25
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Cedera kepala adalah trauma yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak, dan cedera kepala
paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi
epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. (Brunner & Suddarth, 2002 : hal. 2210)
Cedera Kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. (Arief Mansjoer, 2000 : hal. 3)
Cedera kepala adalah gangguan traumatik pada daerah kepala yang menggangu fungsi otak dengan atau
menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan kepala yang biasanya disebabkan oleh trauma keras
(Sylvia A. Price, 2006 : hal. 1173).
Dari pengertian-pengertian diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa cedera kepala adalah
traumatik pada daerah kepala yang dapat mengganggu fungsi otak yang biasanya disebabkan oleh
trauma keras sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya. Tanpa perlindungan
ini, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu
rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi
seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya terjadi
sekunder akibat cedera.
Meninges melindungi otak dan memberikan perlindungan tambahan. Ketiga lapisan meninges adalah
dura meter, araknoid, dan pia meter. Masing-masing mempunyai fungsi tersendiri dan strukturnya
berbeda dari struktur lain. Dura meter adalah membran luar yang liat, semitranslusen, dan tidak elastis.
Fungsinya untuk (1) melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus vena (yang terdiri atas dura meter dan
lapisan endotelial saja tanpa jaringan vascular), dan (3) membentuk periosteum tabula interna. Dura
meter erat dengan permukaan bagian dalam tengkorak. Bila dura robek dan tidak diperbaiki dengan
sempurna dan dibuat kedap udara, akan menimbulkan berbagai masalah, fungsi terpenting dura
kemungkinan adalah sebagai pelindung. Di dekat dura (tetapi tidak melekat pada dura) terdapat
membrane fibrosa halus dan elastis yang dikenal sebagai araknoid. Membran ini tidak melekat pada
dura meter. Perdarahan antara dura dan araknoid (ruang subdural) dapat menyebar dengan bebas, dan
hanya terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati ruangan ini hanya
mempunyai sedikit jaringan penyokong dan oleh karena itu mudah sekali terkena cedera dan robek
pada trauma. Diantara araknoid dan pia meter terdapat ruang subaraknoid. Ruangan ini melebar dan
mendalam pada tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS). Pada sinus
sagitalis superior dan tranversal, araknoid membentuk tonjolan villus yang bertindak sebagai lintasan
untuk mengosongkan cairan serebrospinal kedalam sistem vena. Sedangkan lapisan terakhir atau pia
meter adalah membrane halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halus dan merupakan
satu-satunya lapisan meningeal yang masuk kedalam sulkus dan membungkus semua girus; kedua
lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus.
Adapun pembagian / pengklasifikasian cedera kepala (Arief Mansjoer, 2000 : hal 3) adalah :
1) Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), dan kecepaan rendah (terjatuh, dipukul).
c. Berdasarkan Morfologi
1) Fraktur tengkorak :
b) Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII (Nervus
Facialis)
2) Lesi Intrakranial :
a. Komosio
Komosio serebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan
struktur. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir
selama beberapa menit. Getaran otak sedikit saja hanya akan menimbulkan pusing atau berkunang-
kunang, atau dapat juga kehilangan kesadaran komplet sewaktu.
b. Kontusio
Kontusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar, dengan
kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala akan
muncul dan lebih khas. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal,
kulit dingin dan pucat. Sering terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari. Pasien dapat diusahakan
bangun tetapi segera masuk dalam keadaan tidak sadar.
c. Hematome intracranial
1) Hematom Epidural
Setelah cedera kepala, darah berkumpul didalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan
dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal
tengah putus atau rusak, dimana arteri ini berada di antara dura dan tengkorak daerah inferior menuju
bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. Tanda dan
gejala klasik terdiri dari penurunan kesadaran ringan pada waktu terjadi benturan diikuti oleh periode
lucid (pikiran jernih) dari beberapa menit sampai beberapa jam. Pasien dengan hematoma epidural
membentuk suatu kelompok yang dapat dikategorikan sebagai “talk” and “die”.
2) Hematom Subdural
Hematom subdural adalah pengumpulan darah di antara dura dan dasar otak, suatu ruang ini pada
keadaan normal diisi oleh cairan. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi juga terjadi
kecenderungan perdarahan yang serius dan aneurisma. Hemoragi subdural lebih sering terjadi pada
vena dan merupakan akibat terputusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural
Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS masuk ke dalam ruang
subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan
tekanan darah. Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah trauma. Diagnosis dibuat
dengan arteriogram karotis dan echoensefalogram / CT Scan. Pengobatan terutama tindakan bedah.
Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, dan tahun setelah cedera
pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit kepala,
letargi, kacau mental, kejang, dan kadang -kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi. Pada
klien dengan hematoma kecil tanpa tanda–tanda neurologik, maka tindakan pengobatan yang terbaik
adalah melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien dengan gangguan neurologik yang progresif dan
gejala kelemahan, cara pengobatan yang terbaik adalah pembedahan.
3) Hemoragi intraserebral
Hemoragi intraserebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi biasanya terjadi pada
cedera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah kecil. Hemoragi ini di dalam otak
mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik, yang menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh
darah; rupture kantung aneurisma; anomali vaskuler; tumor intracranial; penyebab sistemik, termasuk
gangguan perdarahan seperti leukemia, hemofilia, anemia aplastik, dan trombositopenia.
4. Etiologi
Etiologi / penyebab dan terjadinya Cedera Kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan di rumah,
kecelakaan kerja, peluru yang menembus tulang tengkorak, kejatuhan atau jatuh dari pohon, akibat
kekerasan.
5. Patofisiologi
Derajat kerusakan yang terjadi pada penderita cedera kepala bergantung pada kekuatan yang menimpa,
makin besar kekuatan, makin parah kerusakan. Kekuatan tersebut terbagi menjadi 2, yaitu pertama
cedera setempat yang disebabkan oleh benda tajam berkecepatan rendah yang dapat merusak fungsi
neurologik pada tempat tertentu karena benda atau fragmen tulang menembus dura. Kedua, cedera
menyeluruh, yang menyebabkan kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan diteruskan ke otak.
Akibat utama dari cedera otak dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat
terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai
control volunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dn kehidupan sehari-hari
yang berhubungan dengan postur, spastisitas, atau kontraktur.
Gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer serebral akan merusak kemampuan untuk
mendeteksi adanya makanan pada sisi mulut yang dipengaruhi dan untuk memanipulasinya dengan
gerakan pipi dan lidah. Selain itu, refleks menelan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun
sampai hilang sama sekali.
Pasien dengan trauma serebral disertai gangguan kemampuan komunikasi bukan terjadi secara
tersendiri. Disfungsi ini paling sering menyebabkan kecacatan pada seseorang yang mengalami cedera
kepala. Pasien yang telah mengalami trauma pada area hemisfer serebral dominan
Skema Patofisiologi
(Hudak & Gallo, 2000)
Gejala-gejala yang muncul pada cedera lokal tergantung pada jumlah dan distribusi cedera otak. Nyeri
yang menetap atau setempat, bisanya menunjukkan adanya fraktur.
a. Fraktur Kubah Kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur, dan atas alasan ini diagnosis yang
akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar-x.
Cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal,
dimana dapat menimbulkan tnda seperti :
1) Hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva
d. Penurunan kesadaran
e. Nyeri kepala
f. Mual, muntah
g. Brill Hematom
h. Pingsan
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan Kepala
Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemik/ infark mungkin tidak terdeteksi dalam
24-72 jam pascatrauma.
b. MRI
c. Angiografi
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan,
dan trauma.
d. EEG
Untuk memperlihatkan keberdaan atau berkembangnya gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur garis tengah (karena
perdarahan, edema), adanya fragmrn tulang
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK
k. Pemeriksaan Toksikologi
Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang
8. Penatalaksanaan
Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris
dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang gudel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial
mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.
2) Menilai Pernafasan
Tentukan apakah pasien bernafas spontas atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen.
Jika pasien bernafas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti penumotorak, pneumotoraks
tensif.
3) Menilai sirkulasi
Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya.
Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau atau EKG. Pasang jalur intravena yang besar, ambil
darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap ureum, elektrolit, glukosa dan AGD, serta berikan
cairan koloid.
4) Obati Kejang
Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10
mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat
diberikan penitoin 15 mg/kg BB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50
mg/menit.
GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, dan orientif); tidak ada kehilangan kesadaran; tidak ada intoksikasi
alcohol atau obat terlarang; pasien tidak mengeluh nyeri kepala dan pusing; pasien tidak menderita
abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala.
GCS 9-12 (konfusi, letargi, stupor); konkusi amnesia pasca trauma; muntah; tanda kemungkinan fraktur
kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal).
GCS 3-8 (koma), penurunan derajat kesadaran secara progresif; tanda neurologist fokal; cedera kepala
penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.
b. Pedoman penatalaksanaan
1) Pada semua pasien dengan cedera kepala dan / atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal
(proyeksi antero – posteriol, lateral, dan adontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa
seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
2) Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut :
a) Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer Laktat : cairan
isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan cairan ini tidak
menanbah edema serebri.
b) Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah, glukosa,
ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar
alcohol bila perlu.
c) Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT Scan dilakukan,
karena CT scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera ringan , sedang atau
berat, harus dievaluasi adanya :
3) Pada pasien yang koma (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan
berikut ini :
b) Hiperventilasi
c) Berikan manitol 20% 1 gram / kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam
kamudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama
e) Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematom epidural besar, hematom subdural,
cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > 1 diploe)
4) Penatalaksanaan khusus
a) Cedera kepala ringan : Pasien dengan cedera kepala ringan ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah
tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT scan bila memenuhi kriteria berikut :
(1). Hasil pemeriksaan neurologist (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal
(3). Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan
instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan.
Sedangkan criteria perawatan di rumah sakit adalah :
(1). Adanya darah intrakrnial atau fraktur atau fraktur yang tampak pada CT Scan
(6). Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah
b) Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala koma
Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal, tidak perlu
dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual,
muntah, pusing, atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna pada pasien
dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
c) Cedera kepala berat : penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat
intensif. Hal yang harus diperhatikan pada pasien dengan cedera kepala berat adalah :
(2).Monitor tekanan darah : karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepala akut, maka
tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi (<70 mmHg) dan hipertensi
(>130 mmHg). Hipertensi dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan hipertensi dapat
mengeksaserbasi serebri.
(3).Pemasangan alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan skor GCS <8, bila memungkinkan
(4).Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal atau ringer laktat) yang diberikan
kekpada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrose 5%
harus diberikan sesegera mungkin.
(5).Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respon hipermetabolik dan katabolic, dengan keperluan
50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogatrik harus diberikan
sesegera mungkin
(7).Anti kejang : fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudia 300 mg/hari intravena.
(8).Steroid : tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat
meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemi dan komplikasi lain.
(9).Antibiotik : penggunaan antibiotic rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera kepala terbuka
masih controversial. Golongan penisilin dapat mengurangi resiko meningitis.
9. Komplikasi
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematom intracranial, edema serebral
progresif, dan herniasi otak. (Brunner & Suddarth, 2002 : hal. 2215)
a. Edema serebral dimana terjadi peningkatan tekanan intrakranial karena ketidaknmampuan tengkorak
utuh untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan dari trauma.
b. Herniasi otak adalah perubahan posisi ke bawah atau lateral otak melalui atau terhadap struktur kaku
yang terjadi menimbulkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel, dan kematian.
e. Infeksi bedah neuron (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses otak)
f. Osifikasi heterotopik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang penunjang berat badan)
Menurut Arief Mansjoer (2000), komplikasi dari cedera kepala berat, yaitu:
a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6
% pasien dengan cedera kepala tertutup.
b. Fistel karotis kavernosus ditandai dengan trias gejala: eksolftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat
segera timbul atau beberapa hari setelah cedera.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan
penghentian sekresi hormon antidiuretik.
d. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dini(minggu pertama) atau lanjut (setelah
satu minggu).
B. Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah factor penting dalam survival klien dan aspek-aspek pemeliharaan,
rehabilitatif, dan preventif perawatan kesehatan (Merilynn E. Doenges, 2000 : hal. 6).
Dari seluruh dampak masalah di atas, maka diperlukan suatu asuhan keperawatan yang komprehensif.
Dengan demikian pola asuhan keperawatan yang tepat adalah melalui proses perawatan yang dimulai
dari pengkajian yang diambil adalah merupakan respons klien, baik respon biopsikososial maupun
spiritual, kemudian ditetapkan suatu rencana tindakan perawatan untuk menuntun tindakan perawatan.
