Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

DERMATITIS KONTAK

Dokter Pembimbing:
dr. Ismiralda Okke Putranti, SpKK

Disusun oleh:
Aprilia Christisiwi G1A212027
Verra Hermania G1A212029
Novia Mantari G1A009012
Dera Fakhrunnisa G1A212103

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014

1
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui referat berjudul


’Dermatitis Kontak’

Disusun Oleh
Aprilia Christisiwi G1A212027
Verra Hermania G1A212029
Novia Mantari G1A009012
Dera Fakhrunnisa G1A212103

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik di


bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono
Soekardjo Purwokerto,

Pada tanggal : Februari 2014

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ismiralda Okke Putranti, SpKK

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, atas karunia-Nya


penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Dermatitis Kontak” ini.
Penulisan referat ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian Program
Pendidikan Profesi di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto. Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat
untuk kepentingan pelayanan kesehatan serta pendidikan. Dalam kesempatan ini,
penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada:
1. dr. Ismiralda Oke Putranti, SpKK selaku dokter pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dalam penyusunan referat ini
2. Teman-teman di stase kulit dan kelamin serta semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan referat ini
Penulis sadar bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak dijumpai
kekurangan. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat membangun dari para
penelaah sangat diharapkan demi proses penyempurnaan.

Purwokerto, Februari 2014

Penulis

3
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1


A. Latar belakang .......................................................................................... 1
B. Tujuan ...................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 3


I. Dermatitis Kontak Iritan ................................................................................ 3
A. Definisi .................................................................................................... 3
B. Etiologi dan faktor resiko ........................................................................ 3
C. Epidemiologi ........................................................................................... 4
D. Penegakan diagnosis ................................................................................ 4
E. Klasifikasi ................................................................................................ 7
F. Patogenesis .............................................................................................. 7
G. Penatalaksanaan ....................................................................................... 8
H. Komplikasi .............................................................................................. 9
I. Prognosis ................................................................................................. 10

II. Dermatitis Kontak Iritan ................................................................................ 10


A. Definisi .................................................................................................... 10
B. Etiologi dan faktor resiko ........................................................................ 10
C. Epidemiologi ........................................................................................... 11
D. Patogenesis .............................................................................................. 12
E. Gejala klinis ............................................................................................. 15
F. Penegakan diagnosis ................................................................................ 16
G. Diagnosis banding ................................................................................... 20
H. Penatalaksanaan ....................................................................................... 20
I. Komplikasi .............................................................................................. 22
J. Prognosis ................................................................................................. 22

BAB III KESIMPULAN ........................................................................................... 23


DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 24

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen,
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema,
papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik
tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa
(oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis (Sularsito,
dkk, 2011). Dermatitis dapat disebabkan oleh faktor dari luar misalnya bahan
kimia (detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (sinar, suhu), mikroorganisme
(bakteri, jamur), dan dapat pula disebabkan oleh faktor endogen seperti yang
terjadi pada dermatitis atopik.
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau
substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam jenis dermatitis
kontak yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik
(DKA), keduanya dapat bersifat akut maupun kronik. Dermatitis iritan
merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, sehingga kerusakan kulit
terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis
kontak alergik terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi
terhadap suatu alergen (Sularsito, dkk, 2011). Bila dibandingkan dengan DKI,
jumlah penderita DKA lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang
keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif). Diramalkan bahwa jumlah DKA
maupun DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk
yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun
informasi mengenai prevalensi dan insidensi DKA di masyarakat sangat
sedikit, sehingga berapa angka yang mendekati kebenaran belum didapat
(Sularsito, dkk, 2011).
Diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan
DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan
bahwa dermatitis kontak akibat alergi ternyata cukup tinggi yaitu berkisar

5
antara 50 dan 60%. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA
bukan akibat kerja tiga kali lebih sering dari pada DKA akibat kerja
(Sularsito, dkk, 2011). Usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi, tetapi
umumnya DKA jarang ditemui pada anak-anak. Prevalensi pada wanita dua
kali lipat dibandingkan pada laki-laki. Bangsa kaukasian lebih sering terkena
DKA dari pada ras bangsa lain (Sumantri, dkk, 2005).

