Anda di halaman 1dari 20

 Trauma Kepala

Tn. D, usia 18 tahun di rawat di ruang RC.3 Bedah syaraf karena mengalami trauma
kepala sedang di sertai sub dural hematoma. Ketika di kaji diperoleh data: GCS= 11
(E2M5V4). Pasien telah di operasi 2 hari yang lalu, terdapat luka post craniotomy
sepanjang 10cm pada daerah lobus frontal, pasien tampak gelisah dan terpasang mag
slang karena masih di puasakan. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital di peroleh: TD=
140/90 mmHg, nadi= 110 x/menit, RR= 30x/menit, dan suhu= 38,5 ͦ celcius.

Penugasan:

Diskusikanlah trauma kepala dengan tindakan operasi craniotomy, apa yang saudara bisa
jelaskan dari kondisi tersebut terkait dengan kebutuhan perawatan pasien dan hal-hal lain
terkait dengan komplikasi yang mungkin timbul.

1) Pengertian
a. Pengertian trauma kepala
Menurut Satya Negara (1998:148) mengemukakan bahwa cedera kepala
merupakan jumlah deformitas jaringan di kepala yang diakibatkan oleh suatu
kekuatan mekanis.
b. Pengertian Trauma Kepala Sedang
Menurut Arief Mansjoer, (2000:5) dan Hudak and Gallo,alih bahasa Monica E.D
Adiyanti (1996:226) Cedera kepala sedang (Moderat HI) ialah suatu keadaan
cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12 dan tingkat
kesadaran lethargi, obtunded atau stupor.
c. Pengertian craniotomy
Barbara Engram, alih bahasa Suharyati Samba, dkk (1998: 642) mengemukakan
bahwa kraniotomi adalah operasi pembukaan tulang tengkorak, sedangkan Ahmad
Ramali (1996: 62) mendefinisikan craniotomy adalah setiap pembedahan pada
tulang tengkorak.
Dari kedua pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kraniotomi
adalah pembedahan yang dilakukan untuk membuka tulang tengkorak.
d. Pengertian Dekompresi
Menurut Ahmad Ramali, (1996:84) Dekompresi ialah pengurangan atau
mengevakuasi bekuan darah dari tulang tengkorak.
e. Pengertian Subdural Hematoma
Menurut Depkes RI (1995: 63) Subdural Hematoma adalah perdarahan yang
terjadi antara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi perdarahan vena.
Sedangkan menurut Carolyn M. Hudak, alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996:
228) hematoma subdural adalah akumulasi darah di bawah lapisan meningeal
durameter dan diatas lapisan arakhnoid yang menutupi otak. Definisi lain
dikemukakan oleh Arif Mansjoer, dkk (2000: 8) bahwa hematoma subdural ialah
pengumulan darah dalam rongga antara durameter dan membran subarakhnoid
yang bersumber dari robeknya vena.

Dari ketiga pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa hematoma subdural


adalah akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan arakhnoid
yang biasanya disebabkan karena perdarahan vena.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, Post craniotomy dekompresi
atas indikasi moderat HI disertai subdural hematoma fronto temporo parietal dextra
ialah operasi pembedahan yang dilakukan untuk membuka tengkorak guna
mengevakuasi bekuan darah atas indikasi cedera kepala dengan nilai tingkat
kesadaran (GCS) 9-12 disertai akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara
durameter dan arakhnoid yang biasanya disebabkan karena perdarahan vena di daerah
fronto temporo parietal dextra.

2) Penyebab
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme
dasar yaitu:
a. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau
sebaliknya
b. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik
yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan

3) Patofisiologi
Patofisiologi trauma kepala menurut: Sylvia Anderson, et,al., alih bahasa Peter
Anugerah (1995: 1011); Satyanegara, (1998: 150); Carolyn M. Hudak, et, al., alih
bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 226) adalah sebagai berikut:
Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan
menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara
mendadak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal
dengan sebutan cedera akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis,
akselerasi dan deselerasi merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya
saja. Efek akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior adalah
serupa dengan deselerasi kepala anterior-posterior.
Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau
memar pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan
mengakibatkan gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan
kesadaran yang progresif, reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila
kesadaran pulih kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik.
Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi
karena pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel
endotelnya. Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan
otak karena adanya perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan
interstisial.
Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan
duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena
“gantung” (bridging veins). Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-
sinus venosus dapat menyebabkan subdural hematoma, karena terjadi pengisian cairan
pada ruang subdural akibat dari vena yang pecah. Selanjutnya pergeseran otak juga
menimbulkan daerah-daerah yang bertekanan rendah (cedera regangan) dan bila hebat
sekali dapat menimbulkan kontusi kontra-kup.
Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami
penekanan yang berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan
menimbulkan iskemia yang akhirnya gangguan pernapasan asidosis respiratorik
(Penurunan PH dan peningkatan PCO2 ). Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan
edema serebri yang paling berbahaya adalah terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial yang timbul karena adanya proses desak ruang sebagai akibat dari
banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam otak. Peningkatan intra kranial yang terus
berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema yang bertambah secara progresif,
akan menyebabkan koma dengan TTIK yang terjadi karena kedua hemisfer otak atau
batang otak sudah tidak berfungsi.
4) Tingkatan/Klasifikasi
a. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan tingkat keparahan menurut: (Mansjoer,
Arief 2000:5), (Hudak and Gallo, alih bahasa Monica E.D Adiyanti, 1996:226)
adalah sebagai berikut:
1) Cedera kepala ringan (mild HI)
Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian
tingkat kesadaran (GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif.
Klien tidak mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya
konkusio, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang. Klien biasanya
mengeluh nyeri kepala dan pusing. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau
hematoma kulit kepala

2) Cedera kepala sedang (moderat HI)


Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12,
tingkat kesadaran lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah,
amnesia pasca trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea
cairan cerebrospinal dan biasanya terdapat kejang.

3) Cedera kepala berat (severe HI)


Cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat
kesadaran koma. Terjadi penurunan derajat kesadaran secara progresif. Tanda
neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.
Mengalami amnesia > 24 jam, juga meliputi kontusio cerebral, laserasi atau
hematoma intra kranial.

b. Klasifikasi perdarahan intrakranial berdasarkan lokasi akibat cedera kepala


menurut:Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo (2001:2212), Tuti
Pahria,dkk (1996:49) adalah sebagai berikut:

1) Hematoma epidural
Adalah pengumpulan darah di dalam ruang epidural (ekstradural) di antara
tengkorak dan duramater. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau
rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di antara duramater putus atau rusak
(laserasi), dimana arteri ini berada diantara duramater dan tengkorak daerah
inferior menuju bagian tipis tulang temporal hemoragi karena arteri ini
menyebabkan penekanan pada otak. Gejala ditimbulkan oleh hematoma luas,
disebabkan oleh perluasan hematoma. Biasanya terlihat adanya kehilangan
kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata
secara perlahan-lahan. Gejala klasik atau temporal berupa kesadaran yang
makin menurun disertai anisokor pada mata ke sisi dan mungkin terjadi
hemiparese kontra lateral. Sedangkan hematoma epidural di daerah frontal dan
parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran
(biasanya somnolen) yang tidak membaik setelah beberapa hari. Banyaknya
perdarahan terjadi karena proses desak ruang akut, bila cukup besar akan
menimbulkan herniasi misalnya pada perdarahan epidural, temporal yang
dapat menyebabkan herniasi unkus.
2) Hematoma subdural
Adalah pengumpulan darah diantara durameter dan arakhnoid yang biasanya
meliputi perdarahan vena. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat
juga terjadi kecenderungan perdarahan yang serius dari aneurisma, hemoragi
subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya
pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural
dapat terjadi akut, subakut atau kronik, tergantung pada ukuran pembuluh
yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.

