Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA

DISUSUN OLEH
DEVI RIANTI
NIM: 16172055 P

DOSEN PEMBIMBING:Ns.SAIFUL RIZA M.Kep

PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS ABULYATAMA
ACEH 2018
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Cedera kepala adalah trauma yang meliputi trauma kulit
kepala, tengkorak, dan otak, dan cedera kepala paling sering dan
penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan
merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
(Brunner & Suddarth, 2001).
Cedera Kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar
terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. (Arief Mansjoer, 2000).
2. Anatomi Fisiologi Otak
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang
yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut
akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain
itu, begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala
dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian
masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya
terjadi sekunder akibat cedera.
Meninges melindungi otak dan memberikan perlindungan
tambahan. Ketiga lapisan meninges adalah dura meter, araknoid, dan
pia meter. Masing-masing mempunyai fungsi tersendiri dan
strukturnya berbeda dari struktur lain. Dura meter adalah membran
luar yang liat, semitranslusen, dan tidak elastis. Fungsinya untuk (1)
melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus vena (yang terdiri atas
dura meter dan lapisan endotelial saja tanpa jaringan vascular), dan
(3) membentuk periosteum tabula interna. Dura meter erat dengan
permukaan bagian dalam tengkorak. Bila dura robek dan tidak
diperbaiki dengan sempurna dan dibuat kedap udara, akan
menimbulkan berbagai masalah, fungsi terpenting dura
kemungkinan adalah sebagai pelindung. Di dekat dura (tetapi tidak
melekat pada dura) terdapat membrane fibrosa halus dan elastis yang
dikenal sebagai araknoid. Membran ini tidak melekat pada dura
meter. Perdarahan antara dura dan araknoid (ruang subdural) dapat
menyebar dengan bebas, dan hanya terbatas oleh sawar falks serebri
dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati ruangan ini hanya
mempunyai sedikit jaringan penyokong dan oleh karena itu mudah
sekali terkena cedera dan robek pada trauma. Diantara araknoid dan
pia meter terdapat ruang subaraknoid. Ruangan ini melebar dan
mendalam pada tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi cairan
serebrospinal (CSS). Pada sinus sagitalis superior dan tranversal,
araknoid membentuk tonjolan villus yang bertindak sebagai lintasan
untuk mengosongkan cairan serebrospinal kedalam sistem vena.
Sedangkan lapisan terakhir atau pia meter adalah membrane halus
yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halus dan merupakan
satu-satunya lapisan meningeal yang masuk kedalam sulkus dan
membungkus semua girus; kedua lapisan yang lain hanya
menjembatani sulkus.

3. Klasifikasi Cedera Kepala


Adapun pembagian / pengklasifikasian cedera kepala (Arief
Mansjoer, 2000 : hal 3) adalah :
a. Berdasarkan mekanisme cedera
Berdasarkan adanya penetrasi durameter, cedera kepala dibagi
menjadi :
1) Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), dan
kecepaan rendah (terjatuh, dipukul).
2) Trauma tembus : luka tembus peluru dan cedera tembus
lainnya)
b. Berdasarkan Keparahan cedera
1) Cedera Kepala Ringan (CKR) : GCS 13-15
2) Cedera Kepala Sedang (CKS) : GCS 9-12
3) Cedera Kepala Berat (CKB) : GCS 3-8
c. Berdasarkan Morfologi
1) Fraktur tengkorak :
a) Kranium : linear/stelatum: depresi/non depresi;
terbuka/tertutup
b) Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal
dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII (Nervus Facialis)
2) Lesi Intrakranial :
a) Fokal : epidural, subdural, intraserebral
b) Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonall difus

Sedangkan menurut Brunner & Suddarth (2002),


pengklasifikasian cedera kepala berdasarkan cedera spesifik pada
otak kepala dibagi :
a. Komosio
Komosio serebral setelah cedera kepala adalah hilangnya
fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Komosio
umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam
waktu yang berakhir selama beberapa menit. Getaran otak sedikit
saja hanya akan menimbulkan pusing atau berkunang-kunang,
atau dapat juga kehilangan kesadaran komplet sewaktu.
b. Kontusio
Kontusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana
otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah
hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala
akan muncul dan lebih khas. Pasien terbaring kehilangan gerakan,
denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.
Sering terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari. Pasien dapat
diusahakan bangun tetapi segera masuk dalam keadaan tidak
sadar.
c. Hematome intracranial
1) Hematom Epidural
Setelah cedera kepala, darah berkumpul didalam ruang
epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini
sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan
arteri meningeal tengah putus atau rusak, dimana arteri ini berada
di antara dura dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis
tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan
penekanan pada otak. Tanda dan gejala klasik terdiri dari
penurunan kesadaran ringan pada waktu terjadi benturan diikuti
oleh periode lucid (pikiran jernih) dari beberapa menit sampai
beberapa jam. Pasien dengan hematoma epidural membentuk suatu
kelompok yang dapat dikategorikan sebagai “talk” and “die”.
2) Hematom Subdural
Hematom subdural adalah pengumpulan darah di antara dura
dan dasar otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi oleh
cairan. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi juga terjadi
kecenderungan perdarahan yang serius dan aneurisma. Hemoragi
subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat
terputusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang
subdural
a)Hematoma Subdural Akut
Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga
darah dan CSS masuk ke dalam ruang subdural. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan
herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya
pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah.
Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah trauma.
Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan echoensefalogram /
CT Scan. Pengobatan terutama tindakan bedah.
b) Hematoma Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan defisit neurologik yang
bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan intra
kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi
ulkus / sentral dan melengkapi tanda – tanda neurologik dari
kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan
darah.
c) Hematoma subdural Kronik
Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa
minggu, bulan, dan tahun setelah cedera pertama. Perluasan ini
massa terjadi pada kebocoran kapiler lambat. Gejala umum meliputi
sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang -kadang
disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi. Pada klien dengan
hematoma kecil tanpa tanda–tanda neurologik, maka tindakan
pengobatan yang terbaik adalah melakukan pemantauan ketat.
Sedangkan klien dengan gangguan neurologik yang progresif dan
gejala kelemahan, cara pengobatan yang terbaik adalah pembedahan.
3) Hemoragi intraserebral
Hemoragi intraserebral adalah perdarahan ke dalam substansi
otak. Hemoragi biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan
mendesak ke kepala sampai daerah kecil. Hemoragi ini di dalam
otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik, yang
menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah; rupture
kantung aneurisma; anomali vaskuler; tumor intracranial; penyebab
sistemik, termasuk gangguan perdarahan seperti leukemia,
hemofilia, anemia aplastik, dan trombositopenia.
4. Etiologi
Etiologi/penyebab dan terjadinya Cedera Kepala adalah
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan di rumah, kecelakaan kerja, peluru
yang menembus tulang tengkorak, kejatuhan atau jatuh dari pohon,
akibat kekerasan.
5. Patofisiologi
Derajat kerusakan yang terjadi pada penderita cedera kepala
bergantung pada kekuatan yang menimpa, makin besar kekuatan,
makin parah kerusakan. Kekuatan tersebut terbagi menjadi 2, yaitu
pertama cedera setempat yang disebabkan oleh benda tajam
berkecepatan rendah yang dapat merusak fungsi neurologik pada
tempat tertentu karena benda atau fragmen tulang menembus dura.
Kedua, cedera menyeluruh, yang menyebabkan kerusakan terjadi
waktu energi atau kekuatan diteruskan ke otak.

Karena neurofisiologis pernafasan sangant kompleks,


kerusakan neurologist dapat menimbulkan masalah pada beberapa
tingkat. Beberapa lokasi pada hemisfer serebral mengatur control
volunter terhadap otot yang digunakan pada pernafasan, pada
sinkronisasi dan koordinasi serebelum pada upaya otot. Serebrum
juga mempunyai beberapa kontrol terhadap frekuensi dan irama
pernafasan. Nucleus pada pons dan area otak tengah dari batang otak
mengatur otomatisasi pernafasan. Sel-sel pada area ini bertanggunga
jawab pada perubahan kecil dari pH dan kandungan oksigen sekitar
darah dan jaringan. Pusat ini dapat dicederai oleh peningkatan TIK
dan hipoksia serta oleh trauma langsung. Trauma serebral yang
mengubah tingkat kesadaran biasanya menimbulkan hipoventilasi
alveolar karena nafas dangkal. Faktor ini akhirnya menimbulkan
gagal nafas, yang mengakibatkan laju mortalitas tinggi pasien
dengan cedera kepala, sedangkan pola pernafasan berbeda dapat
diidentifikasi bila terdapat disfungsi intracranial.

Akibat utama dari cedera otak dapat mempengaruhi gerakan


tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari
kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat
mempunyai control volunter terhadap gerakan dalam menghadapi
kesulitan perawatan diri dn kehidupan sehari-hari yang berhubungan
dengan postur, spastisitas, atau kontraktur.

Gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer serebral


akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan pada
sisi mulut yang dipengaruhi dan untuk memanipulasinya dengan
gerakan pipi dan lidah. Selain itu, refleks menelan dari batang otak
mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali.

Pasien dengan trauma serebral disertai gangguan kemampuan


komunikasi bukan terjadi secara tersendiri. Disfungsi ini paling
sering menyebabkan kecacatan pada seseorang yang mengalami
cedera kepala. Pasien yang telah mengalami trauma pada area
hemisfer serebral dominan.

6. Tanda dan Gejala


Gejala-gejala yang muncul pada cedera lokal tergantung pada
jumlah dan distribusi cedera otak. Nyeri yang menetap atau
setempat, bisanya menunjukkan adanya fraktur.
a. Fraktur Kubah Kranial menyebabkan bengkak pada sekitar
fraktur, dan atas alasan ini diagnosis yang akurat tidak dapat
ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar-x.
b. Fraktur dasar tengkorak :

Cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal


atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, dimana dapat
menimbulkan tanda seperti :

1) Hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat di


bawah konjungtiva

2) Ekimosis atau memar, mungkin terlihat diatas mastoid (battle


sign)

c. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal


berdarah.

d. Penurunan kesadaran

e. Nyeri kepala

f. Mual, muntah

g. Brill Hematom

h. Pingsan

7. Pemeriksaan Diagnostik

a. CT Scan Kepala

Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan ukuran


ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Pemeriksaan berulang
mungkin diperlukan karena pada iskemik/ infark mungkin tidak
terdeteksi dalam 24-72 jam pascatrauma.

b. MRI

Sama dengan skan CT dengan/ tanpa menggunakan kontras.

c. Angiografi

Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran


jaringan otak akibat edema, perdarahan, dan trauma.
d. EEG

Untuk memperlihatkan keberdaan atau berkembangnya


gelombang patologis

e. Sinar X

Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),


pergeseran struktur garis tengah (karena perdarahan, edema),
adanya fragmrn tulang

f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)

Menentukan fungsi korteks dan batang otak

g. PET (Positron Emission Tomography)

Menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak

h. Pungsi Lumbal, CSS

Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subaraknoid

i. GDA (Gas Darah Arteri)

Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan


dapat meningkatkan TIK

j. Kimia / elektrolit darah

Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam


meningkatkan TIK / perubahan mental

k. Pemeriksaan Toksikologi

Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap


penurunan kesadaran

l. Kadar antikonvulsan darah

Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup


efektif untuk mengatasi kejang.
8. Penatalaksanaan

a. Pedoman Resusitasi dan Penilaian awal

1) Menilai jalan nafas

Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan


gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan
dengan memasang kolar servikal, pasang gudel bila dapat
ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas, maka
pasien harus diintubasi.

2) Menilai Pernafasan

Tentukan apakah pasien bernafas spontas atau tidak. Jika


tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernafas
spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti
penumotorak, pneumotoraks tensif.

3) Menilai sirkulasi

Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua


perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus
adanya cedera intra abdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi
denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau atau
EKG. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk
pemeriksaan darah perifer lengkap ureum, elektrolit, glukosa dan
AGD, serta berikan cairan koloid.

4) Obati Kejang

Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan


harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena
perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih
kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan penitoin 15 mg/kg BB
diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak
melebihi 50 mg/menit.

5) Menilai tingkat keparahan

a) Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)


GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, dan orientif); tidak ada
kehilangan kesadaran; tidak ada intoksikasi alcohol atau obat
terlarang; pasien tidak mengeluh nyeri kepala dan pusing;
pasien tidak menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit
kepala.

b) Cedara kepala sedang (kelompok resiko sedang)

GCS 9-12 (konfusi, letargi, stupor); konkusi amnesia


pasca trauma; muntah; tanda kemungkinan fraktur kranium
(tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau
rinorea cairan serebrospinal).

c) Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)

GCS 3-8 (koma), penurunan derajat kesadaran secara


progresif; tanda neurologist fokal; cedera kepala penetrasi atau
teraba fraktur depresi kranium.

9. Pedoman penatalaksanaan

1) Pada semua pasien dengan cedera kepala dan / atau leher, lakukan
foto tulang belakang servikal (proyeksi antero – posteriol, lateral,
dan adontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa
seluruh tulang servikal C1-C7 normal.

2) Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan
prosedur berikut :

a) Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%)


atau larutan Ringer Laktat : cairan isotonis lebih efektif
mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan
cairan ini tidak menanbah edema serebri.

b) Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer


lengkap, trombosit, kimia darah, glukosa, ureum, dan kreatinin,
masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining
toksikologi dan kadar alcohol bila perlu.

c) Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala


tidak diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT scan ini
lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera
ringan , sedang atau berat, harus dievaluasi adanya :
(a). Hematoma Epidural,

(b). Darah dalam subarachnoid dan intraventrikal

(c). Kontusio dan perdarahan jaringan

(d). Obliterasi sisterna perimesensefalik

(e). Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus.

3) Pada pasien yang koma (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-
tanda herniasi, lakukan tindakan berikut ini :

a) Elevasi kepala 300

b) Hiperventilasi

c) Berikan manitol 20% 1 gram / kg intravena dalam 20-30 menit.


Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kamudian yaitu sebesar
¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama

d) Pasang kateter foley

e) Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematom


epidural besar, hematom subdural, cedera kepala terbuka, dan
fraktur impresi > 1 diploe)

4) Penatalaksanaan khusus

a) Cedera kepala ringan : Pasien dengan cedera kepala ringan ini


umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan
pemeriksaan CT scan bila memenuhi kriteria berikut :

(1). Hasil pemeriksaan neurologist (terutama status mini


mental dan gaya berjalan) dalam batas normal

(2). Foto servikal jelas normal

(3). Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati


pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk
segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul
gejala perburukan.

Sedangkan criteria perawatan di rumah sakit adalah :


(1). Adanya darah intrakrnial atau fraktur atau fraktur yang
tampak pada CT Scan

(2). Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun

(3). Adanya tanda atau gejala neurologist fokal

(4). Intoksikasi obat atau alcohol

(5). Adanya penyakit medis komorbid yang nyata

(6). Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk


mengamati pasien di rumah

b) Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak


(komosio otak), dengan skala koma Glasgow 15 (sadar
penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan
normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan
untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala,
mual, muntah, pusing, atau amnesia. Resiko timbulnya lesi
intracranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera
kepala sedang adalah minimal.

c) Cedera kepala berat : penatalaksanaan cedera kepala berat


seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Hal yang harus
diperhatikan pada pasien dengan cedera kepala berat adalah :

(1).Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi

(2).Monitor tekanan darah : karena autoregulasi sering


terganggu pada cedera kepala akut, maka tekanan arteri
rata-rata harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi
(<70 mmHg) dan hipertensi (>130 mmHg). Hipertensi
dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan hipertensi
dapat mengeksaserbasi serebri.

(3). Pemasangan alat monitor tekanan intracranial pada


pasien dengan skor GCS <8, bila memungkinkan

(4). Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin


normal atau ringer laktat) yang diberikan kekpada pasien
dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam
salin 0,45% atau dekstrose 5% harus diberikan sesegera
mungkin.

(5). Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respon


hipermetabolik dan katabolic, dengan keperluan 50-
100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan
enteral melalui pipa nasogatrik harus diberikan sesegera
mungkin

(6). Temperatur badan : demam dapat mengakserbasi cedera


otak.

(7). Anti kejang : fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena,


kemudia 300 mg/hari intravena.

(8). Steroid : tidak terbukti mengubah hasil pengobatan


pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan
resiko infeksi, hiperglikemi dan komplikasi lain.

(9). Antibiotik : penggunaan antibiotic rutin untuk profilaksis


pada pasien dengan cedera kepala terbuka masih
controversial. Golongan penisilin dapat mengurangi
resiko meningitis.

9. Komplikasi

Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan


hematom intracranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak.
(Brunner & Suddarth, 2002 : hal. 2215)

a. Edema serebral dimana terjadi peningkatan tekanan intrakranial


karena ketidaknmampuan tengkorak utuh untuk membesar
meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak
diakibatkan dari trauma.

b. Herniasi otak adalah perubahan posisi ke bawah atau lateral otak


melalui atau terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan
iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel, dan kematian.

c. Defisit neurologik dn psikologik

d. Infeksi sistemik (pneumoni, infeksi saluran kemih, septicemia)


e. Infeksi bedah neuron (infeksi luka, osteomielitis, meningitis,
ventikulitis, abses otak)

f. Osifikasi heterotopik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang


penunjang berat badan)

Menurut Arief Mansjoer (2000), komplikasi dari cedera kepala


berat, yaitu:

a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya


leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera
kepala tertutup.

b. Fistel karotis kavernosus ditandai dengan trias gejala:


eksolftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat segera timbul atau
beberapa hari setelah cedera.

c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik


pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi
hormon antidiuretik.

d. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam),


dini(minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).

B. Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan adalah factor penting dalam survival klien


dan aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitatif, dan preventif perawatan
kesehatan (Merilynn E. Doenges, 2000).

1. Pengkajian
Pengkajian Kegawatdaruratan :
Primary Survey
a. Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau
maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat
dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan
memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh
dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.
b. Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari
tubuh. Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari paru,
dinding dada dan diafragma.
c. Circulation dan hemorrhage control
1) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus
dianggap disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam
hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
2) Kontrol Perdarahan
d. Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil.
e. Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk
memeriksa jejas.
2. Secondary Survey
a. Fokus assessment
b. Head to toe assessment
Pengkajian klien dengan cidera kepala menurut muttaqin (2008).
a. Aktivitas dan istirahat
Gejala: klien mudah lelah, kelemahan, dan kehilanagan
sensori/paralisis.
Tanda: perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan,
rendahnya kadar hemoglobin atau syok dan pucat,
sianosis, adanya penurunan darah portal akibat
penggunaan PRC dalam jangka lama.
b. Sirkulasi
Gejala: perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi),
perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardia,
aritmia).
c. Integritas ego
Gejala: perubahan tingkah laku atau kepribadian (perubahan
status mental).
Tanda: prilaku lambat dan sangat hati-hati, kesulitan dalam
pemahaman, mudah lupa, afasia dan mudah frustasi.
d. Eliminasi
Gejala: Inkontinesia urine atau mengalami gangguan fungsi.
e. Makanan dan Cairan
Gejala: Mual, Muntah dan penurunan nafsu makan.
Tanda: Peningkatan asam lambung dan kesulitan menelan.
f. Neurosensori
Gejala: kehilangan kesadaran sementara, kehilanagan
pendengaran, perubahan dalam penglihatan seperti
ketajamannya, kehilangan sensori seperti kesulitan
dalam menginterprestasikan stimuli visul.
Tanda: perubahan kesadaran biasa sampai koma, perubahan
status mental(orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori), perubahan pupil
(respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti, kehilangan penginderaan,
hemiparase, kehilangan sensasi sebagian tubuh.
g. Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,
biasanya lama.
Tanda: Wajah menyeringai, respon menarik terhadap rangsangan
nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristrirahat,
merintih.
h. Pernafasan
Tanda: perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh
hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, tersedak,
ronkhi.
i. Keamanan
Gejala: trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda: Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, laserasi pada
kulit, gangguan rentang gerak, gangguan dalam regulasi
suhu tubuh.
j. Interaksi sosial
Tanda: Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, atau
bicara berulang-ulang.
k. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala: Penggunaan Alkohol/obat lain.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang muncul menurut Nanda (2009-2011) dan Muttaqin
(2008) diagnosa keperawatan yang muncul pada klien cidera kepala:
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan
dengan trauma kepala, Nanda(2011)
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan disfungsi
neuromuscular, Nanda(2011).
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera (misalnya biologis,
zat kimia, fisik, psikologis), Nanda (2012).
d. Tidak efektif bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
adanya jalan nafas buatan pada trakea, peningkatan sekresi
secret, dan ketidakmampuan batuk efektif sekunder akibat nyeri
dan kelelahan, Muttaqin (2008).
e. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang
berhubungan dengan gangguan alat bantu nafas (respirator),
Munttaqin(2008).
f. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan perubahan mencerna makanan, peningkatan
kebutuhan metabolisme, Muttaqin(2008).
g. Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak
ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya
perdarahan baik bersifat intra serebral hematoma, subdural
hematoma, dan epidural hematoma, Muttaqin (2008).

3. Intervensi Keperawatan
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan
dengan trauma kepala.
Intervensi :
a. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu
atau yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak
dan potensial peningkatan TIK.
Rasional : Menentukan pilihan intervensi
b. Pantau/catat status neurologis secara teratur dan dibandingkan
dengan nilai standar.
Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran
dan potensi peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan
lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
c. Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana.
Rasional : Petunjuk untuk mengetahui kesadaran pasien yang
matanya tertutup sebagai akibat dari trauma atau pasien yang
afasia.
d. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara
kiri dan kanan, dan reaksi terhadap cahaya.
Rasional : reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (111)
dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik.
e. Kolaborasi pembatasn pemberian cairan sesuai indikasi, berikan
cairan melalui IV dengan alat kontral.
Rasional : Pembatasan cairan mungkin diperlukan untuk
menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran
vaskular, tekanan darah (TD) dan TIK.
f. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi (diuretik, steroid,
antikonvulsan, anagetik).
Rasional : Diuretik dapat digunakan fase akut untuk menurunkan air
dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK. Steroid
menurunkan inflamasi. Antikonvulsan adalah obat pilihan
untuk mengatasi dan mencegah terjadinya kejang. Analgetik
dapat di indikasikan untuk menghilangkan nyeri.
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan disfungsi
neuromucular.
Intervensi :
a). Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi
pulmonal.
b). Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring
sesuai indikasi.
Rasional : Untuk memudahkan eksvansi paru/ventilasi paru dan
menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh kebelakang
yang menyumbat jalan nafas.
c). Anjurkan klien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika
pasien sadar.
Rasional :Mencegah/menurunkan atelektatis.
d). Pantau pengguanaan dari obat-obatan deprensen pernafasan,
seperti sedative.
Rasional : Dapat meningkatkan gangguan/komplikasi
pernafasan.
e). Kolaborasi pemberian tindakan nebulezer ultrasonic atau
oksigen sesuai program institusi.
Rasional : Memaksimalkan oksigen pada arteri dan tanda-tanda
komplikasi yang berkembang.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera (misalnya biologis,
zat kimia, fisik, psiologis).
Intervensi :
a). Lakukan pengkajian secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, dan faktor presipitasi.
b.). Ajarkan relaksasi : Teknik untuk menurunkan ketegangan otot
rangka yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga
meningkatkan relaksasi masase.
c). Observasi relaksasi nonverbal dan ketidaknyamanan.
d). Berikan kesempatan waktu istirahat bila rasa nyeri dan
berikan posisi yang nyaman misalnya ketika tidur,
belakangnya di pasang bantal kecil.
Rasional : Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan
sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
e). Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri.
f). Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik.
Rasional : Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga akan
berkurang.
d. Tidak efektif bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
adanya jalan nafas buatan pada trakea, peningkatan sekresi
secret, dan ketidakmampuan batuk efektif sekunder akibat nyeri
dan kelemahan.
Intervensi :
a). Kaji dalam nafas
Rasional : Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi
secret, sisa cairan mucus, perdarahan, bronkhospasme,
dan/atau posisi dari endotracheal/ tracheastomy tube yang
berubah.
b). Lakukan penghisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi
penghisapan dengan 15 detik atau lebih.
Rasional : Penghisapan lendir tidak selamanya dilakukan terus-
menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah
bahaya hipoksia.
c). Atur/rubah posisi klien secara teratur(tiap 2 jam).
Rasional : Mengatur pengeluaran secret dan ventilasi segmen
paru-paru, mengurangi resiko ateletaksis.
d). Berikan minuman hangat jika keadaan memungkinkan.
Rasional : Membantu mengencerkan secret, mempermudah
pengeluaran secret.
e). Kolaborasi dengan dokter pemberian ekspektoran, antibiotik,
fisioterapi dada dan konsul foto thoraks.
Rasional : Ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir
dan mengevaluasi perbaikan kondisi atas pengembangan
parunya.
e. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
berhubungan dengan penggunaan alat bantu nafas(respirator).
Intevensi :
a. Pertahankan secara ketat inteke dan ouput.
Rasional : Untuk mencegah mengidentifikasi secara dini terjadi
kelebihan cairan.
b. Timbang berat badan tiap hari
Rasional : Peningkatan berat badan merupakan indikasi
berkembangnya dan bertambahnya edema sebagai
manifestasi dari kelebihan cairan.
c. Kaji dan observasi suara nafas, vocal fremitus, hasil foto
thoraks.
Rasional : Adanya ronkhi basan, vokal fremitus menandakan
adanya edema paru-paru.
d. Hitunglah jumlah cairan yang masuk dan keluar.
Rasional : memberikan informasi tentang keadaan cairan
tubuh secara umum untuk mempertahankannya tetap
seimbang.
e. Kolaborasi pemberian cairan melalui infus jika di
indikasikan.
Rasional : Mempertahankan volume sirkulasi dan tekanan
osmotik.
f. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan,
peningkatan kebutuhan metabolisme.
Intervensi :
a). Evaluasi kemampuan makan klien.
Rasional : Klien dengan tracheastomy tube mungkin sulit untuk
makan, tetapi klien dengan endotracheal tube dapat
menggunakan mag slang atau makan parentak.
b). Monitor keadaan otot yang menurun dan kehilangan lemak
subkutan.
Rasional : Menunjukan indikasi kekurangan energi otot dan
mengurangi fungsi otot-otot pernafasan.
c). Berikan makanan kecil dan lunak.
Rasional : Mencegah terjadinya kelemahan, memudahkan
masuknya makanan dan mencegah gangguan pada
lambung.
d). Kajilah fungsi sistem gastrointerstinal yang meliputi suara
bising usus, catat terjadi perubahan pergerakan usus
misalnya diare, konstipasi.
Rasional : Fungsi sistem gastrointerstinal sangat penting untuk
memasukan makanan. Ventilator dpat menyebabkan
kembung dan perdarah lambung.
e). Anjurkan pemberian cairan 2500 cc/hari selama tidak terjadi
gangguan jantung.
Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi akibat penggunaan
ventilator selama tidak sadar dan mencegah terjadinya
konstipasi.
g. Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak
ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya
perdarahan baik besifat intraserebral hematoma, subdural
hematoma, dan epidural hematoma.
h. Intervensi :
a). Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab
koma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab
peningkatan TIK.
Rasional : Deteksi dini untuk meperioritaskan intervensi,
mangkaji status neurologis/tanda-tanda kegagalan untuk
menentukan perawatan kegawatan atau tindakan
pembedahan.
b). Monitor TTV tiap 4 jam.
Rasional : Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebaral
terplihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan
darah sistenik, penurunan dari autoregulator kebanyakan
merupakan tanda penurunan difusi lokal vaskularisasi darah
serebral.
c). Evaluasi pupil, amati ukuran, ketahaman dan reaksi terhadap
cahaya.
Rasional : reaksi pupil dan pergerakan bola mata merupakan
tanda dari gangguan saraf jika batang otak terkuyak.
d). Pertahankan kepala dan leher pada posisi yang netral,
usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan
bantal yang tinggi pada kepala.
Rasional : Perubahan kepala pada situasi dapat menimbulkan
penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran
darah otak untuk itu dapat meningkatkan tekanan
intrakranial.
e). Kolaborasi pemberian obat osmosis diuretik, steroid,
analgesik dan antiperetik.
Rasional : Diuretik dapat digunakan pada fase akut untuk
menurunkan air inflamasi. Antikonvulsan adalah obat
pilihan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya kejang.
Analgetik dapat diindikasikan untuk menghilangkan nyeri.
4. Evaluasi
Kriteria evaluasi Diagnosa 1 :
a. Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi dan
fungsi motorik/sensori.
b. Mendemontrasikan tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda
peningkatan TIK.
Kreteria evaluasi Diagnosa 2 :
a. Menujukkan pola nafas efektif.
b. Status pernafasan : ventilasi tidak terganggu
c. Tidak ada penggunaan obat bantu
d. Tidak ada bunyi nafas tambahan
Kreteria evaluasi Diagnosa 3 :
a. Menunjukan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk
mencapai kenyamanan.
b. Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk
mencegah nyeri.
Kreteria evaluasi Diagnosa 4 :
a. Bunyi nafas terdengar bersih
b. Ronkhi tidak terdengar
c. Tracheal tube bebas sumbatan
d. Menunjukan batuk yang efektif
e. Tidak ada lagi secret di saluran pernafasan
Kreteria evaluasi Diagnosa 5 :
Klien menunjukan tekanan darah, berat badan, nadi dalam batas
normal.
a. Intake dan output dalam batas normal.
Kreteria evaluasi Diagnosa 6 :
a. Mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
b. Memperlihatkan kenaikan berat badan sesuai dengan pemeriksaan
laboratorium.
Kreteria evaluasi Diagnosa 7 :
a. Klien tidak gelisah
b. Klien tidak mengeluh nyeri lepala, mual-mual dan muntah
c. GCS 4,5,6
d. Tidak terjadi papil edema
e. TTV dalam batas normal

Daftar Pustaka
Batticaca Fransisca B, 2009. Asuhan Keperawatan Klien Dnegan Gangguan
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Brunner & Suddart. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medika, Edisi 8 Vol 3.
Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan


Sistem Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Pierce A, Grace & Neil R, Borley. 2006. Ilmu Bedah. Jakarta: Erlangga.
.

Anda mungkin juga menyukai