Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN RESIKO JATUH PADA LANSIA

Disusun oleh :

Chandra Widyastuti
NIM. 18J10225

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN BALI

2019
A. Konsep Dasar
1. Definisi Lansia
Lanjut usia (Lansia) adalah bagian dari proses tumbuh kembang, manusia
tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa,
dan akhirnya menjadi tua. Menurut UU no 4 tahun 1945 lansia adalah seseorang yang
mencapai berusia 55 tahun yang merupakan kelompok orang lansia yang mengalami
proses penuaan yang terjadi secara bertahap dan merupakan proses alami yang tidak
dapat dihindari. Menurut Kemkes RI(2010) lanjut usia adalah seseorang yang berusia
60tahun atau lebih. Pada usia ini adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik,
yang dimulai dengan adanya perubahan dalam hidup. Sebagaimana diketahui,ketika
manusia mencapai usia dewasa, maka seseorang mempunyai kemampuan reproduksi
dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah seseorang akan kehilangan tugas
dan fungsi ini, dan selanjutnya memasuki usia lanjut, kemudian meninggal dunia.
Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru
dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkunganya (Darmojo, 2004). Perubahan ini adalah hal yang normal dalam satu
siklus kehidupan manusia, dengan perubahan fisik, psikososial dan tingkah laku yang
terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai tahapan usia lanjut dimasa ini
seseorang senantiasa mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap
(Azizah, 2011).

2. Karakteristik Lansia
Ada beberapa karakteristik lansia yang perlu diidentifikasi berdasarkan data
demografi untuk mengetahui keberadaan masalah-masalah kesehatan lansia yaitu: jenis
kelamin dimana jumlah lansia lebih didominasi oleh kaum perempuan. Selain itu,
terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatanyang dihadapi antara lansia laki-
laki dan perempuan misalnya, lansia laki-laki banyak menderita hipertropiprostat,
sementara lansia perempuan menderita osteoporosis. Status Perkawinan, yang masih
berpasangan atau sudah hidup sendiri (duda/janda) mempengaruhi kondisi kesehatan
fisik maupun kondisi kesehatan secara psikososial pada lansia umumnya. Penataan
kehidupan lansia bervariasi, keadaan pasangan yang masih menanggung keluarganya:
anak atau keluarga lainnya, tempat tinggal, rumah sendiri, suasana tinggal bersama
dengan anak atau keluarga besar, atau tinggal sendiri. Dewasa ini kebanyakan lansia
masih hidup sebagai bagian dari keluarganya, baik lansia sebagai kepala keluarga atau
bagian dari keluarga anak-anaknya. Walaupun ada kecenderungan bahwa lansia akan
ditempatkan oleh anaknya atau keluarganya dalam rumah yang berbeda. Kondisi
kesehatan lansia dan kondisi kemampuan umum dalam beraktivitas sehari-hari dapat
dioptimalkan sehingga tidak tergantung kepada orang
lain,seperti;makan/minum,berpindah, kebersihan diri mandi,mengganti pakaian sendiri,
buang air kecil dan buang air besar. Frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan lansia
menjadi tidak produktif lagi dan mengalami tergantung kepada orang lain. Hal ini harus
diupayakan untuk meminimalkan resiko penyakit yang timbul dengan melakukan
kontrol secara rutin kepelayanan kesehatan.

3. Proses Menua
Menua adalah suatu proses alami dalam kehidupan yang tidak dapat dihindari
oleh manusia, proses ini merupakan tahap akhir dari siklus hidup manusia yang
akan dialami oleh setiap individu secara terus-menerus dan berkesinambungan
(Surilena&Agus, 2006). Pertambahan usiaakan menimbulkan perubahan-perubahan
pada struktur dan fungsi fisiologis dari berbagai sel/jaringan/organ dan sistem yang
ada pada tubuh manusia sehingga menyebabkan sebagian besar lansia mengalami
kemunduran atau perubahan pada fisik, psikologis, dan sosial (Mubarak dkk, 2010;
Putri dkk, 2008).

Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari
kehilangan yang bersifat bertahap. Berdasarkan perbandingan yang diamati antar
kelompok usia yang berbeda, sebagian besar organ mengalami kehilangan fungsi
sekitar 1% pertahun, dimulai usia sekitar 40tahun. Namun demikian, perubahan pada
seorang lanjut usia akan mengalami perlambatan mulai pada usia 70 tahun (Setiadi,
2006). Menurut Arisman (2004) kekuatan, ketahanan dan kelenturan otot rangka
berkurang. Sehingga kepala dan leher terfleksi kedepan, sementara ruas tulang belakang
mengalami pembengkakan (kifosis), panggul dan lutut juga terfleksi sedikit. Keadaan
tersebut menyebabkan postur tubuh terganggu sehingga menimbulkan beberapa
masalah kemunduran dan kelemahan pada lansia, seperti pergerakan, kestabilan
terganggu dan terjadinya resiko jatuh: Intelektual terganggu
(demensia),Depresi,Inkontinensia dan impotensia, Defisiensi imunologis, Infeksi,
konstipasi dan malnutris,insomnia,kemunduran penglihatan, pendengaran, pengecapan,
pembauan, komunikasi dan integrasi kulit, kemunduran proses penyembuhan penyakit
yang diderita. Perubahan fisik pada lansia diantaranya :sistempenglihatanpada lansia
sangat erat kaitannya dengan prebiopi, dimana lensa kehilangan elastis dan kaku,otot
penyangga lensa lemah, ketajaman penglihatan dan daya akomodasi dari jarak jauh dan
dekat berkurang, penggunaan kacamata dan sistem penerangan perlu diperhatikan.
Sistem Pendengaran pada lansia merupakan kemampuan daya pendengaran pada
telinga dalam,terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas
dan sulit dimengerti kata-kata terjadi pada lansia diatas 60 tahun.Sistem Integumen
kulit pada lansia sudah mulai kendur,tidak elastis, mengerut dan kulit akan kekurangan
cairan sehingga akan menjadi tipis dan berbecak. Kulit timbul pigmen berwarna coklat,
perubahan kulit dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain angin,sinar ultra violet.
Sistem muskuloskeletal mengalami perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia
seperti kulit,tendon,tulang,kartilago dan jaringan pengikat. Perubahan pada kolagen
merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan
nyeri,penurunan kekuatan otot, sulit bergerak dari duduk ke berdiri dan jongkok
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

4. Definisi Resiko Jatuh


Jatuh adalah suatu kejadian yang di laporkan penderita atau saksi mata yang
melibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai /tempat yang lebih rendah
atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Reuben). Jatuh dapat menimbulkan terjadinya
Cidera pada lansia.
Kejadian jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut .Banyak faktor berperan
di dalamnya ,kelemahan otot ekstremitas bawah kekakuan sendi ,sinkope dan dizzines
,serta faktor ekstrinsik sertai lantai yang licin dan tidak rata tersandung benda-benda
,pengelihatan kurang terang dan sebagainya.
Tidak mengejutkan bahwa jatuh merupakan kejadian yang mempercepat patah
tulang pada orang dengan kepadatan mineral tulang Bone Mineral Density(BMD) rendah.
Jatuh dapat dicegah sehingga akan mengurangi risiko patah tulang. Jatuh adalah
penyebab terbesar untuk patah tulang pinggul dan berkaitan dengan meningkatnya risiko
yang berarti terhadap berbagai patah tulang meliputi punggung, pergelangan tangan,
pinggul, lengan bagian atas.Jatuh dapat disebabkan oleh banyak faktor, sehingga strategi
pencegahan harus meliputi berbagai komponen agar sukses. Aktivitas fisik meliputi pola
gerakan yang beragam seperti latihan kekuatan atau kelas aerobik dapat meningkatkan
massa tulang sehingga tulang lebih padat dan dapat menurunkan risiko jatuh. Mengurangi
Risiko JatuhBanyak hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko jatuh dan
meminimalisir dampak dari jatuh yang terjadi. Pedoman yang dikeluarkan oleh American
Geriatrics Society, British Geriatrics Society, dan American Academy of Orthopedi
Surgeons pada pencegahan jatuh meliputi beberapa rekomendasi untuk orang tua (AGS
et al.2001).
Jatuh merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak sengaja tergeletak di
lantai,tanah atau tempat yang lebih rendah, hal tersebut tidak termasuk orang yang
sengaja berpindah posisi ketika tidur (WHO, 2007).

