika tidak mual dan dipantau tensi, nadi, dan suhu tiap 15 menit selama 1 jam dan
dimonitoring kondisinya. Setelah itu pasien boleh pindah ruangan berdasarkan
apabila aldrete score ≥ 8, maka dapat dipindah ke ruang perawatan. Pada pasien
didapatkan skor 8.
38
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini seorang anak laki-laki usia 15 tahun dengan diagnosis Epidural
dan Subdural Hematom + Fraktur Clavicula Dextra, dilakukan tindakan Orif
Clavicula. Teknik anestesi yang dilakukan adalah general anestesis inhalasi
dengan intubasi ETT
Diagnosis pada pasien ini adalah Epidural dan Subdural Hematom + Fraktur
Clavicula Dextra adalah Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang
terjadi karena fraktur tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii
dengan duramater.Hematoma epidural merupakan gejala sisa yang serius akibat
cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%.
Menetapkan tingkat klasifikasi Status Fisik adalah keputusan klinis
berdasarkan beberapa faktor. Sedangkan klasifikasi Status Fisik awalnya dapat
ditentukan pada berbagai waktu selama penilaian pra operasi pasien, tugas akhir
klasifikasi Status Fisik dibuat pada hari perawatan anestesi oleh ahli anestesi
setelah mengevaluasi pasien.
40
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut, pasien
digolongkan pada PS ASA 2 karena pasien tergolong usia yang sangat muda yaitu
umur 1 bulan 3 hari
Pada pasien ini, dilakukan general anastesi inhalasi, dengan Tindakan
intubasi endotracheal tube (ETT). intubasi endotracheal tube (ETT). Adalah
Tindakan memasukkan pipa endotrakea {Endotrachéal Tube/ET) ke dalam trakea
melalui mulut. ET dapat digunakan sebagai penghantar gas anestesi ke dalam
trakea dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi. Endotrachéal Tube
sesuai dengan namanya adalah pipa kecil yang dimasukkan ke dalam trakea,
tindakannya dinamakan Intubasi Endotrakea, beberapa indikasi khusus intubasi
endotrakeal pada pasien, diantaranya adalah: Operasi daerah kepala, leher atau
jalan nafas atas. Dan juga sering digunakan pada bayi dan anak pada pasien
daerah yang akan dilakukan insisi adalah daerah kepala dan juga pasien tergolong
umur yang sangat muda. Pada pasien ini digunakan ETT no 7.0
a) Jam berikutnya
4 ml/kg + Operasi sedang (4 ml/kg) = 14,4 ml
Menurut perhitungan, perdarahan yang lebih dari 10% EBV harus
dilakukan transfusi darah. Pada kasus ini tidak diberikan pemberian transfusi
dikarenakan pendarahan sebanyak kurang lebih 10 cc, tapi tetap diberikan
kristaloid sebagai pengganti darah. Terapi cairan selama operasi bertujuan untuk
koreksi kehilangan cairan melalui luka operasi, mengganti perdarahan dan
mengganti cairan yang hilang melalui organ sekresi. Cairan yang digunakan
adalah cairan pengganti, bisa kristaloid dan koloid atau transfusi darah. Koreksi
perdarahan selama operasi
Operasi berjalan lancar tanpa timbulnya komplikasi, dengan lama anestesi
09;20. – 10.30 (110 menit). Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan
(Recovery Room). Aldrete score 9, maka dapat dipindah ke ruang perawatan
43
BAB IV
PENUTUP
44
DAFTAR PUSTAKA
45
9. Soenarjo, Heru. 2013, BuKU ANESTESIOLOGI. BAGIAN
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS
KEDOKTERAN UNDIP/RSUP Dr. KARIADI SEMARANG (EBOOK)
10. Albertus,Made CDK-285/ vol. 47 no. 4 th. 2020, Anestesi pada Pelayanan
Bedah Sehari (Outpatient Anesthesia)
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/378
11. Dian, Christanto Penanganan Jalan Napas Sulit pada Neonatus, CDK-251/
vol. 44 no. 4 th. 2017 TEKNIK PB
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/853
46