1. Hematoma subdural akut, sering dihubungkan dengan cedera kepala


mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya pasien dalam
keadaan koma dan/ atau tanda gejala klinis: sakit kepala, perasaan kantuk
dan kebingungan, respon yang lambat dan gelisah. Tekanan darah
meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernafasan cepat sesuai
dengan peningkatan hematoma yang cepat. Keadaan kritis terlihat dengan
adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
2. Hematoma subdural sub akut, biasanya berkembang 7-10 hari setelah
cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat dan
dicurigai pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah
trauma kepala. Tanda dan gejala sama seperti pada hematoma subdural
akut. Tekanan serebral yang terus menerus menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran yang dalam. Angka kematian pasien hematoma subdural
akut dan subakut tinggi, karena sering dihubungkan dengan kerusakan
otak.
3. Hematoma subdural kronik, terjadi karena cedera kepala minor. Mulanya
perdarahan kecil memasuki di sekitar membran vaskuler dan pelan-pelan
meluas. Gejala klinis mungkin tidak terjadi/ terasa dalam beberapa minggu
atau bulan. Keadaan ini pada proses yang lama akan terjadi penurunan
reaksi pupil dan motorik, lansia cenderung yang paling sering mengalami
cedera kepala tipe ini sekunder akibat atropi otak, yang diperkirakan akibat
proses penuaan. Cedera kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang
cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal dengan sekuela negatif.
3) Hematoma intraserebral
Adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi
pada cedera kepala dimana mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cedera
peluru atau luka tembak, cedera tumpul). Hemoragi ini di dalam otak mungkin
juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik yang menyebabkan degenerasi dan
ruptur pembuluh darah, ruptur kantung aneurisma, anomali vaskuler, tumor
intrakranial. Akibat adanya substansi darah dalam jaringan otak akan
menimbulkan edema otak, gejala neurologik tergantung dari ukuran dan lokasi
perdarahan
.
5) Tanda dan Gejala
Gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.

6) Dampak trauma kepala terhadap sistem tubuh lainnya


Adanya gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala akan mengganggu
sistem tubuh lainnya. Adapun gangguannya menurut : Carolyn M. Hudak, et, al., alih
bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 230) Tuti Pahria,dkk (1996:50) adalah sebagai
berikut:
a. Sistem kardiovaskuler
Trauma kepala yang disertai dengan Subdural hematoma, akan terjadi
perdarahan dan edema serebri sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, tachikardi kemudian
bradikardi dan iramanya tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung.

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktifitas


atipikal miokardiar, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya
perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan
vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh
persyarafan simfatik dan parasimfatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar.

Aktifitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan


menurunnya stroke work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya
stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel.
Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium
kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik.
Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema
paru.
b. Sistem pernafasan
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau
hipertensi paru, menyebabkan hipernoe dan bronkhokonstriksi. Pernafasan cheyne
stokes dihubungkan dengan sensitifitas yang meningkat pada mekanisme terhadap
karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apnea. Konsentrasi oksigen dan
karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah,
aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2 akan terjadi
alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF
(Serebral Blood Fluid). Bila PCO2 bertambah akibat gangguan sistem pernafasan
akan menyebabkan acidosis dan vasodilatasi. Hal ini menyebabkan pertambahan
CBF, yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan tingginya tekanan
intra kranial (TTIK) edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada
kontusio otak, terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatik yang
mengandung protein eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial
otak normal tidak didapatkan edema otak terjadi karena penekanan terhadap
pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak dapat menyebabkan herniasi
dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan daerah
medula oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan
irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.

Trauma kepala dapat mengakibatkan penurunan kesadaran yang dapat


menyebabkan terakumulasinya sekret pada trakheobronkhiolus, sehingga akan
terjadi obstruksi pada saluran pernapasan.

c. Sistem pencernaan
Trauma kepala juga mempengaruhi sistem pencernaan. pada klien post
craniotomy pada hari pertama akan didapatkan bising usus yang menurun karena
efek narkose. Setelah trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan
merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulus gagal. Hal ini merangsang anterior
hipofisis menjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk
mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani
edema serebral. Namun, pengaruhnya terhadap lambung adalah peningkatan
ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu hiperasiditas
terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani
stres yang mempengaruhi produksi lambung. Hiperasiditas yang tidak ditangani
akan menyebabkan perdarahan lambung. sedangkan peningkatan asam lambung
akan mengakibatkan klien mual dan muntah. klien dengan peningkatan tekanan
intra kranial akibat trauma kepala ditandai dengan muntah yang seringkali
proyektil.

d. Sistem endokrin dan perkemihan


Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungannya
retensi natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium
disebutkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus yang menyebabkan
pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Pada pasien dengan trauma kepala
khususnya fraktur tengkorak. Kerusakan pada kelenjar hipofisis atau hipotalamus
atau TTIK. Gambaran klinis dapat dikomplikasi oleh diabetes insipidus. Pada
keadaan ini terdapat disfungsi ADH. Dengan penurunan jumlah ADH yang ada
pada darah, ginjal mengekskresikan terlalu banyak air, menimbulkan dehidrasi.
Pada klien dengan penurunan kesadaran dapat menyebabkan inkontinensia urine
karena lemahnya kontrol otot spinkter uretra eksterna.

e. Sistem muskuloskeletal
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak,
terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat
gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, yang dapat membuat
komplikasi seperti peningkatan spastisitas dan kontraktur. klien dengan penurunan
kesadaran akan gelisah serta gerakan kaki dan tangannya yang tidak terkontrol.

f. Sistem integumen
Pada klien yang dilakukan craniotomy tampak luka operasi pada kepala bila
penyembuhan luka tidak baik akan didapatkan tanda-tanda rubor, tumor, dolor,
kalor dan fungsiolesa dan bila infeksi akan didapatkan gangguan integritas kulit
selain itu juga dapat terjadi peningkatan suhu tubuh sehingga pada anggota badan
akan tampak banyak keringat.
7) Masalah Medis
a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen
dan terjadi pada 2-6% pasien dengan cedera kepala tertutup. Hal ini beresiko
terjadinya meningitis (biasanya pneumokok).
b. Fistel karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis dan
bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi
diperlukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon
endovaskular merupakan cara yang paling efektif dan dapat mencegah hilangnya
penglihatan yang permanen.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai
hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien
mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia
dan deplesi volum.
d. Kejang pascatrauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan
predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat
untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.
Insidens keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi)
setelah cedera kepala tertutup adalah 5%; resiko mendekati 20% pada pasien
dengan perdarahan intrakranial atau fraktur depresi.

Konsep Asuhan Keperawatan:


8) Fokus Pengkajian
1. Pengkajian

Pengkajian merupakan pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data baik

subyektif atau obyektif dan kemudian menganalisanya. Data-data dalam pengkajian

ini meliputi: (Pahria, Tuti ,dkk, 1996: 55)

a. Identitas klien

1) Identitas klien

Identitas klien meliputi nama klien, umur klien biasanya pada usia produktif

atau pada lansia, jenis kelamin mayoritas pria, agama, pendidikan, pekerjaan
klien biasanya berhubungan dengan sarana transportasi, status marital, suku

bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, golongan darah,

no.medrek, diagnosa medis dan alamat.

2) Identitas penanggung jawab

Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.

b. Riwayat kesehatan

1) Alasan masuk Rumah Sakit

Biasanya penyebab trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas, namun tidak

menutup kemungkinan faktor lain. Oleh karena itu pada Alasan klien masuk

Rumah Sakit perlu dikaji mengenai kapan, dimana, penyebab, bagaimana

proses terjadinya, apakah klien pingsan, muntah atau perdarahan dari hidung

atau telinga.

2) Keluhan utama saat dikaji

Pada umumnya pasien dengan trauma kepala sedang datang ke rumah sakit

dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS = 9-12), sedangkan apabila klien

sudah sadar penuh biasanya akan merasa bingung,mengeluh muntah, dispnea,

tachipnea, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralise, hemiparese, luka

di kepala, akumulasi sputum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan

telinga dan adanya kejang yang disebabkan karena proses benturan akselerasi-

deselerasi pada setiap daerah lobus otak yang dapat menyebabkan konkusio

atau kontusio serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran kurang atau

bisa lebih dari 24 jam.

3) Riwayat kesehatan dahulu


Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami trauma kepala atau penyakit

sistem syaraf serta penyakit sistemik. Perlu dikaji juga apakah klien memiliki

kebiasaan kebut-kebutan di jalan raya, memakai Helm dalam mengendarai

kendaraan, meminum minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang.

4) Riwayat kesehatan keluarga

Kaji mengenai adanya penyakit keturunan, penyakit menular, kebiasaan buruk

dalam keluarga seperti merokok atau keadaan kesehatan anggota keluarga.

c. Pemeriksaan fisik

1) Sistem pernafasan

Didapatkan adanya perubahan pola nafas baik irama, kedalaman maupun

frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (cheyne stokes, ataxia

breathing), bunyi nafas ronchi atau stridor, adanya sekret pada trakheo

bronkhiolus, adanya retraksi dinding dada.

2) Sistem kardiovaskuler

Dalam pemeriksaan didapatkan perubahan tekanan darah menurun kecuali

apabila terjadi peningkatan tekanan intra kranial maka tekanan darah

meningkat, denyut nadi tachikardi, kemudian bradikardi atau iramanya tidak

teratur sebagai kompresi kerja jantung untuk membantu mengurangi tekanan

intra kranial.

3) Sistem pencernaan

Pada klien post craniotomy biasanya didapatkan bising usus yang normal atau

bisa juga menurun apabila masih ada pengaruh anestesi, perut kembung, bibir

dan mukosa mulut tampak kering, klien dapat mual dan muntah. kadang-

kadang konstipasi karena klien tidak boleh mengedan atau inkontinensia


karena klien tidak sadar. Pada perkusi abdomen terdengar timpani, nyeri tekan

pada daerah epigastrium, penurunan berat badan.

4) Sistem perkemihan

Pada pengkajian akan didapatkan retensi urine pada klien sadar, sedangkan

pada klien tidak sadar akan didapatkan inkontinensia urine dan fekal, jumlah

urine output biasanya berkurang. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan

elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia.

5) Sistem muskuloskeletal

Pada klien post craniotomy biasanya ditemukan gerakan-gerakan involunter,

kejang, gelisah, ataksia, paralisis dan kontraktur, kekuatan otot mungkin

menurun atau normal.

6) Sistem integumen

Pada klien post craniotomy tampak luka pada daerah kepala, suhu tubuh

mungkin di atas normal, banyak keringat. Pada hari ketiga dari operasi

biasanya luka belum sembuh karena masih agak basah/ belum kering.

biasanya masih terdapat hematoma pada klien dengan perdarahan di

meningen. Data fisik yang lain adalah mungkin didapatkan luka lecet dan

perdarahan pada bagian tubuh lainnya. Bentuk muka mungkin asimetris.

7) Sistem persyarafan

a) Test fungsi serebral

1) Klien mengalami penurunan kesadaran maka dalam orientasi, daya

ingat, perhatian dan perhitungan serta fungsi bicara klien sehingga

hasil pemeriksaan status mentalnya kurang dari normal atau kurang

dari 20 ditandai dengan amnesia, gangguan kognitif, dll.


2) Tingkat kesadaran

Biasanya tingkat kesadaran berkisar antara obtunded sampai lethargi.

Kuantitas: nilai GCS: 9-12

3) Pengkajian bicara

(a) Proses reseptif

Biasanya didapatkan kesulitan mengucapkan kata-kata yang leih

dari satu kata misalnya “sakit kepala” atau “rumah sakit”

(b) Proses ekspresif

Biasanya didapatkan bicara kurang lancar, tidak spontan dan tidak

jelas

b) Test nervus kranial (Lumbantobing, 2003: 24), (Tuti Pahria, dkk, 1996:

55)

1) Nervus I (olfaktorius)

Memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia

bilateral yang disebabkan karena terputusnya serabut olfaktorius selain

karena trauma kepala juga bisa disebabkan oleh infeksi.

2) Nervus II (optikus)

Pada trauma oksipitalis, memperlihatkan gejala berupa penurunan daya

penglihatan, penurunan lapang pandang

3) Nervus III, IV, VI (okulomotorius, troklearis, abdusen)

Pada trauma kepala yang disertai dengan perdarahan intrakranial akan

menyebabkan gangguan reaksi pupil yang lambat/ midriasis karena

tekanan pada bagian pinggir nervus III yang mengandung serabut


parasimpatis. Gangguan kelumpuhan N IV, namun jarang terjadi.

Kelumpuhan N IV menyebabkan terjadinya diplopia, gejala lainnya

berupa refek cahaya menurun, anisokor.

4) Nervus V (trigeminus)

Gangguan ditandai adanya anestesi daerah dahi.

5) Nervus VII (fasialis)

Pada trauma kepala yang mengenai neuron motorik atas unilateral

dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial,

melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3

bagian lidah anterior

6) Nervus VIII (akustikus)

Pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan

keseimbangan tubuh.

7) Nervus IX, X, XI (glosofaringetus, vagus, assesoris)

Gejala jarang ditemukan karena klien akan meninggal apabila trauma

mengenai syaraf tersebut. Adanya hiccuping (cegukan) karena

kompresi pada nervus vagus yang menyebabkan spasmodik dan

diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cegukan yang

terjadi biasanya beresiko peningkatan tekanan intrakranial.

8) Nervus XII (hipoglosus)

Gejala yang biasa timbul adalah jatuhnya lidah ke salah satu sisi,

disfagia, dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.


9) Dx yang mungkin muncul
a) Gangguan pertukaran gas b/d  ketidakseimbangan perfusi ventilasi dan perubahan
membrane alveolar-kapiler.
b) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b/d peningkatan tekanan intracranial.
c) Gangguan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan
menelan akibat mual, muntah.
d) Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan neurovaskuler

10) Intervensi Keperawatan


1) Gangguan pertukaran gas b/d  ketidakseimbangan perfusi ventilasi dan perubahan
membrane alveolar-kapiler.
Intervensi :
Mandiri
a. Lakukan Penkes
Rasional : Untuk memberikan penjelasan terhadap penyakit yang dialami
b. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas.
Rasional : Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan,
bronchospasme atau masalah terhadap tube.
c. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ).
Rasional : Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi
pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.
d. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan,posisi miring sesuai indikasi.
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan
adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas.
e. Anjurkan pasien untuk melakukan fasan dalam jika pasien sadar
Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis
f. Auskultasi suara nafas,perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara-suara
nafas yang tidak normal
Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis,
obstruksi jalan nafas yang membahayakan oksigenasi.
Kolaborasi
a. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum
banyak.
Rasional : Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk
mencegah hipoksia.
b. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam
Rasional : Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan
kelancaran aliran serta pelepasan sputum.
2) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b/d peningkatan tekanan intracranial.
Intervensi :
Mandiri
a. Lakukan Penkes
Rasional : Untuk memberikan penjelasan terhadap penyakit yang dialami.
b. Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.
Rasional :
- Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran.
- Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus
eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik.
- Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk
menentukan refleks batang otak.
- Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal
peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata.
c. Monitor tanda-tanda  vital tiap 30 menit.
Rasional : Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan
tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya
pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme
sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok
akibat perdarahan.
d. Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
Rasional : Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan
pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
e. Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran
urin dan hindari konstipasi yang  berkepanjangan.
Rasional : Dapat mencetuskan respon otomatik peningkatan intrakranial.
f. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.
Rasional : Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat
meningkatkan tekanan intrakrania.
g. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
Rasional : Dapat menurunkan hipoksia otak.
Kolaborasi
a. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar.
Rasional : Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia
seperti osmotik diuritik untuk  menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat
menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi, 
menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan kejang,
analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan
intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan
pemakaian oksigen otak.
3) Gangguan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan
menelan akibat mual, muntah.
Intervensi :
Mandiri
a. Lakukan penkes
Rasional : untuk memberikan penjelasan terhadap penyakit yang dialami
b. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah,menelan dan mengatasi sekresi
Rasional : Menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien
harus terlindung dari aspirasi
c. Auskultasi bising usus,cata adanya penurunan atau suara hiperaktif
Rasional : Membantu menentukan respon untuk makan atau berkembangnya
komplikasi seperti ileus paralitik
d. Timbang BB sesuai indikasi
Rasional : Mengevaluasi keefektipan pemberian nutrisi
e. Berikan makanan dalam jumlah kecil dan sering serta teratur
Rasional : Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap
nutrisi yang diberikan
Kolaborasi
a. Konsultasikan dengan ahli gizi
Rasional : Merupakan sumber yang efektip untuk mengidentifikasi kebutuhan
nutrisi
b. Berikan makanan dengan cara yang sesuai mis : NGT
Rasional : Jika pasien tidak mampu untuk menelan makanan
4) Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan neurovaskuler.
Intervensi :
a. Lakukan penkes
Rasional : untuk memberikan penjelasan terhadap penyakit yang dialami
b. Kaji fungsi motorik dan sensorik dengan mengobservasi setiap ekstermitas
secara terpisah terhadap kekuatan dan gerakan normal, respons terhadap
rangsang.
Rasional :  lobus frontal dan parietal berisi sarf-saraf yang mengatur fungsi
motorik dan sensorik dan dapat dipengaruhi oleh iskemia atau meningkatkan
tekanan.
c. Ubah posisi klien setiap 2 jam.
Rasional :  mencegah terjadinya luka tekan akibat tidur terlalu lama pada satu
sisi sehingga jaringan yang tertekan akan kekurangan nutrisi yang dibawa
darah melalui oksigen.
d. Lakukan latihan secara teratur dan letakkan telapak kaki klien dilantai saat
duduk dikursi atau papan penyangga saat tidur ditempat tidur.
Rasional :  mencegah deformitas dan komplikasi seperti footdrop.
e. Topang kaki saat mengubah posisi dengan meletakkan bantal di satu sisi saat
membalik klien.
Rasional : dapat terjadi dislokasi panggul jika meletakkan kaki terkulai dan
jatuh serta mencegah fleksi.
f. Pada saat klien ditempat tidur letakkan bantal di ketiak diantara lengan atas
dan dinding dada untuk mencegah abduksi bahu dan letakkan lengan posisi
berhubungan dengan abduksi sekitar 180.
Rasional : posisi ini membidangi bahu dalam berputar dan mencegah edema
dan akibat fibrosis.
g. Jaga lengan dalam posisi sedikit fleksi.
Rasional : mencegah kontraktur fleksi.
h. Lakukan latihan di tempat tidur.
Rasional : klien hemiplegia dapat belajar menggunakan kakinya yang
mengalami kelumpuhan.
i. Lakukan latihan ROM 4 x sehari setelah 24 jam serangan stroke jika sudah
mendapatkan terapi.
Rasional : lengan dapat menyebabkan nyeri dan keterbatasan pergerakan
berhubungan dengan fibrosis sendi subluksasi.
j. Bantu klien duduk atau turun dari tempat tidur.
Rasional : klien hemiplegia mengalami ketidakseimbangan sehingga perlu
dibantu untuk keselamatan dan keamanan

Anda mungkin juga menyukai