Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN PERIOPERATIF PADA PASIEN CEDERA KEPALA RINGAN


DENGAN EPIDURAL HEMATOMA (EDH)

Disusun oleh :

Reviandy Achmad Armandani

Pembimbing:

Dr. dr. A Andyk Asmoro., SpAn, FIPM

Periode:

9 Desember - 29 Desember 2019

LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR

MALANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kepala tertutup (Closed Head Injury) mempunyai insidensi yang
masih sangat tinggi, di Amerika pada tahun 2003 didapatkan 570.000 kasus
cedera kepala per tahun dan merupakan 40% dari seluruh kematian akibat cedera
akut. Di Eropa 91 dari 100.000 penduduk per tahun dirawat di Rumah Sakit (RS)
dengan cedera kepala (Salinas et al., 2006). Perdarahan epidural adalah 2%
komplikasi dari seluruh trauma kepala dan 5-15% trauma kepala berat dengan
rata-rata 40.000 kasus per tahun di USA. Berdasarkan onsetnya perdarahan
epidural dapat dibagi menjadi akut (58%), subakut (31%) dan kronik (11%) (David
et al., 2016). Angka mortalitas yang terkait dengan perdarahan epidural
diestimasikan 5-50% yang dipengaruhi oleh tingkat kesadaran, jumlah perdarahan
dan lokasi. Pada pasien dengan kesadaran penuh angka mortalitas 0%, pada
penurunan kesadaran ringan sampai sedang 9% dan pada pasien koma 20%.
Angka mortalitas pada perdarahan epidural intrakranial mencapai 15-20% dan
pada perdarahan epidural di fossa posterior mencapai 26% (David et al.,2016)

Di Indonesia, insidensi pasien dengan perdarahan epidural (EDH) telah


dilakukan penelitian pada Januari tahun 2009 – Mei 2012. Penelitian dilakukan di
rumah sakit dr. Soetomo Surabaya. Di dapatkan pasien perdarahan epidural
berjumlah 268 dengan rata-rata 15.41 pasien per bulan. 70 (77%) pasien laki-laki,
dengan usia rata-rata 27.1 tahun. 198 (73.86%) pasien dengan trauma akibat
kecelakaan. 40 (14.92%) pasien dengan mekanisme jatuh dari ketinggian. 7
(2.61%) akibat trauma langsung ke kepala. 81 (30%) pasien datangan dengan
GCS 14-15, 116 (43%) dengan GCS 9-13 dan 71 (27%) dengan GCS 3-8. 31
(11.56%) meninggal setelah dilakukan operasi bedah saraf (Rosyidi et al., 2019)

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena


setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

1
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana manajemen perioperatif pada pasien trauma kepala dengan
Epidural Hematoma?
1.3 Tujuan
Mengetahui penatalaksanaan perioperatif pada pasien trauma kepala
dengan Epidural Hematoma.
1.4 Manfaat

Laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dokter muda


dan tenaga medis mengenai penatalaksanaan perioperatif pada pasien trauma
kepala dengan Epidural Hematoma.

2
BAB 2
Tinjauan Pustaka

2.1. Epidural Hematoma

2.1.1 Definisi

Epidural Hematoma adalah adanya darah di ruang epidural, pada


perdarahan epidural intrakranial didapatkan perdarahan antara tabula
interna tulang tengkorak dan duramater. Perdarahan epidural 90% terjadi
karena fraktur kranium di regio temporal dan parietal. Perdarahan
epidural atau epidural hematoma (EDH) biasanya disebabkan oleh
rupturnya arteri meningea media, vena atau sinus dural (Prawirohardjo.,
2015).

2.1.2 Anatomi

Anatomi kepala terdiri dari SCALP, tulang kranium, meningen,


parenkim otak, pembuluh darah otak, cairan serebrospinal (CSF), dan
tentorium. SCALP merupakan singkatan dari susunan skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan ikat, aponeurosis, loose areolar tissue
atau jaringan ikat longgar dan perikranium (Netter et al., 2012).

Meningen adalah selaput yang menutupi seluruh permukaan otak dan


terdiri atas tiga lapisan yaitu duramater, arakhnoid dan piamater.
Duramater adalah selaput yang keras dan tidak melekat pada selaput
arakhnoid dibawahnya sehingga terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdural) yang terletak antara duramater dan arakhnoid, dimana sering
terjadi perdarahan subdural. Selain itu juga terdapat ruang potensial
diantara duramater dan tulang kranium yang disebut ruang epidural atau
extradural. Lapisan kedua dari meningen di bawah duramter yang tipis
dan tembus pandang disebut arakhnoimater. Lapisan ketiga adalah
piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan
serebrospinal bersirkulasi dalam ruang subarakhnoid. Parenkim otak
dibagi menjadi serebrum (otak besar), serebelum (otak kecil) dan batang
otak. Tentorium merupakan struktur yang membagi rongga tengkorak

3
menjadi ruang supratentorial (fossa kranii anterior dan fossa kranii
media) (Netter et al., 2012).

2.1.3 Epidemiologi

Studi epidemiologi di Amerika mendapati pasien dengan Epidural


Hematoma memiliki angka insiden 2,7 hingga 4 persen dari seluruh
pasien cedera kepala dan 22 hingga 56 persen dalam keadaan koma saat
masuk ke unit gawat darurat. Terbanyak karena kecelakaan lalu lintas 53
persen dan akibat terjatuh 30 persen. Sering terjadi pada usia 20 hingga
30 tahun dan jarang di usia tua lebih dari 60 tahun dan anak kurang dari
2 tahun, perbandingan laki dan perempuan adalah 4 berbanding 1 (David
et al.,2016).

Di Indonesia, insidensi pasien dengan perdarahan


epidural (EDH) telah dilakukan penelitian pada Januari tahun 2009 – Mei
2012. Penelitian dilakukan di rumah sakit dr. Soetomo Surabaya. Di
dapatkan pasien perdarahan epidural berjumlah 268 dengan rata-rata
15.41 pasien per bulan. 70 (77%) pasien laki-laki, dengan usia rata-rata
27.1 tahun. 198 (73.86%) pasien dengan trauma akibat kecelakaan. 40
(14.92%) pasien dengan mekanisme jatuh dari ketinggian. 7 (2.61%)
akibat trauma langsung ke kepala. 81 (30%) pasien datangan dengan
GCS 14-15, 116 (43%) dengan GCS 9-13 dan 71 (27%) dengan GCS 3-
8. 31 (11.56%) meninggal setelah dilakukan operasi bedah saraf (Rosyidi
et al., 2019)

2.1.4 Patofisiologi

Cedera kepala terbanyak disebabkan oleh proses akselerasi dan


deselerasi, sedangkan pada EDH oleh trauma langsung pada kepala yang
menyebabkan fraktur tulang kalvarium, rupturnya arteri dan vena
meningeal media, vena diploik atau sinus vena. Disertai terlepasnya
perlekatan duramater sehingga terbentuk hematoma di ruang potensial
antara tabula interna tulang kalvarium dan duramater (David et al, 2016).

Perdarahan epidural intrakranial sebagian besar berasal dari


rupturnya arteri meningea media (66%), meskipun arteri etmoidalis
anterior mungkin bisa terlibat dalam cedera kepala di daerah frontal,

4
sinus transversus atau sinus sigmoid pada cedera oksipital, dan sinus
sagital superior pada trauma verteks. Perdarahan epidural intrakranial
bilateral terjadi 2-10% dari semua kasus perdarahan epidural akut pada
orang dewasa tetapi sangat jarang terjadi pada anak-anak. Perdarahan
epidural pada fossa posterior mencapai 5% dari semua kasus
perdarahan epidural (Ganz et al., 2013).

Perdarahan epidural spinal dapat terjadi spontan atau akibat


trauma minor, seperti pungsi lumbal atau anestesi epidural. Perdarahan
epidural spinal dapat berhubungan dengan antikoagulan, trombolisis,
diskrasia darah, koagulopati, trombositopenia, neoplasma, atau
malformasi vaskuler. Pleksus vena peridural biasanya terlibat, meskipun
perdarahan dari arteri juga terjadi. Aspek dorsal di daerah thorakal atau
lumbal yang paling umum terkena, dengan ekspansi terbatas pada
beberapa tingkat vertebra (Ganz et al., 2013).

Penyebab perdarahan epidural baik intrakranial maupun spinal


dapat dibagi menjadi trauma dan non trauma. Penyebab trauma sering
berupa benturan tumpul pada kepala akibat serangan, terjatuh, atau
kecelakan lain; trauma akselerasi-deselerasi dan gaya melintang. Selain
itu perdarahan epidural intrakranial pada bayi baru lahir dapat terjadi
akibat distosia, ektraksi forseps, dan tekanan kranium berlebihan pada
jalan lahir. Penyebab non trauma perdarahan epidural diantaranya
adalah obat antikoagulan, agen trombolisis, lumbal pungsi, anesthesia
epidural, koagulopati, penyakit hepar dengan hipertensi portal, kanker,
alkholisme kronik malformasi vascular, herniasi diskus, penyakit paget
pada tulang, valsava manuever. Gangguan sinus venosus dura (sinus
transversum atau sigmoid) oleh fraktur dapat menyebabkan perdarahan
epidural di fossa posterior sedangkan gangguan sinus sagitalis superior
dapat menyebabkan perdarahan epidural pada vertex. Sumber
perdarahan epidural yang non arterial diantaranya adalah venous lakes,
dipoic veins, granulatio arachnoid dan sinus petrosus (Ganz et al., 2013).

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis perdarahan epidural ditegakkan berdasarkan anamnesa,


gambaran klinis, pemeriksaan fisik, imaging dan data laboratorium.

5
2.1.6 Manifestasi Klinis

• Kebanyakan perdarahan epidural intrakranial disebabkan oleh trauma


yang sering melibatkan benturan tumpul pada kepala. Pasien sering
didapatkan bukti eksternal cidera kepala seperti adanya laserasi kulit
kepala, cephalohematoma atau kontusio. Gejala yang sering tampak :

a. Penurunan kesadaran, bisa sampai koma


b. Bingung
c. Penglihatan kabur
d. Susah bicara
e. Nyeri kepala yang hebat
f. Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
g. Nampak luka dalam pada kulit kepala.
h. Mual
i. Pusing
j. Berkeringat
k. Pucat
l. Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
(Shah et al., 2011).

Penilaian neurologis sangat penting terutama pada tingkat


kesadaran, aktivitas motorik, pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas
dan ukuran pupil, parese nervus kranialis dan tanda-tanda lateralisasi
seperti hemiparesis atau hemiplegia. GCS penting dalam menilai kondisi
klinis terkini karena berhubungan dengan keluaran klinis akhir (Shah et
al., 2011).

