Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

EPIDURAL HEMATOM

Dosen Pembimbing
dr. Agus B.S, Sp.BS

Disusun Oleh :
Diah Rizky Faradila

G4A015093

SMF ILMU BEDAH


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
EPIDURAL HEMATOM

Disusun Oleh :
Diah Rizky Faradila

G4A015093

Telah disetujui,
Pada tanggal :

Agustus 2016

Pembimbing,

dr. Agus B.S, Sp.BS

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul Epidural
Hematom. Referat ini merupakan salah satu syarat yang disusun untuk
memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagi CoAss Universitas Jenderal Soedirman
yang sedang menjalani program kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Bedah Rumah
Sakit Umum Daerah Prof. Dr. Margono Soekarjo.
Pada kesempatan ini, penulis juga berkeinginan untuk mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Agus B.S, Sp.BS selaku pembimbing
yang telah banyak memberikan arahan dan masukan yang berarti, serta terima
kasih bagi teman-teman atas kerjasama yang baik.
Kami menyadari bahwa presentasi kasus ini masih jauh dari sempurna dan
memiliki banyak keterbatasan. Oleh sebab itu, penulis menerima dengan senang
hati segala kritik dan saran yang membangun demi kebaikan penulis. Akhir kata
semoga pembahasan kasus ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca
sekalian.

Purwokerto, Agustus 2016

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

Kemajuan teknologi, terutama dalam bidang transportasi, mengakibatkan


meningkatnya jumlah dan jenis kendaraan bermotor dan hal ini berdampak pada
meningkatnya kasus kecelakaan kendaraan bermotor yang menimbulkan korban
jiwa. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), sekitar 5,3
juta jiwa penduduk Amerika saat ini hidup dengan cacat akibat cedera otak. CDC
juga melaporkan bahwa dari satu juta orang yang diobati dan dipulangkan dari
ruang gawat darurat rumah sakit setiap tahun : 230.000 pasien dirawat dan hidup,
80.000 pasien timbul cacat akibat cedera kepalanya dan 50.000 pasien meninggal
(Brain Injury Association, 2013).
Pasien cedera kepala biasanya meninggal dunia karena perdarahan
intrakranial. Ada empat macam perdarahan intrakranial yaitu Subdural (SDH),
Epidural (EDH), Subarachnoid (SAH) dan Intraserebral (ICH) Hematoma,
dimana angka kejadian EDH maupun SDH sekitar 20-40%. Diantara keempat
jenis perdarahan tersebut EDH merupakan jenis yang paling banyak menjadi
perhatian para klinisi dan peneliti karena frekuensi kejadiannya yang tinggi,
penegakan diagnosis yang relatif mudah dan keberhasilan operasi yang tinggi.
Operasi EDH dianjurkan dilakukan sesegera mungkin setelah diagnosis
ditegakkan. Semakin cepat operasi dilakukan semakin besar manfaat yang
diberikan (Perron, 2008).
Referat ini akan membahas mengenai EDH, dari pengertian, etiologi,
patofisiologi, penegakan diagnosis, penatalaksanaan, hingga komplikasi dan
prognosisnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Hematoma epidural (EDH) merupakan kumpulan darah di antara dura
mater dan tabula interna karena trauma. Pada penderita traumatik hematoma
epidural, 85-96% disertai fraktur pada lokasi yang sama. Perdarahan berasal
dari pembuluh darah-pembuluh darah di dekat lokasi fraktur (Price et al.,
2006).
Sebagian besar hematoma epidural (EDH) (70-80%) berlokasi di daerah
temporoparietal, sedangkan 10% EDH berlokasi di frontal maupun oksipital.
Biasanya disertai dengan terjadi fraktur kranium ( 85-96% ) pada daerah yang
sama. Perdarahan diakibatkan robeknya arteri meningea media atau cabangcabangnya, kadang dapat berasal dari vena. Volume EDH biasanya stabil,
mencapai volume maksimum hanya beberapa menit setelah trauma, tetapi
pada 9% penderita ditemukan progresifitas perdarahan sampai 24 jam
pertama (Valadka et al., 1999; Aarabi et al., 2005).
2. Epidemiologi
Angka kejadian EDH adalah 2-4 % dari seluruh perdarahan
intraserebral dan paling sering terjadi pada usia produktif 20-30 tahun. EDH
jarang terjadi pada orang tua >60 tahun dan anak - anak kurang dari 2 tahun.
Pada anak - anak, usia 5-10 tahun merupakan usia tersering menderita EDH.
EDH lebih sering terjadi pada laki laki dengan perbandingan 4: 1 (Bullock
et al., 2006).
3. Etiologi
Epidural hematom biasanya berasal dari benturan linear calvaria yang
menyebabkan pemisahan periosteal dura dari tulang dan mengenai pembuluh
darah karena robekan dari tekanan tersebut. Fraktur tengkorak terjadi pada
85-95% kasus pada dewasa, namun lebih jarang terjadi pada anak-anak
karena plastisitas calvaria yang immatur. Struktur arteri dan vena menjadi