Dan untuk menilai keadaan klien, diperlukan suatu evaluasi yang merujuk pada tujuan rencana
perawatan klien.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan pengumpulan data yang sistematis untuk menentukan status kesehatan pasien
dan untuk mengidentifikasi semua masalah kesehatan yang actual atau potensial. (Brunner & Suddarth,
2002 : hal. 32)
Adapun pengkajian pada klien dengan trauma kepala (Marlyn E. Doenges. 2000 : hal. 270) adalah :
a. Aktivitas / Istirahat
Tanda : perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegi, ataksia cara berjalan tidak tegap,
masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma ortopedi), kehilangan tonus otot, otot aspastik
b. Sirkulasi
Gejala : perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi,
tachycardi, disrhitmia).
c. Integritas Ego
Tanda : cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsive
d. Eliminasi
e. Makanan / Cairan
Tanda : muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia)
f. Neuro Sensori
Gejala : kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinnitus,
kehilangan pendengaran, tingling, baal pada eksremitas
Tanda : perubahan kesadaran bias sampai koma, perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,
perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi / tingkah laku dan memori), perubahan
pupil, deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti, kehilangan pengindraan, penciuman dan
pendengaran, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada
atau lemah, apraksia, hemiparese, quadraplegi, postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang, sangat
sensitive terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam
menentukan posisi.
g. Nyeri / kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
Tanda : wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih..
f. Pernapasan
Tanda : perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor,
tersedak, ronki, mengi positif.
g. Keamanan
Tanda : fraktur / dislokasi, gangguan penglihatan, kulit ; laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti
“racoon eyes”, tanda battle di sekitar telinga, adanya aliran (drainase) dari telinga / hidung, gangguan
kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralise,
demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
h. Interaksi Sosial
Tanda : afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik
klien serta respons terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (Marilynn E. Doenges. 2000 : hal. 8)
Adapun Diagnosa Keperawatan yang dapat ditemukan pada pasien dengan cedera kepala (Merilynn E.
Doenges, 2000 : hal 273.)
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL
(hemoragi, hematome) ; edema serebral (respons local atau umum pada cedera, perubahan metabolic,
takar lajak obat / alcohol) ; penurunan TD sistemik / hipoksia (hipovolemia, distrimia jantung).
b. Resiko tinggi terhadap pola nafas tak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera
pasa pusat pernafasan otak), kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, transmisi dan / atau
integrasi (tauma atau deficit neurologist)
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan
kekuatan / tahanan, terapi pembatasan / kewaspadaan keamanan, missal tirah baring, imobilisasi.
f. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasive,
penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respons inflamasi tertekan (penggunaan
steroid), perubahan integritas system tertutup (kebocoran CSS)
g. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang
diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik
h. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasuional, ketidakpastian
tentang hasil / harapan
i. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
pemajanan, tidak mengenal informasi / sumber-sumber, kurang mengingat / keterbatasan kognitif.
3. Perencanaan
2) Kriteria Hasil : tanda-tanda vital dalam batas normal ( TD, nadi, RR, dan suhu tubuh), pupil isokor,
klien tidak gelisah, GCS 15, tidak ada tanda peningkatan TIK
3) Intevensi :
a) Kaji status status neurologis yang berhubungan dengan tanda-tanda TIK; terutama GCS.
Rasional: mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
Rasional: normalnya autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada sat ada
fluktuasi tekanan darah sistemik.
c) Naikkan kepala dengan sudut 15o-45o tanpa bantal dan posisi netral.
Rasional: meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga akan mengurangi kongesti dan edema.
e) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan anti edema seperti manitol, gliserol dan
lasix.
Rasional: dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak
dan TIK.
Rasional: menurunkan hipoksemia yang dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral
yang meningkatkan TIK.
b. Diagnosa Keperawatan kedua : Resiko tinggi terhadap pola nafas tak efektif berhubungan dengan
kerusakan neurovaskuler (cedera pasa pusat pernafasan otak), kerusakan persepsi atau kognitif,
obstruksi trakeobronkial
2) Kriteria hasil : pola napas dalam batas normal frekuensi 16 – 20 x/menit dan iramanya teratur, tidak
ada stridor, ronchi dan wheezing, gerakan dada simetris tidak ada retraksi, nilai AGD normal, pH 7,35 -
7,45, PaO2 80 - 100 mmHg, PaCO2 35 - 45 mmHg.