B. Tujuan
1. Umum
Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, terapi dan komplikasi dari
dermatitis kontak.
2. Khusus
a. Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, terapi dan komplikasi dari
dermatitis kontak iritan.
b. Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, terapi dan komplikasi dari
dermatitis kontak alergika.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Dermatitis kontak iritan


A. Definisi
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan
kulit sebagai respon agen eksternal atau iritan tanpa keterlibatan sel T,
jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi
(Sularsito & Djuanda, 2007; English, 2004).

B. Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang
bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam,
alkali, dan serbuk kayu (Sularsito & Djuanda, 2007). Berikut adalah tabel
penyebab dermatitis kontak iritan:
Tabel 1. Penyebab DKI (Bourke, Coulson, & Englisht, 2009)

Faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak iritan yaitu lama


kontak, kekerapan (terus menerus atau berselang), adanya oklusi
menyebabkan kulit lebih permeable, demikian pula gesekan dan trauma
fisis. Suhu dan kelembapan lingkungan juga berperan (Sularsito &
Djuanda, 2007).
Faktor individu juga ikut berpengaruh pada DKI, misalnya
perbedaan ketebalan kulit, usia (anak di bawah 8 tahun dan usia lanjut
lebih mudah teriritasi), ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih),
jenis kelamin (insidensi DKI lebih banyak pada wanita), dan penyakit

7
kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan
iritan menurun), misalnya dermatitis atopik (Sularsito & Djuanda, 2007).

C. Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan merupakan penyakit yang sering
dijumpai sebagai occupational skin disease (Sularsito & Djuanda, 2007;
English, 2004). Namun angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini
disebabkan antara lain oleh banyak penderita dengan kelainan ringan
tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh. Diperkirakan angka
kejadiannya kurang lebih 40% dari seleuruh penyakit akibat kerja
(Hogan, 2013).
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari
berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Pada pekerja, umumnya
pekerjaan yang berhubungan dengan kerja basah. Dermatitis kontak
iritan juga dapat meningkatkan risiko terkena dermatitis kontak alergi.

D. Penegakan Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis. Onset gejala terjadi dalam menit sampai
jam pada akut dermatitis kontak iritan. Acute delayed irritant dermatitis
kontak iritan dikarakteristikan dengan iritan, seperti benzalkonium
chloride (8-24 jam setelah eksposur).
Pada dermatitis kontak iritan kumulatif, onset gejala baru dapat
muncul dalam minggu. Dermatitis konstak iritan merupakankonsekuensi
dari multiple kerusakan kulit, yang anatara waktu paparan terlalu pendek
untuk resolusi penuh. Pasien dengan kulit sensitif (atopic) mempunyai
ambang iritan yang lebih rendah atau waktu restorasi yang panjang. Pada
pasien ini didapati gatal, nyeri, yang disebabkan oleh kulit hiperkeratotik.
nyeri, rasa terbakar, atau tidak nyaman mendahului rasa gatal.
Dua kriteria subjektif yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
dermatitis kontak iritan adalah paparan dalam 2 minggu dan adanya
keluarga atau teman kerja yang mempunyai keluhan sama. Selain itu,

8
perlu ditanyakan mengenai riwayat pekerjaan. Dermatitis kontak iritan
merupakan penyakit akibat kerja, kurang lebih 40%. Dermatitis kontak
iritan umumnya terdapat pada pekerja yang baru bergabung atau yang
tidak menggunakan pelindung diri.
Dalam menegakan diagnosis sangatlah penting untuk
membedakan antara dermatitis kontak dan eksema endogen dan antara
dermatitis kontak alergi dengan iritan. Anamnesis yang cermat mengenai
pekerjaan merupakan salah satu factor yang penting.
Pada dermatitis kontak iritan, lokasi tersering terkena adalah
dorsum manus, interdigiti, dan digiti dibandikan palmar manus. Pada
eksema endogen lebih sering ditemukan pada palmar dan bagian lateral
digiti. Pada eksema endogen dan kontak alergi umumnya melibatkan
bagian dorsal digiti and manus. Pada dermatitis kontak iritan yang
kumulatif iritan juga dapat mempunyai gambaran yang sama (Bourke,
Coulson, & Englisht, 2009).

Gambar 1. DKI pada dorsum manus et digiti (Bourke, Coulson, &


Englisht, 2009)
DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat
sehingga penderita pada umumnya masih mengingat penyebabnya.
Sebaliknya, DKI kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi
gambaran klinis yang luas sehingga adakalanya sulit dibedakan dengan

9
dermatitis kontak alergik. Oleh sebab itu, perlu dilakukan uji temple
dengan bahan yang dicurigai (Sularsito & Djuanda, 2007).

Gambar 2. Dermatitis kontak alergi (perbedaan pridileksi dengan DKI)


Rietschel dan Fowler mengajukan penegakan diagnosis untuk
dermatitis kontak iritan sebagai berikut:
1. Macula eritematosa, hyperkeratosis, atau fisura mendominasi
vesikulasi
2. Kering atau glazed pada epidermis
3. Proses penyembuhan dimulai dengan penghindaran agen
4. Hasil negative pada tes patch (Hogan, 2013)
Kriteria objektif minor dermatitis kontak iritan, yaitu
1. Pempunyai gambaran lesi dermatitis
2. Dripping effect
3. Tidak mempunyai kecenderungan untuk menyebar
4. Perubahan morfologikal menggambarkan perbedaan konsentrasi atau
kontak dengan waktu kerusakan kulit (Hogan, 2013).
Beberapa gambaran dermatitis kontak iritan
1. Napkin dermatitis

10
2. Kelainan kulit disekitar mulut atau leher bayi atau anak-anak yang
disebabkan oleh saliva yangmana bersifat basa.
3. Dermatitis pada ibu rumah tanggan disebabkan oleh oleh zat kimia
seperti deterjen dan sabun
4. Sarung tangan dari lateks atau bedak dan keringat dalam sarung
tangan dapat menjadi iritan secara langsung
5. Kosmetik dapat sebagai iritan pada kulit yng sensitive
6. Zat kimia seperti asam dan bassa
7. Dermatitis pada jari dikeliling oleh cincin.

a b

Gambar 3. a .DKI pada tangan b. DKI oleh karena saliva

E. Klasifikasi
1. Dermatitis Kontak Iritan (DKI) akut, yaitu yang terjadi oleh karena
bahan iritan kuat dengan menimbulkan reaksi cepat 12-24 jam pasca
kontak iritan tersebut.
Contoh: podofilin, antralin, bulu serangga
2. Dermatitis Kontak Iritan (DKI) kronik, yaitu iritan kumulatif yang
terus berulang terjadi pada kulit, karena biasanya berkaitan dengan
pekerjaan pasien yang terus kontak dengan bahan iritan tersebut.
Contoh: deterjen, semen, bahan kimia (Sumantri, Hertanti,
Sriwahyuni. 2010).

F. Patogenesis
Kerusakan yang ditimbulkan akibat kontak bahan iritan akan
menimbulkan dua mekanisme pada kulit. Bahan iritan akan merusak
secara langsung melalui kerja kimiawi atau fisis dengan merusak lapisan
tanduk atau lapisan keratin. Bahan iritan ini akan menyingkirkan lemak

11
pada lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air pada kulit. Banyaknya
bahan iritan yang mengiritasi kulit akan merusak membrane lemak
keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak
lisosom, mitokondria atau komplemen inti. Mekanisme kedua dari bahan
iritan ini akan mengaktifasi respon peradangan dengan jalur fosfolipid
yang akan melepaskan asam arakhidonat, memicu pengeluaran
prostaglandin sebagai mediator inflamasi sehingga terjadi peradangan
(Khuntie, James. 2004)
Peradangan yang terjadi akan menimbulkan gejala mulai dari
vasodilatasi pembuluh darah dengan timbul eritem pada bagian kulit
yang teriritasi, gatal yang ditimbulkan akibat dari reaksi peradangan yang
memicu pengeluaran kinin, histamin (Nosbaum, Vocanson, Rozieres.
2009).

G. Penatalaksanaan
Pengobatan dermatitis kontak iritan dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu menangani kasus aktif dan pencegahan (Hogan, 2013). Pada
kasus aktif, kortikosteroid topical, pelembab, sabun merupakan terapi
yang diterima untuk dermatitis kontak (English, 2004). Dalam mengatasi
peradangan dapat diberikan kortikosteroid topical, misalnya
hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan
kortikosteroid yang lebih kuat Beberapa penelitian menyatakan terdapat
keuntungan dalam penggunaan kombinasi kortikosteroid topikal atau
kombinasi antibiotic, pada pasien dengan infeksi (Bourke, Coulson, &
Englisht, 2009).
Pada keadaan tertentu, sering ditemukan kolonisasi
Staphylococcus hominis, Staphylococcus aureus, bakteri gram negative,
Enterococci, dan candida. Penggunaan sabun dan air untuk mencuci
tangan ditemukan tidak efektif untuk menurunkan kontaminasi
organisme pada tangan yang terkena. Pada keadaan ini penggunaan
lotion atau krim untuk mengatasi iritasi direkomendasikan. Hal ini
dikarenakan penggunaan lotion dan krim dapat meningkat hidrasi kulit

12
dan menggantikan lemak stratum korneum (Visscher, Davis, & Wickett,
2009).
Pengobatan lini kedua diantaranya adalah PUVA topical,
azathiprone, dan siklosporin digunakan untuk dermatitis kronik resisten
(Visscher, Davis, & Wickett, 2009; Bourke, Coulson, & Englisht, 2009).
Pencegahan merupakan penanganan yang penting dalam
dermatitis kontak iritan, pencegahan dapat dilakukan dengan:
1. Mengeliminasi dan mengganti eksposur termasuk, prioritas,
substitusi kimia dengan yang kurang iritan.
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan
bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis maupun kimiawi, serta
menyingkirkan factor yang memperberat. Bila hal ini dapat
dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka
DKI tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan
topikal cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang
kering.
2. Penggunaan proteksi personal
Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat diperlukan bagi mereka
yang bekerja dengan bahan iritan sebagai salah satu pencegahan.
Penggunaan alat proteksi dini, seperti sarung tangan harus
memperhatikan zat kimia dan resistensi fisik.
3. Barrier Cream
Penggunaan barrier cream masih menuai kontroversi.
4. Krim setelah bekerja
Penggunaan pelembab dapat mengurangi insidensi dan prevalensi
dermatitis kontak.
5. Kebersihan dan penggunaan Bahan pembersih
Menjaga kebersihan dan penggunaan pembersih muka harus dijaga
(Visscher, Davis, & Wickett, 2009

H. Komplikasi
1. Infeksi sekunder oleh baktei, seperti Staphylococcus aureus

13
2. Neurodermatitis
3. Postinflammatory hyperpigmentasi atau hipopigmentasi (Hogan,
2013)

I. Prognosis
Beberapa penelitian menyatakan bahwa dermatitis kontak iritan-
okupasional mempunyai prognosis yang buruk. Pada penelitian di
Swedia, didapatkan bahwa hanya 25% dari 555 pasien selama periode 10
tahun yang sembuh secara komplit. Sisanya mempunyai gejala periodic
ataupun gejala permanen (English, 2004).

II. Dermatitis kontak alergika


A. Definisi
Menurut Siregar (2004) dermatitis kontak alergi (DKA) adalah
suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah kontak dengan
alergen melalui proses sensitisasi. Menurut National Occupational
Health and Safety Commision (2006) DKA adalah dermatitis yang
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-
bahan kimia yang kontak dengan kulit dan dapat mengaktivasi reaksi
alergi.

B. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergi adalah alergen, paling sering
berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da,
yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul
dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya
penetrasi di kulit (Sularsito, 2010).
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak
alergi. Misalnya antara lain (Sularsito, 2010):
a. Faktor eksternal
1) Potensi sensitisasi alergen
2) Dosis per unit area

14
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor internal
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetik berperan kecil, meskipun misalnya
mutasi null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena
alergi nikel (Thyssen, 2009).
4) Status higinitas dan gizi.

C. Epidemiologi
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih
sedikit, karena hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka
(hipersensitif). Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin
bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang
mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun inforasi
mengenai prevalensi dan insidensi DKA di masyarakat sangat sedikit,
sehingga beberapa angka yang mendekati kebenaran belum didapat
(Sularsito, 2010).
Kejadian DKA di Amerika Serikat terhitung sebesar 7% dari
penyakit yang terkait dengan pekerjaan1. Berdasarkan beberapa studi
yang dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh
allergen- allergen tertentu. Dalam data terakhir, lebih banyak perempuan

15
(18,8%) ditemukan memiliki DKA dibandingkan laki-laki (11,5%).
Namun, harus dipahami bahwa angka ini mengacu pada prevalensi DKA
dalam populasi (yaitu, jumlah individu yang potensial menderita DKA
bila terkena alergen), dan ini bukan merupakan angka insiden (yaitu,
jumlah individu yang menderita DKA setelah jangka waktu tertentu)
(Belsito, 2003).
Dalam studi tentang reaktivitas Rhus, individu yang lebih muda
(18 sampai 25 tahun) memiliki onset lebih cepat dan resolusi cepat untuk
terjadi dermatitis dibandingkan orang tua. Kompetensi reaksi imun yang
dimediasi sel T pada anak-anak masih kontroversi. Studi ini masih
menganggap bahwa anak-anak jarang mengalami DKA karena sistem
kekebalan tubuh yang belum matang, namun Strauss menyarankan
bahwa hiporesponsifitas yang jelas pada anak-anak mungkin karena
terbatasnya paparan dan bukan karena kurangnya imunitas (Belsito,
2003).

D. Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah
mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated
immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV, suatu hipersensitivitas
tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan
fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi dapat
menderita DKA (Sularsito, 2010).
Fase sensitisasi
Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum
korneum akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis,
dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta
dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada
awalnya sel Langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya berfungsi
sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi,
setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan,
akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel Langerhans

16
sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan mengubah
fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu
(misalnya IL-1) secara ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC
kelas I dan II, ICAM-1, LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang
dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNFα, yang dapat mengaktifasi sel T,
makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adesi sel dan
pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II (Sularsito,
2010).
TNFα menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel
Langerhans pada epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis
sehingga memperlancar sel Langerhans melewati membran basalis
bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Di
dalam kelenjar limfe, sel Langerhans mempresentasikan kompleks HLA-
DR-antigen kepada sel T penolong spesifik, yaitu yang mengekspresikan
molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel Langerhans, dan kompleks
reseptor sel T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses. Ada atau
tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik (Sularsito,
2010).
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk
mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini
akan menstimulasi proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih
banyak. Turunan sel ini yaitu sel T memori (sel T teraktivasi) akan
meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar keseluruh tubuh. Pada
saat tersebut individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata
berlangsung selama 2-3 minggu (Sularsito, 2010).
Menurut konsep ‘danger’ signal (sinyal ‘bahaya’) bahwa sinyal
antigenik murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi,
sedangkan sinyal iritannya menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian
terjadinya sensitisasi kontak bergantung pada adanya sinyal iritan yang
dapat berasal dari alergen kontak sendiri, dari ambang rangsang yang
rendah terhadap respons iritan, dari bahan kimia inflamasi pada kulit
yang meradang, atau kombinasi dari ketiganya. Jadi sinyal ‘bahaya’ yang

17
menyebabkan sensitisasi tidak berasal dari sinyal antigenik sendiri,
melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu tindakan mengurangi
iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi (Sularsito, 2010).
Fase elisitasi
Fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada
pajanan ulang alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan
ditangkap oleh sel Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi
antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel.
Selanjutnya kompleks HLA-DR-antigen akan dipresentasikan kepada sel
T yang telah tersensitisasi (sel T memori) baik di kulit maupun di
kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi.
Di kulit proses aktivasi lebih kompleks dengan hadirnya sel-sel
lain. Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk
memproduksi IL-2 dan mengekspresi IL-2R, yang akan menyebabkan
proliferasi dan ekspansi populasi sel T di kulit. Sel T teraktivasi juga
mengeluarkan IFN γ yang akan mengaktifkan keratinosit mengekspresi
ICAM-1 dan HLA-DR. Adanya ICAM-1 memungkinkan keratinosit
untuk berinteraksi dengan sel T dan leukosit yang lain yang
mengekspresi molekul IFA-1. Sedangkan HLA-DR memungkinkan
keratinosit untuk berinteraksi langsung dengan sel T CD4+, dan juga
memungkinkan presentasi antigen kepada sel tersebut. HLA-DR juga
dapat merupakan target sel T sitotoksik pada keratinosit.
Keratinosit menghasilkan juga sejumlah sitokin antara lain IL-1,
IL-6, TNFα, dan GMCSF, semuanya dapat mengaktivasi sel T. IL-1
dapat menstimulasi keratinosit menghasilkan eikosanoid. Sitokin dan
eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mas dan makrofag. Sel mas yang
berada di dekat pembuluh darah dermis akam melepaskan antara lain
histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan
leukotrien B4 (LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mas
(prostaglandin) maupun dari keratinosit atau leukosit menyebabkan
dilatasi vaskuler dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul laut
seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi ke dalam dermis dan

18
epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan eikosanoid akan menarik
neutrofil, monosit dan sel darah lain dari pembuluh darah masuk ke
dalam dermis. Rentetan kejadian tersebut akan menimbulkan respons
klinik DKA. Fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam
(Sularsito, 2010).

Gambar 4. Patogenesis Dermatitis Kontak Alergika

E. Gejala klinis
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung
pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai
dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu,
misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan edema lebih
dominan daripada vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit kering,
berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin jyga fisur, batasnya tidak
jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis;
mungkin penyebabnya campuran. DKA dapat meluas ke tempat lain,
misalnya dengan cara autosensitisasi. Skalp, telapak tangan dan kaki
relatif resistenterhadap DKA (Sularsito, 2010).

19
F. Penegakan diagnosis
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditanyakan mengenai kontaktan yang
dicurigai didasarkan kelainan kulit, selain itu ditanyakan pula
riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat
sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan
alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari
yang bersangkutan maupun keluarganya (Sularsito, 2010).
2. Pemeriksaan Fisik
Penampilan klinis DKA dapat bervariasi tergantung pada
lokasi dan durasi. Pada kebanyakan kasus, erupsi akut ditandai
dengan macula dan papula eritema, vesikel, atau bula, tergantung
pada intensitas dari respon alergi. Namun, dalam DKA akut di
daerah tertentu dari t ubuh, seperti kelopak mata, penis, dan skrotum,
eritema dan edema biasanya mendominasi dibandingkan vesikel.
Batas-batas dermatitis umumnya tidak tegas. DKA pada wajah dapat
mengakibatkan pembengkakan periorbital yang menyerupai
angioedema. Pada fase subakut, vesikel kurang menonjol, dan
pengerasan kulit, skala, dan lichenifikasi dini bisa saja terjadi. Pada
DKA kronis hampir semua kulit muncul scaling, lichenifikasi,
dermatitis yang pecah-pecah (membentuk fisura), dengan atau tanpa
papulovesikelisasi yang menyertainya (Belsito, 2003; Scheman,
2002).

20
Gambar 5. Dermatitis kontak alergi
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit,
misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel,
dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan
yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya,
misalnya sampo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih dahulu.
Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan
dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui
bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila diduga
keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, atau sarung
tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel
dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam
dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air,
dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn chamber,
dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil
positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10
orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena iritasi
(Sularsito, 2010).

21
Gambar 6. Aplikasi Uji Tempel pada pasie
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas.
Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar
efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal.
Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):
1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)

Gambar 7. Hasil Uji Tempel setelah 72 jam.

22
A: Hasil uji positif terhadap picaridin (KBR) 2,5%
B: Hasil uji positif terhadap methyl glucose diolate (MGD) 10%
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu
setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi.
Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan
antara respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi
lebih banyak lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat
bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan
kepada pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu
minggu setelah aplikasi (Sularsito, 2010).
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah.
Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik
biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan
kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe
crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi
tipe decrescendo) (Sularsito, 2010).
4. Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan histopatologi pada dermatitis kontak dapat ditemukan
gambaran sebagai berikut (Sularsito, 2010):
a. Epidermis: Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum
korneum, hiperplastik, akantosis yang luas serta spongiosis,
yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai dengan
penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus kemudian
ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal.
b. Dermis: Limfosit perivesikuler, eosinofil: bervariasi, muncul
awal dan karena sebab alergi serta edema

23
Gambar 8. Histopatologik dermatitis kontak alergi

G. Diagnosis banding
1. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
Berbeda dengan DKA, pada DKI tidak terdapat sensitasi dari
pajanan/iritan. Gambaran lesi pada DKI tergantung pada sifat iritan.
DKI diklasifikasikan menjadi beberapa kategori berdasarkan
penyebab dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. DKI akut lebih
mudah diketahui karenea munculnya lebih cepat sehingga penderita
masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. DKI kronis timbulnya
lambat dan mempunyai variasi gambaran klinis yang luas sehingga
sulit dibedakan dengan DKA (Djuanda, 2005).
2. Dermatitis Atopi
Dermatitis Atopi merupakan keadaan radang kulit kronis dan residif,
disertai dengan gatal yang umumnya sering terjadi selama masa
bayi dan anak-anak. Sering berhubungan dengan peningkatan kadar
IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga penderita
(Djuanda, 2005).

H. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa (Sumantri, dkk, 2005)
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk
terkena dermatitis kontak alergi

24
b. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan
aktivitas yang bersentuhan dengan alergen
c. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan
perhiasan, aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan
penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM)
sebanyak 3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09
mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak – anak untuk menghilangkan
rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika
(amoksisilin atau eritromisin) dengan dosis
3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari
c. Topikal
Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
3. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
(Sumantri, dkk, 2005) :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk
terkena dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun,
jika tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar
allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain

25
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan
aktivitas yang berisiko terhadap paparan alergen

I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh
bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau virus misalnya
herpes simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku
menggaruk dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga
menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu
dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan
kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis
(Bourke et al, 2009).

J. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis
bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen
(dermatitis atopik, dermatitis numularis atau psoriaris) (Sularsito, 2010).
Faktor lain yang membuat prognosis kurang baik adalah pajanan alergen
yang tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan
tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita (Djuanda, 2005).

26
BAB III
KESIMPULAN

1. Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon


terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal.
2. Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi
yang menempel pada kulit terdiri dari dermatitis kontak iritan dan alergi.
3. Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan kulit sebagai
respon agen eksternal atau iritan tanpa keterlibatan sel T, jadi kerusakan kulit
terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi.
4. Dermatitis kontak alergika adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang
timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.
5. Etiologi dermatitis kontak dapat disebabkan oleh faktor dari luar misalnya
bahan kimia (detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (sinar, suhu),
mikroorganisme (bakteri, jamur), dan dapat pula disebabkan oleh faktor
endogen seperti yang terjadi pada dermatitis atopik.
6. Penatalaksaan dermatitis kontak dapat berupa terapi nonmedikamentosa,
medikamentosa berupa (kortikosteroid topical, pelembab, sabun), serta
pencegahan.
7. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain infeksi sekunder oleh baktei, seperti
Staphylococcus aureus, neurodermatitis, postinflammatory hyperpigmentasi
atau hipopigmentasi.

27
DAFTAR PUSTAKA

Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI (eds) Fitzpatrick’s Dermatology in General


Medicine 6th ed. New York: The McGraw-Hill.

Belsito DV. 2003. Allergic Contact Dermatitis dalam Freedberg IM, Eisen AZ,
Wolff K,

Bourke, J., Coulson, I., & Englisht, J. (2009). Guidelines for the Management of
Contact Dermatitis: an Update. Britsh Journal of Dermatology, 946-954.

English, J. (2004). Current Concepts of Irritant Contact Dermatitis. Occupational


Environment Medical , (61) 722-726.

Hogan, D. J. (2013). Irritant Contact Dermatitis Clinical Presentation. Medscape.

Khuntia, Annie; James, Baldwin. 2004. Contact Dermatitis. Diunduh dari


www.med.umich.edu

Nosbaum; Vocanson; Rozieres. 2009. Allergic and Irritant Contact Dermatitis.


Diunduh dari www.ncbi.nlm.nih.gov

Scheman AJ. 2002. Contact Dermatitis dalam Grammer LC, Greenberger PA


(eds) Patterson’s Allergic Disease 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins.

Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC

Sularsito, S. A., & Djuanda, S. (2007). Dermatitis. In Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI

Sumantri, Muhammad Agung; Hertanti, Trias Febriani; Sriwahyuni, T Musa.


2010. Dermatitis Kontak. Diunduh dari www.respositoryusu.ac.id

Thyssen, Jacob Pontoppidan. 2009. The Prevalence and Risk Factors of Contact
Allergy in the Adult General Population. Denmark : National Allergy
Research Centre, Departement of Dermato-Allergology, Genofte Hospital,
University of Copenhagen .

Visscher, M., Davis, J., & Wickett, R. (2009). Effect of topical treatments on
irritant hand dermatitis in health care workers. American Journal of
Infection Control, 1-11.

28

Anda mungkin juga menyukai