rentan menyebabkan perluasan hematoma yang cepat. Perluasan hematom


biasanya dibatasi oleh garis sutura yang melekat erat pada dura. Daerah
temporoparietal dan arteri meningeal media adalah yang sering terlibat
(66%), meskipun arteri ethmoidalis anterior dapat terlibat pada trauma
frontal, sinus transversus atau sigmoid pada trauma occipital, dan sinus
sagitalis superior pada trauma vertex. EDH bilateral terjadi sebanyak 2-10%
kasus seluruh EDH akut pada dewasa namun jarang terjadi pada anak-anak
(Huisman, 2008).
EDH spontan sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh infeksi yang
berdekatan, malformasi vaskuler dura, tumor, dan gangguan koagulasi darah.
Hingga tahun 2009, terdapat 18 kasus yang didokumentasikan. Kasus pertama
EDH spontan dilaporkan oleh Schneider dan Hegarty pada 1951. Tabel
berikut menunjukkan rangkuman kasus EDH spontan (Fan et al., 2009):
Tabel 1. Kasus EDH Spontan

EDH merupakan kasus yang jarang terjadi pada neonatus yaitu


terhitung hanya 0,06-2% dari seluruh perdarahan intrakranial pada neonatus.
Penyebab utama EDH pada neonatus adalah trauma saat persalinan, terutama
persalinan dengan forcep atau ekstraksi vakum, namun beberapa kasus juga
melaporkan adanya EDH pada bayi dengan presentasi bokong. EDH pada
neonatus berasal dari arteri atau vena. Jarangnya kejadian EDH pada neonatus
dapat terjadi karena tidak terdapatnya alur arteri meningeal media sehingga
lebih sedikit terkena risiko trauma dan perlekatan antara duramater dan
periosteum yang sangat erat, serta masih belum berkembangnya pembuluh
darah pada duramater (Suslu et al., 2005).

Gambar 1. Lokasi EDH

4. Anatomi Meningens
a. Duramater
Secara konvensional, duramater diuraikan sebagai dua lapisan,
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal tidak lebih
dari suatu periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang-tulang
kranium. Pada foramen magnum lapisan endosteal tidak berlanjut dengan
duramater medulla spinalis. Pada sutura, lapisan endosteal berlanjut
dengan ligamentum sutura. Lapisan endosteal paling kuat melekat pada
tulang diatas dasar kranium (Snell, 2011).
Lapisan meningeal merupakan duramater yang sebenarnya.
Lapisan meningeal merupakan membrane fibrosa kuat, padat menutupi
otak, dan melalui foramen magnum berlanjut dengan duramater medulla
spinalis. Lapisan meningeal ini memberikan sarung tubuler untuk sarafsaraf kranial pada saat melintas melalui lubang-lubang kranium. Ke dalam

lapisan meningeal membentuk empat septa, yang membagi rongga


kranium menjadi ruang-ruang yang berhubungan dengan bebas dan
merupakan tempat bagian-bagian otak (Snell, 2011).
Falx cerebri merupakan lipatan duramater yang berbentuk sabit,
terletak dalam garis tengah antara dua hemispherium cerebri. Ujung
anteriornya melekat ke Krista frontalis interna dan Krista galli. Bagian
posterior yang lebar bercampur di garis tengah dengan permukaan atas
tentorium cerebelli. Sinus sagitalis superior berjalan dalam tepi bagian
atas yang terfiksasi; sinus sagitalis inferior berjalan pada tepi bagian
bawah yang konkaf, dan sinus rektus berjalan disepanjang perlekatannya
dengan tentorium cerebelli (Snell, 2011).
Tentorium cerebelli merupakan lipatan duramater berbentuk sabit
yang membentuk atap diatas fossa kranialis posterior, menutupi
permukaan atas serebellum dan menokong lobus occipitalis hemisperium
cerebri. Berdekatan dengan apex pars petrosus os temporale, lapisan
bagian bawah tentorium membentuk kantong kearah depan dibawah sinus
petrosus superior, membentuk suatu resessus untuk n.trigeminus dan
ganglion trigeminal (Snell, 2011).
Falx cerebri dan falx cerebelli masing-masing melekat ke
permukaan atas dan bawah tentorium. Sinus rektus berjalan di sepanjang
perlekatan ke falx cerebri; sinus petrosus superior, bersama perlekatannya
ke os petrosa; dan sinus transversus, disepanjang perlekatannya ke os
occipitalis. Falx cerebelli merupakan suatu lipatan duramater berbentuk
sabit, kecil melekat ke krista occipitalis interna, berproyeksi kedepan
diantara diantara dua hemispherium cerebelli. Diaphragma Sella
merupakan suatu lipatan duramater sirkuler, membentuk atap untuk sella
tursika (Snell, 2011).
Persarafan duramater terutama berasal dari cabang n.trigeminus,
tiga saraf servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan
n.vagus.resptor-reseptor nyeri dalam dura mater diatas tentorium

mengirimkan impuls melalui n.trigeminus, dan suatu nyeri kepala dirujuk


ke kulit dahi dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari bawah tentorium
dalam fossa kranialis posterior berjalan melalui tiga saraf servikalis
bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang kepala dan leher (Snell,
2011).
Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri karotis interna,
arteri maxillaries, arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri
vertebralis. Dari segi klinis, yang paling penting adalah arteri meningeal
media, yang umumnya mengalami kerusakan pada cedera kepala. Arteri
meningeal media berasal dari arteri maxillaries dalam fossa temporalis,
memasuki rongga kranialis melalui foramen spinosum dan kemudian
terletak antara lapisan meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini
kemudian terletak antara lapisan meningeal dan endosteal duramater.
Arteri ini kemudian berjalan ke depan dan ke lateral dalam suatu sulkus
pada permukaan atas squamosa bagian os temporale. Cabang anterior
(frontal) secara mendalam berada dalam sulcus atau saluran angulus
antero-inferior os parietale, perjalanannya secara kasar berhubungan
dengan garis gyrus presentralis otak di bawahnya. Cabang posterior
melengkung kearah belakang dan mensuplai bagian posterior duramater.
Vena-vena meningeal terletak dalam lapisan endosteal duramater. Vena
meningeal media mengikuti cabang-cabang arteri meningeal media dan
mengalir

ke

dalam

pleksus

venosus

pterygoideus

atau

sinus

sphenoparietalis (Snell, 2011).


Sinus-sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara
lapisan-lapisan duramater. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari
otak melalui vena-vena serebralis dan cairan serebrospinal dari ruangruang subarachnoidea melalui villi arachnoidalis. Darah dalam sinus-sinus
duramater akhirnya mengalir kedalam vena-vena jugularis interna dileher.
Vena emissaria menghubungkan sinus venosus duramater dengan venavena diploika kranium dan vena-vena kulit kepala (Snell, 2011).

Sinus sagitalis superior menduduki batas atas falx cerebri yang


terfiksasi, mulai di anterior pada foramen caecum, berjalan ke posterior
dalam sulkus di bawah lengkungan kranium, dan pada protuberantia
occipitalis interna berbelok dan berlanjut dengan sinus transversus. Dalam
perjalanannya sinus sagitalis superior menerima vena serebralis superior.
Pada protuberantia occipitalis interna, sinus sagitalis berdilatasi
membentuk sinus konfluens. Dari sini biasanya berlanjut dengan sinus
transversus

kanan,

berhubungan

dengan

sinus

transversus

yang

berlawanan dan menerima sinus occipitalis (Snell, 2011).


Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx
cerebri, berjalan ke belakang dan bersatu dengan vena cerebri magna pada
tepi bebas tentorium cerebelli membentuk sinus rektus. Sinus rektus
menempati garis persambungan falx cerebri dengan tentorium cerebelli,
terbentuk dari persatuan sinus sagitalis inferior dengan vena cerebri
magna, berakhir membelok ke kiri membentuk sinus transversus (Snell,
2011).
Sinus transversus merupakan struktur berpasangan dan mereka
mulai pada protuberantia occipitalis interna. Sinus kanan biasanya
berlanjut dengan sinus sagitalis superior, dan bagian kiri berlanjut dengan
sinus rektus. Setiap sinus menempati tepi yang melekat pada tentorium
cerebelli, membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus posterior os
parietale. Mereka menerima sinus petrosus superior, vena-vena cerebralis
inferior, vena-vena cerebellaris dan vena-vena diploika. Mereka berakhir
dengan membelok ke bawah sebagai sinus sigmoideus (Snell, 2011).
Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus
tranversus yang akan melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis
interna. Sinus occipitalis merupakan suatu sinus kecil yang menempati
tepi falx cerebelli yang melekat, ia berhubungan dengan vena-vena
vertebralis dan bermuara kedalam sinus konfluens. Sinus kavernosus

terletak dalam fossa kranialis media pada setiap sisi corpus os


sphenoidalis (Snell, 2011).

Gambar 2. Sistem Sinus dalam Rongga Cranialis

b. Arachnoidea Mater
Arachnoidea mater merupakan membran tidak permeable, halus,
menutupi otak dan terletak diantara pia mater di interna dan duramater di
eksterna. Arachnoidea mater dipisahkan dari duramater oleh suatu ruang
potensial, ruang subdural, terisi dengan suatu lapisan tipis cairan,
dipisahkan dari piamater oleh ruang subarachnoidea, yang terisi dengan
cairan serebrospinal. Permukaan luar dan dalam arachnoidea ditutupi
oleh sel-sel mesothelial yang gepeng. Pada daerah-daerah tertentu,
arachnoidea terbenam ke dalam sinus venosus untuk membentuk villi
arachnoidalis. Villi arachnoidalis bertindak sebagai tempat cairan
serebrospinal berdifusi kedalam aliran darah. Arachnoidea dihubungkan
ke piamater oleh untaian jaringan fibrosa halus yang menyilang ruang
subarachnoidea yang berisi cairan. Cairan serebrospinal dihasilkan oleh
pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga dan keempat otak.
Cairan ini keluar dari ventrikulus memasuki subarachnoid, kemudian

bersirkulasi baik kearah atas diatas permukaan hemispherium cerebri dan


ke bawah disekeliling medulla spinalis (Snell, 2011).
c. Piamater
Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang ditutupi oleh
sel-sel mesothelial gepeng. Secara erat menyokong otak, menutupi gyrus
dan turun kedalam sulcus yang terdalam. Piamater meluas keluar pada
saraf-saraf cranial dan berfusi dengan epineurium. Arteri serebralis yang
memasuki substansi otak membawa sarung piamater bersamanya.
Piamater membentuk tela choroidea dari atap ventrikulus otak ketiga dan
keempat, dan berfusi dengan ependyma untuk membentuk pleksus
choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga, dan keempat otak (Snell,
2011).

Gambar 3. Meningens Otak

5. Fisiologi Tekanan Intrakranial


Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan yang timbul karena adanya
volume massa otak, cairan cerebrospinal (LCS), dan darah yang mensuplai
otak dalam suatu ruang intrakranial yang tertutup. TIK ini bisa meningkat

yang disebabkan oleh adanya perdarahan intrakranial, edema otak, tumor


otak, dan hidrosefalus. Akibat dari adanya peningkatan TIK akan
menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah ke otak (CBF= Cerebral
Blood Flow) sehingga timbul iskemia otak. Iskemia otak adalah suatu
gangguan hemodinamik yang akan menyebabkan penurunan aliran darah otak
sampai ke suatu tingkat yang akan menyebabkan kerusakan otak yang
ireversibel. Autopsi pada pasien cedera kepala berat yang akhirnya meninggal
didapatkan 80 % mengalami iskemia otak. TIK dapat diukur dengan satuan
cmH2O atau mmHg, dan memiliki nilai normal 50 sampai 200 mmH2O atau
5-20 mmHg (Rosner, 2002).
Doktrin Monroe Kelly menyatakan bahwa rongga intra kranial pada
dasarnya merupakan rongga yang kaku, tidak mungkin mekar, sehingga bila
salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus
mengkompensasi dengan mengurangi volumenya (bila TIK masih konstan).
Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi
neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan
adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Segera
setelah cedera otak, suatu massa seperti perdarahan dapat terus bertambah
dengan

TIK

masih

tetap

normal.