3) Intervensi:
Rasional: perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan luasnya
keterlibatan otak.
Rasional: untuk memudahkan ekspansi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang
menyumbat jalan napas.
c) Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama 10-15 detik. Catat sifat, warna dan bau sekret.
Lakukan bila tidak ada retak pada tulang basal dan robekan dural.
Rasional: Penghisapan biasanya dibutuhkan jika klien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak
dapat memberikan jalan napasnya sendiri.
c. Diagnosa keperawatan ketiga : Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori, transmisi dan / atau integrasi (tauma atau deficit neurologist)
1) Tujuan : mengembalikan persepsi sensoris/normal dan komplikasi dapat dicegah atau seminimal
mungkin tidak terjadi.
2) Kriteria hasil : tingkat kesadaran normal, fungsi alat-alat indra baik, klien kooperatif kembali dan
dapat berorientasi terhadap orang, tempat dan waktu.
3) Intervensi:
a) Kaji respon sensoris terhadap raba/sentuhan, panas atau dingin, tajam dan tumpul dan catat
perubahan-perubahan yang terjadi.
b) Kaji persepsi klien, beri umpan balik dan koreksi kemampuan klien berorientasi terhadap orang,
tempat dan waktu.
Rasional: membantu klien untuk memisahkan pada realitas dari perubahan persepsi.
c) Berikan stimulus yang berarti saat penurunan kesadaran sampai kembalinya fungsi persepsi yang
maksimal.
Rasional: pilihan masukan sensorik secara cermat bermanfaat untuk menstimulasi klien koma dengan
baik selama melatih kembali fungsi kognitifnya.
d) Berbicaralah dengan klien tenang, lembut dan menggunakan kalimat yang sederhana.
Rasional: menurunkan frustasi yang berhubungan dengan perubahan kemampuan / pola respons yang
memanjang.
e) Berikan pengamanan klien dengan pengamanan sisi tempat tidur, bantu latihan jalan dan lindungi dari
cedera.
Rasional: agitasi, gangguan pengambilan keputusan, gangguan keseimbangan dan penurunan sensorik
meningkatkan resiko terjadinya trauma pada klien.
f) Kaji kemampuan berfikir dengan menanyakan nama dan orientasi terhadap lingkungan sekitar.
Rasional: fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh adanya gangguan sirkulasi,
oksigenasi.
g) Kaji perhatian dan cara klien mengalihkan perhatiannya dan catat tingkat cemas.
Rasional: respons individu mungkin berubah-ubah namun umumnya seperti emosi yang labil, frustasi,
apatis dan muncul tingkah laku impulsif selama proses penyembuhan dari trauma kepala.
h) Berikan penjelasan pada keluarga/klien tentang perubahan berfikir klien dan rencana keperawatan.
Rasional: membantu klien untuk memisahkan pada realitas dari perubahan persepsi.
i) Ajarkan tehnik relaksasi, jangan berikan tantangan berfikir keras dan beri aktivitas sesuai kemampuan.
Rasional: menurunkan frustasi yang berhubungan dengan perubahan kemampuan pola respon yang
menunjang
d. Diagnosa keperawatan keempat : Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis ;
konflik psikologis
2) Kriteria hasil : melakukan kembali orientasi mental dan realitas adanya, mengenali perubahan
berfikir / perilaku, berpartisipasi dalam aturan terapeutik / penyerapan kognitif
3) Intervensi :
Rasional : untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam yang menyebabkan dan merupakan
potensi terhadap terjadinya ansietas yang mempengaruhi proses berfikir
b) Pastikan orang-orang terdekat untuk membandingkan kepribadian / tingkah laku pasien sebelum
mengalami trauma dengan respon pasien sekarang
Rasional : masa pemulihan cedera kepala meliputi fase agitasi, respons marah, dan berbicara / proses
fikir yang kacau
c) Usahakan untuk menghadirkan realitas secara konsisten dan jelas, hindari pikiran-pikiran yang tidak
masuk akal
Rasional : orientaasi realitas yang terstruktur dapat menurunkan reaksi perlawanan pasien sendiri
Rasional : pengutan terhadap tingkah laku yang positif, mungkin bermanfaat dalam proses belajar
struktur internal.