5. Faktor penyebab Cidera akibat Jatuh


Faktor penyebab jatuh pada lansia dapat dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu:
a. Faktor Intrinsik
Faktor instrinsik dapat disebabkan oleh proses penuaan dan berbagai penyakit
sepertiStroke dan TIA yang mengakibatkan kelemahan tubuh sesisi , Parkinson yang
mengakibatkan kekakuan alat gerak, maupun Depresi yang menyebabkan lansia tidak
terlalu perhatian saat berjalan . Gangguan penglihatan pun seperti misalnya katarak
meningkatkan risiko jatuh pada lansia. Gangguan sistem kardiovaskuler akan
menyebabkan syncope, syncope lah yang sering menyebabkan jatuh
padalansia.Jatuh dapat juga disebabkan oleh dehidrasi. Dehidrasi bisa disebabkan
oleh diare, demam, asupan cairan yang kurang atau penggunaan diuretik yang
berlebihan.
b. Faktor Ekstrinsik
Alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau tergeletak di
bawah,tempat tidur tidak stabil atau kamar mandi yang rendah dan tempat
berpegangan yang tidak kuat atau tidak mudah dipegang, lantai tidak datar, licin atau
menurun, karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal/menekuk
pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser,lantai licin
atau basah, penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan), alat bantu jalan
yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya.

6. Pencegahan
Pencegahan dilakukan berdasar atas faktor resiko apa yang dapat menyebabkan jatuh
seperti faktor neuromuskular, muskuloskeletal, penyakit yang sedang diderita,
pengobatan yang sedang dijalani, gangguan keseimbangan dan gaya berjalan, gangguan
visual, ataupun faktor lingkungan.dibawah ini akan di uraikan beberapa metode
pencegahan jatuh pada orang tua :
a. Latihan fisik
Latihan fisik diharapkan mengurangi resiko jatuh dengan meningkatkan kekuatan
tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi, dan meningkatkan
reaksi terhadap bahaya lingkungan, latihan fisik juga bisa mengurangi kebutuhan
obat-obatan sedatif. Latihan fisik yang dianjurkan yang melatih kekuatan tungkai,
tidak terlalu berat dan semampunya, salah satunya adalah berjalan kaki.
b. Manajemen obat-obatan
c. Gunakan dosis terkecil yang efektif dan spesifik diantaranya:
1) Perhatikan terhadap efek samping dan interaksi obat
2) Gunakan alat bantu berjalan jika memang di perlukan selama pengobatan
3) Kurangi pemberian obat-obatan yang sifatnya untuk waktu lama terutama sedatif
dan tranquilisers
4) Hindari pemberian obat multiple (lebih dari empat macam) kecuali atas indikasi
klinis kuat
5) Menghentikan obat yang tidak terlalu diperlukan
d. Modifikasi lingkungan
Atur suhu ruangan supaya tidak terlalu panas atau dingin untuk menghindari pusing
akibat suhu di antaranya:
1. Taruhlah barang-barang yang memang seringkali diperlukan berada dalam
jangkauan tanpa harus berjalan dulu
2. Gunakan karpet antislip di kamar mandi.
3. Perhatikan kualitas penerangan di rumah.
4. Jangan sampai ada kabel listrik pada lantai yang biasa untuk melintas.
5. Pasang pegangan tangan pada tangga, bila perlu pasang lampu tambahan untuk
daerah tangga.
6. Singkirkan barang-barang yang bisa membuat terpeleset dari jalan yang biasa
untuk melintas.
7. Gunakan lantai yang tidak licin.
8. Atur letak furnitur supaya jalan untuk melintas mudah, menghindari tersandung.
9. Pasang pegangan tangan ditempat yang di perlukan seperti misalnya di kamar
mandi.
e. Memperbaiki kebiasaan pasien lansia, misalnya :
1. Berdiri dari posisi duduk atau jangkok jangan terlalu cepat.
2. Jangan mengangkat barang yang berat sekaligus.
3. Mengambil barang dengan cara yang benar dari lantai.
4. Hindari olahraga berlebihan.
5. Alas kaki. Perhatikan pada saat orang tua memakai alas kaki :
- Hindari sepatu berhak tinggi, pakai sepatu berhak lebar
- Jangan berjalan hanya dengan kaus kaki karena sulit untuk menjaga
keseimbangan
- Pakai sepatu yang antislip