Namun,

sewaktu

batas

pemindahan/pengeluaran CSS dan darah intravaskuler tadi terlewati maka


TIK secara sangat cepat akan meningkat (Zauner et al., 2004).

Gambar 4. Kompensasi Intra Kranial


6. Patofisiologi
Hematoma epidural terjadi akibat adanya trauma langsung pada
kalvarium yang menyebabkan terlepasnya perlekatan duramater dari
permukaan dalam kalvarium, yang disertai terputusnya atau robeknya
pembuluh darah baik disertai dengan atau tanpa adanya fraktur os kranium.
Hematoma epidural yang disebabkan oleh rupturnya arteri meningeal media
dan sinus dura akan cepat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial
dibanding dengan hematoma yang berasal dari vena. Hal ini disebabkan
tekanan arteri lebih tinggi dari vena sehingga massa intrakranial akan lebih
cepat terbentuk, akibatnya mekanisme kompensasi tidak memiliki waktu yang
cukup untuk mengatasi kondisi tersebut (Purwowirantono, 2002).
Lokasi terbentuknya hematoma juga berperan dalam menentukan cepat
lambatnya gejala timbul, terkait dengan efek lokal dari desakan hematoma itu
sendiri. Hematoma di daerah frontal atau subfrontal lebih lambat memberikan
efek desak ruang dibanding hematoma di daerah temporal. Perdarahan
epidural di daerah temporal akan mendesak unkus dan girus hipokampus ke
arah garis tengah dan tepi bebas tentorium dan akan menyebabkan dilatasi
pupil ipsilateral dan hemiparese kontralateral (Purwowirantono, 2002).

Hematoma yang besar akan menekan korteks cerebri, bila tekanan


sudah cukup besar maka bagian medial lobus temporalis akan terdorong ke
arah tentorial sehingga menekan nervus okulomotorius (N. III) yang berjalan
sepanjang tentorium. Hal ini akan menyebabkan paralisis serabut-serabut
saraf parasimpatis yang berfungsi melakukan konstriksi pupil mata yang
berada pada permukaan nervus oklulomotorius. Aktivitas serabut saraf
simpatis tidak dihambat, sehingga semakin mendukung terjadinya dilatasi
pupil. Bila penekanan ini terus berlanjut akan menimbulkan paralisis total
nervus okulomotorius yang menimbulkan gejala deviasi bola mata ke lateral
dan ke bawah (down and out) (Purwowirantono, 2002).
Adanya penambahan massa di otak karena terbentuknya hematoma
dapat menyebabkan herniasi otak. Bagian otak besar (ensefalon) yang sering
mengalami herniasi melalui incisura tentorial adalah sisi medial lobus
temporalis yang disebut unkus. Herniasi unkus juga menyebabkan penekanan
traktus piramidalis yang berjalan pada mesensefalon. Traktus piramidalis atau
traktus motoris menyilang garis tengah menuju sisi berlawanan pada level
foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini menyebabkan paresis
otot-otot sisi tubuh kontralateral. Herniasi juga akan meningkatkan tekanan
intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi secara berangsurangsur, suatu saat akan mencapai suatu titik toleransi maksimal sehingga
perfusi ke otak tidak mampu lagi mempertahankan integritas neuron. Kondisi
ini akan berkembang menjadi keadaan hipoksia sehingga dapat menyebabkan
penurunan kesadaran (Japardi, 2002; Purwowirantono, 2002).
Hematoma epidural biasanya mengikuti suatu trauma langsung pada
kepala, dan terjadi suatu periode penurunan kesadaran, kemudian pulih
kembali, yang disebut dengan interval lucid. Selama periode ini hanya
terdapat keluhan atau gejala yang minimal. Trauma langsung pada kepala
akan menyebabkan terpisahnya dura dan os kranium, sehingga terbentuklah
ruang epidural. Darah akan masuk ke dalam ruang epidural akibat rupturnya
arteri meningea media dan akan diserap kembali oleh vena, melalui
arteriovenous shunt. Arteriovenous shunt diketahui memiliki daya absorbsi
yang besar. Adanya arteriovenous shunt ini memungkinkan

terjadinya

perdarahan epidural bersamaan dengan pengurangan volume perdarahan,


sehingga terjadi interval lucid (Ganz, 2013). Patofisiologi EDH secara
ringkas dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Trauma
langsun
g
Fraktur
os
cranium

