PENDAHULUAN
I.
Latar belakang
Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mempunyai daya elastisitas untuk
mengatasi trauma bila dipukul atau terbentur benda tumpul. Namun pada benturan,
beberapa mili detik akan terjadi depresi maksimal dan diikuti osilasi. Trauma pada
kepala dapat menyebabkan fraktur pada tengkorak dan trauma jaringan lunak/otak atau
kulit seperti kontusio/memar otak, oedem otak, perdarahan dengan derajat yang
bervariasi tergantung pada luas daerah trauma.
Sehingga apabila terjadi cedera kepala memerlukan penatalaksanaan yang cepat,
tepat dan asuhan keperawatan yang benar. Sehingga efek sekunder dari cedera kepala
dapat diminimalkan dan penyembuhan dapat maksimal.
Distribusi kasus cedera kepala / cedera otak terutama melibatkan kelompok usia
produktif, yaitu antara 15 44 tahun, dengan usia rata rata sekitar tiga puluh tahun, dan
lebih didominasi oleh kaum laki laki dibandingkan kaum perempuan. Adapun
penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas ( 49 % ) dan kemudian disusul
dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak anak).
Pada kehidupan sehari hari cedera kepala adalah tantangan umum bagi kalangan
medis untuk menghadapinya, di mana tampaknya keberlangsungan proses patofisiologis
yang diungkapkan dengan segala terobosan investigasi diagnosik medis mutakhir
cenderung bukanlah sesuatu yang sederhana. Berbagai istilah lama seperti kromosio dan
kontusio kini sudah ditingalkan dan klasifikasi cedera kepala lebih mengarah dalam
aplikasi penanganan klinis dalam mencapai keberhasilan penanganan yang maksimal.
Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan
kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tengkorak , durameter, vaskuler otak,
sampai jaringan otak sendiri. Baik berupa luka tertutup, maupun trauma tembus. Dengan
pemahaman landasan biomekanisme-patofisiologi terperinci dari masing masing proses
di atas, yang dihadapkan dengan prosedur penanganan cepat dan akurat, diharapkan
dapat menekan morbilitas dan mortalitasnya.
Jenis beban mekanik yang menimpa kepala sangat bervariasi dan rumit. Pada garis
besarnya dikelompokkan atas dua tipe yaitu beban statik dan beban dinamik. Beban
statik timbul perlahan lahan yang dalam hal ini tenaga tekanan diterapkan pada kepala
secara bertahap, hal ini bisa terjadi bila kepala mengalami gencetan atau efek tekanan
yang lambat dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih dari 200 mili detik. Dapat
mengakibatkan terjadinya keretakan tulang, fraktur multiple, atau kominutiva tengkorak
atau dasar tulang tengkorak. Biasanya koma atau defisit neurologik yang khas belum
muncul, kecuali bila deformasi tengkorak hebat sekali sehingga menimbulkan kompresi
dan distorsi jaringan otak, serta selanjutnya mengalami kerusakan yang fatal.
Mekanisme ruda paksa yang lebih umum adalah akibat beban dinamik, dimana
peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat ( kurang dari 200 mili detik).
Beban ini dibagi menjadi beban guncangan dan beban benturan. Komplikasi kejadian ini
dapat berupa hematoma intrakranial, yang dapat menjadikan penderita cedera kepala
derajat ringan dalam waktu yang singkat masuk dalam suatu keadan yang gawat dan
mengancam jiwanya.
Disatu pihak memang hanya sebagian saja kasus cedera kepala yang datang kerumah
sakit berlanjut menjadi hematom, tetapi dilain pihak frekuensi hematom ini terdapat
pada 75 % kasus yang datang sadar dan keluar meninggal .
II. Tujuan
.
a.
Tujuan Umum
Setelah membahas tentang Asuhan Keperawatan Pada Klien Trauma Kapitis
Berat
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Defenisi
Trauma kapitis berat adalah cedera yang mengakibatkan penurunan kesadaran
dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24 jam (Haddad,2012)
Trauma kapitis berat adalah cedera kepala dimana otak mengalami memar dengan
kemungkinan adanya daerah hemoragi , pasien berada pada periode tidak sadarkan diri
(Smeltzer, S.C & Bare, B.C, 2002 : 2212).