6
2.1.7 Pemeriksaan penuinjang

Foto polos kepala, CT-scan dan kepala MRI penting untuk


memberikan penilaian perdarahan intrakranial akibat trauma kepala.

a. Foto Polos Kepala


Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral
pada sisi yang mengalami trauma untuk mencari adanya fraktur tulang
yang memotong sulcus arteria meningea media (Nadine et al., 2013).

Gambar 1 : Fraktur temporoparietal


(panah) yang berakibat perdarahan
epidural

b. Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan
potensi cedara intrakranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu
bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral),
berbentuk bikonveks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas
darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke
sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural
hematoma, Densitas yang tinggi pada stadium yang akut ( 60 – 90
HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah
(Nadine et al., 2013).
c. MRI
Pada MRI kepala akan menggambarkan massa hiperintens
bikonveks yang menggeser posisi duramater, berada diantara tulang
tengkorak dan duramater. MRI kepala juga dapat menggambarkan
batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis. Pada
perdarahan epidural spinal MRI penting untuk memastikan lokasi
segmen yang mengalami perdarahan (Nadine et al., 2013).

7
Gambar 2 : Perdarahan epidural intrakranial di temporoparietooccipital
sinistra (A,B), nampak garis fraktur (C, anak panah)

Gambar 3 : T1 MRI kepala potongan


koronal, didapatkan gambaran perdarahan
epidural di daerah vertex

d. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang penting dikerjakan diantaranya
1. Darah lengkap : penting untuk menilai kadar trombosit dan
hematokrit terkait perdarahan non traumatik juga menilai adanya
penanda infeksi untuk menyingkirkan diagnose banding
2. Faal hemostasis : penting untuk menilai ada tidaknya gangguan
koagulopati
3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa
darah juga perlu diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi
metabolik perdarahan epidural intrakranial maupun spinal
4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa
terkait penyebab trauma kepala dan adanya sindroma putus obat
5. Golongan darah : penting untuk persiapan transfusi dan tindakan
operatif darurat (Nadine et al., 2013).

2.1.8 Tatalaksana
Tatalaksana perdarahan epidural mencakup tatalaksana umum
dan tatalaksana khusus. Tatalaksana khusus mencakup terapi
medikamentosa dan terapi operatif (Kewon et al., 2013).

8
 Tatalaksana umum
Sedini mungkin berbagai upaya penanganan pra-rumah sakit,
dengan perhatian jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Sejak pasien
datang ke ruang gawat darurat pasien segera dipersiapkan evaluasi
trauma menyeluruh, dimulai dengam inspeksi fraktur, evaluasi mekanisme
cidera untuk menilai daya benturan baik pada kranium maupun daerah
spinal, imobilisasi spinal khususnya servikal, dan evaluasi defisit
neurologis (Kewon et al., 2013).

Tiga penanda prediktor keluaran klinis yang buruk saat


penanganan di departemen gawat darurat adalah hipotermia, hipoksia, dan
hipotensi. Hipotermia saat awal menjadi penanda resusitasi yang jelek, dan
sebaiknya suhu tubuh inti harus dihangatkan secara pasif selama fase awal
resusitasi. Resusitasi volume agresif untuk hipotensi dan ventilasi yang
memadai adalah fokus utama dalam upaya resusitasi awal (Kewon et al.,
2013).

Semua pasien dengan trauma kepala harus memiliki ventilasi yang


baik dan menjaga PO2 dan PCO2. Suplementasi oksigen diberikan untuk
mendapatkan SpO2 > 90%. Selama fase resusitasi awal sangat penting
untuk menyadari langkah-langkah yang sederhana seperti elevasi kepala
tidur (30 derajat), posisi kepala yang tepat untuk mencegah penekanan
vena jugularis dan kontrol nyeri yang memadai dan sedasi merupakan
metode yang sangat sederhana dan efektif untuk mengurangi tekanan
intrakranial (ICP) (Kewon et al., 2013).

 Tatalaksana khusus
a) Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital :

Mempertahankan kontrol jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi

yang telah ditangani saat resusitasi awal. Jalan nafas harus selalu bebas

dengan memastikan tidak ada lendir dan darah yang dapat menghalangi

aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan

pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur

9
intravena : gunakan cairan NaC1 0,9% atau Dextrose in saline (Kewon et

al., 2013).

b) Mengurangi tekanan intrakranial :

i. Hiperventilasi.

Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah

vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat

membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi

kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100

mmHg dan paCO2 diantara 25-30 mmHg (Kewon et al., 2013).

ii. Cairan hiperosmoler.

Cairan hiperosmoler diberikan untuk “menarik” air secara

osmotik dari jaringan otak (intrasel dan interstitial) ke dalam ruang intra-

vaskular lalu melalui diuresis. Cairan yang umum digunakan adalah

Manitol 10-15% 0,25-1g/KgBB diberikan per infus selama 10-15 menit.

Efek ini dapat berhasil dengan baik jika sawar darah otak dalam keadaan

normal. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindakan

bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound;

mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam

atau keesokan harinya. Hati-hati dengan kontraindikasi pemberian manitol

seperti gagal jantung, gagal ginjal akut (AKI), hiperkalemia dan hipotensi.

(Kewon et al., 2013).

10
Gambar 4 : Algoritma tata laksana pasien
dengan cedera kepala (ATLS., 2018)

11
2.1.9 Indikasi pembedahan

Indikasi tindakan bedah pada perdarahan epidural intrakranial yang


disarankan Bullock dkk tahun 2006 yaitu :

- Volume hematom > 30 ml


- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
- Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depresi dengan
kedalaman >1 cm
- Ketebalan hematom lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah
dengan GCS 8 atau kurang
- Terdapat tanda-tanda neurologis lokal dan peningkatan TIK > 25
mmHg
Tindakan bedah yang dikerjakan dapat berupa kraniotomi dekompresif
maupun prosedur dengan minimal invasif seperti burr hole dengan
drainase tekanan negatif.

2.1.10 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang sering terjadi pada perdarahan epidural intrakranial
adalah defisit neurologis bahkan kematian, kejang post trauma karena
kerusakan kortikal (biasanya 1-3 bulan setelah trauma kepala), delayed
effect termasuk postconccusion syndrome seperti nyeri kepala, dizziness,
vertigo, restlessness, emosi yang labil dan kertidakmampuan untuk
berkonsentrasi dan kelelahan. Sedangkan komplikasi pada perdarahan
epidural di spinal umumnya adalah spastisitas, nyeri neuropatik dan
komplikasi pada sistem berkemih.

Prognosis pasien dengan perdarahan epidural tergantung pada usia,


kesadaran awal masuk (GCS), perberatan klinis, perberatan yang tertunda
antara saat trauma dan intervensi bedah. Pada perdarahan epidural di
spinal prognosis tergantung pada keterlibatan medulla spinalis.

12
2.2. Manajemen Anestesi

2.2.1 Asesmen pre-operasi


Dapat dilakukan dengan pengukuran tinggi badan, menimbang berat
badan, yang diperlukan untuk menghitung dosis obat, terapi pemberian
cairan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan. Menghitung
frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernapasan, serta suhu
tubuh karena dengan kenaikkan maupun penurunan suhu tubuh dapat
mempengaruhi pola dan frekuensi napas serta nadi (Jeffrey L. Apfelbaum
2012).
Pemeriksaan jalan napas (airway), diperiksa juga pada daerah kepala
dan leher untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, apakah ada
gigi palsu, atau gangguan fleksi, ekstensi leher, devisiasi trakea, dan massa
untuk menilai apakah ada kesulitan intubasi. Mengidentifikasi tanda-tanda
adanya kesulitan bernafas merupakan salah satu faktor yang sangat penting
dalam penanganan pasien. Pada kesulitan manajemen airway terdapat 2 hal
yang harus diperhatikan, yaitu kesulitan untuk dilakukannya ventilasi dengan
bag, serta kesulitan dilakukannya laryngoscopy atau intubasi (Jeffrey L.
Apfelbaum 2012).
 Faktor yang mempengaruhi sulitnya dilakukan ventilasi dengan bag:
o Mask (sungkup)
o Obesity / Obstruction
o Age (umur) >55 tahun
o No teeth (ompong)
o Stiff (kaku pada bagian leher)
 Faktor yang mempengaruhi sulitnya dilakukan laryngoscopy dan intubasi:
o Look Externally
o Evaluate 3-3-2 (>3 finger open mouth, >3 finger thyromental
distance, <2 finger mandibulohyoid distance)
o Mallampati Score

13
Gambar 2.1Skor Mallampati (A) dan Laryngeal Grade View (B)

Adapun pembagian dari Skoring Mallampati adalah sebagai berikut :


I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
IV. Hanya terlihat palatum durum

o Obstruction
Sedangkan berikut merupakan derajat pengelihatan kita
menggunakan laringoskop (Laryngeal grade view):
Grade 1: Korda vokalis terlihat seutuhnya
Grade 2: Bagian bawah korda vokalis terlihat
Grade 3: Hanya epiglottis yang terlihat
Grade 4: Epiglottis tidak terlihat (Morgan, 2013)
o Neck : dievaluasi apakah mobilitas leher pasien bebas atau
terbatas.
Lakukan pemeriksaan jantung, untuk mengevaluasi kondisi
jantung, apakah ada kelainan jantung yang didapat pada orang dewasa
dan pada anak-anak sebagai penyakit bawaan (congenital).Pemeriksaan
pada Paru-paru, untuk mengetahui adanya dispnu, ronki, dan mengi yang
dapat menggangu frekuensi dan pola pernapasan. Pada abdomen lakukan
palpasi untuk mengetahui adanya distensi, massa, asites, atau hernia.
Pemeriksaan daerah ekstremitas terutama untuk melihat perpusi
distal, adanya jari tumbuh, sianosis, atau infeksi kulit, dan juga untuk
melihat tempat-tempat fungsi vena atau daerah blok saraf regional. Daerah

14
punggung juga diperiksa bila ditemukan adanya deformitas, memar atau
infeksi terutama dengan pemilihan anestesi regional.Neurologis, misalnya
status mental, fungsi saraf kranial, kesadaran dan fungsi sensasi motorik,
yang diperlukan untuk menentukan status fisik pasien.

Evaluasi Sistematis Pemeriksaan Fisik


1. B1 (Breathe)
 Frekuensi napas, tipe napas, regularitas, ada tidaknya retraksi, suara
napas: vesikuler, ronkhi, wheezing.
 Keadaan jalan napas, bentuk hidung, lubang hidung, bentuk pipi & dagu,
mulut & gigi.
 Bagaimana keadaan lidah & tonsil
 Pemeriksaan radiologi (foto thoraks)
2. B2 (Blood/Sistem Kardiovaskuler)
 Nadi (Regularitas, frekuensi, isinadi)
 Tekanan darah
 Perfusi perifer (Hangat,kering, kemerahan)
 Apakaha ada syok, perdarahan
 Keadaan jantung penderita (murmur, BJ I –II)
 Pemeriksaan darah rutin
 Pemeriksaan radiologi (foto thorax)
3. B3 (Brain/susunan saraf)
 Apakahpenderitatakutdangelisah
 Tingkat kesadaran penderita (GCS)
 Apakahadakelumpuhansaraf
 Tanda-tanda TIK 
4. B4 (Bladder)
 Produksi urin
 Apakah ada penyumbatan saluran kencing / darah pada kencing
 Pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal
 Pemeriksaan radiologi
5. B5 (Bowel)
 Apakah ada muntah, diare, kembung, nyeri tekan
 Bising usus, peristltik usus

15
 Flatus
 Apakah ada cairan bebas di perut (ascites)
 Meraba hati, lien (Ukuran, konsistensi, permukaan)
 BNO
 Pemeriksan laboratorium (liver function test)
6. B6 (Bone)
 Kaku kuduk
 Patah tulang
 Bentuk leher
 Bentuk tubuh (astenicus, atletik, picnic)
 Kelainan tulang belakang : skoliosis, kifosis, lordosis

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium, ada yang dilakukan pemeriksaan rutin seperti,
darah (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, golongan darah, masa
perdarahan,dan masa pembekuan), urin (protein, reduksi, dan sedimen), foto dada
terutama (untuk bedah mayor), elektrokardiografi (untuk pasien berusia diatas 40
tahun). Ada juga yang dilakukan secara khusus, yang dilakukan bila terdapat
riwayat atau indikasi, Elektrokardiohrafi pada anak, bronkospirometri pada pasien
tumor paru, fungsi hati pada pasien ikterus, fungsi ginjal pada pasien hipertensi
atau pasien yang mengalami gangguan miksi.
Klasifikasi Status Fisik (ASA)
Berdasarkan hasil pemeriksaan kita dapat menentukan status fisik pasien,
American Society Of Anestesiologists (ASA) membuat klasifikasi pasien menjadi
kelas-kelas :
 Kelas / ASA I Pasien normal sehat fisik dan mental
 Kelas / ASA II Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada
keterbatasan fungsional.
 Kelas / ASA III Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang
menyebabkan keterbatasan fungsi.
 Kelas / ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam
hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi.
 Kelas / ASA V Pasien yang tidak dapat hidup / bertahan dalam 24 jam
dengan atau tanpa operasi.

16
 Kelas / ASA VI Pasien mati batang otak yang organ tubuhnya dapat
diambil.
NB : E, Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan
ASA di ikuti huruf E (misalnya I E atau 2 E).
2.2.2 Manajemen Cairan Perioperatif
Tujuan dari resusitasi pre-operasi adalah untuk mengembalikan oksigenasi
yang adekuat ke jaringan perifer. Pada pasien dengan peritonitis biasanya jatuh
pada keadaan hipovolemik karena adanya sekuestrasi cairan ke rongga
peritoneum (Sharma et al., 2013). Manajemen cairan perioperatif meliputi
penggantian defisit cairan sebelum operasi, kebutuhan maintenance, perdarahan
saat operasidan insensible water loss kulit dan paru (Morgan et al., 2013).

2.2.3. Kebutuhan maintenance normal


Kebutuhan maintenance adalah kebutuhan cairan pada orang normal
sehari-hari.Perhitungannya menggunakan metode Holliday-Segar, yaitu sebagai
berikut.

Tabel 2.3 Kebutuhan maintenance normal (Morgan, 2013)

Berat Badan Jumlah


10 kg pertama 4 mL/kg/jam
10 kg kedua + 2 mL/kg/jam
Tiap kg di atas 20 kg + 1 mL/kg/jam

Wajibnya puasa sebelum operasi menimbulkan defisit cairan sesuai durasi


puasa. Defisit dapat ditentukan dan diganti dengan cara kebutuhan cairan
maintenance dikalikan dengan lama puasa dalam satuan jam. Perdarahan
preoperatif, muntah, dan diare menjadi kontributor penting defisit cairan pre
operatif, Peningkatan insensible water loss akibat hiperventilasi, demam, dan
keringat juga harusdiperhatikan (Morgan, 2013).

2.2.4 Kehilangan Cairan saat Pembedahan


Metode terpopuler untuk memperkirakan kehilangan darah adalah
pengukuran darah dalam wadah (misalnya wadah suction) dan perkiraan dari kasa
yang menyerap darah.Kasa kecil dapat menyerap ±10 cc, kasa besar dapat

17
menyerap ±75 cc.Akurasibisa lebih tinggi apabila kasa ditimbang sebelum dan
sesudah digunakan. Tetapi perhitungan ini dipengaruhi juga oleh cairan irigasi
maupun cairan keluar seperti ascites danair ketuban (Morgan, 2013).Pemilihan
tipe cairan intravena tergantung prosedur pembedahan dan estimasi
perdarahan.Untuk semua prosedur, cairan ringer laktat biasa digunakan termasuk
untuk kebutuhan pemeliharaan (Morgan, 2013).
Kehilangan darah dapat diganti dengan kristaloid atau koloid untuk
mempertahankan volume intravaskuler (normovolemia). Perdarahan lebih lanjut
dapat diganti dengan transfusi PRC untuk mempertahankan kadar hemoglobin.

Gambar 2.4 Estimasi Volume Darah (Morgan, 2013)

Cairan kristaloid untuk mengganti perdarahan diberikan 3-4 kali lipat


volume perdarahan, sedangkan koloid diberikan dengan rasio 1:1 sampai titik
transfusi dicapai. Pasien dengan hematokrit atau hemoglobin normal ditransfusi
setelah kehilangan lebih dari 10-20% volume darah mereka atau yang disebut
allowed blood loss. Perhitungan ABL tersebut adalah sebagai berikut
(Subramaniam, 2008).
ABL = (∆Hb/Hb Aktual) x EBV
 EBV: Estimated Blood Volume, yaitu perkiraan jumlah darah pada tubuh
seseorang, seperti yang dijelaskan pada Gambar 2.4, atau bisa dihitung
dengan perkalian berat badan dengan konstanta (pada pria
konstantanya 70, dan pada wanita 65)
 ∆Hb: Hb aktual – Hb target
Untuk panduan transfusi,1 pak sel darah merah dianggap meningkatkan
hemoglobin 1g/dL dan hematokrit 2-3% pada dewasa, dan transfusi PRC 10mL/kg
meningkatkan konsentrasi hemoglobin 3g/dL dan hematokrit 10% (Arya et al.,
2011).

18
2.2.5 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anestesi
 Mengontrol nyeri post operasi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestesi
 Mengurangi mual muntah pasca operasi
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi resiko aspirasi isi lambung (Morgan, 2013)

2.2.6 Persiapan di Kamar Operasi


Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
Persiapan sirkuit anestesi
 Mesin anestesi, cek dahulu sebelumnya untuk memastikan instalasi
O2 dan N2O
 Alat-alat yang dibutuhkan yaitu laryngoscope, nasofaring tube,
orofaring tube, endotrakeal tube, cuff, stylet, spuit untuk
mengembangkan ET dan jelly, pleter untuk fiksasi ET, stetoskop,
suction. Hal ini dipermudah dengan singkatan STATICS
 Obat-obat anesthesia, yaitu premedikasi, sedasi, induksi, muscle
relaxan, analgetik, dan obat-obatan emergensi (SA, ephedrine,
adrenalin, aminophylin, antidotum MR, dan opioid)
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
 Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter”
 Kartu catatan medic anestesia
 Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
 Cairan dan transfuse darah sesuai keperluan (Sharma et al, 2013)

19
S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah
saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan
napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
Tabel 2.6 Komponen STATICS

20
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

Nama : An. MA

Usia/Jenis Kelamin : 9 tahun

Berat Badan/Tinggi Badan : 25 kg/145 cm

Alamat : Sumbermanjing wetan, kab. Malang.

Pekerjaan : Pelajar (Sekolah dasar)

No. RM : 11466xxx

3.2 Primary Survey

Airway : Airway paten, napas spontan, gargling(-), snoring(-), stridor(-)


Breathing : Gerak dada simetris, retraksi dinding dada (-), rhonki (-), wheezing
(-)
Circulation : Akral hangat kering merah (AHKM), CRT<2 detik, nadi regular
85x/menit kuat angkat
Disability : Alert (AVPU)
Exposure : Bengkak (+) pada kepala regio temporal bagian kanan.
Persiapan Pre Operasi

3.3 Secondary Survei

3.3.1 Anamnesis

Allergy : tidak ada alergi

Medication :-

Past Medical History : Prenatal : Hamil cukup bulan, keluhan (-), ANC di bidan
(+)

Natal : Lahir SC atas indikasi pinggul sempit, lahir


langsung menangis (+)

21
Post natal : Pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia

Last Oral Intake : Makan terakhir 12 – 11 – 2019 pukul 18.00

Minum terakhir 12 – 11 -- 2019 pukul 23.30

Event of Injury : Datang dengan keluhan pusing (+) semakin lama semakin
memberat, muntah menyemprot (+) lebih dari 6x dalam 1
hari dan muntah menyemprot, pingsan (-). Rhinorrhea (-),
Othorre (-). Mengantuk (+) Pasien 1 hari sebelum MRS
sempat terjatuh saat bermain bola dengan posisi kepala
sebagai tumpuan.

3.3.2 Pemeriksaan Fisik

B1 : : Airway paten, nafas spontan, regular, simetris, RR 24x/mnt, Ves


+/+, saturasi oksigen 98% room air, pernafasan cuping hidung (-),
snoring (-), stidor (-), gargling (-), suara nafas vesikuler, rhonki (-),
wheezing (-), BM 3 jari, Mallampati 2

B2 : Akral hangat kering merah, Nadi radialis reguler kuat angkat 98 x/m,
CRT <2’’ , TD: 110/60 Cor/ ictus palpable at MCL S ICS 5, S1-S2
tunggal murmur – Gallop –

B3 : Compos mentis, GCS 456, PBI 3mm/3mm, reflek cahaya +/+

B4 : BAK (+) spontan

B5 : Flat, sufel, BU(+)N.

B6 : Nyeri (-), krepitasi (-), mobilitas (-), Bengkak pada kepala regio
temporal kanan (+), krepitasi (-), anemis (-), cyanosis (-), ikterik (-)

3.4 Foto Klinis

22
3.5 Pemeriksaan Penunjang

3.5.1 Laboratorium (13/11/2019):

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


Pemeriksaan

Hemoglobin 13.9 g/dL 13,4-17,7

Leukosit 10.4 103/µL 4,3-10,3

Hematokrit 40.9 % 40-47

Trombosit 314.000 103/µL 142-424

PT 11.30 (11,1) Detik 9,4-11,3

APTT 30.20 (25,9) Detik 24,6-30,6

INR 1,09 <1,5

Natrium 136 mmol/L 136-145

Kalium 3,60 mmol/L 3,5-5

Clorida 105 mmol/L 98-106

23
3.5.2 Pemeriksaan Radiologi

CT Scan : - EDH multifocal pada regio temporal kanan dengan volume 32 cc


- Edema cerebri dengan herniasi subfalcine ke kiri sejauh 7 mm
- Fraktur os temporal (D)

3.6 Assestment

ASA 4E + CKR 456 + Epidural Hematoma temporal dextra volume 32 cc +


Midline shift ke kiri 7 mm + Edema cerebri

3.7 Tatalaksana Pre Operatif

3.7.1 Di IGD

o Surat persetujuan tindakan operasi dan surat persetujuan tindakan


anestesi.
Surat persetujuan tindakan operasi dan surat persetujuan tindakan anestesi.

Terapi dari TS Bedah :

• Head of bed elevation 30◦

• O2 10lpm NRBM

24
• IVFD NS 1500cc/24jam

• Inj Ketorolac 3 x 30mg

• Inj Metoclopramid 3 x 10mg

• Inj. Asam tranexamat 3 x 500mg

3.7.2 Di Kamar Operasi


1. Scope → stetoskop, laringoskop
2. Tubes → ETT (cuffed) kink
3. Airway → orotracheal airway
4. Tape → plester untuk fiksasi
5. Introducer → untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
6. Connector → penyambung antara pipa dan ventilator
7. Suction → memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
8. Peralatan monitor :tekanan darah, nadi, oksimetri berdenyut, dan EKG.
9. Peralatan resusitasi dan obat-obatan emergensi : sulfas-atropin, lidokain,
adrenalin, efedrin.
3.7.3 Induksi di Kamar Operasi
• Induksi :

• Analgetic : inj Fentanyl 100 mcg

• Induksi : inj Propofol 80 mg

• Muscle relaxant : Inj Vecuronium 4 mg

• Blunting reflex : Inj Lidocaine 60 mg

3.8 Durante Operatif

3.8.1 Laporan Anestesi Durante Operatif

 Pasien naik OK jam 20.00


 Mulai induksi pukul 20.30
 Lama anestesi : 3 jam
 Lama operasi : 2 jam
 Jenis anestesi : General Anestesia
 Teknik anestesi :GA intubasi sleep apneu ETT
 Posisi : Supine

25
 Infus : 1 line di tangan kanan, tangan kiri terpasang plug
1 line terpasang CVC pada V. Femoralis dextra.

 Obat – obatan yang di berikan :


1. Induksi
o Analgetic : inj Fentanyl 100 mcg

o Induksi : inj Propofol 80 mg

o Muscle relaxant : Inj Vecuronium 4 mg

o Blunting reflex : Inj Lidocaine 60 mg

2. Maintenance :
• Sefoflurane 1 dial

• Tindakan operasi yang dilakukan adalah : Trepanasi Dekompresi


Evakuasi (TDE) pada EDH

• Obat-obatan lain :

• Dexamethason inj 1 mg

• Kalnex (Asam Traneksamat) inj 500 mg

3.8.2 Pemberian Cairan

 Cairan masuk :
 Pre operatif : kristaloid 500 cc
Koloid 0 cc

 Durante operatif : kristaloid 800 cc


Koloid 0 cc
Darah 200 cc

 Cairan keluar :
 Pre operatif : urin ± 20 cc
 Durante operatif : urin ± 200 cc (BAK on cath)
perdarahan ± 250 cc

 EBV = 70 x 25 kg = 1750 cc
 ABL = 13,90 – 8 x 1750 = 740 cc
13,90

 M+O = 65 cc + (25 x 4 ) : 495 cc

26
 Balance cairan : - 15 cc

3.8 Post Op
3.9.1 Monitoring post Op:

B1 : : Airway paten, nafas spontan, regular, simetris, RR 22x/mnt,


saturasi oksigen 99%, pernafasan cuping hidung (-), snoring (-),
stidor (-), gargling (-), suara nafas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)

B2 : Akral hangat kering merah, Nadi radialis reguler kuat angkat 78 x/m,
CRT <2’’ , TD: 100/60 Cor/ ictus palpable at MCL S ICS 5, S1-S2
tunggal murmur – Gallop –

B3 : Compos mentis, GCS 456, PBI 3mm/3mm, reflek cahaya +/+

B4 : BAK (+) on catheter

27
B5 : Flat, sufel, BU(+)N.

B6 : Nyeri (-), krepitasi (-), mobilitas (-), Bengkak pada kepala regio
frontal kanan (+), krepitasi (-), anemis (-), cyanosis (-), ikterik (-)

3.9.2 Intruksi Pasca Bedah :

a. Posisi : Supine
b. Cairan dan Tranfusi : IVFD Nacl 0.9% : RL 2 : 1 65 ml/jam
c. Antibiotik : Sesuai TS Bedah
d. Obat-Obatan lain : Syringe Fentanyl 12.5 mikro gram/jam
e.
f. Bila Mual/Muntah : Mual : Head up , Inj Ondansetron 4 mg
Muntah : Head down, kepala miringkan
g. Bila kesakitan : skala nyeri > Hubungi PPDS Anestesi
h. Makan/ Minum : Mulai bila sadar penuh, peristaltik baik dan
fungsi menelan baik.
i. Cek DL, SE GDS, dan albumin post operasi
j. Pindah ruangan apabila Aldrette score > 8 dan tidak ada nilai 0

28
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada pasien-pasien dengan cedera kapala, berbagai upaya penanganan


harus segera dilakukan, Dengan perhatian jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.
Sejak pasien datang ke ruang gawat darurat pasien segera dipersiapkan evaluasi
trauma menyeluruh, dimulai dengan inspeksi fraktur, evaluasi mekanisme cidera
untuk menilai daya benturan baik pada kranium maupun daerah spinal, imobilisasi
spinal khususnya servikal, dan evaluasi defisit neurologis (Kewon et al., 2013).
Pada pasien ini didapatkan primary survey :

Airway : Airway paten, napas spontan, gargling(-), snoring(-), stridor(-)

Breathing : Gerak dada simetris, retraksi dinding dada (-), rhonki (-),
wheezing (-)

Circulation : Akral hangat kering merah (AHKM), CRT<2 detik, nadi regular
85x/menit kuat angkat

Disability : Alert (AVPU)

Exposure : Bengkak pada kepala regio temporal bagian kanan.

Indikasi tindakan bedah pada perdarahan epidural intrakranial yang


disarankan Bullock dkk tahun 2006 yaitu :
- Volume hematom > 30 ml
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
- Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depresi dengan
kedalaman >1 cm
- Ketebalan hematom lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah
dengan GCS 8 atau kurang
- Terdapat tanda-tanda neurologis lokal dan peningkatan TIK > 25
mmHg
- Muntah-muntah lebih dari 2 episodik

29
BAB 5

KESIMPULAN

Pasien adalah seorang anak laki-laki usia 9 tahun yang datang dengan
keluhan pusing (+) yang semakin lama semakin membera, muntah menyemprot
(+) lebih dari 6x dalam 1 hari, pingsan (-). Rhinorrhea (-), Othorre (-) Mengantuk
(+). Pasien 1 hari sebelum MRS sempat terjatuh saat bermain bola dengan posisi
kepala sebagai tumpuan.

Manajemen pasien dengan trauma kepala harus dilakukan secara cepat


dan tepat, dikarenakan mempengaruhi prognosis pasien. Pada pasien ini telah
dilakukan primary survey untuk menilai kondisi awal pasien, yang meliputi airway,
breathing, sirkulasi, disability, dan exposure. Setelah itu dilakukan evaluasi
mekanisme cidera untuk menilai daya benturan baik pada kranium maupun daerah
spinal, imobilisasi spinal khususnya servikal, dan evaluasi defisit neurologis.

Hasil pemeriksaan penunjang CT Scan, menunjukkan gambaran


- EDH multifocal pada regio temporal kanan dengan volume > 30 cc
- Edema cerebri dengan herniasi subfalcine ke kiri sejauh 7 mm
Selain pemeriksaan penunjang dari anamnesis juga didapatkan keluhan pusing
dengan keluhan progresif semakin lama semakin memberat, serta pasien dalam
1 hari muntah sampai 6x dengan muntah menyemprot. Sehingga merupakan
indikasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Salinas P. Closed head trauma. In: Penar PL, Talavera F editors.


Traumatic brain injury. May 2006. Available from: URL:
http://www.emedicine.com/med/topic3403.htm

2. Liebeskind David, Lutsep Helmi, Epidural Hematom in Emergency


Medicine www. emedicine.medscape.com/article/824029-overview : 2016

3. Prawirohardjo P, patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial pada


cedera otak traumatik. Dalam buku Neurotrauma. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2015;1-2

4. Netter, F. H., Craig, J. A., Perkins, J., Hansen, J. T., & Koeppen, B. M.
(n.d.). Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology Special Edition:Arteries to
Brains and Meningens, NJ : 2012

5. Ganz, Jeremy, The lucid interval associated with epidural bleeding:


evolving understanding, page 739–745, United Kingdom: 2013

6. Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural


Hematoma: Is It Safe and Is It Cost-Effective?, page 115–116, Indianapolis: 2011

7. Abelsen Nadine, Mitchell, Neurotrauma: Managing Patients with Head


Injuries, A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA:2013

8. Lee Kewon, NeuroICU book Neurocritical Care Disease Section :


Neurotrauma, The McGraw-Hill Companies, Inc, USA : 2012

9. Jeffrey L. Apfelbaum, 2012. Practice Advisory for Preanesthesia


Evaluation. Anesthesiology, 116(3), pp.522–38.

10. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2013. Clinical Anesthesiology.


4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

11. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2013. Clinical Anesthesiology.


th
4 Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

12. Arya RC, Wander G, Gupta P. 2011. Blood component therapy: Which,
when and how much. Journal of Anaesthesiology, Clinical Pharmacology, 27(2),
278–284.

13. Rosyidi, R. M., Priyanto, B., Al Fauzi, A., & Sutiono, A. B. (2019).
Toward zero mortality in acute epidural hematoma: A review in 268 cases problems
and challenges in the developing country. Interdisciplinary Neurosurgery:
Advanced Techniques and Case Management, 17(November 2018), 12–18.
https://doi.org/10.1016/j.inat.2019.01.021

31
32

Anda mungkin juga menyukai