Terbent
uk
ruang
epidural

Ruptur a.
meningea
media, sinus
dura

Darah masuk
ke ruang
epidural

Hemato
ma
epidural

Vena menyerap darah


yang masuk
(Arteriovenous shunt)

Herniasi

Hematoma di
frontal/subfron
tal

Interval
lucid

Penurunan
perfusi darah ke
otak

Efek
desak
ruang

Hematoma
di temporal

Herniasi
unkus

Meneka
n
korteks
cerebri

Integritas
neuron
menurun

Menekan
traktus
piramidalis

Meneka
n N.
okulomo
torius

Hipoksia

Hemiparese
kontralateral

Paralisis
serabut
parasim
patis

Penurunan
kesadaran

Bagan 1. Patofisiologi EDH


7. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea
media. Perdarahan terletak di antara tulang tengkorak dan duramater.
Gejala klinisnya adalah lucid interval, yaitu selang waktu antara pasien
masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan
kesadaran yang terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran

Dilatasi
pupil
ipsilater
al

inikurang dari 24 jam; penilaian penurunan kesadaran dengan GCS. Gejala


lain nyeri kepala bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan
midriasis di sisi lesi akibat herniasi unkal, hemiparesis, dan refleks
patologis Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat
(Soertidewi, 2012).
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Hb dan leukosit dapat diperiksa karena Penelitian di RSCM
menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai sebagai salah satu
indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio (CKR).
Leukosit >17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal, sedangkan
angka leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio meskipun secara
klinis lama penurunankesadaran <10 menit dan nilai GCS 13-15 adalah
acuan klinis yang mendukung ke arah komosio. Prediktor ini bila
berdiri sendiri tidak kuat, tetapi di daerah tanpa fasilitas CT scan otak,
dapat dipakai sebagai salah satu acuan prediktor yang sederhana
(Soertidewi, 2012).
Gula darah sewaktu (GDS) diperiksa karena hiperglikemia reaktif
dapat merupakan faktor risiko bermakna untuk kematian. Pemeriksaan
fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat hiperosmolar yang
pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang
buruk, manitol tidak boleh diberikan. Analisis gas darah dikerjakan
pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun. pCO2 tinggi
dan pO2 rendah akan memberikan luaran yang kurang baik. pO2 dijaga
tetap >90 mmHg, SaO2 >95%, dan pCO2 30-35 mmHg. Pemeriksaan
elektrolit dan albumin serum perlu dilakukan untuk mengetahui
prognosis pasien karena elektrolit yang rendah akan menyebabkan
penurunan kesadaran, dan albumin yang rendah mempunyai risiko
kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kadar albumin
normal. Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen dilakukan bila dicurigai ada
kelainan hematologis. Risiko late hematomas perlu diantisipasi
(Soertidewi, 2012).

2) Radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal,
collar yang telah terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan
abdomen dilakukan atas indikasi. CT Scan dapat membantu diagnosis
EDH bisa ditegakkan dengan cepat dan akurat. Lokasi perdarahan dan
perkiraan volume perdarahan juga dapat di perkirakan dengan tepat.
Kelainan lain seperti hematoma subdural, perdarahan intraserebral,
perdarahan intraventrikel, hydrocephalus, edema cerebri, dan tumor,
yang dapat mengakibatkan peningkatan TIK juga dapat dilihat dari CT
Scan. Gambaran EDH pada CT Scan adalah lesi hiperdens berbentuk
bikonveks (Perron, 2008).

Gambar 6. CT Scan EDH (Broder, 2016)


Keterangan : bentuk seperti lensa atau bikonveks. Terletak di temporal,
terkait fraktur depresi os temporal (A); Tidak melalui garis sutura (B);
efek massa dengan midline shift (C); Swirl sign : gambaran heterogen
yang menunjukkan perdarahan aktif (D); peningkatan TIK dengan
ventrikel mengecil dan tidak tampak sulkus yang terlihat (E,F) (Broder,
2016).
8. Penatalaksaan
a. Resusitasi

1) Jalan napas (Airway)


Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu.
Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan
melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan
(Soertidewi, 2012).
2) Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang
ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi
neurogeniksentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh
aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi
(Soertidewi, 2012).
Tata laksana :
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
Cari dan atasi faktor penyebab
Kalau perlu pakai ventilator
3) Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan
tekanan darah sistolik <90mmHg yang terjadi hanya satu kali saja
sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi
kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia
karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya
dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan
isotonik NaCl 0,9% (Soertidewi, 2012).
b. Manajemen tekanan intrakranial (TIK)
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema cerebri dan/atau
hematoma intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor TIK.

TIK normal adalah 0-15 mmHg. Di atas 20 mmHg sudah harus diturunkan
dengan cara (Soertidewi, 2012) :
1) Posisi tidur : Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala
dan dada pada satu bidang.
2) Terapi diuretik :
Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB,
diberikan dalam 30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian
diulang setelah 6 jam dengan dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit.
Pemantauan : osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm.
Loop diuretic (furosemid) : Pemberiannya bersama manitol, karena
mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum
manitol. Dosis : 40 mg/hari IV.
c. Terapi Bedah
lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal
dibawah ini (Japardi, 2004) :
Status neurologis
Status radiologis
Pengukuran tekanan intrakranial
Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus perdarahan
epidural dengan volume perdarahan lebih dari 30mL/44mL dan/atau
pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm serta ada perburukan kondisi
pasien (Soertidewi, 2012).
Sumber lain menyebutkan bahwa EDH dengan ketebalan lebih dari 5
mm dan pergeseran garis tengah dengan dengan GCS 8 atau kurang
disertai tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25
mmHg juga merupakan indikasi operasi (Japardi, 2004).
9. Komplikasi
Banyak komplikasi EDH terjadi saat tekanan yang terjadi
mengakibatkan pergeseran otak secara signifikan. Ketika terjadi subfalcine
herniasi, arteri cerebri anterior dan posterior dapat menyempit dan
menyebabkan infark cerebri. Herniasi ke arah bawah menuju batang otak

menyebabkan perdarahan duret di dalam, batang otak, terutama di pons.


Herniasi transteritorial dapat mengakibatkan kelumpuhan nervus kranialis III
ipsilateral, yang memerlukan waktu beberapa bulan untuk memulihkannya
jika tekanan sudah membaik. Kelumpuhan Nervus kranialis III bermanifestasi
sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan bola mata bergerak ke
medial, atas, dan arah bawah (Ullman et al., 2016).

Gambar 7. Komplikasi EDH


10. Prognosis
Prognosis hematoma epidural ini sangat baik bila ditangani dengan
segera. Lucid Interval ditemukan pada 20-50% pasien dengan EDH. Hal ini
berarti bahwa kondisi otak sebelumnya adalah baik dan bila terjadi EDH
berlanjut akan mengakibatkan peningkatan TIK, penurunan kesadaran,
kerusakan otak menetap sampai herniasi otak. Pada kasus tekanan intrakranial
yang meningkat yang disebabkan oleh hematoma epidural besarnya volume
sangat mempengaruhi outcome dari pasien-pasien hematoma epidural setelah
dilakukan evakuasi hematom. Volume hematom 56 30 mL mempunyai
outcome yang baik, tetapi pada volume 77 63 mL, outcomenya tidak
memuaskan (Smith et al., 2004). Pada suatu penelitian oleh Lobato dkk pada
54 pasien hematoma epidural yang mengalami koma. 67% subyek penelitian
tekanan intrakranial meningkat >15 mmHg dan sisanya meningkat >35
mmHg, semuanya dilakukan operasi 29 evakuasi hematoma, kemudian
dibandingkan outcome 6 bulan sejak trauma. Ditemukan bahwa kenaikan >35
mmHg mempunyai korelasi yang kuat terhadap mortalitas (Ghajar et al.,
2005).

BAB III
KESIMPULAN
1. Hematoma epidural (EDH) merupakan kumpulan darah di antara dura mater
dan tabula interna karena trauma yang menyebabkan robeknya arteri
meningeal media atau cabang-cabangnya, kadang dapat berasal dari vena.
2. Angka kejadian EDH adalah 2-4 % dari seluruh perdarahan intraserebral dan
paling sering terjadi pada usia produktif 20-30 tahun.
3. Epidural hematom biasanya berasal dari benturan linear calvaria, namun
dapat pula terjadi spontan atau karena trauma saat persalinan pada neonatus.
Daerah temporoparietal dan arteri meningeal media adalah yang sering
terlibat.
4. Diagnosis EDH ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
5. Terapi operatif pada EDH diindikasikan untuk kasus dengan volume
perdarahan lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah lebih dari
3 mm serta ada perburukan kondisi pasien.
6. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu herniasi subfalcine, perdarahan duret, dan
herniasi transteritorial.
7. Prognosis hematoma epidural ini sangat baik bila ditangani dengan segera.

DAFTAR PUSTAKA
Aarabi et al. 2005. Management of Severe Head Injury. In : Moore AJ, Newell
DW. Editor. Neurosurgery : London.
Broder ,Joshua. 2016.An Evidence-Based Approach To Imaging Of Acute
Neurological Conditions.(Online) http://www.ebmedicine.net/topics.php?
paction=showTopicSeg&topic_id=117&seg_id=2285. Diakses pada 3
Agustus 2016.
Bullock et al. 2006. Surgical management of Acute Epidural Hematomas. In :
Neurosurgery, 58 (3).
Fan, Xue Zheng., You Chao. 2009. Spontaneous intracranial extradural
hematoma: Case report and literature review. Neurology India. 57 (3) : 324326.
Ganz, Jeremy C. 2013. The Lucid Interval Associated with Epidural Bleeding:
Evolving Understanding in Journal of Neurosurgery Vol, 118 pp. 739-745.
Ghajar J, Gordon D, Hartl R et al. 2005. Surgical management of acute epidural
hematomas. New York: Brain Trauma Foundation
Huisman TA, Tschirch FT. 2008. Epidural hematoma in children: Do cranial
sutures act as a barrier?. J Neuroradiol.
Japardi, Iskandar. Cedera Kepala. Jakarta: Buana lmu Populer. Kelompok Ilmu
Gramedia ; 2004
Japardi, Iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif.
Universitas Sumatera Utara
Japardi, Iskandar. 2002. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. Makalah. Medan:
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Manley et al. 2001. Hypotension, Hypoxia, and Head Injury. In : Arch Surg. 136 :
1118 1123.
Moulton R J, Pitts L H. 2005. Head Injury and Intracranial Hypertension. In :
Principles of Critical Care, ed.3. USA : McGraw Hill.
Perron AD : How to read a head CT Scan. In :Injuries to Bones and Organs. New
York : Mc Graw Hill. March 2008:
Price DD, Wilson SR. 2006. Epidural hematoma. In: McNamara RM, Talavera F
editors.
Traumatic
brain
injury.
(Online)
http://www.emedicine.com/EMERG/topic167.htm. Diakses pada 3 Agustus
2016.
Purwirantono, 2002. Akurasi Beberapa Tanda dan Gejala Klinik Dalam
Menegakkan Diagnosis Hematoma Epidural pada Kasus Cedera Kepala.
Tesis. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Rosner MJ. 2002. Pathophysiology and management of intracranial pressure


monitoring. In: Andrew BT. Editor. Neurosurgical intensive care. 3 rd ed.
New York: Mc Graw-Hill.
Rovlias A, Kotsou S. 2004. Classification and Regression Tree for Prediction of
Outcome after Severe Head Injury Using Simple Clinical and Laboratory
Variables. J Neurotrauma. Vol 21;7. Hal: 886-93.
Smith WS.2004. Pathophysiology of focal cerebral ischemia: a
therapeuticperpective. Journal of vascular and interventional radiology. 15:
S3-S12.
Soertidewi, L. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral.
CDK. 39 (5) : 327-331.
Snell, R. S. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta : EGC.
Suslu, H. et al. 2005. Acute Cranial Epidural Hematoma Related To Breech
Delivery In A Neonate With Congenital Anomaly. The Internet Journal of
Neurosurgery. 3 : (2) : 1-6.
Ullman, Jamie S et al. 2016. Epidural Hematomas Treatment & Management.
(Online).
http://emedicine.medscape.com/article/248840-treatment#d15.
Diakses pada 5 Agustus 2016.
Zauner A, Muizelaar J P. 2004.Brain metabolism and cerebral blood flow.In :
Reilly P, Bullock R.Editors. Head injury. 3 rd ed. London:Chapman nad.
Hall Medical.

Anda mungkin juga menyukai