Cedera kepala berat adalah cedera otak karena tekanan atau benturan keras pada
kepala yang menyebabkan hilangnya fungsi neurology atau menurunnya kesadaran tanpa
menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2006).
Cedera kepala berat terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan
jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus
(Harsono, 2000 : 311).
Trauma kapitis berat merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas .
(Mansjoer Arif, dkk ,2000)
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah
trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau
kombinasinya (Standar Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito)
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa cedera kepala berat
adalah cedera dengan skala koma glasgow 3 8, dimana otak mengalami memar dengan
kemungkinan adanya perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan meskipun
neuron-neuran terputus.
B. Anatomi Fisiologi
Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak,tetapi meskipun
memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera.
Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak.
berbagai cedera bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan
terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala
membentur objek yang tidak bergerak. Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan
dan pada sisi yang berlawanan.
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf,
pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan
pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat.
Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang
sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak
tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau
menghancurkan jaringan otak.
Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke
bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak
dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong
otak kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke
dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak
mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan).
Meninges
Meninges adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus otak dan
medulla spinalis yang barisi liquor cerebrospinal dan berfungsi sebagai schock absorber.
Meninges terdiri dari tiga lapisan dari luar kedalam yaitu : duramater, arachnoidea dan
piamater.
a. Duramater
Merupakan selaput padat, keras dan tidak elastis. Duramater pembungkus medulla
spinalis terdiri atas satu lembar, sedangkan duramater otak terdiri atas dua lembar
yaitu lamina endostealis yang merupakan jaringan ikat fibrosa cranium, dan lamina
meningealis. Membentuk lipatan / duplikatur dibeberapa tempat, yaitu dilinea
mediana diantara kedua hehemispherium cerebri disebut falx cerebri , berbentuk
segitiga yang merupakan lanjutan kekaudal dari falx cerebri disebut Falx cerebelli,
berbentuk tenda yang merupakan atap dari fossa cranii posterior memisahkan
cerebrum dengan cerebellum disebut tentorium cerebelli, dan lembaran yang
menutupi sella tursica merupakan pembungkus hipophysis disebut diafragma sellae.
Diantara dua lembar duramater, dibeberapa tempat membentuk ruangan disebut
sinus ( venosus ) duramatris.
Sinus duramatis menerima aliran dari vv. Cerebri, vv. Diploicae, dan vv. Emissari.
Ada dua macam sinus duramatis yang tunggal dan yang berpasangan. Sinus
duramater yang tunggal adalah : sinus sagitalis superior, sinus sagitalis inferior, sinus
rectus, dan sinus occipitalis. Sinus sagitalis superior menerima darah dari vv.
Cerebri,vv. Diploicae, dan vv. Emissari.Sinus sagitalis inferior menerima darah dari
facies medialis otak. Sinus rectus terletak diantara falx cerebri dan tentorium
cerebelli, merupakan lanjutan dari v. cerebri magna, dengan sinus sagitalis superior
D. KLASIFIKASI
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul
setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat
cedera kepaka. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan
1. Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera
kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobilmotor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh
peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu
cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
2. Beratnya Cedera
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala
a. Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit
atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada
kontusio cerebral maupun hematoma
b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau
hematoma intracranial. ) Lacerasi cerebri ditandai dengan pingsan berhari-hari
atau berbulan-bulan, kelumpuhan anggota gerak biasanya disertai fraktur basis
cranii.
Skala Koma Glasgow
No
1
RESPON
NILAI
Membuka Mata :
- Spontan
- Terhadap nyeri
- Tidak ada
Verbal :
- Orientasi baik
- Orientasi terganggu
- Mampu bergerak
- Melokalisasi nyeri
- Fleksi menarik
- Fleksi abnormal
- Ekstensi
1
3-15
3. Morfologi Cedera
Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :
a. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk
garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak
biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain :
Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih
tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.
b. Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi
sering terjadi bersamaan.
Perdarahan Epidural
Perdarahan Subdural
Kontusio (perdarahan intra cerebral)
Apabila lesi
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera
kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak
terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara
dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan sering
kali tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah
keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia integrad (
keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan sesudah cedera) Komusio
cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunya atau hilangnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya
kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible.
Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam waktu kurang
dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih kembali
tanpa cacat neurologist, namun pada beberapa penderita dapat timbul deficit
neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu misalnya : kesulitan
mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya. Gejalagejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana penderita
mengalami coma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan
oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya penderita dalam keadaan
koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu, penderita sering
menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering tetap
dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering
menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer
E. TANDA DAN GEJALA CIDERA KEPALA BERAT
Cidera kepala berat mempunyai tanda yang variabel yaitu:
Perubahan kesadaran
Muntah (mungkin proyektif)
Gangguan menelan
Perubahan kesadaran sampai koma
Cidera orthopedic
Kehilangan tonus otot
Perubahan status mental
Perubahan pupil
Kehilangan penginderaan
Delirium (suatu kondisi dimana kesadaran menjadi kabur dan disertai ilusi atau
halusinasi)
Kejang
Kehilangan sensasi sebagian tubuh
Agitasi
Wajah menyeringai
Bingung
Respon menarik pada rangsang
Perubahan pola nafas
Nyeri yang hebat
Nafas bunyi rochi
Gelisah
Fraktur atau dislokasi
Gangguan rentang gerak
Gangguan penglihatan
Gangguan dalam regulasi suhu tubuh
Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal
E. FATOFISIOLOGI
Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak.
berbagai cedera bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan
terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala
membentur objek yang tidak bergerak. Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan
dan pada sisi yang berlawanan.
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf,
pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan
pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan
penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh
pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas,
maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak.
Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke
bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak
dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong
otak kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke
dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak
mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan).
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg
%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat
akibat metabolisme anaerob.
Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral
blood flow (CBF) adalah 50 60 ml / menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15
% dari cardiac output. Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup
aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia,
fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi .
Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Indikasi CT Scan adalah :
a. Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat obatan analgesia/anti muntah.
b. Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
c. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,
febris, dll).
d. Adanya lateralisasi.
e. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
f. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
g. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
h. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan
kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi
indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus
alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap,
Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran (Bajamal A.H ,1999). Sebagai indikasi
foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut
tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan
foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
6
tekanan intrakranial
Foto cervical bila ada tanda-tanda fraktur cervical
G. PENATALAKSANAAN
Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan :
a. Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder;
b. Memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman.
Pendekatan tunggu dulu pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena
diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering diperburuk
oleh akibat cedera otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan hipotensi mempunyai
mortalitas dua kali lebih banyak daripada tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi
akan menyebabkan mortalitas mencapai 75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal
berupa stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan secepatnya
Penanganan di Tempat Kejadian
Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan sebelum
sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok, hipoksemia, dan
hiperkarbia.
Dengan
demikian,
prinsip
penanganan
ABC
(airway, breathing, dan circulation) dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan
dapat memberatkan cedera tubuh yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan
pelvis.
Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain shock
selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang sangat
lemah, sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid
bahkan kadang-kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering disalah tafsirkan bahwa
penderita sudah mati, tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat
seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu segera
bantuan pernapasan.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika penderita
dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi
jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh
benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha
untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical
spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan
dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan
hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan
dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi
jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas
tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat
bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang
memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas
belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakheal.
Pedoman penatalaksanaan:
1.
Pada sernua pasien dengan cedera kepala dan atau leher, lakukan foto tulang
belakang servikal (proyeksi antero-posterior. lateral, dan odontoid), kolar servikal
baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal Cl -C7 normal.
2.
Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut
:
Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCI 0,9%) atau larutan
Ringer laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular
daripada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak menambah edema serebri
tromboplastin
3.
Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepala tidak diperlukan jika
CT- Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur.
Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang, atau berat, harus dievaluasi adanya:
4.
Hematoma epidural
Edema serebri
Pada pasien yang korna (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda hemiasi,
lakukan tindakan berikut ini :
Hiperventilasi
H. KOMPLIKASI
1. Kebocoran cairan cerebrospinal, dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan
terjadi pada 2 6 % pasien dengan cidera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti
spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase
lumbai dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki resiko
meningitis yang meningkat (biasanya pneumolok), pemberian antibiotik profilaksis
masih kontoversial. Otorea atau rinorea cairan cerebrospinal yang menentap atau
meningitis berulang merupakan indikasi untuk operasi reparatif.
2. Fistel Karotis-Kavernosusu, ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosisi dan
bruit orbital dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cidera. Anglografi
diperlukan untuk konformasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskular
merupakan cara yang paling efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan yang
permanen.
3. Diabetes Incipidus, dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien mengekskresikan
sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum.
Vasopresin arginin (pitressin) 5 10 unit intravena, intramuscular, atau subkutan
setiap 4 6 jam atau desmopressin asetat subkutan atau intravena 2 4 mg setiap 12
jam, diberikan untuk mempertahankan pengeluaran urin kurang dari 200 ml/jam, dan
volume diganti dengan cairan hipotonis (0,25 5 atau 0,45 % salin) tergantung pada
berat ringannya hipernatremia.
4. Kejang Pascatrauma, dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan
predesposisi untuk kejang lanjut. Kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat
untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.
Insidens keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah
cidera kepala tertutup adalah 5 %; resiko mendekati 20 % pada pasien dengan
perdarahan intrakranial ayau fraktur depresi.
5. Pneumonia, radang paru-paru disertai eksudasi dan konsolidasi.
6. Meningitis Ventrikulitis
I.
PROGNOSIS
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien
dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang
besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi
vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal
atau vegetatif hanya 5 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom
kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan
perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala.
Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.
Faktor-faktor yang memperjelek prognosis ada 5, yaitu:
a. Terlambat penanganan awal/resusitasi;
b. Pengangkutan/transport yang tidak adekuat;
c. Dikirim ke RS yang tidak adekuat;
d. Terlambat dilakukan tindakan bedah;
e. Disertai cedera multipel yang lain.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1.
PENGKAJIAN
A. Primery survey
A = Airway (Jalan Napas)
Yang harus dikaji yaitu;
1. Tingkat kesadaran, apakah klien terlihat sadar atau tidak.
2. Jalan nafas, apakah ada sumbatan atau tidak seperti cairan (secret atau darah),
benda asing, serpihan.
3. Tekanan darah
4. Wheezing/suara menciut di akhir pernafasan
5. Rhonci/seprti suara gemuruh
Penatalaksanaannya :
-
B = Breathing (Pernafasan)
Yang harus dikaji yaitu :
1. Look, listen, feel (kalau pasiennya sadar maka tidak ada masalah)
2. Frekuensi
3. Pola nafas
4. Kedalaman
5. Kualitas
6. Penggunaan otot pernafasan
7. Pengunaan caping hidung
b. GCS
Mata (eye)
4 = spontan membuka mata
3 = dengan perintah
2 = dengan memberikan rangsangan nyeri
1 = tidak ada respon
Motorik
6 = mengikuti perintah
5 = melokalisir nyeri
4 = menghindari nyeri
3 = fleksi abnormal
2 = ekstensi abnormal
1 = tidak ada rangsangan
Verbal(komunikasi)
5 = orientasi baik
4 = disorientasi waktu dan tempat tapi dapat mengungkapkan kalimat
3 = hanya mengucapkan kata kata
2 = mengerang
1 = tidak merespon
o Reflek cahaya
a.
Kaku kuduk
b. Reflek kernik
2. Respon nyeri (0-10)
0 = tidak ada nyeri
1-3 = nyeri ringan
4-6 = nyeri sedang
7-9 = nyeri berat
10 = sangat nyeri
3. Kekuatan otot(0-5)
Penilaian kekuatan otot
0 = tidak ada kontraksi
1 = terdapat kontraksi tapi tidak dapat bergerak
2 = hanya ada gerakan sendi
3 = dapat mengadakan gerakan melawan gravitasi tidak dapat melawan gravitasi
4 = dapat melawan gravitasi tapi tidak dapat menahan tahanan gravitasi
5 = dapat melawan tahanan pemeriksa dengan kekuatan penuh
B.
Sekondari survey
a.
Anamnesis
Keluhan utama yang sering
3)
b. Pengkajian Psiko-Sosio-Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari.
c.
2)
Pola Nutrisi/metabolic
Sebelum MRS klien biasa makan 3 kali sehari, minum 6-8 gelas
sehari.Sejak MRS klien mengatakan tidak bisa makan dan minum karena
mual-mual dan muntah. Sejak kecelakaan sampai sekarang, klien sudah
muntah 4 kali berisi sisa makanan, darah (-). Siang ini klien sempat makan
bubur 3 sendok tetapi berhenti karena mual muntah. Minum dari tadi pagi
100 cc air putih.
3)
Pola eliminasi
Sebelum MRS klien biasa BAB 1 kali sehari, BAK 7 8 kali sehari (
1200-1500 cc). Sejak MRS di Ruang Ratna klien sudah BAK 2 kali dengan
jumlah 200 cc setiap kali BAK menggunakan pispot di atas tempat tidur.
Sejak MRS klien belum BAB.
4)
5)
Pola kognitif-perseptual
Klien mampu berkomunikasi dengan suara yang pelan tetapi jelas. Klien
mengatakan penglihatan cukup jelas tetapi tidak bisa membuka mata lamalama karena masih mengeluh pusingdan mual. Klien mengeluh telinga kiri
terasa penuh berisi cairan sehingga pendengaran agak terganggu. Tampak
otore keluar dari telinga kiri. Klien juga mengeluh sakit kepala seperti
berdenyut-denyut terutama di bagian kanan dan kadang-kadang disertai
pusing-pusing. Klien tampak meringis terutama saat bergerak. Skala nyeri
4-5 (sedang).
8)
Pola peran-hubungan
Saat ini klien ditunggu oleh suaminya dan hubungan mereka terlihat baik.
Keluarga besar klien ada di Jawa. Di Bali klien punya beberapa famili dan
teman-teman yang sudah datang menjenguk klien tadi pagi.
Keadaan umum
DIAGNOSA KEPERAWATAN
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
cedera kepala berat adalah cedera dengan skala koma glasgow 3 8, dimana otak
mengalami memar dengan kemungkinan adanya perdarahan di dalam jaringan otak tanpa
adanya robekan meskipun neuron-neuran terputus.
Cedera kepala disebabkan oleh trauma oleh benda tajam,trauma oleh benda tumpul
menyebabkan kerusakan substansi otak Kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan
diteruskan ke substansi otak energi diserap lapisan pelindung yaitu rambut kulit kepala
dan tengkorak,Kecelakaan lalu lintas Kecelakaan kerja, Trauma pada olah raga
Kejatuhan benda keras,Luka tembak
Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan: memantau
sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder,
memperbaiki
keadaan
umum
seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Komplikasi CKB adalah
B. SARAN
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa
/mahasiswi tentang Askep pada Trauma Kapitis Berat
DAFTAR PUSTAKA
Mansjur, Arif. 2007 . Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesai
Smeltzer, Suzanne. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Ed.8. EGC.
Jakarta
Samir H, Haddad dan Yeseen M Arabi.2012.Critical Care Manajement Of Severe Traumatic Brain
Injury And Aduls . Journal Of Trauma Resucitation And Emergency Medicine.
Anonim.cedera kepala.http://Naskah_Publikasi.pdf.diakses tanggal 10 November 2015.pukul 10.00
WITA.