e) Hindari meninggalkan pasien sendirian ketika mengalami agitasi, gelisah, atau berontak
Rasional : amsietas dapat mengakibatkan kehilangan control dan meningkatkan kepanikan. Dukungan
dapat memberikan ketenangan yang menurunkan ansietas dan resiko terjadinya trauma
e. Diagnosa Keperawatan kelima : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi
atau kognitif, penurunan kekuatan / tahanan, terapi pembatasan / kewaspadaan keamanan, misal tirah
baring, imobilisasi.
1) Tujuan : mampu melakukan aktivitas fisik, tidak terjadi komplikasi dekubitus dan kontraksi sendi.
2) Kriteria hasil : klien mampu dan pulih kembali setelah pasca akut dan gerak, mampu melakukan
aktivitas ringan pada tahap rehabilitasi sesuai dengan kemampuan.
3) Intervensi:
c) Atur posisi klien dan ubahlah secara teratur tiap dua jam sekali bila tidak ada kejang.
Rasional: perubahan posisi secara teratur dapat meningkatkan dan mencegah adanya penekanan pada
organ yang menonjol.
d) Bantu klien dalam gerakan-gerakan kecil secara pasif apabila kesadaran menurun dan secara aktif bila
klien kooperatif.
e) Observasi/kaji kemampuan gerakan motorik, keseimbangan, koordinasi gerakan dan tonus otot.
g) Berikan motivasi dan latihan pada klien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
h) Pantau pola – pola eliminasi dan bantu untuk dapat berdefekasi secara teratur
Rasional: program yang khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang berarti /
menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan, koordinasi dan kekuatan.
f. Diagnosa Keperawatan keenam : Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma,
kulit rusak, prosedur invasive, penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respons
inflamasi tertekan (penggunaan steroid), perubahan integritas system tertutup (kebocoran CSS)
2) Kriteria hasil : tidak terdapatnya tanda-tanda infeksi seperti rubor, dolor, calor, tumor,pus di daerah
kulit yang rusak
3) Intervensi:
a) Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan secara septik dan aseptik.
Rasional: dapat mengidentifikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau
tindakan dengan segera
c) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah invasive, dan tanda-tanda inflamasi /
infeksi
Rasional : menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri atau infeksi yang merambah naik
Rasional : sejumlah drainase serosa menuntut penggantian dengan sering untuk menurunkan iritasi kulit
dan potensial infeksi
Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengindikasikan tanda – tanda infeksi dan perlu tindakan segera
Rasional: terapi profitaktik dapat digunakan pada klien yang mengalami trauma untuk menurunkan
resiko terjadinya infeksi nasokomial.
g. Diagnosa keperawatan ketujuh : Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient (penurunan tingkat
kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik
2) Kreteria hasil : BB klien normal, tanda-tanda malnutrisi tidak ada, Hb tidak kurang dari 10 gr%.
3) Intervensi:
Rasional: kelemahan otot dan refleks yang hipoaktif/ hiperaktif dapat mengidentifikasikan kebutuhan
akan metode makan alternatif.
b) Auskultasi bising usus dan catat bila terjadi penurunan bising usus.
Rasional: kelemahan otot dan hilangnya peristaltik usus merupakan tanda bahwa fungsi defekasi hilang
yang kemudian berhubungan dengan kehilangan persyarafan parasimpatik usus besar dengan tiba-tiba.
d) Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering baik melalui NGT maupun oral.
e) Tinggikan kepala klien ketika makan dan buat posisi miring dan netral setelah makan.
Rasional: latihan sedang membantu dalam mempertahankan tonus otot / berat badan dan melawan
depresi.
f) Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan untuk pemeriksaan HB, Albumin, protein total dan globulin.
Rasional: pengobatan masalah dasar tidak terjadi tanpa perbaikan status nutrisi.
h. Diagnosa keperawatan kedelapan : Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan
krisis situasional, ketidakpastian tentang hasil / harapan
2) Kriteria Hasil : mulai mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat, mendorong orang yang
sakit untuk menuju kearah kemandirian,
3) Intervensi
b) Anjurkan keluarga untuk mengungkapkan hal-hal yang menjadi perhatiannya tentang keseriusan
kondisi kesehatan
Rasional : Pengungkapan tentang rasa takut secara terbuka dapat menurunkan ansietas dan
meningkatkan koping terhadap realitas
Rasioanl : keluarga mungkin percaya bahwa pasien akan sembuh dan hidup, rehabilitasi akan sangat
dibutuhkan untuk pengobatannya. Walaupun informasinya akurat, harapan dapat tidak terwujud.
d) Kaji kekuatan yang dimiliki, seperti apakah usaha pengambilan keputusan bermanfaat atau malah
tidak ada gunanya
Rasional : mungkin memerlukan bantuan untuk memfokuskan kekuatan agar menjadi efektif /
meningkatkan koping.
e) Tentukan dan anjurkan penggunaan cara-cara koping tingkah laku yang cukup berhasil sebelumnya
dilakukan
Rasional : berfokus pada kekuatas dan pengutan kemampuan khusus untuk menghadapi krisis saat
sekarang ini.
2) Kriteria hasil : klien dan keluarga berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman
tentang kondisi, aturan pengobatan dan potensial komplikasi.
3) Intervensi:
a) Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari klien juga keluarganya.
Rasional: memungkinkan untuk menyampaikan bahan yang didasarkan atas kebutuhan klien secara
individual.
b) Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya.
Rasional: membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman pada
keadaan saat ini dan kebutuhannya.
Rasional: berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang
individual.
Rasional: kerja keras akhirnya menghasilkan defisit neurologis dan kemampuan klien untuk memulai
gaya hidup baru/ produktif.
4. Pelaksanaan
Tindakan keperawatan (implementasi) adalah diskripsi untuk perilaku yang diharapkan dari klien atau
tindakan yang harus dilakukan oleh perawat sesuai dengan apa yang direncanakan (Merilynn E.
Doenges, 2000). Implementasi pada klien Cedera Kepala sedang meliputi pencapaian perfusi jaringan
serebral adekuat, status nutrisi adekuat, pencegahan cedera, penigkatan fungsi kognitif, koping keluarga
efektif, peningkatan pengetahuan tentang proses rehabilitasi dan pencegahan komplikasi (Merilynn E.
Doenges, 2000).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah hasil yang didapatkan dengan menyebutkan item-item atau perilaku yang diamati dan
dipantau, untuk menentukan pencapaian hasil dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Merilynn E.
doenges, 2000).
Evaluasi bertujuan untuk menilai hasil akhir dari seluruh intervensi keperawatan yang telah dilakukan,
dengan cara yang berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya, dituliskan
dalam catatan perkembangan yang berfungsi untuk mendokumentasian keadaan klien, baik berupa
keberhasilan maupun ketidakberhasilan berdasarkan masalah yang ada.
Evaluasi ini dapat bersifat formatif yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus menerus, untuk menilai
hasil tindakan yang dilakukan, yang juga disebut tujuan jangka pendek. Dan dapat pula bersifat sumatif
yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan keperawatan, yang disebut
dengan mengevaluasi pencapaian tujuan jangka panjang
Hasil yang diharapkan dari tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien dengan cedera kepala
sedang adalah tidak ada tanda-tanda peningkatan intra kranial seperti tekanan darah meningkat, denyut
nadi lambat, pernapasan dalam dan lambat, pupil melebar, reflek terhadap cahaya negatif, kesadaran
memburuk.
Yang diharapkan adalah pasien mampu dan pulih setelah pasca akut dalam mempertahankan fungsi
gerak, tidak terjadi dekubitus, mampu melaksanakan aktivitas sedang, tidak terdapat tanda-tanda infeksi
seperti rubor, dolor, kalor, tumor. Klien tampak tenang dan nyeri hilang, klien dapat beristirahat dengan
tenang.
Tambahkan komentar
Bruder Aras
Beranda
May
31
BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya ilmu
keperawatan maka berkembang pulalah berbagai jenis penyakit yang ada dalam masyarakat, yang
diiringi dengan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Indonesia sebagai
salah satu negara berkembang yang terletak di daerah tropis dengan kepadatan pendudukan yang tinggi
(+ 250 juta) sangat beresiko terhadap terjangkitnya berbagai macam jenis penyakit infeksi yang
disebabkan oleh sanitasi lingkungan dan higiene perseorangan yang kurang baik.
May
31
Makalah Keperawatan Maternitas Tentang Molahidatidosa dan Kehamilan Ektopik Terganggu
BAB I
PENDAHULUAN
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan di mana ovum yang telah dibuahi sperma berimplantasi dan
tumbuh di tempat yang tidak semestinya; bukan di dalam endometrium kavum uteri. Istilah kehamilan
ektopik lebih tepat daripada istilah kehamilan ekstrauterin, karena beberapa jenis kehamilan ektopik
terjadi di uterus tetapi tidak di tempat yang normal seperti di pars intertitialis tuba dan serviks uteri.
May
30
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem respirasi manusia mempunyai gambaran desain umum yang dapat dihubungkan dengan
sejumlah aktivitas penting. Secara esensial tentunya sistem ini terdiri dari permukaan respirasi dan
bercabang menjadi pasase konduksi yang membentuk pohon pernafasan.
May
28
Feb
18
Khanza and I
Jan
22
Halohaaa....
Kali ni iseng aja habis pulang main badminton..baring di kamar trus utak atik gadget ni...nah iseng dah
mau upload photo...
Poto pertama itu poto lingkungan tempat kerjaku yang tampak dari belakang bagian tengah (bingung
kan.?)...hahah
Trus poto yang kedua itu poto q pas lagi dinas malam...
Oct
22
My Hobby
My Yellow Yonex... My favourite Jersey.....
Aug
21
Me with my Racket....
Sebelum pergi main badminton in court.. foto dulu lah utk dokumentasi kelak utk diliat anak cucu...
hahahah
So enjoy my pict...
Aug
21
Hahaha
May
27
Boleh lah....
Jan
27
Ni foto gue tadi sianh, ni lagi di rawat inap puskesmas...mau makan siang bareng temen2...
Sebenarnya gue udh laper buanget... but we were still waiting others...
Wenak temam, menune iwak bakar, iwak goreng, tempe, tahu...suambale, pudes pisan....
Dec
26
Jun
15
Gila Badminton
Halo semua...lama ga update blog nih...maklum lah sibuk kerja (pdhl di pustu cuma tidur aja) hahaha...
Feb
14
…..
Feb
13
Happy Happy
Oct
16
entah mengapa...
Mengapa...?
Awalnya q hanya menganggapx biasa saja...tp kamu selalu dan selalu mengatakan kata2 itu p***s
ya...saat ini q berfikir...kayax memang harus diakhiri semuax...
Apr
Perpisahan KKL
Detik detik pemghabisan...hehehe...masa masa terakhi KKL....lagi berpose dengan dosen tercinta Pak
Amin....
Apr
Duo Berau
ni q sama temen seperjuangan dari Berau Eva namanya....anaknya lumayan banyak bacot...tp baik
anaknya...ada yang mau sama dia...eits...ga boleh dia dah mau nikah tahun depan...katanya...hehehe
Apr
Apr
3
Mantri and Suster Pose....
Narsis abiezzzzz....
Apr
Cinta Kita
oh..
Apr
1
cinta memang tidak di sanka sangka datang juga...
saudaraku...
Aug
30
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kanker kulit merupakan salah satu jenis kanker yang cukup serius. Walaupun, malignant melanoma
(salah satu jenis kanker kulit yang fatal) bukan merupakan kanker yang banyak terjadi di Indonesia,
tetapi kanker tersebut tumbuh lebih cepat dibandingkan jenis kanker yang lain. Diagnosis dini terhadap
kanker tersebut merupakan hal yang penting, karena kemungkinan untuk dapat disembuhkan pada
tahap dini sangat besar.
Aug
25
LANDASAN TEORI
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Cedera kepala adalah trauma yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak, dan cedera kepala
paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi
epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. (Brunner & Suddarth, 2002 : hal.
Aug
25
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Cedera kepala adalah trauma yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak, dan cedera kepala
paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi
epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. (Brunner & Suddarth, 2002 : hal.
Aug
25
halo, semuanyaaaa....
Memuat