Anda di halaman 1dari 38

DEPARTEMEN RADIOLOGI REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN

EPIDURAL HEMATOMA (EDH),SUBDURAL HEMATOMA (SDH),DAN


SUBARACHNOID HEMATOMA (SAH)

Oleh :

Nanda Nofrima

09401711001

Pembimbing :

dr.Jastia ,Sp.Rad, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

TERNATE

2021
BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala yang bukan bersifat kongenital
ataupun degenerative, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar. 1
Dari semua jenis cedera, cedera kepala adalah yang paling mungkin mengakibatkan
kematian atau cacat. Pasien dengan cedera kepala memiliki satu jenis perdarahan
intrakranial. Perdarahan intrakrnial diklasifikasikan menurut lokasi perdarahannya
menjadi Epidural Haemorrhage (EDH),Subdural Haemorrhage (SDH), dan
Subarachnoid Haemorrhage (SAH).1 Secara global insiden cedera kepala meningkat
dengan tajam terutama karena peningkatan penggunaan kendaraan bermotor.
Indonesia sendiri angka kecelakaan lalu lintas masih cukup tinggi. Pada tahun 2003
kasus cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas sebanyak 13.399.2

Perdarahan Epidural hematoma (EDH) mempunyai insiden sebanyak 1,5% dari


11.000 penderita cedera kepala yang berobat ke Rumah sakit. 3 Perdarahan
subdural hematoma telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan cedera
kepala berat,4 sedangkan Perdarahan Subarachnoid merupakan masalah kesehatan
dunia dengan tingkat kematian dan tingkat kecatatatan permanen yang tinggi.
Kejadian SAH bervariasi dari 26% hingga 53% pada pasien cedera kepala.5s
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.Anatomi Meningen Otak

a.Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu


lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut  Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan
permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).

b. Arachnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam
dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini
dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari pia mater oleh  spatium  subarakhnoid yang terisi
oleh liquor serebrospinalis Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.

c.Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks
serebri.Piamater adalah membrana vaskular yang dengan erat
membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang
paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh piamater.

2. Epidural Hematoma (EDH)

a. Definsi EDH

Epidural Hematoma adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena fraktur


tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan
duramater.Biasanya sumber perdarahannya adalah arteri meningica media
(paling sering), vena diploica (oleh karena adanya fraktur calvaria), vena
emmisaria, dan sinus venosus duralis. Pada keadaan yang normal,sebenarnya
tidak ada ruang epidural,perdarahan biasanya terjadi pada fraktur tengkorak
bagian temporal dan parietal yang mana mengakibatkan laserasi pada arteri atau
vena meningea media. Pada kasus yang jarang,pembuluh darah ini dapat robek
tanpa adanya fraktur. Keadaan ini mengakibatkan terpisahnya perlekatan antara
duramater dengan cranium dan menimbulkan ruang epidural. Perdarahan yang
berlanjut akan memaksa duramater untuk terpisah lebih lanjut, dan
menyebabkan hematoma menjadi massa yang mengisi ruang.6

b. Etiologi EDH

Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa
saja, beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom
adalah misalnya benturan pada kepala pada kecelakaan motor.
Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya
berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh
darah.6

c. Faktor Resiko EDH

 alkoholisme kronis

 epilepsi
koagulopati

 kista arachnoid

 Terapi antikoagulan (termasuk aspirin) Penyakit kardiovaskular


(misalnya, hipertensi, arteriosclerosis).
 Trombositopenia

 Diabetes Melitus7

d. Patofisiologi EDH
Cedera disebabkan oleh laserasi arteri meningea media atau sinus dura,
dengan atau tanpa disertai fraktur tengkorak. Perdarahan dari EDH dapat
menyebabkan kompresi, pergeseran, dan peningkatan tekanan intrakranial
(TIK).Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan duramater.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang
arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang
tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital. Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak
melalui foramen spinosum melalui durameter dan tulang di permukaan dan os
temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan EDH, desakan oleh
hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar Hematoma yang membesar di daerah temporal
menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam.
Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah
pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.7
Tekanan dari herniasi pada sirkulasi arteria yang mengatur formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat
ini terdapat nuklei saraf cranial ketiga (oculomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
Babinsky positif.7
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang
besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intrakranial antara lain
gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.

Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif
memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan
disebut lucid interval. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer
yang ringan pada EDH. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya
hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak
terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak
pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan :

 Arteri meningea media ( lucid interval : 2 – 3 jam )

 Sinus duramatis

 Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi


a.diploica dan v.diploica

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah


saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada
sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah
herniasi trans dan infra tentorial. Karena itu setiap penderita dengan trauma
kepala yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif
memberat, harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.6

e. Manifestasi Klinis EDH


Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematoma adalah kesadaran
menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali
tampak memar disekitar mata dan dibelakang telinga. Sering juga tampak
cairan yang keluar pada saluran hidung dan telinga. Setiap orang memiliki
kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Gejala
yang sering tampak yaitu :

 Penurunan kesadaran
 Bingung
 Penglihatan kabur
 Susah bicara
 Nyeri kepala
 Keluar cairan dari hidung dan telinga
 Mual muntah
 Pusing
 Berkeringat
 Pucat
 Pupil anisokor,pupil ipsilateral menjadi lebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese
atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif.
Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan
darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma
dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua
pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya
disfungsi rostrocaudal batang otak. Jika Epidural hematom di sertai dengan
cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan
gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.7

f. Diagnosis EDH

1. Anamnesis
 Keluhan Utama
 Mekanisme Trauma
 Waktu dan Perjalanan trauma
 Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
 Keluhan lain seperti: Nyeri kepala,penurunan
kesadaran,kejang,vertigo
 Riwayat mabuk,alkohol,narkotika,pasca operasi kepala
 Penyakit Penyerta seperti: epilepsi,jantung,asma,riwayat operasi
kepala,hipertensi dan diabetes mellitus,serta gangguan faal
pembekuan darah.8

2. Pemeriksaan Fisik

a. Primary Survey

 Airway
 Breathing
 Circulation
 Disability
 Exposure

b. Pemeriksaan Kepala
 Jejas di kepala meliputi : hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka,
luka tembus dan benda asing.
 Tanda patah dasar tengkorak, meliputi : ekimosis periorbita (brill
hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe
serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.
 Tanda patah tulang wajah meliputi :fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima
orbita dan fraktur mandibula.
 Tanda trauma pada mata meliputi :perdarahan konjungtiva, perdarahan
bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.
 Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis.8

c. Pemeriksaan Neurologi

Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS).


Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC. GCS
diklasifikasikan sebagai berikut :
 GCS 14 – 15 : Cedera Otak Ringan (COR)
 GCS 9 – 13 : Cedera Otak Sedang (COS)
 GCS 3 – 8 : Cedera Otak Berat (COB)8

g. Pemeriksaan Penunjang EDH

 Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan


potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian
saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk
bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang
homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi
kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma,
Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan
adanya peregangan dari pembuluh darah.

 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang


menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan
duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang
terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih
untuk menegakkan diagnosis

h. Tatalaksana EDH
1. Penanganan Darurat
 Dekompresi dengan trepanasi sederhana
 Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom8

2. Terapi Medikamentosa
 Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan
tidak ada cedera spinal atau gunakan posisi trendelenburg
terbalik untuk mengurang tekanan intracranial dan
meningkakan drainase vena.9
 Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala
adalah golongan dexametason (dengan dosis awal 10 mg
kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol 20%
(dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi
edema cerebri yang terjadi. Akan tetapi,hal ini masih
kontroversi dalam memilih mana yang terbaik.Dianjurkan
untuk meberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini
mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya
focus epileptogenic dan untuk penggunaan jangka panjang
dapat dilanjutkan dengan karbamazepin Tri
hidroksimetilmino-metana (THAM) yang merupakan suatu
buffer yang dapat masuk ke susunan saraf pusat dan secara
teoritis lebih superior dari natrium bikarbonat,dalam hal ini
untuk mengurangi tekanan intrakranial.Barbiturat dapat
dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi
dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari anoksia
dan iskemik dosis yang biasa diterapkan adalah diawali
dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian
dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1
mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar 
serum 3-4mg%.10

3. Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
 Volume hematom > 30 ml ( kepustakaan lain >
44 ml)
 Keadaan pasien memburuk 
 Pendorongan garis tengah > 3 mm11
i. Komplikasi EDH
 Kelainan neurologik (deficit neurologis) berupa sindrom geger otak
dapat terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa bulan
 Kondisi yang kacau baik fisik maupun mental
 Kematian12

j. Prognosis EDH

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural


biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat
dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan
pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buru buruk pada pasien yang
mengalami koma sebelum operasi.Prognosis epidural hematoma
biasanya baik.Mortalitas pasien dengan epidural hematoma yang
telah dievakuasi mulai dari 16%-32%. Seperti trauma hematoma
intrakranial yang lain, biasanya mortalitas sejalan dengan umur
dari pasien. Resiko terjadinya epilepsi post trauma pada pasien
epidural hematoma diperkirakan sekitar 2%.13
3. Subdural Hematoma (SDH)

a. Definisi SDH

Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan


arachnoid, biasanya sering di daerah frontal, parietal, dan temporal. Pada
subdural hematoma yang menjadi sumber perdarahan berasal dari vena
jembatan atau bridging vein (paling sering), terutama yang terletak dekat
dengan sinus sagittal superior. Perdarahan dapat dapat terjadi akibat dari
akselerasi dan deselerasi pada kepala,baik disebabkan oleh direct
impact/trauma maupun non impact.6
b. Etiologi SDH

Subdural Hematoma disebabkan karena trauma kepala hebat, seperti


perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural. Pergeseran otak pada akselerasi dan deakselerasi yang
bisa menarik dan memutuskan vena-vena.Pada waktu akselerasi
berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak
dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah dampak
primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan bersifat
linear.Maka dari itu lesi-lesi yang bisa terjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi
kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak
tidak terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ
terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup”.6
c. Faktor resiko SDH

 alkoholisme kronis

 epilepsi
koagulopati

 kista arachnoid

 Terapi antikoagulan (termasuk aspirin) Penyakit kardiovaskular


(misalnya, hipertensi, arteriosclerosis).

 Trombositopenia

 Diabetes Melitus14

d.Manifestasi Klinis EDH


Gejala yang sangat menonjol pada subdural hematom adalah
kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini
seringkali tampak memardisekitar mata dan dibelakang telinga. Sering
juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung dan telingah. Setiap
orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari
cedera kepala. Berdasarkan waktu perkembangan lesi ini hingga
memberikan gejala klinis, dibedakan atas:
 Akut, gejala timbul dalam 3 hari pertama setelah cedera. Pada gambaran
CT Scan, terdapat daerah hiperdens berbentuk bulan sabit. Jika penderita
anemis berat atau terdapat CSS yang mengencerkan darah di subdural,
gambaran tersebut bisa isodens atau bahkan hipodens.
 Subakut, gejala timbul antara hari ke-4 sampai ke-20. Gambaran CT
Scan berupa campuran hiper, iso, hipodens.
 Kronis, jika gejala timbul setelah 3 minggu. Sering timbul
pada usia lanjut, dimana terdapat atrofi otak sehingga jarak
permukaan korteks dan sinus vena semakin jauh dan rentan
terhadap goncangan.7

e.
Patofisiologi
SDH

Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral


dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai
dengan distribusi “bridging veins” . Karena perdarahan subdural
sering disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang
terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya
berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari
hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan
terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap
meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul
lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas
hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi
timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural
yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).Kondisi-
kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga
mekanisme.6

f. Diagnosis
SDH
1. Anamnesis

 Keluhan Utama
 Mekanisme Trauma
 Waktu dan Perjalanan trauma
 Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
 Keluhan lain seperti: Nyeri kepala,penurunan kesadaran,kejang,vertigo
 Riwayat mabuk,alkohol,narkotika,pasca operasi kepala
 Penyakit Penyerta seperti: epilepsi,jantung,asma,riwayat operasi
kepala,hipertensi dan diabetes mellitus,serta gangguan faal pembekuan
darah.8

2. Pemeriksaan Fisik

a. Primary Survey

 Airway
 Breathing
 Circulation
 Disability
 Exposure

b. Pemeriksaan Kepala

 Jejas di kepala meliputi : hematoma sub kutan, sub galeal, luka


terbuka, luka tembus dan benda asing.
 Tanda patah dasar tengkorak, meliputi : ekimosis periorbita (brill
hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan
otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis
auditorius.
 Tanda patah tulang wajah meliputi :fraktur maxilla (Lefort), fraktur
rima orbita dan fraktur mandibula.
 Tanda trauma pada mata meliputi :perdarahan konjungtiva,
perdarahan bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.
 Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis8
c. Pemeriksaan Neurologi
Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS).
Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC.
GCS diklasifikasikan sebagai berikut :
 GCS 14 – 15 : Cedera Otak Ringan (COR)
 GCS 9 – 13 : Cedera Otak Sedang (COS)
 GCS 3 – 8 : Cedera Otak Berat (COB)8

g. Pemeriksaan Penunjang SDH

 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi pemeriksaan
darah rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
 Foto Tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk
memperkirakan adanya SDH. Fraktur tengkorak sering
dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya
perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang
konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan
fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.
 CT- Scan
Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non
kontras) tampak sebagai suatu massa hiperdens (putih)
ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian
dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat
pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam
jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium
serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung dan
terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali, subdural
hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan
biasanya unilateral.15

 Magnetic Resonance imaging


Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk
mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-
scan mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk
mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-
scan ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru
dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan
kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan trauma
yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI
lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan,
kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat membantu
mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena
pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.15
h.Komplikasi SDH
Kerusakan otak yang terjadi akibat kerusakan otak primer,
termasuk kerusakan otak oleh hipoksia,
iskemia,pembengkakan otak dan TTIK, serta hidrosefalus dan
infeksi.
i. Prognosis

Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal. Pada beberapa


kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat
menyebabkan kompresi pada otak, sehingga hanya
menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada beberapa kasus
yang lain, memerlukan tindakan operatif segera untuk
dekompresi otak.

Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik


memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90 % kasus
pada umumnya akan sembuh total. Hematoma subdural yang
disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas
menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50
%Pada penderita dengan perdarahan subdural akut yang
sedikit (diameter 1 cm), prognosanya baik. Sebuah penelitian
menemukan bahwa 78% dari penderita perdarahan subdural
kronik yang dioperasi (burr-hole evacuation) mempunyai
prognosa baik dan mendapatkan penyembuhan sempurna.
Perdarahan subdural akut yang sederhana (simple SDH) ini
mempunyai angka mortalitas lebih kurang 20%.

Perdarahan subdural akut yang kompleks (complicated SDH)


biasanya mengenai parenkim otak , misalnya kontusio atau
laserasi dari serebral hemisfer disertai dengan volume
hematoma yang banyak. Pada penderita ini mortalitas
melebihi 50% dan biasanya berhubungan dengan volume
subdural hematoma dan jauhnya midline shift. Akan tetapi, hal
yang paling penting untuk meramalkan prognosa ialah ada
atau tidaknya kontusio parenkim otak.

Angka mortalitas pada penderita dengan perdarahan subdural


yang luas dan menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap
jaringan otak, menjadi lebih kecil apabila dilakukan operasi
dalam waktu 4 jam setelah kejadian. Walaupun demikian bila
dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian tidaklah
selalu berakhir dengan kematian.

Pada kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan kerusakan


parenkim otak merupakan faktor yang lebih menentukan
prognosa akhir (outcome) daripada tumpukan hematoma
ekstra axial di ruang subdural.15
4. Subarachnoid hematoma (SAH)

a. Definisi SAH

Subarachnoid hematoma (SAH) merupakan pendarahan yang terjadi


pada selaput otak di bagian ruang subarachnoid. Perdarahan terjadi
akibat trauma kepala. Sumber perdarahannya akibat dari non-
traumatik paling sering terjadi pada aneurisma atau malformasi arteri
vena di otak yang pecah.16

b. Etiologi SAH

Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid


adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya
malformasi arteriovenosa (MAV). Terdapat beberapa jenis
aneurisma yang dapat terbentuk di arteri otak seperti :
 Aneurisma sakuler (berry)

Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi


tersering aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior
(40%), bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding
lateral arteri karotis interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika
atau arteri komunikans posterior 30%), dan basilar tip (10%).
Aneurisma dapat menimbulkan deficit neurologis dengan menekan
struktur disekitarnya bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma
pada arteri komunikans posterior dapat menekan nervus
okulomotorius, menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien
mengalami dipopia).17

 Aneurisma Fusiformis

Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk memanjang


disebut aneurisma fusiformis. Aneurisme tesebut umumnya
tejadi pada segmen intrakranial arteri karotis interna, trunkus
utama arteri serebri media,dan arteri basiliaris. Aneurisma
fusiformis dapat disebabkan oleh aterosklerosis dan hipertensi.
Aneurisma fusiformis yang besar pada pada arteri basilaris dapat
menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalam aneurisma
fusiformis dapat mempercepat pembentukan bekuan
intraaneurisma teutama pada sisi-sisinya. Aneurisma ini
biasanya tidak dapat ditangani secara pebedahan saraf, karena
merupakan pembesaran pembuluh darah normal yang
memanjang, dibandingkan struktur patologis (seperti aneurisma
sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah
serebral.18

 Aneurisma mikotik

Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak.


Terapinya terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan
hal ini biasa disebabkan oleh infeksi. Aneurisma mikotik kadang-
kadang mengalami regresi spontan; struktur ini jarang menyebabkan
perdarahan subarachnoid.18

Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly vasuler yang terdiri


dari jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena
terhubungkan oleh satu atau lebih fistula. Pada MAV arteri
berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui kapiler yang
menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat
menampung tekanan darah yang datang langsung dari arteri,
akibatnya vena akan merenggang dan melebar karena langsung
menerima aliran darah tambahan yangberasal dari arteri. Pembuluh
darah yang lemah nantinya akan mengalami ruptur dan berdarah
sama halnya seperti yang terjadi pada aneurisma. MAV
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV
yang didapat terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau
kraniotomi.19

c. Faktor Resiko

Faktor resiko SAH dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang dapat
dimodifikasi dan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor
resiko yang dapat dimodifikasi antara lain hipertensi, kebiasaan merokok,
konsumsi alkohol, diabetes melitus berkaitan dengan SAH tipe
perimesensefalik, dan penggunaan obat simpatomimetik.Faktor risiko
SAH yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia (terbanyak pada usia
40-60 tahun), jenis kelamin (wanita>pria), riwayat aneurisma sebelumnya,
riwayat keluarga pada kerabat tingkat pertama (meningkatkan risiko 3-4
kali lipat), penyakit genetik (autosomal dominant polycystic kidney
diasease, type IV Ehlers-Danlos syndrome).20

d. Patofisiologi SAH

Mekanisme patofisiologi SAH melibatkan early brain injury (EBI) dan


delayed cerebral ischemia (DCI) termasuk vasospasme serebral.
Pembentukan aneurisma terjadi dengan lesi vaskuler awal setelah
interaksi faktor biologis, fisik, dan eksternal tertentu. Gaya tangensial
(shear stress) pada dinding pembuluh darah akibat aliran darah
menyebabkan aneurisma atau dilatasi dan degenerasi dinding pembuluh
darah. Endotelium merupakan struktur yang pertama kali mengalami
kerusakan. Struktur ini berperan dalam sensitivitas perubahan tekanan
dinding vaskuler dan menyesuaikan diameter lumen sesuai dengan
tingkat shear stress untuk mempertahankan fisiologi dan menentukan
keseluruhan proses remodeling. Inflamasi memainkan peran penting
pada pembentukan dan pecahnya aneurisma. Aktivasi proinflamasi
terjadi selama remodeling vaskular pada daerah dengan shear stress yang
tinggi. Aktivasi proinflamasi termasuk aktivasi endotel menginduksi
sintesis nitrit oksida (NO) dan down-regulasi endothelial constitutional
equivalent (eNOS), induksi matrix metalloproteinases (MMP) seperti
MMP-2, MMP-9, dan sitokin proinflamasi lain seperti interleukin (IL)-
10, IL-1β, IL-6, tumor necrosis factor (TNF)-α serta kaskade
komplemen dan koagulasi. Sistem komplemen berkaitan dengan
aneurisma intrakranial dan degenerasi dinding pembuluh darah.21

e. Manifestasi Klinis SAH

Gejala awal yang umum dan merupakan ciri khas gejala SAH aneurisma,
yaitu “the worst headache of my life”. Nyeri kepala parah yang biasanya
muncul mendadak dan mencapai intensitas maksimum dalam hitungan
detik atau menit (thunderclap headache).5,78 Sekitar 10-40% pasien,
didahului oleh nyeri kepala “sentinel” 2-8 minggu sebelum perdarahan
subaraknoid yang nyata.Perdarahan biasanya terjadi selama masa stress
fisik atau psikologis, namun lebih sering terjadi selama aktivitas sehari-
hari.
Gejala lain yang mungkin muncul, yaitu penurunan kesadaran, mual
dan/ atau muntah, fotofobia, defisit neurologis fokal atau kejang, retinal
hemorrhage.22

f. Diagnosis SDH

1. Anamnesis
 Keluhan Utama
 Mekanisme Trauma
 Waktu dan Perjalanan trauma
 Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
 Keluhan lain seperti: Nyeri kepala,penurunan
kesadaran,kejang,vertigo
 Riwayat mabuk,alkohol,narkotika,pasca operasi kepala
 Penyakit Penyerta seperti: epilepsi,jantung,asma,riwayat operasi
kepala,hipertensi dan diabetes mellitus,serta gangguan faal
pembekuan darah.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Primary Survey

 Airway
 Breathing
 Circulation
 Disability
 Exposure

b. Pemeriksaan Kepala

 Jejas di kepala meliputi : hematoma sub kutan, sub galeal, luka


terbuka, luka tembus dan benda asing.
 Tanda patah dasar tengkorak, meliputi : ekimosis periorbita (brill
hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan
otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis
auditorius.
 Tanda patah tulang wajah meliputi :fraktur maxilla (Lefort), fraktur
rima orbita dan fraktur mandibula.
 Tanda trauma pada mata meliputi :perdarahan konjungtiva,
perdarahan bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.
 Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis8

c. Pemeriksaan Neurologi
Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS).
Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC.
GCS diklasifikasikan sebagai berikut :
 GCS 14 – 15 : Cedera Otak Ringan (COR)
 GCS 9 – 13 : Cedera Otak Sedang (COS)
 GCS 3 – 8 : Cedera Otak Berat (COB)8

g. Pemeriksaan Penunjang SAH

1. Pemeriksaan CT-Scan

Kualitas yang bagus dari CT Scan tanpa kontras, akan


mendeteksi Perdarahan Sub Arachnoid pada 95% kasus.
Darah tampak sebagai gambaran dengan densitas tinggi
(putih) pada ruang Subarachnoid. Selain itu, CT Scan juga
menilai:
 Ukuran ventrikel: hidrosefalus terjadi secara akut 21%
dari ruptur aneurisma
 Hematom: perdarahan intracerebral atau jumlah yang
besar dari aliran darah dengan efek massa diperlukan
evakuasi emergensi

Pemeriksaan CT scan berfungsi untuk mengetahui


adanya massa intracranial. Pada pembesaran ventrikel
yang berhubungan dengan darah (densitas tinggi) dalam
ventrikel atau dalam ruang subarachnoid. Computed
Tomography (CT), pada CT dapat dilihat distribusi
darah, sehingga dapat dilihat lokasi aneurisma yang
pecah. CT juga menunjukkan fokal intraparenkim atau
perdarahan subdural, pembesaran ventrikel, aneurisma
besar dan infark akibat vasospasme. Gambaran
perdarahan pada CT scan berupa gambaran hiperdens.24
 Pungsi Lumbal

Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostik


selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat
penting untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan
pungsi lumbal yang mendukung diagnosis perdarahan subarachnoid
adalah adanya eritrosit, peningkatan tekanan saat pembukaan, dan atau
xantokromia. Jumlah eritrosit meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang
dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL. xantokromia
adalah warna kuning yang memperlihatkan adanya degradasi produk
eritrosit, terutama oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal
Angiografi.23

 Digital-substraction cerebral angiography

merupakan baku emas untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CT


angiografi lebih sering digunakan karena non-invasif serta sensitivitas
dan spesifitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh
darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma
multiple. Foto radiologi yang negative harus diulang 7-14 hari setelah
onset pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, MRI
harus dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya malformasi vascular
di otak maupun batang otak.23

h.Tatalaksana

Tatalaksana pada kasus SAH dikelompokkan menjadi tatalaksana umum dan


tatalaksana terkait komplikasi. Tatalaksana umum pada SAH meliputi :

a. Stabilisasi jalan napas (intubasi endotrakeal untuk mencegah aspirasi) dan


pernapasan (O2 2-3 L/menit).
b. Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid), pengendalian tekanan
intrakranial (head up 30°, manitol, furosemide jika diperlukan), mengatasi
keluhan nyeri, gastroprotektor jika diperlukan, manajemen nutrisi serta
istirahat total.

Tatalaksana khusus SAH dikaitkan dengan komplikasi yang timbul, seperti


pencegahan rebleeding, vasospasme, dan kejang serta tatalaksana tambahan
lainnya,seperti:

a. Kontrol dan monitor tekanan darah. Tekanan darah sistolik dipertahankan


sekitar 140-160 mmHg. Anti-hipertensi yang dapat digunakan: nicardipine (5
mg/jam iv maksimal 15 mg/jam), labetalol (40-80 mg iv setiap 10 menit
mulai 20 mg iv, maksimal 300 mg/dosis total, alt 2 mg/menit iv), dan
clevidipine (4-6 mg/jam iv, mulai 1-2 mg/jam iv, maksimal 32 mg/jam).
b. Terapi antifibrinolitik (epsilon- aminocaproic acid: dosis inisial 1 gr iv
kemudian dilanjutkan 1 gr setiap 6 jam hingga anuerisma tertutup atau
disarankan 72 jam)22

i. Komplikasi SAH

Komplikasi SAH dibagi menjadi tiga, yaitu fase akut, fase sub-akut, dan fase
lanjut.

Komplikasi fase akut SAH meliputi:

a. Perdarahan ulang yang umumnya terjadi pada 3 hari pertama setelah


perdarahan awal (perkiraan risiko 9-17% pada jam-jam awal) yang dikaitkan
dengan prognosis buruk dan skala Fisher yang lebih tinggi.

Fase sub akut :


b. Vasospasme merupakan komplikasi paling umum pada perdarahan
subaraknoid. Resiko vasospasme terjadi lebih lambat daripada risiko
perdarahan ulang dan dikaitkan dengan luasnya perdarahan awal.
Oksihemoglobin (hasil proses lisis bekuan darah di ruang subaraknoid)
diduga kontribusi terhadap terjadinya vasospasme. Namun mekanisme efek
vasospasmenya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga melalui
kemampuannya untuk menekan aktivitas kanal K+, meningkatkan masuknya
Ca2+, meningkatkan aktivitas protein kinase C, dan juga Rho kinase.
Fase lanjut :
c. Hidrosefalus kronik merupakan komplikasi lanjut pada perdarahan
subaraknoid yang disebabkan oleh partisi dalam ruang araknoid mencegah
reabsorpsi CSF yang normal dan menyebabkan dilatasi sistem ventrikel. 13
Komplikasi lain yang dapat terjadi pada SAH, yaitu hiponatremia (Na<135
mEq/dl) yang diduga akibat mekanisme cerebral salt wasting (CSW) dan
syndrome of inappropiate secretion of antideuretic hormone (SIADH).
Komplikasi demam pada SAH biasanya merupakan demam noninfeksius
terutama karena adanya perdarahan intraventrikular.24

9.Prognosis SAH
Prognosis SAH bervariasi secara signifikan, dari sembuh sempurna hingga
kecacatan berat atau kematian yang tergantung pada tingkat keparahan
perdarahan awal dan potensi komplikasi yang terjadi dalam 2 minggu
pertama setelah perdarahan. Pasien dengan tingkat kesadaran normal
memiliki risiko kematian yang rendah sedangkan penurunan tingkat
kesadaran memiliki risiko kematian dan kecacatan yang lebih tinggi. Angka
kematian SAH yang tidak ditatalaksana mencapai 65% sedangkan berkurang
hingga 18% pada SAH yang didiagnosis dan ditatalaksana dengan tepat.24
BAB III

KESIMPULAN

Epidural Hematoma adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena fraktur tulang
tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan duramater.Biasanya
sumber perdarahannya adalah arteri meningica media (paling sering), vena diploica
(oleh karena adanya fraktur calvaria), vena emmisaria, dan sinus venosus duralis.
Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan arachnoid,
biasanya sering di daerah frontal, parietal, dan temporal. Pada subdural hematoma
yang menjadi sumber perdarahan berasal dari vena jembatan atau bridging vein
(paling sering), sedangkan Subarachnoid hematoma (SAH) merupakan pendarahan
yang terjadi pada selaput otak di bagian ruang subarachnoid. Perdarahan terjadi
akibat trauma kepala. Sumber perdarahannya akibat dari non-traumatik paling sering
terjadi pada aneurisma atau malformasi arteri vena di otak yang pecah. Penanganan
yang tepat dan adekuat dapat menentukan besarnya hematom dibantu dengan
pemeriksaan penunjang, dan kemudian dilakukan tindakan berupa evakuasi hematom.
Tindakan yang bisa dilakukan dapat beruapkonservatif (medikamentosa) atau berupa
tindakan operatif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Satyanegara. Ilmu Bedah saraf. Edisi IV


2. Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar., Jakarta: Badan Penelitian dan
pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2012.
3. Langlois DA, Brown WR, Thomas KE. Traumatic Brain Injury in the United
States: Emergency Departement Visits, Hospitalizations, and Deaths.2006.
4. Miller JD and Nader R. Acute Subdural Hematoma from bridging Vein Rupture:
a Potensial Mechanism for Growth.Journal Neurosourg.2014.120; hal 1378--84
5. Winn HR, Youmans JR, editors. Youmans neurological Surgery. 5
ed.ff.Philadelphia:Saunders;2004
6. Sidharta P, Mardjono M,2005, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.
7. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis
Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259
8. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, Gordon D, et al. 2006. Surgical Management
of Traumatic Parenchymal Lesion. Neurosurgery. 2006;58(3 Suppl):S25.
9. Evans RW. Neurology and Trauma. Philadelphia: W.B. Saunders
Company, 1996. p. 144-5
10. Ekayuda I. Radiologi Diagnostik edisi kedua Jakarta: Gaya Baru, 2006.
p.359-65, 382-87
11. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC,
2003. p. 818-9
12. Prince DD, Epidural Hematoma in Emergency Medicine. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/824029-followup#a2649. Accessed
on 26 Agustus 2013.
13. Evans RW. Neurology and Trauma. Philadelphia: W.B. Saunders
Company, 1996. p. 144-5
14. Meagher, J Richard. Subdural hematoma. Medscape. 2013
15. Leon J, Maria J, 2010, The Infrascanner, a handheld device for screening in situ
for the presence of brain Haematoms.
16. Karnath, Bernadh. Subdural hematom. Geriatrick Volume 59 No 7. 2004
17. Reis, C., Ho, W. M., Akyol, O., Chen, S., Applegate, R., Zhang, J.
Pathophysiology of Subarachnoid Hemorrhage, Early Brain Injury, and Delayed
Cerebral Ischemia. Primer on Cerebrovascular Diseases 2nd edition: Elsevier.
2017;125–130.
18. Baehr M, Frotcsher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi,
Tanda,Gejala. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
19. Baehr M, Frotcsher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi,
Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
20. Zuccarello M, McMahon N. Arteriovenous Malformation (AVM). Mayfield
Clinic. 2013
21. Vivancos, J., Gilo F., Frutos R., Maestre J., Pastor G A., Quintana F. Clinical
Management Guidelines for Subarachnoid Hemorrhage, Diagnosis and
Treatment. Neuroglia 2017;29(6):353-370.
22. Reis, C., Ho, W. M., Akyol, O., Chen, S., Applegate, R., Zhang, J.
Pathophysiology of Subarachnoid Hemorrhage, Early Brain Injury, and Delayed
Cerebral Ischemia. Primer on Cerebrovascular Diseases 2nd edition: Elsevier.
2017;125–130
23. Pemeriksaan fisik neurologis pada >50% kejadian SAH. Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis Neurologi [Internet].
2016.Cited 16 Oktober 2020. Available from:
http://snars.web.id/ppkneurologi/ppkneurologi.pdf.
24. Setyopranoto I. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. Continuing Medical
Education. 2012;39.

Anda mungkin juga menyukai