f. Alat bantu jalan


Terapi untuk pasien dengan gangguan berjalan dan keseimbangan difokuskan untuk
mengatasi atau mengeliminasi penyebabnya atau faktor yang mendasarinya.
Penggunaannya alat bantu jalan memang membantu meningkatkan keseimbangan,
namun di sisi lain menyebabkan langkah yang terputus dan kecenderungan tubuh
untuk membungkuk, terlebih jika alat bantu tidak menggunakan roda., karena itu
penggunaan alat bantu ini haruslah direkomendasikan secara individual.Apabila pada
lansia yang kasus gangguan berjalannya tidak dapat ditangani dengan obat-obatan
maupun pembedahan. Oleh karena itu, penanganannya adalah dengan alat bantu jalan
seperti cane (tongkat), crutch (tongkat ketiak) dan walker. (Jika hanya 1 ekstremitas
atas yang digunakan, pasien dianjurkan pakai cane. Pemilihan cane type apa yang
digunakan, ditentukan oleh kebutuhan dan frekuensi menunjang berat badan. Jika ke-
2 ekstremitas atas diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan tidak perlu
menunjang berat badan, alat yang paling cocok adalah four-wheeled walker. Jika
kedua ekstremitas atas diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan
menunjang berat badan, maka pemilihan alat ditentukan oleh frekuensi yang
diperlukan dalam menunjang berat badan.
g. Periksa fungsi penglihatan dan pendengaran
h. Hip protektor : terbukti mengurangi risiko fraktur pelvis
i. Memelihara kekuatan tulang :
1. Suplemen nutrisi terutama kalsium dan vitamin D terbukti meningkatkan densitas
tulang dan mengurangi resiko fraktur akibat terjatuh pada orang tua
2. Berhenti merokok
3. Hindari konsumsi alkohol
4. Latihan fisik
5. Anti-resorbsi seperti biophosphonates dan modulator reseptor estrogen
6. Suplementasi hormon estrogen / terapi hormon pengganti.
B. Asuhan Keperawatan Teoritis
1. Pengkajian
Pengkajian klien dengan resiko cidera meliputi: pengkajian resiko (Risk assessment
tools) dan adanya bahaya dilingkungan klien (home hazards appraisal).
a. Jatuh
- Usia klien lebih dari 65 tahun
- Riwayat jatuh di rumah atau RS
- Mengalami gangguan penglihatan atau pendengaran
- Kesulitan berjalan atau gangguan mobilitas
- Menggunakan alat bantu (tongkat, kursi roda, dll)
- Penurunan status mental (disorientasi, penurunan daya ingat)
- Mendapatkan obat tertentu (sedatif, hypnotik, tranquilizers, analgesics, diuretics,
or laxatives)
b. Riwayat Kecelakaan
Beberapa orang memiliki kecenderungan mengalami kecelakaan berulang, oleh
karena itu riwayat sebelumnya perlu dikaji untuk memprediksi kemungkinan
kecelakaan itu terulang kembali.
c. Keracunan
Beberapa anak dan orang tua sangat beresiko tinggi terhadap keracunan. Pengkajian
meliputi seluruh aspek pengetahuan keluarga tentang resiko bahaya keracunan dan
upaya pencegahannya.
d. Kebakaran
Beberapa penyebab kebakaran dirumah perlu ditanyakan tentang sejauh mana klien
mengantisipasi resiko terjadi kebakaran, termasuk pengetahuan klien dan keluarga
tentang upaya proteksi dari bahaya kecelakaan akibat api.
e. Pengkajian Bahaya
Meliputi mengkaji keadaan: lantai, peralatan rumah tangga, kamar mandi, dapur,
kamar tidur, pelindung kebakaran, zat-zat berbahaya, listrik, dll apakah dalam
keadaan aman atau dapat mengakibatkan kecelakaan.
f. Keamanan (spesifik pada lansia di rumah)
Gangguan keamanan berupa jatuh di rumah pada lansia memiliki insidensi yang
cukup tinggi, banyak diantara lansia tersebut yang akhirnya cedera berat bahkan
meninggal. Bahaya yang menyebabkan jatuh cenderung mudah dilihat tetapi sulit
untuk diperbaiki, oleh karena itu diperlukan pengkajian yang spesifik tentang
keadaan rumah yang terstuktur. Contoh pengkajian checklist pencegahan jatuh pada
lansia yang dikeluarkan oleh Departemen kesehatan dan pelayanan masyarakat
Amerika.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa umum sering muncul pada kasus keamanan fisik menurut NANDA adalah:
a. Resiko tinggi terjadinya cedera (High risk for injury).
Seorang klien dikatakan mengalami masalah keperawatan resiko tinggi terjadinya
cidera bila kondisi lingkungan dan adaptasi atau pertahanan seseorang beresiko
menimbulkan cedera.
b. Resiko terjadinya keracunan:
Adanya resiko terjadinya kecelakaan akivat terpapar, atau tertelannya obat atau zat
berbahaya dalam dosis yang dapat menyebabkan keracunan.
c. Resiko terjadinya sufokasi
Adanya resiko kecelakaan yang menyebabkan tidak adekuatnya udara untuk proses
bernafas.
d. Resiko terjadinya trauma:
Adanya resiko yang menyebabkan cedera pada jaringan (ms. Luka, luka bakar, atau
fraktur).
e. Respon alergi lateks: respon alergi terhadap produk yang terbuat dari lateks
f. Resiko respon alergi lateks: kondisi beresiko terhadap respon alergi terhadap produk
yang terbuat dari lateks.
g. Resiko terjadinya aspirasi: klien beresiko akan masuknya sekresi gastrointestinal,
sekresi orofaringeal, benda padat atau cairan kedalam saluran pernafasan.
h. Resiko terjadinya sindrom disuse (gejala yang tidak diinginkan): klien beresiko
terhadap kerusakan sistem tubuh akibat inaktifitas sistem muskuloskeletal yang
direncanakan atau tidak dapat dihindari.
3. Perencanaan
a. Kaji ulang adanya faktor-faktor resiko jatuh pada klien.
b. Tulis dan laporkan adanya faktor-faktor resiko
c. Lakukan modifikasi lingkungan agar lebih aman (memasang pinggiran tempat tidur,
dll) sesuai hasil pengkajian bahaya jatuh pada poin 1
d. Monitor klien secara berkala terutama 3 hari pertama kunjungan rumah
e. Ajarkan klien tentang upaya pencegahan cidera (menggunakan pencahayaanyang
baik, memasang penghalang tempat tidur, menempatkan benda berbahayaditempat
yang aman)
f. Kolaborasi dengan dokter untuk penatalaksanaan glaukoma dan
gangguanpenglihatannya, serta pekerja sosial untuk pemantauan secara berkala.
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiahardja, Andi.Sugiarto. (2005). Penilaian Keseimbangan dengan Aktivitas


Kehidupan Sehari-hari di Panti Werdha Pelkris Elim Semarang. Fakultas Kedokteran
Universitas Dipenogoro. Semarang
2. Sudoyo,A.W, Setiyohadi.B, Alwi.I, Simadibrata.K, Setiati.S.(2009). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid III. Edisi 5.Jakarta: Interna Publishing.
3. Suhartini, R.(2006) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Orang Lanjut
Usia (studi Kasus di Kelurahan Jambangan).Di unduh dari www.damandiri.or.id.
Diakses pada tanggal 4 Mei2015
4. Tamber – Noorkasiani .(2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan PendekatanAsuhan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
5. The Internasional Association for the Study of Pain (2010). International Association
for the Study of Pain 2010 Annual Report. Diperoleh tanggal 8 September
2014 dari http://www.iasp-pain.org/files/Content/ Conten
Folders/About IASP/IASP Annual Report_2010.pdf
6. Wiraguna, Tanjung. (2014). Gambaran Tingkat Kemandirian dalam Activity Daily
Living (ADL) pada Lansia di Desa Leyangan Kecematan Ungaran Timur Kabupaten
Semarang. Fakultas Ilmu Keperawatan Stikes Ngudi Waluyo Ungaran.
7. Yuliasih, (2009).Imuno patogenesis Artritis Reumatoid di: Setyohadi, B & Kasjmir,
Y.I. Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi. Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai