Anda di halaman 1dari 31

A.

KONSEP MEDIS
1. Pengertian
Epidural Hematoma (EDH) merupakan kumpulan darah di antara
duramater dan tabula interna akibat trauma. Sebagian besar EDH berlokasi di
daerah temporoparietal (70-80%), sedangkan 10% EDH berlokasi di frontal
maupun oksipital. Biasanya disertai dengan terjadi fraktur kranium (85- 96%)
pada daerah yang sama. Perdarahan yang terjadi dikarenakan robeknya arteri
meningea media atau cabang-cabangnya, namun kadang dapat juga berasal dari
vena. Volume EDH biasanya stabil, dan mencapai volume maksimum hanya
beberapa menit setelah trauma, tetapi pada 9% penderita ditemukan progresivitas
perdarahan sampai 24 jam pertama (Ansar Joan, Wirawan, Deviani & Nur A,
2021).
Epidural hematoma (EDH) adalah kumpulan darah di antara duramater
dan tabula interna.Terlepas dari sumber perdarahan, hematoma epidural terjadi
ketika darah menumpuk di antara lapisan periosteal dari materi dura dan tabel
bagian dalam tengkorak.Deskripsi klasiknya adalah fraktur tengkorak yang
memotong cabang anterior atau posterior arteri meningeal tengah, sehingga
terjadi perdarahan arteri tekanan tinggi di daerah temporoparietal.Sumber arteri
perdarahan epidural tidak mungkin untuk tamponade dan riwayat alami
hematoma ini terus berkembang.Hematoma epidural juga dapat timbul dari vena
yang pecah atau sinus vena (Husnia Laode, 2020).
2. Etiologi
Adapun sumber perdarahan biasanya dari laserasi cabang arteri meningea
oleh fraktur tulang, walaupun kadang-kadang dapat berasal dari vena atau diploe.
Darah pada epidural hematoma membeku (clotting), berbentuk bikonveks. Jika
perdarahan berasal dari vena atau diploe, maka gambaran bikonveks yang
terbentuk labih tipis (Husnia Laode, 2020).
3. Klasifikasi
Hematoma epidural terjadi akibat cedera pada pembuluh darah serebral
(arteri 7 meningeal). Perdarahan biasanya kontinu dan membentuk bekuan besar
yang memisahkan dura dari tengkorak. Lokasi-lokasi epidural hematoma paling
umum termasuk fosa temporal, regio subfrontal dan area oksipital-suboksipital.
a. Epidural hematoma fosa temporal
Hematoma epidural fosa temporal, yang menyebabkan cedera arteri
meningeal media, adalah epidural hematoma yang paling sering dijumpai.
Fraktur tulang temporal menjadi penyebab pada setidaknya 80% kasus.
Tanda-tanda klinis klasik dan rangkaian kejadian yang panjang pada
hematoma tipe ini hanya ditemukan pada sebagian kecil pasien saja. Pada
dasarnya, konkusi menyebabkan periode awal penurunan kesadaran,
kemudian, karena dura cukup erat dengan tulang tengkorak, akumulasi darah
terhambat dan interval lucid menyusul, pada saat fungsi neurologis pasien
relatif normal. Akhirnya, ketika lesi semakin membesar, kesadaran menurun
secara drastis. Kejadian ini menggambarkan karakteristik yang disebut "talk
and die patient" (pasien berbicara lalu meninggal).
b. Epidural hematoma region subfrontal
Hematoma epidrual frontal atau subfrontal paling sering terjadi pada
anak-anak atau orang tua, dan dikaitkan dengan pukulan langsung pada
bagian frontal. Cedera ini dapat melibatkan cabang anterior arteri 8
meningeal media, arteri meningeal anterior, atau sinus venosus. Gejala dan
tanda yang umum termasuk sakit kepala, perubahan kepribadian dan
anisokoria.
c. Epidural hematoma oksipital-suboksipital
Hematoma epidural fosa posterior biasanya disebabkan oleh pukulan
pada bagianvoksipital, dan dikaitkan dengan fraktur yang melewati sinus
transversus. Presentasi klinis bisa akut atau kronis. Gejala dan tanda yang
umum termasuk sakit kepala, meningismus, dysmetria, ataxia dan defisit
nervus kranialis. Herniasi fosa posterior melalui foramen magnum dapat
menyebabkan trias Cushing─depresi pernafasan, tekanan darah yang tinggi,
dan denyut nadi yang rendah (Rahayu, 2021).
4. Manifestasi Klinis
Gejala yang sangat khas pada kasus EDH adalah penurunan kesadaran
progresif, dimana pasien akan mengalami memar di sekitar mata (raccoon eyes)
memar di belakang telinga (battle’s sign), adanya cairan yang keluar dari hidung
(rhinnorhea), cairan yang keluar dari telinga (otorrhea). Kasus EDH yang sangat
parah atau berat, akan ditemukan tanda cushing dimana ditunjukkan dengan
depresi pernafasan, bradikaria dan hipertensi sitemik. Kondisi ini akan terlihat
ketika adanya perfusi cerebral akibat batang otak yang akan membuat
peningkatan tekanan intra kranial (Kinanti A. & Adiratna Sekar, 2022).
5. Patofisiologi
Epidural hematoma adalah perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak
dan dura meter.Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah
satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur
tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital. Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak
melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan
dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,
desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang
kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematoma yang membesar di daerah
temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak. Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran
tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya 10 tanda-tanda neurologik.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat
ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius).Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak
akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang
besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain
kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar
hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran
ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut lucid interval.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural
hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval
karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase
sadar (Husnia Laode, 2020).
6. Komplikasi
Hematoma epidural dapat memberikan komplikasi :
a. Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis di mana
keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian
pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intracranial.
b. Kompresi batang otak.
c. Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
1) Hemiparese/hemiplegia.
2) Disfasia/afasia
3) Epilepsi.
4) Hidrosepalus.
5) Subdural empyema (Sidemen, 2018).
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan
sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang
yang memotong sulcus arteria meningea media.
b. Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan
potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian
saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk
bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang
homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral.
Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang
tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya
peregangan dari pembuluh darah.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang
menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater.
MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan
salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis
(Sidemen, 2018).
8. Penatalaksanaan
a. Medis
CT dapat mendeteksi EDH kecil dan dapat digunakan untuk
mengikutinya. Namun, dalam banyak kasus, EDH adalah operasikondisi (di
bawah). Penatalaksanaan non-bedah dapat dilakukan dengan cara berikut:
Kecil (ketebalan maksimal ≤1 cm) subakut atau EDH kronis, dengan tanda
neurologis minimal /gejala (misalnya sedikit lesu, H / A) dan tidak ada bukti
herniasi. Meskipun manajemen medisEDH p-fossa telah dilaporkan, ini lebih
berbahaya dan pembedahan dianjurkan.Dalam 50% kasus akan ada sedikit
peningkatan ukuran sementara antara hari ke 5-16, dan beberapa pasien
memerlukan kraniotomi darurat bila tanda herniasi terjadi.

Pengelolaan Manajemen meliputi: mengakui, mengamati (di ranjang


yang dipantau jika memungkinkan). Opsional: steroid untuk beberapa hari.
Tindak lanjut CT: dalam 1 minggu jika secara klinis stabil. Ulangi dalam 1-3
bulan jika pasien menjadi asimtomatik (untuk resolusi dokumen). Operasi
segera bila tanda-tanda massa lokal mempengaruhi, tanda-tanda herniasi
(meningkatkan rasa kantuk, perubahan pupil, hemiparesi) atau kelainan
kardiorespirasi.

b. Bedah
Indikasi dan pengaturan waktu bedah EDH pada pasien anak-anak
lebih berisiko daripada orang dewasa karena ruangnya lebih sedikituntuk
bekuan. Ambang batas untuk pembedahan pada pediatri harus sangat rendah.
Pedoman praktik: Manajemen bedah EDHIon penunjuk untuk pembedahan
Tingkat III15:
1) Volume EDH > 30 cm3 harus dievakuasi terlepas dari GCS.
2) EDH dengan semua karakteristik berikut dapat dikelola secara non-
bedah dengan CT scan serial dan observasi neurologis dekat di pusat
bedah saraf:
a) Volume <30 cm3
b) Tebal <15 mm
c) Dengan midlineshift (MLS) <5 mm
d) GCS > 8
e) Tidak ada defisit neurologis fokal
Waktu operasi

Level III15: sangat disarankan untuk pasien dengan EDH akut dan
GCS <9 dan anisocoriamenjalani evakuasi bedah secepatnya (Husnia Laode,
2020).
9. Penyimpangan KDM
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Berisi biodata pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal
lahir, golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan,
pekerjaan, TB/BB, alamat.
b. Identitas penanggung jawab
Berisikan biodata penangguang jawab pasien yaitu nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir,
pekerjaan, alamat.
c. Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk memnita pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran. Biasanya klien akan mengalami penurunan
kesadaran dan adanya benturan serta perdarahan pada bagian kepala klien
yang disebabkan oleh kecelakaan ataupun tindaka kejahatan.
d. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berisikan data adanya penurunan kesadaran (GCS <15), letargi,
mual dan muntah, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis,
perdarahan, fraktur, hilang keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia
seputar kejadian, tidak bias beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap
dan mencium bau, sulit mencerna/menelan makanan.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Berisikan data pasien pernah mangalami penyakit system
persyarafan, riwayat trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat
penyakit sistemik/pernafasan cardiovaskuler, riwayat hipertensi, riwayat
cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia,
penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat
adiktif, dan konsumsi alcohol.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit menular seperti
hipertensi, diabetes mellitus, dan lain sebagainya.
e. Pengkajian Primer
1) Airway (Jalan Napas)
a) Sumbatan atau penumpukan secret.
b) Wheezing atau krekles.
c) Kepatenan jalan nafas.
2) Breathing (Pernapasan)
a) Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat.
b) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal.
c) Ronchi, krekles.
d) Ekspansi dada tidak penuh.
e) Penggunaan otot bantu nafas.
3) Circulation
a) Nadi lemah, tidak teratur
b) Capillary refill
c) Takikardi
d) TD meningkat / menurun.
e) Edema
f) Gelisah
g) Akral dingin
h) Kulit pucat, sianosis
i) Output urine menurun
4) Disability
Status mental : Tingkat kesadaran secara kualitatif dengan Glascow
Coma Scale (GCS) dan secara kwantitatif yaitu
a) Composmentis: Sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua
pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
b) Apatis : keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
kehidupan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
c) Somnolen : keadaan kesadaran yang mau tidur saja. Dapat
dibangunkan dengan rangsang nyeri, tetapi jatuh tidur lagi.
d) Delirium : keadaan kacau motorik yang sangat, memberontak,
berteriak-teriak, dan tidak sadar terhadap orang lain, tempat, dan
waktu.
e) Sopor/semi koma: keadaan kesadaran yang menyerupai koma,
reaksi 18 hanya dapat ditimbulkan dengan rangsang nyeri.
f) Koma : keadaan kesadaran yang hilang sama sekali dan tidak dapat
dibangunkan dengan rangsang apapun.
5) Exposure
Keadaan kulit, seperti turgor / kelainan pada kulit dsn keadaan
ketidaknyamanan (nyeri) dengan pengkajian PQRST.
f. Pemeriksaan Sekunder
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan pasien batuk apa tidak, peningkatan
produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan
seperti ronkhi pada pasien dengan peningkatan produksi sekret ataupun
adanya sumbatan. Pada pasien dengan tingkat kesadaran compos mends,
pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks
didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak
didapatkan bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood/ Kardiovaskuler)
Pengkajian tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat
terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg). Kaji adanya nyeri
dada dengan pengkajian P, Q, R, S, T. Raba akral pasien apakah teraba
dingin atau hangat, lakukan pemeriksaan EKG, auskultasi suara jantung
apakah ada kelainan.
3) B3 (Brain/ Sistem Persyarafan)
Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan yang terfokus dan harus
lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
4) B4 (Bladder/ Sistem Pencernaan)
Setelah cedera otak pasien mungkin mengalami inkontinensia
urine sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih
karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter
urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel/ Sistem Pencernaan)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut, adanya perdarahan. Mual sampai
muntah disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi
konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi
yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone)
Pada kulit, jika pasien kekurangan 02 kulit akan tampak pucat dan
jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu
juga dikaji tanda-tanda dekubitus. Adanya kesulitan untuk beraktivitas
karena kelemahan, gangguan mobilitas, serta masalah pada pola aktivitas
dan istirahat.
g. Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas kesadaran pasien merupakan parameter yang paling
mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian.
Tingkat keterjagaan pasien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator
paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan
untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.
Jika pasien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting
untuk menilai tingkat kesadaran pasien dan bahan evaluasi untuk pemantauan
pemberian asuhan.
h. Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan
bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
1) Status Mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah,
dan aktivitas motorik pasien.
2) Fungsi Intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi.
Pada beberapa kasus pasien mengalami brain damage yaitu kesulitan
untuk mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
3) Kemampuan Bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang memengaruhi
fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada
bagian posterior dari girus temporalis superior (area Wernicke)
didapatkan disfasia reseptif, yaitu pasien tidak dapat memahami bahasa
lisan atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus
frontalis inferior (Area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu pasien
dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan bicaranya
tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara
yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang
bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
i. Pengkajian Saraf Kranial
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I-XII :
1) Saraf I: Kaji adanya kelainan pada fungsi penciuman
2) Saraf II: Disfungsi persepsi visual karena gangguan jarak sensori primer
di antara mata dan korteks visual
3) Saraf III, IV, dan VI: Adakah kelainan pada pupil, lapang pandang pasien
4) Saraf V: Pada beberapa keadaan EDH menyebabkan paralisis saraf
trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,
penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu
sisi otot pterigoideus internus dan eksternus
5) Saraf VII: Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan
otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat
6) Saraf VIII: Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
7) Saraf IX dan X: Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan
membuka mulut
8) Saraf XI: Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
9) Saraf XII: Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi,
serta indra pengecapan normal
j. Pengkajian Sistem Motorik
1) Inspeksi Umum
2) Fasikulas
Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
3) Tonus Otot
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan (SDKI DPP PPNI, 2017) adalah sebagai berikut:
a. Gangguan pola napas
b. bersihan jalan napas tidak efektif
c. Hipertermia
d. Nyeri Akut
e. Defisit nutrisi
f. Hambatan mobilitas fisik
g. Defisit perawatan diri
h. Risiko infeksi
i. Ansietas keluarga
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Nyeri Akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
Tujuan: Setelah dilakukan Observasi: Observasi:
tindakan keperawatan 3x24 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, 1. Mengetahui lokasi, karakteristik,
jam diharapkan tingkat nyeri durasi, frekuensi, kualitas, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
menurun Kriteria Hasil: intensitas nyeri nyeri
1. Memburuk: 1 2. Identifikasi skala nyeri 2. Megetahui skala nyeri
2. Cukup memburuk: 2 3. Identifikasi respons nyeri non 3. Mengetahui respons nyeri non verbal
3. Sedang: 3 verbal
4. Cukup membaik: 4 4. Identifikasi faktor yang 4. Mengetahui faktor yang memperberat
5. Membaik: 5 memperberat dan memperingan dan memperingan nyeri
a. Frekuensi nadi nyeri
b. Pola nafas 1. 5. Identifikasi pengetahuan dan 5. Mengetahui pengetahuan dan
1. Meningkat: 1 keyakinan tentang nyeri keyakinan tentang nyeri
2. Cukup meningkat: 2 6. Identifikasi pengaruh nyeri pada 6. Mengetahui pengaruh nyeri pada
3. Sedang: 3 kualitas hidup kualitas hidup
4. Cukup menurun: 4 7. Monitor efek samping penggunaan 7. Mengetahui efek samping penggunaan
5. Menurun: 5 analgetik analgetik
a. Keluhan nyeri
b. Meringis Terapeutik: Terapeutik:
c. gelisah 1. Berikan teknik nonfarmakologi 1. Untuk mengurangi rasa nyeri
d. kesulitan tidur untuk mengurangi rasa nyeri
2. Kontrol lingkungan yang 2. Mengetahui lingkungan yang
memperberat rasa nyeri memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur 3. Untuk mengcukupi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber 4. Mengetahui sumber nyeri dalam
nyeri dalam pemilihan strategi pemilihan strategi meredakan nyeri
meredakan nyeri
Edukasi Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan 1. Mengetahui penyebab, periode, dan
pemicu nyeri pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri 2. Mengetahui strategi meredakan nyeri
3.
3. Ajarkan teknik nonfarmakologis 3. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
untuk mengurang mengurangi
Kolaborasi Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, 1. melakukan pemberian analgetik,
jika perlu
2. Bersihan jalan Pertukaran Gas Manajemen Jalan Napas Observasi: Manajemen Jalan Napas Observasi:
napas tidak Tujuan: Setelah dilakukan 1. Monitor pola napas 1. Mengetahui pola nafas pasien
efektif tindakan keperawatan 3x24 2. Monitor bunyi napas tambahan 2. Mengetahui bunyi nafas tambahan
jam oksigenasi dan/atau pasien
eliminasi karbondioksida 3. Monitor sputum (jumlah, warna, 3. Mengetahui jumlah dan warna sputum
pada membran aroma) pasien
alveoluskapiler Normal. Terapeutik Terapeutik
Kriteria Hasil: 1. Pertahankan kepatenan jalan napas 1. Menjaga kebersihan jalan nafas pasien
1. Memburuk: 1 2. Posisikan semi fowler atau fowler 2. mengatur posisi pasien dengan kepala
2. Cukup memburuk: 2 lebih tinggi
3. Sedang: 3 3. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu 3. Membersihkan jalan nafas kurang dari
4. Cukup membaik: 4 15 detik
5. Membaik: 5 4. Lakukan penghisapan lendir kurang 4. Untuk Membersihkan lender
a. Batuk efektif dari 15 detik
b. Produksi sputum 5. Berikan oksigen, jika perlu 5. Mempertahankan kebutuhan oksigen
c. Mengi pasien
d. Sianosis Edukasi Edukasi
e. Gelisah 1. Anjurkan asupan cairan 1. Menyarankan pemberian asupan
f. Pola napas 2000ml/hari, jika tidak cairan 2000ml
kontraindikasi Kolaborasi
Kolaborasi 1. Bekerjasama dalam pemberian obat
1. Kolaborasi pemberian pengencer lendir
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
2. Pemantauan Respirasi 2. Memantau pernapasan
3. Hambatan Mobilitas fisik Dukungan mobilisasi Observasi: Dukungan mobilisasi Observasi:
Mobilitas Fisik Tujuan: Setelah dilakukan 1. Identifikasi adanya nyeri atau 1. Megetahui adanya masalah adanya
tindakan keperawatan 3x24 keluhan fisik lainnya nyeri atau keluhan fisik lainnya
jam diharapkan mobilitas 2. Identifikasi toleransi fisik 2. mengetahui toleransi fisik melakukan
fisik meningkat Kriteria melakukan pergerakan pergerakan
Hasil: 3. Monitor frekuensi jantung dan 3. Mengetahui frekuensi jantung dan
1. Memburuk: 1 tekanan darah sebelum memulai tekanan darah sebelum memulai
2. Cukup memburuk: 2 mobilisasi mobilisasi
3. Sedang: 3 4. Monitor kondisi umum selama 4. Mengetahui kondisi umum selama
4. Cukup membaik: 4 melakukan mobilisasi melakukan mobilisasi
5. Membaik: 5 Terapeutik: Terapeutik:
a. Pergerakan 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi 1. memberikan aktivitas mobilisasi
ekstremitas dengan alat bantu dengan alat bantu
b. Kekuatan otot 2. Fasilitasi melakukan pergerakan, 2. memberikan pemahaman melakukan
1. Meningkat: 1 jika perlu pergerakan, jika perlu
2. Cukup meningkat: 2 3. Libatkan keluarga untuk membantu 3. bantu pasien lewat keluarga dalam
3. Sedang: 3 pasien dalam meningkatkan meningkatkan pergerakan
4. Cukup menurun: 4 pergerakan
5. Menurun: 5 Edukasi Edukasi
a. Nyeri 1. Jelaskan tujuan dan prosedur 1. Mengetahui tujuan dan prosedur
b. Kaku sendi mobilisasi mobilisasi
c. Gerakan terbatas 2. Anjurkan melakukan mobilisasi 2. Untuk memperlancar pergerakan
d. Kelemahan fisik dini
3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang 3. Utnuk memberikan aktivitas pada
harus dilakukan (mis. Duduk di pasien
tempat tidur)
4. Ansietas Tingkat Ansietas Tujuan: Reduksi Ansietas Reduksi Ansietas
Setelah dilakukan tindakan Observasi: Observasi:
keperawatan 3x24 jam 1. Identifikasi saat tingkat ansietas 1. Mengetahui saat tingkat ansietas
diharapkan tingkat ansietas berubah berubah
menurun Kriteria Hasil: 2. Identifikasi kemampuan mengambil 2. Mengetahui kemampuan mengambil
1. Memburuk: 1 keputusan keputusan
2. Cukup memburuk: 2 3. Monitor tanda-tanda ansietas 3. Memperhatikan tanda-tanda ansietas
3. Sedang: 3 Terapeutik: Terapeutik:
4. Cukup membaik: 4 1. Ciptakan suasana teraupetik untuk 1. menumbuhkan kepercayaan
5. Membaik: 5 menumbuhkan kepercayaan
a. Konsentrasi 2. Temani pasien untuk mengurangi 2. Berkomunikasi dengan kelaurga
b. Pola tidur kecemasan, jika memungkinkan pasien untuk mengurangi kecemasan,
1. Meningkat: 1 jika memungkinkan
2. Cukup meningkat: 2 3. Pahami situasi yang membuat 3. Mengetahui situasi yang membuat
3. Sedang: 3 ansietas ansietas yang membuat ansietas
4. Cukup menurun: 4 4. Dengarkan dengan penuh perhatian 4. Ajak kelaurga berbicara penuh
5. Menurun: 5 perhatian
a. Perilaku gelisah 5. Gunakan pendekatan yang tenang 5. Gunakan pendekatan yang tenang dan
b. Verbalisasi dan meyakinkan meyakinkan
kebingungan 6. Motivasi mengidentifikasi situasi 6. Mengetahui situasi yang memicu
c. Verbalisasi khawatir yang memicu kecemasan kecemasan
terhadap situasi yang Edukasi Edukasi
dialami 1. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi 1. Mengetahui prosedur termasuk sensasi
d. Perilaku tegang yang mungkin dialami yang mungkin dialami
2. Informasikan secara faktual 2. Memnjelaskan diagnosis, pengobatan,
mengenai diagnosis, pengobatan, dan prognosis dengan jelas
dan prognosis
3. Anjurkan keluarga untuk tetap 3. Memberitahukan kepada keluarga
bersama pasien agar tetap bersama pasien
4. Latih kegiatan pengalihan untuk 4. Memberikan distraksi pengalihan
mengurangi ketegangan untuk mengurangi ketegangan
5. Resiko Infeksi Tingkat Infeksi Pencegahan infeksi Pencegahan infeksi
Tujuan: Setelah dilakukan Observasi: Observasi:
tindakan keperawatan 3x24 1. Monitor tanda gejala infeksi lokal 1. memeriksa tanda gejala infeksi lokal
jam glukosa derajat infeksi dan sistemik dan sistemik
menurun. Kritera Hasil: Terapeutik Terapeutik
1. Meningkat: 1 1. Batasi jumlah pengunjung 1. untuk mencegah adanya infeksi
2. Cukup meningkat: 2 2. Berikan perawatan kulit pada 2. melakukan perawatan kulit pada
3. Sedang: 3 daerah edema daerah edema
4. Cukup menurun: 4 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah 3. mencuci tangan sebelum dan sesudah
5. Menurun: 5 kontak dengan pasien dan kontak dengan pasien dan lingkungan
a. Demam lingkungan pasien pasien
b. Kemerahan 4. Pertahankan teknik aseptik pada 4. selalu menjaga kebersihan dan
c. Nyeri pasien berisiko tinggi mencegah infeksi silang
d. Bengkak Edukasi Edukasi
1. Memburuk: 1 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi 1. mengetahui tanda dan gejala infeksi
2. Cukup memburuk: 2 2. Ajarkan cara memeriksa luka 2. mengetahui cara memeriksa luka
3. Sedang: 3 3. Anjurkan meningkatkan asupan 3. mengetahui meningkatkan asupan
4. Cukup membaik: 4 cairan cairan
5. Membaik: 5 Kolaborasi Kolaborasi
a. Kadar sel darah Putih 1. Kolaborasi pemberian imunisasi, 1. Bekerja sama pemberian imunisasi,
Jika perlu Jika perlu
6. Defisit Nutrisi Status Nutrisi Tujuan: Manajemen Nutrisi Manajemen Nutrisi
Setelah dilakukan tindakan Observasi: Observasi:
keperawatan 3x24 jam status 1. Identifikasi status nutrisi 2. 1. Mengetahui status nutrisi
nutrisi terpenuhi. Kriteria 2. Identifikasi alergi dan intoleransi 2. Mengetahui alergi dan intoleransi
Hasil: makanan makanan
1. Menurun 3. Identifikasi perlunya penggunaan 3. Mengetahui perlunya penggunaan
2. Cukup menurun selang nasogastric selang nasogastric
3. Sedang 4. Monitor asupan makanan 4. Mengetahi asupan makanan
4. Cukup meningkat 5. Monitor berat badan 5. Memeriksa berat badan
5. Meningkat Terapeutik: Terapeutik:
a. Porsi makanan yang 1. Lakukan oral hygiene sebelum 1. Menjaga kebersihan mulut sebelum
dihabiskan makan, Jika perlu makan, Jika perlu
b. Berat badan atau IMT 2. Sajikan makanan secara menarik 2. Membuat makanan secara menarik
c. Frekuensi makan dan suhu yang sesuai dan suhu yang sesuai
d. Nafsu makan 3. Hentikan pemberian makanan 3. Melakukan penghentian pemberian
e. Cepat kenyang melalui selang nasogastric jika makanan melalui selang nasogastric
asupan oral dapat ditoleransi jika asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu 1. Mengetahui posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogramkan 2. Mengetahui diet yang diprogramkan
Kolaborasi Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk 1. Bekerja sama dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan nutrien yang dibutuhkan
7. Hipertermi Termoregulasi Manajemen Hipertermia Manajemen Hipertermia
Tujuan: Setelah dilakukan Observasi: Observasi:
tindakan keperawatan 1x8 1. Identifikasi penyebab hipertermia 1. Mengetahui penyebab hipertermia
jam diharapkan suhu tubuh (mis. dehidrasi, terpapar
tetap berada pada rentang lingkungan panas, penggunaan
normal Kriteria Hasil: inkubator)
1. Meningkat: 1 2. Monitor suhu tubuh 2. Memeriksa setiap saat suhu tubuh
2. Cukup meningkat: 2 3. Monitor kadar elektrolit 3. Memeriksa setiap saat kadar elektrolit
3. Sedang: 3 4. Monitor haluaran urine 4. Memeriksa setiap saat haluaran urine
4. Cukup menurun: 4 5. Monitor komplikasi akibat 5. Memeriksa setiap saat komplikasi
5. Menurun: 5 hipertermia akibat hipertermia
a. Mengigil Terapeutik: Terapeutik:
1. Memburuk: 1 1. Sediakan lingkungan yang dingin 1. ersedia lingkungan yang dingin
2. Cukup memburuk: 2 2. Longgarkan atau lepaskan pakaian 2. memakai pakaian longgar atau
3. Sedang: 3 lepaskan pakaian
4. Cukup membaik: 4 3. Basahi dan kipasi permukaan tubuh 3. untuk menurunkan suhu tubuh
5. Membaik: 5 4. Berikan cairan oral 4. untuk memenuhi kebutuhan cairan
a. Suhu tubuh 5. Hindari pemberian antipiretik atau 5. tidak memakai pemberian antipiretik
b. Suhu kulit asprin atau asprin
6. Berikan oksigen, jika perlu 6. memenuhi kebutuhan oksigen
Edukasi Edukasi
1. Anjurkan tirah baring 1. untuk memenuhi istirahat
Kolaborasi Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan dan 1. bekerja sama pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu elektrolit intravena, jika perlu
8. Defisit Perawatan Diri Dukungan Perawatan Diri Dukungan Perawatan Diri
Perawatan Diri Tujuan: Setelah dilakukan Observasi: Observasi:
tindakan keperawatan 3x24 1. Identifikasi kebiasaan aktivitas 1. Memeriksa kebersihan tubuh pasien
jamdiharapkan perawatan diri perawatan diri sesuai usia
meningkat Kriteria Hasil: 2. Monitor tingkat kemandirian 2. Mengetahui kebutuhan alat bantu
1. Menurun: 1 3. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian, berhias,
2. Cukup menurun: 2 kebersihan diri, berpakaian, dan makan
3. Sedang: 3 berhias, dan makan
4. Cukup meningkat: 4 Terapeutik: Terapeutik:
5. Meningkat: 5 1. Sediakan lingkungan yang 1. Sediakan lingkungan yang teraupetik
a. Kemampuan mandi teraupetik
b. Kemampuan 2. Siapkan keperluan pribadi 2. Siapkan keperluan pribadi pasien
mengenakan pakaian 3. Fasilitasi untuk menerima keadaan 3. Jadwalkan perawatan diri pasien
c. Kemampuan makan ketergantungan
d. Kemampuan ke toilet Edukasi Edukasi
(BAK dan BAB) 1. Anjurkan melakukan perawatan diri 1. Anjurkan melakukan keluarga
e. Verbalisasi diri secara konsisten sesuai kemampuan melakukan perawatan diri secara
keinginan untuk konsisten sesuai kemampuan kepada
menlakukan pasien
perawatan diri
f. Mempertahangkan
kebersihan mulut
(PPNI, T. P. S. D., 2019).
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi merupakan langkah keempat dalam proses perawatan, dimulai
secara formal setelah Anda mengembangkan rencana asuhan keperawatan. Dengan
rencana asuhan berdasar pada diagnosis keperawatan yang jelas dan relevan, dimana
intervensi yang didesain untuk membantu pasien mencapai tujuan dan hasil yang
diharapkan yang dibutuhkan untuk mendukung atau meningkatkan status kesehatan
pasien (Noviestari et al., 2020).
E. EVALUASI
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir proses keperawatan yang yang
sistematis dan terencana antara hasil akhir yang telah diamati dan atau kriteria hasil
yang telah dibuat pada tahap intervensi. Evaluasi dilakukan secara terus-menerus dan
melibatkan klien serta tenaga kesehatan lainnya. Apabila tujuan dan kriteria hasil
tercapai pada evaluasi, maka klien proses keperawatan dihentikan, jika sebaliknya
maka klien dikaji dan ulang dan harus tetap melewati proses keperawatan (Irman et
al., 2020).
DAFTAR PUSTAKA

Ansar, Joan Willy, Wirawan A., Deviani Utami & Nur Alam F.S. 2021. Gambaran
Klinis Pasien Epidural Hematoma Di Rsud Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung. Jurnal Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan. Vol 8, No. 3.
Husnia, Laode Muhammad Irsyad (2020) Hubungan Antara Glasgow Coma Scale
Dengan Volume Perdarahan Epidural Hematoma. Skripsi-S1 thesis, Universitas
Hasanuddin.
Irman, O., Nalista, Y., & Keytimu, Y. M. H. (2020). Buku Ajar: Asuhan Kepeawatan
Pada Pasien Sindrom Koroner Akut (Pertama). CV.Penerbit Qiara Media.
Kinanti, Adika Citra & Adiratna Sekar S. 2022. Application Of Airway Management In
Patients Post Craniotomy Epidural Hematom. Jurnal Inovasi Penelitian. Vol.3,
No. 4.
Noviestari, E., Ibrahim, K., Deswani, & Ramadaniati, S. (2020). Dasar-Dasar
Keperawatan: Edisi 9 (9th ed.). ELSEVIER.
PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. S. D. (2019). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. S. D. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Rahayu, Sri. 2021. Laporan Akhir Dan Portofolio Asuhan Keperawatan Pada An. X
Usia 8 Tahun Dengan Cedera Kepala. Skripsi-S1 thesis. Universitas Hasanuddin.
Sidemen, I Gusti S. 2018. Laporan Kasus Peningkatan Glasgow Coma Scale Yang
Signifikan Pada Pasien Epidural Hematome Post Operasi Trepanasi Evakuasi
Klot. Rsup Sanglah Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai